ABSTRACT
EFFECT OF KNIFE SERVICE LIFE ON THE STARCH CONTENT OF CASSAVA FIBER AT A COMMUNITY-BASED TAPIOCA INDUSTRY
By ENIWATI
Starch yield of a community-based tapioca starch industry is affected by knife service life. The longer a knife is used, then the blade will be dull so that left a lot of starch in the cassava fiber (onggok). The purpose of this study was to determine the effect of life time of the grater knife on the starch content in the onggok produced from community-based tapioca industry. This research was conducted in a community-based tapioca industry in Tresnomulyo village, Sub-district of Sukaraja Nuban, District of East Lampung, from June 23 until August 25, 2014. The study was conducted by observing the starch content of onggok and the life time of knife. Starch content of onggok was measured using relative density or the specific gravity method. The results showed that knife life time affected on the starch content left in onggok . The longer a knife grater is used, the higher the starch content of onggok. The relationship of onggok starch content (Y) and knife life time (t) can be mathematically expressed as Y = 0.190t + 3.784 with a value of R2 = 0.889 (t =1–34 hours). The potential economic losses was calculated as Rp.393.000,00 (at 10.7 hours usage), Rp.1.766.800,00 (22.1 hours usage), and Rp 4.684.100,00 (34.1 hours usage).
ABSTRAK
PENGARUH UMUR PAKAI PISAU PADA MESIN PEMARUT SINGKONG TERHADAP KADAR PATI YANG TERTINGGAL DI DALAM ONGGOK YANG DIHASILKAN DARI INDUSTRI TEPUNG
TAPIOKA RAKYAT
Oleh ENIWATI
Rendemen pati pada pengolahan tepung tapioka di industri tepung tapioka rakyat dipengaruhi oleh ketajaman pisau pemarut. Semakin lama digunakan maka pisau pemarut akan menjadi tumpul sehingga makin banyak pati yang tertinggal di dalam onggok. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh lama penggunaan pisau pada mesin pemarut singkong terhadap kadar pati yang tertinggal di dalam onggok yang dihasilkan dari industri tepung tapioka rakyat. Penelitian ini dilaksanakan di industri tepung tapioka rakyat milik Bapak Ipen di Desa Tresnomulyo, Kecamatan Sukaraja Nuban, Kabupaten Lampung Timur pada tanggal 23 Juni sampai dengan 25 Agustus 2014. Penelitian dilakukan dengan cara mengamati kadar pati onggok dan umur pakai pisau pemarut. Kadar pati onggok diukur menggunakan metode densitas relatif atau spesific grafity. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh umur pakai pisau terhadap kadar pati yang tertinggal di dalam onggok. Semakin lama pisau pemarut ini digunakan, maka kadar pati di dalam onggok semakin meningkat. Hubungan antara kadar pati onggok (Y) dengan umur pakai pisau (t) dapat disajikan dengan rumus matematika Y = 0,190t + 3,784 dengan nilai R2 = 0,889. Potensi kerugian ekonomi yang terjadi mencapai Rp 393.400,00 (lama penggunaan pisau 10,7 jam), Rp 1.766.800,00 (lama penggunaan pisau 22,1 jam), dan Rp 4.684.100,00 (lama penggunaan pisau 34,1 jam).
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Karyamukti, Kecamatan
Sekampung, Kabupaten Lampung Timur pada tanggal 09
Agustus 1991, sebagai anak kedua dari dua bersaudara, dari
Bapak Sutarno dan Ibu Suwarni.
Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 2 Karyamukti pada tahun
2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 3 Sekampung pada tahun
2007, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 2 Sekampung pada tahun
2010.
Tahun 2010 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Teknik Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Selama
menjadi mahasiswa penulis pernah aktif sebagai Sekretaris Umum di Organisasi
Persatuan Mahasiswa Teknik Pertanian (PERMATEP) FP Unila pada tahun 2012
dan aktif sebagai Anggota PSDM di Ikatan Mahasiswa Lampung Timur (IKAM
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWTatas taburan cinta dan
kasih sayang-Nya.
Kupersembahkan karya kecil ini kepada:
Cahaya hidupkuAyahanda Sutarno dan Ibunda Suwarni, yang
senantiasa ada saat suka maupun duka yang selalu memanjatkan doa dan berjuang untuk pendidikan putri tercintanya.
Mbak Anita Ningsihdan Mas Marsonoyang selalu memberi dukungan
serta keponakan-koponakanku tercintaAtika Nurma Nisadan Jalu
Ikbar Bimantoro yang selalu menorehkan tawa.
Dan untuk Mamas (Dedik Irawan), sebagai tanda cinta kasihku,
kupersembahkan karya kecil ini buatmu. Terima kasih atas kasih sayang, perhatian, dan kesabaranmu yang telah memberikanku semangat dan inspirasi dalam menyelesaikan Skripsi ini, semoga engkau
pilihan terbaik buatku dan masa depanku.Aamiin.
MOTO
Berangkatlah, baik kamu merasa ringan atau berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu
(QS. At-Taubah: 41)
Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula (QS. Ar-Rahman: 60)
Barang siapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkannya mendapat jalan ke Surga
( H.R Muslim)
kata-kata kita mengungkapkan isi pemikiran kita, sikap kita mencerminkan harga diri kita, tindakan kita menunjukkan watak kita,
dan kebiasaan kita adalah ramalan untuk masa depan kita (Andi Arsyil Rahman Putra)
Kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber
energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi (Robert K. Cooper)
SANWACANA
Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.
Skripsi dengan judul “Pengaruh Umur Pakai Pisau Pada Mesin Pemarut
Singkong Terhadap Kadar Pati Yang Tertinggal Di Dalam Onggok Yang
Dihasilkan Dari Industri Tepung Tapioka Rakyat” adalah salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana Teknik Pertanian di Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung;
2. Bapak Dr. Ir. Agus Haryanto, M.P., selaku Ketua Jurusan Teknik Pertanian
Universitas Lampung sekaligus sebagai Pembimbing Utama;
3. Bapak Dr. Ir. Sigit Prabawa, M.Si., selaku Pembimbing Kedua atas kesediaan
memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi
ini;
4. Bapak Dr. Ir. Tamrin, M.S., selaku Pembahas atas masukan dan saran-saran
dalam skripsi ini.
5. Bapak Ipen selaku pemilik industri tepung tapioka rakyat dan Pakde Maman
6. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Fakultas Pertanian Universitas Lampung;
7. Seluruh rekan-rekan Teknik Pertanian terutama angkatan 2010 (TETA’10),
terimakasih atas kebersamaan kalian.
8. Anak-anak kosan Istiqomah: Tanti, Wiwik, Tari, Istiq, Sinta, Putri, Cida, dan
masih banyak lagi.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna bagi
kita semua. Aamiin.
Bandar Lampung,
Penulis
i
2.1 Industri Tapioka Skala Rakyat ...4
2.2 Singkong ...5
2.3 Tepung Tapioka...7
2.4 Proses Produksi Tepung Tapioka ... 8
2.5 Onggok ...17
III. METODOLOGI PENELITIAN...19
3.1 Waktu dan Tempat ...19
3.2 Alat dan Bahan ...19
ii
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...24
4.1 Hasil Penelitian ...24
4.2 Pembahasan ...36
4.2.1 Hubungan antara Umur Pisau dengan Potensi Kerugian ...38
V. KESIMPULAN DAN SARAN...40
5.1 Kesimpulan ...40
5.2 Saran ...41
DAFTAR PUSTAKA ...42
LAMPIRAN...45
Tabel 5–10 ...46
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Teks
1. Komposisi Kimia Singkong Segar ...6
2. Perlakuan Penelitian...21
3. Hubungan antara Umur Pemakaian Pisau dengan Potensi Kerugian ...39
4. Hubungan antara Potensi Kerugian dengan Pati Kering pada Onggok ....39
Lampiran 5. Data Hasil Pengukuran Kadar Pati Onggok pada Pisau Pemarut 1a ...46
6. Data Hasil Pengukuran Kadar Pati Onggok pada Pisau Pemarut 1b...47
7. Data Hasil Pengukuran Kadar Pati Onggok pada Pisau Pemarut 2a ...48
8. Data Rata-Rata Hasil Pengukuran Kadar Pati Onggok ...48
9. Hubungan antara Umur Pemakaian Pisau dengan Persentase Kerugian ..49
✁v DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Teks
1. Diagram Alir Pengolahan Tepung Tapioka ...9
2. Proses Pencucian Singkong ...10
3. Proses Pengupasan Kulit Ari Singkong ...11
4. Proses Pemarutan Singkong...12
5. Silinder Pemarut...13
6. Mesin Pembuat Tepung Tapioka ...14
7. Proses Ekstraksi Pati ...15
8. Proses Pengendapan Pati...16
9. Proses Pengeringan Tapioka ...17
10. Peta Lokasi Penelitian ...20
11. Penimbangan Sampel didalam Air ...21
12. Diagram Alir Prosedur Penelitian ...23
13. Diagram Alir Proses Produksi Tepung Tapioka Rakyat ...25
14. Proses Pencucian Singkong di Industri Skala Rakyat ...26
15. Proses Pemarutan Singkong di Industri Skala Rakyat ...26
16. Spesifikasi Mesin Pemarut Singkong ...27
17. Proses Ekstraksi Pati di Industri Skala Rakyat ...28
18. Proses Pengendapan Pati di Industri Skala Rakyat ...29
19. Onggok Basah ...30
v
21. Proses Pengepresan Onggok di Industri Skala Rakyat ...31
22. Proses Penampungan Onggok di dalam Mobil Truk ...31
23.Hammer Mill ...32
24. PersentaseOutputdari Pengolahan Tepung Tapioka ...33
25. Grafik Hubungan antara Kadar Pati Onggok dengan Umur Pakai Pisau Pemarut Singkong pada Mata Pisau Pemarut 1a...34
26. Grafik Hubungan antara Kadar Pati Onggok dengan Umur Pakai Pisau Pemarut Singkong pada Mata Pisau Pemarut 1b...34
27. Grafik Hubungan antara Kadar Pati Onggok dengan Umur Pakai Pisau Pemarut Singkong pada Mata Pisau Pemarut 2a ...35
28. Grafik Hubungan antara Kadar Pati Onggok dengan Umur Pakai Pisau Pemarut Singkong ...35
29. Kondisi Pisau Pemarut Setelah Dipakai Antara 4 Hingga 6 Hari ...37
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Singkong merupakan salah satu hasil pertanian yang tidak tahan lama dan mudah
rusak. Singkong segar hanya dapat disimpan selama tiga hari, jika disimpan lebih
dari tiga hari, umbinya akan berwarna cokelat kebiruan (Rubatzky dan
Yamaguchi, 1998). Oleh karena itu, setelah dipanen singkong harus segera
dikonsumsi atau diproses lebih lanjut. Untuk mempertahankan daya simpannya,
singkong dapat diolah menjadi gaplek, tepung singkong atau tapioka.
Upaya pengolahan lanjut singkong diperlukan untuk menunjang program
diversifikasi pangan dan berdampak pada peningkatan nilai tambah komoditas
sehingga derajat komoditas serta pendapatan dan kesejahteraan masyarakat
pedesaan pun ikut terangkat. Agroindustri sebagai salah satu sektor ekonomi di
Indonesia, memberikan andil yang cukup besar terhadap pemasukan devisa negara
dan terus berkembang dengan pesat. Tumbuh dan berkembanganya agroindustri
ini dipicu oleh kenyataan bahwa pada masa-masa krisis ekonomi, sektor pertanian
2
Produksi singkong di Indonesia pada tahun 2012 adalah 24.177.372 ton dan di
Provinsi Lampung memiliki produksi singkong sebesar 8.387.531 ton (BPS,
2012). Industri tapioka yang terdapat di Provinsi Lampung, terutama yang berada
di Kabupaten Lampung Timur pada tahun 2003 memiliki 38.964 hektar lahan
untuk penanaman singkong yang menghasilkan 592.358 ton singkongdan
memiliki 31perusahaan menengah besar yang terdaftar di Dinas Pertanian
Kabupaten Lampung Timur serta terdapat puluhan industri tapioka rakyat yang
tidak terdaftar di Dinas Pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa sektor industri ini
masih dapat diharapkan oleh pelaku industri serta masyarakat dalam memenuhi
kebutuhannya (Dinas Pertanian Lampung Timur, 2004).
Selain menghasilkan tepung, pengolahan tepung tapioka juga menghasilkan
limbah, baik limbah padat maupun limbah cair. Tepung tapioka dihasilkan dari
endapan pati yang diekstrak. Menurut Sosroprawiro (1958), pembuatan tepung
tapioka untuk skala rakyat, diperoleh hasil tepung tapioka sebanyak 20–25% dari
singkong yang masih berkulit dan sisanya 75–80% merupakan limbah tapioka.
Terkadang pati yang tertinggal pada ampasnya (onggok) masih tinggi, sehingga
tepung tapioka yang dihasilkan kurang optimal. Pada industri tapioka yang sudah
maju, limbah padat ini kebanyakan hanya mengandung serat. Sedangkan onggok
yang dikeluarkan oleh industri skala rakyat masih mengandung pati, ini terjadi
karena tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki masih rendah. Hal
ini akan menyebabkan suatu industri mengalami penurunan hasil produksinya.
Tingginya kandungan pati yang masih tertinggal di dalam onggok biasanya
3
pisau yang digunakan dalam proses pemarutan singkong sudah tumpul sehingga
menghasilkan butiran-butiran yang lebih kasar. Untuk itu, perlu dilakukan
penelitian tentang pengaruh umur pakai pisau pada mesin pemarut singkong
terhadap kadar pati yang tertinggal di dalam onggok.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lama penggunaan pisau pada
mesin pemarut singkong di Industri Tepung Tapioka Rakyat, Tresnomulyo
Lampung Timur.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang pengaruh umur
pakai pisau pada mesin pemarut singkong terhadap kadar pati yang tertinggal di
dalam onggok di Industri Tepung Tapioka Rakyat, Tresnomulyo Lampung
Timur.
1.4 Hipotesis
Terdapat pengaruh umur pakai pisau pada mesin pemarut singkong terhadap kadar
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Industri Tepung Tapioka Skala Rakyat
Industri tepung tapioka merupakan industri yang memiliki peluang dan prospek
pengembangan yang baik untuk memenuhi permintaan pasar. Industri tepung
tapioka termasuk industri hilir, di mana industri ini melakukan proses pengolahan
dari bahan baku singkong yang berasal dari petani menjadi tepung tapioka
(Rochaeni dkk., 2007). Tujuan dari industri pengolahan singkong ini adalah
untuk menciptakan nilai tambah dan menambah umur simpan dari suatu produk.
Industri tepung tapioka banyak terdapat di daerah Sumatera, Jawa, dan
Kalimantan baik skala rumah tangga maupun pabrikan. Produksi tepung tapioka
skala rakyat banyak dikerjakan dengan alat sederhana. Berbagai karakteristik
industri tersebut adalah modal relatif kecil, biaya perawatan relatif tinggi,
teknologi yang digunakan umumnya sederhana, dan kualitas produk umumnya
rendah (Damardjati, 1995).
Beberapa kendala yang dihadapi terutama pada industri kecil dan menengah
dalam proses pengolahan adalah lamanya proses pengendapan dan kualitas warna
tepung tapioka yang relatif kurang baik, karena sering terjadi proses pencokelatan.
5
baik, karena penggunaan mesin pengolahan yang belum optimal sehingga sering
tidak dapat memenuhi permintaan pasar. Ketersediaan bahan baku dan minat
masyarakat untuk membudidayakan singkong dari setiap wilayah juga sangat
mempengaruhi kuantitas tapioka yang dihasilkan dari masing-masing industri di
setiap wilayah. Lampung merupakan wilayah yang lebih maju dibandingkan
dengan daerah Jawa Timur yang merupakan daerah kedua penghasil singkong
terbesar setelah Lampung. Provinsi Lampung pada tahun 2012 memiliki luas
panen, produktivitas, dan produksi singkong masing-masing sebesar 324.749
hektar; 258,57 kuintal/ha; dan 8.387.351 ton, kemudian diikuti oleh Jawa Timur
yang memiliki luas panen 189.982 hektar; produktivitas 223,50 kuintal/ha; dan
produksi 4.246.028 ton singkong (BPS, 2012). Indonesia pada tahun 2013
memiliki data sementara sekitar 1.061.254 hektar lahan untuk penanaman
singkong yang menghasilkan 23.824.008 ton singkong. Sedangkan untuk di
Lampung sendiri memiliki 314.607 hektar lahan untuk penanaman singkong yang
menghasilkan 8.237.627 ton singkong (BPS, 2013).
2.2 Singkong
Singkong merupakan tanaman daerah tropis dan mempunyai kemampuan adaptasi
yang baik terhadap lingkungan. Selain itu, singkong walaupun pada keadaan
kurang subur dan kurang air namun cukup gembur dapat memberikan hasil yang
memuaskan. Singkong merupakan makanan pokok nomor tiga setelah padi dan
6
Tabel 1. Komposisi Kimia Singkong Segar
Komposisi Jumlah (%)
Berdasarkan sifat fisik dan kimia, singkong merupakan umbi atau akar pohon
yang panjang dengan rata-rata bergaris tengah 2–3 cm dan panjang 50–80 cm,
tergantung dari jenis singkong yang ditanam. Sifat fisik dan kimia singkong
sangat penting artinya untuk pengembangan tanaman yang mempunyainilai
ekonomi tinggi. Karakterisasi sifat fisik dan kimia singkong ditentukan olahsifat
pati sebagai komponen utama dari singkong (Susilawati dkk., 2008).
Singkong sangat berarti dalam usaha penganekaragaman pangan penduduk
maupun sebagai bahan baku industri, bahan makanan serta bahan pakan ternak.
Pengolahan singkong dapat menghasilkan berbagai produk seperti tepung gaplek,
gula cair, dan tepung tapioka. Di antara produk pengolahan singkong yang paling
banyak adalah tepung tapioka (Koswara, 2009). Menurut Radjit dan Prasetiaswati
(2011), sebagian besar (72%) singkong dikonsumsi, hanya sebagian(13%)
dimanfaatkan untuk industri, dan sisanya untuk pakan (2%). Oleh karena itu agar
tidak terjadi konflik kepentingan antara bahan pangan, pakan, dan industri maka
7
2.3 Tepung Tapioka
Tepung tapioka adalah salah satu hasil olahan dari singkong. Tepung tapioka
umumnya berbentuk butiran pati yang banyak terdapat dalam sel umbi singkong.
Tepung tapioka banyak digunakan sebagai bahan pengental dan bahan pengikat
dalam industri makanan. Sedangkan ampas tapioka banyak dipakai sebagai
campuran makanan ternak. Pada umumnya masyarakat Indonesia mengenal dua
jenis tepung tapioka, yaitu tepung tapioka kasar dan tepung tapioka halus.
Tepung tapioka kasar masih mengandung gumpalan dan butiran singkong yang
masih kasar, sedangkan tepung tapioka halus merupakan hasil pengolahan lebih
lanjut dan tidak mengandung gumpalan lagi (Suprapti, 2005).
Tepung tapioka sering digunakan sebagai pengganti tepung sagu karena sifat
keduanya hampir sama. Warna putih yang dimiliki oleh tepung tapioka banyak
dimanfaatkan sebagai bahan baku pewarna putih alami. Umumnya tepung
tapioka digunakan juga sebagai pengental makanan karena efeknya akan kental
dan bening saat dipanaskan. Kelemahan dalam penggunaan tepung tapioka
adalah tidak larut dalam air dingin, pemasakannya memerlukan waktu yang cukup
lama dan pasta yang terbentuk cukup keras.
Indonesia adalah produsen tepung tapioka nomor dua di Asia setelah Thailand.
Produksi rata-rata tepung tapioka Indonesia mencapai 15–16 juta ton per tahun,
sedangkan Thailand 30 juta ton tapioka per tahun dan Vietnam berada pada urutan
8
Di Lampung sendiri, untuk industri tapioka skala menengah dapat berproduksi
sekitar 20–80 ton tepung tapioka per hari. Sedangkan untuk industri tapioka skala
besar mampu berproduksi sekitar 300 ton tepung tapioka per hari (Hidayat dkk.,
2009). Jumlahoutputyang dihasilkan dari industri tepung tapioka dipengaruhi
oleh berbagai faktor, di antaranya bahan baku, cuaca, dan iklim serta proses
pengolahan.
2.4 Proses Produksi Tepung Tapioka
Pembuatan tepung tapioka dapat dilakukan dalam skala rumah tangga
(menggunakan alat-alat yang ada di dapur) maupun skala komersial
(menggunakan alat-alat khusus). Bahan baku berupa singkong dan memerlukan
banyak air. Keluaran proses produksi selain tapioka, dihasilkan limbah cair dan
limbah padat berupa onggok dan kulit. Proses pengupasan dan pencucian
dilakukan secara manual, sedangkan pemarutan, ekstraksi, dan penghancuran
secara mekanik (Badan Litbang Pertanian, 2011).
Secara tradisional, pembuatan tepung tapioka memerlukan jumlah air yang
banyak sekali, yaitu untuk mengolah 1 ton singkong segar diperlukan air sebanyak
14.000–18.000 liter. Dengan teknologi yang lebih baik, jumlah air dapat
dikurangi hingga menjadi 8.000 liter per ton singkong. Kapasitas dari setiap
industri skala rumah tangga biasanya sekitar 2 ton singkong segar per hari yang
9
Standar mutu tepung tapioka berdasarkan SNI No. 01-2973-1992, ditentukan oleh
kadar air (maksimal 15%); kadar serat dan kotoran (maksimal 0,6%); derajat
keputihan (minimal 92 % untuk Mutu II dan minimal 94,5% untuk Mutu I) dan
kekentalan (3–4 Engler untuk Mutu I dan 2,5–3 Engler untuk Mutu II) (BSN,
1992).
Proses pengolahan tepung tapioka dimulai dari singkong diterima di gudang, lalu
dicuci dan dikupas, terus digiling dalam mesin penggiling. Dalam proses
menggiling, yang keluar adalah ampas dan sari pati yang merupakan tepung
tapioka. Selanjutnya, sari pati dikeringkan (dijemur) untuk disimpan di gudang.
Proses produksi tapioka terdiri dari pencucian dan pengupasan, pemarutan,
ekstraksi, pengendapan pati, dan pengeringan seperti pada Gambar 1.
10
Berikut adalah penjelasan prosedur pengolahan singkong menjadi tepung tapioka:
a. Pencucian dan pengupasan
Singkong dicuci untuk menghilangkan kotoran yang masih melekat berupa
tanah, getah, dan benda asing lainnya denganrotary wash machine
(Gambar 2) yang berupa bak memanjang yang dilengkapi dengan
sudu-sudu putar, bagian bawah terbuat dari jeruji besi yang dipasang
melengkung berjarak 2 cm. Bak pencucian ini terdiri dari tiga bagian
bawah masing-masing dibatasi sekat pemisah setinggi kurang lebih 40 cm,
sehingga ada tiga tahapan pencucian. Tahap pertama menggunakan air
kotor yang berasal dari buangan separator, sedangkan tahap kedua dan
ketiga menggunakan air bersih untuk pencuciannya. Tujuan pencucian
yaitu untuk menghilangkan kotoran yang menempel di permukaan umbi
singkong serta mengurangi kandungan HCN (Direktorat Pengolahan
Pangan Hasil Pertanian, 2005).
11
Setelah dicuci, singkong dihilangkan kulit arinya yang berwarna
kecokelatan dengan menggunakanroot peeler (Gambar 3). Proses ini
menghasilkan kotoran berupa kulit dan tanah serta air limbah. Operator
harus mengoptimalkan jumlah singkong yang akan dikupas sesuai dengan
kapasitas mesin.
Gambar 3. Proses Pengupasan Kulit Ari Singkong (Direktorat Pengolahan Pangan Hasil Pertanian, 2005).
b. Pemarutan singkong
Singkong yang sudah bersih kemudian diparut untuk memisahkan granula
pati dari dinding sel sehingga diperoleh 90% atau lebih granula pati
12
Gambar 4. Proses Pemarutan Singkong (Direktorat Pengolahan Pangan Hasil Pertanian, 2005).
Bubur singkong hasil dari pemarutan kemudian ditampung dalam bak atau wadah
yang tidak korosif. Pemarut terdiri dari beberapa bagian penting yaitu tenaga
penggerak, silinder pemarut (Gambar 5) , as besi, dinding, dan rangka mesin.
Unit mesin pemarut digerakkan oleh mesin diesel dengan daya 7,5 HP. Silinder
pemarut berupa silinder kayu yang pejal dengan diameter 40 cm dan panjang 45
cm, mata parut terbuat dari potongan gergaji besi yang dipotong-potong dengan
13
Gambar 5. Silinder Pemarut Singkong
Bagian-bagian utama mesin pembuat tepung tapioka yang dirancang oleh
Aninditya adalah rol penggilas, poros, puli, sabuk V, rantai, penyaring serta
pemarut (Soegihardjo dan Aninditya, 2005). Dalam rancangan tersebut,
mekanisme pemarut dan mekanisme pemerasan/penggilas menggunakan dua
14
Keterangan:
1. Mekanisme pemarut
2. Mekanisme penggilas dan penyaring 3. Tutup silinder pemarut
4. Motor penggilas 5. Rol penggilas
6. Rantai penghubung sproket motor penggilas dan sproket mekanisme penggilas
7. Penampung ketela pohon sebelum diparut (hopper) 8. Plat penyalur hasil parutan menuju bagian penggilas 9. Plat berlubang (sebagai penyaring)
10. Penampung campuran tepung tapioka dan air sesudah proses penggilasan dan penyaringan
11. Saluran pembuangan ampas sisa penggilasan dan penyaringan 12. Rantai penggerak rol penggilas
13. Motor pemarut 14. Puli silinder pemarut 15. Sproket
4
c. Ekstrasi pati
Bubur singkong yang dihasilkan dari proses pemarutan singkong diekstrasi
menggunakan saringan goyang (sintrik) (Gambar 7). Bubur singkong
diletakkan di atas saringan yang digerakkan dengan mesin. Pada saat
saringan tersebut bergerak, kemudian ditambahkan air melalui pipa
berlubang. Pati yangdihasilkan ditampung dalam bak pengendapan.
Gambar 7. Proses Ekstraksi Pati (Direktorat Pengolahan Pangan Hasil Pertanian, 2005).
Proses ekstrasi ini menghasilkan ampas berupa onggok. Ekstraksi dengan
menggunakan saringan goyang ini terdiri dari 5 atau 6 bingkai saringan
80–100 mesh berukuran 1 m × 1 m yang dipasang secara horisontal pada
sebuah kerangka kayu yang digerakkan dengan mesin. Rendemen tapioka
berkisar antara 19–24% (Fauzi dkk., 2012).
d. Pengendapan pati
Pati hasil ekstraksi diendapkan dalam bak pengendapan selama 4 jam
seperti pada Gambar 8. Air di bagian atas endapan dialirkan dan dibuang,
sedangkan endapan diambil dan dikeringkan.
5
Gambar 8. Proses Pengendapan Pati (Direktorat Pengolahan Pangan Hasil Pertanian, 2005).
Proses pengendapan dimaksudkan untuk memisahkan tepung tapioka
murni dari bagian lain seperti ampas dan unsur-unsur lainnya. Pada proses
pengendapan ini akan terdapat butiran tapioka termasuk protein, lemak
dan kandungan lainnya (Bank Indonesia, 2012).
e. Pengeringan
Sistem pengeringan menggunakan sinar matahari dilakukan dengan cara
menjemur tepung tapioka yang dimasukkan di dalam tambir kemudian
diletakkan di atas rak-rak bambu (Gambar 9) selama 1–2 hari (tergantung
dari cuaca). Pengeringan bertujuan untuk menguapkan kandungan air
sehingga diperoleh tepung tapioka yang kering. Endapan tepung tapioka
yang berbentuk semi cair mengandung air sebanyak 40%. Gumpalan
tepung tapioka yang keluar dari pengeringan langsung dihancurkan untuk
memperoleh tepung tapioka yang diinginkan.
6
Gambar 9. Proses Pengeringan Tapioka (Direktorat Pengolahan Pangan Hasil Pertanian, 2005).
Hasil dari proses penghancuran tersebut masih berupa tepung kasar.
Untuk mendapatkan tepung tapioka yang halus maka perlu dilakukan
penyaringan ulang atau diayak. Tepung tapioka yang dihasilkan sebaiknya
mengandung kadar air 15–19% (Bank Indonesia, 2012).
2.5 Onggok
Salah satu jenis industri yang cukup banyak menghasilkan limbah adalah pabrik
pengolahan tepung tapioka. Proses pengolahan singkong menjadi tepung tapioka
menghasilkan limbah yang biasa disebut onggok. Proses pengolahan tepung
tapioka menghasilkan limbah padat sekitar 2/3 hingga 3/4 bagian dari bahan
mentahnya. Untuk memproduksi tepung tapioka dengan bahan baku satu ton
singkong dihasilkan 250 kg tepung tapioka dan 114 kg onggok. Ketersediaan
7
tapioka dan semakin luasnya areal penanaman dan produksi singkong
(Sihombing, 2007).
Di Provinsi Lampung, pada produksi 300 ton singkong basah per hari, umumnya
dihasilkan tepung tapioka sekitar 20 % dan sisanya sebesar 80 % atau sebesar 240
ton limbah padat berupa tanah, kulit singkong, dan onggok per hari (Susilawati
dkk., 2008).
Mengingat tingginya hasil sampingan dari produksi tepung tapioka, maka dapat
dimanfaatkan menjadi produk yang lebih berdaya guna. Onggok dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan tepung karena kandungan
karbohidrat yang tersisa pada onggok tersebut masih cukup banyak sebesar 65,9%
(Retnowati dan Susanti, 2009). Tepung onggok yang dihasilkan memiliki
rata-rata kadar air 12% dengan lama pengeringan berkisar antara 6–7 jam. Padatepung
onggok dilakukan uji karakteristik fisik yang meliputi derajat putih dan derajat
keasaman, sedangkan uji organoleptik meliputi kriteria warna, aroma, dan tingkat
kesukaan (Sari, 2013).
Onggok yang dihasilkan oleh industri tepung tapioka skala rakyat biasanya
mencapai 828.965 ton dari bahan baku 15.351.200 ton singkong yang diolah
menjadi tepung tapioka. Jumlah tersebut cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai
bahan baku pakan ternak, apalagi kandungan patinya bisa mencapai 12,41%.
Banyaknya onggok yang dihasilkan dipengaruhi oleh varietas singkong, umur
singkong, lokasi, dan kasar halusnya parutan yang digunakan serta skala industri
yang memproduksi tepung tapioka tersebut (Rahmarestia, 2007).
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 23 Juni 2014 sampai dengan 25
Agustus 2014 di industri tepung tapioka rakyat milik Bapak Ipen yang ada di
Desa Tresnomulyo, Kecamatan Sukaraja Nuban, Kabupaten Lampung Timur
(Gambar 10).
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ember, plastik PP berukuran 35 x
50 cm, karet gelang, tali rafiah, dan timbangan gantung jarum berkapasitas 5 kg.
Bahan utama yang digunakan adalah onggok hasil dari pengolahan tepung tapioka
di industri tapioka rakyat. Bahan lainnya yang digunakan adalah air.
3.3 Prosedur Penelitian
Adapun prosedur yang digunakan untuk mengukur kadar pati yang tertinggal di
dalam onggok adalah sebagai berikut :
1) Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan.
2) Mengambil sampel onggok sebanyak 5 kg kemudian dimasukkan ke
20
21
Gambar 11. Penimbangan Sampel Dalam Air
3) Setelah menimbang massa onggok di dalam air, dilakukan perhitungan
kadar pati dengan menggunakan metodespesific gravityatau densitas
relatif (Sungzikaw, 2008).
SG = ... (1)
Kadar Pati (%) = ,
, ... (2)
di mana :
Ma = Massa onggok di udara (g) Mw = Massa onggok di air (g) SG =Spesific Gravity
Selain menggunakan metode spesific gravity,juga bisa digunakan metode
oven dimana sampel onggok dioven selama 90 menit pada suhu 130ºC,
kemudian dihitung dengan rumus berikut :
22
di mana:
DM =dry metter(%) W0 = berat cawan (g) W1 = berat onggok awal (g)
W2= berat onggok akhir (g)
Namun pada penelitian ini penulis hanya menggunakan metode spesific
gravity,karena lebih efisien dan hasilnya pun juga tidak berbeda jauh.
4) Pengukuran ini dilakukan setiap kali produksi dengan 3 kali pengukuran
dan dilakukan 3 kali pengulangan (mulai dari pisau baru hingga pisau
diganti).
5) Melakukan pengamatan jam kerja per produksi.
3.4 Perlakuan
Parameter yang diukur untuk mengetahui masa penggantian pisau pada mesin
pemarut singkong adalah kadar pati yang tertinggal di dalam onggok.
3.6 Analisis Data
Data hasil dari pengukuran kadar pati yang tertinggal dalam onggok per jam
23
3.7 Analisis Kerugian
Setelah diperoleh hasil hubungan antara umur pakai pisau terhadap kadar pati
yang tertinggal di dalam onggok, maka dilakukan analisis tentang hubungan umur
pakai pisau dengan kerugian (rupiah) yang terjadi selama produksi.
3.8 Diagram Alir
Diagram alir prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 12. Diagram Alir Prosedur Penelitian Mulai
Sampel Onggok
Timbang di Udara
Timbang di dalam Air
Hitung Kadar Pati
Analisis Data
Masa Penggantian Pisau Pemarut
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Ada pengaruh umur pakai pisau pemarut singkong terhadap peningkatan
kadar pati yang tertinggal di dalam onggok. Di industri tepung tapioka yang
digunakan sebagai tempat penelitian ini, pisau pemarut singkong digunakan
selama enam hari (±34 jam kerja) dan menghasilkan onggok dengan kadar
pati mencapai 10,25 % dari onggok.
2. Potensi kerugian semakin meningkat selama kadar pati yang tertinggal di
dalam onggok juga meningkat. Peningkatan ini terjadi akibat tumpulnya
pisau pemarut yang disajikan dengan rumus matematika Y=0,190t+3,784 (t =
1–34 jam) dengan nilai R2= 0,889. Potensi kerugian mencapai 7,1% dari singkong basah pada umur pakai 34 jam.
3. Potensi kerugian yang terjadi adalah sebesar Rp 393.400,00 (lama
penggunaan pisau 10,7 jam), Rp 952.300,00 (lama penggunaan pisau 16,4
jam), Rp 1.766.800,00 (lama penggunaan pisau 22,1 jam), Rp 2.931.000,00
(lama penggunaan pisau 27,6 jam), dan Rp 4.684.100,00 (lama penggunaan
41
5.2 Saran
1. Sebaiknya pisau pemarut diganti setelah ±16 jam (3 hari) pemakaian,
sehingga dapat mengurangi potensi kerugian sebesar Rp 1.766.800,00.
2. Pihak industri harus selalu memastikan bahwa pada saat proses pencucian
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2011. Proses Pengolahan Tepung Tapioka. Sinartani Edisi 4-10 Mei 2011 No. 3404 Tahun XLI. 10 hlm.
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1992. Standar Mutu Tepung Tapioka. SNI No. 01-2973-1992. 3 hlm.
Bank Indonesia. 2012. Pola Pembiayaan Usaha Kecil Pengolahan Tepung Tapioka. Direktorat Kredit, BPR, dan UMKM. 29 hlm.
BPS. 2012.Tanaman Pangan. Badan Pusat Statistik Indonesia. Jakarta. 2 hlm.
BPS. 2013.Tanaman Pangan. Badan Pusat Statistik Indonesia. Jakarta. 2 hlm.
Damardjati, D.S. 1995. Food Processing in Indonesia: the Development of Small Scale Industri. Bogor Research Institute for Food Crops Biotechnology Agency for Agricultural Research and Development, Bogor. 13 hlm.
Dinas Pertanian Lampung Timur. 2004. Perkembangan Produksi Singkong. Lampung Timur.
Direktorat Pengolahan Pangan Hasil Pertanian. 2005. Pengembangan Usaha Pengolahan Tepung Tapioka. Departemen Pertanian, Jakarta.
Fauzi, A.M., A. Rahmawakhida, dan Y. Hidetoshi. 2012. Kajian Strategi Bersih di Industri Kecil Tapioka.Jurnal Teknologi Industri Pertanian. Volume 18(2): 60–65.
Guritno, B., B.D. Argo, dan R. Yulianingsih. 2011.Desain Unit Pengolahan Bioetanol untuk Petani di Desa Ngajum Kecamatan Sumber Pucung Kabupaten Malang.Jurnal Rekayasa Mesin. Volume 2(1): 83–91.
43
Koswara, S. 2009. Teknologi Pengolahan Singkong. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 26 hlm.
Novianto, W. 2005. Perancangan Ulang dan Pembuatan Mesin Pemarut Singkong. Fakultas Teknik Mesin, UMY, Yogyakarta.
Purnomo, M.J. 2013. Optimasi Alat Penepung Gula Kristal Hasil Granulasi Menggunakan Mesin Hammer Mill Pada Sistem Pembuatan Gula Semut. Jurnal Teknik Penerbangan. Volume 5(2): 89–98.
Radjit, B.S. dan N. Prasetiaswati. 2011. Hasil Umbi dan Kadar Pati Pada Beberapa Varietas Singkong.J. Agrivigor. Volume 10(2): 185–195.
Retnowati, D dan R. Susanti. 2009. Pemanfaatan limbah Padat Ampas Singkong dan Lindur sebagai Bahan Baku Pembuatan Etanol. Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Semarang. 8 hlm.
Rahmarestia, E. 2007. Onggok Terfermentasi dan Pemanfaatannya. (Skripsi). FMIPA Uiversitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
Rochaeni, S.T., Soekarto, dan F.R. Zakaria. 2007. Kajian Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Sukaraja Kabupaten Bogor. Jurnal MPI. Volume 2(2):28.
Rubatzky dan Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia 1 Prinsip, Produksi, dan Gizi. Penerbit: ITB Bandung, Bandung. 313 hlm.
Sari, M., Warji., D.D. Novita, dan Tamrin. 2013. Mempelajari Karakteristik Tepung Onggok Pada Tiga Metode Pengeringan Yang Berbeda. Jurnal Teknik Pertanian Lampung. Volume 2(1): 43–48.
Sihombing, J.B.F. 2007. Penggunaan Media Filtran dalam Upaya Mengurangi Beban Cemaran Limbah Industri Kecil Tapioka. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Soedjono. 1992. Seri Industri Pertanian Umbi-umbian. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 31 hlm.
Soegihardjo, O. dan Aninditya. 2005. Mesin Pembuat Tepung Tapioka. Jurnal Teknik Mesin. Volume 7(1): 22–27.
Sosroprawiro, R. 1958. Singkong atau Ketela Pohon. PT Seoreongan. Jakarta. 36 hlm.
44
Suprapti, L. 2005. Teknologi Pengolahan Pangan Tepung Tapioka dan Pemanfaatannya. PT Gramedia Pustaka: Jakarta. 80 hlm.
Susilawati, S. Nurdjanah, dan M.R. Sabatini. 2008. Karakteristik Sifat Fisik dan Kimia Singkong. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian. Volume 13(2): 68–72.
Tarwiyah, K. 2001.Tapioka. Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri, Sumatera Barat.
Tonukari, N.J. 2004. Cassava and the Future of starch.Journal of Biotechnology. Volume 7 (1): 6–8.