• Tidak ada hasil yang ditemukan

Andragogi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Andragogi"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

ANDRAGOGI (

Oleh Mustofa Kamil) Abstrak

Sebuah perjalanan panjang tentang lahirnya istilah andragogi dalam dunia pendidikan, namun pemikiran-pemikiran yang lebih fokus baik dari segi konsep teori, filsafat maupun pada tahapan implementasi (metodologi) seperti pada; proses pembelajaran, tujuan pembelajaran, sasaran pembelajaran serta kaitan antara andragogi dengan pedagogi dimulai pada tahun 1950: dimana Malcolm Knowles menyusun buku ‘Informal Adult Education” yang menyatakan bahwa inti Pendidikan orang dewasa berbeda dengan Pendidikan tradisional. Kondisi orang dewasa dalam belajar berbeda dengan anak-anak. Kalaulah pada anak-anak digunakan istilah “padagogy” sehingga diartikan dengan “the art and science of teaching children” atau ilmu dan seni mengajar anak-anak. Maka andragogi lebih dimaknai sebagai ilmu dan seni membimbing atau membantu orang dewasa belajar “the art and science of helping adult learn”. Menurut pandangannya, mengapa sampai terjadi perbedaan antara kegiatan belajar anak-anak dengan orang dewasa, hal tersebut disebabkan orang dewasa memiliki: 1) Konsep diri (The self-concept), 2) Pengalaman hidup (The role of the learner’s experience); 3) Kesiapan belajar (Readiness to learn); 4) Orientasi belajar (Orientasion to learning); 5) Kebutuhan pengetahuan (The need to know); dan 6) Motivasi (Motivation). Dengan asumsi-asumsi itu menjadikan andragogi sebagai ilmu dalam melandasi pengembangan pendidikan nonformal dan pendidikan formal saat in.

A. Definisi, Konsep dan Sasaran Andragogi

(2)

sebagai fasilitator, bukan menggurui, sehingga relasi antara guru dan peserta didik (murid, warga belajar) lebih bersifat multicomunication. (Knowles, 1970). Oleh karena itu andragogi adalah suatu bentuk pembelajaran yang mampu melahirkan sasaran pembelajaran (lulusan) yang dapat mengarahkan dirinya sendiri dan mampu menjadi guru bagi dirinya sendiri. Dengan keunggulan-keunggulan itu andragogi menjadi landasan dalam proses pembelajaran pendidikan nonformal. Hal ini terjadi karena pendidikan nonformal formula pembelajarannya diarahkan pada kondisi sasaran yang menekankan pada peningkatan kehidupan, pemberian keterampilan dan kemampuan untuk memecahkan permasalahan yang dialami terutama dalam hidup dan kehidupan sasaran di tengah-tengah masyarakat.

Untuk memahami secara mendasar tentang konsep teori dan prinsip andragogi, pada bagian ini akan diuraikan secara tuntas tentang beberapa definisi andragogi dari berbagai ahli:

Dugan (1995) mendefinisikan andragogi lebih kepada asal katanya, andragogi berasal dari Bahasa Yunani. Andra berarti manusia dewasa, bukan anak-anak, menurut istilah, andragogi berarti ilmu yang mempelajari bagaimana orang tua belajar. Definisi tersebut sejalan dengan apa yang diartikan Sudjana dalam Bukunya Pendidikan Non-Formal Wawasan Sejarah Perkembangan Filsafat Teori Pendukung Azas (2005), disebutkan bahwa, andragogi berasal dari bahasa Yunani ”andra dan agogos”. Andra berarti orang dewasa dan Agogos berarti memimpin atau membimbing, sehingga andragogi dapat diartikan ilmu tentang cara membimbing orang dewasa dalam proses belajar. Atau sering diartikan sebagai seni dan ilmu yang membantu orang dewasa untuk belajar (the art and science of helping adult learn). Definisi tersebut sejalan dengan pemikiran Knowles dalam Srinivasan (1977) menyatakan bahwa: andragogi as the art and science to helping adult a learner.

(3)

seseorang meliputi: age, psychological maturity, and soscial roles. Yang dimaksud dewasa menurut usia, adalah setiap orang yang menginjak usia 21 tahun (meskipun belum menikah). Sejalan dengan pandangan tersebut diungkapkan pula oleh Hurlock (1968), adult (dewasa) adulthood (status dalam keadaan kedewasaan) ditujukan pada usia 21 tahun untuk awal masa dewasa dan sering dihitung sejak 7 atau 8 tahun setelah seseorang mencapai kematangan seksual, atau sejak masa pubertas. Pendekatan berdasar usia dilakukan oleh ahli hukum, sehingga melahirkan perbedaan perlakuan hukum terhadap pelanggar. Dewasa dilihat dari sudut pandang dimensi biologis juga bisa dilihat dari segi fisik, dimana manusia dewasa memiliki karakteristik khas seperti: mampu memilih pasangan hidup, siap berumah tangga, dan melakukan reproduksi (reproduktive function).

Dewasa berdasar dimensi psikologis dapat dilihat dan dibedakan dalam tiga kategori yaitu: dewasa awal (early adults) dari usia 16 sampai dengan 20 tahun, dewasa tengah (middle adults) dari 20 sampai pada 40 tahun, dan dewasa akhir (late adults) dari 40 hingga 60 tahun. Hutchin (1970) dan Rogers, (1973) dalam Saraka, (2001:59) memandang batas usia seputar 25 sampai dengan 40 tahun, merupakan usia emas (golden age). Pada dimensi ini dewasa lebih ditujukan pada kematangan seorang individu. Anderson dalam Psychology of Development and personal Adjustment (1951), meyimpulkan tujuh ciri kematangan bagi seorang individu yaitu: 1) Kematangan individu dapat dilihat dari minatnya yang selalu berorientasi pada tugas-tugas yang dilakukan atau dikerjakannya, serta tidak mengarah pada perasaan-perasaan diri sendiri atau untuk kepentingan pribadi (tidak pada diri dan atau ego). 2) Tujuan-tujuan yang dikembangkan dalam konsep dirinya jelas dan selalu memiliki kebiasaan kerja yang efisien. 3) Kemampuan dalam mengendalikan perasaan pribadi dalam pengertian selalu dapat mempertimbangkan pribadinya dalam bergaul dengan orang lian. 4) Memiliki pandangan yang obyektif dalam setiap keputusan yang diambilnya. 5) Siap menerima kritik atau saran untuk peningkatan diri. 6 ) Bertanggung jawab atas segala usaha-usaha yang dilakukan. 7) Secara realitas selalu dapat menyesuaikan diri dalam situasi-situasi baru.

(4)

tanggungjawab, mengerjakan dan menyelesaikan tugas-tugas peribadi dan sosialnya terutama untuk memenuhi kebutuhan belajarnya (Freire, 1973; dan Milton dkk, 1985). Lebih lanjut, Lovell mengatakan bahwa: Adulthood is the time when basic skills and abilities were so rapidly acquired in childhood are

consolidated and exploited to the full and many new skills and competencies

learned. There can be many factors influencing the way in which an adult

approaches a new learning experience. Some related to the characteristics of the

learners and range from personality and cognitive styles to individual differences

in age, experience, motivations and self-perception. Other relate to social context

within which learning takes place and to the ways in which any formal teaching is

planned and carried out and evaluated (Lovelly, 1980:1)

Secara fundamental, karakteristik kedewasaan atau kematangan seorang individu yang paling mendasar terletak pada tanggung jawabnya. Ketika individu sudah mulai memiliki kemampuan memikul tanggung jawab, dimana ia sanggup menghadapi kehidupannya sendiri dan mengarahkan diri sendiri. Jika mereka menghadapi situasi baru tidak memiliki bekal kemampuan maupun keterampilan diri (skills of directed inquiry), maka ia akan merasa sulit dalam mengambil inisiatif terutama dalam memiliki tanggung jawab belajarnya. Tidak sedikit individu yang telah memiliki latar belakang pendidikan tinggi (universitas, perguruan tinggi, sekolah tinggi) tidak siap menerima tanggung jawab lebih lanjut dari hasil belajarnya. Sehingga individu-individu tersebut menjadi penganggur, mengalami kecemasan, frustasi, dan kegagalan. Bersikap pasif menghadapi dunia kesehariannya dan tidak berdaya atau berani dalam menghadapi masa depan.

(5)

dewasa yang betul-betul matang secara psikologis tidak akan menghindar atau lari dari masalah yang dihadapi (Knowless, 1986:55).

Dalam dimensi sebagai peserta didik (murid, warga relajar) andragogi, dewasa dalam banyak hal memiliki beberapa keunggulan-keunggulan. Dari segi konsep diri, mereka memiliki kematangan psikologis; bertanggung jawab, memiliki hasrat dan motivasi kuat untuk belajar dan mampu mengarahkan dirinya. Mereka dapat belajar dan mempelajari sesuatu dalam skala yang lebih luas dan memilih strategi belajar yang lebih baik, lebih efektif dan lebih terarah dan mampu mengarahkan diri (self directing). Dari pengalaman belajar, peserta didik dewasa memiliki setumpuk pengalaman sebagai resource persons and total life impressions dalam kaitannya dengan orang lain. Mereka dapat menjadi sumber dan bahan belajar yang kaya, terutama dalam mendukung belajar kelompok serta belajar bersama dengan ahli-ahli. Sistem pembelajaran pada peserta didik dewasa dapat diarahkan ke dalam berbagai bentuk kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhannya dan kebutuhan sumber serta bahan belajar, seperti pada: kelompok diskusi, bermain peran, simulasi, pelatihan, (group discusion, team designing, role playing, simulations, skill practice sessions) (Inggalls, 1973, Knowless, 1977 dan Unesco, 1988)

Dari segi kesiapan belajar, orang dewasa memandang bahwa “all living is learning. Learning is not only preparation for living the very essence of living, the

(6)

Secara alamiah, orang dewasa memiliki kemampuan menetapkan tujuan belajar, mengalokasi sumber belajar, merancang strategi belajar dan mengevaluasi kemajuan terhadap pencapain tujua relajar secara mandiri. Lebih jauh Tough menyatakan bahwa: Peserta didik dewasa lebih dimungkinkan terlibat dalam self initiated education atau self directed education, ketimbang dalam self directed learning. Proses dan aktivitasnya dideskripsikan sebagai self directed learning

atau self directed education atau self teaching, learning projects or major learning efforts (Brookfield, 1986:47)

Dari perspektif waktu dan orientasi belajar, orang dewasa memandang belajar itu sebagai suatu proses pemahaman dan penemuan masalah serta pemecahan masalah (problem finding and problem solving), baik berhubungan dengan masalah kekinian maupun masalah kehidupan di masa depan. Orang dewasa lebih mengacu pada tugas atau masalah kehidupan (task or problem oriented). Sehingga orang dewasa akan belajar mengorganisir pengalaman hidupnya. (Knowless, 1977, Unesco, 1988, Kamil, 2001, Saraka, 2001)

Berdasarkan kepada kondisi-kondisi itu dan konsepsi andragogi, istilah pendidikan orang dewasa dapat diartikan sebagai Pendidikan yang ditujukan untuk peserta didik yang telah dewasa atau berumur 18 tahun ke atas atau telah menikah dan memiliki kematangan, dan untuk memenuhi tuntutan tugas tertentu dalam kehidupanya. Derkenwald dan Merriam mengungkapkan pengertian pendidikan orang dewasa adalah “is a process where by person whose major social roles characteristic of adult status undertake systematic and sustained

learning activities for the purpose of bringing about chnges in knowledge,

(7)

Knowles (1976) melanjutkan pemahamnan C. Linderman, mengungkapkan bahwa kondisi orang dewasa dalam belajar berbeda dengan anak-anak. Kalaulah pada anak-anak digunakan istilah “padagogy” sehingga diartikan dengan “the art and science of teaching children” atau ilmu dan seni mengajar anak-anak. Menurut pandangannya, mengapa sampai terjadi perbedaan antara kegiatan belajar anak-anak dengan orang dewasa, hal tersebut karena orang dewasa memiliki: 1) Konsep diri (The self-concept), 2) Pengalaman hidup (The role of the learner’s experience); 3) Kesiapan belajar (Readiness to learn); 4) Orientasi belajar (Orientasion to learning); 5) Kebutuhan pengetahuan (The need to know); dan 6) Motivasi (Motivation).

Pendapat-pendapat itu sejalan dengan beberapa definisi yang dikembangkan para ahli diantaranya adalah: Definisi yang diungkapkan oleh Morgan, Barton et al (1976) bahwa, pendidikan orang dewasa adalah suatu aktifitas pendidikan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam kehidupan sehari-hari yang hanya menggunakan sebagian waktu dan tenaganya untuk mendapatkan tambahan intelektual. Sejalan dengan definisi itu, Reevers, Fansler, dan Houle menyatakan bahwa, pendidikan orang dewasa adalah upaya yang dilakukan oleh individu dalam rangka pengembangan diri, dimana dilakukan dengan tanpa paksaan (legal).(Suprijanto, 2007:13). UNESCO lebih tajam mendifinisikan pendidikan orang dewasa sebagai suatu proses pendidikan yang terorganisir baik isi, metode dan tingkatannya, baik formal maupun nonformal, yang melanjutkan maupun menggantikan pendidikan di sekolah, akademi, universitas, dan pelatihan kerja yang membuat orang yang dianggap dewasa oleh masyarakat dapat mengembangkan kemampuannya, memperkaya pengetahuannya, meningkatkan kualifikasi teknis maupun profesionalnya, dan mengakibatkan perubahan pada sikap dan perilakunya dalam persfektif rangkap perkembangan peribadi secara utuh dan partisipasi dalam pengembangan sosial, ekonomi, dan budaya yang seimbang. (Townsend Coles, 1977, Sudjana, 2004:50)

B. Sejarah Perkembangan Andragogi

(8)

penggunaan istilah andragogi dari tahun ke tahun sebagai teori pendidikan baru di samping teori pedagogy.

Pada abad 18 sekitar tahun 1833: Alexander Kapp menggunakan istilah Pendidikan Orang Dewasa untuk menjelaskan teori pendidikan yang dikembangkan dan dilahirkan ahli-ahli filsafat seperti Plato. Juga pendidikan orang dewasa Bangsa Belanda Gernan Enchevort membuat studi tentang asal mula penggunaan istilah andragogi. Setelah era Kapp, pada abad 19 tepatnya tahun 1919, Adam Smith memberikan sebuah argumentasi tentang pendidikan untuk orang dewasa “pendidikan juga tidah hanya untuk anak-anak, tetapi pendidikan juga untuk orang dewasa”. Tiga tahun setelah Adam Smith tepatnya tahun 1921: Eugar Rosenstock menyatakan bahwa pendidikan orang dewasa meggunakan guru khusus, metode khusus dan filsafat khusus.

Pada tahun 1926: The American For Adult Education mempublikasikan bahwa pendidikan orang dewasa mendapat sumbangan dari: 1) Aliran ilmiah seperti Edward L Thorndike. Dan 2) Aliran artistik seperti Edward C. Lindeman. Edward Lindeman menerbitkan buku “Meaning Of Adul Education” yang pada intinya buku tersebut berisi tentang: 1) Pendekatan Pendidikan orang dewasa dimulai dari situasi, 2) Sumber utama pendidikan orang dewasa adalah pengalaman si belajar ia juga menyatakan ada empat asumsi pendidikan orang dewasa, yaitu: (1) orang dewasa termotivasi belajar oleh kebutuhan pengakuan. (2) orientasi orang dewasa belajar adalah berpusat pada kehidupan, (3) pengalaman adalah sumber belajar, (4) pendidikan orang dewasa memperhatikan perbedaan bentuk, wktu, tempat dan lingkungan. Pada perkembangan selanjtnya Edward C. Lindeman menerbitkan journal of Adult Education.

(9)

Adult Education bahwa belajar orang dewasa sangat berkaitan erat dengan pengalaman sehari-hari, sehingga pengetahuan baru harus berdasar pengalaman hidup sehari-hari. Pada tahun tahun 1931; David L Mackage menulis dalam

Journal Adult Education bahwa isi dan metode pembelajaran harus selalu dihasilkan untuk Pendidikan orang dewasa. Tahun 1936: Lyman Buson menyusun buku “Adult Education” dimana buku tersebut membahas secara terperinci tentang tujuan pendidikan orang dewasa sebagai sebuah bentuk sosial untuk mencapai kesamaan tujuan program pada semua institusi pendidikan orang dewasa. Pada tahun 1938: Alan Rogers menulis dalam journal Adult Education bahwa salah satu tipe pendidikan orang dewasa adalah berdasarkan dan penggunaan metode baru sebagai prosedur atau langkah pada pembelajarannya.

Sekitar tahun 1939: Rat Herton menulis dalam journal Adult Education

(10)

Sebuah perjalanan panjang tentang lahirnya istilah andragogi dalam pendidikan, namun pemikiran-pemikiran yang lebih fokus baik dari segi konsep teori, filsafat maupun pada tahapan implementasi (metodologi) seperti pada; proses pembelajaran, tujuan pembelajaran, sasaran pembelajaran serta kaitan antara andragogi dengan masalah ekonomi, sosial, budaya dan politik dimulai pada tahun 1950: dimana Malcolm Knowles menyusun ‘Informal Adult Education” yang menyatakan bahwa inti Pendidikan orang dewasa berbeda dengan Pendidikan tradisional. Disamping itu pula Malcolm Kanowles mengajukan tiga hal penting pada POD, yakni: 1) Mengubah visi peserta belajar khususnya dalam program pendidikan orang dewasa. 2) Mengajukan istilan contiuning learning. 3) Peserta didik pada national training laboratories adalah orang-orang yang telah bekerja.

Begitu pula pada tahun itu fokus andragogi dilahirkan oleh Heinrich Hanselmanan menyusun buku yang berjudul “Andragogi: Nature, Possibilities and Boundaries of Adult Education” yang intinya POD berhubungan dengan pengobatan (bukan medis) dan pendidikan kembali orang dewasa.

(11)

1959: M Ogrizovic menyusun buku “problems of andragogi” bersama dengan Samolovcev, Filipovic dan Sevicevic. Disamping itu pula Brunner menghasilkan riset tentang pandangan luas dari riset penddidikan orang dewasa. Tahun 1960: JR Gibb menyusun buku “Teori belajar dalam pendidikan orang dewasa”. Samolovcev, Fillpovic dan Savecevic memanjakan peserta belajar pada pendidikan orang dewasa/andragogi.

Tahun 1961: April O. Houle menyatakan bahwa orang-orang dewasa tertarik pada continuing education dan alasan orang-orang dewasa belajar adalah: 1) the goal – oriented learners, 2) the activity – oriented learners, 3) the learning– oriented learners. Tahun 1961: Maslow menyatakan dalam pendidikan orang dewasa, peserta belajar harus mencapai aktualisasi diri. Carl Rogers menyatakan dalam pendidikan orang dewasa, peserta belajar harus dapat menunjukan fungsinya. Tahun 1964: Miller menyusun buku “Teaching and Learning in Adult Education”. Wilbur Hallenbeck menyusun buku “Methods and Techniques in Adult Education”. Berikut ini diuraikan secara berurutan perkembangan yang lebih modern tentang sejarah perkembangan andragogi yang ditulis melalui berbagai buku oleh berbagai ahli diantaranya adalah:

Nama Konsep dan Pemikiran yang dikembangkan

Dugan Sevicevic tahun 1967

Menggunakan istilah andragogi untuk pendidikan orang dewasa. Istilah andragogi paralel dengan pedagogy, sehingga ia mengenalkan istilah agogy. Malcolm Knowless

1970

Menyusun buku “the modern practice of adult education, andragogi versus pedagogy”

Kidd JR Tahun 1973

Menyusun buk “how adult learn” pada tahun itu Knowless menyusun buku tentang

“the adult learner” a neglected species” Malcolm Knowless

1975

Menyusun buku “Self Directed Learning”

Knorc AB Tahun 1977 Menyusun buku “Adult Development and learning” Malcolm Knowless

1980

(12)

Tahun 1981

Gordon G Darkenwald dan Sharam B Meriam Tahun 1982

Buku “Adult Education “ Foundation of Practice” Pada tahun itu pula Robert Smith melahirakan buku tentang “Learning How to Learn”

Malcolm Knowles Tahun 1984

menyusun buku “andragogi in action, applaying modern principles of adult learning”

Tahun 1986: Stepen D Brookfield menyusun buku “understanding and facilitating adult learning”

Stepen D Brookfield Tahun 1986

Menyusun buku “understanding and facilitating adult learning”

Itulah sekilas perkembangan sejarah andragogi baik dari segi konsep teori maupun implementasi program pengembangannya di masyarakat. Seperti digambarkan pada awal pembahasan buku ini, istilah andragogi pertama kali digunakan oleh Alexander Kapp tahun 1833 yaitu yang menjelaskan konsep-konsep dasar teori pendidikan dari Plato. Sehingga penggunaan istilah andragogi telah dimulai pada abad ke-18 (Cross, 1981). Perkembangan selanjutnya sejak tahun 1920-an pendidikan orang dewasa (andragogi) telah dirumuskan dan diorganisasikan secara sistematis. Pendidikan orang dewasa dirumuskan sebagai suatu proses yang menumbuhkan keinginan untuk bertanya dan belajar secara berkelanjutan sepanjang hidup. Belajar bagi orang dewasa berhubungan dengan bagaimana mengarahkan diri sendiri untuk bertanya dan mencari jawabannya (Pannen 1997 dalam Suprajitno, 2007:11).

(13)

mulai dirumuskan menjadi teori baru sejak tahun 1970-an, oleh Malcolm Knowless. Knowless memperkenalkan istilah tersebut teutama untuk pembelajaran pada orang dewasa.

Malcolm Knowless menyatakan bahwa apa yang kita ketahui tentang belajar selama ini adalah merupakan kesimpulan dari berbagai kajian terhadap perilaku kanak-kanak dan binatang percobaan tertentu. Pada umumnya memang, apa yang kita ketahui kemudian tentang mengajar juga merupakan hasil kesimpulan dari pengalaman mengajar terhadap kanak-kanak. Sebagian besar teori belajar mengajar didasarkan pada perumusan konsep pendidikan sebagai suatu proses pengalihan kebudayaan. Atas dasar teori-teori dan asumsi itulah tercetus istilah “pedagogi” yang akar katanya berasal dari bahasa Yunani, paid (kanak-kanak) agogos (memimpin). Pedagogi dengan demikian berarti memimpin kanak-kanak, atau pendefinisi diartikan secara khusus sebagai “suatu ilmu dan seni mengajar kanak-kanak”. Akhirnya pedagogi didefinisikan secara umum sebagai “ilmu dan seni mengajar anak-anak”.

Penggunaan atau penerapan proses pendidikan atas dasar pendekatan andragogi mulai dikembangkan beberapa waktu terakhir ini terutama bersamaan dengan berkembangnya konsep pendidikan nonformal di tengah-tengah masyarakat sebagai model pendidikan alternatif bagi masyarakat tertentu (masyarakat negara berkembang). Perkembangan teori dan istilah andragogi berkembang dengan pesat di daratan Eropa, dimana perkembangannya sangat pesat dan dalam banyak hal jauh melampaui perkembangan yang sama yaitu di Amerika Serikat. Di Eropa, pendekatan andragogi sudah mulai digunakan dalam penanganan kasus-kasus dalam bidang pelayanan masyarakat, proses kemasyarakatan kembali, pendidikan luar sekolah, manajemen personalia, organisasi-organisasi masa, program pembangunan masyarakat.

(14)

C. Kaitan andragogi , pedagogi dan pedagogi kritis

Pada awal teori pendidikan didasarkan pada anggapan bahwa tujuan utama pendidikan adalah mengalihkan keseluruhan pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Asumsi tersebut dikelola secara menyeluruh oleh sistem pendidikan dengan alasan, 1) kecepatan perubahan yang terjadi dalam tata budaya atau masyarakat cukup lamban sehingga memungkinkan untuk menyimpan pengetahuan dalam kemasan tertentu serta menyampaikannya sebelum pengetahuan itu sendiri berubah. 2) keadaan tersebut tidak berlaku lagi di abad modern saat ini, dimana pengetahuan dapat menimbulkan perubahan-perubahan sedemikian pesat. Kecepatan dan banyaknya perubahan dalam masyarakat telah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang meragukan “teori pengalihan pengetahuan” melalui pendidikan.

Jika rumusan terakhir ini disetujui, maka ada dua konsekuensi yang akan menyertainya. Pertama pendidikan tidak lagi merupakan sebuah kegiatan yang diperuntukan bagi anak-anak. Kedua tanggung jawab untuk menetapkan apa yang harus diajarkan dan yang akan dipelajari beralih dari pihak guru ke murid. Pendidikan sebagai suatu proses sepanjang hayat, sehingga akan mampu memenuhi kebutuhan dan pengalaman manusia yang juga terus berubah sehingga pendidikan dianggap sebagai sebuah proses berkelanjutan yang harus dilakukan secara terus menerus sesudah masa kayak-kanak sekalipun. Beberapa prinsip yang mendasari asumís-asumsi tersebut adalah:

a. Bahwa hidup itu sendiri adalah pengalaman pendidikan.

(15)

pengetahuan dari situasi yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Belajar dari pengalaman, merupakan sesuatu yang sangat penting bagi orang dewasa. b. Pendidikan adalah proses berulang tanpa henti untuk mengatasi berbagai

konflik sosial.

Masalah-masalah sosial yang dihadapi saat ini, seperti; tindakan kejahatan, kemiskinan, masalah narkotika, adalah jauh lebih banyak terjadi dan lebih gawat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Dengan demikian terdapat kebutuhan yang lebih besar untuk memecahkan permasalahan-permasalahan tersebut melalui proses pendidikan-ulang (re educational). Reeducation sebagai suatu proses, tidak hanya mempengaruhi unsur-unsur kognitif (fakta, konsep, keyakinan), tetapi juga merubah nilai-nilai (minat, perasaan, sikap). Reeducation menjadi lebih efektif tidak hanya melalui ungkapan lisan, tetapi juga melibatkan perubahan dari anutan-anutan nilai-nilai lama ke anutan-anutan nilai-nilai baru, serta penghayatan perilaku baru yang akan mempertegas anutan nilai-nilai baru tersebut. Terdapat dua pra syarat mutlak bagi berhasilnya proses reeducation. Pertama, seseorang harus terlibat secara aktif bersama orang lain berusaha menemukan secara terus menerus untuk memperbaiki dirinya. Kedua harus ada jaminan kemerdekaan kepada setiap kelompok untuk menerima atau menolak nilai-nilai baru yang diperkenalkan. Karena itu proses reeducation sebagai suatu pendidikan berkelanjutan untuk orang dewasa saat ini.

c. Proses belajar adalah pemahaman tentang bagaimana caranya belajar.

(16)

Proses pemahaman dan penyadaran ketiga hal tersebut sebenarnya terjadi pada semua individu baik anak-anak maupun orang dewasa, kualitas pemahaman dan kesadarannya sangat bergantung pada kemampuan dalam memaknai pengalaman-pengalaman tersebut sebagai sebuah proses belajar. Seseorang yang sudah mengalami kegagalam dalam satu waktu tidak mungkin mau memperoleh kegagalan yang kedua kalinya, konsepsi itu terjadi sebagai akibat adanya proses belajar dalam kehidupan atau proses reedukasi sebagai pengalaman pendidikan. Seperti kita pahami dalam konsep andragogi, secara alamiah setiap hari sesungguhnya kita belajar, baik disengaja maupun tidak disengaja. Orang dewasa lebih banyak belajar dari pengalaman. Pengalaman adalah guru yang paling baik, tetapi tidak semua kita mampu memberi arti atas pengalaman yang dilaluinya. Bisa jadi hidup kita berlalu begitu saja tanpa banyak arti.

Belajar bagi orang dewasa adalah memaknai suatu keadaan yang dihubungkan dengan pengalaman sebelumnya dan kehidupan kesehariannya, terutama yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Menurut Paulo Freire sebagai proses aksi refleksi atau disebut juga sebagai proses dialektika (Musa, 2005:25). Aksi artinya mengerjakan atau mengalami, refleksi artinya merenungi, menganalisis atau memaknai. Sedangkan proses dialektika terjadi karena perenungan itu mendasari aksi sebagai proses belajar dari pengalaman. Orang dewasa tidak butuh belajar yang tidak relevan dengan kehidupannya, tetapi bukan berarti teori tidak dibutuhkan. Orang dewasa belajar untuk meningkatkan kualitas hidupnya, termasuk bagi orang yang pekerjaan atau hobinya berhubungan dengan teori-teori dan ilmu pengetahuan.

Perbedaan teori pedagogi dengan andragogi semakin nyata ketika kita memahami, bahwa pedagogi adalah pendidikan atau belajar adalah mentrasfer pengetahuan kepada peserta didik murid maka andragogi lebih menekankan kepada menumbuhkan dorongan dan minat untuk belajar secara mandiri. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari asumsi-asumsi belajar bagi orang dewasa. a. Citra diri

(17)

pencapaian tingkat kematangan psikologis atau tahap masa dewasa. Orang yang mencapai masa dewasa akan berkecil hati apabila diperlakukan sebagai anak-anak. Dalam masa dewasa ini, seseorang telah memiliki kemauan untuk mengarahkan diri sendiri untuk belajar. Dorongan hati untuk belajar terus berkembang dan seringkali justru berkembang sedemikian kuat untuk terus melanjutkan proses belajarnya tanpa batas. Implikasi dari keadaan tersebut adalah dalam hal hubungan antara guru dan murid pada proses andragogi, hubungan ini bersifat timbal balik dan saling membantu. Sedangkan pada proses pedagogik hubungan itu lebih ditentukan oleh guru dan bersifat mengarahkan.

b. Pengalaman

Orang dewasa dalam hidupnya mempunyai banyak pengalaman yang sangat beraneka ragam. Pada masa kanak-kanak, pengalaman itu justru hal yang baru sama sekali. Masa kanak-kanak memang mengalami banyak hal, namun belum berlangsung sedrmikian sering mereka alami. Dalam pendekatan proses andragogi, pengalaman orang dewasa justru dianggap sebagai sumber belajar yang sangat kaya. Dalam pendekatan pedagogi, pengalaman itu justru dialihkan dari pihak guru ke pihak murid. Sebagian besar proses belajar dalam pendekatan pedagogik dilaksanakan dengan cara komunikasi satu arah seperti ceramah, penguasaan kemampuan membaca. Pada proses andragogi lebih bersifat komunikasi dua arah atau banyak arah seperti diskusi kelompok, simulasi, permainan peran, kelompok diskusi, dan tim belajar. Dalam proses seperti itu, maka semua pengalaman peserta didik dapat didayagunakan sebagai sumber belajar.

c. Kesiapan belajar

(18)

berdasarkan tingkat-tingkat kelas tertentu dimana kurikulumnya ditentukan sepenuhnya oleh guru.

d. Waktu dan arah belajar

Pendidikan dipandang sebagai upaya mempersiapkan anak untuk masa depan. Dalam pendekatan andragogi, belajar dipandang sebagai suatu proses pemecahan masalah ketimbang sebagai proses pemberian mata pelajaran tertentu. Karena itu, andragogi merupakan suatu proses penemuan dan pemecahan masalah nyata pada masa kini. Arah pencapaiannya adalah penemuan suatu situasi yang lebih baik, suatu tujuan yang sengaja diciptakan, suatu pengalaman korektif atau suatu kemungkinan pengembangan berdasarkan kenyataan yang ada saat ini. Untuk menemukan dimana kita sekarang, dan kemana kia akan pergi itulah pusat kegiatan dalam proses andragogi. Belajar dalam pendekatan andragogi adalah memecahkan masalah hari ini. Sedangkan pendekatan pedagogi belajar itu justru merupakan proses pengumpulan informasi yang sedang dipelajari yang akan digunakan pada waktu yang akan datang (masa depan).

Model asumsi pedagogi dan andragogi muncul sebagai dua pendekatan rancang bangun dan pengoperasian program pendidikan yang berbeda (Knowles 1985). Bentuk dasar model pedagogi adalah suatu rencana isi (content plan) yang menuntut para pendidik untuk menjawab empat pertanyaan saja, yaitu: 1) apakah isi yang perlu dicakup, 2) bagaimana isi tersebut dapat diorganisasikan ke dalam satuan yang terkelola, 3) bagaimana urutan yang paling logis untuk menyajikan satuan-satuan tersebut, 4) alat apakah yang paling efisien untuk menyampaikan isi tersebut.

Bentuk dasar model pedagogi berlainan dengan bentuk dasar model andragogi. Pada andragogi, rancang bangun program pendidikan lebih bersifat proses (process design). Tutor atau pendidik memiliki peranan rangkap yaitu 1) sebagai perancang dan pengelola proses dan 2) sebagai sumber belajar.

(19)

mengidentifikasi kebutuhan belajarnya secara realistis dan bertanggung jawab, 4) prosedur apakah yang dapat digunakan untuk membawa warga belakar menerjemahkan kebutuhan yang telah didiagnosis ke dalam tujuan belajar, 5) prosedur apakah yang dapat digunakan untuk membantu peserta didik mengidentifikasi sumber-sumber belajar dan mengembangkan strategi pemanfaatannya guna mencapai tujuan belajar, 6) bagaimana membantu peserta didik membuat rencana tujuan belajar, dan 7) bagaimana melibatkan peserta didik di dalam penilaian belajar mereka (Knowless, 1986:14-18).

Implikasi dari pertanyaan-pertanyaan itu akan mengacu pada langkah-langkah belajar untuk pendidikan orang dewasa. Implikasi yang dimaksud adalah bagaimana menyelenggarakan pembelajaran yang kondusif yang dibutuhkan oleh orang dewasa dalam proses belajarnya.

Langkah-langkah itu yaitu: 1) menciptakan iklim untuk belajar, 2) menyusun suatu bentuk perencanaan kegiatan secara bersama dan saling membantu, 3) menilai atau mengidentifikasikan minat, kebutuhan dan nilai-nilai, 4) merumuskan tujuan belajar, 5) merancang kegiatan belajar, 6) melaksanakan kegiatan belajar dan 7) mengevaluasi hasil belajar (menilai kembali pemenuhan minat, kebutuhan, dan penacpaian nilai-nilai). Dengan ketujuh langkah tersebut, maka andragogi dapat dipandang sebagai suatu model sistem belajar “feed back loop” (gelung umpan balik). Dalam pengertian ini andragogi dapat dipandang sebagai suatu proses perkembangan yang berkelanjutan untuk belajar orang dewasa.

(20)

kita secara terus menerus dapat menilai kembali kebutuhan belajar kita yang timbul dari tuntutan situasi yang selalu berubah, 4) Dengan demikian, kalau ditarik pengertiannya sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harfiah dapat diartikan sebagai ilmu dan seni membantu/membimbing orang dewasa belajar. Namun karena orang dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada peserta didik itu sendiri dan bukan seperti seorang guru mengajarkan sesuatu kepada murid-muridnya.

Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku baik pada kanak-kanak maupun pada orang dewasa. Ilmu-ilmu perilaku yang menyangkut pada peserta didik/ peserta pelatihan maupun perilaku pemimpin (manajer, fasilitator, trainer) harus dapat dipahami dengan baik. Hal ini tidak terlepas dari konsep pedagogi maupun andragogi. Dalam pelatihan yang dilaksanakan, perilaku-perilaku peserta semuanya mengarah pada tujuan pembelajaran yaitu proses perubahan tingkah laku yang mempunyai pengetahuan, sikap yang baik, dan keterampilan.

Seorang pelatih harus mampu membaca situasi perilaku dari peserta pelatihan untuk mengarahkan pada tujuan tersebut. Hal ini didasari dari prinsip-prinip teori perilaku bahwa prinsip yang paling penting dari teori belajar perilaku ialah perilaku berubah menurut konsekuensi-konsekuensi langsung. Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan akan memperkuat perilaku, sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan akan melemahkan perilaku (Ratna Wilis Dahar). Asumsi-asumsi pokok menggunakan pendekatan andragogi berdasar pada empat asumsi: 1) bahwa orang dewasa mengarahkan tujuan belajarnya sendiri, 2) bahwa pengetahuan yang telah dimilikinya merupakan sumber belajar untuk pembelajaran selanjutnya, 3) bahwa orang dewasa belajar setelah ia sendiri merasa ingin belajar, kegiatan belajar adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (rumah, pekerjaan dan sebagainya), 4) orang dewasa belajar karena mencari kompetensi untuk memenuhi kebutuhannya yang lebih tinggi, seperti kebutuhan untuk pengembangan potensi diri, mereka ingin merasakan hasil dari belajarnya, apa yang dipelajari harus dapat dirasakan.

(21)

a. Konsep diri

Asumsinya bahwa sesungguhnya dan kematangan diri seseorang bergerak dari ketergantungan total (realita pada bayi) menuju ke arah pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih tergantung sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh penghargaan orang lain sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (sel determination), mampu mengarahkan dirinya sendiri (self direction). Apabila orang dewasa tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan menimbulkan penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan psikologis yang dalam agar secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi tertentu. Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek latihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.

b. Peranan pengalaman

Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam perjalanannya seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman pahit getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar yang demikian kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi pelatihan atau pembelajaran orang dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal seperti yang dipergunakan dalam pelatihan konvensional dan menjadi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal dengan “experiential learning cycle” (proses belajar berdasarkan pengalaman).

(22)

lapang, melakukan praktek dan lain sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peran serta atau partisipasi peserta pelatihan.

c. Kesiapan belajar

Asumsi bahwa setiap individu semakin menjadi matang sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan sosialnya. Pada seorang anak belajar karena ada karena adanya tuntutan akademik atau biologiknya. Tetapi pada orang dewasa siap belajar sesuatu karena tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi dalam peranannya sebagai pekerja, orang tua atau pemimpin organisasi.

Hal ini membawa implikasi terhadap materi pembelajaran dalam suatu pelatihan tertentu. Dalam hal ini tentunya materi pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan peranan sosialnya.

d. Orientasi belajar

Asumsi yaitu bahwa pada anak orientasi belajarnya seolah-olah sudah ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki orientasi yang berpusat pada materi pembeljaran (subject matter centered orientation). Sedangkan pada orang dewasa mempunyai kecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (problem centered orientatin). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang dewasa.

(23)

persamaan antara andragogi dan pedagogi dapat dicermati dalam tabel dengan murid yang tidak tahu apa-apa dan harus menerima.

4. Pada andragogi diciptakan proses saling membelajarkan diri, pada pedagogi tercipta proses belajar dari guru.

5. Pada andragogi peserta mutlak harus aktif berpartisipasi, pada pedagogi murid lebih banyak menerima.

Andragogi dan pedagogi kritis, dapat dilihat dari sebuah proses satu arah yang sederhana. Pendidik atau Tutor tidak memainkan peran sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan memberikan pengetahuan itu kepada para muridnya. Peran pendidik dalam sebuah proses pendidikan kritis bukan memberikan jawaban tetapi menciptakan pertanyaan-pertanyaan. Seringkali para ahli memberikan definisi, bahwa pedagogi kritis adalah juga andragogi, namun untuk lebih mendasar dapat dilihat sebuah proses pendidikan kritis dapat dicermati dari: 1) Suatu proses kolektif artinya melibatkan komunitas pada proses saling

mengajar dan belajar dari pengalaman,

2) Sesuatu yang kritis dan mencerdaskan artinya mencari sejarah dan akar masalah,

(24)

4) Bersifat partisipatoris artinya melibatkan semua orang dalam proses penelitian, pendidikan dan organisasi, dan

5) Sesuatu kreatif artinya menggunakan kesenian dan kebudayaan (drama, gambar, musik, cerita, foto) sebagai alat bantu pendidikan, merangsang rakyat berimajinasi dan memanfaatkan tenaga rakyat sesungguhnya.

Pendidikan kritis bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Hanya saja perlu diperhatikan konteks sejarah komunitas, sistem ekonomi politik, dan juga edeologi yang dominan di wilayah belajar tersebut.

D. Andragogi dalam memacu kebutuhan belajar dan meningkatkan kemandirian

1. Andragogi dan kebutuhan belajar

Mengacu pada definisi-definsi, asumsi dan prinsip andragogi yang telah diungkapkan, memberikan gambaran, bahwa orang dewasa melakukan kegiatan belajar karena didorong oleh beberapa alasan. Diantaranya adalah karena dorongan instink, kebutuhan intelektual dan keinginan meraih sesuatu. Keinginan untuk belajar merupakan suatu kecenderungan yang muncul dari dalam diri seseorang sehingga ia melakukannya secara alamiah, terutama jika tidak dikondisikan. Akan tetapi kadangkala kecenderungan tersebut kurang berkembang di tempat kerja, malahan sebaliknya kegiatan belajar sengaja diciptakan sebagai suatu pengalaman yang membingungkan, seringkali orang berupaya mencari kesenangan dan mencegah kesusahan, oleh karena itu penciptaan susana belajar yang tidak menyenangkan merupakan suatu kegiatan yang biasa.

Pada dimensi andragogi, dewasa memiliki definisi yang menyatu dengan kebutuhan belajar yang tidak sekedar dipandang sebagai kebutuhan intelektual serta keinginan meraih sesuatu saja dalam kehidupan, akan tetapi belajar sudah dipandang sebagai:

(25)

secara positif sebagai seorang pribadi yang utuh untuk memperbaiki diri dan kehidupannya.

b. Planful intents, dewasa berarti memiliki kemampuan mendiagnosis kebutuhan belajar, menetapkan tujuan pribadi secara wajar sesuai kebutuhan tersebut dan merancang strategi yang efektif untuk merealisasikan tujuan belajar. Dalam prosesnya, dewasa juga berarti kemampuan memanfaatkan bantuan/pertolongan dan nasehat orang lain sambil mempertimbangkan kepentingan dan tujuan belajarnya.

c. Intrinsic motivation, dewasa berarti orang yang memiliki motivasi intrinsik, dimana motivasi tersebut dapat bertahan dalam menyelesaikan tugas-tugas belajar tanpa ada tekanan eksternal dalam bentuk hadiah, sanksi atau hukuman (rewards, sanctions or punishment). Orang dewasa dapat meneruskan kegiatan belajar, serta mampu menunda atau menghentikan kepentingan lain demi kelanjutan kegiatan belajarnya.

d. Internalized evaluation, dewasa berarti mampu bertindak sebagai agen evaluator, terutama dalam menilai kualitas kinerja yang akurat sesuai dengan informasi yang dikumpulkan sendiri. Dengan demikian dewasa berarti mampu mengiternalisasi proses evaluasi, sehingga memperoleh masukan dari orang lain dan terbuka terhadap penialian orang lain.

e. Opennes to experience, dewasa berarti terbuka kepada pengalaman baru, serta mampu melibatkan diri dalam berbagai kegiatan belajar dan menetapkan tujuan, memiliki curiosity, tolerance of ambiguity, preference of complexity and even playfulnees, juga mempunyai motif untuk memasuki kegiatan baru. Konsepsi tersebut dapat memberikan sesuatu yang memuat konstruk-konstruk yang lebih spesifik dalam mempelajari pengelaman-pengelaman barunya. f. Learning flexibility, fleksibilitas dalam belajar menyiratkan kedewasaan dalam

(26)

atau bahaya dalam konteks budaya tertentu. Kedewasaan dalam konteks autonomy dapat dipandang sebagai suatu kemampuan dalam memasalahkan standar, norma dalam kurun waktu dan tempat tertentu terutama berkaitan dengan jenis kegiatan belajar yang memungkinkan dan dianggap memiliki nilai bagi hidup dan kehidupannya. Autonomy dapat dibelajarkan dan dilatihkan untuk melayani kepentingan pribadi dan sosial kemasyarakatan.

Andragogi memandang, bahwa dalam memacu tumbuhnya dewasa dalam belajar diperlukan terciptanya belajar sepanjang hayat, terutama dalam pengembangan hasrat, minat, kebutuhanm motivasi dan kemampuan lainnya. Secara holistik, Hatton (1997:38-40) mengenalkan konsep DAMN seperti terlihat pada diagram dibawah:

Diagram The Whole DAMN Circle (Hatton, 1997)

a. Desire to learn

Seperti diuraikan pada bagian awal buku ini, orang dewasa dalam melakukan kegiatan belajar didorong oleh beberapa alasan. Diantaranya adalah karena dorongan instink, kebutuhan intelektual dan keinginan meraih cita-cita. The desire to learn merupakan suatu kecenderungan yang muncul dari dalam diri seseorang sehingga ia mau belajar secara alamiah terutama apabila tidak dikondisikan. Bagi individu yang memiliki pengalaman belajar positif dapat mengembangkan kepercayaan diri dan kegemaran untuk belajar yang lebih jauh. Orang dewasa dalam belajar, cenderung melakukan penyelidikan dan

D

esire

M

eans

A

bility

N

eed Life long

(27)

pencarian terhadap apa yang mendorong rasa ingin tahu dan intelektualitasnya. Namun demikian ada kendala seringkali belajar tidak dianggap sebagai suatu aktivitas sepanjang hayat. Padahal apabila disadari aktivitas belajar kan merangsang akal, mempertinggi motivasi dan memberi keterampilan dasar bagi individu. Disamping itu pula, belajar tidak hanya mempersiapkan seseorang menghadapi kehidupan tetapi merupakan esensi kehidupan. Manakala kekuatan belajar kurang memberi motivasi, maka self motivation

dalam diri akan semakin berkurang dan mungkin tidak berarti atau sia-sia. Penerapan prinsip andragogi dalam proses pembelajaran menjadi penting, karena sasaran (peserta didik, warga belajar, murid) tidak akan pernah mandiri dalam menentukan apa yang mau dipelajari, bagaimana cara mempelajarinya dan dengan strategi apa yang digunakan untuk mempelajari sesuatu dan kadangkala juga tidak belajar secara baik. Knowless (1984) dalam keyakinannya berpendapat bahwa peserta didik tidak akan belajar, meskipun mereka dianggap sebagai orang dewasa yang memiliki motivation, orientation, readines to learn and experiences. Akan lebih tertartik dan responsif terhadap kebutuhan belajarnya dan terus memperkuat positive self concept-nya dengan memberdayakan dan menggiring kemampuan untuk belajar secara mandiri dan berkelanjutan. Ditegaskan bahwa: “The most socially useful learning in the modern world is the learning of the process of learning; a continuing openess

to experience and in coprporation into one self of the process of change” (Rogers, 1979). Agar peserta didik dengan segala keterbatasannya dapat memahami suatu secara bermakna, maka ekspektasi dan preferensinya harus dipadukan dalam sebuah proses belajar yang mengandung makna andragogi, akan tetapi dengan tetap mempertimbangkan segala perbedaan minat dan kemampuan yang mereka memiliki terutama keterbatasan dalam belajar. Hal yang perlu diingat adalah bahwa proses belajar hanya mungkin tercipta jika peserta didik menginginkan sesuatu, memperhatikan sesuatu, melakukan sesuatu dan menerima sesuatu. Miller dan Dollard menegaskan bahwa: “Learning takes place when something, notice something, does something and receiving something. This, learning in this view requires the interplay of four

(28)

receiving aspect). If any motivation were set to zero, for example or if no

reward were forthcoming for responses made, learning would be disputed” (Miller and Dollard, 1973:134).

b. Ability to learn

Ahli-ahli psikologi kognitif seperti Bruner, Ausabel, Piaget dan lainnya percaya bahwa kesadaran dalam diri individu memainkan peran penting dalam belajar. Belajar bukan hanya sekedar menerima informasi secara pasif, melainkan suatu kegiatan aktif dalam memaknai pengalaman belajar. Belajar bukan juga sebagai usaha pemenuhan kebutuhan intelektual dengan keterpaksaan, akan tetapi belajar perlu dilakukan dengan cara melibatkan diri secara aktif dalam proses partisipasi aktif sebagai subjek, bukan objek (Hoxeng, 1976). Dalam sebuah proses pembelajaran, sasaran belajar perlu didorong memahami kebermaknaan tugas-tugas belajarnya, sehingga sasaran berada pada kemampuan dan peningkatan penguasaan terhadap langkah-langkah kegiatan belajar secara bermakna. Novak dan Gowin (1984) menyebutkan: To learn meaningfully, individuals must choose to relate new knowledge to relevant concept and propositions they already know. To help

them learn and organize learning materials, they are encourage to make;

concept mapping; to see meanings of learning materials and knowledge and

Vee diagram to penetrate the structure and meaning of the knowledge to

understand (Novak dan Gowin, 1984).

Bagaimana kita dapat membantu individu atau masyarakat merenungkan pengalamannya dan mengkonstruksi hal-hal baru sehingga bermakna, kadangkala ada suatu kelemahan psikologik perilaku dan psikologi kognitif, dimana keduanya seringkali mengabaikan aspek perasaan (feeling). Padahal:

Human experience involves not only thinking and acting but also feeling and it

is only when all there are considered together that individuals can be

empowered to enrich the meaning of their experience. (Novak dan Gowin, 1984:xi)

(29)

and learning to live together. Pilar pertama learning to know pada prinsipnya sejalan dengan penerapan paradigma ilmu pengetahuan, dimana proses (belajar) dan pembelajaran dilakukan sejak di tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Learning to know memungkinkan sasaran mengetahui, memahami dan menghayati cara-cara pemerolehan pengetahuan melalui fenomena yang berada di lingkungannya, belajar memaknai dan mempercayai bahwa manusia sebagai pemimpin di muka bumi, sehingga memungkinkan terciptanya transfer of training. Pilar kedua, learning to do lebih merujuk kepada upaya peserta didik menghayati proses belajar melakukan sesuatu yang bermakna, belajar berbuat dan melakukan (learning by doing) sesuatu secara aktif, belajar mencatat, membaca, menulis, membuat ringkasan, dan dapat mendayagunakan kemampuan intelektual, psikomotorik dan emosionalnya. Pilar ketiga, learning to be, memungkinkan terciptanya atau lahirnya manusia terdidik dan mandiri, memiliki rasa kemandirian dan tanggung jawab serta kepercayaan kepada diri dan orang lain. Sikap percaya diri lahir dari pemahaman dan pengenalan diri dengan tepat dan penuh kebahagiaan dalam belajar, menemukan dirinya sebagai pangkal tolak pembentukan kemandirian. Terakhir, learning to live together lebih merujuk kepada kerukunan dan kedamaian hidup.

c. Means to learn

(30)

memberikan dukungan informal untuk mengembangkan pendidikan sepanjang hayat. Dalam hal ini organisasi swasta, perusahaan-perusahaan (pemilik-pemilik modal) perlu dilibatkan dalam penyediaan peluang-peluang belajar untuk mempertahankan kualitas tenaga kerjanya dengan membuka peluang-peluang dan kesempatan belajar. Pemerintah memainkan peran serta sebagai pembuat kebijakan dan penyedia sumberdaya. Kebijakan harus bersifat spesifik–kontekstual sesuai agenda dan variasi-variasi dari batas-batas geografis dan politis yang ada.

d. Need to learn

Belajar dalam konsepsi belajar sepanjang hayat merupakan suatu kebutuhan. Dengan alasan kebutuhan, setiap individu akan mendorong dirinya untuk belajar (learning to learn) sehingga dapat mempelajari dan merespon secara cerdas pengetahuan-pengetahuan yang secara ekponensial terus meningkat dan berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kehidupan. Kebutuhan untuk belajar (need to learn) merupakan kebutuhan yang paling mendesak dalam rangka meningkatkan peran pendidikan sepanjang hayat. Perubahan dunia secara cepat, sebagai dampak globalisasi, baik dibidang teknologi, informasi, ekonomi jasa dan tuntutan pasar menuntut individu untuk terus beradaptasi dengan kondisi atau produk baru yang dilahirkan masyarakat maju. Tantangan ke depan cenderung lebih dinamis dan serba cepat. Pertumbuhan cepat dan keusangan informasi mendorong orang belajar terus sepanjang hayat. Pengetahuan dan kemampuan yang telah diperoleh perlu divalidasi ulang secara periodik. Asosiasi kerjasama dalam pembangunan ekonomi menuntut perlunya penyediaan pendidikan profesi lanjutan untuk pekerja (personalia) yang memiliki kualifikasi tinggi.

(31)

belajar mencari bentuk (a way of becoming and being) dan menunjukkan adanya pembaharuan. Botkin (1984)

Belajar sudah menjadi suatu kebutuhan hidup masyarakat. Sarana dan prasarananya perlu diperbanyak dan jangkauannya diperluas sampai ke pelosok-pelosok (daerah pedesaan, daerah perbatasan, suku terasing, pulau-pulau terpencil, daerah pegunungan/pedalaman dll). Makna belajar konvensional yang dibatasi dengan waktu dan tempat, metode, teknik, bahan belajar, sarana dan prasarana terbatas. Perbedaan pengertian belajar yang dipakai di sekolah seperti di atas dengan pengertian belajar yang dipakai dalam buku ini tidak bermaksud mengabaikan pendidikan sebagai suatu cara fundamental dan alat formal untuk meningkatkan kemampuan belajar.

(32)

Seperti diketahui autonomy dalam konteks andragogi dapat dipandang sebagai suatu kemampuan dalam memasalahkan standar, norma dalam kurun waktu dan tempat tertentu terutama berkaitan dengan jenis kegiatan belajar yang memungkinkan dan dianggap memiliki nilai bagi hidup dan kehidupan. Autonomy dapat dibelajarkan dan dilatihkan untuk melayani kepentingan pribadi dan sosial kemasyarakatan. Sejalan dengan konsep pendidikan nasional, bahwa core value pendidikan nasional adalah independency (kemandirian). Kemandirian dalam hal ini berarti suatu momot karakteristik individu sehingga mampu membuat keputusan sendiri setelah secara masak dan konsekuen mampu mensistemkan dan mensinergikan lingkungannya secara baik. Secara tegas DePorter menyebutkan, bahwa: Core value independency, tampil dalam proses pendidikan sebagai sebuah proses empowering atau pemberdayaan. Artinya dengan berbagai pembekalan isi dan wawasan ditumbuhkan kreativitas individu dan satuan sosial, dan secara jeli dan cerdas mampu mensistemkan dan sekaligus mensinergikan lingkungannya untuk menggapai kemandirian (independency). (DePorter, 1999:43)

Beberapa instrumental value yang dapat mendukung kemandirian dalam rangka menjangkau core value ideal atau seringkali disebut excellence. Secara jelas diagramnya digambarkan pada tabel berikut ini:

Nilai-nilai Kemandirian

Instrumental value yang pertama adalah autonomy; kesadaran dimilikinya otoritas pribadi atau otoritas satuan sosial.

(33)

kedua yakni ability; Dalam proses pendidikan ability mencakup pengertian habilitas dan validitas, terampil atau ahli dan diakuinya keterampilan dan keahlian tersebut melalui sebuah bukti nyata. Ability perlu dibina dalam wawasan bahwa ability-nya memerlukan komplementasi dan dalam interdependensi dengan ability orang lain. Sehingga diperlukan instrumental value yang ketiga yaitu kesadaran demokrasi.

Akibat adanya perubahan teknologi dan perkembangan industrialisasi serta persaingan tenaga kerja semakin ketat, maka pada konteks ini perlu adanya

kreativitas sebagai instrumental value pendukung. Oleh karena itu perubahan bukan lagi mengikuti garis linier deret hitung, melainkan sudah menjadi eksponensial. Sehingga tuntutan kreativitas menjadi semakin penting, dan pendidikan yang mengandung unsur kreativitas sejak dini menjadi semakin signifikan. Kreativitas dalam makna lokal maupun global tidaklah dikembangkan untuk saling menggilas dan mematikan, tetapi dalam makna dikembangkan untuk memberi komplementasi atau komparasi alternatif. Sehingga memerlukan instrumental value yang kelima yakni; kesadaran kebersamaan kompetitif. Kompetisi rasional akan tampil berupa kompetisi untuk keunggulan dengan cara sportif, dapat diperkaya dengan kompetisi religius human menjadi kompetisi untuk menampilkan keunggulan dalam membuat kebajikan.

Kreativitas yang sifat dasarnya rasional, dan kompetisi rasional serta kompetisi religious human akan menjadi lebih lengkap bila dikomplementasi dengan dua instrumental value yang keenam dan ketujuh, yaitu nilai aestetis dan

wisdom (bijak). Makna aestetis mencakup makna original, harmonis dan mensucikan dalam penghayatan fungsi hati, fungsi sosial, dan fungsi teknik. Instrumental value aestetis disamping mampu menampilkan moral mensucikan, memiliki makna bahwa dengan menghayati produk seni yang indah, yang muncul adalah hati yang bersih, bukan emosi dan persepsi lain. Makna bijak mencakup makna saling memahami kesamaan dan keberbedaan dan saling menghargai dan menghormatinya. Instrumental value lainnya adalah bermoral. Instrumental value yang akan tumbuh lebih lanjut setelah instrumental value-instrumental value terpatri dalam diri individu adalah dignity (harkat), pride (martabat) dan

(34)

Nilai-nilai kemandirian yang dimiliki individu akan menjadi sempurna apabila didukung oleh sifat-sifat kemandirian meliputi: mandiri psikososial, kultural dan ekonomi, disiplin prakarsa dan wirausaha, kepemimpinan dan orientasi prestasi dalam persaingan. Pada konteks dunia kerja mandiri atau kemandirian muncul seiring dengan berkembangnya orientasi kerja, yang mengarah pada sikap wirausaha/wiraswasta. Perilaku mandiri merupakan fundamen dasar bagi seseorang dalam meningkatkan kualitas kerja (pekerjaannya). Suharsono Sagir (1986) menyatakan: Mandiri, menciptakan kerja untuk diri sendiri, maupun berkembang menjadi individu yang mampu menciptakan lapangan kerja bagi orang lain ataupun mampu menjadi cendikiawan, manusia yang berkreasi, inovatif, melalui ide-idenya atau hasil penemuannya, menjadikan masyarakat lebih baik; baik dalam bentuk inovasi teknologi, ataupun inovasi ilmu yang mampu mengembangkan ilmu lebih maju, sebagai upaya preventive maupun repressif untuk kelangsungan hidup sumberdaya manusia.

Kemandirian sebagai kepribadian atau sikap mental yang harus dimiliki oleh setiap orang yang di dalamnya terkandung unsur-unsur dengan watak-watak yang ada di dalamnya perlu dikembangkan agar tumbuh menyatu dalam setiap gerak kehidupan manusia. Asumsi tersebut menunjukkan bahwa kemandirian dapat menentukan sikap dan perilaku seseorang menuju ke arah kualitas hidup.

Pada dunia Pembangunan masyarakat kemandirian sudah dikenal sejak PBB memberikan batasan tentang pengertian dari Pembangunan masyarakat (Community Development). Pada definisi tersebut disebutkan bahwa : ...the participation of the people themselves in efforts to improve their level of living

with as much reliance as possible on their own initiative, and the provision of

technical and other services in ways which encourage initiative, self-help and

mutual help and make these more effective. (UN. 1956).

(35)

menjiwai nilai-nilai wiraswasta sebenarnya hanya sebagian kecil saja. Karena secara lebih luas kemandirian tidak hanya untuk itu akan tetapi berlaku bagi setiap gerak langkah kehidupan manusia. Di samping itu pula kemandirian hanya dapat dibangun melalui belajar secara terus menerus, terutama belajar dari kehidupan dan pengalaman sehari-hari.

Pada konteks andragogi, kemandirian merupakan tolak ukur utama dalam setiap pengembangan model belajar. Oleh karena itu konsep pembelajaran dalam konteks andragogi, secara lebih khusus memiliki inti dasar yang mengacu pada menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai kemandirian bagi setiap peserta didiknya (warga belajar). Tanpa tujuan itu setiap pembelajaran dalam konteks andragogi menjadi tidak bermakna dan sama saja dengan model pembelajaran lainnya. Asumsi ini merupakan batasan khusus yang mampu membedakan konsep pembelajaran andragogik dengan konsep pembelajaran lainnya.

Seperti diketahui pengembangan program pendidikan yang berdasar pada konsep andragogi dan mengacu pada kemandirian peserta didik, merupakan tekanan khusus yang seringkali menjadi patokan dan prinsip dasarnya. Oleh karena itu program pendidikan yang dikembangkan akan lebih fleksibel. hal ini terlihat dari tujuan yang ingin dicapai selalu disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan yang berkembang pada peserta didik.

(36)

Prinsip tersebut memiliki asumsi bahwa, pendidikan dengan prinsip andragogi akan menilai potensi dan otonomi yang dimiliki peserta didik. Sehingga hal itu menjadi landasan utama bagi setiap perencanaan dan pengembangan program pendidikan. Secara filosofis pandangan tersebut sejalan dengan konsep dan komitmen bahwa peserta didik sebagai: a) human nature is naturally good, b)

freedom and autonomy, c) individually and potensiality, d) self conceft and the self, e) self actualization, f) perception, g) responsibility and humanity. John Elias, S. Merriam, (1980:117-121).

Pandangan itu memberikan kejelasan bahwa tujuan penerapan prinsip andragogi dalam pengembangan pendidikan adalah mengembangkan seoptimal mungkin kemampuan dan potensi peserta didik, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan dan menolong dirinya sendiri, disamping itu pula dapat membangun lingkungannya, masyarakatnya, dan lebih luas lagi dapat berperan secara aktif dalam membangun bangsa dan negara. Hal tersebut sangat sejalan dengan konsep pengembangan pendidikan nonformal, dimana teori dan prinsip andragogi sebagai acuan utamanya. Dalam hal ini Scott W. Morris (1979) secara tegas memberikan kesimpulan bahwa tujuan pendidikan nonformal (non-formal education) adalah to help people help them selves. Begitu pula dengan Djudju Sudjana, (1992:160), menyebutkan, bahwa tugas pokok pendidikan nonformal; membelajarkan peserta didik. Dengan tujuan agar peserta didik memiliki atau mengembangkan nilai-nilai, sikap, pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan individu, masyarakat, lembaga, dan pembangunan bangsa menuju masa depan yang lebih baik.

(37)

memperluas wawasan, meningkatkan pemahaman, keterampilan, kualitas hidup dan kehidupannya serta kariernya. Belajar dirasakan memberi makna yang jelas dan dalam bagi hidup dan kehidupannya, memudahkan untuk melakukan suatu karya, memudahkan bagi kehidupannya. Sehingga belajar dapat menyebabkan adanya proses transformasi kearah kemandirian.

a. Menumbuhkan kemandirian peserta didik

Kemandirian dalam konsep andragogi berarti juga self directed learning. Karena beberapa pengertian dasar dari self directed learning memberi acuan bagaimana peserta didik memiliki inisiatif untuk belajar, menganalisis kebutuhan belajar sendiri, mencari sumber belajar sendiri, memformulasi tujuan belajar sendiri, memilih dan mengimplementasikan strategi belajar dan melakukan self evaluatin. Komponen-komponen tersebut merupakan dimensi bagaimana andragogi membangun karakter kemandirian dalam diri peserta didik (autonomous learning). Knowles (1975:18) menguraikan secara jelas tentang pengertian self directed learning “as a process in which individuals take the initiative, with or without the help of others, in diagnosing their learning needs,

formulating learning goals, identifying human and other resources for learning,

choosing and implementing learning strategies, and evaluating learning

outcomes”.

Chené (1983) dalam Peter Jarvis (1992:120) memberikan pengertian bahwa, kemandirian dalam belajar (autonomy) berarti “self directed learning”, atau: ..autonomous learning involves three elements; independence in the learner, the learner’s creation of norms, and the learner’s ability of forces and choose. Sedangkan Lindley (1986), menyimpulkan dari beberapa ahli seperti Kant, Hume, dan Mill, bahwa: Kant memberikan batasan yang pasti bahwa autonomy merupakan ide-ide rational yang menyatu dengan emotion, affection, dan morality, sedangkan Hume memberikan argumen bahwa “a combination of rationality and affect underlies autonomous acts. Sedangkan Mill memberikan argumen bahwa autonomy is a vital aspect of human life but must be combined with respect for persons. Peter Jarvis (1992:125).

(38)

diantaranya adalah : “...they are autonomous, independent, and able to remain true to themselves in the face of rejection or unpopularity”. Pada konteks lain Maslow memberikan arahan bahwa implikasi dari filsafat pendidikan humanis adalah bagaimana membangun peserta didik (warga belajar) mampu mandiri dan mau belajar nyata dari lingkungannya. Sehingga tujuan pendidikannya adalah self actualization atau “helping the person to become the best that he is able to become”.

Davis (1983:35) memberikan tiga kekuatan dasar bagi pengukuran profesional yang didasari kemandirian yakni: pengetahuan, keterampilan dan bersikap mandiri. Elemen-elemen tersebut digambarkan pada tabel berikut:

Elemen kemandirian terkandung dalam konsep pembelajaran andragogi serta dianggap dapat meningkatkan kemandirian peserta didik adalah:

1) Kegiatan Pembelajaran berpusat pada peserta didik

(39)

mereka sendiri dengan modal pengetahuan, keterampilan serta sumber yang ada dan dapat mereka gunakan.

Teori pendidikan moderen memandang bahwa, peserta didiklah yang harus dijadikan subjek dan objek dalam proses pembelajaran. Rogers, mengistilahkannya dengan “student centered atau learner centered” atau disebut dengan kegiatan pembelajaran yang “terpusat pada peserta didik”, kegiatan belajar sebenarnya merupakan proses kegiatan ego dari peserta didik (Knowles, 1980:45). Kondisi seperti ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan peserta didik, baik keberhasilan dalam pencapaian tujuan pembelajaran maupun keberhasilan proses pembelajaran. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya perubahan atau peningkatan dalam nalar, pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dengan asumsi tersebut peserta didik akan mudah memahami, menguasai materi yang diberikan karena mendapat pengetahuan secara langsung dari kehidupan nyata.

Untuk itulah penyusunan program pendidikan yang beorientasi andragogi harus atas dasar aktivitas peserta didik itu sendiri, sehingga menjadikan peserta didik “belajar sambil bekerja” (learning by doing atau training by doing). Makna yang dapat diambil dari konsep tersebut peserta didik benar-benar dapat menghayati proses berlangsungnya peristiwa yang dipalajarinya. Oleh karena peserta didik mengerjakannya sendiri, mereka akan mudah menguasai apa yang dipelajarinya, sehingga materi yang dipelajarinya memberikan makna mendasar bagi dirinya (Butler, 1987).

Program pendidikan yang disusun atas dasar aktivitas peserta didik, bukan berarti mau membantu mereka dalam mengembangkan kemampuannya. Akan tetapi justru hal tersebut sesuai dengan tugas sumber belajar yaitu membantu mereka dalam perkembangannya sendiri, membantu mereka agar dapat membantu dirinya sendiri, karena dalam diri peserta didik terdapat dorongan alamiah untuk berkreasi, dan untuk berkembang sendiri.

(40)

1) Visual activities seperti membaca, memperhatikan gambar, demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain dan sebagainya.

2) Oral activities seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan interviu, diskusi, interupsi.

3) Listening activities seperti: mendengarkan uraian, percakapan, diskusi, musik pidato.

4) Writing activities seperti: menulis cerita, karangan, laporan, test, angket, meenyalin.

5) Drawing activities seperti: menggambar, membuat grafik, peta, diagram, pola, dan sebagainya.

6) Motor activities seperti: melakukan percobaan, membuat konstruksi, model, mereparasi, bermain, berkebun, memelihara binatang, dan sebagainya.

7) Mental activities seperti: menanggap, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan, mengambil keputusan, dan sebagainya. 8) Emotional activities seperti: menaruh minat, merasa bosan, gembira, berani,

tenang, gugup, dan sebagainya.

Untuk meningkatkan kreativitas, inisiatif dan prakarsa, maka intensitas program pembelajaran pendidikan hendaknya diupayakan lebih meningkat dari hari ke hari sehingga terjadi proses membudaya. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar peserta didik terbiasa berjuang dalam meningkatkan kualitas dan taraf hidupnya dan tidak selalu menunggu pertolongan orang lain.

Ada beberapa cara dalam meningkatkan kreativitas peserta didik diantaranya adalah: (1) menghadapkan peserta didik dengan berbagai permasalahan yang dialami atau dihadapi dalam kehidupannya sehari-hari, (2) mendorong peserta didik untuk selalu meneliti dan selalu ingin tahu apa-apa yang dianggap baru oleh mereka, (3) mendorong dan memberi peluang kepada mereka untuk selalu terjadi dialog, diskusi dalam kelompoknya atau dalam penyusunan suatu program pembelajaran, (4) tutor bersama-sama peserta didik diupayakan memeriksa kembali apa yang telah dikerjakannya. Beberapa komponen prinsip yang harus selalu diperhatikan dalam penyusunan program pendidikan yang berorientasi andragogi adalah:

Referensi

Dokumen terkait

RANCANG BANGUN VISUAL WEB API BUILDER UNTUK RE-DESIGN WEB-API SEBAGAI PENDUKUNG INTEROPERABILITAS APLIKASI E-GOVERNMENT.. Universitas Pendidikan Indonesia

RANCANG BANGUN VISUAL WEB API BUILDER UNTUK RE-DESIGN WEB-API SEBAGAI PENDUKUNG INTEROPERABILITAS APLIKASI E-GOVERNMENT!. Universitas Pendidikan Indonesia

RANCANG BANGUN MULTIMEDIA PEMBELAJARAN INTERAKTIF GAMES BERBASIS MODEL MEANINGFUL INSTRUCTIONAL DESIGN (MID) PADA MATA PELAJARAN JARINGAN DASAR DI SMK Universitas Pendidikan

Dari permasalahan tersebut, untuk memastikan percikan yang dihasilkan pada saat perawatan magneto, perancang tertarik untuk membuat rancang bangun magneto tester

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul HUBUNGAN KOMPETENSI ANDRAGOGI DENGAN KETERAMPILAN MENGAJAR TUTOR (Studi pada Program Pendidikan

Rancang Bangun Sistem Informasi Berbasis Web Pada Asrama Mahasiswa Kalimantan Selatan (AMKS) Mandastana Malang Menggunakan Arsitektur HMVC (Hierarchical, Model, sub bahasan

Rancang Bangun Sistem Informasi Berbasis Web Pada Asrama Mahasiswa Kalimantan Selatan (AMKS) Mandastana Malang Menggunakan Arsitektur HMVC (Hierarchical, Model, sub bahasan

DIKLUS: Jurnal Pendidikan Luar Sekolah Nomor 1 Volume 3, Maret 2019 - 37 Andragogi dan Teori Modal Sosial Untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia Pada Kelompok Usaha Mandiri