• Tidak ada hasil yang ditemukan

Average daily gain, physiological status, body component, and methane mitigation with complete rumen modifier (Cassapon)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Average daily gain, physiological status, body component, and methane mitigation with complete rumen modifier (Cassapon)"

Copied!
227
0
0

Teks penuh

(1)

PERTAMBAHAN BOBOT BADAN, STATUS FISIOLOGIS,

KOMPOSISI TUBUH DOMBA, DAN MITIGASI EMISI

GAS METANA DENGAN FORMULASI KOMERSIAL

COMPLETE RUMEN MODIFIER

(CASSAPON)

PRIMA PUJI RAHARJO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pertambahan Bobot Badan, Status Fisiologis, Komposisi Tubuh Domba, dan Mitigasi Emisi Gas Metana dengan Formulasi Komersial Complete Rumen Modifier (Cassapon) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

(4)
(5)

ABSTRACT

PRIMA PUJI RAHARJO. Average Daily Gain, Physiological Status, Body Component, and Methane Mitigation with Complete Rumen Modifier (Cassapon). Under the supervision of MOH. YAMIN, IDAT GALIH PERMANA AND AMLIUS THALIB

Methane emission plays an important role in global warming, destruction of ozone layer and energy losses could lead to decrease average daily gain from the sheep. Global livestock methane emission is around 12% and 1.2% from national emission sources. Whether it was relatively few for Indonesia, it was advantage to be obedient world greenhouse gases rule and improve feeding biotechnology for sciences reason. Complete rumen modifier (CRM) is the feed additives which consist of: (1) Saponin compounds from Sapindus rarak, Albizia falcutaria and Sesbania grandiflora; (2) Asetogenic bacteria from Asetoanaerobium notrae; and (3) Microbial growth factor. Sheep that we used in this experiment were 32 ewes post-weaning (4-5 months) in factorial randomize block design with two factors. The first factor was feeding trial with four levels i.e.: (A) Pennisetum purpureum and roughage as a control, (B) Pennisetum purpureum and 5% cassava waste (onggok) in roughage, (C) Pennisetum purpureum and 2% CRM in roughage, (D) Pennisetum purpureum and 5% cassapon in roughage. The second factor was ewe breeds type with two levels i.e.: Sumatera Composite (SC) and Barbados Cross (BC). Methane emission from VFA calculation had been decreased in CRM (15.09%) and cassapon (20.28%) supplementation (P<0.05). Protozoa population had been decreased by CRM and cassapon effect (P<0.05).The CRM and cassapon treatments as feed additive were effective in inhibiting methane production. Body component (water, fat and protein) in the post-weaning growing phase was almost the same in all treatments (P>0.05). Sheep were in thermoneutral zone with normal physiology responses with 70.52-77.50 THI (P>0.05). Physiological parameters observed include: respiration rate, heartbeat, rectal temperature, skin temperature, N-blood urea and ammonia.The results show that sheep post weaning in this study were adapted well to the ambient temperature and feeding trial from the result of physiology and body component. Average daily gain was not significantly different among the CRM and cassapon treatments (P>0.05). In conclusion, CRM and cassapon could be aplicated as a feed additive to decrease enteric methane emission with normal effects in physiology response and body component to growth.

(6)
(7)

RINGKASAN

PRIMA PUJI RAHARJO. Pertambahan Bobot Badan, Status Fisiologis, Komposisi Tubuh Domba, dan Mitigasi Emisi Gas Metana dengan Formulasi Komersial Complete Rumen Modifier (Cassapon). Dibimbing oleh MOH. YAMIN, IDAT GALIH PERMANA DAN AMLIUS THALIB

Emisi metana sektor peternakan merupakan kontributor yang nyata terhadap efek gas rumah kaca (GRK). Kontribusi gas metana dari sektor peternakan secara global adalah 12% dan secara nasional adalah 1.2%. Walaupun, secara nasional sektor peternakan memiliki presentasi yang kecil namun sebagai suatu tindakan yang lebih baik untuk mengikuti pengendalian isu global mengenai emisi gas metana. Sektor peternakan pada ternak ruminansia khususnya domba memproduksi gas metana sebagai hasil sampingan fermentasi pakan dengan lebih dari 92-98% secara enterik. Emisi metana secara kuantitas nilainya lebih rendah dibandingkan dengan karbon dioksida, namun secara kualitas radiasi metana lebih tinggi 25 kali dibandingkan dengan karbondioksida. Oleh karena itu, dunia internasional telah banyak menyusun kebijakan dan mengkaji terobosan untuk mengurangi dampak gas metana. Salah satu upaya dengan peran bioteknologi melalui modifikasi ekosistem rumen dengan suplementasi pakan tambahan.

Pakan tambahan yang digunakan dalam penelitian ini mengandung tiga hal utama: (1) senyawa saponin dari buah lerak (Sapindus rarak), tepung daun Albizia falcutaria dan Sesbania grandiflora; (2) isolat bakteri dengan media asetogenik pengguna hidrogen karbon dioksida, yaitu Asetoanaerobium noterae; dan (3) faktor pertumbuhan mikroba (FPM). Diharapkan gas hidrogen (H2) yang

terbentuk dalam proses fermentasi pakan digunakan oleh bakteri asetogenik untuk meningkatkan performa domba dan saponin dapat mendefaunasi (mengurangi) populasi protozoa sebagai habitat simbiosis bakteri metanogen pembentuk metana.

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba betina barbados cross (BC) atau persilangan barbados 4-5 bulan dengan jumlah 16 ekor dan domba betina komposit sumatera (KS) 4-5 bulan dengan jumlah 16 ekor. Respons yang diamati adalah PBB, respons fisiologis (suhu rektal, suhu permukaan kulit, denyut jantung, dan laju pernapasan), nilai dugaan komposisi tubuh (protein, lemak, dan air tubuh), konsumsi dan kecernaan nutrien ((Bahan Kering (BK), Bahan Organik (BO), Protein Kasar (PK), Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Gross Energy (GE)), Feed Convertion Ratio (FCR), ekosistem rumen (pH, Volatile Fatty Acid (VFA), NH3, CO2, bakteri dan protozoa), dan komposisi gas

fermentasi (gas total, gas CO2, gas CH4, dan laju produksi gas).

(8)

Komposisi tubuh antara domba percobaan tidak dipengaruhi oleh perbedaan ransum yang disuplementasi onggok, CRM, dan cassapon (P>0.05). Komposisi tubuh domba KS dan BC berada pada pola pertumbuhan yang normal. Urutan rataan proporsi komposisi tubuh adalah air tubuh (58.51% BB0.75), lemak tubuh (20.76% BB0.75), dan protein tubuh (15.03% BB0.75).

Respons fisiologis pada domba KS dan BC adalah normal dan berada pada keadaan nyaman seperti yang ditunjukkan oleh laju respirasi, laju denyut jantung, suhu rektal, suhu kulit, kadar N-urea darah dan ammonia. Domba yang diberi ransum dengan suplmentasi onggok, CRM, dan cassapon tidak mempengaruhi kondisi fisiologis domba KS dan BC pada kondisi lingkungan (THI dan suhu) yang nyaman dan menunjukan tingkat adaptasi iklim mikro yang baik pada domba KS dan BC.

Kesimpulan penelitian ini adalah suplementasi CRM dan cassapon sebagai pakan tambahan pada ternak dapat diaplikasikan untuk mengurangi produksi gas metana tanpa mempengaruhi status fisiologis dan komposisi tubuh untuk pertumbuhan domba.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

PERTAMBAHAN BOBOT BADAN, STATUS FISIOLOGIS,

KOMPOSISI TUBUH DOMBA, DAN MITIGASI EMISI

GAS METANA DENGAN FORMULASI KOMERSIAL

COMPLETE RUMEN MODIFIER

(CASSAPON)

PRIMA PUJI RAHARJO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Pertambahan Bobot Badan, Status Fisiologis, Komposisi Tubuh Domba, dan Mitigasi Emisi Gas Metana dengan Formulasi Komersial Complete Rumen Modifier (Cassapon)

Nama : Prima Puji Raharjo

NIM : D151090121

Program Studi/Mayor : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Moh. Yamin, M.Agr.Sc Ketua

Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr Anggota

Dr. drs Amlius Thalib, APU Anggota

Diketahui Ketua Program Studi/Mayor

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 16 Agustus 2011 Tanggal Lulus:

(tanggal pelaksanaan ujian tesis) (tanggal penandatanganan tesis oleh

(14)
(15)

PRAKATA

Bismillahirrohmannirrohim, Alhamdulillah puji dan syukur penulis haturkan kepada Alloh SWT, shalawat serta salam bagi pemimpin kita Rosulluloh dan orang beriman yang tetap istiqomah, istitoah, dan istianah berjuang di jalan-Nya, berkat qudroh dan irodah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan Tesis ini.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada keluarga tercinta, ayahanda Singgih Harsoyo, SH. MH. dan ibunda tercinta Tri Wahyuwulan, S.Pd. Karena beliaulah yang dengan pengorbanan moril dan materil membiayai studi penulis hingga selesai dan adikku tercinta Satrio Harjono, Rani Benarti, Putri Ardina, dan Erik Himawan.

Terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Ir. Moh. Yamin, M.Agr.Sc selaku pembimbing utama, Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr dan Dr. drs Amlius Thalib, APU selaku pembimbing anggota, karena dengan sepenuh hati dan penuh kesabaran telah membimbing, membagi pengalaman dan meluangkan waktu selama penelitian serta penyusunan tesis.

2. Prof. Ir. Wasmen Manalu, Ph.D. selaku penguji luar komisi.

3. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor atas bantuan materi dan sarana penelitian No. Protokol R/D-03/NUT/APBN 2010.

4. Ibu Winwin, Ibu Mulyani, Pak Helmy, Pak Udin, dan Pak Gunawan yang telah membantu penelitian di Balitnak.

5. ITP 2009, Almira Primasari, Adi Rahman, Chea Sinath, dan Sanou Faye atas kebersamaan yang penuh makna.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pada ilmu dan pengetahuan.

Bogor, Agustus 2011

(16)
(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 April 1986. Penulis anak pertama dari lima bersaudara, dari pasangan Bapak Singgih Harsoyo, SH. MH. dan Ibu Tri Wahyuwulan, S.Pd.

(18)
(19)

DAFTAR ISI

Metode Pendugaan Komposisi Tubuh ... 9

Panas Tubuh dan Konsumsi Nutrien . ... 10

Pencernaan dan Metabolisme Karbohidrat ... 21

Pencernaan dan Metabolisme Protein ... 23

Metanogenesis di Rumen ... 24

Complete Rumen Modifier (CRM) dan Cassapon ... 28

BAHAN DAN METODE ... 31

Rancangan Percobaan dan Tahapan Penelitian ... 32

I. Uji Efektivitas Cassapon ... 32

II. Pengaruh Cassapon dan CRM pada Domba KS dan BC ... 33

a. In Vitro Pengaruh Cassapon dan CRM ... 33

b. In Vivo Pengaruh Cassapon dan CRM ... 34

(20)

Analisis Data ... 43

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

Adaptasi Domba KS & BC Terhadap Iklim Mikro Kandang dan Pakan ... 45

Laju Respirasi domba KS dan BC terhadap Iklim Mikro dan Pakan ... 46

Laju Denyut Jantung domba KS dan BC terhadap Iklim Mikro dan Pakan ... 48

Suhu Rektal dan Suhu Kulit Domba KS dan BC terhadap Iklim Mikro dan Ransum CRM dan Cassapon ... 49

Kadar N-Urea Darah dan Ammonia terhadap Cekaman Panas ... 51

Suhu dan Cekaman Panas yang Terjadi di Lingkungan Kandang ... 52

Komposisi Tubuh Domba KS dan BC terhadap Perlakuan Ransum ... 54

Pengaruh Bangsa Domba terhadap Peubah yang Diamati ... 55

PBBH dan Produksi Gas Metana ... 56

Pertambahan Bobot Badan dan Rasio Konversi Pakan ... 56

Konsumsi dan Kecernaan Nutrien ... 58

Laju Produksi Gas Metana terhadap Pengaruh CRM dan Cassapon ... 61

Ekosistem Rumen terhadap Perlakuan CRM dan Cassapon ... 63

Efektivitas Cassapon terhadap Protozoa Rumen ... 63

Populasi Bakteri, Protozoa dan VFA ... 64

Gas Metana dan Gas Hasil Fermentasi ... 68

Pembahasan Umum ... 74

Peranan CRM dan Cassapon Terhadap Mitigasi Gas Metana, Produktivitas dan Status Fisiologis pada Domba Komposit Sumatera dan Domba Persilangan Barbados ... 74

SIMPULAN DAN SARAN ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Produktivitas bangsa domba murni dan hasil persilangannya ... 8

2. Gas rumah kaca penyebab pemanasan global ... 14

3. Emisi gas rumah kaca total nasional (dalam juta ton CO2-eq) ... 15

4. Metode pengurangan emisi gas metana enterik ruminansia ... 15

5. Bakteri rumen, sumber energi, dan produk fermentasi ... 20

6. Metanogen yang telah diisolasi dari rumen ... 25

7. Substrat untuk metanogenesis ... 26

8. Analisis proksimat CRM dengan kandungan lerak giling, lerak ekstrak, dan konsentrat komersial (Thalib et al. 2010) ... 28

9. Laju respirasi domba KS dan BC pada pagi dan siang hari ... 47

10. Laju denyut jantung KS dan BC pada pagi dan siang hari ... 49

11. Suhu rektal dan suhu kulit domba KS dan BC pada pagi dan siang hari ... 50

12. Kadar N-Urea darah dan N-NH3 rumen ... 52

13. Komposisi tubuh pada domba KS dan BC ... 54

14. PBBH dan FCR pada domba KS dan BC ... 57

15. Konsumsi nutrien pada domba KS dan BC yang mendapat suplementasi CRM dan Cassapon ... 59

16. Kecernaan nutrien bangsa KS dan BC terhadap suplementasi CRM dan Cassapon ... 60

17. Laju produksi gas hasil fermentasi ... 62

18. Populasi protozoa yang didefaunasi oleh Cassapon in vitro ... 63

19. Populasi bakteri, protozoa, ATP dan Biomasa bakteri rumen Menggunakan inokulum domba perlakuan secara in vivo ... 64

20. Nilai pH, N-NH3 dan VFA inokulum domba perlakuan ... 66

21. Produksi gas CH4 dengan menggunakan perhitungan stoikiometri VFA ... 69

22. Produksi gas hasil fermentasi rumen secara in vitro dengan menggunakan inokulum domba fistula ... 71

(22)
(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian ... 3 2. Pola perkawinan domba barbados persilangan ... 5 3. (a) Domba barbados penelitian dan (b) domba barbados

asli dari Pulau Barbados ... 6 4. Domba KS penelitian di kandang individu ... 7 5. Pola perkawinan pembentuk domba KS (Subandriyo et al. 1996) ... 7 6. Sumber produksi gas metana dunia (Ray et al. 2010) ... 14 7. Fermentasi bahan tanaman oleh mikroba rumen dan beberapa

bakteri yang berperan serta metanogen yang mengubah hidrogen

menjadi metana (Mc Alister et al. 1996) ... 27 8. THI lingkungan kandang pada waktu pagi dan siang hari ... 52 9. Suhu lingkungan kandang berdasarkan waktu ... 53 10. Grafik pertumbuhan domba berdasarkan perlakuan pakan ... 57 11. Produksi gas (a) CH4; (b) CO2; dan (c) gas total

(24)
(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Analisis ragam PBBH ... 87 2. Analisis ragam FCR ... 87 3. Analisis ragam konsumsi nutrien ... 87 4. Analisis ragam kecernaan nutrien ... 89 5. Analisis ragam laju respirasi ... 91 6. Analisis ragam laju denyut jantung ... 92 7. Analisis ragam suhu rektal ... 92 8. Analisis ragam suhu kulit ... 93 9. Analisis ragam kadar N-Urea darah ... 94 10. Analisis ragam ammonia rumen ... 94 11. Analisis ragam persentase air tubuh pada komposisi tubuh domba ... 94 12. Analisis ragam persentase lemak tubuh ... 95 13. Analisis ragam persentase protein tubuh ... 95 14. Analisis ragam populasi protozoa oleh Cassapon in vitro ... 96 15. Analisis ragam protozoa dengan inokulum domba percobaan ... 96 16. Analisis ragam populasi bakteri dengan inokulum domba fistula ... 96 17. Analisis ragam biomassa bakteri ... 96 18. Analisis ragam produksi ATP bakteri ... 97 19. Analisis ragam pH rumen pada inokulum domba percobaan ... 97 20. Analisis ragam VFA dari inokulum domba percobaan in vivo ... 97 21. Analisis ragam CH4 (volumetrik) dengan inokulum domba

percobaan . ... 100 22. Analisis ragam estimasi gas metana berdasarkan VFA inokulum

domba percobaan ... 100 23. Analisis ragam H2 stoikiometri metanogenesis ... 100

24. Korelasi NH3 dengan protein kasar ... 101

25. Korelasi VFA total dengan CH4 dan bakteri ... 101

(26)
(27)
(28)
(29)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kontribusi gas metana dari sektor peternakan secara global adalah 12% dan secara nasional adalah 1.2% (Dourmard et al. 2008). Walaupun, secara nasional sektor peternakan memiliki presentasi yang kecil namun sebagai suatu tindakan yang lebih baik untuk mengikuti pengendalian isu global mengenai emisi gas metana. Emisi gas metana memiliki jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan gas CO2, gas metana memiliki kemampuan memerangkap radiasi

inframerah (panas) yang dipancarkan bumi 25 kali lebih efektif dari CO2 (Reay et

al. 2010). Di samping itu, gas metana reaktif penyebab penipisan lapisan ozon,

dan mengakibatkan kehilangan energi pakan yang dikonsumsi sebesar 2-12% (Johnson & Johnson 1995). Oleh karena itu, peran bioteknologi pakan sangat penting dalam hal menyelaraskan antara emisi gas metana dan nutrisi pakan, produksi serta status kesehatan domba (Bonneau & Laarveld 1999).

Gas metana sebagian besar terbentuk dari reaksi antara CO2 dan H2 dengan

persamaan reaksi: CO2 + 4H2  CH4 + 2H2O dengan bantuan enzim yang

dihasilkan oleh bakteri metanogen di rumen. Oleh karena itu, dua kunci utama untuk mengurangi produksi gas metana di dalam rumen adalah dengan mengurangi produksi H2 atau mengikat H2 yang terbentuk dan mengurangi

populasi metanogen.

Penggunaan bakteri asetogenik juga dilakukan untuk mereduksi CO2

membentuk asetat sehingga terjadi inhibisi pembentukan gas metana (Morvan et al. 1996). Namun, bakteri asetogenik kalah berkompetisi untuk berkembang di

dalam rumen karena bakteri metanogenik mempunyai daya hidrogenotropik lebih tinggi. Oleh karena itu, perlu adanya defaunator untuk mengurangi populasi bakteri metanogen dan faktor pertumbuhan mikroba. Spesies bakteri asetogenik Asetoanaerobium notreae cukup potensial untuk menghambat metanogenesis di dalam rumen dengan perpaduannya dengan kandungan saponin dari Sapindus rerak, Albizia falcutaria, dan Sesbania grandiflora (Thalib et al. 2010).

(30)

Modifier (CRM) dan dengan tambahan onggok yang diformulasikan komersial bernama cassapon. Onggok yang digunakan pada cassapon berfungsi untuk menambah suplai energi bagi bakteri rumen supaya dapat melakukan kegiatan fermentasi dengan baik.

Perlakuan pakan tambahan berupa CRM dan cassapon diduga akan meningkatkan konsumsi bahan kering (BK) dan kecernaan energi domba seperti studi Thalib et al. (2010) yang terjadi peningkatan konsumsi BK dan kecernaan energi akibat penambahan CRM pada domba jantan. Oleh karena itu, kami melakukan studi mengenai peningkatan konsumsi BK dan kecernaan energi terhadap status fisiologis domba. Studi yang menarik dalam penelitian ini adalah pengurangan emisi gas metana sebagai upaya pelestarian lingkungan namun memperhatikan status fisiologis ternak sebagai suatu tindakan kesejahteraan ternak. Selain itu, dilakukan analisa komposisi tubuh domba (air, lemak dan protein tubuh) terhadap penggaruh pemberian CRM dan cassapon.

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

1. Pengurangan emisi gas metana pada fermentasi enterik domba;

2. Peningkatan pertambahan bobot badan domba pada periode pertumbuhan pascasapih melalui modifikasi metanogenesis;

3. Mendapatkan status fisiologis normal untuk semua domba perlakuan;

4. Membandingkan laju produksi gas fermentasi dan hubungan antara konsumsi nutrien dan gas fermentasi;

5. Mengetahui komponen tubuh (lemak, protein dan air) pada masing-masing perlakuan.

Manfaat Penelitian

(31)

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah pemberian CRM dan cassapon dapat meningkatkan pertambahan bobot badan domba, mengurangi emisi gas metana pada fermentasi enterik domba, status fisiologis domba normal, dan proporsi komposisi tubuh domba yang baik untuk pertumbuhan.

Kerangka Pemikiran

(mereduksi CO2 dari reaksi

(32)
(33)

TINJAUAN PUSTAKA

Domba Barbados

Domba barbados berasal dari Kepulauan Karibia, tepatnya di Pulau Barbados, yang merupakan hasil persilangan antara domba afrika dengan domba daerah dingin (Suparyanto 1999). Domba ini merupakan domba tipe rambut dengan tujuan produksi daging, bobot badan dewasa betina 35-50 kg dan jantan 50-80 kg dan pertambahan bobot badan 104-109 g/hari (Rastogi 2001). Pada kondisi pakan yang baik, domba barbados beranak pertama kali pada umur 12-13 bulan, sedangkan pada kondisi pakan yang kurang baik pertama kali beranak dicapai pada umur 14-15 bulan, dengan frekuensi kelahiran anak kembar berkisar antara 56-71% (Suparyanto 1999). Domba barbados yang disilangkan dengan domba priangan memiliki bobot lepas sapih 26.63±6.83 kg/induk, bobot lepas sapih individu untuk jantan adalah 15.09±1.97 kg/ekor dan untuk betina 12.96±1.58 kg/ekor (Rahmat et al. 2007).

Domba barbados yang digunakan pada studi adalah domba barbados hasil persilangan dengan domba sumatera dengan komposisi genetik 50% domba barbados dan 50% domba sumatera. Domba ini biasa dikenal dengan domba Barbados Cross (BC) atau domba barbados silangan. Pola perkawinan domba persilangan barbados adalah disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Pola perkawinan domba persilangan barbados (BC) (Subandriyo et al. 1996).

X Barbados Blackbelly (B)

100%

Sumatera (S) 100% X

Barbados Cross (BC) 50%B, 50%S

Barbados Cross (BC) 50%B, 50%S

(34)

(a) (b)

Gambar 3 (a) Domba barbados peranakan penelitian (BC); (b) Domba barbados asli di Pulau Barbados

Domba Komposit Sumatera

Domba komposit sumatera atau domba sei putih adalah salah satu domba bentukan baru dari Balai Penelitian Ternak, Badan Litbang Pertanian, Ciawi-Bogor yang memiliki beberapa keunggulan. Keunggulan tersebut ialah dapat dikawinkan sepanjang tahun dan beradaptasi dengan baik pada pakan sederhana. Domba komposit sumatera adalah domba unggul hasil persilangan antara bibit domba lokal Sumatera dengan bibit domba St. Croix asal Virgin Islands, Amerika Serikat dan domba barbados blackbelly asal Bardados Islands. Penelitian pembentukan domba komposit sumatera telah berlangsung dua dekade lebih hingga menghasilkan domba yang dapat dikembangkan dalam kondisi pemeliharaan semi intensif (BPATP 2008).

(35)

Gambar 5 Pola perkawinan tiga genotipe domba pembentuk domba komposit sumatera (Subandriyo et al. 1996)

Jenis domba ini memiliki ciri berupa pola warna bulu beragam, seperti putih, cokelat, belang atau ada yang berpola warna barbados blackbelly. Domba komposit sumatera memiliki PBBH yang baik (101 gram/hari), dan jumlah anak sekelahiran sama dengan dengan domba lokal yakni 1.5 ekor, bobot lahir 2.2 kg, bobot sapih 10.3 kg, bobot 48 minggu 22.0 kg, umur beranak pertama 18 bulan, dan produktivitas induk 21.3 kg/th (BPATP 2008).

(36)

Tabel 1 Produktivitas bangsa domba murni dan hasil persilangannya*

Uraian S H HS BC KS

PBB (g/hr) 42.7 95.2 69.6 90.31 101

Bobot Lahir (kg) 1.33 2.19 1.82 1.97 2.45

Bobot Sapih (kg) 6.9 7.2 9.6 10.3 10.6

Jumlah anak sekelahiran (ekor) 1.54 1.60 1.56 1.49 1.5 Keterangan: *Pola dan akronim genotipe persilangan disajikan pada Gambar 5; Sumber BPATP

(2008) dan Suparyanto (1999).

Domba komposit sumatera memiliki beberapa keunggulan: (1) Produktivitas lebih tinggi daripada domba lokal sumatera (±40% lebih tinggi) dengan laju pertumbuhan yang tinggi, tetapi jumlah anak per kelahiran, interval beranak, dan mortalitas anak yang relatif rendah (2) Adaptasi yang baik terhadap lingkungan termasuk resisten terhadap parasit internal (3) Karkasnya lebih besar, dengan kualitas pakan yang baik, rata-rata bobot hidup domba jantan muda adalah 20 kg pada umur 7 bulan dan 30 kg pada umur 11 bulan (4) Wolnya lebih sedikit daripada domba lokal sumatera, domba lokal ekor tipis dan domba priangan.

Pertambahan Bobot Badan dan Metanogenesis

Pertumbuhan pada ternak dikategorikan menjadi dua proses yang saling berkesinambungan, yaitu pertumbuhan sebelum kelahiran (pre-natal) dan pertumbuhan setelah kelahiran (post-natal). Pertumbuhan post-natal terdiri atas periode pertumbuhan sebelum penyapihan dan setelah penyapihan (Aberle et al. 2001). Proses pertumbuhan pada ternak 75% terjadi hingga umur satu tahun dan 25% pada saat ternak mencapai dewasa. Pertumbuhan setelah periode sapih (post-weaning) memiliki hubungan kuat dengan bobot sapih dan efisiensi pakan.

(37)

Komposisi Tubuh

Komposisi tubuh adalah suatu nilai yang menunjukkan proporsi dari komponen penyusun tubuh, antara lain air, protein, dan lemak. Komposisi tubuh sangat dipengaruhi oleh spesies, tingkat kegemukan, atau bobot tubuh temak (Parakkasi, 1981). Komposisi tubuh domba disajikan dalam.

Komposisi tubuh yang diukur dengan teknik menginjeksikan tracer (dilution technique) ke dalam tubuh ternak yang dilaporkan oleh beberapa peneliti disajikan

dalam Tabel 1. Data tersebut menunjukkan bahwa komposisi tubuh sangat bervariasi bergantung pada umur dan bobot tubuh. Komposisi tubuh dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, yaitu bobot potong, umur potong, bangsa, dan jenis kelamin. Bobot potong merupakan peubah yang paling berpengaruh pada komposisi tubuh (Berg & Butterfield 1976).

Soeparno (1992) menyatakan bahwa nutrisi, umur, dan bobot tubuh merupakan faktor yang saling berhubungan erat, dan dapat secara bebas atau secara bersama mempengaruhi komposisi tubuh ternak atau karkas. Variasi komposisi tubuh sebagian besar didominasi oleh variasi bobot tubuh, dan sebagian kecil dipengaruhi oleh umur dan bobot potong.

Metode Pendugaan Komposisi Tubuh

Menurut Nonaka (2002) ada dua cara untuk mengetahui komposisi tubuh ternak yaitu cara langsung dan cara tidak langsung. (1) Cara langsung (direct method), yaitu dengan memotong ternak dan kemudian memisahkan dan

(38)

Pada metode kesetimbangan energi dan nitrogen (protein) kita dapat mengetahui pembongkaran protein atau lemak tubuh serta dapat menghitung deposisi yang terjadi. Keuntungan metode ini adalah ternak dapat digunakan berulang kali, murah, akan tetapi diperlukan banyak tenaga dalam pengerjaannya terutama dalam pengumpulan feses dan urine, sehingga sulit dilaksanakan pada jumlah ternak yang besar. Pada metode menginjeksikan (tracer dilution technique) ke dalam tubuh ternak, konsentrasi tracer akan berkurang karena beredar (melalui darah) ke seluruh tubuh sesuai dengan bobot dan komposisi tubuhnya. Teknik ini yang paling sederhana, karena hanya menggunakan sampel darah, sedikit tenaga kerja, penggunaan ternak dapat dalam jumlah besar dan berulang kali, biaya jauh lebih rendah dan mempunyai akurasi yang cukup tinggi.

Teknik penyuntikan tracer ini dikembangkan berdasarkan pemikiran bahwa proporsi protein konstan, sementara lemak dan air tubuh berhubungan terbalik. Dari pemikiran ini maka apabila air tubuh dapat diketahui maka komposisi lemak dan daging dapat ditentukan. Tracer yang sering digunakan dalam metode ini ada tiga, yaitu tritium, deuterium, dan urea. Dari ketiga traser tersebut, traser urea sangat mudah didapat, mudah, dan analisisnya hanya membutuhkan alat spektrofotometer. Apabila gagal dapat segera diulang karena dalam waktu sekitar dua hari pengaruh urea yang disuntikkan akan menghilang. Urea yang disuntikkan akan memasuki pool tubuh, oleh karena akan terjadi pelarutan (pemerataan) urea dalam tubuh dan terjadi perbedaan antara urea sebelum dan sesudah penyuntikan.

Berdasarkan basil penelitian Astuti dan Sastradipradja (1999) pendugaan kandungan air, lemak, dan protein tubuh domba priangan dengan teknik "urea space" menunjukkan tingkat akurasi yang tinggi dengan r masing-masing 0.95;

0.98 dan 0.96 sedangkan hasil penelitian Panaretto dan Till (1963) diperoleh r masing-masing 0.99; 0.93 dan 0.98.

Panas Tubuh dan Konsumsi Nutrien

(39)

domba st. croix, karakul, dan rambouillet mengalami penurunan konsumsi bahan kering ketika mengalami stres panas. Apabila konsumsi bahan kering menurun oleh stres panas, konsumsi protein kasar (PK), energi bruto (GE) dan energi metabolis (EM) juga akan menurun (Marai et al. 2001).

Fisiologis Pertumbuhan Domba

Perubahan fungsi kerja biologi domba yang mengalami cekaman panas lingkungan dan peningkaatan suhu tubuh dapat disebabkan oleh: (1) penurunan konsumsi dan kecernaan pakan; (2) gangguan metabolisme pada air tubuh, energi, dan keseimbangan mineral; (3) reaksi enzimatis, sekresi hormon, dan metabolit darah (Marai et al. 2007).

Termoregulasi

Termoregulasi domba erat kaitanya dengan evaporasi dan disipasi panas karena peran keringat berkurang dengan adanya lapisan bulu-bulu wol (Marai et al. 2007). Termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang bergantung pada

produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan (Esmay 1982). Panas adalah sebuah bentuk energi yang ditransmisikan dari suatu tubuh ke yang lainnya karena adanya perbedaan temperatur. Temperatur mengacu pada kemampuan tubuh untuk menyerap panas. Energi didefinisikan sebagai kapasitas untuk melakukan kerja (Esmay 1982). Menurut Etgen (1987), energi dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak seperti respirasi, pencernaan, dan metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu. Pada hewan yang lebih aktif, lebih banyak energi yang dikeluarkan untuk mendukung aktivitasnya dan faktor intrinsik yang paling besar mempengaruhi metabolisme adalah sumber pakan (Scheer 1963).

Suhu Rektal

Suhu tubuh menunjukkan kemampuan tubuh untuk melepas dan menerima panas (Esmay,1982). Pengukuran suhu tubuh pada dasarnya sulit dilakukan, karena pengukuran suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di berbagai tempat (Schmidt-Nielsen 1997). Suhu tubuh atau suhu inti (core temperature) dapat dihitung pada beberapa lokasi. Lokasi yang biasa digunakan

(40)

mendominasi penentuan suhu tubuh. Temperatur rektum dan kulit saat siang hari meningkat akibat dehidrasi, dan frekuensi respirasi dan temperatur tubuh berfluktuasi lebih besar saat dehidrasi. Menurut Kelly (1984), suhu tubuh yang diukur dengan termometer klinis bukan indikasi dari jumlah total yang diproduksi, tetapi hanya merefleksikan keseimbangan antara suhu yang diproduksi dengan suhu yang dilepaskan. Suhu rektum sering digunakan sebagai ukuran representatif suhu tubuh (Marai et al. 2007). Suhu rektum domba pada zona nyaman adalah 38.3-39.9°C (Marai et al. 2007). Zona nyaman (thermoneutral zone) pada domba adalah 22-31°C untuk beraktivitas dan reproduksi (Yousef 1985).

Denyut Jantung

Laju denyut jantung merupakan refleksi utama dari proses homeostatis sirkulasi darah sepanjang status metabolisme yang umum (Marai et al. 2007). Faktor fisiologis yang mempengaruhi denyut jantung pada hewan normal adalah spesies, ukuran tubuh, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, rangsangan, tahap laktasi, rangsangan, posisi tubuh, aktivitas sistem pencernaan, ruminasi, dan temperatur lingkungan (Frandson 1992). Menurut Schmidt-Nielsen (1997), jantung memiliki suatu kapasitas yang kompleks untuk berkontraksi tanpa stimulus eksternal. Denyut jantung domba normal menurut Duke’s (1995) adalah 60-120 denyut per menit. Cara untuk mendeteksi denyut jantung adalah dengan meraba arteri menggunakan jari hingga denyutan terasa atau pada bagian dada kiri atas (dekat lengan) dekat tulang axilla sebelah kiri dengan menggunakan stetoskop. Selama musim panas, laju denyut jantung signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan musim dingin pada domba Barki di Timur Tengah (Ismail et al. 1995). Laju denyut jantung pada waktu pagi hari (pukul 8.00) akan lebih

rendah dibandingkan dengan pada siang hari pukul (15.00) (Marai et al. 2007). Respirasi

(41)

Domba akan melepaskan 20% panas tubuh melalui respirasi pada suhu 12°C dan meningkat menjadi 60% dari total panas tubuh pada suhu 35°C (Thompson 1985).

Aktivitas respirasi ditandai dengan pergerakan tulang rusuk, tulang dada, dan perut (merespons kontraksi paru-paru dan pergerakan diafragma), observasi aktivitas respirasi lebih diutamakan saat ternak dalam posisi berdiri, karena posisi berbaring akan mempengaruhi respirasi terlebih lagi pada ternak yang sedang sakit. Pengontrolan frekuensi respirasi dengan cara berdiri pada salah satu sisi ternak, lalu mengamati daerah dada dan perut, disarankan untuk mengobservasi ternak dari kedua sisi, untuk mengetahui similaritas pergerakan kedua sisi (Kelly1984).

Menurut Hecker (1983), laju respirasi untuk domba normal adalah 15-40 helaan/menit atau 30-80 respirasi/menit, sedangkan menurut Frandson (1992) adalah 26-32 helaan/menit = 52-64 respirasi/menit. Mekanisme respirasi dikontrol di medula yang sensitif terhadap CO2 dan tekanan darah. Jika tekanan meningkat

sedikit, pernapasan menjadi lebih dalam dan cepat (Esmay 1982). Peningkatan frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen, yaitu ketika terpapar ke suhu lingkungan dan kelembapan relatif yang tinggi (Kelly1984).

Konsumsi pakan berdasarkan jenis nutrisi akan mempengaruhi laju respirasi pada kondisi stres panas (Bluett et al. 2001). Laju respirasi pada ternak yang terpapar suhu lingkungan yang tinggi dapat mencapai 400 respirasi/menit dan ketika terjadi penurunan menuju suhu yang rendah maka laju respirasi menjadi lebih lama durasinya pada 155-200 respirasi/menit hingga menuju laju respirasi normal dan nyaman (Marai et al. 2007). Laju respirasi akan meningkat pada siang hari (15.00; 12.00; dan 16.00) dibandingkan dengan waktu pagi hari (8.00) pada musim panas terhadap bangsa domba Mesir (Marai et al. 2008).

Emisi Gas Metana

Gas metana (CH4) merupakan salah satu gas yang menyebabkan pengaruh

gas rumah kaca atau GRK (CO2, CH4, N2O, PFC, HFC, dan SF6) sehingga terjadi

pemanasan global (Vlaming 2008). Gas metana memiliki potensi pemanasan global (PPG) 25 kali lipat dibandingkan dengan gas CO2 (Tabel 2). Sumber emisi

(42)

Tabel 2 Gas rumah kaca penyebab pemanasan global*

GRK Masa aktif (tahun) PPG

CO2 (karbon dioksida) 50-200 1

CH4 (metana) 12 25

N2O (Nitrogen oksida) 114 298

PFC atau CF4 (Perfluorometana) 50000 7390

HFC atau CHF3(hidrofluorocarbon) 270 14800

SF6 (Sulphur hexaflorida) 3200 22800

Keterangan: *Sumber IPCC (2001) dan Solomon (2007); PPG (Potensi Pemanasan Global) adalah istilah untuk global warming potential (GWP) berdasarkan masa CO2 selama 100 tahun.

Gambar 6 Sumber produksi gas metana dunia (Reay et al. 2010)

perbuatan manusia terbesar dari sektor peternakan atau ruminansia. Deskripsi emisi metana berdasarkan sumber produksi disajikan pada Gambar 6.

(43)

Tabel 3 Emisi gas rumah kaca total nasional (dalam juta ton CO2 - eq)

Sektor Tahun 2005 Laju (%/th)

Energi (termasuk polusi transportasi) 369.80 5.7

Industri 48.73 2.6

Pertanian 80.18 1.1

Limbah 166.83 1.2

LUCF 674.83 fluktuasi

Kebakaran gambut 451.00 fluktuasi

Total 1991.37

Keterangan: emisi gas rumah kaca adalah total emisi CO2, CH4, N2O, PFC, HFC, dan SF6; LUCF (LandUse Change and Forestry) termasuk kebakaran hutan; sumber MOE (2009).

Tingkat emisi gas metana dari proses pencernaan sapi potong, sapi perah, kerbau, kambing, dan domba secara berurutan adalah 47, 61, 55, 5, dan 5 kg/ek/th dan dari manajemen kotoran 1, 31, 2, 0.22, dan 0.20 kg/ek/th (IPCC 2006). Produksi gas metana dari eruktasi atau enterik ternak lebih besar dibandingkan dengan feses atau kotoran. Produksi metana dihasilkan sebagai hasil samping fermentasi rumen yang menyebabkan berkurangnya energi bruto sebesar 2-15% (Johnson & Johnson 1995). Peran mitigasi sangat penting sebagai solusi pemanasan global dan peningkatan produksi. Upaya untuk menurunkan gas metana berdasarkan waktu penyelesainya menurut Keliher dan Clark (2010) disajikan pada Tabel 4. Penggunaan ekstrak pada tumbuhan dengan senyawa yang mengandung minyak esensial, saponin, tannin, dan organosulfur untuk meningkatkan fermentasi rumen, metabolisme protein menurunkan emisi metana (Patra & Saxena 2010).

Tabel 4 Metode pengurangan emisi gas metana enterik ruminansia

Periode waktu Metode

Singkat  Pengurangan populasi ternak

 Meningkatkan produktivitas tiap individu ternak

 Manipulasi pakan

 Modifikasi ekosistem rumen

Sedang (<10 tahun)  Modifikasi ekosistem rumen

 Seleksi hijauan beremisi rendah CH4

Lama (> 10 tahun)  Target manipulasi ekosistem rumen

(44)

Gas metana adalah salah satu jenis gas rumah kaca utama yang berpengaruh pada pemanasan global. Kontribusi CH4 terhadap pemanasan global diperkirakan

sebesar 18%, nomor dua setelah CO2 (49%), kemudian CFC 14%, N2O 6%, dan

lainnya 13%. Meskipun jumlahnya di atmosfer jauh lebih rendah dibandingkan dengan gas CO2, namun gas metana memiliki kemampuan menyerap panas (radiasi

infra merah) yang dipancarkan oleh bumi 21 kali lebih tinggi dari CO2. Gas

metana memiliki waktu tinggal di atmosfer lebih singkat yaitu selama 12 tahun, sedangkan CO2 selama 100 tahun. Gas metana mampu menembus sampai lapisan

ionosfer di mana terdapat senyawa radikal O3 (ozon) yang berfungsi sebagai

pelindung bumi dari serangan radiasi gelombang pendek ultra violet. Kehadiran gas metana pada lapisan ini berpengaruh pada reaksi oksidasi yang menghasilkan CO2, sehingga menurunkan kandungan O3. Jadi, metana adalah salah satu gas

yang yang menyebabkan penipisan ozon bumi (IPCC 1994).

Keseimbangan metana di atmosfer diatur melalui keseimbangan antara sumber dan saluran pembuangannya. Saluran metana yang utama adalah atmosfer yang mengandung ion hidrogen bebas pada lapisan troposfer. Metana bereaksi dengan ion hidroksil (OH) membentuk uap air dan CO2. Saluran kedua adalah

tanah yang mengandung bakteri yang dapat menyerap metana dan mengoksidasi-nya. Akan tetapi, bila konsentrasi metana melebihi hilangnya melalui kedua saluran ini maka konsentrasinya di atmosfer menjadi meningkat dan mengakibat-kan efek rumah kaca yang berlebihan dan akhirnya berpengaruh pada pemanasan global (Reay et al. 2010).

Konsentrasi metana di atmosfer pada saat ini sudah mencapai lebih dari dua kali lipat, yaitu dari 700 ppb menjadi 1785 ppb. Meningkatnya jumlah metana di atmosfer berkaitan dengan meningkatnya populasi manusia, karena berkorelasi dengan kebutuhan pangan yang dihasilkan oleh ternak dan padi sawah. Di samping itu, juga disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi dan perusakan hutan serta lahan gambut. Meningkatnya metana di atmosfer akan berpengaruh pada perubahan iklim dan suhu global yang dikenal dengan pemanasan global (Moss 2000).

(45)

bumi. Pemanasan global diperkirakan mengakibatkan bumi lebih panas 1-2oC dibanding sekarang pada tahun 2030, dan air laut naik 5-44 cm akibat mencairnya es di kutub. Naiknya permukaan air laut membuat daratan semakin sempit dan terjadi krisis air bersih terutama di perkotaan akibat intrusi air laut. Dampak lainnya adalah meningkatknya penyakit yang ditularkan melalui nyamuk, menurunnya produktivitas pertanian akibat perubahan suhu dan pola hujan yang tidak teratur, dan punahnya sejumlah keragaman hayati akibat peningkatan suhu bumi. Oleh karena itu, mengurangi emisi metana sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup di bumi ini (Moss et al. 2000).

Mitigasi Emisi Gas Metana Enterik

Metana enterik dari ruminansia sekitar 11-17% dari metana global atau 17-30% dari total metana antropogenik (Beauchemin et al. 2007). Teknologi menurunkan emisi gas metana enterik telah banyak diteliti, dikembangkan dan diadopsi oleh masyarakat, namun masih perlu diinventarisasi dan diseleksi untuk dapat dipilih agar dapat diterapkan pada peternakan rakyat. Mara et al. (2008) merekomendasikan beberapa teknologi alternatif untuk menurunkan produksi metana akibat fermentasi pakan di dalam saluran pencernaan, yaitu meningkatkan frekuensi pemberian pakan, meningkatkan jumlah konsentrat di dalam ransum, memilih pakan yang mengandung karbohidrat non-struktural lebih tinggi, penggunaan legum, perbaikan manajemen padang pengembalaan, penggunaan biji-bijian pada silase, memanfaatkan tanaman yang mengandung saponin dan tanin sebagai pendefaunasi protozoa di dalam rumen, dan penggunaaan feed aditif. Prinsip penggunaan feed aditif dapat dilakukan dengan berbagai macam zat kimia dengan beberapa tipe mekanisme, antar lain berdasarkan sifat toksik terhadap bakteri metanogen, seperti senyawa-senyawa metana terhalogenasi (Boccazzi dan Patterson 1995), berdasarkan pada reaksi hidrogenasi, seperti senyawa asam-asam lemak rantai panjang tak jenuh, berdasarkan senyawa-senyawa kimia yang afinitasnya terhadap hidrogen lebih tinggi daripada CO2,

(46)

bergantung pada level pemberian dalam satuan bobot feed additive per bobot substrat yang difermentasi, dan daya kerjanya sebagai inhibitor metanogenesis.

Beberapa jenis pakan lokal yang telah dicoba dan berpotensi untuk mengurangi emisi gas metana pada saluran pencernaan ternak ruminansia antara lain ekstrak buah lerak ditambah metanaol (aksapon SR), daun kembang sepatu, daun randu, daun waru, dan leguminosa akibat adanya kandungan senyawa saponin dan tanin dalam tanaman tersebut.

Sistem Pencernaan Domba

Domba adalah termasuk ternak ruminansia yang proses pencernaannya relatif lebih kompleks bila dibandingkan dengan proses pencernaan pada ternak nonruminansia. Sistem pencernaan pada hewan ruminansia terdiri atas organ-organ yang langsung berhubungan dengan penerimaan dan penyerapan zat-zat makanan. Organ-organ ini dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu saluran pencernaan dan organ-organ tambahan seperti gigi, lidah, kelenjar saliva, hati, dan pankreas. Saluran pencernaan ternak ruminansia dibagi atas empat bagian penting, yaitu mulut, perut, usus halus, dan organ pencernaan bagian belakang (hind gut). Perut ternak ruminansia dibagi menjadi empat bagian, yaitu retikulum (perut jala), rumen (perut beludru), omasum (perut buku) dan abomasum (perut sejati). Rumen merupakan bagian lambung yang terbesar, permukaan bagian dalamnya tidak halus, tetapi terdapat tonjolan-tonjolan yang tidak halus yang disebut papilae yang berfungsi untuk memperbesar luas permukaan dinding rumen, sehingga absorbsi produk fermentasi (VFA) lebih besar. Rumen dan retikulum dihuni oleh mikroba dan merupakan alat pencernaan fermentatif dengan kondisi anaerob. Suhu di dalam rumen berkisar 38-42oC dan pH-nya 6,8. pH tersebut dapat dipertahankan tetap oleh adanya serapan VFA dan amonia serta saliva yang masuk dalam rumen. Dari seluruh VFA yang diproduksi, 85% diserap melalui epitel retikulo-rumen (Arora 1995).

(47)

dari total bakteri, dan (3) sebagian kecil kelompok bakteri yang melekat pada dinding epitel rumen dan ada juga dalam jumlah kecil yang melekat pada protozoa yaitu bersifat metanogenik.

Berdasarkan macam substrat yang disukainya, bakteri rumen dapat dikelompokkan sebagai bakteri pencerna selulosa (misalnya Ruminococcus albus), pencerna hemiselulosa (Butyrivibrio fibrisolvens), pencerna pati

(Bacteroides amylophilus), pencerna gula (Lactobacillus ruminus), dan bakteri pengguna produk sekunder (pemakai laktat). Sekitar 30% bakteri rumen memiliki aktivitas proteolitik.

Protozoa dalam rumen lebih sedikit populasinya, tetapi dari segi jumlah biomasanya ternyata cukup besar. Spesies protozoa dipengaruhi oleh jenis makanan. Populasi protozoa dalam rumen sapi atau domba yang memakan pakan berserat dan mengandung gula terlarut yang rendah adalah sangat rendah berkisar 105/ml. Pada ternak yang pakannya mengandung gula atau tepung, populasi protozoa meningkat mencapai 40 x 105/ml cairan rumen. Protozoa lebih menyukai substrat yang fermentabel (pati, gula, dan bakteri). Produk fermentasi yang dihasilkan adalah asam asetat, butirat, laktat, CO2, dan H2. Protozoa sangat peka

terhadap situasi asam, bila pH diturunkan maka jumlahnya dalam rumen akan menurun.

(48)

Tabel 5 Bakteri rumen, sumber energi, dan produk-produk fermentasi

Spesies Sumber energi Produk utama fermentasi Bacteroides succinogenes Glukosa, selulosa,

selobiosa, pati

Asetat, suksinat, format Ruminococcus albus Glukosa, selulosa, silan Asetat, laktat, format,

etanol, CO2, H2

Ruminococcus flavivacilus Glukosa, selulosa, silan Asetat, butirat, laktat, format, etanol, CO2, H2

Butyrivibrio fibrisolvans Glukosa, selulosa, silan, pati

Asetat, butirat, laktat, format, etanol, CO2, H2

Bacteroides ruminicola Glukosa, silan, pati Asetat, propionat suksinat, format

Bacteroides amylophilus Pati, maltose Asetat, suksinat, format Selenomonas ruminantium Glukosa, pati, laktat,

gliserol,suksinat

Asetat, propionat, laktat, format, CO2

Streptococcus bovis Glukosa,pati Laktat

Lachnospira Glukosa, pati, pektin Asetat, laktat, format, etanol, CO2, H2

Succinivibrio Glukosa, dekstrin Asetat, suksinat, format Vibrio spesies (lipolitik) Gliserol Propionat

Methanobacterium

ruminantum Format, H2 Metana

Sumber : Arora (1995)

Bagian ketiga dari lambung yang terletak di sebelah kanan rumen disebut omasum. Dinding bagian dalammnya ditaburi lamina sehingga menambah luas permukaannya (Arora 1995). Fungsi abomasum dalam proses pencernaan adalah membantu memperkecil ukuran partikel pakan dan mengendalikan aliran ingesta ke dalam perut bagian belakang serta absorbsi nutrien.

Bagian yang terakhir disebut dengan abomasum atau perut sejati, merupakan tempat pertama terjadinya pencernaan pakan secara kimiawi atau enzimatik karena adanya sekresi getah lambung. Abomasum mempunyai fungsi yang sama dengan perut nonruminansia yaitu tempat pencernaan pakan oleh enzim yang dihasilkan sel-sel dalam tubuh hewan maupun berupa getah-getah pencernaan serta penyerapan nutrien.

(49)

tripsinogen, kemotripsinogen, prokarboksipeptidase, dan aminopeptidase. Selain itu, juga terdapat enzim lipase, nukleosidase, enterokinase, dan gastrin. Enterokinase dan gastrin adalah enzim yang terlibat dalam pengaktifan enzim-enzim inaktif atau proses-proses sekresi (Arora 1995).

Termasuk organ pencernaan bagian belakang adalah sekum, kolon, dan rektum. Sekum dan kolon adalah tempat fermentasi sisa bahan pakan yang tidak dapat dicerna dalam rumen dan usus halus. Sisa pakan difermentasi oleh mikroba sekum menjadi bentuk karbohidrat terlarut, nitrogen, dan sulfur yang kemudian digunakan oleh mikroba untuk berbiak. Proses fermentasi VFA sama dengan di rumen, namun jumlah bakterinya 10-1000 kali lebih sedikit daripada rumen (Arora 1995).

Pencernaan dan Metabolisme Karbohidrat

Pakan ternak ruminansia sebanyak 60-70% terdiri atas karbohidrat berupa selulosa, hemiselulosa, pati, pektin, dan karbohidrat yang mudah larut. Selulosa dan hemiselulosa tidak dicerna oleh enzim yang dihasilkan ternak ruminansia, tetapi dicerna oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen yang juga mencerna pati dan karbohidrat yang larut dalam air. Oleh karena itu, ternak ruminansia bergantung sepenuhnya pada peranan mikroba rumen dalam mencerna fraksi serat pada pakan. Laju pertumbuhan mikroba dalam rumen sangat bergantung pada ketersediaan karbohidrat, karena merupakan sumber energi dan sebagai kerangka karbon dalam sintesis protein mikroba. Oleh karena itu, laju pencernaan karbohidrat merupakan salah satu faktor penentu produksi protein mikroba.

(50)

Pada tahap kedua, glukosa yang terbentuk pada tahap pertama akan diserap oleh sel mikroba dan segera mengalami metabolisme intraseluler menjadi piruvat melalui lintasan Embden Meyerhorf dan lintasan Pentosa Fosfat. Piruvat adalah bentuk intermedier yang segera dimetabolisme melalui proses fermentasi untuk membentuk produk utama pencernaan fermentatif dalam rumen, yaitu asam-asam lemak rantai pendek yang biasa disebut VFA. VFA utama yang dihasilkan adalah asam asetat (CH3COOH), propionat (CH3CH2COOH), dan butirat

(CH3(CH2)2COOH). Di samping VFA, proses fermentasi karbohidrat juga

menghasilkan produk sampingan berupa gas metana (CH4), CO2, dan H2. Gas-gas

tersebut dikeluarkan dari dalam rumen melalui proses eruktasi. Banyaknya VFA yang dihasilkan di dalam rumen sangat bervariasi antara 200-1500 mg/100 ml cairan rumen, bergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi. Menurut Suryapratama (1999), kisaran konsentrasi VFA total yang layak bagi kelangsungan hidup ternak adalah 80–160 mM, dengan titik optimum 110 mM.

Stoikiometri reaksi fermentasi karbohidrat menjadi tiga produk fermentasi utama di dalam rumen dapat disederhanakan sebagai berikut (Orskov & Ryle 1990) :

C6H12O6 + 2H2O 2CH3COOH + 2CO2 + 4H2

C6H12O6 + 2H+2 2CH3CH2COOH + 4 H2O

C6H12O6 2CH3(CH2)2COOH + 2CO2 + 2 H+2

4H+2 + CO2 CH4 + H2O

Dari stoikiometri reaksi tersebut, tampak bahwa pada proses sintesis asam asetat banyak dihasilkan gas hidrogen, demikian pula pada sintesis asam butirat. Sebaliknya pada proses sintesis asam propionat, gas hidrogen banyak yang digunakan. Gas hidrogen bersama dengan gas CO2 merupakan prekursor untuk

sintesis gas metana. Gas metana sesungguhnya tidak bermanfaat bagi hewan induk semang, sehingga pola fermentasi rumen yang mengarah pada sintesis asam propionat jelas akan lebih menguntungkan dari segi efisiensi penggunaan energi pakan. Konsentrasi asam asetat dalam rumen berhubungan dengan kandungan serat kasar dalam pakan, sedangkan propionat berhubungan dengan konsentrat.

(51)

melalui asetil Ko-A dan menjadi bagian cadangan glukosa hati. Sebagian dari glukosa tersebut diubah menjadi glikogen dan disimpan di dalam hati atau diubah menjadi alfa-gliserolfosfat dan digunakan untuk sintesis trigliserida. Sisa glukosa akan masuk ke peredaran darah menuju pelbagai jaringan tubuh dan digunakan sebagai sumber energi, sumber koenzim pereduksi dalam sintesis asam lemak, dan glikogen otot. Asam asetat dan butirat diabsorbsi seperti halnya asam propionat, namun asam butirat diubah menjadi asam beta-hidroksi-butirat (BHBA) oleh jaringan dinding rumen. Asam asetat dan BHBA dari hati disalurkan ke sistem sirkulasi dan dipakai oleh jaringan sebagai sumber energi dan untuk sintesis asam lemak.

Pencernaan dan Metabolisme Protein

Protein bahan makanan terdiri atas protein murni dan senyawa-senyawa nitrogen bukan protein (NPN). Pada ternak ruminansia, sebagian protein yang masuk ke dalam rumen mengalami perombakan (degradasi) oleh enzim proteolitik yang diproduksi oleh mikroba rumen. Enzim tersebut terdiri atas eksopeptidase dan endopeptidase. Beberapa bakteri rumen yang paling tinggi aktivitas proteolitiknya ialah Fibrobacter, Butyrivibrio, dan selenomonas.

Perombakan protein oleh enzim proteolitik di dalam rumen menghasilkan peptida dan asam-asam amino. Sebagian mikroba rumen dapat memanfaatkan oligopeptida untuk membuat protein tubuhnya. Mikroba rumen tidak dapat memanfaatkan asam amino secara langsung karena tidak mempunyai sistem transpor untuk mengangkut asam amino ke dalam tubuhnya. Oleh karena itu, asam amino didegradasi melalui deaminasi menjadi asam-asam organik, amonia dan CO2. Amonia yang terbentuk dari deaminasi dapat dikombinasikan dengan

asam organik alfa-keto membentuk asam amino baru yang dipakai untuk sintesis protein mikroba, terutama dari kelompok bakteri.

(52)

oleh mikroba rumen, amonia yang dihasilkan juga diserap oleh darah melalui dinding rumen di bawa ke hati dan diubah menjadi urea. Sebagian besar urea difiltrasi oleh ginjal dan dikeluarkan bersama urine, dan sebagian lagi masuk peredaran darah dan dikembalikan ke rumen melalui saliva. Di dalam rumen, urea diubah oleh urease mikroba menjadi CO2 dan amonia. Konsentrasi amonia rumen

merupakan suatu besaran yang sangat penting untuk dikendalikan, karena sangat menentukan optimasi pertumbuhan mikroba rumen. Konsentrasi optimum NH3

untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen berkisar 85–300 mg/l atau 6–21 mM dengan titik optimum 8 mM.

Protein makanan yang lolos dari degradasi rumen dan protein mikroba selanjutnya mengalami pencernaan dan penyerapan di usus halus. Protein ini kebanyakan berupa protein mikroba dan sedikit berasal dari makanan. Agar protein bahan makanan lebih bnyak tersedia bagi ternak maka ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu melalui by pass protein dan pemberian NPN. Mengingat sifat mikroba rumen yang lebih mudah menggunakan amonia dibanding asam amino, maka pemberian NPN akan lebih tepat dari by pass protein.

Pencernaan protein di usus halus menghasilkan asam-asam amino yang selanjutnya diserap oleh darah dibawa ke hati. Dari hati, asam-asam amino tersebut disalurkan ke jaringan tubuh lainnya termasuk kelenjar susu untuk membentuk protein jaringan dan protein susu. Sumbangan protein mikroba rumen terhadap kebutuhan asam-asam amino ternak ruminansia mencapai 40-80%. Sisa-sisa pencernaan protein berupa protein dan asam amino bahan makanan yang tidak tercerna dan terabsorbsi akan dikeluarkan dari tubuh melalui feses.

Metanogenesis di Rumen

(53)

Untuk mengurangi akumulasi H2 di dalam rumen, bakteri metanogen

terutama dari golongan Archaea, memanfaatkan gas tersebut menjadi metana dan digunakan sebagai sumber energi. Persamaan reaksinya adalah : CO2 +

4H2  CH4 + 2H2O. Meskipun proses ini sangat diperlukan dalam fermentasi

rumen, namun secara energetika merugikan ternak karena tidak bisa digunakan sebagai sumber energi. Sebagian besar metana dikeluarkan melalui eruktasi yaitu sekitar 83% dan sisanya melalui pernapasan dan anus masing-masing 16%, dan 1%. Hilangnya energi pakan sebagai metana menyebabkan rendahnya efisiensi dan berpengaruh pada produktivitas ternak.

Proses metanogenesis sebagian besar terjadi di dalam rumen (83-94%) dan hanya sedikit di pencernaan bagian belakang (6-13%) oleh bakteri metanogen. Koloni mikroba pengguna hidrogen (metanogen) di dalam rumen mulai muncul setelah hewan ruminansia mendapat susu induknya, sedangkan koloni asetogen muncul 24 jam pertama setelah lahir. Konsentrasi metanogen bertambah banyak setelah 1-3 hari setelah lahir dengan konsentrasi sekitar 104 per gram isi rumen dan meningkat secara eksponensial menjadi 108-109 per gram isi rumen, setelah umur 3 minggu. Sejak metanogen menghuni rumen, konsentrasi asetogen menurun. Beberapa jenis bakteri metanogen yang telah diisolasi dari rumen dan substrat yang digunakan untuk metanogenesis tercantum pada Tabel 6 dan 7.

Terbentuknya metana di dalam rumen merupakan hasil kerja sama melalui simbiosis dari beberapa mikroba untuk memperoleh kebutuhan energinya. Sebagian besar mikroba rumen memenuhi kebutuhan energinya dari gula sederhana hasil degradasi dan pencernaan bahan pakan yang selanjutnya dioksidasi melalui siklus asam sitrat. Selama siklus asam sitrat, elektron-elektron Tabel 6 Metanogen yang telah diisolasi dari rumen

Organisme Sumber energi

Methanobrevibacter ruminantium H2, format

Methanobrevibacter sp. H2,format

Methanosarcina barkeri H2, methanol, methylamine, asetat

Methanosarcina mazei H2, methanol, methylamine, asetat

Methanobacterium formicicum H2, format

Methanomicrobium mobile H2, format

(54)

Tabel 7 Substrat untuk metanogenesis

Substrat Persamaan Reaksi

H2 dan CO2 4H2 +CO2 CH4 + 2H2O

Format 4HCO2H  CH4 + 3CO2 + 2H2O

Metanol 4CH3OH  3CH4 + CO2 + 2H2O

Metanol dan H2 CH3OH + H2 CH4 + H2O

Metilamine 4CH2NH2Cl + 2H2O  3CH4 + CO2 + 4NH4Cl

Dimetilamine 2(CH3)2NHCl + 2H2O  3CH4 + CO2 + 4NH4Cl

Trimetilamine 4(CH3)3NCl + 6H2O  9CH4 + 3CO2 + 4NH4Cl

Asetat CH3COOH  CH4 + CO2

Sumber : Hobson (1997)

lepas kembali sebagai hidrogen bebas (H2), yang selanjutnya diambil oleh

koenzim khusus pembawa elektron intraseluler (NAD), dan direduksi menjadi NADH. Elektron kemudian ditransfer ke aseptor elektron seperti CO2, sulfat,

nitrat, atau fumarat menghasikan NAD dan fermentasi gula menjadi sempurna (Immig 1996; Moss et al. 2000). Fermentasi mikroba menghasilkan H2 dan

metanogen menggunakan hidrogen untuk mereduksi CO2 menjadi CH4.

Satu-satunya sumber energi bagi metanogen berasal dari reduksi CO2

menjadi CH4 menggunakan H2, format, metanaol, metilamine, atau asetat melalui

reduksi intermediate formyl-methanofuran, methenyl-tetrahydromethanopterin, methylenyl-tetrahydromethanopterin dan methyl-tetrahydromethanopterin (Mc-Allister & Cheng 1996). Metanogen memiliki 3 koenzim yang tidak ditemukan pada mikroorganisme lainnya, yaitu koenzim 420 yang terlibat dalam transfer elektron, koenzim N terlibat dalam transfer metil, dan faktor B yang terlibat dalam pembentukan enzimatik CH4 dari metil ko enzim M.Enzim-enzim spesifik

tersebut memungkinkan metanogen memproduksi CH4. Transfer H2 dari

fer-mentasi mikroba ke metanogen dibantu sifat hidrofobik yang dimilikinya sehingga memudahkan mereka menempel pada partikel pakan dan permukaan protozoa. Pengambilan H2 dan produksi CH4 menjadi lebih banyak (Boadi et al.

2004). Hal ini membantu mencegah peningkatan konsentrasi H2 di rumen dan

(55)

Gambar 7 Fermentasi bahan tanaman oleh mikroba rumen dan beberapa bakteri yang berperan, serta metanogen yang mengubah hidrogen menjadi metana (McAllister & Cheng 1996)

Produksi metana di dalam saluran pencernaan (enteric fermentation) dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat konsumsi pakan, jenis karbohidrat, pengelolaan hijauan, penambahan lemak dan manipulasi mikroflora rumen. Tiga faktor yang paling utama adalah laju fermentasi bahan organik, tipe VFA yang diproduksi karena berkaitan dengan jumlah hidrogen yang diproduksi dan efisiensi biosintesis mikroba. Laju fermentasi bahan organik sangat dipengaruhi oleh tingkat konsumsi pakan dan karakteristik degradasi karbohidrat. Lambatnya laju pencernaan dan meningkatnya retensi rumen menyebabkan penurunan konsumsi pakan dan lebih banyak CH4 yang diproduksi per kg dray

matter intake (DMI). Meningkatnya tingkat serat dalam ransum menghasilkan

rasio asetat propionat dan produksi CH4 yang lebih tinggi (Johnson & Johnson

1995).

Produksi propionat dari piruvat membutuhkan hidrogen, sedangkan produksi asetat menghasilkan hidrogen, yang digunakan oleh metanogen untuk membentuk CH4. Oleh karena itu, produksi metana adalah berbanding terbalik

(56)

asetat propionat dan CH4 yang dihasilkan lebih rendah, dan ini terjadi pada pakan

yang tinggi biji-bijian (Johnson & Johnson 1995; Moss et al. 2000).

Complete Rumen Modifier (CRM) dan Cassapon

Complete rumen modifier (CRM) merupakan feed additives yang kandungannya terdiri atas (1) Senyawa saponin dari buah lerak (Sapindus rarak) yang disiapkan menurut prosedur Thalib et al. (1994), tepung daun Albizia falcutaria dan Sesbania grandiflora; (2) isolat bakteri dengan media asetogenik

pengguna hidrogen-karbondioksida yaitu: Asetoanaerobium notrae yang disiapkan menurut prosedur Thalib (2008); dan (3) faktor pertumbuhan mikroba (FPM) yang disiapkan menurut prosedur Thalib et al. (1998).

Cassapon merupakan produk dari Balai Penelitian Ternak terdiri dari kombinasi CRM dan onggok yang berfungsi untuk menurunkan emisi gas metana enterik dan sekaligus meningkatkan produktivitas ternak ruminansia. Selain itu, peranan penambahan onggok adalah substrat bagi konsorsium mikroba selulolitik untuk produksi enzim selulosa. Prinsip kerja bahan ini adalah mensuplai nutrisi untuk pertumbuhan mikroba, menghambat proses metanogenesis dengan cara menumbuhkan bakteri asetogenik pengguna hidrogen, dan menekan populasi protozoa (defaunasi). Tabel proksimat studi sebelumnya mengenai CRM disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Analisis proksimat CRM dengan kandungan lerak giling dan lerak ekstrak, dan konsentrat komersial (Thalib et al. 2010)

Parameter K K + CRM-LG K + CRM-EL

PK (%) 18.87 17.84 18.25

Lemak (%) 9.81 8.88 9.19

SK (%) 13.24 11.30 12.03

GE (Kkal/kg) 4150 3909 4175

NDF (%) 40.5 38.3 38.8

ADF (%) 18.7 19.5 18.5

Abu (%) 10.82 10.57 10.76

Ca(%) 1.42 1.36 1.34

P (%) 0.91 0.85 0.85

Keterangan: K=konsentrat komersial; K+CRM-LG=konsentrat+lerak giling dalam CRM; K+CRM-EL=konsentrat+ekstrak lerak dalam CRM.

(57)
(58)
(59)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dan analisis laboratorium dilaksanakan pada bulan Juni 2010-Maret 2011 di Balai Penelitian Ternak Ciawi dan Laboratorium Terpadu Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Bahan Penelitian Ternak

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba betina barbados cross (BC) atau persilangan barbados 4-5 bulan dengan jumlah 16 ekor dan domba betina komposit sumatera (KS) 4-5 bulan jumlah 16 ekor.

Kandang dan Perlengkapan

Kandang yang digunakan adalah kandang individu yang terdapat dalam sebuah bangunan berbentuk panggung seluas 150 m2 dengan tinggi 7 m. Kandang individu berukuran 1.5 x 0.7 x 1 m. Kandang terbuat dari besi dan lantainya terbuat dari kayu dengan atap dari asbes yang dilapisi isolasi penyerap panas. Tempat pakan menempel di depan yang terbuat dari kayu dengan ukuran 50 x 30 x 40 cm. Untuk tempat konsentrat digunakan ember plastik yang dimasukkan ke dalam tempat pakan. Air minum disediakan melalui pipa air otomatis.

Ransum

Ransum yang digunakan pada penelitian ini adalah: (A) Pennisetum purpureum dan konsentrat komersial sebagai kontrol, (B) Pennisetum purpureum

(60)

Pemberian Pakan dan Air Minum

Pemberian pakan dilakukan sekali sehari secara bertahap, pertama diberikan konsentrat (05.00 WIB) dengan jumlah kurang lebih 2% dari rataan bobot badan, kemudian rumput gajah (07.00 WIB) sejumlah 2.5 kg. Penimbangan sisa rumput gajah dilakukan sebelum pemberian konsentrat. Air minum diberikan secara ad-libitum melalui keran pipa air otomatis pada masing-masing kandang. Pemberian

obat-obatan dan antibiotik diberikan pada domba yang sakit. Metode

Rancangan Percobaan dan Tahapan Penelitian I. Uji Efektivitas Cassapon

1. Pengamatan fisik intensitas penggumpalan CRM dengan onggok dengan perbandingan massa (gram) sebagai berikut CRM : onggok (0:100, 10:90, 20:80, 30:70, 40:60, 45:55, 50:50, 55:45, 60:40, 65:35, 70:30). Pengamatan dilakukan dengan melihat penggumpalan yang terjadi selama delapan hari dengan tiga kali pengambilan sampel setiap 4 hari.

2. Pengamatan jumlah protozoa pada cassapon secara in vitro. Cassapon yang diuji adalah cassapon 0 , 10, 20, 30, 40, 50, 60, dan 70 dengan perbandingan CRM : onggok masing-masing (0:100), (10:90), (20:80), (30:70), (40:60), (50:50), (60:40), dan (70:30). Prosedur In vitro yang telah dilaksanakan adalah sebagai berikut (Thalib et al. 2000):

a. Penimbangan substrat dengan perbandingan rumput giling kering : cassapon = 0.25 : 0.25 gram. Substrat kemudian dimasukan ke dalam botol in vitro.

b. Substrat, larutan basal (campuran mikro mineral, buffer/penyangga, makro mineral, resazurine dan aquadest sebanyak 43 ml yang telah dialiri CO2 selama satu jam dan larutan reducing agent 2 ml) dialiri

CO2 kemudian disimpan di refrigerator selama satu hari.

(61)

d. Pengambilan sampel dilakukan dengan waktu 0, 10, 12, 24, 36, dan 48 jam dengan menggunakan syringe. Jumlah protozoa total dihitung dengan menggunakan haemositometer secara triplo (Ogimoto & Imai 1981).

Yij = µ + αi+ ε ij

Keterangan :

i = Cassapon 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60 dan 70.

Yij = Nilai intensitas kuantitas protozoa dan bakteri pada taraf cassapon

ke-i dan ulangan ke-j µ = Rataan umum

αi = Pengaruh taraf cassapon yang diberikan ke-i

ε ij = Galatpercobaan pada taraf cassapon ke-i dan ulangan ke-j.

II. Pengaruh Cassapon dan CRM pada Domba KS dan BC

A. In Vitro Pengaruh Cassapon dan CRM

Percobaan in vitro dilakukan terhadap ransum A,B,C, dan D. Prosedur in vitro dilakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut (berdasarkan

Theodorou dan Brooks (1990) dan Thalib et al. (2000):

1. Membuat larutan basal yang terdiri atas larutan penyangga (buffer), makromineral, mikromineral, resazurine dan reducing agent (komposisi bahan di lampirkan di lampiran 1). Larutan basal non reducing agent dialirkan gas CO2 selama satu jam untuk kondisi

anaerob.

2. Menimbang substrat konsentrat dan rumput gajah giling dengan komposisi masing-masing 0.5 gram. Kemudian substrat dituang ke botol in vitro.

3. Larutan resazurine yang telah dialiri gas CO2 kemudian dituang ke

botol in vitro sebanyak 86 ml dan mikromineral sebanyak 4 ml. Kemudian botol in vitro dialiri gas CO2. Botol ditutup dan dikocok

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2  Pola perkawinan domba persilangan barbados (BC) (Subandriyo et al.
Gambar 3   (a)  Domba barbados peranakan penelitian (BC); (b) Domba barbados
Gambar 5  Pola perkawinan tiga genotipe domba pembentuk domba komposit
+7

Referensi

Dokumen terkait

Desain ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berPenerapan Fungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan

Pada infeksi H.pylori, gastritis yang terjadi merupakan suatu respon peradangan terhadap kuman H.pylori beserta produk-produknya oleh karena pada dasarya kuman ini

Untuk membuat soal bertipe pilihan ganda, Anda harus memilih “Multiple Choice” pada pilihan yang sudah disediakan dan akan muncul halaman seperti pada Gambar 10.. Anda

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat,taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi yang

Dengan perkembangan ilmu perpustakaan saat ini, seharusnya pustakawan memerlukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengasah, mengupdate skill dan menambah kompetensi yang

1) Koordinasi antar instansi pemerintah bidang irigasi (Dinas PU, BAPPEDA, dan Dinas Pertanian), baik pada tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten. Hal ini

Tabel 1.4 menjelaskan bahwa dari 8 (delapan) pasar tradisional yang dikelola oleh Pemerintah Kota Padang, empat diantaranya menghasilkan skor dengan hasil yang Sangat

Fenomena pergeseran nilai ini terdapat dalam lagu berjudul Salamaik Pagi Minangkabau. Bentuk fenomena tersebut diantaranya hilangnya peran garin di Minangkabau adalah