• Tidak ada hasil yang ditemukan

Life Cycle and Demography of Phytophagous Ladybird Beetle Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius (Coleoptera: Coccinellidae) on Different Host Plants

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Life Cycle and Demography of Phytophagous Ladybird Beetle Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius (Coleoptera: Coccinellidae) on Different Host Plants"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

SIKLUS HIDUP DAN DEMOGRAFI KUMBANG LEMBING Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius (COLEOPTERA: COCCINELLIDAE) PADA TANAMAN INANG YANG BERBEDA

ADI WASKITO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Siklus Hidup dan Demografi Kumbang Lembing Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius (Coleoptera: Coccinellidae) Pada Tanaman Inang yang Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013 Adi Waskito

(4)

RINGKASAN

ADI WASKITO. Siklus Hidup dan Demografi Kumbang Lembing Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius (Coleoptera: Coccinellidae) Pada Tanaman Inang yang Berbeda. Dibimbing oleh TRI ATMOWIDI dan SIH KAHONO.

Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius merupakan spesies kumbang. Kumbang ini merupakan salah satu spesies kumbang yang tersebar luas di Indonesia. Selain itu kumbang ini disebut juga sebagai kumbang koksi (famili Coccinellidae). Dua subfamili yang paling populer dari famili ini ialah Coccinellinae dan Epilachninae. Kumbang H. vigintioctopunctata mudah dikenali karena warna dan bentuknya menarik, bentuk membulat, berwarna merah, dan mempunyai pola bercak (spot pattern) berwarna hitam pada elytra-nya. Pola dan jumlah bercak ini merupakan salah satu karakter penting untuk menentukan nama spesies. Jenis kumbang lembing ini secara umum merupakan serangga pemakan herbivor yang spesialis pada famili tertentu, karena memakan tumbuhan yang termasuk famili Solanaceae, misalnya terung (Solanum melongena), takokak (S. torvum), leunca (S. nigrum), tomat (Lycopersicum esculentum), kecubung (Datura metel), dan kentang (S. tuberosum). Banyak jenis diantaranya merupakan tanaman budidaya penting yang dirusak oleh jenis kumbang ini. Informasi tentang siklus hidup, demografi, dan perkembangan dari kumbang H. vigintioctopunctata ini perlu diteliti. Penelitian ini mempelajari mortalitas dan survival dari seluruh tingkatan perkembangan kumbang H. vigintioctopunctata yang diberi pakan daun takokak (S. torvum), leunca (S. nigrum), terong (S. melongena), dan kecubung hutan (Brugmansia suaveolens). Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk strategi pengendalian kumbang lembing ini di alam. Penelitian siklus hidup dan demografi kumbang H. vigintioctopunctata dilakukan mulai bulan Oktober 2011 sampai Februari 2012 di Laboratorium Entomologi, Bidang Zoologi, Puslit Biologi LIPI, Cibinong dan Bagian Biosistematika & Ekologi Hewan, Departemen Biologi, FMIPA IPB.

Penelitian diawali dengan koleksi imago kumbang H. vigintioctopunctata yang diambil dari tanaman takokak di desa Jabon Mekar, kecamatan Parung, kabupaten Bogor. Imago-imago ditampung dalam empat kotak plastik, kotak pertama diisi dengan daun S. torvum, kotak kedua diisi daun S. nigrum, kotak ketiga diisi daun S. melongena, dan kotak terakhir diisi daun B. suaveolens. Imago-imago tersebut dimaksudkan untuk memperoleh sejumlah massa telur yang dipakai sebagai bahan pengamatan. Pengamatan untuk analisis perkembangan, siklus hidup, dan demografi dari kumbang H. vigintioctopunctata dilakukan setiap hari mulai massa telur dikeluarkan sampai imago mati. Analisis demografi meliputi penghitungan nilai-nilai G (laju reproduksi kasar), Ro (laju reproduksi bersih), T (waktu generasi), dan r (laju pertumbuhan intrinsik). Selain itu, dihitung nilai peluang hidup dari setiap fase atau tingkatan umur. Nilai lx (proporsi hidup) dan nilai x (lamanya hari pengamatan) diplotkan kedalam kurva ketahanan hidup.

(5)

daun S. melongena (rata-rata 3,4 hari). Fase umur larva memerlukan waktu paling lama pada perlakuan dengan daun B. suaveolens (rata-rata 16,8 hari) dan yang paling singkat pada perlakuan dengan daun S. melongena (rata-rata 11,6 hari). Fase umur pupa memerlukan waktu paling lama pada perlakuan dengan daun S. nigrum (rata-rata 3,6 hari) dan yang paling singkat pada perlakuan dengan daun S. melongena (rata-rata 0,6 hari). Fase umur imago jantan memerlukan waktu paling lama pada perlakuan dengan daun S. nigrum (rata-rata 68,7 hari) dan yang paling singkat pada perlakuan dengan daun S. melongena (rata-rata 0,2 hari). Fase umur imago betina memerlukan waktu paling lama pada perlakuan dengan daun S. nigrum (rata-rata 79,0 hari) dan yang paling singkat pada perlakuan dengan daun B. suaveolens (rata-rata 0,5 hari). Rata-rata jumlah telur per massa telur dari kumbang H. vigintioctopunctata tertinggi terjadi pada perlakuan daun S. nigrum (26,2 butir/massa telur) dan yang terendah pada perlakuan dengan daun B. suaveolens (19,8 butir/massa telur).

Dari analisis demografi diperoleh nilai G (laju reproduksi kasar) tertinggi pada perlakuan dengan daun S. torvum (5,5 individu betina) dan nilai terendah pada perlakuan dengan daun B. suaveolens (0,3 inividu betina). Nilai Ro (laju reproduksi bersih) tertinggi juga pada perlakuan dengan daun S. torvum (2,11 individu beina) dan nilai terendah pada perlakuan dengan daun B. suaveolens (0,02 individu betina). Nilai T (waktu generasi) terlama pada perlakuan dengan daun S. nigrum (29,33 hari) dan yang paling singkat pada perlakuan dengan daun S. melongena (5,9 hari). Nilai r (laju pertumbuhan intrinsik) tertinggi pada dua perlakuan dengan daun S. torvum maupun S. nigrum (masing-masing 0,04) dan yang terendah pada dua perlakuan dengan daun S. melongena maupun B. suaveolens (masing-masing 0,01).

Hasil analisis neraca kehidupan kumbang H. vigintioctopunctata diketahui bahwa nilai harapan hidup (ex) tertinggi pada fase umur telur dengan perlakuan daun S. torvum (4,45) dan yang terendah dengan perlakuan daun S. melongena (1,74). Nilai harapan hidup pada fase umur larva empat yang tertinggi terjadi pada perlakuan dengan daun S. torvum (2,74) dan yang terendah pada perlakuan dengan daun B. suaveolens (1,19). Nilai harapan hidup fase umur pupa yang tertinggi terjadi pada perlakuan dengan daun S. melongena (1,50) dan yang terendah terjadi pada perlakuan dengan daun S. nigrum (1,17). Mortalitas imago tertinggi terjadi pada perlakuan dengan daun S. nigrum (32,86 %) dan yang terendah pada perlakuan dengan daun S. melongena (16,67 %). Pada umumnya nilai peluang hidup dari kumbang H. vigintioctopunctata pada keempat perlakuan pakan menunjukkan nilai tertinggi pada fase umur telur, kecuali pada fase umur prepupa dengan perlakuan daun S. melongena. Peluang hidup terendah terjadi pada fase umur imago dari seluruh perlakuan.

(6)

SUMMARY

ADI WASKITO. Life Cycle and Demography of Phytophagous Ladybird Beetle Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius (Coleoptera: Coccinellidae) on Different Host Plants. Supervised by TRI ATMOWIDI and SIH KAHONO.

Phytophagous lady beetle Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius is a serious pest of solanaceous crops, such as eggplants and potatoes. The beetles distributes from sub temperate of Asia to the tropics of Indonesia. The beetle feeds on several species of agricultural plants as well as wild solanaceous plants. Their life cycle has been known in a certain species of plant, however none comparing both their life cycle and demography on different host plants. It has been well known that the species of insect responds physiologically different to the different of food plants. This research aimed to study the respons of H. vigintioctopunctata to the different of given food plants of S. torvum, S. nigrum, S. melongena, and Brugmansia suaveolens. Life cycle, demography, life table, and survivorship curve of the beetle were studied.

Results showed that the longest time in life-cycle of H. vigintioctopunctata fed with S.nigrum (93,8 days, male and 104,1 days, female), respectively. The shortest time in life-cycle of H.vigintioctopunctata fed with S.melongena (16,5 days,male and 16,9 days, female), respectively. Highest number of eggs per egg mass occurred in H. vigintioctopunctata fed by S. nigrum (26,20 eggs per egg mass) and the lowest number occurred ini beetle fed by B. suaveolens (19,80 eggs per egg mass).

Statistic demography of H.vigintioctopunctata showed that the highest value of gross reproductive rate was in S. torvum (5,5 individu) and the lowest value was in B. suaveolens (0,3 individu). The highest value of net reproductive Rrate was in S. torvum (2,11) and the lowest value was in B.suaveolens (0,02). The shortest of generation time was in S. melongena (5,9 days) and the longest of generation time was in S.nigrum (29,33 days). The higher value of intrinsic growth rate were in S.torvum (0,04) and S.nigrum (0,04), respectively and the lower value were in S. melongena (0,01) and B.suaveolens (0,01), respectively.

Life-table analysis showed that the highest value of life expectation of egg and larval stages found on treatment with foliage of S. torvum. The highest value of mortality was found on S. nigrum (32,86%) and the lowest was found in S. melongena (16,67%). Based on value of its life-table, the most suitable host for

development of H. vigintioctopunctata were S. torvum and S. nigrum. Survivorship curve of H. vigintioctopunctata showed that the highest number of

mortality occurred in egg and larval stage.

(7)

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(8)
(9)

SIKLUS HIDUP DAN DEMOGRAFI KUMBANG LEMBING Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius (COLEOPTERA: COCCINELLIDAE) PADA TANAMAN INANG YANG BERBEDA

ADI WASKITO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

Judul Tesis : Siklus Hidup dan Demografi Kumbang Lembing Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius

(Coleoptera: Coccinellidae) Pada Tanaman Inang yang Berbeda

Nama : Adi Waskito

NIM : G352090121

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Tri Atmowidi

Ketua Anggota Dr. Sih Kahono

Diketahui oleh

Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Biosains Hewan

Dr. Bambang Suryobroto Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc

(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul “Siklus Hidup dan Demografi Kumbang Lembing Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius (Coleoptera: Coccinellidae) Pada Beberapa Tanaman Inangnya” ini dapat selesai dengan baik.

Perasaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Dr. Tri Atmowidi dan Dr. Sih Kahono, sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, dan bantuan materielnya selama penelitian dan menempuh studi S2 di IPB ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar program studi Biosains Hewan yang telah banyak memberikan ilmunya dan juga kepada seluruh staf administrasi Departemen Biologi atas banyak bantuan dan sarannya selama penulis menempuh kuliah di Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis haturkan kepada Universitas Terbuka (UT) yang telah memberikan beasiswa Pascasarjana dan FMIPA-UT atas arahan dan saran-sarannya; anak, istri, orang tua, dan keluarga tercinta atas seluruh do’a, dukungan, dan dorongan semangatnya selama saya menyelesaikan studi. Juga disampaikan banyak terimakasih atas dukungan, bantuan, dan do’anya kepada semua teman-teman Biosains Hewan angkatan 2009.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak lepas dari kekurangan, oleh karena itu sangat diharapkan saran dan kritik untuk tulisan tesis ini. Semoga tulisan karya ilmiah ini dapat lebih meningkatkan informasi dalam bidang entomologi dan bermanfaat bagi pembaca.

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

PENDAHULUAN Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA Kumbang Lembing Subfamili Epilachninae 3

Klasifikasi dan Biologi Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius 4

Siklus Hidup Kumbang H. vigintioctopunctata 5

Tanaman Inang H. vigintioctopunctata 7

Neraca Kehidupan (Life Table) dan Demografi 9

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian 10

Metode Penelitian 10

Penyediaan Stok Telur H. vigintioctopunctata 10

Pengamatan Perkembangan Telur sampai Imago 10

Penghitungan Statistik Demografi 11

Penyusunan Neraca Kehidupan dan Kurva Ketahanan Hidup 11

HASIL Kondisi Lingkungan Ruangan Pemeliharaan H. vigintioctopunctata 12

Perkembangan Telur – Imago H. vigintioctopunctata 12

Statistik Demografi H. vigintioctopunctata 13

Neraca Kehidupan dan Kurva Ketahanan Hidup H. vigintioctopunctata 14

PEMBAHASAN 17

SIMPULAN DAN SARAN 20

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1.Rata-rata suhu dan kelembaban relatif ruangan 12 2. Rata-rata waktu (hari) yang diperlukan tiap fase perkembangan

H.vigintioctopunctata pada keempat tanaman perlakuan 13 3. Statistik demografi H. vigintioctopunctata 14 4. Neraca kehidupan H. vigintioctopunctata 15

DAFTAR GAMBAR

(16)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius merupakan salah satu

spesies kumbang lembing (Indonesia) atau cacantel (Sunda), kecukuk (Jawa),

oteng-oteng (Betawi), boleng-boleng (Minang), dan ladybird beetle (Inggris).

Oleh karena nama kumbang lembing dapat mewakili spesies-spesies kumbang dalam kelompok famili Coccinellidae, maka kumbang lembing sering disebut juga sebagai kumbang koksi.

Kumbang lembing (famili Coccinellidae) ini mudah ditemukan dan termasuk kelompok serangga cantik dari keindahan, bentuk dan pola warnanya. Dari arah samping, kumbang lembing berbentuk cembung (convex), dari atas terlihat membulat, dan permukaan bawah tubuhnya mendatar, sehingga berbentuk seperti kura-kura. Warna dasar elytra dan bagian atas tubuhnya merupakan kombinasi dari warna merah dan hitam. Famili Coccinellidae mempunyai empat kelompok, pemakan kutu daun (Aphis), pemakan kutu perisai (Aspidiotus

destructor) sebagai hama tanaman kelapa, pemakan bermacam-macam materi

(omnivora), dan pemakan daun (herbivora) (Pracaya 2008, Kalshoven 1981). Di dunia, famili Coccinellidae mempunyai lima subfamili dan dua subfamili paling populer di Indonesia ialah Coccinellinae dan Epilachninae (Sasaji 1971).

Kumbang lembing subfamili Coccinellinae pada umumnya memiliki bentuk tubuh membulat, permukaan elytra dan tubuh bagian atas tampak berkilau, bersifat predator (pemangsa serangga kecil), dan berperan sebagai musuh alami

(natural enemies) dari berbagai spesies serangga. Peran kumbang tersebut

sebagai musuh alami dapat mengontrol populasi serangga yang dimangsanya, sehingga kelompok kumbang ini menjadi bagian penting dalam keseimbangan alam (balance of nature). Peranan kelompok kumbang ini sebagai predator serangga hama, menjadikan sangat penting dalam pengelolaan pertanian organik. Dalam sistem pengendalian hama terpadu (integrated pest control), kumbang lembing predator menjadi salah satu bagian penting untuk menjaga populasi serangga hama, agar tetap di bawah garis batas nilai ambang ekonomi.

Kelompok subfamili penting lainnya adalah Epilachninae. Bentuk kumbang ini dari sisi atas berbentuk membulat (oval) yang mengecil pada bagian belakangnya. Bila dibandingkan dengan spesies-spesies kumbang dari subfamili Coccinellinae, spesies dari subfamili Epilachninae memiliki elytra dan permukaan tubuh lebih cembung, kurang licin, dan beberapa spesies cenderung kusam. Pada

elytra terdapat bercak-bercak (spot) berwarna hitam. Selain bentuk struktur organ

kelamin jantan, jumlah dan pola bercak (spot pattern) tersebut merupakan karakter penting dalam mendiskripsi spesiesnya (Richards 1983).

(17)

2

Perkembangan, siklus hidup, dan demografi dari kumbang H.

vigintioctopunctata belum diketahui secara utuh pada sebagian besar spesies

tumbuhan inangnya. Padahal, banyak spesies tumbuhan inang dari kumbang lembing tersebut merupakan tumbuhan penting dalam pertanian, industri, dan banyak fungsi penting lain dari tumbuhan liar. Penelitian ekologi populasi kumbang H. vigintioctopunctata memerlukan informasi penting dari biologi, perilaku, asosiasi antara kumbang dengan tumbuhan inangnya, karakter siklus hidup, demografi, dan sifat lain yang dimiliki oleh kumbang dan inangnya, untuk strategi dalam pengembangan lebih lanjut.

Dipilih empat jenis tumbuhan inang dari H. vigintioctopunctata terdiri dari tiga spesies tanaman budidaya (S. torvum, S. nigrum , S. melongena), dan dan satu spesies tanaman hias atau tanaman obat, yaitu bunga terompet (B. suaveolens) untuk dipelajari pengaruhnya terhadap perkembangan setiap fase umur, siklus hidup, dan demografi dari kumbang H. vigintioctopunctata.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perkembangan setiap fase umur, siklus hidup, dan demografi dari kumbang H. vigintioctopunctata yang diberi pakan empat spesies tanaman inang, yaitu takokak (S. torvum), leunca (S.

nigrum), terong (S. melongena), dan bunga terompet (B. suaveolens).

Manfaat Penelitian

Data penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar dan sumber informasi bagi pengambil kebijakan pengelola pertanian dan bagi petani, dalam upaya mengetahui karakter kumbang H. vigintioctopunctata dalam pengembangan tanaman pertanian, khususnya takokak (S. torvum), leunca (S. nigrum), terong (S.

melongena), dan bunga terompet (B. suaveolens). Data penelitian ini juga dapat

(18)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Kumbang Lembing Subfamili Epilachninae

Kumbang lembing subfamili Epilachninae merupakan salah satu dari lima subfamili lainnya dari famili Coccinellidae yang sudah diketahui, yaitu Sticholotidinae, Achilocorinae, Coccidulinae, Scymninae, dan Coccinellinae (Sasaji 1971; Kovář 1996; Jadwiszczak dan Wegrzynowicz 2003; Giorgi et al.2009; Shunxiang et al. 2009). Di dalam subfamili Epilachninae terdapat 22 genus, yaitu Adira Gordon et Almeida, Afidenta Dieke, Afidentula Kapur, Afissula

Kapur, Chnootriba Chevrolat in Dejean, Epilachna Chevrolat in Dejean,

Henosepilachna Li in Li et Cook, Macrolasia Weise, Subafissa Bielawski,

Subcoccinella Agassiz et Erichon, Toxotoma Weise, Bambusicola Fürsch,

Cynegetis Chevrolat in Dejean, Damatula Gordon, Lorma Gordon, Mada Mulsan,

Malata Gordon, Megaleta Weise, Merma Weise, Pseudodira Gordon, Tropha

Weise, Epiverta Dieke, dan Eremochilus Weise (Jadwiszczak dan Wegrzynowicz 2003; Shunxiang et al. 2009). Beberapa spesies kumbang lembing dinyatakan berstatus kompleks, karena nama spesiesnya tidak diakui oleh banyak entomolog. Ciri morfologi yang terdapat pada suatu spesies menjadikan suatu nama untuk suatu spesies, sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa ciri morfologi tersebut tidak dipakai sebagai ciri untuk nama spesies. Kumbang lembing herbivora dapat ditemukan di berbagai tipe lingkungan, misalnya hutan alam, hutan sekunder, lingkungan semi rural, rural dan ditemukan di berbagai daerah ketinggian, misalnya pantai, dataran rendah, dataran tinggi, pegunungan dan sebagainya.

Di Indonesia, kumbang lembing herbivora yang sudah diketahui sekitar 25 spesies. Beberapa spesies diantaranya masih dalam status kompleks-spesies

(species complex) (Katakura et al. 2001; Kobayashi et al. 2009; Ohta 2010;

Fujiyama et al. 2010; Matsubayashi et al. 2010). Kumbang lembing herbivora yang paling terkenal di Indonesia adalah spesies yang termasuk dalam genus

Afidenta Dieke, Epilachna Chevrolat in Dejean, dan Henosepilachna Li in Li et

Cook (Kahono 1999; Katakura et al. 2001). Beberapa spesies diantaranya berpotensi sebagai hama tanaman pertanian, misalnya Henosepilachna

vigintioctopunctata (Fabricius) pada tanaman terung (Solanum melongena), H.

pusillanima (Mulsant) pada tanaman labu-labuan, H. septima (Dieke) pada

(19)

4

bahwa beberapa spesies kumbang melakukan invasi dan adaptasi pada tumbuhan dari famili yang berbeda (Fujiyama et al. 2010; Matsubayashi et al. 2010; Kahono 2012).

Asosiasi antara serangga herbivora dengan tumbuhan inangnya merupakan topik yang menarik karena mengkaji kaitan antara herbivor dengan pakannya yang juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Karakter fisik, lingkungan, dan kandungan nutrisi atau bahan tertentu dapat mempengaruhi konsumsi dan fidelitas serangga yang memakannya. Kumbang lembing H. vigintioctopunctata dilaporkan memakan 24 spesies tumbuhan inang (Kahono 1999). Kumbang lembing ini terutama memakan daun spesies tanaman yang tergolong famili Solanaceae yang hidup liar (misalnya Solanum erianthum), ditanam sebagai tanaman hias (misalnya Brugmansia suaveolens), tanaman obat (misalnya Datura metel), dan tanaman budidaya (misalnya Solanum torvum, S. melongena, S. tuberosum). Hanya ada satu spesies lain di luar famili Solanaceae yang dimakan oleh H. vigintioctopunctata, yaitu tumbuhan gulma invasif Centrosema pubescens (famili Leguminosae). Sampai saat ini belum ada penelitian tentang pengaruh pemberian jenis pakan terhadap perkembangan, siklus hidup, dan demografi dari kumbang lembing herbivora. Penelitian ini mempelajari perkembangan telur, larva, pupa, imago, siklus hidup, dan demografi dari kumbang H. vigintioctopunctata yang diberi empat spesies tanaman pakan yang berbeda, yaitu takokak (Solanun torvum), leunca (S. nigrum), terong (S. melongena), dan bunga terompet (Brugmansia suaveolens).

Klasifikasi dan Biologi H. vigintioctopunctata Fabricius

Dalam klasifikasi, kumbang lembing Henosepilachna vigintioctopunctata

Fabricius ditempatkan dalam posisi sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Spesies : Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius (Richard 1983).

Kumbang lembing Henosepilachna vigintioctopunctata merupakan spesies yang bersifat herbivor, olifag, dan dapat berperan sebagai hama (Pracaya 2008) dari beberapa tanaman yang termasuk famili Solanaceae, seperti takokak

(Solanum torvum), leunca (S. nigrum), terong (S. melongena), kentang (S.

esculentum), dan tomat (S. lycopersicum). Kumbang lembing ini dapat memakan

beberapa spesies tumbuhan liar, seperti Centrosema pubescen (Leguminosae), kecubung (Datura metel), ciplukan (Physalis angulata Linn) (Kalshoven 1981),

dan S. capsicoides (Solanaceae) (Kahono 2010). Peranan kumbang lembing ini

(20)

5

dampak kerusakan yang ditimbulkannya pada tanaman pertanian atau budidaya (Tarumingkeng 1994).

Siklus Hidup Kumbang H. vigintioctopunctata

Kumbang H. vigintioctopunctata mengalami perkembangan dan perubahan bentuk yang disebut dengan metamorfosis sempurna atau holometabola. Perkembangan tersebut terjadi melalui empat perubahan bentuk (fase atau tingkatan umur), yaitu telur, larva, pupa, dan imago. Larva memiliki empat kali perkembangan (larva instar 1, 2, 3, dan 4). Telur dan pupa merupakan fase yang tidak makan (pasif), sebaliknya larva dan imago sangat aktif melakukan kegiatan makan. Fase larva merupakan periode yang sangat aktif bergerak dan makan, terjadi perkembangan tubuh yang paling spektakuler sampai menjadi ulat yang berukuran besar dan siap menjadi pupa. Imago kumbang melakukan makan untuk keperluan biologi, reproduksi, dan perkembangan (Borror et al. 1996; Partosoedjono 1985).

Telur kumbang H. vigintioctopunctata yang baru diletakkan berwarna kuning cerah, yang kemudian dengan cepat berubah menjadi kuning agak gelap, berbentuk lonjong, dan panjang sekitar 1,50 mm. Telur diletakkan dengan posisi tegak, diletakkan saling berhimpitan dalam berkelompok atau massa telur (egg mass). Biasanya, massa telur tersebut diletakkan pada permukaan bagian bawah daun, sekitar 15 telur per massa telurnya. Kumbang betina H. vigintioctopunctata

dapat menghasilkan 800 telur selama hidupnya, dengan rata-rata per harinya sekitar 30 butir (Pracaya 2008). Telur yang dihasilkan H. vigintioctopunctata yang hidup di dataran rendah, lebih banyak dan letaknya lebih beraturan daripada di dataran tinggi (Kalshoven 1981). Pada bagian ujung permukaan telur terdapat seperti rajutan yang berbentuk heksagonal. Masa inkubasi telur pada umumnya berlangsung sekitar 4 hari sebelum menetas menjadi larva (Suprijantoro 1983).

(21)

6

tidak makan lagi. Larva ini mencari tempat aman sebelum memasuki fase pupa. Larva instar keempat berlangsung sekitar 2–6 hari. Secara keseluruhan, larva H.

vigintioctopunctata berlangsung selama 14–20 hari. Tahapan prepupa merupakan

kondisi larva yang sudah tidak makan lagi, yang diawali larva empat yang mengeluarkan zat perekat pada ujung ventral belakang abdomennya untuk melekatkan diri pada daun, tangkai daun, atau tempat lainnya yang memasuki masa prepupa (Suprijantoro 1983), sebelum menjadi pupa. Masa prepupa ini berlangsung sekitar 2–3 hari dengan panjang tubuh sekitar 6,50 mm dan lebar sekitar 3 mm.

Setelah mengalami masa prepupa, kemudian kumbang lembing memasuki stadium pupa, yang ditandai dengan warna menjadi coklat muda atau warna gelap dan agak segi empat (Pracaya 2008). Pada bagian dorsal terlihat bintik berwarna coklat dan pada sisi lateralnya terdapat tonjolan panjang kaku dan berwarna kehitaman. Pada bagian thorax terdapat warna coklat dan melekat pada permukaan bawah daun atau percabangan pada ujung posteriornya. Pada bagian posterior abdomen pupa ini masih terlihat sisa duri yang keras. Tubuh berbentuk hampir membulat dengan panjang sekitar 5,50 mm dan lebar sekitar 3–4,50 mm. Masa pupa ini berlangsung sekitar 3,70 hari. Pada akhir dari stadium pupa, terlihat bagian dorsalnya merobek sebagai tempat keluarnya imago. Waktu yang diperlukan kumbang H. vigintioctopunctata dari telur sampai munculnya imago sekitar 29–30 hari.

Tubuh imago kumbang lembing H. vigintioctopunctata berbentuk oval dengan panjang sekitar 6–7 mm dan lebar sekitar 4,50 mm dan tertutup oleh struktur menyerupai bulu-bulu halus, mempunyai sepasang elytra berwarna coklat kemerah-merahan, dan permukaan bagian bawah tubuhnya mendatar. Pada elytra

kumbang lembing H. vigintioctopunctata yang pertama dideskripsi terdapat 28 bercak dengan 14 bercak pada setiap sisi bilateralnya, namun jumlah bercak dan polanya dapat berubah-ubah berdasarkan sebaran geografinya (Katakura et al. 1988).Pada saat terbang, kumbang mengepakkan sayap belakangnya secara cepat, sedangkan elytra yang kaku tidak dapat dikepakkan, tetapi hanya direntangkan saja untuk menambah daya angkatnya. Disamping itu, elytra dapat juga berfungsi sebagai perisai atau pelindung diri (Borroret al. 2005).

Imago memiliki tungkai yang pendek dengan posisi kepala membungkuk

(hypognatus) yang membantu aktivitas makan. Pada tungkai imago yang

berbentuk sendok, terdapat bulu-bulu halus. Bulu-bulu menghasilkan bahan berminyak yang lengket, sehingga imago ini mampu berjalan dan menempel pada tempat-tempat yang sulit, seperti pada kaca ataupun langit-langit. Imago juga meninggalkan jejak yang khas pada daun yang dimakannya. Kumbang tidak memakan tulang daun, tetapi memakan bagian mesofil daun tanaman inangnya (Pracaya 2008). Individu betina mempunyai ukuran yang lebih besar daripada individu jantan. Pada saat imago diganggu, akan menjatuhkan diri seolah-olah mati dengan merapatkan kaki-kakinya, sehingga rata dengan permukaan abdomen. Imago juga mengeluarkan cairan kuning dengan bau tajam dari lipatan antara femur dan tibia, yang berfungsi untuk pertahanan diri.

(22)

7

Stomatoceras colliscutellum Gir (Hymenoptera, Chalcididae) juga memarasit H.

vigintioctopunctata (Temperely 1928).

Tanaman Inang H. vigintioctopunctata

Takokak (S. torvum) (Gambar 1a) merupakan tumbuhan perdu tahunan, memiliki ketahanan terhadap penyakit layu, berumur panjang, dan banyak ditemukan di tepi-tepi jalan atau ladang. Tanaman ini mampu hidup pada ketinggian 0–1.500 m di atas permukaan air laut (dpl). Daunnya meruncing pada bagian pangkal dan ujungnya, panjang 25–30 cm, lebar 20–24 cm, dan pertulangan daunnya menyirip. Bunganya merupakan bunga majemuk, berbentuk bintang, bertaju dan pada waktu masih kuncup berbintik ungu, dan memiliki kelopaknya berbulu. Buah takokak mengandung unsur perak nitrat nano partikel yang dapat berperan sebagai anti mikrobia penyakit dan jamur (Govindaraju et al. 2010). Karena sifatnya yang tahan terhadap penyakit layu, maka tumbuhan ini sering dipakai sebagai batang bawah dalam proses okulasi (penyambungan) untuk memperbanyak tanaman. Tanaman ini mengandung senyawa sterol karpesterol yang dapat digunakan sebagai anti radang. Daging buah dan daun takokak mengandung alkaloid steroid dari jenis solasodin (Jasmine et al. 2011). Di pulau Jawa, tanaman ini merupakan tanaman liar yang menjadi tanaman inang utama bagi kumbang H. vigintioctopunctata. Tanaman ini umum dijumpai di dataran rendah maupun dataran tinggi (Kalshoven 1981). Tanaman yang terserang kumbang ini daunnya berlubang-lubang, pada serangan yang hebat maka daun akan rusak berat sehingga berwarna coklat (Pracaya 2008).

Tumbuhan Solanum nigrum (Gambar 1b) di beberapa tempat memiliki nama lokal leunca (Sunda), ranti atau rampi (Jawa), bobosa (Maluku), long kui

(Tionghoa), dan euro black nightshade (Inggris). Tanaman S. nigrum ini merupakan semak semusim dengan tinggi 30–175 cm dan bercabang banyak. Tanaman ini mempunyai akar tunggang, berwarna putih kecoklatan. Batangnya tegak, berbentuk bulat, lunak, dan berwarna hijau. Letak daun berseling, berkelompok, berbentuk bulat telur dengan ujung dan pangkal meruncing, dengan tepi daun berombak hingga merata. Pertulangan daunnya menyirip, daunnya mempunyai tangkai dengan panjang sekitar 1 cm dan berwarna hijau. Luka atau bekas daun leunca yang dimakan kumbang H. vigintioctopunctata meninggalkan jejak yang khas (Kahono 2010). Kandungan mineral yang terdapat pada daun S.

nigrum adalah Na (Natrium), K (Kalium), Ca (Kalsium), Mg (Magnesium), Fe

(23)

8

Tanaman terung (S. melongena) (Gambar 1c) merupakan tanaman semusim di daerah tropis. Di Eropa, tanaman ini dikenal dengan nama eggplant. Terung ini merupakan tumbuhan pangan penghasil buah yang dijadikan sayur-sayuran (Doijode 2001). Tanaman ini tingginya dapat mencapai 40–150 cm, umumnya bercabang dengan batang atau tangkai berbulu dan biasanya berduri. Tangkai yang sudah tua mengalami lignifikasi (berkayu). Daunnya tebal, besar, dengan lobus yang kasar, berbulu, letaknya berselang-seling. Setelah tua, tangkai daun berubah warna menjadi agak coklat, berukuran panjang 10–20 cm dan lebar 5–10 cm. Bagian permukaan bawah daun berbulu. Bunga berwarna putih hingga ungu dengan mahkota yang mempunyai 5 lobus. Bunganya merupakan bunga sempurna yang muncul dengan posisi yang berlawanan atau satu posisi dengan tempat duduknya daun. Bunga dapat tetap bertahan tetap mekar selama 2–3 hari dengan benang sari berwarna kuning (Doijode 2001).

Kecubung hutan B. suaveolens (Gambar 1d) merupakan tanaman berbunga dengan bunga menyerupai terompet, terlihat menarik, berukuran besar dan harum. Pada waktu sedang mengembang sempurna, panjang bunga dapat mencapai 14–50 cm dan lebarnya 10–35 cm. Di tempat yang teduh, bunga terompet mempunyai bermacam-macam warna, seperti putih, kuning muda, merah jambu, oranye, hijau, ataupun kemerahan. Bunganya dapat berupa bunga tunggal atau berkelompok. Kebanyakan bunga terompet ini berbau harum yang kuat terutama pada petang atau malam hari. Karena sebagian besar bunga B.

suaveolens mempunyai aroma kuat, sehingga dapat menarik bagi ngengat-ngengat

penyerbuk (Partosoedjono 1985). Tanaman B. suaveolens berbentuk perdu agak berkayu, tegak, dan bercabang-cabang dengan ujung-ujung ranting berambut pendek dan sangat rapat. Tanaman ini dapat tumbuh mencapai ketinggian sekitar 3–5 m. Daunnya berbentuk oval dan tersusun berseling di sepanjang batangnya. Panjang daunnya dapat mencapai 25 cm dan lebar 15 cm. Di tempat yang teduh, daunnya dapat menjadi lebih lebar. Pangkal daunnya meruncing, umumnya tidak sama sisi, tepi daunnya berlekuk atau bergerigi, pertulangan daunnya menyirip. Pada permukaan daunnya terdapat bulu-bulu tidak rapat. Pada permukaan bawah daun berambut halus. Pangkal daun berukuran panjang 9–35 cm dan lebar 4–17 cm. Daun bunga terompet merupakan makanan utama bagi larva dari kupu-kupu

Placidula euryanassa dan kumbang H. vigintioctopunctata (Richards 1988).

(24)

9

Gambar 1 Tanaman pakan larva kumbang yang digunakan dalam penelitian: daun dan buah S. nigrum (a), daun dan buah S. torvum (b), tanaman

S. melongena (c), daun dan bunga B. suaveolens (d).

Neraca Kehidupan (Life-Table) dan Demografi

Neraca kehidupan merupakan sarana (tool) analisis yang penting dalam studi ekologi yang dapat memberikan informasi lebih terperinci tentang penelitian dinamika populasi. Perlu diketahui demografi dari suatu spesies yang akan diteliti. Komponen dalam studi demografi meliputi nilai laju reproduksi kasar (G) dengan satuan individu per generasi, laju reproduksi bersih (Ro) dengan satuan individu per induk per generasi, laju pertumbuhan intrinsik (r) dengan satuan individu per induk per hari, dan waktu generasinya (T) dengan satuan per hari. Waktu generasi adalah waktu mulai diletakkan telur sampai imago betina menghasilkan separuh keturunannya. Laju reproduksi kasar merupakan pendugaan jumlah total keturunan (Price 1997), sedangkan laju reproduksi bersih (Ro) merupakan jumlah keturunan betina yang menggantikan induk betina dalam satu generasi (Southwood 1978). Laju pertumbuhan intrinsik merupakan tingkat kenaikan pertumbuhan populasi dalam keadaan konstan. Waktu generasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk dapat menghasilkan keturunan (Young 1982). Dalam neraca kehidupan dapat diketahui secara lengkap nilai mortalitas, fekunditas, dan persentase telur yang menetas dan persentase setiap stadium yang terbentuk. Berdasarkan neraca kehidupan, dapat dibuat kurva ketahanan hidup (kurva

survivorship) yang menggambarkan pola kelangsungan hidup. Dalam pembuatan

kurva survivorship diperlukan nilai rata-rata proporsi hidup dan waktu mulai telur sampai imago mati (Price 1997).

a

b

(25)

10

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Entomologi LIPI Cibinong, Bogor dan di Bagian Biosistematika dan Ekologi Hewan, Departemen Biologi FMIPA-IPB. Penelitian dilakukan mulai Oktober 2011 - Februari 2012.

Metode Penelitian

Spesies kumbang lembing herbivor yang diteliti adalah Henosepilachna

vigintioctopunctata Fabricius. Pakan yang diberikan kepada kumbang lembing

adalah daun takokak (Solanum torvum), leunca (S. nigrum), terong (S.

melongena), dan bunga terompet (Brugmansia suaveolens). Dalam penelitian ini

dilakukan beberapa tahap kegiatan, yaitu penyediaan stok imago dan telur, pengamatan perkembangan telur, dan mortalitas atau survivorshipnya, perubahan dan perkembangan pada fase larva, prepupa, pupa, dan imago. Pencatatan waktu terjadinya perubahan setiap fase umur dan instar larva, studi demografi, penyusunan life table, dan penyusunan kurva ketahanan hidup.

1. Penyediaan Stok Telur H. vigintioctopunctata

Pengambilan imago H. vigintioctopunctata sebagai stok dilakukan di desa Jabon Mekar, Parung, Bogor.Disiapkan 4 buah wadah stok imago dengan tinggi 4,50 cm dan diameter 9 cm. Pada keempat wadah tersebut, masing-masing diisi dengan daun tanaman sebagai perlakuan, yaitu: wadah I diisi dengan setengah lembar daun takokak, wadah II diisi dengan satu lembar daun leunca, wadah III diisi dengan setengah lembar daun terong, dan wadah IV diisi dengan setengah lembar daun kecubung hutan. Ke dalam keempat wadah-wadah tersebut masing-masing diisi beberapa imago H. vigintioctopunctata yang diperoleh dari lapangan untuk pengamatan lebih lanjut. Telur ataupun massa telur yang diletakkan oleh imago-mago tersebut diamati. Telur ataupun massa telur yang dihasilkan kemudian diambil untuk pengamatan perkembangan telur sampai imago. Dalam pengadaan stok telur ini, imago diberi pakan yang cukup. Dilakukan juga pencatatan data lingkungan, yaitu suhu dan kelembaban ruang tempat pemeliharaan dengan menggunakan thermometer basah-kering. Massa telur yang ada pada daun, tissue, atau pada wadahnya, diambil dengan cara memotong daun atau tissue dengan menggunakan gunting. Telur yang lepas dari tempat peletakannya, diambil dengan memakai kuas halus.

2. Pengamatan Perkembangan Telur Sampai Imago

Setiap massa telur yang diletakkan oleh kumbang lembing H.

vigintioctopunctata yang diberi masing-masing jenis pakan, diambil dan

diletakkan pada wadah kotak plastik kecil (diameter 9 cm dan tinggi 4,50 cm) yang alasnya sudah diberi kertas tissue yang dibasahi air. Empat kelompok telur yang diamati, yaitu kelompok telur yang diberi pakan daun S. torvum, S. nigrum,

S. melongena dan B. suaveolens. Jumlah telur dari setiap massa telur tersebut

(26)

11

dengan daun spesies yang sama setiap hari atau setiap dua hari bila kondisi daun masih segar. Cara pemberian daun ini sama pada fase larva dan imago. Pengamatan perkembangan larva dimulai setelah larva menetas dari telur atau larva instar 1-4. Dicatat tanggal dan terjadinya setiap perubahan atau perkembangannya menjadi larva instar 2, larva instar 3, dan larva instar 4, sebelum masuk ke dalam periode prepupa dan pupa. Pencatatan secara intensif dilakukan terhadap jumlah individu yang hidup dan yang mati. Dilakukan pencatatan secara intensif pada setiap perubahan yang terjadi pada larva kumbang lembing ini. Periode prepupa merupakan transisi dari larva instar 4 dan pupa, dimana pada periode tersebut larva tidak makan dan ujung abdomen menempel pada daun atau benda lainnya. Bentuk tubuh prepupa pada umumnya cenderung menjadi agak membulat dan warnanya memutih atau lebih terang. Fase pupa memiliki dengan bentuk khas yang ada pada umumnya pupa kumbang. Pengamatan prepupa dan pupa dilakukan dengan mencatat setiap terjadinya perubahan menjadi imago atau pupa mati.

3. Penghitungan Statistik Demografi

Berdasarkan hasil pengamatan perkembangan telur sampai imago, kemudian dihitung statistik demografi yang meliputi laju reproduksi kasar (G), laju reproduksi bersih (Ro), laju pertumbuhan intrinsik (r), dan waktu generasi (T). Nilai laju reproduksi kasar adalah nilai pendugaan jumlah total keturunan betina (Price 1997). Nilai G dihitung dengan rumus: G = Σ total mx. Nilai mx adalah banyaknya keturunan betina yang dihasilkan. Nilai laju reproduksi bersih merupakan nilai jumlah keturunan betina yang akan menggantikan induk betinanya dalam satu generasi (Southwood 1978). Nilai laju reproduksi bersih

dihitung dengan rumus: Ro = Σ total lxmx. Nilai lx adalah proporsi hidup, yaitu nilai perbandingan antara jumlah individu suatu fase yang hidup terhadap jumlah awal (dalam hal ini adalah jumlah telur).( lx = ax / ao X 100 % ). ax = jumlah individu hidup. ao= jumlah semua ax. Nilai Ro yang lebih besar dari 1, menunjukkan adanya peningkatan populasi; nilai Ro sama dengan 0, berarti populasi tetap; nilai Ro lebih kecil dari 1, berarti terjadi penurunan populasi. Nilai laju pertumbuhan intrinsik yaitu tingkat kenaikan pertumbuhan populasi dalam keadaan konstan (Carey 1993). Nilai ini dihitung dengan rumus: r = (ln.Ro)/T. Nilai T adalah waktu generasi, yaitu waktu yang dibutuhkan oleh suatu organisme untuk perkembangannya mulai dari telur sampai terbentuk kembali keturunan (Young 1982). Nilai waktu generasi dihitung dengan rumus: T = Σ x lx.mx/Σ lx.mx.

4. Penyusunan Neraca Kehidupan dan Kurva Ketahanan Hidup

Neraca kehidupan (life table) disusun berdasarkan jumlah individu yang hidup (ax), jumlah seluruh individu yang hidup (ao), jumlah individu yang mati (dx), proporsi yang hidup (lx), proporsi yang mati (qx), dan harapan hidup (ex). Kurva ketahanan hidup menggambarkan pola bertahan hidup dari H.

vigintioctopunctata. Komponen yang diperlukan dalam pembuatan kurva

(27)

12

vigintioctopunctata dibuat pada masing-masing spesies tanaman pakan S. torvum,

S. nigrum, S. melongena, dan B. suaveolens.

HASIL

Kondisi Lingkungan Ruangan Pemeliharaan H. vigintioctopunctata Rata-rata suhu ruangan tempat pemeliharaan kumbang pada pagi, siang dan sore, berturut-turut ialah 27,57 ⁰C, 31,84 ⁰C dan 29,93 ⁰C. Kelembaban relatif ruangan pada pagi, siang dan sore berturut-turut adalah 67,35, 65,83, dan 64,92 % (Tabel 1).

Tabel 1 Rata-rata suhu dan kelembaban relatif ruangan pada pagi, siang dan sore hari.

Kondisi Ruangan Pagi Siang Sore

Suhu udara (⁰C) 27,57 (22-34) 31,84 (26-36,5) 29,93 (23-33,5)

Kelembaban relatif (%) 67,35 (35-85) 65,83 (39-100) 64,92 (38-89)

Perkembangan Telur - Imago H. vigintioctopunctata

Rata-rata jumlah telur per massa telur adalah 22,24 butir (5-58 butir, n=130 massa telur). Lama stadium telur pada kumbang lembing H.

vigintioctopunctata tersebut rata-rata 3,60 hari (1,00-5,00 hari) (Tabel 2). Waktu

yang diperlukan untuk perkembangan larva-1 sampai larva-4 dari kumbang lembing H. vigintioctopunctata yang paling lama adalah pada perlakuan dengan daun B. suaveolens (16,60 hari), diikuti berturut-turut oleh perlakuan dengan daun S. torvum (16,20 hari), S. nigrum (15,90 hari), dan S. melongena (11,60 hari) (Tabel 2). Waktu yang dibutuhkan kumbang lembing H. vigintioctopunctata dari stadium telur sampai stadium pupa yang paling lama adalah pada perlakuan dengan daun. S. nigrum, yaitu rata-rata25,40 hari (16-37 hari), kemudian diikuti berturut-turut oleh perlakuan dengan daun B. suaveolens 24,30 hari (17-37 hari),

S. torvum 23,40hari (14-35 hari), dan S. melongena 16,30 (12-33 hari).

Waktu yang diperlukan untuk perkembangan dari telur sampai menjadi imago H. vigintioctopunctata yang diberi pakan dengan daun S. torvum, S.

nigrum, S. melongena dan B. suaveolensadalah berkisar 39,90 - 104,10 hari. Pada

tahap dewasa, lama hidup imago H. vigintioctopunctata yang diberi pakan dengan daun tanaman S. torvum (16,50 hari pada jantan dan 31,70 hari pada betina) dan daun tanaman S.nigrum (68,70 hari pada jantan dan 79,00 hari pada betina) lebih lama dibandingkan lama hidup imago yang diberi pakan dengan daun tanaman S.

melongena (0,20 hari pada jantan dan 0,60 pada betina), kecuali dengan perlakuan

daun tanaman B. suaveolens (0,70 hari pada jantan dan 0,50 hari pada betina). Total waktu yang diperlukan dari fase telur sampai imago H. vigintioctopunctata

mati pada tanaman S. torvum (39,90 hari pada jantan dan 55,10 hari pada betina)

dan S. nigrum (93,80 hari pada jantan dan 104,10 hari pada betina) lebih lama

dibandingkan pada tanaman S. melongena (16,50 hari pada jantan dan 16,90 hari pada betina) dan B. suaveolens (25,00 hari pada jantan dan 24,80 hari pada betina). Lama hidup imago H. vigintioctopunctata yang diberi pakan tanaman S.

torvum (39,90 hari pada jantan dan 55,10 hari pada betina) dan daun tanaman S.

(28)

13

dibandingkan imago yang diberi pakan dengan daun tanaman S. melongena (16,50 hari pada jantan dan 16,90 pada betina) dan dengan daun tanaman B. suaveolens

(25,00 hari pada jantan dan 24,80 hari pada betina). Secara umum pada keempat perlakuan tanaman inang, lama hidup imago H. vigintioctopunctata betina (16,90-104,10 hari) lebih panjang daripada jantan (16,50-93,80 hari) (Tabel 2).

Tabel 2 Rata-rata waktu (hari) yang diperlukan setiap fase perkembangan kumbang lembing H. vigintioctopunctata pada empat tanaman perlakuan

Fase Perkembangan Waktu yang diperlukan (hari)

S. torvum S. nigrum S. melongena B. suaveolens

Penelitian menunjukkan bahwa H. vigintioctopunctata yang diberi pakan dengan daun tanaman S. torvum dan S. nigrum mempunyai nilai laju reproduksi tinggi (G=5,50 individu/generasi, Ro=2,11 individu/induk/generasi, dan G=2,20 Ro=0,56 individu betina) dibandingkan dengan pemberian pakan daun S. melongena dan B. suaveolens (G=0,40 Ro=0,06 individu betina dan G=0,30 Ro=0,02) (Tabel 3). Berdasarkan nilai G dan Ro, maka S. torvum dan S.

nigrum merupakan tanaman pakan yang sesuai bagi perkembangan H.

vigintioctopunctata. Kumbang H. vigintioctopunctata pada keempat tanaman

inang ini mempunyai waktu generasi yang sangat berbeda, yaitu pada S.torvum,

S. nigrum, S. melongena dan B. suaveolens masing-masing 27,42, 29,33, 5,90,

dan 8,60 hari (Tabel 2). Laju pertumbuhan intrinsik H. vigintioctopunctata yang diberi pakan dengan daun S. torvum dan S. nigrum (masing-masing r=0,04 individu/induk/hari) lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi pakan daun S.

(29)

14

Tabel 3 Demografi kumbang H.vigintioctopunctata pada empattanaman inang Statistik

Demografi

Tanaman Inang

S. torvum S.nigrum S.melongena B.suaveolens

G 5,5 2,2 0,4 0,3

Ro 2,1 0,6 0,06 0,02

T 27,4 29,3 5,9 8,6

r 0,04 0,04 0,01 0,01

Keterangan: G=Laju reproduksi kasar, Ro=Laju reproduksi bersih, T=Waktu generasi, r=Laju pertumbuhan intrinsik

Neraca Kehidupan dan Kurva Ketahanan Hidup Kumbang H.vigintioctopunctata

Berdasarkan hasil pengamatan, tanaman S. torvum dan S. nigrum

merupakan inang yang sesuai untuk perkembangan H. vigintioctopunctata

dibandingkan tanaman S. melongena dan B. suaveolens. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya persentase individu H. vigintioctopunctata yang hidup pada pemberian daun S. torvum dan S. nigrum, yaitu 80% dan 89% (larva instar I), 55% dan 47% (larva instar IV), 41% dan 27% (pupa), dan 34% dan 18% (imago). Kesesuaian S. torvum dan S. nigrum sebagai tanaman inang H.

vigintioctopunctata juga ditunjukkan dari laju kematian yang lebih rendah, yaitu

20,42% dan 11,07% (larva instar I), 10,74% dan 27,49% (larva instar IV), 13,16% dan 10,26% (pupa), dan 17,17% dan 32,86% (imago).

Berdasarkan kurva survivorship diketahui bahwa kurva kelangsungan hidup H. vigintioctopunctata termasuk tipe III (Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa dalam perkembangan populasi H. vigintioctopunctata memperlihatkan jumlah kematian yang tinggi pada fase telur dan larva. Pada tanaman S. torvum

dan S. nigrum, proporsi hidup H. vigintioctopunctata lebih tinggi (0,34 dan 0,18)

dibanding pada tanaman S. melongena dan B. suaveolens (0,02 dan 0,04). Proporsi hidup H. vigintioctopunctata terendah (0,02) terdapat pada tanaman inang S. melongena.

(30)

15

(31)

16

Gambar 2 Kurva survivorship H.vigintioctopunctata pada keempat tanaman inang

Waktu (hari)

0 5 10 15 20 25 30 35

P

ropor

si

hi

dup

(lx

)

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2

S. torvum S. nigrum S. melongena B. suaveolens

(32)

17

PEMBAHASAN

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara keseluruhan terdapat perbedaan waktu dalam siklus hidup H. vigintioctopunctata yang diberi pakan dengan daun empat spesies tanaman inangnya.Variasi juga ditunjukkan dari lama hidup kumbang berdasarkan jenis kelaminnya. Kumbang lembing H.

vigintioctopunctata yang diberi pakan daun S. torvum mampu meletakkan

rata 22,24 butir (5-58 butir; n = 130 massa telur) dengan masa inkubasi telur rata-rata 3,60 hari (1-5 hari). Jumlah rata-rata-rata-rata telur pada setiap massa telur dalam penelitian ini lebih sedikit dibandingkan hasil penelitian Abbas (1985) di Padang, yang berjumlah 23,60-28,40 butir per massa telur. Jumlah massa telur yang berbeda tersebut mungkin disebabkan adanya perbedaan lingkungan antara Padang dan Bogor, walaupun antara Padang dan Bogor memiliki kemiripan curah hujan yang relatif tinggi dibandingkan daerah lainnya di sekitarnya (Nakamura et al. 1987). Informasi menarik yang perlu dikemukakan adalah proses awal perkembangan setiap instar larva menjadi instar yang berikutnya, menunjukkan adanya perubahan menjadi warna kuning atau warna cerah dari instar larva yang baru, disertai dengan massa selongsong dari instar larva sebelumnya yang ditinggalkannya. Walaupun demikian, tidak ada ciri pembeda khas atau perbedaan yang nyata antara larva-larva yang diberi empat jenis pakan yang berbeda.

Waktu yang diperlukan dalam perkembangan dari telur sampai imago mati pada perlakuan dengan pemberian daun S. nigrum (93,80 hari pada jantan dan 104,10 hari pada betina) dan daun S. torvum (39,90 hari pada jantan dan 55,10 hari pada betina) lebih lama dibandingkan kumbang yang diberi pakan daun S.

melongena (16,50 hari pada jantan dan 16,90 hari pada betina) dan daun B.

suaveolens (25,00 hari pada jantan dan 24,80 hari pada betina). Hal ini

menunjukkan bahwa S. torvum dan S. nigrum merupakan inang yang sesuai untuk perkembangan kumbang ini. Dalam ilmu hama pertanian, ada beberapa faktor penting yang memberi dampak kuat pada kerusakan tanaman pertanian, salah satunya adalah lamanya suatu hama memakan suatu komoditas pertanian. Dalam hal ini dapat berarti bahwa kumbang lembing pada inang S. nigrum

mengkonsumsi daun lebih lama sehingga dapat menimbulkan dampak kerusakan pada daun tersebut dibandingkan pada ketiga jenis tanaman inang lainnya, sehingga menimbulkan efek yang lebih merugikan. Kesesuaian tanaman S. torvum

dan S. nigrum juga ditunjukkan dari fase larva H. vigintioctopunctata yang terjadi

hanya sekitar 4 hari. Pada tanaman S. melongena, fase larva berlangsung lebih cepat (2,90 hari). Tanaman S. melongena juga menghambat perkembangan pupa kumbang ini.

Kesesuaian ini juga ditunjukkan dari lama hidup imago H.

vigintioctopunctata jantan yang diberi pakan daun S. torvum dan S. nigrum (16,50

(33)

18

hidup (umur) yang berbeda antara jantan dan betinanya, dimana pada keempat perlakuan tersebut lama hidup kumbang lembing betina lebih lama daripada kumbang jantannya. Data ini menunjukkan kesamaan dengan penelitian pada banyak jenis serangga lainnya, dimana umur serangga betina lebih lama daripada serangga jantannya. Data ini didukung oleh Nakano et al. (1997) yang menyatakan bahwa imago betina lebih mampu bertahan daripada imago jantan. Data yang sama dilakukan pada penelitian laboratorium pada spesies E. python

yang diberi pakan dengan daun Sechium edule atau Cucurbita moschata (Abbas et al. 2001). Namun, Nakano et al. (2001) melaporkan spesies H.sparsa yang diberi pakan dengan daun S. torvum menunjukkan umur imago kumbang jantan (87,60 hari) lebih lama daripada imago betina (57,70 hari). Selain itu terlihat juga kesesuaian kumbang lembing H. vigintioctopunctata terhadap tanaman S. torvum

dan S. nigrum yang ditunjukkan bahwa dengan perlakuan suhu (⁰C) dan

kelembaban relatif (%) yang sama, tetapi tetap dapat menghasilkan keturunan individu dengan jumlah yang lebih banyak dan durasi yang lebih lama pada perlakuan dengan S. torvum dan S. nigrum.

Kesesuaian tanaman S. torvum dan S. nigrum sebagai tanaman inang

H.vigintioctopunctata juga ditunjukkan dari nilai laju reproduksi kasar (G) yang

tinggi, yaitu masing-masing 5,50 individu betina dan 2,20 individu betina. Nilai laju reproduksi ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan pada pemberian daun S.

melongena dan B. suaveolens, yaitu masing-masing 0,40 dan 0,30 individu betina.

Demikian juga nilai laju reproduksi bersih (Ro) kumbang yang diberi pakan daun

S. torvum dan S. nigrum lebih tinggi, yaitu masing-masing 2,11 individu betina

dan 0,56 individu betina dibandingkan pada pemberian pakan dengan daun S.

melongena dan B. suaveolens yaitu masing-masing 0,06 individu betina dan 0,02

individu betina. Nilai ini menggambarkan jumlah keturunan betina yang akan menggantikan induk betina dalam satu generasi. Pertumbuhan populasi yang sebenarnya adalah tergantung dari jumlah laju reproduksi bersih ini. Laju reproduksi kasar merupakan nilai rata-rata jumlah individu betina yang dihasilkan oleh induk betina dalam satu generasi, sedangkan laju reproduksi bersih menggambarkan jumlah keturunan betina yang akan menggantikan induk betina dalam satu generasi. Pertumbuhan populasi yang sebenarnya tergantung dari nilai laju reproduksi bersih. Nilai Ro dan G yang tinggi menunjukkan adanya tingkat kesesuaian hidup serangga terhadap tanaman inangnya (Kurniawan 2007).

Kesesuaian tanaman S. torvum dan S. nigrum bagi perkembangan H.

vigintioctopunctata juga ditunjukkan dari nilai waktu generasi (T) kumbang

lembing H. vigintioctopunctata yang lebih lama (27,42 hari dan 29,33 hari) dibandingkan pada pemberian dengan daun S. melongena dan B. suaveolens (5,90 hari dan 8,60 hari). Hal ini ditunjukkan dari lamanya hidup imago kumbang dengan pemberian daun S. torvum dan S. nigrum yang jauh lebih lama dibandingkan lama hidup kumbang yang diberi pakan dengan daun S. melongena

dan B. suaveolens.Waktu generasi H. vigintioctopunctata hasil penelitian ini lebih

singkat jika dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Nakano et al. (2001) dan Richards (1988) pada tanaman S. torvum, yaitu masing-masing 47,6 dan 143,03 hari.

Kesesuaian tanaman S. torvum dan S. nigrum bagi perkembangan H.

vigintioctopunctata juga ditunjukkan dari nilai laju pertumbuhan intrinsiknya

(34)

19

pertumbuhan intrinsik ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian pakan dengan daun S. melongena dan B. suaveolens (masing-masing 0,01 individu per induk per hari). Laju pertumbuhan intrinsik menunjukkan tingkat kenaikan pertumbuhan populasi dalam keadaan konstan. Laju pertumbuhan intrinsik H.

vigintioctopunctata dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan

spesies yang sama dengan pemberian pakan daun S. torvum di Sumatra Barat, yaitu 0,13 individu per induk per hari (Abbas 1985). Demikian juga pada H.

enneasticta yang juga diberi pakan dengan daun S. torvum yang mempunyai laju

pertumbuhan intrinsik lebih tinggi (r=0,07 individu per induk per hari) (Nakano

et al. 1997). Dengan laju pertumbuhan intrinsic yang rendah, maka potensi

H.vigintioctopunctata sebagai serangga hama sangat kecil.

Berdasarkan neraca kehidupan, proporsi kumbang H. vigintioctopunctata

yang mampu menjadi imago pada pemberian daun S. torvum mencapai 34% (8 individu dari 24 telur). Demikian juga pada pemberian daun S. nigrum, sebanyak 18% telur mencapai fase imago. Persentase tersebut lebih tinggi dibandingkan pada pemberian pakan dengan daun S. melongena dan B. suaveolens yang masing-masing hanya 2% dan 4% telur yang berhasil menjadi imago. Persentase kematian dari telur sampai imago pada kumbang yang diberi pakan daun S. torvum dan S.

nigrum cenderung lebih rendah dibandingkan pada pemberian pakan daun S.

melongena dan B. suaveolens. Harapan hidup kumbang pada pemberian pakan

daun S. torvum dan S. nigrum cenderung lebih tinggi dibandingkan pada pemberian pakan dengan daun S. melongena dan B. suaveolens. Berdasarkan pengamatan penulis selama pengamatan, kumbang H. vigintioctopunctata lebih banyak dijumpai dan lebih aktif memakan daun S. torvum. Hal ini berbeda pada daun B. suaveolens yang kurang disukai oleh kumbang tersebut dan aktivitas makannya juga sedikit.

Kesesuaian tanaman S. torvum bagi perkembangan H. vigintioctopunctata

ini kemungkinan berkaitan dengan tingginya kandungan nutrisi yang terdapat pada tanaman tersebut. Begitu juga dengan S. nigrum yang dari hasil penelitian menunjukkan tanaman ini sesuai untuk perkembangan H. vigintioctopunctata.

Tanaman ini mengandung banyak mineral seperti Na, K, Ca, Mg, Fe, Zn dan P (Akubugwo et al. 2008). Berdasarkan morfologi, daun tanaman S. nigrum ini lebih lunak dan lebih tipis, rambut-rambut pada daun lebih sedikit dibandingkan daun S. melongena dan B. suaveolens. Daun ini lebih disukai oleh larva H.

vigintioctopunctata.

Dua spesies tanaman lainnya, yaitu S. melongena dan B. suaveolens tidak sesuai untuk perkembangan kumbang H. vigintioctopunctata. Secara morfologi, permukaan atas dan bawah daun dari kedua spesies ini mempunyai rambut-rambut yang rapat yang dapat mengganggu aktivitas larva H. vigintioctopunctata. Berdasarkan pengamatan, larva tersebut kurang aktif mengkonsumsi tanaman-tanaman ini. Daun tanaman-tanaman B. suaveolens mengandung banyak senyawa alkaloid tropan yang meskipun tidak dipakai untuk pertumbuhan tanaman tersebut tetapi dibutuhkan untuk adaptasi terhadap lingkungannya yaitu untuk interaksi terhadap hewan lain ataupun perlindungan dari hewan atau mikroorganisme yang menyerangnya (Kener & Drayer, 2000).

(35)

20

terjadi pada saat awal perkembangan yang diikuti dengan penurunan secara perlahan di sepanjang hidupnya. Menurut Price (1997), terdapat tiga tipe kurva ketahanan hidup, yaitu tipe I, II dan III. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

H. vigintioctopunctata termasuk ke dalam tipe III, yaitu menunjukkan kematian

yang lebih tinggi pada populasi umur muda atau stadium awal. Berdasarkan kurva tersebut diketahui bahwa proporsi hidup H.vigintioctopunctata yang diberi pakan daun S. torvum dan S. nigrum lebih tinggi dibanding larva yang diberi pakan daun S. melongena dan B. suaveolens. Pola ketahanan hidup tipe III ini sangat umum ditemukan pada spesies-spesies serangga (Begon & Mortiner 1981). Kematian yang tinggi pada fase pradewasa H. vigintioctopunctata dalam penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Abbas et al. (1985) pada H.

sparsa pada tanaman Cucurbitaceae, yaitu kematian larva sebanyak 432 individu

dan pupa sebanyak 76 individu yang disebabkan oleh serangan parasitoid

Tetrastichus sp. dan Pediobius foveolatus. Kimura dan Katakura (1986) juga

melaporkan kematian yang tinggi (9%) pada pupa H. pustulosa pada tanaman

Cirsium kamtschaticum dibandingkan pada tanaman Cirsium robustum, yaitu 3%.

Namun, Nakamura dan Abbas (1987) melaporkan kumbang Aspidomorpha

miliaris pada tanaman Ipomoea carnea menunjukkan ketahanan hidup yang tinggi

(70-90%). Penelitian tentang demografi di laboratorium umumnya mempunyai ketahanan hidup lebih tinggi dibandingkan keadaan di alam, karena kondisi laboratorium lebih terkontrol dengan sumber makanan yang cukup dan lingkungan yang reproduktif sangat dipengaruhi oleh kualitas makanan (Velasco & Walter, 1993).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Larva H. vigintioctopunctata yang diberi pakan daun tanaman S. torvum

dan S.nigrum mempunyai waktu perkembangan dari telur sampai menjadi imago

dan lama hidup imago lebih panjang dibandingkan dengan pemberian pakan daun

S. melongena dan B. suaveolens. Larva H. vigintioctopunctata yang diberi pakan

dengan daun S. torvum dan S. nigrum mempunyai persentase individu hidup, laju reproduksi, waktu generasi, dan laju pertumbuhan intrinsik yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi pakan dengan daun S. melongena dan B.

suaveolens. Laju kematian larva yang tinggi terjadi pada perlakuan dengan

pemberian daun S. melongena dan B. suaveolens. Pada pemberian pakan empat spesies tanaman, lama hidup imago H. vigintioctopunctata betina lebih panjang dibandingkan jantan. Populasi H. vigintioctopunctata menunjukkan jumlah kematian yang tinggi pada fase telur dan larva dengan kurva ketahanan hidup tipe III.

Saran

Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang siklus hidup dan demografi kumbang H. vigintioctopunctata berdasarkan pada perbedaan ketinggian habitat, perbedaan iklim, musim tanam dan berbagai tanaman inangnya. Dinamika populasi kumbang ini juga perlu dipelajari lebih intensif baik di laboratorium maupun di lapangan.

(36)

21

DAFTAR PUSTAKA

Abbas I. 1985. Studies on phytophagous lady beetles (Epilachninae) of the province of Sumatera Barat, Indonesia, with special reference to the population dynamics under a humid-equatorial climate.[tesis].Padang (ID): Andalas University, Padang, Sumatera Barat, Indonesia.

Abbas I, Nakamura K, Hasyim A. 1985. Survivorship and fertility schedule of a Sumatran Epilachninae “Species” feeding on Solanum torvum under laboratory conditions (Coleoptera: Coccinellidae). Appl. Ent. Zool. 20 (1): p 50-55.

Abbas I, Nakamura K, Katakura H, Sansazi H. 1988. Geographical variation of elytral spot patterns in the phytophagous ladybird, Epilachna

vigintioctopunctata (Coleoptera: Coccinellidae) in the province of Sumatra

Barat, Indonesia. Res. Popul. Ecol. 30: p 43-56. By the Society of Population Ecology.

Abbas I, Nakamura K, Katakura H, Sansazi H. 1988. Population dynamics of the phytophagous lady beetle, Epilachna vigintioctopunctata in an eggplant field in Sumatra. Res. Popul. Ecol. (1988) 30: p 25-41. By the Society of Population Ecology.

Akubugwo IE, Obasi NA, Chinyere GC, Ugbogu AE. 2008. Mineral and phytochemical contents in leaves of Amaranthus hybridus L and Solanum

nigrum L subjected to different processing methods. African J Biochemistry

Res 2:40-44.

Back SD, Schoonhoven LM. 1980. Insect behavior and plant resistance. Dalam

Begon M, Mortiner M. 1981. Population ecology: a unified study of animals and plants. Sunderland: Sinauer Associated Inc. Publisher.

: Maxwell FG, Jenningsw PR (eds.) Breeding plants resistant to insects. New York: John Wiley & Sons.

Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan pelajaran serangga. Partosoedjono S, penerjemah; Brotowidjojo MD, editor. Yogyakarta (ID); Penerbit Gadjah Mada University. Terjemahan dari: An Introduction to the study of Insects, Ed ke-6.

Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 2005. Borror and Delong’s introduction to the study of insects. 7th ed.Thomson Brooks/ Cole. Singapore.

Cammell, ME. & JD. Knight. 1992. Effect of climate change on the population dynamic of crop pests. Advance in Ecological Research22: 117-162

Carey JR. 1993. Applied demography for biologist with special emphasis on insect. New York: Oxford University Press.

Dieke GH. 1947. Lady Beetles of Genus Epilachna (Senslat) in Asia Europe and Australia. The Smithsonian Institution.

Doijode SD. 2001. Seed storage of horticultural crops (m.s. 157). Haworth Press. Fujiyama NH, Ueno, Kahono S, Hartini S, Matsubayashi KW, Kobayashi N,

(37)

22

Giorgi JA, Vandenberg NJ, McHugh JV, Forrester J, Ślipiński A, Miller KB, Shapiro LR, Whiting MF. 2009. The evolution of food preferences in Coccinellidae. Biol Cont 51: 215-231.

Gordon RD. 1987. A Catalogue of The Crotch Collection of Coccinellidae (Coleoptera). Biological Laboratory, Fukui University. Japan: Academic Press.

Govindaraju K, Tamilselvan S, Kiruthiga V, Singaravelu G. 2010. Biogenic silver nanoparticles by Solanum torvum and their promising antimicrobial activity. J Biopesticides 3: 394-399.

Jadwiszczak A, Wegrzynowicz P. 2003. World Catalogue of Coccinellidae. Part I – Epilachninae. Mantis Olsztyn.

Jasmine S, Daria L, Hawwadi MRA. 2011. In vitro production of solasodine in

Solanum nigrum under salinity stress. J Phytol 3: 43-49.

Kahono S. 1999. Ecological study of phytophagous Ladybeetle (Coccinellidae : Epilachninae) in Java, Indonesia, with special reference to population dynamics. [Dissertation]. Kanazawa University, Japan.

Kahono S. 2006. Respon adaptif kumbang lembing pemakan daun

Henosepilachna vigintictopuchtata (Fabricius) (Coleoptera: Coccinellidae:

Epilachninae) dan tumbuhan inangnya terhadap musim kemarau di daerah beriklim tropis kering Pasuruan dan Malang – Jawa Timur. Berita Biologi.

8:193-200.

Kahono S. 2010. Keanekaragaman kumbang lembing herbivora (Coleoptera: Coccinellidae: Epilachninae) dan tumbuhan inangnya di Taman Nasional Ujung Kulon dan sekitarnya, Pandegelang, Banten. Zoo Indonesia. 19:71-82.

Kahono S. 2012. Kajian potensi kumbang subfamily Epilachninae untuk kontrol biologi gulma potensial di Indonesia (dalam persiapan).

Kalshoven LGE. 1981. Pest of crops in Indonesia. Revised and Translated by P.A. van der Laan. PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve. Jakarta.

Katakura H, Nakano S, Kahono S, Abbas I, Nakamura K. 2001. Epilachnine ladybird beetles (Coleoptera, Coccinellidae) of Sumatra and Java. Tropics. 10:325-352.

Kener, Drayer. 2000. Tropane alkaloids in plants and genetic engineering of their biosynthesis. Global Science Books, UK

Kimura T, Katakura H. 1986. Life cycle characteristics of a population of the phytophagous ladybird Henosepilachna pustulosa depending on two host plants. J Fac Sci Hokkaido Univ Ser VI Zoo 24(3).

Kobayashi N, Ohta Y, Katoh T, Kahono S, Hartini S, Katakura H. 2009. Molecular phylogenitic analysis of three groups of Asian eplachnine ladybird beetles recognized by the female internal reproductive organs and modes of sperm transfer. J Nat Hist 43:1637-1649.

Kovár I. 1996. Phylogeny. Dalam: Hodek I, Honek A. (eds.) Ecology of

(38)

23

Kurniawan HA. 2007. Neraca kehidupan kutukebul, Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera : Aleyrodidae) biotipe-B dan non-B pada tanaman mentimun

(Curcumas sativus L.) dan cabai (Capsicum annuum L.) [tesis]. Bogor;

Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Matsubayashi K, Kahono S, Katakura H..

Nakamura K, Abbas I. 1987. Preliminary life table of the spotted tortoise beetle,

Aspidomorpha miliaris (Coleoptera, Chrysomelidae, Cassidinae) under a

humid-equatorial climate in Sumatra. entomograph (in press)

2010. Sympatrically divergent host-plant adaptation in a phytophagous ladybird beetle, Henosepilachnadiekei

(in preparation).

Nakamura. K , Idrus Abbas & Ahsol Hasyim. 1984. Survivorship and fertility schedules of two Epilachnine “Species” feeding on Cucurbitaceous plants under laboratory conditions (Coleoptera: Coccinellidae).

Nakano K, Nakamura K, Abbas I. 1997. Survivorship and fertility schedules of a Sumatran phytophagous ladybeetle, Epilachna enneasticta (Coleoptera: Coccinellidae) under laboratory conditions. App Entomol Zool 32:317-323. Nakano S, Nakamura K, Abbas I. 2001. Survivorship and fertility schedules of a

non-pest phytophagous ladybeetle, Epilachna python (Coleoptera, Coccinellidae ) under laboratory conditions. Tropics 10: 369-377.

Ohta Y. 2010. Adaptive radiation in the Epilachna alternans species complex: Taxonomic review and phylogenetic analysis. Presented at Seminar of Speciation of phytophagous insects: Multi-side effects of host shift on reproductive isolation. Sapporo 3-8 March 2010.

Partosoedjono S. 1985. Mengenal serangga. Agromedia: Bogor.

Pedigo LP, Rice ME. 2006 Entomology and pest management. New Jersey: Prentice Hall.

Pracaya. 2008. Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara organik. Jakarta. Penebar Swadaya.

Pracaya. 2008. Hama & penyakit tanaman (Ed Rev).Depok.Penebar Swadaya. Price PW. 1997. Insect ecology. New York: John Wiley & Sons.

Richards AM. 1983. The Epilachna vigintioctopunctata complex (Ordo Coleoptera: Coccinellidae). Int J Entomol 25:11-41.

Richards AM. 1988. The effect of agricultural crops and weeds on the bionomics of the pest species comprising the Epilachna vigintioctopunctata complex (Col., Coccinellidae). J Appl Entomol 105:88-103.

Sasaji H. 1971. Fauna Japonica, Coccinellidae (Insecta : Coleoptera). Biological Laboratory, Fukui University. Japan: Academic Press.

Shunxiang R, Xingmin W, Hong P, Zhengqiang P, Tao Z.2009. Colored pictorial handbook of ladybird beetles in China.

Sikdar M, Dutta U. 2008. Traditional phytotheraphy among the Nath people of Assam. Ethno Med, pp 39 -45. in: Ramya J, Sharma A, Gupta S, Gabrani

Gambar

Gambar 1 Tanaman pakan larva kumbang yang digunakan dalam penelitian:
Tabel 2    Rata-rata waktu (hari) yang diperlukan setiap fase perkembangan
Tabel 3 Demografi kumbang H.vigintioctopunctata pada empat tanaman  inang
Tabel 4  Neraca kehidupan kumbang lembing H. vigintioctopunctata pada empat
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pentingnya suatu produk obat bebas dari kandungan babi dan alkohol harus diyakinkan dengan suatu metode pendeteksiannya. Hal inilah yang menjadi latar belakang pembuatan review

c) Tonsilitis adalah radang yang disebabkan oleh infeksi bakteri kelompok A streptococcus beta hemolitik, namun dapat juga disebabkan oleh bakteri jenis lain atau oleh infeksi

Berdasarkan klasifikasi mutu BKKTF (Tabel 10) dapat diketahui bahwa kulit kokon tanpa floss ulat sutera liar ( Attacus atlas ) yang berasal dari perkebunan teh yang

dari media macromedia flash sebagai ganti gambar animasi terdapat gambar bertahap sebagai visualisasi untuk simulasi praktikum laboratorium pada materi koloid

Sedangkan untuk pemeriksaan syarat gradasi dan modulus kehalusan butiran tanah putih ini juga tidak layak digunakan sebagai bahan pengganti agregat halus pembuatan

Saran bagi pekerja yaitu untuk menyesuaikan posisi membungkuk saat melakukan bercocok tanam sehingga posisi bekerja lebih nyaman sehingga dapat meminimalisir resiko

Salah satu cara meningkatkan kredibilitas sekolah adalah dengan memperkenalkan sekolah kepada masyarakat luas. Dalam hal ini, publikasi sekolah menjadi sangat penting.

Temuan penelitian proses ekranisasi yang muncul pada alur dalam novel “Assalamualaikum Beijing” karya Asma Nadia dan film “Assalamualaikum Beijing” sutradara