• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYUSUNAN KRITERIA DOMESTIKASI DAN EVALUASI PRAKTEK PENGASUHAN GAJAH DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENYUSUNAN KRITERIA DOMESTIKASI DAN EVALUASI PRAKTEK PENGASUHAN GAJAH DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS KABUPATEN LAMPUNG TIMUR"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

PENYUSUNAN KRITERIA DOMESTIKASI DAN EVALUASI

PRAKTEK PENGASUHAN GAJAH DI TAMAN NASIONAL

WAY KAMBAS KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

Oleh

PUTRI MEYTASARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEHUTANAN

pada

Jurusan Kehutanan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

PENGASUHAN GAJAH DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

Oleh

Putri Meytasari1), Samsul Bakri2)dan Susni Herwanti2) Email : Putrimeytasari@rocketmail.com

Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu satwa liar yang telah banyak didomestikasi, tetapi sejauh ini belum tersedia kriteria domestikasi dari kehidupan liar satwa ini. Untuk itu pada tahap pertama penelitian ini dilakukan penyusunan kriteria domestikasi. Hasil ini selanjutnya digunakan untuk melakukan evaluasi praktek pengasuhan gajah Sumatera jinak di Pusat Konservasi Gajah (PKG) dan di Elephant Respon Unit (ERU) Taman Nasional Way Kambas. Penelitian ini dimulai bulan April sampai dengan Mei 2013. Ada 17 variabel yang digunakan, masing-masing dikelaskan kedalam tiga katagori, yaitu Sesuai; Kurang Sesuai; dan Tidak Sesuai bagi lingkungan domestikasi gajah. Batas-batas nilai kagatori Sesuai ditetapkan melalui studi pustaka terhadap hasil-hasil riset, sedangkan katagori Kurang Seusai disimpangkan (diturunkan ataupun dinaikan) sebesar 25% dari batas-batas katagoriSesuai, selanjutnya disimpangkan lagi sebesar 25% untuk katagori Tidak Sesuai. Validasi terhadap ketiga katagori dilakukan dengan menggunakan Metode Delphi kepada para pemerhati gajah sebagai validator. Hasil penelitian ini adalah (1) Telah diperoleh susunan kriteria yang dapat digunakan sebagai rubrik penilaian dalam domestikasi gajah Sumatera yang dipandang valid oleh para pemerhati gajah, dan (2) Praktek pengasuhan gajah jinak di PKG dan ERU secara agregat dapat dipandang Sesuai, kecuali untuk variabel populasi berkelompok,home rangedan naungan bagi gajah.

Kata kunci : Kriteria domestikasi, gajah Sumatera, dan praktek pengasuhan gajah.

(3)
(4)
(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Kerangka Pemikiran ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) ... 8

1. Habitat Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) ... 9

2. Persyaratan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) untuk Hidup di Alam ... 10

3. Prilaku Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) ... 12

4. Reproduksi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) ... 16

B. Domestikasi Satwa Liar ... 16

C. Pengelolaan Gajah Jinak ... 17

(6)

III. METODE PENELITIAN ... 21

B. Gambaran Umum Pusat Konservasi Gajah (PKG) dan Elephant Respon Unit (ERU) ... 30

A. Kriteria Syarat-syarat Lingkungan untuk Domestikasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) ... 40

(7)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

A. Kesimpulan ... 50

B. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu kekayaan fauna Indonesia yang termasuk satwa langka dan dikhawatirkan akan punah. Satwa ini telah dilindungi sejak 1931 menggunakan Ordonansi Perlindungan Binatang Liar Nomor 134 dan 226 dan diperkuat SK Menteri Pertanian RI No. 234/Kpts/Um/1972 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Sementara itu CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) menggolongkan gajah dalam daftar Appendix 1 yang merupakan satwa liar yang tidak boleh diperdagangkan secara international baik gading maupun bagian tubuh lainnya (CITES, 2000).

(9)

wisata seperti di kebun binatang, taman safari, taman marga satwa maupun taman nasional tidak terkecuali di Taman Nasional Way Kambas (TNWK).

Gajah Sumatera yang berada di Pusat Konservasi Gajah (PKG) atau pun Elephant Respon Unit (ERU) adalah hasil domestikasi dari TNWK sejak tahun 1985 saat berdirinya PKG. Program domestikasi satwa liar khususnya gajah dapat digunakan tujuan ganda, yaitu selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (orientasi sosial ekonomi, budaya, rekreasi) juga sekaligus untuk menopong kelestarian spesies tersebut (Alikodra, 2010). Gajah jinak hasil domestikasi kemudian mendapat pengasuhan dari mahout, orang yang bertugas untuk merawat dan melatih gajah.

Salah satu aktivitas TNWK antara lain melakukan pembinaan anak gajah, yaitu anak-anak gajah yang berasal dari gajah domestikasi tetap jinak sedangkan yang berasal dari gajah liar turut menjadi jinak. Gajah liar yang menjadi pelaku pengrusakan lahan pertanian masyarakat dapat diminimalisir jumlahnya dengan gajah jinak dan gajah jinak juga dapat dimanfaatkan sebagai penunjang ekowisata di PKG maupun ERU (Firqan, 2012).

(10)

memadai, Selain itu gajah seharusnya mendapat pengobatan dan pemeriksaan kesehatan minimal tiga sampai empat kali setahun, agar terhindar dari penyakit kecacingaan atau pun penyakit parasit lainnya. Sebaiknya general check up juga dilakukan dengan frekuensi tersebut. Namun karena keterbatasan dana, pemeriksaan dan pemberian obat serta pemberian pakan tambahan sulit dilakukan (Nababan, 2007).

Menurut pendapat Stremme (2007) diatas didukung juga oleh Shoshani dan Eisenberg (1982), persyaratan minimal lingkungan hidup bagi gajah Sumatera untuk hidup di alam meliputi: naungan yang berfungsi untuk menstabilkan suhu tubuhnya agar sesuai dengan lingkungannya. Selain itu, gajah membutuhkan makanan yang terdiri dari bagian-bagian tumbuhan hijau yang cukup di habitatnya sebagai makanan pelengkap dalam memenuhi kebutuhan mineral kalsium. Gajah juga memerlukan asupan nutrisi air dan garam mineral seperti: kalsium, magnesium dan kalium. Gajah membutuhkan ruang atau wilayah jelajah (home range) yang luas serta memerlukan keamanan dan kenyamanan agar prilaku kawin (breeding) tidak terganggu.

(11)

domestikasi gajah. Batas-batas nilai kagatori Sesuai ditetapkan melalui studi pustaka terhadap hasil-hasil riset. Sedangkan katagori Kurang Seusai disimpangkan (diturunkan ataupun dinaikan) sebesar 25% dari batas-batas katagori Sesuai, selanjutnya disimpangkan lagi sebesar 25% untuk katagori Tidak Sesuai. Hasil penelitian ini diharapklan dapat menjadi acuan dalam praktek pengasuhan gajah jinak dilingkungan domestikasi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalahnya: Perlu di lakukan penelitian ini untuk menyediakan kriteria persyaratan bagi upaya domestikasi gajah yang selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman evaluasi praktek pengasuhan gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Taman Nasional Way Kambas.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menyusun kriteria penilaian syarat-syarat lingkungan untuk domestikasi gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus).

(12)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini yaitu:

1. Sebagai pedoman dalam melakukan domestikasi gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus).

2. Sebagai pedoman dalam evaluasi praktek pengasuhan gajah Sumatera(Elephas maximus sumatranus) dan hasil penelitan ini dapat digunakan sebagai bahan masukkan dan pertimbangan dalam pengembangan dalam praktek pengasuhan gajah jinak.

E. Kerangka Pemikiran

Penyusunan kriteria syarat-syarat lingkungan untuk domestikasi gajah Sumatera dilakukan dengan mencari sumber pustaka yang berkaitan dengan pengasuhan dan syarat-syarat kebutuhan alami gajah Sumatera. Dari hasil studi pustaka yang telah didapat, maka akan dimasukkan ke dalam tabel kriteria sementara. Kriteria sementara yang sudah disusun dalam tabel atau rubrik akan divalidasi oleh pemerhati gajah.

(13)

final. Apabila kriteria final yang sudah tervalidasi oleh para pemerhati gajah dipandang sudah cukup handal, maka dapat dimanfaatkan sebagai pedoman domestikasi dalam pengasuhan gajah yang bisa diterapkan di lembaga domestikasi gajah lainnya selain di TNWK.

(14)

Gambar 1. Bagan kerangka penelitian.

Data lapangan

Penyusunan kriteria pengasuhan gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di lingkungan domestikasi

Pengecekan praktek pengasuhan gajah jinak di

TNWK (data sekunder) Studi pustaka

Validasi pemerhati gajah (Metode Delphi, (Syafruddin, 2010)

Kriteria sementara

Evaluasi praktek pengasuhan gajah jinak di TNWK (PKG dan ERU)

Kriteria pengasuhan gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di

lingkungan domestikasi final

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

Gajah Sumatera (Elephant maximus sumatranus)

Gajah Sumatera merupakan sub spesies dari Gajah Asia ( Elephas maximus) yang diperkenalkan Temminck dengan nama ilmiah Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847. Taksonomi gajah Sumatera, yaitu :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Class : Mammalia Order : Proboscidea Family : Elephantidae Genus : Elephas

Species : Elephas maximus Linnaeus, 1758

Sub species : Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847

(16)

yaitu oleh induk betina yang paling besar. Dalam kawanan ini senantiasa terdapat disiplin ketat dan jenjang kepemimpinan.

Seekor gajah menghabiskan 225 kg makanan per hari. Sekawanan gajah beranggotakan 30 ekor menghabiskan sekitar 7.000 kg makanan per harinya. Bagi hewan sebesar ini, hidup di bawah sengatan terik matahari adalah ancaman serius. Untuk menghindari rasa haus, mereka harus mencari sumber air setiap hari. Gajah sanggup berjalan sejauh 50 km tanpa isitirahat, berkelana selama 3 hari tanpa air. Tubuh gajah telah diciptakan dengan sangat sempurna dan dengan mempertimbangkan berbagai perhitungan yang sangat cermat agar mereka dapat bertahan dalam lingkungan mereka (Adam, 2011).

1. Habitat Gajah Sumatera (Elephant maximus sumatranus)

Habitat gajah Sumatera telah ditetapkan sebagai kawasan perlindungan, dan gajah sumatera sebagai satwa yang dilindungi, namun demikian tidak menjamin akan kelestarian gajah tersebut, menurunnya kualitas dan berkurangnya luas habitat gajah oleh karena rusaknya daerah aliran sungai, vegetasi hutan khususnya pohon-pohon peneduh dan sumber pakan menyebabkan daya dukung habitat menjadi kecil. Terpecahnya populasi gajah menjadi sub-sub populasi kecil-kecil yang satu sama lain tidak terjadi komunikasi, menyebabkan keberadaan populasi minimum gajah tidak dapat dipenuhi sehingga kelestarian satwa gajah pada masa yang akan tidak dapat dijamin (Syarifuddin, 2008).

(17)

kecenderungan gajah untuk keluar dari habitat alaminya. Konflik dengan pengguna lahan lain tidak terelakkan. Persaingan yang tinggi diantara anggota kelompok gajah dalam penggunaan ruang dan makanan, mempercepat penurunan populasi gajah. Penjagaan yang kurang intensif terhadap wildlife corridor ini akan berakibat terganggunya proses penyebaran satwa liar untuk melakukan migrasi dari suatu tempat ke tempat lainnya (menuju habitat aslinya), oleh karena itu pengelolaan tersebut sangat penting untuk keberlangsungan hidup satwa dan kelestarian lingkungan (Syarifuddin, 2008).

Konversi hutan untuk areal perkebunan dan transmigrasi juga menjadi awal tekanan-tekanan terhadap habitat gajah. Selain itu produksi kayu utama di Sumatera berasal dari hutan alam dengan jenis andalan adalah famili Dipterocarpaceae. Namun pembalakan (logging) yang dilakukan sering tidak memenuhi prosedur yang berlaku bahkan melebihi target panen, sehingga banyak areal bekas tebangan yang rusak. Menurut Alikodra (1997b) bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan atau kerusakan habitat, yaitu: karena bencana alam, kegiatan manusia yaitu eksploitasi hutan (Syarifuddin, 2008).

2. Persyaratan Gajah Sumatera untuk Hidup di Alam

Beberapa persyaratan gajah sumatera agar dapat hidup bertahan di alam antara lain sebagai berikut (Shoshani dan Eisenberg, 1982):

a. Naungan

(18)

tubuhnya agar sesuai dengan lingkungannya. Tempat yang sering dipakai sebagai naungan dan istirahat pada siang hari adalah vegetasi hutan yang lebat (Shoshani dan Eisenberg, 1982).

b. Makanan

Gajah Sumatera termasuk satwa herbivora sehingga membutuhkan ketersediaan makanan hijauan yang cukup di habitatnya. Gajah juga membutuhkan habitat yang bervegetasi pohon untuk makanan pelengkap dalam memenuhi kebutuhan mineral kalsium guna memperkuat tulang, gigi, dan gading. Karena pencernaannya yang kurang sempurna, gajah membutuhkan makanan yang sangat banyak yaitu 200--300 kg biomassa per hari untuk setiap ekor gajah dewasa atau 5--10% dari berat badannya (Shoshani dan Eisenberg, 1982).

c. Air

Gajah termasuk satwa yang sangat bergantung pada air sehingga sore hari biasanya mencari sumber air untuk minum, mandi, dan berkubang. Seekor gajah Sumatera membutuhkan air minum sebanyak 20--50 liter/hari. Ketika sumber-sumber air mengalami kekeringan, gajah dapat melakukan penggalian air sedalam 50--100 cm di dasar-dasar sungai yang kering dengan menggunakan kaki depan dan belalainya (Shoshani dan Eisenberg, 1982).

d. Garam Mineral

(19)

dan gadingnya, dan makan pada saat hari hujan atau setelah hujan (Shoshani dan Eisenberg, 1982).

e. Ruang atau Wilayah Jelajah (Home Range)

Gajah merupakan mamalia darat paling besar hidup pada zaman ini, sehingga membutuhkan wilayah jelajah yang sangat luas. Ukuran wilayah jelajah gajah asia bevariasi antara 32,4-166,9 km². Wilayah jelajah unit-unit kelompok gajah di hutan-hutan primer mempunyai ukuran dua kali lebih besar dibanding dengan wilayah jelajah di hutan-hutan sekunder.

f. Keamanan dan Kenyamanan

Gajah membutuhkan kondisi yang aman dan nyaman agar perilaku kawin (breeding) tidak terganggu. Gajah adalah hewan yang sangat peka terhadap suara. Oleh karena itu, penebangan hutan yang dilakukan oleh perusahaan HPH diperkirakan telah mengganggu keamanan dan kenyamanan gajah karena aktivitas pengusahaan dengan intensitas yang tinggi dan penggunaan alat-alat berat di dalamnya (Shoshani dan Eisenberg, 1982).

3. Perilaku Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) a. Perilaku Sosial

1. Hidup berkelompok

(20)

ekor. Setiap kelompok dipimpin oleh induk betina yang paling besar, sementara yang jantan dewasa hanya tinggal pada periode tertentu untuk kawin dengan beberapa betina pada kelompok tersebut. Gajah yang sudah tua akan hidup menyendiri karena tidak mampu lagi mengikuti kelompoknya. Gajah jantan muda dan sudah beranjak dewasa dipaksa meninggalkan kelompoknya atau pergi dengan suka rela untuk bergabung dengan kelompok jantan lain. Sementara itu, gajah betina muda tetap menjadi anggota kelompok dan bertindak sebagai bibi pengasuh pada kelompok ‘taman kanak−kanak’ atau kindergartens (Shoshani dan Eisenberg, 1982).

2. Menjelajah

Secara alami gajah melakukan penjelajahan dengan berkelompok mengikuti jalur tertentu yang tetap dalam satu tahun penjelajahan. Jarak jelajah gajah bisa mencapai 7 km dalam satu malam, bahkan pada musim kering atau musim buah-buahan di hutan mampu mencapai 15 km per hari (WWF). Kecepatan gajah berjalan dan berlari di hutan (untuk jarak pendek) dan di rawa melebihi kecepatan manusia di medan yang sama. Gajah juga mampu berenang menyeberangi sungai

yang dalam dengan menggunakan belalainya sebagai ‘snorkel’ atau pipa

pernapasan.

(21)

gajah yang sedang mencari makanan dalam jarak jauh dan saling tidak melihat satu sama lain (Shoshani dan Eisenberg, 1982).

3. Kawin

Gajah tidak mempunyai musim kawin yang tetap dan bisa melakukan kawin sepanjang tahun, namun biasanya frekuensinya mencapai puncak bersamaan dengan masa puncak musim hujan di daerah tersebut. Gajah jantan sering berperilaku mengamuk atau kegilaan yang sering disebut dengan musht dengan tanda adanya sekresi kelenjar temporal yang meleleh di pipi, antara mata dan telinga, dengan warna hitam dan berbau merangsang. Perilaku ini terjadi 3--5 bulan sekali selama 1--4 minggu. Perilaku ini sering dihubungkan dengan musim birahi, walaupun belum ada bukti penunjang yang kuat (Shoshani dan Eisenberg, 1982).

b. Perilaku Individu 1. Makan

Gajah merupakan mamalia terestrial yang aktif baik di siang maupun malam hari. Namun, sebagian besar dari mereka aktif dari 2 jam sebelum petang sampai 2 jam setelah fajar untuk mencari makan. Gajah sering mencari makan sambil berjalan di malam hari selama 16--18 jam setiap hari. Gajah bukan satwa yang hemat terhadap pakan sehingga cenderung meninggalkan banyak sisa makanan bila masih terdapat makanan yang lebih baik (Shoshani dan Eisenberg, 1982).

2. Minum

(22)

Gajah mampu menghisap mencapai 9 liter air dalam satu kali hisap (Shoshani dan Eisenberg, 1982).

3. Berkubang

Gajah sering berkubang di lumpur pada waktu siang atau sore hari di saat sambil mencari minum. Perilaku berkubang juga penting untuk melindungi kulit gajah dari gigitan serangga ektoparasit, selain untuk mendinginkan tubuhnya (Shoshani dan Eisenberg, 1982).

4. Mencari sumber garam

Gajah mencari garam dengan menjilat-jilat benda atau apapun yang mengandung garam dengan belalainya. Gajah juga sering melukai bagian tubuhnya agar dapat menjilat darahnya yang mengandung garam (Shoshani dan Eisenberg, 1982).

5. Beristirahat

Gajah tidur dua kali sehari yaitu pada tengah malam dan siang hari. Pada malam hari, gajah sering tidur dengan merebahkan diri kesamping tubuhnya, memakai

‘bantal’ terbuat dari tumpukan rumput dan kalau sudah sangat lelah terdengar pula

(23)

4. Reproduksi Gajah Sumatera (Elephant maximus sumatranus)

Gajah dapat berumur hingga 70 tahun dengan kondisi dipelihara. Selama hidupnya gajah jantan tidak terikat pada satu ekor pasangannya. Gajah betina siap bereproduksi setelah berumur 8--10 tahun. Sementara gajah jantan setelah beumur 12--15 tahun. Gajah betina mempunyai masa reproduksi 4 tahun sekali dengan lama kehamilan 19--21 bulan dan hanya melahirkan 1 ekor anak dengan berat badan lebih kurang 90 kg. Seekor anak gajah akan menyusu selama 2 tahun dan hidup dalam pengasuhan selama 3 tahun (Shoshani dan Eisenberg, 1982).

B.

Domestikasi Satwa Liar

Domestikasi satwa liar adalah urutan proses pembentukan jenis (speciatio) dalam suatu populasi yang semakin lama semakin dapat menyesuaikan dengan keadaan tidak liar, melalui mekanisme-mekanisme genetika populasi dalam mendekati/mencapai tuntutan kebutuhan manusia (Helvoort, 1986). Program domestikasi satwa liar mempunyai tujuan ganda, yaitu disamping untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (orientasi sosial, ekonomi, budaya dan rekreasi) juga bertujuan untuk menjamin kelestarian spesies. Kaidah-kaidah ekologi seperti biogeografi fauna perlu dipertahankan dalam mengembangkan domestikasi satwa liar. Disamping itu pandangan kebanyakan manusia yang sangat sempit terhadap satwa liar perlu diperluas, yaitu disamping melihat segi manfaatnya secara langsung juga harus dipahami, bahwa satwa liar mempunyai manfaat yang sangat penting bagi keseimbangan lingkungan (Alikodra, 2010).

(24)

alam, sebagai objek yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai sasaran pengembangan yaitu meningkatkan kuantitas dan kualitas komoditi domestik, sehingga perlu dilakukan suatu proses domestikasi terhadap objek satwaliar (Alikodra, 2010).

C.

Pengelolaan Gajah Jinak

Departemen Kehutanan (2007) menyebutkan bahwa gajah jinak memiliki sejarah yang panjang dan merupakan suatu permasalahan yang penting bagi konservasi gajah di Indonesia. Gajah jinak di Indonesia mulai dikelola pada tahun 1980-an, pada saat Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) melakukan penangkapan gajah liar untuk mengurangi konflik gajah dengan manusia.

Konsep pengelolaan gajah oleh pemerintah Indonesia pada saat itu adalah Tiga Liman, yaitu: Bina Liman, Tata Liman dan Guna Liman. Pengelolaan gajah dengan konsep tersebut kemudian direvisi oleh pemerintah Indonesia karena dianggap tidak berkesinambungan dan dapat mempengaruhi kelestarian gajah di habitat aslinya. Pemerintah Indonesia kemudian mencoba mengembangkan pengelolaan gajah jinak dengan pendekatan baru yang inovatif dan berusaha untuk tidak menangkap gajah liar di alam sebagai salah satu upaya penanggulangan konflik (Departemen Kehutanan, 2007).

(25)

manajemen yang sudah ada. Beberapa hal yang telah dilakukan pemerintah dengan mitranya dalam pengelolaan gajah jinak di Indonesia, yaitu:

1. Mitigasi konflik gajah-manusia

Gajah jinak digunakan untuk menangani konflik gajah-manusia di daerah daerah yang sering mengalami konflik. Gajah jinak digunakan untuk menggiring gajah liar kembali ke habitatnya.

2. Registrasi

Kegiatan registrasi gajah jinak dilakukan dengan menggunakan microchip. Hingga saat ini proses registrasi telah dilakukan terhadap disebagian besar populasi gajah jinak di Sumatera. Diperkirakan sekitar 174 ekor (36%) dari seluruh gajah yang ada di PLG sudah diregistrasi.

3. Penelitian ekologi

Kegiatan penelitian ekologi gajah telah dilakukan untuk mengetahui jenis pakan gajah di alam serta untuk mengetahui hubungan kandungan nutrisi pakan dan perilaku pakan.

4. Kegiatan konservasi

Gajah jinak telah digunakan untuk berbagai kegiatan konservasi termasuk patroli, perlindungan habitat, monitoring dan survey satwa liar lain.

5. Pendidikan konservasi

(26)

6. Ekoturisme

Kegiatan ekoturisme adalah kegiatan yang paling banyak dilakukan di hampir semua PKG dan diharapkan dapat membantu pengelolaan PKG secara mandiri.

D.

Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Sebagai Tempat Domestikasi Gajah

Taman Nasional Way Kambas merupakan salah satu di antara sekian kawasan konservasi yang menjadi tonggak penyangga kehidupan manusia. Keunikan dan kekhasan ekosistemnya merupakan fenomena alam yang penting untuk dikonservasi. Kawasan ini ditetapkan menjadi taman nasional melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 6 7 0 /Kpts-II/1999 tanggal 26 Agustus 1999, kawasan TNWK mempunyai luas lebih kurang 125.631,31 Ha (Renstra, 2010).

Di dalam kawasan TNWK terdapat PKG dengan areal seluas 400 ha yang dioprasikan mulai tanggal 27 Agustus 1985. Pembangunan PKG merupakan salah satu pengelolaan TNWK dalam konservasi gajah Sumatera, selain itu TNWK juga memiliki ERU yang berada di SPTN Wilayah II Way Bungur yang di oprasikan untuk penanggulan konfik gajah liar di sekitar kawasan TNWK. Pusat konservasi gajah memiliki 62 ekor gajah Sumatera jinak. Konservasi gajah Sumateradi Pusat Konservasi Gajah menyangkut tiga sasaran sebagai berikut:

1. Perlindungan gajah Sumatera

(27)

2. Pelestarian gajah Sumatera

Pelestarian merupakan upaya mempertahankan keberadaan gajah Sumatera, seperti: pemberian pakan drop in, penggembalaan, penyediaan air, perawatan medis, dan lain-lain.

3. Pemanfaatan gajah Sumatera

Pemanfaatan merupakan upaya mengambil potensi gajah Sumatera secara berkelanjutan yang karena keunikannya mempunyai daya tarik (Ribai, 2011). Elephant Respon Unit (ERU) berdiri pada tahun 2011 dengan latar belakang berdirinya untuk penanggulangan konfik gajah liar disekitar kawasan TNWK. ERU memiliki 2 ekor gajah jinak yang berasal dari PKG TNWK. Konsep konservasi ERU ini sebagai latar belakang filosofi pendirian organisasi ini telah mendapatkan berbagai apresiasi dari berbagai komunitas konservasi gajah baik secara nasional maupun internsional. Model yang telah dibuat ERU merupakan salah satu metode yang menghasilkan ikatan yang kuat antara konservasi gajah secara insitu dan eksitu.

Ruang lingkup kegiatan ERU antara lain:

1. Peningkatan kapasitas sarana bagi masyarakat, staf dan lembaga terkait. 2. Patroli hutan dan pengawasan juga penegakan hukum.

(28)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Konservasi Gajah (PKG) dan Elephant Respon Unit (ERU) Taman Nasional Way Kambas Lampung Timur pada bulan April sampai dengan Mei 2013.

B. Alat dan Obyek

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, komputer, kamera, peta lokasi dan kuesioner. Obyek dalam penelitian ini adalah praktek pengasuhan gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) PKG dan ERU di Taman Nasional Way Kambas.

C. Batasan Penelitian

Adapun yang menjadi batasan dalam penelitian ini adalah:

1. Domestikasi satwa liar adalah urutan proses pembentukan jenis dalam suatu populasi yang semakin lama semakin disesuaikan dengan kehidupan

tidak liar agar bisa berdampingan dengan manusia.

(29)

3. PKG dan ERU adalah tempat gajah liar dilatih dan dirawat sesuai dengan standar yang ditentukan.

4. Unit Pengasuhan gajah Sumatera di Taman Nasional Way Kambas adalah kesatuan pengasuhan gajah yang terdiri dari:

a. Unit Pengelola PKG di TNWK adalah kesatuan pengelolaan yang terdiri dari kepala pengelola PKG, bendahara PKG, sekertaris PKG.

b. Unit pengelola ERU adalah kepala koordinator ERU.

c. Mahout adalah orang yang bertugas untuk merawat dan melatih gajah, serta melakukan mitigasi konflik manusia dan gajah.

d. Dokter hewan adalah orang yang bertugas untuk memeriksa gajah secara medis.

D. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.

1. Data primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan atau dari sumber data yaitu unit pengasuhan gajah jinak di TNWK. Data primer ini diperoleh dengan cara observasi lapangan dan pengisian kuesioner dengan wawancara terhadap responden.

a. Data primer yang akan dikumpulkan dengan pengisian kuesioner atau wawancara antara lain:

(30)

2) Data domestikasi pengasuhan gajah meliputi: jumlah gajah, umur, pemeliharaan gajah, kemampuan dan kapasitas pengasuhan, aktifitas gajah.

b. Observasi yaitu pengamatan secara langsung terhadap objek yang diteliti pada wilayah pengasuhan untuk mengetahui praktek pengasuhan gajah yang dilakukan di PKG dan ERU di TNWK.

2. Data sekunder

Data sekunder merupakan data penunjang penelitian yang telah diperoleh melalui studi kepustakaan ataupun sumber-sumber terkait.

Data sekunder yang dikumpulkan meliputi:

a. Studi pustaka tentang gajah Sumatera, domestikasi satwa liar dan pengasuhan gajah.

b. Gambaran umum PKG, ERU dan pengasuhan gajah yang dilakukan oleh PKG.

E. Metode Pengambilan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Data primer

(31)

2. Data sekunder

a. Metode penyusunan kriteria

Data yang dikumpulkan dari berbagai studi pustaka dengan cara mencari, mengumpulkan, dan menganalisis data penunjang yang terdapat dalam dokumen resmi seperti buku-buku, skripsi, dan literatur lainnya yang dipakai sebagai bahan referensi. Data kemudian ditabulasikan kedalam bentuk tabel atau rubrik kriteria pengasuhan gajah di lingkungan domestikasi. Ada 17 variabel yang digunakan, masing-masing dikelaskan kedalam tiga katagori, yaitu Sesuai; Kurang Sesuai; dan Tidak Sesuai bagi lingkungan domestikasi gajah. Batas-batas nilai kagatori Sesuai ditetapkan melalui studi pustaka terhadap hasil-hasil riset. Sedangkan katagori Kurang Seusai disimpangkan (diturunkan ataupun dinaikan) sebesar 25% dari batas-batas katagori Sesuai, selanjutnya disimpangkan lagi sebesar 25% untuk katagori Tidak Sesuai.

Keadaan variabel kriteria pengasuhan gajah dilingkungan domestikasi yang sesuai ini dapat disetarakan dengan nilai 100 seperti yang umum yang digunakan dalam dunia pendidikan atau A. Jika kisaran nilai tersebut didevisiasikan dari nilai sesuai itu sebesar 25% disebut kategori kurang sesuai atau setara dengan nilai 75 atau B, Selanjutnya untuk menentukan kisaran tidak sesuai dengan didevisiasikan lagi sebesar 25%. Validasi terhadap ketiga kategori dilakukan dengan mengunakan metode delphi kepada para pemerhati gajah sebagai validator.

b. Validasi kriteria pengasuhan gajah dilingkungan domestikasi

(32)

memperoleh tanggapan tertulis dari beberapa individu. Ini dimaksudkan untuk mengumpulkan pendapat dari sejumlah individu dalam rangka meningkatkan mutu pengambilan keputusan. Delphi tidak memerlukan pertemuan langsung (Face to face), bagaimanapun juga, ini bermanfaat untuk melibatkan para ahli, pengguna-pengguna, pengontrol sumber daya, atau pengurus yang tidak bisa datang bersama-sama. Delphi, memperbolehkan orang tanpa menggunakan nama tetapi, mencegah dominasi oleh individu tertentu (Syafruddin, 2010). Dalam penelitian ini metode delphi digunakan untuk memvalidasi tabel kriteria pengasuhan gajah di lingkungan domestikasi yang disusun dari beberapa studi pustaka. Setelah dilakukannya validasi dari pemerhati gajah maka tabel bisa digunakan untuk evaluasi pengasuhan gajah di PKG dan ERU.

c. Gambaran Umum Taman Nasional Way Kambas

Data diperoleh dengan mengumpulkan dokumen dari arsip instansi yang berada di wilayah penelitian dan studi pustaka.

F. Pengambilan Sampel

Penelitian ini dilakukan di TNWK tepatnya di PKG dan di ERU. Lokasi ini dipilih karena tempat ini merupakan salah satu wilayah yang mendomestikasi dan melakukan pengasuhan spesies gajah Sumatera di provinsi Lampung.

(33)

pencapaian tujuan penelitian. Dalam penentuan sampel dipilih satu atau dua orang yang merupakan tokoh kunci dalam penelitian, apabila dengan dua orang tersebut informasi yang diperoleh belum lengkap maka peneliti mencari orang lain yang dipandang lebih mengetahui dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua orang sebelumnya begitu seterusnya sampai data menjadi lebih lengkap. Dalam metode snowball sampling ini informan yang dipilih sebaiknya informan yang bisa memberikan informasi tentang apa yang dibutuhkan peneliti. Penentuan unit sampel dianggap cukup apabila telah sampai pada titik jenuh atau tidak memperoleh data baru (Sugiyono, 2009).

G. Analisis Data

1. Kriteria syarat-syarat lingkungan domestikasi gajah

Data yang diperoleh dari berbagai studi pustaka digunakan untuk menyusun kriteria pengasuhan gajah Sumatera di lingkungan domestikasi. Kriteria yang sudah ada kemudian divalidasi oleh pemerhati gajah agar dapat diterapkan untuk evaluasi pengasuhan gajah di PKG danERU.

2. Evaluasi praktek pengasuhan gajah jinak

(34)

sebanyak 17 (tujuh belas) pertanyaan pengasuhan gajah jinak di lingkungan domestikasi.

Analisis hasil yang dilakukan dalam pengolahan data dibagi dalam tiga katagori yaitu sesuai, kurang sesuai dan tidak sesuai. Berdasarkan Nasution (2012), penghimpunan skor dapat dilakukan dengan menggunakan skala Linkert. Skala Linkert adalah suatu skala psikometrik yang digunakan dalam kuesioner dan merupakan skala yang paling banyak digunakan dalam pengukuran prilaku. Skala ini terdiri dari pertanyaan dengan jawaban sesuai, kurang sesuai dan tidak sesuai. Penentuan skor dari pertanyaan pada kuesioner akan digunakan bobot nilai: a. Jawaban dengan kategori sesuai diberi nilai tiga.

b. Jawaban dengan kategori kurang sesuai diberi nilai dua. c. Jawaban dengan kategori tidak sesuai diberi nilai satu.

Penentuan kategori digunakan interval kelas dengan rumus sebagai berikut (Yitnosumarto, 1994) :

I = X1-X2

K

Keterangan : I = interval

X1 = nilai pengamatan tertinggi

X2 = nilai pengamatan terendah

K = jumlah kategori

(35)

tertinggi 51 dan skor terendah 17. Parameter dalam pengasuhan gajah Sumatera yaitu:

a. Kategori sesuai : skor 40 – 51 b. Kategori kurang sesuai : skor 29 – 39 c. Kategori tidak sesuai : skor 17 – 28

(36)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Telah diperoleh susunan kriteria yang dapat digunakan sebagai rubrik penilaian dalam domestikasi gajah Sumatera yang dipandang valid oleh para pemerhati gajah, meliputi variabel: Populasi berkelompok, home range, makan, air, naungan, berkubang, istirahat, penggembalaan gajah, pakan tambahan, gajah mandi, pemeriksaan secara medis, pemeriksaan sampel darah, perawatan gajah sakit, perawatan gajah birahi, penangganan gajah betina hamil, perawatan anak gajah dan peralatan mahout.

2. Praktek pengasuhan Pusat Konservasi Gajah (PKG) menunjukkan hasil yang sesuai dengan (skor 43). Ada beberapa variabel yang kurang sesuai yaitu waktu istirahat dan peralatan mahout. Populasi berkelompok, home range dan naungan termasuk kedalam kategori tidak sesuai.

(37)

B. Saran

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Asiah, dan T. Japisa. 2012. Karakteristik habitat gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di kawasan ekosistem seulawah kabupaten Aceh besar. Jurnal Ilmiah Pendidikan Biologi. Biologi Edukasi 4(1): 41--45.

Adam. 2011. Gajah dan Faktanya. Diakses tanggal 10 November 2012. Pukul 19:00 WIB. Sumber.http://www.ad4msan.com/2011/05/gajah-dan-faktanya. html.

Alikodra, H.S. 2002. Pengelolaan Satwa Liar jilid 1. Penerbit IPB Press, Bogor.

. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa Liar dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Penerbit IPB Press, Bogor.

Balai Taman Nasional Way Kambas. 2011. Rencana Strategis Tahun 2011. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Lampung Timur.

CITES. 2000. Appendix 1, as adopted by the conference of the parties. Diakses 15 November 2013. Pukul 15.30 WIB. Sumber http://www. cites.org/eng/ append/ III. html.

Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan 2007-2017. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan. Jakarta. Firqan, I. 2012. Melirik peran dan daya guna taman konservasi Lampung.

Diakses: 23 November 2012. Pukul 11:05 WIB. Sumber. http:// astacala. org/wp/2012/03/melirik-peran-dan-daya-guna-taman-konservasi-gajah-di-lampung/.

(39)

Musabine, E.S. 2013. Malnutrisi pada gajah sumatera (spending my time on this weekend to treat elephant). Diakses 29 juni 2013. Pukul 15:15 WIB. Sumber. http://ernisuyanti medic konservasi./2013/05/spending-my-time-on-this-weekend-to. html.

Nababan, H. 2007. Mengawal Lingkungan Lampung (2-Habis): Senthong, Buruknya Nasib Gajah (Kompas, 28 Maret 2007). Diakses. 2 Desember 2012. Pukul. 01:13 WIB. Sumber. http:// ulunlampung .blogspot.com /2007/03/ mengawal lingkungan lampung 2 habis. html.

Nasution, S. 2012. Metode Research (Penelitian Ilmah). Bumi Aksara. Jakarta. Ribai. 2011. Studi perilaku makan alami gajah sumatera (Elephas maximus

sumatranus) di Pusat Konservasi Gajah Taman Nasional Way Kambas Lampung Timur (skripsi). Lampung. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Kehutanan, Universitas Lampung.

Shoshani, J. dan J. F Eisenberg, 1982. Elephas Maximus. The American Society of Mammalogists.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. alfabeta. Bandung.

Syafruddin. 2010. Teknik Delphi dalam Penelitian. Diakses 15 April 2013. Pukul 22:30 WIB. Sumber.

http://teomokole.blogspot.com/2010/10/teknik-delphi-Syarifuddin, H. 2008. Analisis daya dukung habitat dan permodelan dinamika populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) studi kasus di kawasan seblat kabupaten Bengkulu Utara. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wahdan. 2010. Strategi Konservasi Gajah Sumatera. Diakses 2 November 2012. Pukul 22:30 WIB. Sumber. http://lingkarhayati. wordpress. Com /2010/03/28/ strategi-konservasi-gajah-sumatera-e-maximus-sumatranus/. World Wildlife Found. 2005. Mengenal gajah Sumatera. Diakses 15 November

2013. Pukul 19.00 WIB. Sumber http://www.wwf.or.id/?5484/Mengenal-Gajah-Sumatra.

(40)

Lampiran 1. Tabel Data umur gajah 2013 di Pusat Kosnservasi Gajah di TNWK

Tabel 1. Data umur gajah 2013 di Pusat Kosnservasi Gajah di TNWK

No. Nama Sex Umur Lokasi Tanggal Nama Perawat Ket

(Thn) Penangkapan Di Tangkap Di latih

(41)
(42)

Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian di TNWK.

Gambar 1. Presentasi proposal penelitian di Balai Taman Nasional Way Kambas (gambar diambil tahun 2013).

Gambar 2. Diskusi bersama pihak pengelola Pusat Konservasi Gajah (PKG) (gambar diambil tahun 2013).

(43)

TNWK (gambar diambil tahun 2013).

Gambar 4. Wawancara dengan kepala di Diklat sekaligus mahout di PKG (gambar diambil tahun 2013).

Gambar 5. Wawancara dengan mahout di PKG (gambar diambil tahun 2013).

(44)

Gambar 8. Gajah jinak makan dan minum di PKG (gambar diambil tahun 2013).

Gambar 9. Kondisi tutupan lahan dan tempat penggembalaan gajah jinak di PKG (gambar diambil tahun 2013).

(45)

Gambar 11. Gajah jinak berkubang dan mandi di PKG (gambar diambil tahun 2013).

Gambar 12. Kandang gajah jinak (tempat istirahat) di PKG (gambar diambil tahun 2013).

(46)

Gambar 14. Gajah jinak makan dan minum di ERU (gambar diambil tahun 2013).

Gambar 15. Kondisi naungan dan tempat penggembalaan di ERU (gambar diambil tahun 2013).

(47)

Gambar 17. Pembersihan gading dan pemeriksaan kuku gajah jinak di ERU (gambar diambil tahun 2013).

Gambar 18. Kandang gajah jinak (tempat istirahat) di ERU (gambar diambil tahun 2013).

Gambar

Gambar 1.  Bagan kerangka penelitian.
Tabel 1.  Data umur gajah 2013 di Pusat Kosnservasi Gajah di TNWK
Gambar 1.  Presentasi proposal penelitian di Balai Taman Nasional Way Kambas (gambar diambil tahun 2013)
Gambar 4.  Wawancara dengan kepala di Diklat  sekaligus mahout di PKG (gambar diambil tahun 2013)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Latar Belakang: Akne merupakan peradangan kronik pada unit folikel pilosebasea. Prevalensi akne vulgaris berkisar 85% terutama pada remaja. Penyebab akne

1) Kawasan hutan produksi; 2) Kawasan Pertanian Sawah; 3) Kawasan Hortikultura; 4) Kawasan Pariwisata, berupa kawasan wisata alam pegunungan meliputi gunung bromo dan

Uji golongan darah Cell Grouping metode tabung dilakukan pada sampel darah vena dengan teknik penanganan sampel yang berbeda yaitu, sampel darah beku tanpa antikoagulan dengan

Dari menentukan latar belakang permasalahan yang akan diangkat menjadi objek penelitian, mengumpulkan data baik verbal maupun visual terkait objek penelitian,

Sebagai sebuah profesi, motivator menjadi sebuah pekerjaan dimana motivator sebagai sandaran dalam memenuhi kebutuhan ekonomi.Adapun praktik yang dilakukan pada

Menggunakan baterai, pad, kabel, atau peralatan opsional selain yang disetujui oleh Cardiac Science dapat menyebabkan AED berfungsi secara tidak benar selama penyelamatan.. Masa

menunjang keperluan pertanian, serta mengarahkannya secara lebih terpadu, sudah saatnya desa tidak dapat lagi dipandang hanya sebagai wilayah pendukung kehidupan

Kecerahan rata-rata pada lingkungan KJA lebih rendah dibandingkan pada lingkungan pemotongan Eceng Gondok karena lokasi KJA merupakan lokasi yang dilewati aliran air yang akan