• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEMIOTIKA ISRA MIKRAJ

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SEMIOTIKA ISRA MIKRAJ"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

SEMIOTIKA ISRA MIKRAJ

Oleh MUHBIB ABDUL WAHAB

Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW merupakan peristiwa luar biasa, bahkan dianggap “tidak masuk akal” (irrasional) karena super cepatnya perjalanan Mekkah-Baitul Maqdis-Sidratul Muntaha dan kembali lagi ke Mekkah yang ditempuh kurang dari satu malam. Kemajuan sains dan teknologi saat itu memang belum mampu menjelaskan perjalanan spiritual (spiritual journey) itu secara ilmiah. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi digital dewasa ini, peristiwa Isra’ Mi’raj bukan hanya wajar dan rasional bagi Nabi SAW, melainkan juga menginspirasi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya pembuatan pesawat supersonic, telekomunikasi nirkabel, jaringan internet dan satelit, dan sebagainya.

Peristiwa Isra' - Mi'raj terjadi pada tahun ke-10 kenabian setelah Nabi SAW mengalami masa-masa sulit dan penuh ujian dalam berdakwah di Mekkah. Pada saat itu, Nabi SAW diuji keteguhan imannya oleh Allah SWT dengan wafatnya istri tercinta, Khadijah dan paman beliau, Abu Thalib, yang selalu membela perjuangan dakwahnya. Tahun duka cita („amul huzni) ini menandai betapa mentalitas Nabi SAW begitu kuat menerima segala macam cobaan, di samping permusuhan yang sangat sengit dan tiada henti dari kaum kafir Quraisy, sehingga wajar jika kemudian Allah “menghiburnya” dengan memperjalankannya menuju Sidratul Muntaha untuk beraudiensi langsung dengan-Nya.

Perjalanan dan prosesi Isra’ Mi’raj sungguh sarat dengan tanda-tanda yang kaya dengan pesan-pesan mulia untuk umat manusia. Salah satu tujuan Allah memperjalankan Nabi SAW dalam prosesi Isra’ Mi’rajadalah “mendemonstrasikan” tanda-tanda kebesaran-Nya. Allah SWT berfirman: “Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan (demonstrasikan) tanda-tanda kebesaran Kami..." (QS al-Isra' [17]: 1). Oleh karena itu, peristiwa sakral ini sangat menarik dipahami dan dinarasikan dengan pendekatan semiotika, karena dalam peristiwa ini terdapat aneka tanda yang sangat sarat dengan makna dan pesan kehidupan.

Isra’ dan Masjid Simbol Persatuan

Isra’ merupakan simbol perjalanan suci di malam hari yang penuh keheningan dan kedalaman makna. Perjalanan ini dimulai dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsa di Bait al-Maqdis Palestina. Secara semiotik, masjid melambangkan kesucian sekaligus persatuan. Pesan moral yang dapat dipetik dari perjalanan lintas masjid ini adalah bahwa pendakian spiritual menuju Tuhan itu harus dimulai dari penyucian hati dengan menjadikan masjid sebagai basis persatuan, pengabdian, dan perjuangan

Masjid adalah pusat unifikasi, penyatuan dan persatuan umat. Dari Masjidil Haram Nabi SAW bertitik tolak menuju Sidratul Muntaha dengan “transit” terlebih dahulu di Masjidil Aqsa di Baitul Maqdis (Rumah Kesucian). Saat transit di Masjidil Aqsa, Nabi SAW melaksanakan shalat dua raka‟at di dalamnya. Di masjid ini pula Nabi SAW dipertemukan dengan para nabi sebelumnya, dan Nabi SAW didaulat menjadi imam shalat bagi mereka. Peristiwa ini melambangkan persatuan visi dan misi tauhid para nabi dan rasul dalam membebaskan umat manusia dari penjajahan akidah (syirik) menuju cahaya iman.

(2)

Sekurang-kurangnya Ibrahim AS, Musa AS, Sulaiman AS, dan Isa AS pernah menjadikan Bait al-Maqdis sebagai tempat suci dan pusat penyatuan ibadah mereka. Agama Yahudi, Nasrani, dan Islam bersumber dari sumber yang sama, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, mengajarkan iman tauhid yang sama, dan berorientasi kepada persatuan dan kesatuan umat.

Jika asal-usul agama samawi (Abrahamic religions) itu satu, maka sejatinya perjalanan Isra’ merupakan simbol yang menunjukkan makna bahwa umat beragama itu mestinya bersaudara, tidak gampang berpecah belah, apalagi terlibat konflik dan perang saudara. Semua agama tersebut sama-sama menghormati kesucian tempat ibadah mereka. Lambang-lambang kesucian itu “dibingkai” dalam sebuah nama masjid: tempat bersujud, pusat sakralitas dan kesucian hati. Hati yang suci, dari pemeluk agama manapun, pasti memancarkan pemikiran yang jernih, sikap dan tindakan yang mulia dan jauh dari kekerasan, anarkisme, konflik, apalagi peperangan. Kesucian masjid merupakan simbol persatuan dan perdamaian abadi.

Mi’raj Simbol Pendakian Spiritual

Jika Isra’ melambangkan perjalanan horizontal, lintas masjid, lintas agama, lintas sosial budaya, dan lintas peradaban, maka Mi’raj dari Masjidil Aqsa menuju Sidratul Muntaha (puncak spiritualitas) menunjukkan tanda perjalanan vertikal, perjalanan mendaki, lintas langit, lintas planet, lintas alam menuju sebuah puncak transendensi dan spiritualitas kehidupan. Di Sidratul Muntaha inilah Nabi SAW secara langsung bertemu, beraudiensi, berdialog, dan “bercengkrama” dengan Sang Kekasih-Nya, Allah SWT.

Menarik digarisbawahi, bahwa sebelum melakukan perjalanan vertikal, setelah keluar dari Masjidil Aqsa, Nabi SAW diuji “fit and proper test” oleh malaikat Jibril. Beliau disodori dua gelas, masing-masing berisi khamr (miras, Narkoba, dan sejenisnya) dan susu, lalu diminta memilih salah satu dari keduanya. Nabi SAW memilih gelas yang berisi susu. Jibril kemudian menyatakan: “Engkau memilih fitrah”. Artinya, Nabi SAW memilih kesucian, kesehatan, kebaikan, dan kemuliaan, karena susu itu simbol minuman terbaik untuk kesehatan, kebaikan dan kemuliaan perilaku peminumnya. Sebaliknya khamr merupakan lambang keburukan dan kejahatan. Dengan kata lain, sebelum mi’raj atau sebelum menemui Tuhan, manusia harus memilih fitrahnya sebagai makhluk yang cenderung menyukai kesucian, kebaikan, kesehatan, dan kemuliaan, bukan memilih kotoran (karena khamr itu najis), keburukan, dan kejahatan, sebab menurut sabda Nabi SAW: “Khamr itu biang kerok segala keburukan, kekejian, dan kejahatan” (HR ad-Daruqutni)

(3)

Dalam pertemuannya di Sidratul Muntaha, Nabi SAW mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk melaksanakan shalat lima waktu. Perintah shalat yang diterima langsung di Sidratul Muntaha itu menunjukkan betapa tinggi dan mulianya shalat, sehingga ia berfungsi sebagai tiang agama (HR at-Turmudzi, an-Nasa‟i, Ahmad, Baihaqi, Ibn Majah dan at-Thabarani). Di akhirat kelak, yang paling pertama diperhitungkan (dihisab) oleh Allah adalah shalat. Oleh karena itu, shalat menjadi barometer baik tidaknya kinerja Muslim. Jika shalat yang dikerjakannya baik (ikhlas, khusyuk, dan bermakna), niscaya semua kinerjanya baik. Sebaliknya jika shalatnya buruk, maka semua kinerjanya juga buruk (HR at-Turmudzi, an-Nasa‟i, Ibn Majah, Ahmad, dan at-Thabarani).

Shalat sebagai tiang agama („imaduddin) melambangkan bahwa keberislaman seseorang itu akan runtuh jika tidak menegakkan shalat. Oleh sebab itu, shalat harus efektif dan fungsional. Shalat yang efektif dan fungsional adalah shalat yang sukses mengantarkan mushalli (orang yang shalat) untuk menjauhkan diri dari perbuatan keji dan munkar (QS al-„Ankabut [29]: 45), termasuk korupsi dan prostitusi. Dengan demikian, puncak pendakian Muslim melalui shalat itu harus membuat hidup sukses dengan tidak melakukan perbuatan tercela, menjauhkan diri dari segala bentuk kemaksiatan, kejahatan kemanusiaan, dan kebobrokan moral.

Sebagai mi’raj al-mukmin, shalat idealnya merupakan simbolisasi peningkatan harkat dan martabat mushalli, sehingga ia tampil menjadi hamba yang selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan sebaliknya, menjadi orang yang mudah tergoda dengan tipu daya urusan duniawi. Jalan pendakian spiritual melalui shalat juga semestinya dapat memberi relaksasi dan stabilisasi ketenangan jiwa mushalli, sehingga melalui Isra’ Mi’raj ini sejatinya kita semua dididik untuk selalu menyucikan diri dengan menghiasi hati, pikiran, dan perbuatan dengan keluhuran moral, kecerdasan intelektual, kesalehan sosial, dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.

Sumber: Artikel ini pernah dimuat dalam kolom OPINI KORAN SINDO, 15 Mei 2015

Referensi

Dokumen terkait

Dari digambar diatas diketahui bahwa semua kabupaten telah memiliki data desa siaga, yang paling banyak memiliki desa siaga adalah Kabupaten Kotawaringin Timur yaitu 185

Rata-rata biaya operasional yang dikeluarkan nelayan purse seine besar di Juwana dalam satu trip penangkapan adalah Rp133.765.102.. Pada kapal purse seine sedang, rata-rata

Mata pelajaran Aqidah-Akhlak di Madrasah Ibtidaiyah berisi pelajaran yang dapat mengarahkan kepada pencapaian kemampuan dasar peserta didik untuk dapat memahami rukun iman

Permasalahan sungai ini bisa kita lihat pada apa yang terjadi pada kasus Sungai Bengawan Solo dan Kali Ciliwung, di mana permasalahan banjir terjadi akibat alih guna tata lahan

(2) Rencana Pola Ruang laut Pulau Raya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 45 digambarkan dalam peta rencana Pola Ruang laut dengan skala 1: 50.000 (satu

Dari bauran promosi diatas, perusahaan dapat menentukan alat- alat komunikasi pemasaran apa saja yang dapat dilakukan dalam mebentuk strategi yang sesuai dan paling

PenyiapanKelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Kegiatan penyiapan kelembagaan KPH bermaksud untuk menyediakan hasil kajian akademik dalam rangka pembentukan

Tindak kejahatan terorisme sesungguhnya dilakukan oleh sekelompok (sangat) minoritas orang yang menolak dan sekaligus tidak percaya pada sistem dan proses demokrasi