• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Influence of Partnership on Potato Farmes’ Efficiencies and Income in Subdistrict of Pangalengan, Bandung Regency

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Influence of Partnership on Potato Farmes’ Efficiencies and Income in Subdistrict of Pangalengan, Bandung Regency"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG

MICHA SNOVERSON RATU RIHI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Pengaruh Kemitraan terhadap Efisiensi dan Pendapatan Petani Kentang di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

(3)

MICHA SNOVERSON RATU RIHI. Pengaruh Kemitraan terhadap Efisiensi dan Pendapatan Petani Kentang di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan ANNA FARIYANTI.

Kentang merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan dengan jumlah produksi ketiga terbesar di Indonesia setelah cabe dan kubis. Share produksi kentang pada tahun 2009 adalah 10.20 persen dari total produksi sayuran nasional. Salah satu sentra produksi kentang di Indonesia adalah Provinsi Jawa Barat dengan share produksi sebesar 27.25 persen dari total produksi kentang nasional pada tahun 2009. Salah satu sentra produksi kentang di Provonsi Jawa Barat adalah Kabupaten Bandung dengan share produksi lebih dari 57 persen pada tahun 2009. Produktivitas rata-rata kentang di Kabupaten Bandung pada tahun 2009 sebesar 20.35 ton/ha, lebih rendah daripada produktivitas rata-rata kentang Brazil sebagai negara berkembang dan beriklim sama dengan Indonesia. Rendahnya produktivitas kentang di Kabupaten Bandung diduga karena tingkat efisiensi yang relatif masih rendah. Peningkatan efisiensi tidak saja meningkatkan produksi kentang tetapi juga dapat menekan biaya usahatani atau dapat meningkatkan pendapatan petani.

PT. Indofood Fritolay Makmur (PT. IFM) merupakan sebuah perusahaan pengolahan kentang telah melakukan program kemitraan dengan petani kentang di Kecamatan Pangalengan sejak tahun 1997 dengan menyediakan bibit unggul kentang bersertifikasi bagi petani, melatih semua ketua kelompok tani yang bermitra agar trampil dalam pembibitan kentang, dan membeli kentang yang diproduksi oleh petani bermitra dengan harga yang sudah ditetapkan pada saat penyerahan bibit. Tujuan penelitian ini adalah menentukan tingkat efisiensi teknis, alokatif, ekonomi dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis, alokatif dan ekonomi; menganalisis pengaruh kemitraan terhadap efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi; dan menganalisis perbedaan pendapatan usahatani kentang antara petani yang bermitra dan petani yang tidak bermitra. Untuk menjawab tujuan itu, kajian ini menggunakan data primer dari 80 petani kentang dengan menggunakan analisis stokastik frontier (stochastic frontier analysis, SFA).

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi petani berturut-turut adalah 0.71, 0.51. dan 0.36. Ini berarti petani kentang sudah efisien secara teknis tetapi belum efisien secara alokatif dan ekonomi. Variabel dummy kemitraan dengan PT. IFM berpengaruh mengurangi inefisensi alokatif secara signifikan tetapi meningkatkan inefisiensi teknis dan ekonomi secara signifikan. Variabel lama menjadi anggota kelompok tani dan dummy pelatihan kentang berpengaruh mengurangi inefisiensi alokatif dan ekonomi secara siginifikan. Rata-rata efisiensi teknis, ekonomi, dan pendapatan petani kentang yang bermitra lebih rendah secara statistik daripada rata-rata efisiensi teknis, ekonomi, dan pendapatan petani yang tidak bermitra tetapi rata-rata efisiensi alokatif petani kentang yang bermitra lebih tinggi secara statistik daripada rata-rata efisiensi alokatif petani yang tidak bermitra.

(4)

Farmes’ Efficiencies and Income in Subdistrict of Pangalengan, Bandung Regency. Supervised by SRI HARTOYO and ANNA FARIYANTI.

Potato is one of the superior vegetable commodities in Indonesia, making it to be the third biggest producer of potato in the country after chili pepper and cabbage. The share of potato production in 2009 was 10.20 percent out of the national vegetable production. One of the potato production centers in Indonesia is West Java with the production share of 27.25 in 2009 out of the national potato production. Bandung Regency was a potato production center in West Java Province in 2009 with the production share of more than 57 percent. The average potato productivity in Bandung Regency in 2009 was 20.35 tons/ha. This productivity was still lower than that in Brazil as a developing country and with tropical climate like Indonesia. The low potato productivity in Bandung Regency was probably due to the relatively low efficiency. Improving efficiency will not only increase potato production but also can lower the production cost and increase farmer income.

PT. Indofood Fritolay Makmur (PT. IFM) is a potato processing company which has conducted a partnership program with potato farmers in Pangalengan Subdistrict since 1997 by providing farmers with certified superior potato seed, giving training to all heads of farmer groups so that they are good at potato seed breeding, and buying the potato produced by the farmers who join the partnership with the price set at the time of seed delivery. The aim of this research was to determine the technical, allocative, and economic efficiency level and the factors influencing the technical, allocative, and economic inefficiency level, to analyze the effects of partnership on technical, allocative, and economic efficiency, and to describe the difference between potato farmers with a partnership system and those without it. For that purpose, this study used primary data of 80 potato farmers using Stochastic Frontier Analysis, SFA).

The research result showed that the average technical, allocative, and economic efficiency of farmers was 0.71, 0.51 and 0.36. This means that potato farmers have technically been efficient, but they have not been allocatively and economically efficient. It is also showed that partnership reduced farmers’ allocative inefficiency. Otherwise, it increased the technical and economic inefficiencies. Another dummy variable of potato cultivation training and duration as a member of farmers club lowered allocative and economic inefficiencies statistically. This showed that the three determining factors should be given a special attention to increase farmers’ income. The results implied that the average technical and economic efficiencies and income of potato farmers who had partnership with PT. IFM were lower statistically than those who had no partnership but the average allocative efficiency of potato farmers who had partnership with PT. IFM was higher statistically than those who had no partnership.

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG

MICHA SNOVERSON RATU RIHI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)
(9)

Petani Kentang di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung

Nama Mahasiswa : Micha Snoverson Ratu Rihi

NRP : H353090041

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Sri Hartoyo, MS

Ketua Anggota

Dr Ir Anna Fariyanti, MSi

Diketahui oleh

Ketua Program Studi llmu Ekonomi Pertanian,

Dr Ir Sri Hartoyo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana,

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

Syukur kepada Allah Semesta Alam, Khalik langit dan bumi, laut dan segala isinya atas kesehatan, hikmat, akal budi dan pengetahuan yang dianugerahkan-Nya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini merupakan hasil penelitian yang mengkaji perbedaan efisiensi dan pendapatan antara petani kentang yang bermitra dan yang tidak bermitra dengan PT. Indofood Pritolay Makmur (PT. IFM) di Kecamatan Pangalengan pada tahun 2011. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi para petani untuk meningkatkan produksi kentang dengan memperhatikan faktor-faktor yang mengurangi inefisiensi untuk meningkatkan penerimaan/pendapatan.

Penyelesaian tesis ini terwujud karena bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih dengan tulus kepada Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi sebagai anggota komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Sri Utami Kuncoro, MS dan Dr. Meti Ekayani, S.Hut, MSc masing-masing sebagai penguji pada ujian tertutup dari luar komisi dan yang mewakili program studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di Jakarta yang telah memberikan beasiswa BPPS selama 24 bulan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktur Politani Negeri Kupang yang telah memberikan ijin belajar. Disamping itu, penghargaan penulis disampaikan kepada Ibu tercinta di Kupang yang senantiasa mendoakan penulis agar tetap dalam lindungan Allah dan dapat menyelesaikan studi secepatnya dan adik-adikku yang kucintai mulai dari Ina Para, Ina Pau, Ina Mare, Ina Dila dan Ina Lidu yang selalu mendoakanku supaya cepat menyelesaikan studi.

Harapan penulis, kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat yang besar kepada penulis dan pihak lain yang memerlukannya.

Bogor, Juli 2013

(11)

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

1 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Kemitraan Usahatani

Penelitian-Penelitian tentang Efisiensi Petani

Efisiensi teknis dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis

Efisiensi alokatif dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi alokatif

Efisiensi ekonomi dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi ekonomi

Analisis Pendapatan Usahatani Kentang Kerangka Pemikiran

3 METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi, Waktu dan Metode Penelitian Metode Pengambilan Sampel

Jenis dan Sumber Data Model dan Analisis Data

Analisis fungsi produksi stochastic frontier Analisis efisiensi teknis dan inefisiensi teknis Analisis efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi

Analisis inefisiensi alokatif, inefisiensi ekonomi, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

Analisis perbedaan pendapatan usahatani Konsep Pengukuran

4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Keadaan geografis

Penduduk, pendidikan, dan tenaga kerja Pertanian

Deskripsi tanaman kentang Atlantik dan Granola Kemitraan petani kentang dengan PT. IFM Prosedur kemitraan

Kewajiban petani yang bermitra

(12)

Karakteristik usahatani kentang

Karakteristik rumahtangga petani kentang Pembahasan

Pemdugaan fungsi produksi kentang dengan metode OLS dan MLE

Efisiensi teknis dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis

Efisiensi alokatif dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi alokatif

Efisiensi ekonomi dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi ekonomi

Analisis Pendapatan Usahatani Penerimaan

Biaya usahatani

Pendapatan usahatani petani yang bermitra dan yang tidak bermmitra.

38 49 50

50

53

57

59 62 62 64

70

5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Saran

70 70 71 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

(13)

Provinsi Jawa Barat menurut kabupaten tahun 2009 3 2 Manfaat kemitraan usaha agribisnis dari perspektif petani dan

perusahaan mitra 7

3 Permasalahan yang dialami petani dan perusahaan mitra dalam

kemitraan usaha agribisnis 8

4 Luas panen, produksi, dan produktivitas kentang di Kabupaten

Bandung menurut kecamatan tahun 2009. 23

5 Sebaran sampel penelitian 24

6 Jumlah penduduk berdasar kelompok umur menurut desa di

Kecamatan Pangalengan tahun 2010 33

7 Jumlah penduduk berdasar pendidikan yang ditamatkan menurut desa

di Kecamatan Pangalengan tahun 2009/2010 34

8 Jumlah penduduk berdasar mata pencaharian utama di Kecamatan Pangalengan tahun 2010

34 9 Perbedaan kentang varietas Atlantik dan Granola 36 10 Input, produksi, dan produktivitas rata-rata kentang yang dihasilkan

oleh petani kentang yang bermitra dan petani yang tidak bermitra

dengan PT. IFM 41

11 Harga rata-rata output dan input yang digunakan oleh petani kentang di Kecamatan Pangalengan menurut strata luas lahan dan jenis

kemitraan 46

12 Karakteristik petani kentang di Kecamatan Pangalengan tahun 2011 50 13 Pendugaan fungsi produksi rata-rata dengan menggunakan metode

pendugaan OLS dan fungsi produksi batas (stochastic frontier production function) Kentang di Kecamatan Pangalengan dengan

menggunakan metode pendugaan MLE 53

14 Tingkat efisiensi petani 54

15 Faktor-faktor penduga inefisiensi alokatif petani kentang di

Kecamatan Pangalengan tahun 2011 58

16 Faktor-faktor penduga inefisiensi ekonomi petani kentang di

Kecamatan Pangalengan tahun 2011 61

17 Rata-rata penerimaan, biaya, pendapatan petani kentang dalam ribuan Rupiah per hektar, dan share biaya input daam persen 63

DAFTAR GAMBAR

1 Perbedaan fungsi produksi batas dengan fungsi produksi rata-rata 18

2 Pengukuran efisiensi 19

(14)

2009 76 2 Luas panen, produksi, dan produktivitas sayuran di Indonesia

tahun 2009 77

3 Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas kentang di

Indonesia tahun 1961-2009 78

4 Luas lahan, produksi dan produktivitas kentang di Provinsi Jawa

Barat tahun 1970-2009 79

5 Produksi, faktor-faktor produksi dan faktor-faktor penduga inefisiensi petani kentang di Kecamatan Pangalengan tahun 2011 80 6 Output dan input petani kentang yang bermitra dengan PT. IFM 82 7 Output dan input petani kentang yang tidak bermitra dengan PT.

IFM 83

8 Output dan input seluruh petani kentang 85 9

Perbandingan penggunaan input, efisiensi, dan produktivitas rata-rata antara petani kentang yang bermitra dan yang tidak bermitra dengan P.T IFM di Kecamatan Pangalengan tahun 2011 88 10 Harga output dan input petani kentang bermitra 90 11 Harga ouput dan input petani yang tidak bermitra 91 12 Harga output dan input seluruh petani sampel 92 13 Uji statistik perbandingan harga input dan harga rata-rata output

kentang antara petani yang bermitra dan petani yang tidak bermitra dengan PT. IFM di Kecamatan Pangalengan tahun 2011 94 14 Fungsi produksi rata-rata dengan menggunakan metode pendugaan

OLS dan fungsi produksi batas (stochastic frontier production function) kentang di Kecamatan Pangalengan dengan

menggunakan metode pendugaan MLE 96

15 Harga output dan input-input dalam usahatani kentang di Kecamatan Pangalengan musim tanam tahun 2010-2011 99 16 Perhitungan efisiensi ekonomi dan alokatif menurut cara Taylor

(1986) 101

17 Perhitungan efisiensi ekonomi dan alokatif melalui penurunan fungsi produksi stochastic frontier dengan metode MLE menjadi

fungsi biaya dual 104

18 Efisiensi petani bermitra berdasar strata luas lahan 107 19 Efisiensi petani yang tidak bermitra berdasar strata luas lahan 108 20 Efisiensi seluruh petani sampel berdasar strata luas lahan 109 21 Sebaran efisiensi teknis, ekonomi, dan alokatif seluruh petani

sampel 111

22 Sebaran efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi seluruh petani

sampel berdasar luas lahan 112

23 Sebaran efisiensi teknis, ekonomi, dan alokatif seluruh petani

sampel berdasar kemitraan 113

24 Inefisiensi alokatif petani kentang di Kecamatan Pangalengan dan faktor- faktor yang mempengaruhinya tahun 2010/1011 114 25 Inefisiensi ekonomi petani kentang di Kecamatan Pangalengan

dan faktor-faktor yang mempengaruhinya tahun 2010/1011 115 26 Analisis usahatani kentang petani yang bermitra dengan PT. IFM 116 27 Analisis usahatani kentang petani yang tidak bermitra dengan PT.

(15)

PT. IFM di Kecamatan Pangalengan tahun 2011 119 30 Share produksi dan penerimaan usahatani petani bermitra 122 31 Share produksi dan penerimaan usahatani petani yang tidak

bermitra 123

(16)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kentang adalah salah satu komoditas hortikultura yang sangat penting dalam pengembangan agribisnis dan agroindustri (Iqbal 2008). Kentang juga merupakan salah satu sumber devisa bagi negara (FAO 2011b), salah satu pangan alternatif dalam program pemerintah untuk diversifikasi pangan (Adiyoga et al. 2004), dan termasuk salah satu komoditas sayuran unggulan di Indonesia (Badan Pusat Statistik 2010a).

Sebagai salah satu komoditas penting hortikultura, kentang paling berpeluang dalam pengembangan agribisnis dan agroindustri dibandingkan dengan komoditas lainnya. Prospek pengembangan tanaman kentang di Indonesia sangat cerah karena tersedia lahan yang relatif luas di 20 provinsi (Direktorat Jenderal Hortikultura Kementrian Pertanian 2011). Pengembangan agribisnis kentang sangat penting mengingat permintaan terhadap kentang semakin tinggi seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat dan peningkatan jumlah penduduk. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (2011) konsumsi kentang untuk pasar tradisional adalah 90 persen dari total pasar kentang di Indonesia, belum termasuk peluang pasar seperti di swalayan, restoran, dan industri pengolahan.

Dari segi agroindustri, kentang dapat diolah menjadi keripik kentang (potato chips) dan crispy yang dapat meningkatkan nilai tambah. Selain itu, kentang dapat diolah menjadi bahan pangan goreng (french fries) dan bahan tambahan sayuran yang biasa disajikan di restoran-restoran fast food dan rumah tangga (Iqbal 2008).

Kentang juga berperan penting dalam menyumbang devisa. Berdasarkan

data dari FAO (2011b), Indonesia mengekspor kentang pada tahun 1961 sebesar

590 ton dengan nilai ekspor US$20 000. Jumlah ekspor Indonesia bervariasi dari tahun ke tahun sejak tahun 1961-2009 namun masih mempunyai kecenderungan yang meningkat. Ekspor tertinggi kentang tercatat pada tahun 1993 dengan jumlah ekspor sebesar 126 742 ton, demikian juga nilai ekspor tertinggi sebesar US$19 068 000 terjadi pada tahun yang sama. Disamping mengekspor kentang, Indonesia mengimpor kentang segar sejak tahun 1961 sampai sekarang. Impor kentang segar tertinggi terjadi pada tahun 2009 sebesar 14 007 ton dengan nilai US$8 301 000. Selain mengimpor kentang segar, Indonesia mengimpor kentang french fries dan

tepung kentang. Pada tahun 2007 impor kentang dalam bentuk french fries

sebesar 10 581 ton dan tepung kentang sebesar 11 196 ton (Direkorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian 2011). Sejak tahun 2007 Indonesia mengalami defisit dalam perdagangan komoditas kentang segar. Defisit dan surplus dalam perdagangan kentang segar terjadi secara bergantian sejak tahun 1961-2009. Meskipun secara umum Indonesia masih mengalami surplus dalam perdagangan kentang segar selama 49 tahun terakhir dengan rata-rata surplus

sebesar US$2 904 551.02 per tahun (Lampiran 1), selama tiga tahun terakhir

(17)

ini harus diatasi segera dengan meningkatkan produksi kentang domestik agar dapat mengurangi jumlah kentang impor.

Dalam mendukung program diversifikasi pangan, kentang merupakan pangan substitusi pengganti padi, jagung, gandum, sagu, sorgum, ubi jalar, dan ubi kayu. Peranan kentang semakin penting dalam diversifikasi pangan, hal ini terbukti dengan naiknya konsumsi perkapita kentang dari 1.73 kg pada tahun 2009 menjadi 1.84 kg perkapita pada tahun 2010. Usaha pemerintah untuk mengurangi konsumsi beras pada tahun 2010 sebesar 1.5 persen dari tahun sebelumnya hampir tercapai, terbukti dengan adanya penurunan konsumsi beras dari 102.22 kg perkapita/tahun pada tahun 2009 menjadi 100.76 kg perkapita/tahun pada tahun 2010 atau turun sebesar 1.4 persen. Penurunan konsumsi beras ternyata tidak menaikkan konsumsi singkong dan jagung tapi menaikkan konsumsi terigu dan kentang. Konsumsi terigu rumah tangga Indonesia naik sebesar 0.2 persen dari 10.32 kg perkapita/tahun pada tahun 2009 menjadi 10.34 kg perkapita/tahun pada tahun 2010 sedangkan konsumsi jagung rumah tangga Indonesia malah turun 7.2 persen dari 2.21 kg perkapita/tahun pada tahun 2009 menjadi 2.05 kg perkapita/tahun 2010 (Machmur 2011).

Kentang juga merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan dengan

jumlah produksi ketiga terbesar di Indonesia setelah cabe dan kubis. Share

produksi kentang pada tahun 2009 adalah 10.20 persen dari total produksi sayuran di Indonesia. Dari sisi produktivitas, kentang juga menempati urutan keempat tertinggi setelah jamur, labu siam, dan kol/kubis seperti terlihat dalam Lampiran 2.

Kentang pertama kali dibudidayakan di Indonesia (Cimahi) sejak tahun 1794 (Sunarjono 2007). Saat ini kentang dibudidayakan di hampir semua dataran tinggi di seluruh Indonesia (Direktorat Jenderal Hortikuktura Kementerian Pertanian 2011). Luas panen, produksi, dan produktivitas kentang di Indonesia bervariasi selama 49 tahun terakhir (1961-2009) namun mempunyai tren yang meningkat. Rata-rata luas panen adalah 37 164.08 ha per tahun, rata-rata produksi 491 204.37 ton per tahun dengan rata-rata produktivitas adalah 13.22 ton/ha per tahun. Produktivitas kentang tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar 16.94 ton/ha seperti terlihat dalam Lampiran 3. Walaupun dikembangkan pada agroekosistem yang relatif sama, produktivitas yang dicapai oleh setiap provinsi ternyata cukup beragam. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan intensitas pengelolaan antar sentra produksi yang tercermin dari perbedaan kualitas dan/atau kuantitas masukan yang digunakan (Adiyoga 1986).

Provinsi Jawa Barat merupakan sentra produksi utama kentang di Indonesia (Badan Pusat Statstik 2010a). Share produksi kentang Jawa Barat pada tahun 2009 adalah 27.25 persen dari total produksi kentang nasional. Komoditas kentang di Jawa Barat mempunyai produksi tertinggi pada tahun 2009 dan termasuk salah satu komoditas unggulan di provinsi tersebut selain tomat, cabe, kol/kubis, dan bawang merah (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat 2011). Rata-rata peningkatan luas lahan, produksi, dan produktivitas kentang per tahun di Jawa Barat selama 40 tahun terakhir masing-masing sebesar 9.20 persen; 23.51 persen; dan 6.79 persen seperti terlihat dalam Lampiran 4.

(18)

20.35 ton/ha. Meskipun produktivitas ini lebih tinggi daripada produktivitas kentangIndonesia pada tahun 2009 (16.51 ton/ha), produktivitasnya lebih rendah dari produktivitas kentang Amerika Serikat dan Belanda, yang merupakan negara dengan produktivitas kentang tertinggi di dunia pada tahun 2009 (46.27 ton/ha) dan bahkan lebih rendah dari produktivitas kentang Brazil (24.46 ton/ha) sebagai sesama negara berkembang dan beriklim sama dengan Indonesia FAO(2011b).

Tabel 1 Luas panen, produksi, produktivitas dan share produksi kentang di Provinsi Jawa Barat menurut kabupaten pada tahun 2009

No Nama

Sumber: Badan Pusat Statistik (2010b)

Perumusan Masalah

Salah satu sentra produksi kentang di Kabupaten Bandung adalah Kecamatan Pangalengan dengan share produksi sebesar 72.39 persen pada tahun 2009 (BPS 2010c). Produktivitas rata-rata kentang di Kecamatan Pangalengan pada tahun 2009 adalah 20.11 ton/ha atau lebih rendah 1.18 persen daripada produktivitas rata-rata kentang di Kabupaten Bandung (Tabel 4).

Rendahnya produktivitas kentang di Kecamatan Pangalengan diduga karena tingkat efisiensi yang relatif masih rendah. Bakhsh et al. (2006) menyatakan bahwa ada tiga kemungkinan cara untuk meningkatkan produksi kentang yaitu menambah luas lahan, mengembangkan dan mengadopsi teknologi baru, dan menggunakan sumberdaya yang tersedia secara lebih efisien. Peningkatan produksi kentang melalui penambahan luas lahan sepertinya lebih sulit dilakukan karena dengan pertambahan jumlah penduduk telah meningkatkan konversi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman, industri, jalan raya, dan sekolah. Selain itu kentang membutuhkan daerah dengan kondisi agroklimat dan agroekosistem yang lebih spesifik seperti ketinggian tempat dari permukaan laut dan suhu udara rata-rata yang relatif lebih rendah sehingga tidak semua daerah cocok ditanami kentang. Akhirnya peningkatan produktivitas kentang hanya dapat dilakukan melalui dua kemungkinan cara yaitu mengembangkan dan mengadopsi teknologi baru dan menggunakan sumberdaya yang tersedia secara lebih efisien.

(19)

menekan biaya usahatani sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Obare

et al. (2010) menyatakan bahwa jika petani kentang di Nyandarua, Wilayah Utara Kenya meningkatkan efisiensi alokatif dari 0.57 menjadi 0.86, rata-rata petani responden akan dapat mengurangi biaya usahatani kentang sebesar 34 persen.

Peningkatan efisiensi dapat dilakukan dengan memperbaiki kemampuan manajerial petani. Kemampuan manajerial itu berasal dari diri petani melalui faktor-faktor sosial ekonomi seperti umur, pangalaman usahatani, tingkat pendidikan formal, pendidikan informal melalui pelatihan budidaya dan pengelolaan usahatani, keanggotaan dalam kelompok tani, akses kepada penyuluh pertanian lapangan (PPL), akses kepada sumber pembiayaan usahatani, dan lain-lain.

PT. Indofood Fritolay Makmur (PT. IFM) telah melakukan program kemitraan dengan petani kentang di Kecamatan Pangalengan sejak tahun 1997. PT IFM tidak saja menyediakan bibit unggul kentang bersertifikasi bagi petani dan memberikan kemudahan bagi petani untuk membayar bibit setelah panen, tetapi juga melatih semua ketua kelompok tani yang dibentuk untuk tujuan kemitraan agar trampil dalam pembibitan kentang. Pembibitan yang dimaksud adalah dengan membelah umbi bibit kentang menjadi dua sehingga petani dapat lebih efisien dalam penggunaan bibit. Para ketua kelompok tani diharapkan mengajarkan ketrampilan yang telah dimilikinya kepada anggota kelompoknya masing-masing. Jika petani dapat memproduksi pada tingkat output tertentu dengan menggunakan input minimum seperti bibit pada tingkat teknologi tertentu petani dapat diduga lebih efisien secara teknis. Selain itu petani yang bermitra diharapkan lebih efisien secara alokatif karena adanya jaminan kepastian harga dari perusahaan mitra atas kentang yang dihasilkan pada saat bibit diserahkan kepada petani. Dengan adanya kepastian harga jual bagi kentang yang diproduksi oleh petani yang bermitra, diharapkan dapat menghasilkan sejumlah output pada kondisi minimisasi rasio biaya dari input atau dapat mengkombinasikan biaya yang meminimumkan input. Pada akhirnya jika para petani yang bermitra lebih efisien secara teknis dan alokatif karena adanya bantuan bimbingan kepada peserta mitra melalui ketua kelompok dan kepastian jaminan harga jual, tentu saja para petani tersebut dapat lebih efisien secara ekonomis daripada petani yang tidak bermitra. Pertanyaannya adalah apakah dengan adanya kemitraan menyebabkan petani lebih efisien secara teknis, alokatif, dan ekonomi?

(20)

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh kemitraan antara petani kentang di Kecamatan Pangelangan dengan PT. IFM terhadap efisiensi dan pendapatan usahatani kentang. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1 Menentukan tingkat efisiensi teknis, alokatif, ekonomi dan faktor-faktor

yang mempengaruhi inefisiensi teknis, alokatif dan ekonomi petani kentang

2 Menganalisis pengaruh kemitraan terhadap efisiensi teknis, alokatif dan

ekonomi petani kentang

3 Menganalisis perbedaan pendapatan usahatani kentang antara petani yang

bermitra dan petani yang tidak bermitra.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dapat berguna bagi petani kentang dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi dalam usahatani kentang. Selain itu sebagai informasi bagi pemerintah daerah Kabupaten Bandung dalam rangka kebijakan peningkatan produktivitas kentang. Hasil penelitian kiranya juga dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan model fungsi produksi stokastik frontier untuk analisis produktivitas, efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi dalam bidang ekonomi produksi pertanian terutama tanaman hortikultura dan khususnya tanaman kentang. Informasi dari hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi kegiatan penelitian lanjutan secara lebih mendalam terutama dalam mengkaji pengaruh adanya suatu kerjasama kemitraan antara petani dengan pihak lain.

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan data cross section dari para petani kentang yang bermitra dengan PT. IFM (yang menanam varietas Atlantik) dan yang tidak bermitra dengan perusahaan tersebut (yang menanam varietas Granola). Musim tanam yang diambil sebaagi data penelitian adalah musim hujan 2010/2011 atau sejak Desember 2010 - Maret 2011.

2

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Kemitraan Usahatani

Kemitraan sangat penting dalam program pembangunan usahatani, terutama karena adanya interaksi antara industri baik skala kecil maupun skala besar yang mempunyai modal, wadah untuk menampung hasil panen, memiliki inovasi terbaru dengan petani yang kekurangan modal, dan belum tersentuh teknologi yang baru serta kebingungan dalam menjual hasil panennya (Shinta 2011).

(21)

atau badan hukum dengan satu atau kelompok orang atau badan hukum lainnya, dimana masing-masing pihak memperoleh penghasilan dari usaha bisnis yang sama atau saling berkaitan dengan tujuan menjamin terciptanya keseimbangan, keselarasan, dan saling melaksanakan etika bisnis (Suwandi 1995). Oleh karena itu berpijak dari definisi tersebut, tujuan kemitraan agribisnis adalah: (1) untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi dan sosial yang diperoleh petani atau perusahaan mitra; dan (2) untuk mewujudkan terciptanya keseimbangan usaha agribisnis yang memenuhi skala ekonomi dalam suatu wilayah atau kawasan.

Secara garis besar, kemitraan usaha agribisnis terdiri dari lima model, tergantung pada jenis produk, sumberdaya sponsor, dan intensitas hubungan kepentingan antara petani dengan pihak sponsor (Eaton dan Shepherd 2001). Dalam konteks ini, sponsor yang lebih populer disebut “mitra” dapat dikategorikan sebagai perusahaan individu, perusahaan multinasional, perusahaan swasta, perusahaan negara (parastatal agency) atau koperasi. Lima model kemitraan usaha agribisnis yang dimaksud adalah: model sentralistik (centralized model); model perusahaan inti (nucleus estate model); model multi pelaku (multi-partite model); model informal (informal model); dan model perantara (intermediary model). Kemitraan usaha agribisnis terdiri dari tiga pola, yaitu: (1) kemitraan yang berkembang mengikuti jalur evolusi sosio-budaya atau ekonomi tradisi; (2) kemitraan program pemerintah yang dikaitkan dengan intensifikasi pertanian; dan (3) kemitraan yang tumbuh akibat perkembangan ekonomi pasar.

(22)

operasional agribisnnis merupakan hubungan kemitraan yang di dalamnya kelompok mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga kerja sedangkan perusahaan-perusahaan mitra menyediakan biaya atau modal atau sarana untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas pertanian.

Paling sedikit ada tiga aspek kemitraan usaha agribisnis yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu koordinasi produksi, pengelolaan budidaya, dan pola hubungan dengan petani (Eaton dan Shepherd 2001). Jika ketiga aspek ini tidak dijalankan secara sinergis, maka implementasi kemitraan usaha agribisnis sulit berjalan dengan baik. Koordinasi produksi terkait dengan identifikasi lokasi, seleksi petani, formasi kelompok kerja, pengaturan pasokan sarana dan kredit serta pendistribusiannya, dan pengaturan pembelian produksi. Pengelolaan budidaya meliputi jasa penyuluhan, transfer teknologi, jadwal pola tanam, dan pelatihan. Sementara itu, pola hubungan dengan petani mencakup partisipasi dan eksistensi forum (organisasi) kelompok tani.

Syarat yang harus dipenuhi, yaitu bahwa kedua belah pihak yang bermitra harus: (1) mempunyai bisnis inti (core business) yang sama; (2) memiliki tingkat saling ketergantungan yang tinggi (high interdependency); (3) dapat diandalkan (reliable) untuk menjalankan tugas masing-masing sesuai dengan perjanjian; dan (4) jujur dan dapat dipercaya (honest and trustable) dalam menjalankan kegiatan masing-masing. Syarat lain yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa komoditas yang tercakup dalam kemitraan usaha agribisnis harus mempunyai prospek ekonomi yang sangat baik (Hadi 1997) yang dikutip dalam Iqbal (2008).

Tabel 2 Manfaat kemitraan usaha agribisnis dari perspektif petani dan perusahaan mitra

Ditinjau dari aspek

Petani Perusahaan mitra

Sarana dan prasarana

Sarana produksi dan jasa pelayanan disediakan oleh perusahaan mitra

Prasarana seperti lahan dapat disediakan oleh petani sehingga memudahkan perusahaan memperoleh lahan tanpa mengeluarkan biaya pembebasan lahan

Kredit Petani dimudahkan dalam memperoleh bantuan kredit karena kemitraan usaha agribisnis dilaksanakan melalui pola kredit yang difasilitasi perusahaan mitra

Perusahaan dapat memperoleh keuntungan dari bunga kredit yang relatif lebih tinggi daripada menginvestasikan uangnya di bank

Introduksi teknologi

Kemitraan usaha agribisnis biasanya dilengkapi dengan introduksi teknologi baru sehingga petani dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru

Introduksi teknologi dan pelatihan yang diajarkan perusahaan kepada petani dapat lebih mengikat petani agar tetap bermitra

Harga Petani memperoleh kepastian harga lebih awal sehingga tidak perlu mengkwatirkan terjadinya penurunan harga pada saat panen

Harga jual kentang yang ditentukan

perusahaan memungkinkan perusahaan terhindar dari kerugian..

Peluang pasar

Kemitraan usaha agribisnis membuka peluang pasar yang sebelumnya mungkin kurang atau tidak dapat diakses petani.

Membuka peluang pasar bagi perusahaan dalam menjual paket teknologi dan input usahatani kepada petani.

(23)

Dua pelaku utama dalam kemitraan usaha agribisnis adalah petani dan perusahaan mitra. Menurut Eaton dan Sepherd (2001), manfaat utama dari kesepakatan kontrak yang diterima petani adalah adanya jaminan dari perusahaan mitra untuk membeli produksi petani berdasarkan spesifikasi parameter kuantitas dan kualitas tertentu. Berikutnya, kemitraan usaha agribisnis juga dapat membantu petani dalam mempermudah akses terhadap teknik dan jasa penyuluhan yang sebelumnya relatif kurang atau tidak dapat diperoleh petani. Di samping itu, melalui kemitraan usaha agribisnis, petani diharapkan dapat mengatur dan mengurus kredit ke lembaga perbankan komersial untuk pembelian sarana produksi. Singkatnya, manfaat potensial yang dirasakan petani dan perusahaan mitra dalam kemitraan usaha agribisnis disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 3 Permasalahan yang dialami petani dan perusahaan mitra dalam kemitraan usaha agribisnis

Dari aspek Petani Perusahaan mitra

Risiko Petani harus menghadapi permasalahan produksi dan kegagalan pasar jika mengadopsi jenis tanaman atau varietas baru untuk dibudidayakan

Perusahaan menghadapi risiko penolakan dari petani jika introduksi teknologi baru seperti varietas bibit unggul kurang dapat meyakinkan petani dalam hal produksi dan harga

Ketatalaksanaan Manajeman kemitraan usaha agribisnis yang tidak efisien

dapat menimbulkan terjadinya manipulasi, sehingga sebagian produksi petani tidak dibeli oleh perusahaan mitra

Manajeman perusahaan mitra yang tidak efisien dan kurangnya konsultasi dengan petani dapat menyebabkan ketidakpuasan di kalangan petani sehingga petani dapat melakukan manipulasi dengan menjual sebagian hasilnya ke pihak lain tanpa sepengetahuan perusahan mitra

Monopoli Monopoli yang dilakukan perusahaan mitra akan mengurangi pilihan petani

untuk memilih memproduksi tanaman lain

yang lebih menguntungkan

Monopoli akan menimbulkan resistensi dari para petani sehingga perusahaan akan kehilangan pasokan bahan baku jika petani memutuskan berhenti bermitra karena adanya tawaran kemitraan dari pihak lain yang lebih menguntungkan

Kuota produksi Pengalokasian kuota produksi dapat merugikan petani yang mempunyai lahan yang relatif luas karena perusahaan mitra mengurangi pasokan bibit

Kurangnya pasokan bibit dari supplier dapat mendorong perusahaan melakukan kuota produksi sehingga menurunkan pasokan bahan baku dari petani kepada perusahaan. Penurunan pasokan bahan baku akan mengurangi output, penerimaan, dan keuntungan perusahaan Kegagalan

panen

Petani dapat menjadi pihak yang berhutang jika timbul kegagalan produksi karena telah terikat kontrak untuk membayar fasilitas sarana dan jasa yang sebelumnya telah disediakan perusahaan mitra

Jika petani terlilit hutang karena kegagalan panen, hal itu akan mengurangi kemampuan dan minat petani untuk bermitra sehingga perusahaan terancam kekurangan dan kehilangan pasokan bahan baku

(24)

Perlu digarisbawahi bahwa kendati dalam kemitraan usaha agribisnis diperoleh beberapa manfaat sebagaimana dikemukanan di atas, dalam praktiknya ditemui beberapa permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat dikategorikan sebagai dampak negatif dari implementasi kemitraan usaha agribisnisitu sendiri. Permasalahan-permasalahan tersebut selengkapnya disajikan dalam Tabel 3.

Penelitian-Penelitian tentang Efisiensi Petani

Penelitian-penelitian tentang efisiensi petani kentang telah banyak dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri. Hasil-hasil penelitian itu akan dibahas menurut aspek yaitu aspek tingkat efisiensi dan aspek faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi.

Bakhsh et al. (2006) menyatakan bahwa efisiensi petani sebesar 0.7 dapat dikatakan sudah efisien. Idealnya, efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi sebesar satu. Jika efisiensi sebesar satu petani dapat dikatakan sudah efisien penuh secara teknis, alokatif, atau ekonomi. Tetapi karena banyak faktor yang mempengaruhi efisiensi petani maka efisiensi petani hampir tidak pernah mencapai angka satu.

Efisiensi teknis dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis Dari aspek tingkat efisiensi, rata-rata efisiensi teknis petani kentang di Okara dan Kasur, Pakistan tahun 2002-2003 adalah 0.84 (Abedullah et al. 2006); rata-rata efisiensi teknis petani kentang di Wilayah Awi, Ethiopia untuk skema irigasi tradisional adalah 0.77 dan untuk skema irigasi modern adalah 0.97 (Bogale dan Bogale 2005); rata-rata efisiensi teknis petani kentang di Punjab, Pakistan adalah 0.76 (Bakhsh et al. 2006); rata-rata efisiensi teknis petani kentang di beberapa daerah terpilih di Bangladesh adalah 0.75 (Hossain et al. 2008); rata-rata efisiensi teknis petani kentang di Nyandarua, Wilayah Utara, Kenya adalah 0.67 (Nyagaka et al. 2010); rata-rata efisiensi teknis petani kentang di Wilayah Dedza, Malawi Tengah adalah 0.83 (Maganga 2012); dan rata-rata efisiensi teknis kentang di Wilayah Utara, Gilgit-Baltistan, Pakistan adalah 0.81 (Alam et al. 2012). Di Indonesia, rata-rata efisiensi teknis petani kentang di Kabupaten Solok Sumatera Barat adalah 0.76 (Tanjung 2003); rata-rata efisiensi teknis petani kentang di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara adalah 0.41 (Sinaga 2011); rata-rata efisiensi teknis petani kentang di Provinsi Jawa Barat adalah 0.84 (Nahraeni 2012). Secara umum, efisiensi petani kentang sudah di atas 0.7 dan meskipun demikian, masih ada kemungkinan peningkatan produkstivitas kentang jika petani mampu beroperasi pada tingkat efisiensi teknis tertinggi yang dicapai oleh petani yang ditelliti.

Ada sejumlah faktor penentu inefisiensi petani kentang yang berasal dari diri petani. Umur memiliki efek terhadap tingkat inefisiensi teknis. Hal ini

umumnya dipercaya bahwa usia dianggap sebagai proxy untuk pengalaman

(25)

kentang di Punjab, Pakistan, semakin mengurangi inefisiensi teknis secara

signifikan pada α = 0.1; Abedullah et al. (2006) menemukan bahwa semakin tinggi umur petani kentang di Okara dan Kasur, Pakistan, semakin mengurangi inefisiensi teknis secara signifikan pada α = 0.01. Di Indonesia, hasil penelitian Adhiana (2005) juga menemukan bahwa semakin tinggi umur petani lidah buaya di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, semakin mengurangi inefisiensi teknis

dan signifikan pada α = 0.15. Tetapi variabel umur juga dapat berpengaruh positif atau meningkatkan inefisiensi teknis petani kentang. Hasil penelitian Maganga (2012) menyatakan bahwa semakin tua usia petani kentang di Dedza, Malawi Tengah semakin meningkatkan inefisiensi teknis secara signifikan pada α = 0.05. Di Indonesia, Tanjung (2003) menemukan bahwa semakin tua usia petani kentang di Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat semakin meningkatkan inefisiensi

teknis secara signifikan pada α = 0.05 karena seiring dengan peningkatan usia petani, kemampuan bekerja yang dimiliki, daya juang dalam berusaha, keinginan untuk menanggung risiko dan keinginan untuk menerapkan inovasi-inovasi baru juga semakin berkurang; Nahraeni (2012) menemukan bahwa semakin tua usia petani kentang di Provinsi Jawa Barat semakin meningkatkan inefisiensi teknis

secara signifikan pada α = 0.05 karena semakin tua umur petani, kemampuan kerja dan kemampuan teknisnya semakin menurun.

Diduga semakin tinggi pengalaman seorang petani dalam usahatani semakin trampil petani tersebut dalam mengelola usahatani kentang yang akan berdampak positif terhadap efisiensi atau berdampak negatif terhadap inefisiensi. Saptana (2011) menambahkan bahwa petani yang lebih berpengalaman akan lebih efisien karena memiliki pengetahuan dan kemampuan adopsi teknologi lebih baik sehingga lebih mampu menghindari kecenderungan turunnya produktivitas akibat degradasi sumberdaya. Petani berpengalaman pada umumnya memiliki jaringan kerja (networking) yang lebih luas sehingga lebih berpeluang memperoleh informasi lebih cepat dan cenderung mengaplikasikan informasi teknologi yang diterimanya. Pada akhirnya petani yang lebih berpengalaman memiliki kapabilitas manajerial yang lebih baik karena belajar dari pengelolaan usahatani pada tahun-tahun sebelumnya. Tanjung (2003) menemukan bahwa semakin tinggi pengalaman petani dalam usahatani kentang di Kabupaten Solok, Provinsi Sumetera Barat semakin mengurangi inefisiensi teknis dan signifikan

pada α = 0.1; Sinaga (2011) menemukan bahwa semakin tinggi pengalaman

petani dalam usahatani kentang di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumetera Utara, semakin mengurangi inefisiensi teknis dan signifikan pada α = 0.05; Maganga (2012) menemukan bahwa semakin tinggi pengalaman petani dalam usahatani kentang di Dedza, Malawi Tengah semakin mengurangi inefisiensi

teknis dan signifikan pada α = 0.01; dan Nahraeni (2012) menemukan bahwa semakin tinggi pengalaman petani dalam usahatani kentang di Provinsi Jawa

Barat semakin mengurangi inefisiensi teknis dan signifikan pada α = 0.05. Tetapi Ogundari dan Ojo (2007b) menemukan bahwa semakin tinggi pengalaman petani dalam usahatani di Ondo State, Nigeria semakin meningkatkan inefisiensi teknis

dan signifikan pada α = 0.05.

(26)

et al. (2010) menambahkan bahwa secara umum petani yang lebih terdidik dapat melihat, menginterpretasikan dan tanggap lebih cepat kepada informasi baru dan mengadopsi teknologi yang lebih maju seperti pupuk, pestisida, dan bahan-bahan penanaman daripada rekan-rekannya. Ogundari dan Ojo (2007b) menemukan bahwa tingkat pendidikan mengurangi inefisiensi teknis petani beberapa

komoditas di Ondo State, Nigeria dan signifikan pada α = 0.05. Tetapi Sinaga (2011) menemukan bahwa tingkat pendidikan meningkatkan inefisiensi teknis petani kentang di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara dan signifikan

pada α = 0.1 karena teknologi yang digunakan oleh petani di daerah penelitian tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan atau dengan kata lain petani masih

menggunakan cara tradisonal dalam membudidayakan kentang; dan Asogawa et

al. (2011) juga menemukan bahwa tingkat .pendidikan meningkatkan inefisiensi teknis petani semua komoditas di Makurdi, Benue State, Nigeria dan signifikan

pada α = 0.1.

Ukuran keluarga diduga dapat mengurangi inefisiensi teknis karena ukuran keluarga adalah proxy bagi tenaga kerja dalam keluarga (Asogwa et al. 2011). Diduga, semakin banyak anggota keluarga dalam rumahtangga seorang petani semakin banyak tenaga kerja yang dapat dilibatkan dalam usahatani sehingga dapat mengurangi penggunaan tenaga kerja luar keluarga atau tenaga kerja yang dibayar (substitusi tenaga kerja). Biaya yang seharusnya dialokasikan untuk membayar tenaga kerja luar keluarga dapat digunakan untuk membeli input-input lain dan bahkan input yang lebih berkualitas. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga juga dapat mengatasi kelangkaan tenaga kerja (Saptana 2011). Asogwa

et al. (2011) menyatakan semakin besar ukuran keluarga semakin mengurangi inefisiensi teknis para petani di Makurdi, Banue State, Nigeria secara signifikan

pada α = 0.05. Tetapi Maganga (2012) menemukan bahwa ukuran keluarga

meningkatkan inefisiensi teknis petani kentang di Dedza, Malawi Tengah secara

signifikan pada α = 0.1. Hal ini terjadi karena rumahtangga dengan jumlah

anggota keluarga besar mungkin tidak mampu untuk menggunakan kombinasi input dengan tepat karena keterbatasan uang (Maganga 2012).

Rasio penerimaan usahatani terhadap penerimaan total rumahtangga diduga dapat mengurangi inefisiensi teknis petani. Saptana (2011) menyatakan bahwa dalam kondisi dimana petani memiliki beberapa cabang usahatani yang sedang dijalankan maka tingkat inefisiensi teknis yang paling rendah umumnya terjadi pada usahatani yang memiliki pangsa pendapatan tertinggi karena petani akan memberikan perhatian secara lebih baik dari aspek teknis, menajemen dan pengelolaan risiko produksi pada usahatani tersebut sehingga berdampak menurunkan inefisiensi teknis. Saptana (2011) menemukan rasio penerimaan usahatani cabai merah besar terhadap penerimaan total rumahtangga mengurangi inefisiensi teknis petani cabai merah besar secara signifikan pada α = 0.05 di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009. Nilai koefisien variabel rasio pendapatan usahatani cabai merah besar terhadap pendapatan total rumahtangga bertanda negatif merupakan indikasi bahwa tingkat inefisiensi teknis yang lebih rendah

pada umumnya terjadi di kalangan petani yang memiliki pangsa penerimaan

(27)

Rasio luas lahan kentang terhadap total luas lahan garapan diduga dapat mengurangi inefisiensi teknis. Saptana (2011) menyatakan bahwa petani dengan rasio luas lahan cabai merah besar terhadap total lahan yang dikuasai relatif besar akan semakin rendah inefisiensi teknisnya. Hal in disebabkan semakin penting suatu komoditas dalam struktur usahatani akan mendorong petani memberikan input secara lebih intensif, curahan tenaga kerja lebih intensif, dan pengelolaan usahatani secara lebih baik sehingga berdampak menurunkan inefisiensi teknis. Saptana (2011) menemukan bahwa semakin tinggi rasio lahan usahatani cabe merah besar terhadap total lahan semakin mengurangi inefisiensi teknis petani

cabe merah besar di Provinsi Jawa Tengah secara signifikan pada α = 0.2.

Rasio tenaga kerja luar keluarga (sewa) terhadap tenaga kerja total diduga mengurangi inefisiensi petani. Penggunaan tenaga kerja sewa mengurangi inefisiensi teknis petani padi secara signifikan di Kabupaten Cirebon dan Cianjur, Provinsi Jawa Barat tahun 1998/1999 (Lisna 2003).

Keanggotaan dalam kelompok tani merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis petani. Diduga petani yang tergabung dalam kelompok tani saling membagi informasi yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas tanaman dan atau informasi pasar dibandingkan dengan petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani. Diharapkan pula bahwa petani yang menjadi anggota kelompok tani memiliki akses yang lebih mudah terhadap berbagai sumberdaya yang dibutuhkan di dalam pengelolaan usahatani. Saptana (2011) menyatakan semakin intensif keterlibatan petani dalam keanggotaan kelompok tani akan semakin menurunkan inefisiensi teknis. Lebih jauh dikatakan Saptana (2011) bahwa petani yang tergabung dalam kelompok tani akan memiliki akses yang lebih baik kepada informasi seperti informasi teknologi, informasi pasar, dan program-program pemerintah sehingga keanggotaan dalam kelompok tani dapat menurunkan inefisiensi teknis. Binam et

al. (2004) menambahkan bahwa keanggotaan dalam kelompok tani dapat

memberikan beberapa pengaruh pada anggota keluarga dan petani lainnya yang tidak menjadi anggota kelompok tani melalui pemberian informasi dan demonstrasi praktik usahatani. Nyagaka et al. (2010) menemukan bahwa dengan menjadi anggota kelompok tani dapat mengurangi inefisiensi teknis petani kentang di Nyandarua wilayah Utara Kenya secara signifikan pada α = 0.01; Nahraeni (2012) menemukan bahwa keikutsertaan dalam kelompok tani mengurangi inefisiensi teknis petani kentang di Provinsi Jawa Barat secara signifikan pada α = 0.05. Tetapi Tanjung (2003) menemukan bahwa keikutsertaan dalam kelompok tani meningkatkan inefisiensi teknis petani kentang di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat dan signifikan pada α = 0.1 karena dengan menjadi anggota kelompok tani memaksa petani untuk lebih proaktif dalam aktivitas kelompok sehingga menghambat kebebasan dan aktivitas para petani dalam usahatani kentang yang sedang dijalankan.

(28)

bahwa variabel tingkat spesialisasi dalam budidaya kentang dapat mengurangi inefisiensi teknis petani kentang di Dedza, Malawi Tengah dan signifikan pada σ = 0.05.

Petani dengan status lahan sebagai hak milik diharapkan dapat mengurangi inefisiensi teknis. Sinaga (2011) menemukan bahwa petani kentang di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai hak milik atas lahan yang digarapnya lebih efisien secara teknis dan signifikan pada α = 0.05 daripada petani kentang lainnya yang mempunyai hak sewa. Hal yang sama juga ditemukan Sinaga (2011) di tempat yang sama pada petani tomat. Tetapi hasil penelitian Nahraeni (2012) menyatakan bahwa status hak milik atas tanah yang ditanami kentang oleh petani di Provinsi Jawa Barat ternyata meningkatkan inefisiensi

teknis dan signifikan pada α = 0.1. Hal yang sama juga ditemukan oleh Bakhsh

dan Hassan (2005) yang menyatakan bahwa status hak milik atas tanah yang ditanami wortel oleh petani di Pakistan ternyata meningkatkan inefisiensi teknis

dan signifikan pada α = 0 karena para penyewa cenderung menggunakan

sumberdaya yang tersedia secara terbatas dan lebih efisien dengan teknologi yang ada sebab kenyataan menunjukkan kehidupan para petani tergantung pada produksi tanaman.

Penyuluhan memainkan peran layanan dukungan dalam produksi pertanian. Penyuluhan diasumsikan menolong difusi dan adopsi teknologi baru. Di samping itu, penyuluhan menawarkan bimbingan kepada petani yang terkait dengan penggunaan sumberdaya seperti pupuk dan menyediakan konsultasi

(Bakhsh dan Hassan 2005). Bakhsh et al. (2006) menemukan bahwa kontak

dengan PPL mengurangi inefisiensi teknis petani kentang di Punjab, Pakistan secara signifikan pada α = 0.05; petani kentang di Okara dan Kasur Pakistan secara signifikan pada α = 0.0 1 (Abedullah et al. 2006); petani kentang di Munshiganj, Bogra, Jessor, Bangladesh secara signifikan pada α = 0.05 (Hossain

et al. 2008); petani kentang di Nyandarua, Wilayah Utara Kenya secara signifikan pada α = 0.05 (Nyagaka et al. 2010); Nahraeni (2012) juga menemukan semakin tinggi frekuensi penyuluhan dalam usahatani kentang semakin mengurangi inefisiensi teknis petani kentang di Provinsi Jawa Barat secara signifikan pada α = 0.05. Abedullah et al. (2006) menyatakan bahwa konsultasi dengan penyuluh pertanian menambah secara nyata pada perbaikan efisiensi teknis dan secara tidak langsung menyatakan bahwa Departemen Penyuluhan Pertanian harus menjadi variabel utama yang ditargetkan dari sudut pandang kebijakan untuk memperbaiki efisiensi teknis dalam produksi kentang di Okara dan Kasur, Pakistan.

Kredit merupakan salah satu sumber modal kerja dalam usahatani. Seorang petani yang mempunyai akses terhadap sumber-sumber kredit akan lebih mudah membiayai usahataninya dan lebih mampu membeli input-input usahatani yang dibutuhkan. Selain itu dengan modal yang diperoleh melalui kredit akan mempengaruhi petani untuk menyewa atau membeli input-input produksi yang lebih bermutu. Nyagaka et al. (2010) menyatakan bahwa akses kepada kredit memungkinkan petani untuk meningkatkan efisiensi dengan menanggulangi keterbatasan likuiditas yang dapat mempengaruhi kemampuan petani untuk membeli dan menggunakan input dan mengimplementasikan keputusan-keputusan manajemen usahatani tepat waktu sehingga meningkatkan efisiensi. Nyagaka et al. (2010) menyatakan bahwa akses kredit dapat mengurangi inefisiensi teknis

(29)

0.01. Tetapi Nahraeni (2012) menemukan bahwa akses kredit ke lembaga formal meningkatkan inefisiensi teknis petani kentang di Provinsi Jawa Barat secara

signifikan pada α = 0.1 karena selain mengakses kredit ke lembaga formal, petani juga terikat kredit ke lembaga non formal dengan bunga yang lebih tinggi sehingga membebani petani yang pada akhirnya mengurangi kemampuan petani untuk membeli input; dan Bogale dan Bogale (2005) menemukan bahwa akses kredit meningkatkan inefisiensi teknis petani kentang dengan skema irigasi tradisional di Awi Zone, Ethiopia secara signifikan pada α = 0.01 karena petani yang mendapat kredit menggunakannya untuk tujuan lain.

Selama ini, penelitian tentang pengaruh kemitraan terhadap inefisiensi usahatani kentang belum pernah dilakukan, akan tetapi hasil penelitian Husyairi (2012) menunjukkan kemitraan antara petani tebu unit usaha Bungamayang dengan PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Lampung berpengaruh mengurangi inefisiensi teknis walaupun tidak nyata. Saptana (2011) juga menemukan bahwa keanggotaan kemitraan usaha mengurangi inefisiensi petani cabai merah besar dan cabai merah keriting di Provinsi Jawa Tengah walaupun tidak signifikan.

Efisiensi alokatif dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi alokatif Dari aspek efisiensi alokatif, rata-rata efisiensi alokatif petani kentang biasa di Nyandarua, Kenya adalah 0.57 (Obare et al. 2010) menunjukkan bahwa rata-rata petani kentang di negara tersebut harus menghemat biaya tunai usahatani sebesar (1-0.57) atau 43 persen jika para petani mampu beroperasi pada tingkat efisiensi alokatif penuh atau 100 persen. Di Indonesia, rata-rata efisiensi alokatif petani kentang di Kabupaten Solok Sumatera Barat adalah 0.60 (Tanjung 2003) dan di Provinsi Jawa Barat adalah 0.47 (Nahraeni 2012), Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata petani kentang di di Kabupaten Solok, Sumatera Barat dan di Provinsi Jawa Barat belum efisien secara alokatif sehingga faktor-faktor penentu inefisiensi alokatif perlu mendapat perhatian.

Umur mempunyai pengaruh negatif terhadap inefisiensi alokatif karena petani yang lebih tua telah mengembangkan praktik dan kebiasaan manajerial untuk meningkatkan kemampuan para petani dalam mengambil pilihan-pilihan input dalam suatu cara yang meminimisasi biaya (Asogwa et al. 2011). Nahraeni (2012) menemukan bahwa pertambahan umur petani mengurangi inefisiensi

alokatif petani kentang di Provinsi Jawa Barat dan signifikan pada α = 0.05.

Pengalaman usahatani petani juga diduga berpengaruh mengurangi inefisiensi alokatif karena kombinasi biaya yang meminimumkan input dan penerimaan yang memaksimumkan output membutuhkan informasi tentang teknologi dan harga pasar. Semakin berpengalaman seorang petani dalam suatu usahatani semakin baik kemampuan petani tersebut sebagai seorang pengambil keputusan untuk mendapatkan dan memproses informasi tentang harga dan teknologi (Asogwa et al. 2011).

Tingkat pendidikan petani memiliki pengaruh mengurangi inefisiensi alokatif karena pendidikan meningkatkan kemampuan petani sebagai pengambil keputusan untuk mendapatkan dan memproses informasi tentang harga dan teknologi yang pada gilirannya meningkatkan efisiensi alokatif petani (Asogwa et

(30)

yang pernah diikuti oleh petani kentang semakin mengurangi inefisiesni alokatif

petani kentang di Provinsi Jawa Barat dan signifikan pada α = 0.2.

Ukuran keluarga juga diduga berpengaruh mengurangi inefisiensi alokatif karena semakin besar ukuran keluarga semakin berkurang tenaga kerja yang disewa yang akan digunakan dalam produksi output dan semakin mengurangi biaya produksi (Asogwa et al. 2011). Paudel dan Matsuoka (2009) menemukan bahwa semakin besar ukuran keluarga petani jagung di Chitwan, Nepal, semakin mengurangi inefisiensi biaya walaupun tidak signifikan. Koefisien negatif untuk ukuran keluarga menyatakan secara tidak langsung bahwa efisiensi alokatif meningkat dengan adanya peningkatan ukuran keluarga. Hal ini terjadi diduga karena para petani dengan jumlah anggota keluarga yang relatif besar mengandalkan tenaga kerja keluarga dan sebagai akibatnya mengurangi inefisiensi harga bagi produksi kentang. Tetapi Bravo-Ureta dan Pinheiro (1997) menemukan bahwa semakin besar ukuran keluarga petani skala kecil di Dajabon, Republik Dominika, semakin meningkatkan inefisensi alokatif secara signifikan

pada α = 0.1.

Obare et al. (2010) menyatakan bahwa keanggotaan petani dalam

kelompok tani dapat mengurangi inefisiensi alokatif petani kentang di Nyandarua,

wilayah Utara Kenya secara signifikan pada α = 0.01. Tetapi Nahraeni (2012)

menemukan bahwa keanggotaan petani dalam kelompok tani ternyata meningkatkan inefisiensi alokatif petani kentang di Provinsi Jawa Barat walaupun tidak signifikan. Petani yang tergabung dalam kelompok tani akan memiliki akses yang lebih baik kepada informasi seperti informasi teknologi, informasi pasar, dan program-program pemerintah sehingga melalui informasi teknologi dan informasi pasar yang diketahuinya dapat membantunya mengoptimalkan pengalokasian sumberdaya lebih efisien.

Nahraeni (2012) menemukan bahwa hak milik atas lahan kentang yang diusahakan petani kentang di Provinsi Jawa Barat ternyata mengurangi inefisiensi

alokatif secara signifikan pada α = 0.01. Koefisien negatif menunjukkan bahwa

petani yang mempunyai hak milik atas lahan yang dibudidayakan dengan kentang lebih mampu meminimumkan biaya untuk mencapai output pada teknologi sekarang. Dengan kata lain petani yang mempunyai hak milik lebih mampu mengkombinasikan inputnya pada tingkat minimum daripada petani yang mempunyai hak sewa jika terjadi perubahan harga input sehingga para petani lebih mendekati pada produksi frontiernya (Nahraeni 2012).

Nchare (2007) dikutip dalam Obare et al. (2010) menyatakan bahwa

kontak teratur dengan PPL memfasilitasi penggunaan praktis teknik-teknik modern dan adopsi praktik produksi agronomi yang telah diperbaiki. Pelayanan penyuluhan tentang pola-pola harga produk tanaman, varietas benih, pengelolaan tanaman dan pemasaran dapat meningkatkan kemampuan petani untuk mengoptimalkan penggunaan sumberdaya. Obare et al. (2010) menyatakan kontak dengan agen penyuluhan yang dilakukan oleh petani kentang di Nyandarua, wilayah Utara Kenya mengurangi inefisiensi alokatif secara signifikan pada α = 0.05. Tetapi Nahraeni (2012) menemukan bahwa semakin tinggi frekuensi penyuluhan yang diikuti oleh petani kentang di Provinsi Jawa Barat, semakin meningkatkan inefisiensi alokatif walaupun tidak signifikan.

(31)

kecil di Dajabon, Republik Dominika menurunkan inefisiensi alokatif secara signifikan pada α = 0.01. Glover (1984) menyatakan bahwa kontrak pertanian dapat sangat bernilai bagi usahatani skala kecil, karena dapat memfasilitasi akses ke pasar dan meningkatkan pendapatan dan tenaga kerja para petani. Tambahan pula, kontrak produksi dengan perusahaan agribisnis memberi para petani suatu jaminan pasar bagi hasil tanaman yang diproduksinya dan juga beberapa bantuan teknis. Selain itu, kontrak pertanian dapat meningkatkan efisiensi alokatif atau efisiensi harga dan juga efisiensi ekonomi dengan mengurangi risiko (Oberg 1985) dikutip dalam Bravo-Ureta-Pinheiro (1997).

Efisiensi ekonomi dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi ekonomi Dari aspek efisiensi ekonomi, rata-rata efisiensi ekonomi petani kentang di Kabupaten Solok, Sumatera Barat adalah 0.44 (Tanjung 2003) dan di Provinsi Jawa Barat adalah 0.38 (Nahraeni 2012). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata petani kentang di di Kabupaten Solok, Sumatera Barat dan di Provinsi Jawa Barat belum efisien secara ekonomi sehingga faktor-faktor penentu inefisiensi ekonomi juga perlu mendapat perhatian.

Bifarin et al. (2010) menyatakan bahwa semakin tinggi umur petani pisang di Ondo State, Nigeria, semakin meningkatkan inefisiensi ekonomi secara signifikan pada α = 0.1; dan Bravo-Ureta dan Pinheiro (1997) juga menyatakan bahwa petani dengan skala usahatani kecil yang berumur di atas 25 tahun ditemukan mengalami peningkatan inefisiensi ekonomi dan signifikan pada α = 0.05 daripada petani yang berumur 25 tahun ke bawah di Dajabon Republik Dominika.

Nahraeni (2012) menyatakan semakin tinggi pendidikan formal petani kentang Provinsi Jawa Barat semakin mengurangi inefisiensi ekonomi dan signifikan pada α = 0.1. Nahraeni (2012) menyatakan keanggotaan petani kentang di Provinsi Jawa Barat dalam kelompok tani dapat mengurangi inefisiensi ekonomi walaupun tidak signifikan. Nahraeni (2012) menyatakan status milik oleh petani atas lahan kentang yang ditanaminya dengan kentang di Provinsi Jawa

Barat mengurangi inefisiensi ekonomi dan signifikan pada α = 0.01.

Bifarin et al. (2010) menemukan bahwa semakin tinggi kunjungan yang dilakukan oleh agen penyuluhan kepada petani pisang di Ondo State, Nigeria,

semakin meningkatkan inefisiensi ekonomi dan signifikan pada α = 0.1. Nahraeni

(2012) menyatakan semakin tinggi frekuensi penyuluhan yang diikuti oleh petani di kentang Provinsi Jawa Barat semakin meningkatkan inefisiensi ekonomi walaupun tidak signifikan.

Dari berbagai kajian tentang efisiensi petani di atas juga ditemukan bahwa umumnya fungsi yang digunakan dalam menduga produksi usahatani adalah fungsi produksi stochastic frontier dalam bentuk fungsi produksi Cobb-Douglass dan metode pendugaan efisiensi teknis dan inefisiensi teknis adalah maximum likelihood estimation (MLE).

Analisis Pendapatan Usahatani Kentang

(32)

sedangkan Apriyanto (2005) menyatakan skala produksi usahatani kentang berada pada skala usaha tetap (constant return to scale).

Alexander (1999) menemukan bahwa R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total usahatani kentang di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara masing-masing sebesar 2.00; R/C rasio atas biaya tunai petani Kentang di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara adalah 1.59 (Tarigan, 1997); R/C rasio atas biaya tunai petani Kentang di Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan adalah 1.70 (Kasmawati dkk 2011); dan R/C rasio atas biaya tunai usahatani kentang lahan sewa di Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat adalah 1.30 (Apriyanto 2005);.

R/C rasio atas biaya total usahatani kentang di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat untuk lahan sempit adalah 2.32 dan untuk lahan luas adalah 2.22 (Adriani 2004); R/C atas biaya total usahatani kentang di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara sebesar 1.59; R/C rasio atas biaya total usahatani kentang lahan sewa di Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat adalah 1.07 (Apriyanto 2005); R/C atas biaya total usahatani kentang yang lebih tinggi adalah pada petani yang mengakses kredit dari bank dibandingkan dengan dari CU dan toko-toko pertanian (Sinaga 2011).

Umumnya, R/C rasio dari usahatani kentang adalah relatif rendah karena produktivitas yang rendah, harga kentang yang relatif rendah. Produktivitas yang rendah diduga karena bibit kentang yang digunakan adalah bibit lokal dan merupakan sisa dari panen sebelumnya. Perbedaan pendapatan usahatani karena petani bermitra dalam memperoleh modal kerja misalnya bantuan bibit belum pernah diteliti padahal komposisi biaya untuk bibit mencapai 72.80 persen (Tarigan 1997). Suatu penelitian yang dilakukan di Magelang, Jawa Tengah menyatakan bahwa keuntungan usahatani kentang varietas Atlantik (bibit unggul) adalah 63.5 juta rupiah/ha jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bibit lokal Granola yang merupakan bibit lokal sebesar 35 juta rupiah/ha (Parwadi 2010).

Kerangka Pemikiran

Kemitraan dalam usahatani antara perusahaan mitra dan petani dapat mengurangi inefisiensi baik inefisiensi teknis (Bravo-Ureta dan Pinheiro 1997; Saptana 2011; dan Husyairi 2012), inefisiensi alokatif (Bravo-Ureta dan Pinheiro 1997), dan inefisiensi ekonomi. Hubungan antara inefisiensi dan efisiensi adalah terbalik. Dengan kata lain, jika inefisiensi berkurang, efisiensi akan meningkat sehingga jika kemitraan dapat mengurangi inefisieni teknis, alokatif, dan ekonomi maka efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi petani akan meningkat.

Efisensi teknis akan meningkat jika petani yang bermitra mendapat bantuan teknis dalam usahatani dari perusahaan mitra sehingga petani dapat mengalokasikan input paling minimum untuk menghasilkan output tertentu.

Abedullah et al. (2006) menyatakan bahwa jika efisiensi teknis meningkat,

(33)

Kemitraan dalam usahatani kentang juga dapat meningkatkan efisiensi alokatif. Petani yang bermitra mendapat jaminan harga jual output pada tingkat tertentu dari perusahaan mitra pada awal penanaman. Jika harga output telah diketahui oleh petani pada awal penanaman, petani dapat mengalokasikan biaya yang paling minimum untuk menghasilan output tertentu sehingga keuntungan maksimum dapat tercapai. Efek gabungan jika efisiensi teknis dan alokatif meningkat adalah meningkatnya efisiensi ekonomi. Peningkatan efisiensi ekonomi dapat meningkatkan pendapatan petani kentang. Meningkatnya pendapatan melalui kenaikan efisiensi ekonomi terjadi karena meningkatnya kemampuan petani dalam pengalokasian input dan biaya yang minimum untuk menghasilkan output tertentu.

Seorang produsen mempunyai tujuan dalam usahatani yang dijalankannya untuk meningkatkan produksi dan memperoleh keuntungan. Dalam efisiensi, asumsi yang digunakan adalah mencapai keuntungan maksimum dengan biaya yang serendah-rendahnya (minimum). Kedua tujuan ini adalah penentu bagi seorang petani atau produsen untuk mengambil keputusan dalam usahataninya. Di dalam keputusan yang diambilnya, seorang petani yang rasional akan bersedia meningkatkan input selama nilai tambah yang dihasilkan oleh tambahan input tersebut sama dengan atau lebih besar dari tambahan biaya yang diakibatkan oleh tambahan input itu. Perbandingan output dengan input yang digunakan dalam suatu usahatani dikenal dengan istilah efisiensi.

Dalam membahas efisiensi, ada dua konsep fungsi produksi yang perlu diperjelas perbedaannya. Kedua konsep fungsi produksi ini adalah fungsi produksi batas (frontier production function) dan fungsi produksi rata-rata (average

production functon). King (1980) yang dikutip dalam Harianto (1989)

menyatakan bahwa fungsi produksi batas merupakan pencerminan produk maksimum yang dapat diperoleh dari kombinasi faktor produksi yang tertentu pada tingkat teknologi tertentu.

Berdasarkan pengertian fungsi produksi batas dari Gambar 1A, dikatakan bahwa usahatani yang berproduksi di sepanjang kurva berarti telah berproduksi secara efisien, karena untuk sejumlah kombinasi input tertentu dapat diperoleh output yang maksimum, namun dalam pengertian produksi rata-rata pada Gambar 1b, usahatani atau perusahaan yang berproduksi di sepanjang kurva belum tentu yang paling efisien.

Sumber: King (1980) dalam Harianto (1989)

(34)

Farrell (1957), diacu dalam Coelli et al. (1998) memperkenalkan bahwa efisiensi terdiri dari efisiensi teknis (Technical Efficiency-TE) yakni kemampuan suatu perusahaan untuk mendapatkan output maksimum dari penggunaan suatu set (bundle) input. Efisiensi teknis berhubungan dengan kemampuan suatu

perusahaan untuk berproduksi pada kurva frontier isoquant. Kumbhakar dan

Lovell (2000) menyatakan bahwa efisiensi teknis menunjuk pada kemampuan untuk meminimalisasi penggunaan input dalam produksi sebuah vektor output tertentu atau kemampuan untuk mencapai output maksimum dari suatu vektor input tertentu. Definisi lain menunjukkan bahwa TE adalah kemampuan perusahaan untuk memproduksi pada tingkat output tertentu dengan menggunakan input minimum pada tingkat teknologi tertentu. Seorang petani secara teknis dikatakan lebih efisien dibandingkan dengan petani lainnya jika dengan penggunaan jenis dan jumlah input yang sama menghasilkan output secara fisik yang lebih tinggi. Efisiensi alokatif (Allocative Efficiency-AE) adalah kemampuan suatu perusahaan untuk menggunakan input pada proporsi yang optimal pada harga dan teknologi produksi yang tetap (given). AE merupakan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan sejumlah output pada kondisi minimisasi rasio biaya dari input. Dengan kata lain, efisiensi alokatif atau yang biasa juga disebut dengan efisiensi harga mengukur tingkat keberhasilan petani dalam usahanya untuk mencapai keuntungan maksimum yang dicapai pada saat nilai produk marjinal (Value Marginal Product,VMP) setiap faktor produksi yang diberikan sama dengan biaya marjinalnya (Marginal Cost, MC) atau menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menggunakan input dengan proporsi yang optimal pada masing-masing tingkat harga input dan teknologi yang dimiliki. Gabungan kedua efisiensi ini disebut efisiensi ekonomi (Economic Efficiency-EE) atau disebut juga efisiensi total. Hal ini berarti bahwa produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan baik secara teknis maupun ekonomis adalah efisien.

Sumber: Taylor et al. (1986) Gambar 2 Pengukuran efisiensi

Gambar

Tabel 1 Luas panen, produksi, produktivitas dan share produksi kentang di
Tabel 2 Manfaat kemitraan usaha agribisnis dari perspektif petani dan
Tabel 3 Permasalahan yang dialami petani  dan perusahaan mitra dalam
Gambar 3  Fungsi produksi stochastic frontier
+7

Referensi

Dokumen terkait

Misalnya, kalau kita tulis model (M/M/1) : FIFO// ∞/∞ , ini berarti bahwa model menyatakan kedatangan distribusikan secara Poisson, waktu pelayanan distribusikan secara

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kulikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan penerapan teori yang diperoleh

Gerakan sosial keagamaan menggunakan ideologi Islam sebagai faktor penggeraknya, dan sebagai aktivitas kolektif, gerakan tersebut memerlukan ideologi Islam

Laporan akhir ini diberi judul Pengaruh Penerapan Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA) Keuangan terhadap Kualitas Laporan Keuangan Badan Pengelolaan Keuangan

Tenaga kerja, 2 ABK dalam satu kapal memiliki pendapatan lebih tinggi dari UMK sebanyak 30 orang (46.15%) karena semakin sedikit jumlah tenaga kerja dalam satu

Seperti halnya aktifitas pertambangan lain di Indonesia, Pertambangan batubara juga telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hidup yang cukup parah, baik itu air, tanah,

Hal tersebut dikarenakan bahwa seorang akuntan pendidik tidak hanya mendapat gaji dari satu lembaga saja namun juga memungkinkan untuk mendapat gaji diluar lembaga

kanialis servikalis karena serviks mulai membuka atau mendatar, sedangkan darahnya berasal dari pembuluh-pembuluh kapiler yang berada disekitar kanalis servikalis