TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PUPUK
DAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA
WIDARTO RACHBINI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah
yang Paling Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam.
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi saya yang berjudul :
DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PUPUK
TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PUPUK
DAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA
merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembibingan para
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis
di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2006
WIDARTO RACHBINI. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk terhadap Kinerja Perdagangan Pupuk dan Sektor Pertanian di Indonesia (BUNASOR SANIM sebagai Ketua, BONAR M. SINAGA dan SUTRISNO IWANTONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing)
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis dampak liberalisasi perdagangan pupuk terhadap kinerja perdagangan pupuk dan kinerja sektor pertanian di Indonesia pada masa datang. Tujuan khusus penelitian ini adalah (1) meramalkan dampak liberalisasi perdagangan pupuk yang terjadi di Indonesia dan dunia terhadap perdagangan pupuk di pasar domestik maupun di pasar internasional, (2) meramalkan dampak liberalisasi perdagangan pupuk di Indonesia dan dunia terhadap kinerja perekonomian sektor pertanian di Indonesia baik untuk sub sektor perkebunan maupun sub sektor tanaman pangan, dan (3) merumuskan berbagai alternatif kebijakan yang perlu ditempuh pemerintah pada masa datang dalam upaya mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh adanya liberalisasi perdagangan pupuk. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika dan pendugaan model dilakukan dengan metode Two Stage Least Squares (2SLS). Sedangkan untuk mengevaluasi dampak liberalisasi perdagangan pupuk serta mencari alternatif kebijakan digunakan analisis ex ante simulation.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak liberalisasi perdagangan pupuk ditinjau dari aspek perdagangan pupuk domestik adalah pertama,
menyebabkan harga pupuk domestik (harga riil dalam rupiah per kilogram) mengalami peningkatan. Peningkatan harga domestik yang paling besar adalah harga pupuk urea yaitu sebesar 90 %. TSP mengalami kenaikan harga sebesar 20% dan KCl naik sebesar 2.7%. Kedua, meningkatnya volume ekspor urea Indonesia sebesar 36.23%. Ketiga, Volume perdagangan domestik untuk urea, TSP dan KCl mengalami penurunan. Hal ini ditunjukkan oleh turunnya permintaan urea, TSP, dan KCl masing-masing 17.85%, 36.65%, dan 2.73%. Ditinjau dari aspek kinerja sektor pertanian menunjukkan pertama, turunnya permintaan pupuk membawa dampak pada turunnya produksi pertanian Indonesia. Produksi sawit, teh, coklat, padi, jagung, dan kedelai mengalami penurunan masing-masing sebesar 13.77%, 1.1%, 6.37%, 5.54%, 11.31%, 34.37%. Kedua, volume ekspor sawit, teh, dan coklat mengalami penurunan masing-masing 13.4%, 1.11%, dan 1.37%. Ketiga, meningkatnya volume impor produk pangan seperti beras, jagung, dan kedelai masing-masing 4.9%, 22.35%, dan 5.35%.
Dengan demikian, diperlukan kebijakan pemerintah untuk mengatasi dampak negatif dari adanya liberalisasi perdagangan. Alternatif simulasi kebijakan yang terbaik adalah kebijakan subsidi harga TSP sebesar 10 % disertai dengan peningkatan kapasitas produksi pupuk urea 20 % dan TSP 20 %. Kebijakan ini memberikan dampak peningkatan ketersediaan pupuk domestik, mampu menurunkan harga pupuk domestik, sehingga permintaan pupuk baik urea, TSP maupun KCl masing-masing meningkat 3.12%, 35.44%, dan 0.31%. Kinerja pertanian baik pertanian tanaman pangan maupun perkebunan juga meningkat serta mampu mengurangi impor beras, jagung , dan kedele.
WIDARTO RACHBINI. The Impact of Fertilizer Trade Liberalization on the Performance of Fertilizer Trade and Agriculture Sector in Indonesia. (BUNASOR SANIM as Chairman, and BONAR M. SINAGA and SUTRISNO IWANTONO as Members of Advisory Committee)
Generally, the objective of this study is to analysis the impact of fertilizer trade liberalization on the performance of fertilizer trade and agriculture sector in Indonesia. The specific objectives of the study are : (1) to forecast the impact of fertilizer trade liberalization on the fertilizer trade in domestic and international market, (2) to forecast the impact of fertilizer trade liberalization on the performance of agriculture sector in Indonesia, both food crop and estate crop sub sectors, (3) to formulate some alternatives government policy to anticipate the negative impact of fertilizer trade liberalization. The study used econometric models and the models estimation use Two Stage Least Squares (2SLS) method.
Ex ante simulation analysis is used to evaluate the impact of fertilizer trade liberalization and to select the policy alternatives.
The study result shows that the impact of fertilizer trade liberalization on the performance of agriculture sector is the increase of agriculture product prices, even though the increase of the agriculture product price is not too high, which is caused by the increasing of fertilizer price, the decreasing of land area, productivity and agriculture production. The exportation of export oriented
agriculture commodity such as estate crop product, decreased and the importation of food stuff crop product increased.
The fertilizer trade liberalization decrease urea world price by 7%. The fertilizer trade liberalization increase urea domestic price by 90% which is followed by the decrease of domestic urea production by 13% and the increase of export volume by 35% which is distributed to all Indonesia fertilizer export destination countries. But, the increase of domestic urea price decreases domestic urea demand by 13%.
The combination policy of TSP price subsidy by 10% and the addition of urea production capacity by 20% and TSP production capacity by 20%, is the best policy in order to anticipate the fertilizer trade liberalization. Such policy can increase urea and TSP production which increase urea exportation and decrease TSP importation. Such policy also give good impact on the performance of agriculture sector in Indonesia, both food crop and estate crop sub sector. This policy can increase estate crop product exportation and decrease rice, corn and soybean importation.
DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PUPUK
TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PUPUK
DAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA
WIDARTO RACHBINI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Kinerja Perdagangan Pupuk dan Sektor Pertanian di
Indonesia
Nama Mahasiswa : Widarto Rachbini
Nomor Pokok : 985002
Program Studi : Ilmu Eknomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Bunasor Sanim, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Sutrisno Iwantono, MA Anggota Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan
Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
Penulis dilahirkan di Pamekasan, Madura pada tanggal 21 Desember 1963
dari ayah Rachbini, BA dan ibu Djumaatijah. Penulis yang merupakan anak ketiga
dari enam bersaudara, menyelesaikan pendidikan SD, SMP, dan SMA di kota
kelahirannya.
Setelah lulus dari SMA tahun 1982, penulis diterima sebagai mahasiswa
IPB melalui jalur Proyek Perintis II, yang merupakan mekanisme penerimaan
mahasiswa tanpa melalui ujian tertulis. Penulis menyelesaikan pendidikan S1
pada Jurusan Mekanisasi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian pada tahun
1986.
Penulis bekerja di perusahaan swasta di Kalimantan sejak lulus S1 dan
ditempatkan di Jakarta pada tahun 1993. Penulis melanjutkan pendidikan ke
jenjang S2 pada Jurusan Administrasi Bisnis Universitas Indonesia tahun 1995
dan selesai dalam waktu dua tahun. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang S3
pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Illahi Rabbi, yang telah
memberikan banyak karunia, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada:
1. Prof. Dr. Bunasor Sanim, M.Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang
dengan kesabaran dan kelembutan hati beliau, telah banyak memberikan
arahan akademik ketika kuliah dan bimbingan dalam menyusun disertasi.
2. Dr. Bonar M. Sinaga, MA sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang
memiliki dedikasi yang sangat tinggi selama mengajar dan membimbing.
3. Dr. Sutrisno Iwantono, MA sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah
memberikan tambahan wawasan yang lebih luas dalam penulisan disertasi.
4. Seluruh dosen dan teman-teman pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
5. Ayah, ibu, mertua, istri, kakak-kakak, dan adik-adik yang telah memanjatkan
banyak doa kepada Yang Maha Perkasa demi keberhasilan penulis.
6. Semua pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan disertasi ini yang
tidak dapat disebutkan satu per satu di sini.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini tidak sempurna karena
keterbatasan penulis. Walaupun demikian, penulis berharap penelitian ini berguna
bagi yang membutuhkannya.
Bogor, Januari 2006
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN... xviii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 4
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Pupuk dan Sektor Pertanian Indonesia ... 10
2.2. Tinjauan Umum Liberalisasi Perdagangan ... 15
2.3. Tinjauan Regulasi Perdagangan Bebas Bidang Pertanian ... 21
2.3.1 Akses Pasar ... 22
2.3.2 Subsidi Ekspor ... 23
2.3.3 Subsidi dalam negri... 24
2.3.4 Perlakukan Khusus dan Berbeda... 26
2.3.5 Ketahanan Pangan... 26
2.4. Tinjauan Regulasi Perdagangan bebas Bidang Kesehatan ... 27
2.5. Kesepakatan Akhir Tarif dalam Perdagangan Bebas ... 37
2.6. Telaah Penelitian Pupuk Terdahulu dan Posisi Penelitian ... 41
IIII. KERANGKA TEORITIS 3.1. Penurunan Fungsi Produksi Pupuk ... 45
3.2. Penurunan Fungsi Permintaan Pupuk ... 47
3.3. Perilaku Konsumsi Komoditas Pertanian ... 52
3.4. Perilaku Produksi Komoditas Pertanian ... 54
4.1. Tahapan Penyusunan Model ... 59
4.2. Prosedur Spesifikasi Model ... 59
4.3. Model Ekonomi Pupuk dan Sektor Pertanian ... 62
4.3.1. Produksi dan Konsumsi Pupuk Urea ... 64
4.3.2. Perdagangan Pupuk Urea ... 65
4.3.3. Produksi dan Konsumsi Pupuk TSP ... 68
4.3.4. Perdagangan Pupuk TSP ... 69
4.3.5. Konsumsi Pupuk KCl ... 72
4.3.6. Perdagangan Pupuk KCl ... 73
4.3.7. Produksi dan Perdagangan Sawit ... 75
4.3.8. Produksi dan Perdagangan Teh ... 76
4.3.9. Produksi dan Perdagangan Kakao ... 77
4.3.10. Produksi dan Perdagangan Padi ... 78
4.3.11. Produksi dan Perdagangan Jagung ... 79
4.3.12. Produksi dan Perdagangan Kedelai ... 80
4.4. Identifikasi Model ... 81
4.5. Metode Pendugaan Model ... 82
4.6. Validasi Model ... 83
4.7. Analisis Simulasi Model ... 84
4.8. Kriteria Seleksi Simulasi Kebijakan ... 87
4.9. Jenis dan Sumber Data ... 88
V. GAMBARAN UMUM EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN 5.1. Gambaran Umum Ekonomi Pupuk Indonesia ... 89
5.1.1. Pupuk Urea Indonesia ... 92
5.1.2. Pupuk TSP Indonesia ... 100
5.1.3. Pupuk KCl Indonesia ... 103
5.2. Gambaran Umum Ekonomi Pupuk Dunia ... 105
5.2.1. Pupuk Urea Dunia ... 105
5.2.2. Pupuk TSP Dunia ... 108
5.2.3. Pupuk KCl Dunia ... 110
5.4. Pertanian Tanaman Perkebunan Indonesia ... 114
5.5. Pertanian Tanaman Pangan Indonesia ... 115
VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN 6.1. Hasil Pendugaan Model Ekonomi Pupuk dan Sektor Pertanian.... 123
6.2. Hasil Pendugaan Persamaan Produksi, Konsumsi dan Perdagangan Pupuk Urea ……… 123
6.2.1. Persamaan Produksi dan Konsumsi Pupuk Urea Indonesia ... 124
6.2.2. Persamaan Perdagangan Pupuk Urea Indonesia ... 127
6.2.3. Persamaan Perdagangan Pupuk Urea Dunia ... 130
6.3. Hasil Pendugaan Persamaan Produksi, Konsumsi dan Perdagangan Pupuk TSP ... 134
6.3.1. Persamaan Produksi dan Konsumsi Pupuk TSP Indonesia 134
6.3.2. Persamaan Perdagangan Pupuk TSP Indonesia………….. 137
6.3.3. Persamaan Perdagangan Pupuk TSP Dunia……… 139
6.4. Hasil Pendugaan Persamaan Konsumsi dan Perdagangan Pupuk KCl... 142
6.4.1. Persamaan Konsumsi Pupuk KCl Indonesia……... 142
6.4.2. Persamaan Perdagangan Pupuk KCl Indonesia……… 144
6.4.3. Persamaan Perdagangan Pupuk KCl Dunia………. 145
6.5. Hasil Pendugaan Persamaan Produksi, Konsumsi dan Perdagangan Tanaman Perkebunan .………. 148
6.5.1. Persamaan Areal, Produktifitas, Perdagangan dan Harga Kelapa Sawit ... 148
6.5.2. Persamaan Areal, Produktifitas, Perdagangan dan Harga Teh ... 150
6.5.3. Persamaan Areal, Produktifitas, Perdagangan dan Harga Kakao. ... 151
6.6. Hasil Pendugaan Persamaan Produksi, Konsumsi dan Perdagangan Tanaman Pangan ……… 153
Permintaan Beras ... 155
6.6.2. Persamaan Areal, Produktifitas, Impor, Harga dan Permintaan Jagung ... 156
6.6.3. Persamaan Areal, Produktifitas, Impor, Harga dan Permintaan Kedelai ... 158
VII. PERAMALAN DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PUPUK TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2004 – 2010
7.1. Daya Prediksi Model Ekonomi Pupuk dan Sektor Pertanian ... 160
7.2. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk Indonesia terhadap Kinerja Perdagangan Pupuk dan Sektor Pertanian………... 164
7.2.1. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk Urea Indonesia terhadap Kinerja Perdagangan Pupuk Indonesia ………… 164
7.2.2. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk TSP Indonesia
terhadap Kinerja Perdagangan Pupuk Indonesia…………. 165
7.2.3. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk KCl Indonesia
terhadap Kinerja Perdagangan Pupuk Indonesia………… 168
7.2.4. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk Urea Indonesia terhadap Kinerja Sektor Pertanian……….. 170
7.2.5. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk TSP Indonesia
terhadap Kinerja Sektor Pertanian ……….. 172
7.2.6. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk KCl Indonesia
terhadap Kinerja Sektor Pertanian……… 174
7.2.7. Ringkasan Hasil Simulasi Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk Indonesia terhadap Kinerja Perdagangan Pupuk dan Sektor Pertanian... 176
7.3. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk Dunia terhadap Kinerja Perdagangan Pupuk ……..……….. 179
7.3.1. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk Urea Dunia terhadap Kinerja Perdagangan Pupuk Urea Indonesia dan Dunia ... 179
7.3.2. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk TSP Dunia terhadap Kinerja Perdagangan Pupuk TSP Indonesia dan Dunia ... 181
terhadap Kinerja Perdagangan Pupuk KCl Indonesia
dan Dunia ... 183
7.3.4. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk Urea Dunia terhadap Kinerja Sektor Pertanian ... 185
7.3.5. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk TSP Dunia terhadap Kinerja Sektor Pertanian ... 187
7.3.6. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk KCl Dunia terhadap Kinerja Sektor Pertanian ... 189
7.3.7. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk Urea, TSP dan KCL Dunia terhadap Kinerja Sektor Pertanian ... 189
7.3.8. Ringkasan Hasil Simulasi Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk Dunia terhadap Kinerja Perdagangan Pupuk dan Sektor Pertanian ... 192
7.4. Alternatif Simulasi Kebijakan Produksi dan Perdagangan Pupuk... ... ... 195
7.4.1. Simulasi Kebijakan Produksi Pupuk ... 195
7.4.2. Simulasi Kebijakan Perdagangan Pupuk ... 196
7.4.3. Simulasi Kebijakan Terpadu antara Produksi dan Perdagangan Pupuk ... 202
7.4.4 Ringkasan Hasil Simulasi Kebijakan Produksi dan Perdagangan Pupuk...….. 204
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan ... 208
8.2. Saran ... 210
8.2.1. Saran Kebijakan ... 210
8.2.2. Saran Penelitian Lanjutan ... 211
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Sasaran Pemotongan Subsidi dan Proteksi ... 22
2. Kesepakatan Tarif Indonesia pada Akhir Perundingan ... 40
3. Perilaku Konsumen berdasarkan Ukuran Elastisitas ... 54
4. Perilaku Produsen berdasarkan Ukuran Elastisitas ... 55
5. Pengorganisasian Model yang Digunakan (Perilaku dan Identitas) ... 64
6. Produsen Urea dan Kapasitas Terpasang ... 93
7. Ekspor Urea ke Berbagai Negara Tujuan Tahun 2000 ... 97
8. Ekspor Urea Menurut Produsen Tahun 1977 – 2000 ... 98
9. Perdagangan TSP di Pasar Internasional Tahun 1980-2000 ... 110
10. Perdagangan Pupuk KCl di Pasar Internasional Tahun 1980-2000 .... 111
11. Keragaan Ekspor Impor dan Neraca Perdagangan Produk Pertanian Indonesia Tahun 1997 – 2001 ... 115
12. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Produksi, Perdagangan dan Harga Urea ... 125
13. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Ekspor Pupuk Urea Indonesia di Pasar Internasional ... 128
14. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Ekspor Pupuk Urea Dunia ... 131
15. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Impor Pupuk Urea Dunia dan Harga Dunia ... 133
16. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Produksi, Konsumsi dan Harga Pupuk TSP ... 135
17. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Impor Pupuk TSP Indonesia ... 138
18. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Ekspor TSP Dunia ... 140
19. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Impor Pupuk TSP dan Harga TSP Dunia ... 141
20. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Permintaan KCl dan Harga KCl Domestik ... 143
21. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Impor Pupuk KCl Indonesia ... 145
22. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Ekspor Pupuk KCl
Dunia ... 146
23. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Impor KCl dan Harga KCl Dunia ... 147
24. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Tanaman Sawit ... 149
25. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Tanaman Teh ... 151
26. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Tanaman Kakao ... 153
27. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Tanaman Padi ... 154
28. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Tanaman Jagung ... 157
29. Hasil Pendugaan Parameter dan Elastisitas Tanaman Kedelai ... 159
30. Analisis Uji Validasi Model : Actual-Predicted dan U-Theil ... 161
31. Liberalisasi Perdagangan Pupuk Urea Indonesia terhadap Kinerja Perdagangan Pupuk Indonesia Tahun 2004 - 2010 ... 165
32. Liberalisasi Perdagangan Pupuk TSP Indonesia terhadap Kinerja Perdagangan Pupuk TSP Indonesia Tahun 2004 - 2010 ... 167
33. Liberalisasi Perdagangan Pupuk KCl Indonesia terhadap Kinerja Perdagangan KCl Tahun 2004 - 2010 ... 169
34. Liberalisasi Perdagangan Pupuk Urea Indonesia terhadap Kinerja Kinerja Sektor Pertanian Indonesia Tahun 2004 - 2010 ... 171
35. Liberalisasi Perdagangan Pupuk TSP Indonesia terhadap Kinerja Sektor Pertanian Indonesia Tahun 2004 - 2010 ... 173
36. Liberalisasi Perdagangan Pupuk KCl Indonesia terhadap Kinerja Sektor Pertanian Indonesia Tahun 2004 - 2010 ... 175
37. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk Urea Dunia terhadap Perdagangan Pupuk Urea Tahun 2004 - 2010 ... 180
38. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk TSP Dunia terhadap Kinerja Perdagangan Pupuk TSP Tahun 2004 - 2010 ... 182
39. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk KCl Dunia terhadap Kinerja Perdagangan Pupuk KCl Tahun 2004 - 2010 ... 184
40. Dampak Liberaliasi Perdagangan Dunia Pupuk Urea Dunia terhadap Kinerja Sektor Pertanian Tahun 2004 - 2010 ... 186
41. Dampak Liberaliasi Perdagangan Pupuk TSP Dunia terhadap Kinerja Sektor Pertanian Tahun 2004 - 2010 ... 188
42. Dampak Liberaliasi Perdagangan Pupuk KCl Dunia terhadap Kinerja Sektor Pertanian Tahun 2004 - 2010... 190
43. Dampak Liberalisasi Perdagangan Dunia Semua Jenis Pupuk terhadap Kinerja Sektor Pertanian Tahun 2004 - 2010 ... 191
44. Dampak Alternatif Kebijakan Produksi Pupuk terhadap Kinerja Perdagangan Pupuk Domestik Tahun 2004 – 2010 ... 196
45. Dampak Alternatif Kebijakan Produksi Pupuk terhadap Kinerja
Sektor Pertanian Tahun 2004 - 2010 ... 197
46. Dampak Alternatif Kebijakan Perdagangan pupuk terhadap Kinerja
Perdagangan Pupuk Domestik Tahun 2004 - 2010 ... 199
47. Dampak Alternatif Kebijakan Perdagangan Pupuk terhadap Kinerja ... Sektor Pertanian Tahun 2004 - 2010... 200
48. Dampak Alternatif Kebijakan Kombinasi Produksi dan Perdagangan Pupuk terhadap Kinerja Perdagangan Pupuk Domestik Tahun 2004 - 2010... 204
49. Dampak Alternatif Kebijakan Kombinasi Produksi dan Perdagangan Pupuk terhadap Kinerja Sektor Pertanian Tahun 2004 - 2010... 205
Nomor Halaman
1. Mekanisme subsidi pemerintah pada harga pupuk ... 14
2. Grafik Pengaruh Perubahan X1 dan X2 terhadap Perubahan Y ... 48
3. Dampak Pencabutan Subsidi Faktor Input terhadap Pasar Output ... 57
4. Tahapan Penyusunan Model ... 60
5. Tahapan Evaluasi Daya Ramal Model ... 61
6. Kerangka Pikir Model Simultan Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk terhadadap Kinerja Perdagangan Pupuk dan Sektor Pertaniaan di Indonesia ... 63
7. Pengeluaran Pembangunan dan Subsidi Pupuk Tahun 1985-1999 .... 89
8. Permintaan Urea Pertanian Tahun 1988-2002 ... 99
9. Perkembangan Harga Pupuk Urea Eceran Tahun 1988-2002 ... 100
10. Perkembangan Produksi TSP Tahun 1980-2002 ... 102
11. Produksi dan Permintaan TSP Tahun 1988-2002 ... 102
12. Perkembangan Harga Eceran Pupuk TSP di Indonesia ... 103
13. Perkembangan Impor KCl Indonesia ... 104
14. Permintaan KCl Tahun 1980-2002 ... 105
15. Ekspor Pupuk Urea di Pasar Internasional Tahun 1980-2000 ... 106
16. Impor Pupuk Urea di Pasar Internasional Tahun 1980-2000 ... 107
17. Perkembangan Harga Urea Dalam Negeri dan Internasional ... 107
18. Pasar Internasional TSP Tahun 1980-2000 ... 109
19. Ilustrasi Hukum Mata Rantai Terlemah ... 113
Nomor Halaman
1. Program Komputer Pendugaan Model Ekonomi Pupuk dan Sektor Pertanian Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SYSLIN
Metode 2SLS ... 219
2. Hasil Pendugaan Parameter Model Ekonomi Pupuk dan Sektor
Pertanian Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SYSLIN
Metode 2SLS ... 224
3. Program Komputer Validasi Model Ekonomi Pupuk dan Sektor Pertanian Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN
Metode Newton... 250
4. Hasil Validasi Model Ekonomi Pupuk dan Sektor Pertanian Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metode
Newton ... 256
5. Program Komputer Peramalan Model Ekonomi Pupuk dan Sektor
Pertanian Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Metode Newton... 262
6. Hasil Peramalan Model Ekonomi Pupuk dan Sektor Pertania
Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Metode Newton... 268
7. Hasil Simulasi Model Ekonomi Pupuk dan Sektor Pertanian (Simulasi Non-Kebijakan) ... 270
8. Hasil Simulasi Kebijakan Produksi Pupuk di Era Liberalisasi
Perdagangan ... 275
9. Hasil Simulasi Kebijakan Perdagangan Pupuk di Era Liberalisasi
Perdagangan ... 280
10. Hasil Simulasi Kebijakan Kombinasi Kebijakan Produksi dan
Kebijakan Perdagangan... 290
11. Program Komputer Simulasi Kebijakan Kombinasi Subsidi Harga TSP 10 Persen dan Peningkatan Kapasitas Produksi Urea dan TSP
Masing-Masing 20 Persen... 300
12. Hasil Simulasi Kebijakan Kombinasi Subsidi Harga TSP 10 Persen dan Peningkatan Kapasitas Produksi Urea dan TSP Masing-Masing
20 Persen ... 307
13. Sumber Data... 313
1.1. Latar Belakang
Sektor pertanian sampai saat ini masih mempunyai peranan yang cukup
penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap
pendapatan nasional, sektor ini pada tahun 2003 mempunyai sumbangan
15.03 persen terhadap PDB. Sedangkan ditinjau dari penyerapan tenaga kerja,
sektor pertanian ini menyerap tenaga kerja paling besar di antara sektor-sektor
yang lain, yaitu sekitar 49 persen. Dengan demikian, tampak bahwa sektor
pertanian masih merupakan sektor yang diperhitungkan sebagai penunjang dan
pendorong perekonomian nasional.
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada pertengahan tahun 1997,
secara jelas telah memperlihatkan ketangguhan sektor pertanian Indonesia. Pada
saat krisis hebat pada tahun 1998, sektor ini bisa tumbuh 0.22 persen, sementara
perekonomian nasional secara agregat mengalami kontraksi yang luar biasa hebat,
yaitu sebesar 13.70 persen. Dampak dari kontraksi perekonomian ini adalah
menurunnya penyerapan lapangan kerja, yaitu sebesar 2.13 persen (sekitar 6.40
juta orang). Seluruh sektor ekonomi (kecuali listrik) mengalami penurunan
penyerapan tenaga kerja, sementara itu sektor pertanian justru mampu
meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja.
Peranan pupuk dalam pembangunan pertanian khususnya dalam
peningkatan produksi pertanian sangat menentukan, terutama melalui program
intensifikasi. Penggunaan pupuk diperkirakan mampu meningkatkan produksi
30 – 40 persen. Sementara struktur biaya pupuk dalam proses produksi hanya
18 persen. Hal inilah yang mendasari pemerintah pada masa lalu memberlakukan
harga output merupakan suatu kebijakan yang diterapkan pemerintah selama lima
Pelita, yaitu tahun 1969 – 1997 yang mampu berperan sebagai suatu insentif bagi
petani untuk meningkatkan produksi pangan. Kebijakan ini merupakan bagian
integral dari paket program intensifikasi yang telah membuat keberhasilan
pembangunan pertanian khususnya komoditas pangan dengan tercapainya
swasembada beras.
Indonesia merupakan salah satu negara pendiri Organiasasi Perdagangan
Dunia, World Trade Organization (WTO) dan telah meratifikasi persetujuan
pembentukan WTO melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1994. Dengan
diratifikasinya persetujuan WTO tersebut, maka secara legal semua perjanjian
WTO menjadi hukum yang wajib dilaksanakan di Indonesia.
Subsidi pupuk dianggap sebagai sebuah restriksi perdagangan yang tidak
sesuai dengan semangat liberalisasi perdagangan. Oleh karena itu, subsidi pupuk
harus dihapuskan. Penghapusan subsidi pupuk di Indonesia selain karena alasan
mengikuti semangat liberalisasi perdagangan, juga karena alasan semakin
besarnya beban yang ditanggung pemerintah melalui APBN. Oleh karena itu,
secara bertahap mulai tahun 1990 pemberian subsidi pupuk mulai dikurangi, dan
terhitung mulai tanggal 1 Desember 1998 subsidi semua jenis pupuk dihapuskan
atas desakan IMF dalam program pemulihan ekonomi, Structure Adjustment
Programme (SAP). Sejalan dengan kebijakan pencabutan subsidi pupuk tersebut,
pemerintah juga membebaskan tataniaga pupuk.
Kebijakan Structure Adjustment Programme (SAP) yang dijalankan oleh
IMF yang dijadikan sebagai dasar kebijakan dalam mengatasi krisis ekonomi di
Indonesia adalah: (1) mencabut subsidi pada semua kegiatan yang selama ini
dilakukan oleh negara, termasuk di sektor pertanian, (2) privatisasi terhadap
(3) membebaskan pasar dalam negeri dari pasar luar negeri dengan membebaskan
hambatan-hambatan dan mengurangi pajak impor dari luar negeri.
Dengan dicabutnya subsidi harga pupuk maka pemerintah tidak lagi ikut
campur dalam penetapan dan penentuan harga jual pupuk di tingkat konsumen.
Harga yang berlaku mengikuti mekanisme pasar. Hal ini telah berdampak pada
peningkatan harga pupuk serta keragaman harga jual pupuk di tingkat konsumen.
Bagi pemerintah, pupuk tidak lagi bisa dijadikan instrumen kebijakan yang dapat
mendorong tercapainya sebuah program pembangunan pertanian seperti program
ketahanan pangan.
Dari sisi industri pupuk, adanya penghapusan subsidi pupuk berdampak
pada meningkatnya iklim persaingan dalam bisnis pemasaran pupuk dalam negeri,
dan pada sisi lain kebijakan tersebut menimbulkan ekses terhadap ketersediaan
pupuk. Pemerintah juga mencabut hak monopoli tataniaga pupuk urea oleh PT
PUSRI bukan lagi satu-satunya perusahaan yang bertanggung jawab dalam
pengadaan pupuk dalam negeri telah menyebabkan harga pupuk menjadi
meningkat.
Pada awal berdirinya, industri pupuk di Indonesia dibangun untuk
mendukung usaha pencapaian swsembada pangan, dan industri pupuk merupakan
bagian dari sistem ketahanan pangan nasional. Pada perkembangannya, status
industri pupuk diubah dari Perusahaan Umum (Perum) menjadi Persero. Dengan
status barunya sebagai Persero, maka industri pupuk dituntut untuk menghasilkan
laba sebagaimana badan usaha lainnya. Peran ganda sebagai institusi yang
diwajibkan mendukung program ketahanan pangan, dan peran sebagai industri
yang dituntut untuk menghasilkan laba, merupakan dilema tersendiri bagi industri
Tugas utama yang dibebankan pemerintah kepada industri pupuk adalah
menyediakan kebutuhan pupuk nasional. Khusus untuk pupuk urea, ekspor bisa
dilakukan setelah kebutuhan dalam negeri dipenuhi. Bagi industri pupuk yang
dituntut untuk menghasilkan laba, tentunya kewajiban ini akan memberatkan.
Kalau boleh memilih, industri pupuk lebih memilih mengekspor produksinya dari
pada menjualnya di pasar domestik, karena harga internasional jauh lebih tinggi
dari harga domestik yang ditetapkan oleh pemerintah.
Karena Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor utama pupuk
urea di dunia, maka kebijakan pemerintah Indonesia mengenai produksi dan
perdagangan pupuk, akan memiliki pengaruh terhadap perdagangan pupuk di
dalam negeri dan di pasar internasional.
Pupuk merupakan kebutuhan yang utama yang sangat diperlukan dalam
membantu meningkatkan produksi dan kualitas hasil pertanian. Adanya kebijakan
liberalisasi perdagangan pupuk dalam bentuk penghapusan subsidi pupuk, perlu
dilakukan kajian secara komprehensif dan mendalam untuk mengetahui dampak
yang ditimbulkan, sehingga dapat dirumuskan alternatif kebijakan yang perlu
ditempuh untuk mengantisipasinya.
1.2. Permasalahan
Selain benih, sarana produksi pertanian yang strategis yang mendapatkan
dukungan subsidi adalah pupuk. Indonesia dihadapkan pada pilihan tetap
memberikan subsidi harga pupuk ataukah mencabutnya. Argumentasi untuk tetap
memberikan subsidi pupuk adalah karena sektor pertanian masih dianggap sebagai
sektor yang sangat penting dimana sektor ini menyerap hampir setengah dari
tenaga kerja total yang pada umumnya petani kecil yang memerlukan
Argumentasi lain untuk tetap memberikan subsidi adalah, sebuah negara
akan menjadi sangat rentan bila menggantungkan ketersediaan pangannya hanya
pada impor. Komoditas pangan yang diperdagangkan di dunia internasional
hanya dalam jumlah yang sangat kecil, yaitu sekitar 10 persen dari total produksi
di dunia. Karena itu kebijakan untuk menyediakan produksi pangan dari produksi
domestik dalam bentuk program ketahanan pangan merupakan program yang
harus tetap dalam kendali pemerintah. Untuk mensukseskan program ketahanan
pangan tersebut, salah satu upaya untuk mencapainya adalah dengan cara
memberikan subsidi pupuk.
Argumentasi untuk mencabut subsidi pupuk adalah karena Indonesia
sudah merupakan anggota WTO yang mengharuskan setiap anggotanya untuk
meliberalkan perdagangannya, yang salah satunya adalah dalam bentuk kebijakan
pencabutan subsidi pupuk.
Adanya pencabutan subsidi pupuk yang berarti adanya peningkatan harga
jual di pasar, akan meningkatkan peluang bagi perusahaan-perusahaan untuk
masuk dalam pasar sehingga akan menimbulkan adanya pesaing baru. Akibat dari
keadaan ini persaingan antara perusahaan pupuk akan semakin ketat, yang
ditandai dengan adanya kompetisi dalam pelaksanaan manajemen pemasaran. Hal
ini terjadi tidak hanya antar industri pupuk domestik, bahkan persaingan
dimungkinkan terjadi antara industri pupuk domestik dengan pupuk yang berasal
dari impor.
Sedangkan dari sisi konsumen yakni petani, adanya pencabutan subsidi
pupuk akan berdampak perubahan perilaku dalam mengkonsumsinya, yakni
penggunaannya namun mensubstitusinya dengan jenis pupuk lain yang lebih
murah. Perubahan perilaku permintaan pupuk ini sangat tergantung pada kondisi
sosial petani. Adanya perubahan perilaku penawaran dan permintaan pupuk ini,
akan berakibat adanya dampak lanjutan terhadap produksi maupun pendapatan
petani, sehingga kemudian akan mempengaruhi kinerja sektor pertanian secara
keseluruhan.
Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut, maka menimbulkan
permasalahan yang layak untuk dipelajari. Permasalahan tersebut secara umum
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Bagaimana dampak liberalisasi perdagangan pupuk yang terjadi di Indonesia
dan di dunia terhadap kinerja perdagangan pupuk di pasar domestik maupun di
pasar internasional ?
2. Bagaimana dampak liberalisasi perdagangan pupuk di Indonesia dan di dunia
terhadap kinerja sektor pertanian di Indonesia baik untuk sub sektor
perkebunan maupun sub sektor tanaman pangan ?
3. Alternatif kebijakan apakah yang perlu ditempuh pemerintah pada masa
datang untuk mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh adanya
liberalisasi perdagangan pupuk?
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk meramalkan dampak
liberalisasi perdagangan pupuk terhadap kinerja perdagangan pupuk dan sektor
pertanian di Indonesia pada tahun 2004 – 2010. Tujuan khusus penelitian adalah
1. Meramalkan dampak liberalisasi perdagangan pupuk yang terjadi di Indonesia
dan di dunia terhadap kinerja perdagangan pupuk di pasar domestik maupun di
pasar internasional.
2. Meramalkan dampak liberalisasi perdagangan pupuk di Indonesia dan di dunia
terhadap kinerja sektor pertanian di Indonesia untuk sub sektor perkebunan
maupun sub sektor tanaman pangan.
3. Merumuskan berbagai alternatif kebijakan yang perlu ditempuh pemerintah
pada masa datang dalam upaya mengantisipasi dampak negatif yang
ditimbulkan oleh adanya liberalisasi perdagangan pupuk.
Penelitian ini diharapkan memperkaya hasil penelitian di bidang pertanian
dengan telaah yang lebih mendalam pada komoditas pupuk sebagai faktor input
pada usaha pertanian. Secara praktis, penelitian ini juga diharapkan dapat berguna
sebagai masukan para pengambil keputusan di lembaga pemerintahan, seperti
Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, atau BUMN Pupuk.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Model ekonomi pupuk dan sektor pertanian dibangun berdasarkan
abstraksi fenomena yang menjelaskan perilaku produksi, konsumsi, dan
perdagangan pupuk yang terintegrasi dengan ekonomi pupuk, ekonomi
perkebunan, dan ekonomi tanaman pangan. Penelitian ini menggunakan
pendekatan ekonometrika dalam bentuk sistem persamaan simultan.
Komoditas tanaman pangan yang dipilih untuk diteliti adalah komoditas
pangan utama yang berkaitan dengan ketahanan pangan nasional yaitu padi,
jagung, dan kedele. Sedangkan komoditas perkebunan yang dipilih adalah
Permintaan pupuk terdiri dari permintaan pupuk untuk urea, TSP, dan
KCl. Masing-masing permintaan jenis pupuk tidak didisagregasi menurut
komoditas, melainkan dilakukan secara agregat yaitu permintaan pupuk untuk
tanaman perkebunan dan tanaman pangan. Kinerja ekonomi yang diamati adalah
kinerja perdagangan dan kinerja produksi sektor pertanian. Kinerja keduanya
dilihat dari kemampuan produksi, ekspor, impor, dan harganya.
Negara pengekspor dan pengimpor pupuk yang diteliti adalah negara yang
mempunyai pangsa utama pada periode tahun 1997 – 2002. Negara tujuan ekspor
urea utama Indonesia adalah Vietnam, Taiwan, Filipina, Thailand dan Malaysia.
Negara pengekspor urea utama adalah Soviet, Kanada, Rumania, Arab Saudi, dan
Amerika Serikat. Negara pengimpor urea utama adalah Amerika Serikat,
Vietnam, Australia, dan Thailand. Negara pengekspor TSP utama adalah Amerika
Serikat, Tunisia, dan Maroko. Negara pengimpor TSP utama adalah Iran dan
Brazil. Negara pengekspor KCl utama adalah Kanada, Jerman, Soviet, dan
Yordania. Negara pengimpor KCl utama adalah Cina dan Brazil.
Model ekonomi pupuk dan sekor pertanian yang dibangun mempunyai
keterbatasan sebagai berikut :
1. Model tidak mempertimbangkan adanya biaya transportasi yang merupakan
pembeda harga antar negara-negara yang terlibat dalam perdagangan pupuk.
2. Penawaran pupuk tidak memperhitungkan stok dan penyusutan.
3. Perdagangan komoditas tanaman perkebunan dan tanaman pangan tidak
mendisagregasi negara pengekspor dan pengimpor.
4. Kondisi liberalisasi perdagangan diasumsikan sebagai harga domestik sama
dengan harga dunia (berlakunya the law of one price), dan bukan
5. Harga dunia diasumsikan sebagai harga dalam kondisi liberal, walaupun harga
dunia tersebut terbentuk ketika tidak seluruh negara di dunia yang terliabt
dalam perdagangan pupuk telah menghilangkan hambatan-hambatan dalam
bentuk tarif, subsidi ataupun hambatan tarif lainnya.
6. Model ekonometrika yang digunakan dalam menjelaskan perdagangan pupuk
tidak mempertimbangkan blok-blok kerjasama regional seperti ASEAN.
7. Intervensi pemerintah dalam hal perdagangan pupuk hanya dipertimbangkan
untuk negara-negara pengekspor saja, untuk negara pengimpor tidak
dipertimbangkan intervensi perdagangannya.
8. Model ini mengasumsikan bahwa komoditas tanaman pangan baik impor dan
domestik bersifat perfect substitution, sedangkan dalam realitasnya terdapat
atribut produk tanaman pangan yang berbeda antara produk pangan impor dan
produk pangan domestik.
9. Model tidak mempertimbangkan penurunan kualitas lahan pertanian. Hal ini
berimplikasi pada asumsi bahwa kualitas lahan pada masa lalu dengan masa
mendatang tetap, sehingga dianggap tidak pernah terjadi kondisi leveling off
pada komoditas pertanian.
10.Komoditas hortikultura sayuran yang juga merupakan bahan pangan penting
2.1. Kebijakan Industri Pupuk dan Sektor Pertanian Indonesia
Indonesia memiliki deposit minyak bumi dan gas bumi yang cukup
potensial, pabrik pupuk pertama yang dibangun adalah pupuk nitrogen, yaitu
pupuk urea di Palembang pada tahun 1963 dengan bahan baku gas bumi. Pabrik
pupuk kedua yang dibangun adalah pupuk ZA (amonium sulfat) dan urea di
Gresik pada tahun 1970, dengan menggunakan bahan baku minyak bakar (fuel oil)
karena di Jawa Timur saat itu belum ditemukan kandungan gas bumi. Namun
setelah keberadaan gas bumi ditemukan, proses pembuatannya diubah dengan
pabrik yang menggunakan gas bumi.
Gas bumi yang digunakan untuk industri pupuk hanya kurang lebih 7.64
persen dari total gas bumi, sedangkan industri petrokimia, semen, baja, dan PGN
meggunakan 4.97 persen. Selama ini untuk mendapatkan devisa yang banyak dan
cepat, gas bumi dijual dalam bentuk bahan baku misalnya LNG dan LPG.
Penjualan LNG Indonesia memiliki market share sebesar 34.66 persen padahal
cadangannya hanya 1.40 persen cadangan gas bumi dunia. Gas bumi merupakan
sumberdaya bumi yang tidak dapat diperbaharui, maka perlu adanya kebijakan
pemerintah tentang konservasi dan prioritas alokasi penggunaan gas bumi,
termasuk kebijaksanaan harga gas untuk industri pupuk dalam jangka panjang.
Kontrak pembelian gas bumi oleh industri pupuk di bawah tahun 1992
harganya masih US $ 1.00 per MMBTU, namun kontrak yang baru harganya
berkisar US $ 1.50 – 2.00 per MMBTU. Meskipun harga kontrak gas bumi di atas
US $ 1.00 per MMBTU, tetapi dalam pelaksanaannya industri pupuk tetap
sehingga tidak membebani industri pupuk. Namun dengan dihapuskannya subsidi
pupuk mulai tanggal 1 Desember 1998, harga gas bumi dibayar dengan harga
kontraknya.
Akibat tingginya harga gas bumi yang harus dibayar oleh sebagian industri
pupuk, dan harga jual pupuk dalam negeri dibatasi oleh pemerintah sesuai dengan
daya beli petani, maka beberapa industri pupuk tidak memperoleh margin yang
wajar. Agar tetap dapat bersaing, selanjutnya industri pupuk mengajukan usulan
kepada pemerintah untuk menurunkan harga gas bumi yang akhirnya disetujui
pemerintah dengan memberikan Insentif Gas Domestik (IGD) dengan harga US $
1.30 per MMBTU yang berlaku untuk PT. Pusri, PT. Pupuk Kujang, dan kontrak
tambahan untuk PT. Pupuk Kaltim.
Dasar permintaan IGD oleh industri pupuk adalah untuk menurunkan
biaya produksi karena harga jual di dalam negeri harus rendah. Dengan demikian,
industri pupuk dapat bertahan dengan dua alternatif yaitu menurunkan harga gas
bumi, atau meningkatkan harga jual.
Alternatif harga jual dinaikkan tidak boleh dilakukan karena daya beli
masyarakat petani masih rendah, sedangkan konsep IGD yang ditawarkan oleh
Menteri Energi tidak disetujui oleh Menteri Keuangan. Kondisi ini memperburuk
industri pupuk nasional. Kontrak gas bumi yang harga kontraknya US $ 1 per
MMBTU akan berakhir, yaitu :
1. Kaltim I : dalam proses perpanjangan
2. AAF : Desember 2002
3. PIM : Desember 2003
4. Kaltim II : Desember 2003
Pupuk urea yang berasal dari pabrik di ataslah yang mampu bersaing di pasar
internasional berhadapan dengan produsen urea dari Malaysia, Timur Tengah,
Rusia yang harga gas buminya kurang dari US $ 1 per MMBTU.
Pusri yang harga gas buminya US $ 1.50 per MMBTU untuk Pusri IB dan
US $ 1.85 per MMBTU untuk Pusri II, III, dan IV, secara rata-rata biaya
produksinya sudah US $ 90 per ton urea curah. Apabila harga urea curah dunia
turun menjadi US $ 100 per ton, maka secara bisnis, urea Pusri tidak mampu
bersaing. Hal ini berlaku juga untuk PT Pupuk Kujang yang harga gas buminya
US $ 1.70 – 1.85 per MBBTU.
Pabrik baru seperti PIM 2, Kaltim IV, dan Kujang IB, harga gas buminya
diindikasikan melebihi US $ 2.00 per MMBTU. Meskipun sudah menggunakan
konsep hemat energi 25 MMBTU per ton, biaya gas bumi saja sudah US $ 50 per
ton. Apabila ditambah biaya overhead, depresiasi, dan bunga pinjaman, maka
biaya produksi rata-rata 20 tahun adalah US $ 120 per ton.
Di sisi lain, sesuai dengan Surat menteri Pertanian No.
BM.340/401/Mentan/XII/98 tanggal 11 Desember 1998, maka mulai tanggal
1 Desember 1998 Pemerintah telah menghapus subsidi dan tataniaga pupuk.
Dengan demikian mulai Desember 1998 harga pupuk maupun distribusinya
mengacu pada pola pasar bebas.
Penghapusan subsidi dan tataniaga pupuk didasarkan pada kenyataan
bahwa subsidi pupuk yang diberikan pemerintah banyak yang tidak mencapai
sasaran akibat dari adanya perembesan pupuk yang mengakibatkan lebih
tingginya harga pupuk di tingkat petani dibanding HET yang telah ditetapkan.
Selain itu juga terdapatnya kelangkaan pupuk bagi petani.
Dengan dihapuskannya subsidi dan tataniaga pupuk tersebut diharapkan
1. Penyediaan pupuk untuk tanaman pangan akan lebih terjamin karena
perembesan pupuk dapat dikurangi, bahkan dihilangkan.
2. Pelayanan pupuk kepada petani akan dapat ditingkatkan karena dengan
banyaknya penyalur akan mendorong terjadinya kompetisi utamanya dibidang
pelayanan kepada petani.
3. Peningkatan efisiensi pemupukan dan kualitas lingkungan hidup. Hal ini
dimungkinkan karena dengan meningkatnya harga pupuk akan menyebabkan
pemakaian pupuk oleh petani akan lebih bijaksana.
4. Penghematan subsidi pemerintah.
5. Optimalisasi pemanfaatan pasar pupuk dalam negeri oleh produsen pupuk
nasional, karena dengan berlakunya harga sesuai mekanisme pasar maka harga
pupuk di dalam negeri menjadi cukup menarik.
6. Jaminan pengadaan pupuk oleh produsen pupuk dalam negeri untuk jangka
panjang lebih terjamin, karena dengan harga pasar bebas tersebut
memungkinkan produsen untuk memupuk dana guna mendukung
kelangsungan produksinya (APPI, 2000).
Dalam pelaksananaan di lapangan, penghapusan subsidi dan tataniaga
pupuk tersebut ternyata belum dapat memenuhi harapan utamanya dalam
menjamin penyediaan pupuk untuk tanaman pangan. Hal ini antara lain
dibuktikan dengan masih adanya keluhan petani yang kesulitan dalam
mendapatkan pupuk, tingginya harga pupuk dan masih terbatasnya jumlah
penyalur/pengecer yang ada. Sebagai gambaran mekanisme subsidi yang
HET
HPP
HP
HP = HPP Subsidi dihapus
HET Rp
Subsidi
Biaya distribusi
[image:33.595.147.449.87.242.2]Tahun 0
Gambar 1. Mekanisme Subsidi Pemerintah pada Harga Pupuk
Kesulitan petani dalam mendapatkan pupuk tersebut telah memberikan
dampak yang merugikan terhadap hasil panen tanaman pangan utamanya padi.
Menurut hasil pengamatan di lapangan, produktifitas padi di beberapa daerah
yang diamati mengalami penurunan yang cukup tajam yaitu dari semula rata-rata
4.50 ton per ha menjadi hanya 3.50 ton per ha (APPI, 2000).
Penurunan produktifitas tanaman pangan tersebut cukup mengkhawatirkan
karena selain akan mempengaruhi kemampuan pengadaan pangan nasional dalam
jangka panjang juga akan menurunkan minat petani dalam mengusahakan
tanaman pangan. Hal ini akan meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap
beras impor.
Menurunnya kinerja sektor pertanian Indonesia direspon oleh pemerintah
melalui agenda revitalisasi sektor pertanian. Pemerintah menetapkan program
pembangunannya dengan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy)
yang berasas pro-gowth, pro-employment, dan pro-poor. Operasionalisasi konsep
strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui: (1) peningkatan pertumbuhan
ekonomi di atas 6,5 persen per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor;
(2) pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan
menciptakan lapangan kerja baru, dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan
2.2. Tinjauan Umum Liberalisasi Perdagangan
Liberalisasi perdagangan dimulai ketika 23 negara anggota General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT) merumuskan Havana Charter tentang
konsesi penurunan tarif pada tahun 1946. Pertemuan kedua (Annecy Meeting)
diselenggarkan pada tahun 1949. Pertemuan ketiga (Torquay Meeting)
diselenggarakan pada tahun 1951. Pertemuan keempat (Dillon Round)
membicarakan Custom Union dan Zona Perdagangan Bebas pada tahun 1961.
Menteri Perdagangan Amerika Serikat dalam pertemuan Kennedy Round
tahun 1964–1967 membahas perdagangan komoditas pertanian, terutama
hambatan non tarif. Pada pertemuan Tokyo Round membicarakan liberalisasi
perdagangan pertanian produk tropis pada tahun 1974–1979 dan Indonesia
sebagai peninjau, akan tetapi kesepakatan-kesepakatan liberalisasi perdagangan
hampir tidak dapat dilaksanakan.
Pertemuan tentang liberalisasi perdagangan lanjutan diselenggarakan
Ministrial Meeting di Kanada pada tahun 1982 dan di Punta del Este, Uruguay
pada tahun 1986. Berbagai pertemuan setelah tahun 1986 memasuki babak
Uruguay Round, akan tetapi masalah pertanian tetap kritis dan konsensus
beberapa kali gagal tercapai, meskipun telah dilakukan pembicaraan-pembicaraan
pendahuluan di Kanada dan Brussel (Amang, 1995).
Penerapan regulasi perdagangan yang sama antara produk industri dan
produk pertanian telah memperlambat Uruguay Round. Produk pertanian sulit
disamakan dengan produk industri, karena produk pertanian mempunyai dampak
politis dan sosial yang luas. Kegiatan sektor pertanian menyentuh kegiatan
ekonomi, sosial, dan kultural (Kartadjoemena, 1997). Uruguay Round dapat
Act berupa Draft Final Act (DFA). DFA diterima sebagai Final Act (FA) dan
ditandatangani di Marakesh tanggal 15 April 1994 bersamaan pembentukan
World Trade Organization (WTO).
GATT berisi tiga prinsip perdagangan internasional. Pertama, prinsip
perlakuan yang sama (Unconditional Most Fovoured Nations/ MFN) dan
non-diskriminasi (non-discrimination). Prinsip MFN mengharuskan setiap negara
memberikan perlakuan yang sama terhadap setiap negara yang merupakan
Constracting Parties (CPs) seperti tarif sesuai dengan konsensi yang diberikan
(Schedule of Conssenssion). Kedua, prinsip retaliasi (Retaliation) yang
memungkinkan pemberlakuan sanksi terhadap negara yang melanggar prinsip
MFN. Besar retaliasi sama dengan kerugian yang diderita negara lain yang
merupakan peserta CPs. Ketiga, prinsip national treatment yang tidak
memperbolehkan peningkatan proteksi di luar konsesi.
Tujuan GATT bidang pertanian secara umum adalah melakukan
liberalisasi perdagangan dan mengurangi distorsi secara bertahap. Upaya tersebut
berupa Border Measures, Domestic Supports dan Exsport Subsidy. Border
Measures antara lain berupa: (1) Comprehensive Tariffication, yaitu non tarif
menjadi tarif; (2) Tariff Reduction, yaitu menurunkan tarif rata-rata sebesar
36 persen atau minimal 15 persen untuk setiap mata tarif dalam jangka 6 tahun.
Khusus untuk negara-negara berkembang penurunan sebesar 10 – 24 persen
dalam jangka 10 tahun; (3) Current/Minimum Acces, yaitu mempertahankan
volume impor pada tahun 1986 – 1988, jika volume impor melebihi 3 persen
konsumsi domestik. Jika volume impor di bawah 3 persen, maka akan terkena
minimum access sebesar 3 persen konsumsi domestik pada tahun awal
Institusionalisasi perdagangan bebas WTO, kesepakatan perdagangan
kawasan, seperti APEC, AFTA, NAFTA, dan Uni Eropa, maka dunia
perdagangan mengalami perubahan. Pemberlakuan AFTA pada tahun 2003 dan
APEC pada tahun 2010 dan 2020 mempengaruhi ekonomi Indonesia. Pertanian
Indonesia terjebak dalam liberalisasi perdagangan yang lebih menguntungkan
negara-negara maju. Pertanian seharusnya tidak masuk agenda WTO karena
perdagangan hasil-hasil pertanian tidak adil dan merugikan negara berkembang.
Pertanian skala kecil akan dirugikan dibandingkan skala besar. Sertifikasi dan
efisiensi usahatani meningkatkan jumlah buruh tani, karena pemilik modal
usahatani skala kecil akan kehilangan lahan. Liberalisasi pertanian akan memicu
produk impor ke pasar lokal. Pemotongan tarif impor berdampak meningkatkan
impor pangan. Pencabutan domestic support memaksa petani bersaing secara
bebas. Kesepakatan bidang Pertanian yang harus dipatuhi untuk mengekspor
produk pertanian adalah peningkatan akses pasar, pengurangan subsidi ekspor,
danpengurangan bantuan kepada petani, agar produksi petani menjadi lebih
efisien (Palais des Nations, 2001).
AFTA mengatur lalu lintas perdagangan produk di antara negara anggota
ASEAN. Arus lalu lintas perdagangan produk perkebunan, uang pembayaran, dan
faktor penunjang lain yang berasal dari negara-negara anggota bebas keluar
masuk dalam wilayah ASEAN dengan hambatan tarif 0 – 5 persen. Negara
anggota ASEAN adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand,
Brunei Darussalam, Laos, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja (Irewati, 1996).
Semua produk pertanian masuk dalam daftar program pengurangan tarif,
Reduction Schedule dan tidak boleh ada Quantitative Restriction, serta Non-Tariff
Barrier produk tersebut harus dihapuskan dalam kurun waktu 5 tahun. Tarif yang
tidak memenuhi ketentuan di atas disepakati forum resmi ASEAN masuk
Temporary Exclusion List. Prinsip Sensitive List sama dengan Temporary
Exclusion List dengan batas waktu tahun 2010, seperti gula dan Cengkeh. Produk
General Exception Tarif tidak termasuk produk pertanian. Kesepakatan
mekanisme penurunan tarif (Common Effective Preferential Tariff ) berupa:
(1) pencapaian tarif 0 – 5 persen sebesar 85 persen Inclusion List pada tahun
2000; (2) 90 persen Inclusion List pada tahun 2001; (3) 100 persen Inclusion List
pada tahun 2002 dengan penyesuaian. Pemindahan kategori produk yang
diperdagangkan dari Temporary Exclusion List ke Inclusion List dan dari Sensitive
List menjadi Temporary Exclusion List, serta mengurangi produk dari daftar
pengecualian umum General Exception.
Persyaratan ekspor komoditas pertanian AFTA yang harus dipenuhi untuk
memperoleh keringanan bea masuk dapat dilakukan pelaku ekspor dengan cara
menggunakan Form D yang diperoleh dari kantor Dinas Perindustrian dan
Perdagangan setempat. Form D mengatur ketentuan asal barang produk barang
yang termasuk Inclusion List skema CEPT-AFTA. Ketentuan asal barang
menentukan barang yang mendapatkan konsesi berdasarkan besar local
content/ASEAN content sebesar 40 persen dan masuk Legal Enactment produk
CEPT.
Kesepakatan liberalisasi perdagangan dilanjutkan melalui konferensi
1. Konferensi Tingkat Menteri I dilaksanakan di Singapura pada tanggal 9 – 13
Desember tahun 1996. Konferensi bertujuan untuk meninjau pelaksanaan
kesepakatan Putaran Uruguay dan membahas kemungkinan proses liberalisasi
perdagangan berdasarkan perkembangan ekonomi dunia. Konferensi tersebut
menghasilkan Deklarasi Singapura yang menguntungkan Negara-negara
berkembang, yaitu: (1) kesepakatan negara untuk membuka peluang pasar
produk negara berkembang dengan perlakuan khusus dan meminta negara
anggota menghindari peraturan perdagangan yang proteksionis, (2) pengakuan
negara berkembang kesulitan melaksanakan perjanjian Putaran Uruguay dan
negara-negara berkembang memerlukan bantuan teknis, dan (3) negara
berkembang memerlukan mekanisme penyelesaian sengketa dagang yang adil.
2. Konferensi Tingkat Menteri II diselenggarakan di Jenewa Swiss pada tanggal
18 – 20 Mei tahun 1998. Konferensi bertujuan untuk meninjau implementasi
kesepakatan Putaran Uruguay dan membahas pelaksanaan WTO di masa
mendatang. Konferensi menyepakati deklarasi untuk menyeimbangkan
kepentingan semua anggota negara maju dan negara berkembang.
3. Konferensi Tingkat Menteri III diselenggarakan pada tanggal 30 November –
3 Desember tahun 1999 di Seattle, Amerika Serikat. Konferensi gagal
menyepakati deklarasi lanjutan bidang pertanian antara kelompok negara
pengekspor komoditas pertanian (Cairns Group), Uni Eropa, USA, Jepang,
dan negara-negara berkembang.
4. Konferensi Tingkat Menteri IV diselenggarakan di Doha pada tanggal 9 – 14
November tahun 2001 dan dihadiri 142 negara. Konferensi menghasilkan
Deklarasi Menteri/Deklarasi Doha (Agenda Pembangunan Doha/
industri, lingkungan, isu-isu implementasi, Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI), penyelesaian sengketa dan peraturan WTO. Agenda pembangunan
Doha memuat isu-isu pembangunan negara-negara berkembang paling
terbelakang (least–development countries /LDCs), seperti kerangka kerja
kegiatan bantuan teknis WTO, program kerja negara-negara terbelakang dan
program kerja untuk mengintegrasikan secara penuh negara-negara kecil ke
dalam WTO. Negara-negara berkembang membentuk kelompok kerja hutang
dan keuangan serta kelompok kerja alih teknologi. Negara-negara anggota
dihimbau (tidak mengikat) memberikan akses bebas pajak dan bebas kuota
untuk produk yang berasal dari negara berkembang paling terbelakang.
Liberalisasi perdagangan menuju terms of trade menjadi sama, karena
rintangan-rintangan perdagangan lambat laun akan berkurang dan hilang (Olsen,
1971, dan Bhagwati, 1988). Pada ilmu perdagangan internasional berlaku hukum
satu harga untuk semua pasar (Bafes, 1991). Harga relatif yang sama
mempengaruhi harga input (faktor) antar negara (Dierdoff, 1979; Findlay, 1970;
Johnson, 1969; Olsen, 1971; Lerner, 1952; dan Samuelson, 1949). Harga input
yang sama mempengaruhi pendapatan pemilik input dan usaha, termasuk
usahatani.
Liberalisasi perdagangan berdampak meningkatkan arus perdagangan dan
meningkatkan pergerakan faktor antar negara, termasuk pupuk sebagai faktor
input. Pergerakan faktor memungkinkan investasi asing pupuk masuk ke
Indonesia dan memproduksi pupuk dengan harga yang lebih murah. Bhagwati
(1988) mengatakan liberalisasi perdagangan juga menimbulkan hambatan non
tarif (the law of constant protection), seperti isu penggunaan pupuk kimia
Liberalisasi perdagangan dalam bentuk penghapusan subsidi harga pupuk
berdampak ganda. Dampak yang mungkin terjadi adalah: (1) efek pendapatan
(income atau spending effect), (2) efek substitusi (substitution effect), dan (3) efek
pergerakan sumberdaya (resource movement effect), (Bandara, 1991).
Penghapusan subsidi harga pupuk berdampak biaya produksi pertanian meningkat
dan harga output pertanian menurun di pasar internasional. Liberalisasi
pedagangan pupuk yang seperti ini berdampak sektor pertanian menjadi tidak
menarik yang mendorong perubahan pola tanam dan petani bertransformasi
meninggalkan sektor pertanian. Liberalisasi perdagangan pupuk juga
mempengaruhi permintaan pupuk dan substitusi pupuk, kinerja usahatani, keadaan
sosial petani, pergerakan sumberdaya pertanian, dan meningkatkan persaingan
usaha perdagangan pupuk.
2.3. Tinjauan Regulasi Perdagangan Bebas Bidang Pertanian
Pertanian menjadi perhatian utama negosiasi perdagangan, karena distorsi
perdagangan produk-produk pertanian sering terjadi akibat pengenaan kuota
impor, subsidi dalam negeri dan subsidi ekspor. GATT bidang pertanian tahap
awal mempunyai banyak kekurangan, sehingga negosiasi Putaran Uruguay
diusahakan untuk menghasilkan ketentuan bidang pertanian yang adil, menjamin
kompetisi yang sehat, tidak distortif dengan menghapus sistem kuota dan
pemberian subsidi (Tabel 1).
Regulasi tersebut diterapkan terhadap: (1) akses pasar dan bermacam
hambatan pasar yang mengganggu mekanisme impor, (2) dukungan dalam negeri
dalam bentuk subsidi dan program, termasuk jaminan harga produk pertanian dan
pendapatan petani, dan (3) subsidi ekspor dan metode lain digunakan untuk
2.3.1. Akses Pasar
Perundingan bidang pertanian bertujuan untuk membuka pasar ekspor dan
impor. Negara-negara berkembang meminta perlakuan khusus dan berbeda sesuai
Persetujuan Markesh untuk menciptakan akses pasar (market access) yang adil
dan seimbang. Negara-negara maju diminta meningkatkan akses pasar melalui
skema preferensi, pemotongan semua bentuk subsidi, pemotongan semua bentuk
tarif, peningkatan volume perdagangan menggunakan Tariff Rate Quota.
Penerapan hambatan non-tarif diminta transparan, sehingga tidak ada
diskriminasi. Indonesia mengalami hambatan upaya pembukaan akses pasar
sebagai berikut: (1) tarif tertinggi (Tariff Peak) kurang proporsional, (2) tarif
eskalasi, yakni tarif meningkat seiring peningkatan tahap pemrosesan suatu
[image:41.595.83.510.423.682.2]barang, dan (3) administrasi tarif kuota yang berbelit-belit.
Tabel 1. Sasaran Pemotongan Subsidi dan Proteksi
Negara Maju Negara Berkembang 6 Tahun 10 Tahun Ketentuan
1995 - 2002 1995 – 2004 Tarif
a. Potongan rata-rata untuk produk-produk pertanian
b. Potongan minimum per produk
36 persen
15 persen
24 persen
10 persen Dukungan Domestik
Jumlah potongan AMS untuk bidang pertanian pada periode tahun 1986 – 1988
12 persen 13 persen
Ekspor
a. Nilai subsidi
b. Jumlah produk yang disubsidi pada periode tahun 1986 – 1990
36 persen 21 persen
24 persen 14 persen
Sumber: www.wto.org, 2004
Ketentuan baru akses pasar bidang pertanian adalah tentang perubahan
Perubahan tarif memberikan kepastian jumlah impor sebelum pemberlakuan dapat
dilanjutkan dan tidak dilarang, jika suatu jumlah yang baru dikenakan tarif. Kuota
Tarif memberlakukan tarif rendah untuk jumlah barang tertentu dalam batas kuota
dan tarif tinggi untuk jumlah yang melebihi kuota.
2.3.2. Subsidi Ekspor
Perjanjian bidang pertanian melarang negara anggota WTO menetapkan
subsidi ekspor, kecuali subsidi tercantum dalam daftar kesepakatan. Jika
tercantum dalam daftar kesepakatan, maka terdapat keharusan untuk mengurangi
dana subsidi dan jumlah ekspor yang menerima subsidi. Negara-negara maju
setuju mengurangi subsidi sampai 36 persen dalam jangka waktu enam tahun
sejak tahun 1995 dan negara-negara berkembang setuju mengurangi subsidi
sampai 24 persen selama lebih dari 10 tahun.
Negara-negara maju sepakat mengurangi jumlah ekspor yang disubsidi
sebesar 24 persen selama 6 tahun dan negara berkembang sepakat mengurangi
jumlah ekspor yang disubsidi sebesar 14 persen selama 10 tahun. Negara miskin
tidak harus membuat pengurangan apa pun. Negara-negara berkembang dalam
kondisi tertentu diijinkan menggunakan subsidi untuk mengurangi biaya-biaya
pemasaran dan transportasi produk yang akan diekspor selama 6 tahun masa
pelaksanaan kesepakatan pengurangan tarif. Negara berkembang berharap semua
bentuk subsidi ekspor yang dirasakan sangat tidak adil dan semakin memperlemah
posisi negara berkembang dalam perdagangan dunia dapat dihapuskan.
Pengurangan dan penghapusan subsidi ekspor merupakan salah satu cara
menciptakan keseimbangan pasar dan kesamaan antara negara maju dan negara
mempunyai keuangan sangat kuat dan negara berkembang terbatas dalam
menyediakan subsidi ekspor.
2.3.3. Subsidi Dalam Negeri
Pemberian subsidi dalam negeri mendorong produksi berlebihan,
mengurangi impor, karena harga produk dalam negeri lebih murah. Subsidi ekspor
dan praktek anti dumping menjerumuskan. Persetujuan bidang pertanian
membedakan antara program-program pendukung yang merangsang produksi
secara langsung dan yang dianggap berpengaruh secara langsung. WTO
mengizinkan subsidi dalam negeri ke dalam:
1. Kotak Hijau. Subsidi jenis kotak hijau dikecualikan pada kesepakatan
penurunan dan mempunyai dampak minimal terhadap perdagangan
internasional, seperti: jasa yang diberikan pemerintah berupa penelitian,
penanggulangan hama dan penyakit, pembangunan infrastruktur, ketahanan
pangan, pembayaran langsung kepada produsen, bantuan penyesuaian
struktural, pembayaran langsung untuk kepentingan perlindungan lingkungan
hidup dan program bantuan untuk wilayah-wilayah tertentu, pembayaran
program pembatasan produksi dan sejumlah bantuan pemerintah untuk
mendorong pembangunan pertanian dan pedesaan di negara berkembang, serta
bentuk subsidi lain yang tidak terlalu besar dilihat dari nilai produksi.
2. Kotak Biru. Subsidi kotak biru mengizinkan pemerintah melakukan
pembayaran langsung kepada petani untuk membatasi jumlah produksi,
pembangunan pedesaan di nagara-negara berkembang dan bantuan-bantuan
lain dalam skala kecil.
3. Amber Box. Subsidi amber box adalah subsidi yang dibatasi, karena
menimbulkan dampak distorsi pasar, sehingga mengganggu perdagangan
internasional. Kategori di luar kotak hijau digolongkan ke dalam bentuk
subsidi amber box. Subsidi kategori amber box dikenakan pengurangan
tingkat subsidi, termasuk perbedaan antara harga dalam negeri dan harga
internasional, serta pembayaran langsung kepada produsen. Negara maju
wajib menurunkan tingkat subsidi sebesar 20 persen dan harus dilaksanakan
selama kurun waktu 6 tahun. Jika subsidi dalam kategori amber box hanya
mencapai 5 persen nilai produksi, maka tidak terkena ketentuan penurunan
subsidi. Persentase penurunan subsidi sebesar 10 persen total produksi
pertanian umum untuk negara berkembang dan untuk negara maju sebesar
5 persen. Negara berkembang memperoleh keringanan kewajiban menurunkan
subsidi dalam negeri sebesar 66.67 persen kewajiban negara-negara maju
(13.33 persen) dan batas minimal subsidi yang tidak memerlukan penurunan
subsidi sebesar 10 persen produksi pertanian.
Kesepakatan subsidi dalam negeri seharusnya diberikan kepada negara
berkembang, karena negara berkembang bertujuan membantu petani kecil yang
berpendapatan rendah, mengentaskan kemiskinan, danmembangun pedesaan.
Indonesia setuju menghapus subsidi sesuai ketentuan WTO bidang pertanian,
tetapi berkeberatan dengan pengalihan bentuk subsidi dari price support menjadi
targeted income support (transfer dana secara langsung kepada petani beras),
no. 32 tahun 1998 sampai INPRES no. 9 tahun 2002 untuk harga dasar pembelian
gabah.
2.3.4. Perlakuan Khusus dan Berbeda
Perlakuan khusus dan berbeda (Special and Differential Treatment) untuk
negara-negara berkembang merupakan suatu keharusan. Perlakuan khusus dan
berbeda terdapat pada semua persetujuan Perdagangan Barang, Persetujuan
TRIPS dan Understanding on rules and Procedur Governing the Settlement of
Dispute, seperti: (1) pemberian pengecualian, dengan batas waktu tertentu serta
jangka waktu lebih lama untuk melaksanakan kewajiban, (2) keluwesan prosedur
dan pelaksanaan kewajiban, dan (3) bantuan teknis.
Indonesia sebagai negara berkembang berkepentingan dengan perlakuan
khusus dan berbeda untuk pertanian dan perlakuan ini diharapkan menjadi
fasilitator negara berkembang untuk mengejar pembangunan sektor pertanian
yang tertinggal dibandingkan negara maju, akan tetapi perlakuan tersebut belum
dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh negara-negara berkembang.
2.3.5. Ketahanan Pangan
Negara yang mempunyai ketergantungan impor pangan tinggi akan mudah
mengalami krisis pangan. Jika perdagangan pangan diberlakukan, maka
persaingan memperoleh kecukupan pangan akan meningkat antara konsumen
negara-negara maju yang berpendapatan tinggi dibandingkan negara-negara
berkembang yang berpendapatan rendah. Negara-negara maju dapat memungut
pajak pertanian, tetapi negara-negara berkembang memberikan subsidi kepada
dan kepentingan internasional. Jika pangan merupakan komoditas strategis suatu
negara, maka negara tersebut akan menanggung ongkos yang besar ketika negara
tidak mampu menjamin stabilitas pasokan pangan untuk masyarakat. Ketahanan
pangan mencakup masalah ketersediaan (availability), stabilitas pasokan
(stability), keterjangkauan (accessibility), dan kemampuan berproduksi
(capability).
Negara-negara maju dan Cairns Group anggota WTO berpendapat bahwa
ketahanan pangan (food security) dapat dicapai melalui perdagangan bebas dan
tidak perlu melalui kebijakan swasembada pangan. Akan tetapi, angkatan kerja
sektor pangan cukup dominan di Indonesia, jumlah keluarga petani mencapai
sekitar 21 juta kepala keluarga, permintaan beras Indonesia rata-rata sebesar
30 juta ton per tahun dan penawaran beras di pasar dunia maksimum sebesar 20
juta ton per tahun (66.67 persen), dan ekspor beras di pasar internasional sebanyak
55 persen dikuasai Amerika Serikat, Thailand, dan Vietnam, sehingga Indonesia
tidak dapat bergantung kepada pena