• Tidak ada hasil yang ditemukan

FASHION DAN IDENTITAS DIRI WARIA Studi Etnografi Simbol simbol Komunikasi Non verbal dalam Fashion Sebagai Pembentuk Identitas Diri di kalangan Waria di kota Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FASHION DAN IDENTITAS DIRI WARIA Studi Etnografi Simbol simbol Komunikasi Non verbal dalam Fashion Sebagai Pembentuk Identitas Diri di kalangan Waria di kota Yogyakarta"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

FASHION DAN IDENTITAS DIRI WARIA

Studi Etnografi Simbol-simbol Komunikasi Non-verbal dalam

Fashion Sebagai Pembentuk Identitas Diri di kalangan Waria di kota

Yogyakarta

Oleh :

A’malia B

D 1206506

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Ilmu Komunikasi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

(3)

commit to user

iii

Motto

Tidak ada yang lebih dekat selain pertolongan Allah

(4)

commit to user

iv

“All of Us are the Master of Universe” –Rhonda Bryne-

Dalam proses penulisan skripsi yang cukup panjang dan melelahkan ini ada begitu

banyak nama yang memberikan kebaikan sehingga akhirnya saya bisa berada di

titik ini.

Ayahanda A Badri S, Ibunda Suaini L

Tidak ada kebaikan yang melebihi kasih sayang kedua orang tua kepada anak-anaknya. Terima kasih untuk didikan-didikan sempurna yang telah diberikan kepada saya sejak lahir hingga hari ini.

Abang Syahrizal, Yuk Rahma, Yuk Ani, dek Pamel, dan seluruh keluarga besar Sayuni dan Lasahi

Semoga sikap keras kepala saya sebagai si bungsu yang tidak mau dan menolak untuk dihentikan dengan cara apapun dapat dimaafkan :D

Risty and Family

I feel like home everytime i am here. Thank you for keeping me as the part of the family, dan memberikan semangat agar saya tidak pernah mengenal kata menyerah.

RCTI and Ogilvy PR Worldwide / Pulse Communications

Dua tahun bekerja dengan status sebagai mahasiswa J Thank you for giving me

this precious opportunity. Untuk kepercayaan yang diberikan, kebaikan dan

semua tantangan yang diberikan. Now i can say it out loud, i am ready to conquer

it all :D

..Dinti..

Let’s not put an end to our journey, let’s not put any limit to our dreams. HUGE thanks for The Secret book.. The book was a bliss J

..Vero, Fadli, Melly, Linda, Kak Niken, Poundra, Dije, Aksan..

Maaf jika membuat telinga kalian bosan dengan semua ‘drama’ tanpa henti dari

saya and thanks for all the support, all the laugh, and all the ‘You-Can-Do-It’ sentences. Geez, i miss you all already :’) My dear Poundra, the one who always supported me all the way, look, I did it!

(5)

commit to user

v

Berangkat dari satu judul kuliah yang peneliti ikuti mengenai penulisan

skripsi, satu kalimat yang memotivasi peneliti dari dosen yang mengajar kala itu

adalah “Tulislah apa yang menjadi minatmu ketika menyusun skripsi, agar skripsi

mu memiliki ruh” . Dari situlah ide tentang pengambilan judul skripsi ini tercipta.

Sejak bertemu dengan buku Malcolm Barnard yang berjudul Fashion as a

Communication, peneliti terus ingin menggali makna apa saja yang mampu

diutarakan oleh fashion. Sampai ke titik dimana peneliti menemukan bahwa

fashion tidak sekedar dimanfaatkan untuk mengkomunikasikan status sosial,

gender, kelas, agama, dan hal-hal lain yang umumnya sudah difahami masyarakat

awam secara luas, melampaui itu semua ternyata fashion bahkan mampu

mengkomunikasikan identitas seksual kelompok dengan orientasi seksual yang

spesifik (homoseksual). Didukung oleh rekan-rekan semasa berkuliah di Jogja

yang aktif di berbagai LSM yang salah satu diantaranya memfokuskan diri pada

kampanye keamanan seksual kelompok homoseksual, peneliti bertemu dengan

banyak gay, lesbian, dan waria, dan memulai riset sederhana, yang akhirnya

melahirkan gagasan untuk skripsi ini.

Mengapa waria? Secara denotatif, peneliti melihat ada konsep yang tegas

bagi fashion waria dimana mereka melakukan cross dressing dengan terbuka.

Berbeda dengan kelompok homoseksual lainnya, gay dan lesbian, yang cenderung

masih semu dalam memanfaatkan fashion untuk mengkomunikasikan identitas

seksual (tidak semua lelaki gay feminin, dan tidak semua perempuan lesbian

tomboy). Kemudian secara konotatif, peneliti juga melihat bagi mereka cross

dressing tidak semata permasalahan mengkomunikasikan orientasi seksual, tapi

ada pemberontakan di dalamnya. Yang mana mereka berusaha menyuarakan

keberadaannya dan berharap dijadikan gender ketiga, agar minimal bisa

menikmati fasilitas umum dengan tenang (waria yang peneliti temui mengaku

jarang bisa menikmati fasilitas umum secara gender, contoh toilet umum, karena

tidak merasa nyaman di dua gender tersebut).

Peneliti merasa beruntung terfasilitasi dan terpicu untuk secara terus

(6)

commit to user

vi

mendukung penelitian ini. Kesempatan ini ingin peneliti gunakan untuk

menyampaikan rasa terima kasih peneliti yang teramat besar kepada :

1. Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D selaku pembimbing utama yang telah

lebih dari dua tahun memberikan waktunya yang berharga untuk

menstimulasi daya kembang dan pola pikir peneliti menuju ke berbagai

kajian komunikasi yang peneliti sama sekali buta sebelumnya.

2. Dra. Indah Budi Rahayu, SE, M.Hum selaku pembimbing II yang terus

menerus memberikan dukungan moral dan memberikan rasa percaya diri

yang tinggi kepada peneliti bahwa peneliti mampu untuk menyelesaikan

skripsi ini dengan baik.

3. Bapak Andrik Purwasito yang meluangkan waktu untuk diskusi singkat

dengan peneliti yang memberi peneliti wacana tentang semiotika untuk

pertama kalinya.

4. Rekan-rekan kerja dan atasan di RCTI dan Ogilvy Public Relations

Worldwide yang memberikan dukungan dan memberikan pijakan yang

mantap bagi peneliti untuk semakin mencintai dunia komunikasi.

5. Rekan-rekan seangkatan jurusan Komunikasi Massa yang bersama-sama

berjuang bersama peneliti, yang terus mengobarkan api semangat agar bisa

menikmati keberhasilan bersama.

Akhir kata peneliti sangat berharap penelitian yang dipersembahkan

untuk meraih gelar sarjana ini tidak sekedar menjadi ‘syarat kelulusan’ namun

mampu memberikan sumbangsih ilmu dan wawasan dalam arti sebenarnya bagi

ilmu komunikasi.

Surakarta, 17 Desember 2010

Amalia B

(7)

commit to user

vii

JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Telaah Pustaka ... 13

1. Komunikasi ... 13

2. Komunikasi non-verbal... ... 15

3. Fashion Sebagai Komunikasi ... 17

4. Waria dan Identitas Diri ... 22

(8)

commit to user

viii

F. Definisi Konsep ... 28

1. Waria ... 28

2. Fashion (Pakaian, Make Up, Aksesoris)... 29

3. Identitas Diri ... 33

G. Kerangka Berpikir ... 36

H. Metodologi Penelitian ... 37

1. Jenis Penelitian ... 37

2. Subjek dan Lokasi Penelitian ... 38

3. Teknik Pengumpulan Data ... 40

4. Analisa Data ... 41

5. Uji Validitas Data ... 43

BAB II WARIA SEBAGAI SUATU FENOMENA ... 44

A. Sekilas Sejarah Waria ... 44

B. Kajian Sejarah Waria di Indonesia ... 49

C. Kehidupan Waria Yogyakarta ... 61

BAB III FASHION WARIA DAN CARA MENGKOMUNIKASIKAN IDENTITAS DIRI ... 67

A. Fashion dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Subyektif ... 68

1. Pakaian dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Subyektif 68

2. Make up dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Subyektif 72

(9)

commit to user

ix

B. Fashion dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Obyektif ... 77

1. Pakaian dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Obyektif 77

2. Make up dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Obyektif 79 3. Aksesoris dan Cara Mengkomunikasikan Identitas Obyektif 81 C. Identitas Sosial pada Pola Fashion Waria yang Dikaitkan Dengan Profesi ... 82

BAB IV IDENTITAS DALAM FASHION WARIA ... 89

A. Waria dan Latar Belakang Pemilihan Fashion ... 91

1. Reproduksi Sosial ... 91

1.a. Protes Terhadap Reproduksi Budaya Dominan ... 92

1.b. Reproduksi Terhadap Sterotipe Subkultur yang Ada 95

2. Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Cross Dressing ... 98

B. Pola Penggunaan Fashion dalam Pembentukan Identitas Kelompok Waria ... 102

1. Pola Berpakaian dan Refleksi Identitas Subyektif dan Obyektif Waria ... 102

2. Pola Berpakaian Terkait Profesi ... 104

C. Pembentukan Identitas ... 107

1. Identitas Gender ... 110

2. Identitas Sosial ... 113

(10)

commit to user

x A. Kesimpulan ... 117

B. Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA

(11)

commit to user

xi

Tabel 1.1 Skema penelitian ... 36

Tabel 2.1 Perkembangan Homoseksual di Seluruh Dunia ... 49

Tabel 2.2 Perkembangan Homoseksual di Indonesia ... 60

Tabel 4.1 Tipologi Perilaku... 115

(12)

commit to user

xii

Amalia B D1206506, FASHION DAN IDENTITTAS DIRI WARIA (Studi Etnologi Pemanfaatan Fashion (Pakaian, Make Up dan Aksesoris) Sebagai Pembentuk Identitas Diri di kalangan Waria Yogyakarta)

Waria merupakan suatu subjek komunikasi yang menjadi suatu fenomena komunikasi tersendiri karena mereka berhasil memanfaatkan fashion (pakaian, make up dan aksesoris) untuk mengkomunikasikan tidak hanya kepribadian mereka, tetapi juga identitas subyektif dan obyektif mereka yang bermuara pada pemilihan orientasi seksual yang berbeda dari apa yang dianggap lazim di masyarakat. Waria menjadi contoh dari sekian contoh lainnya bahwa komunikasi memiliki kekuatan yang sangat pekat untuk bisa mempengaruhi segala aspek kehidupan, bahkan hingga ke tingkatan seksual dengan bahasa yang sangat sederhana sekaligus kompleks, fashion.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimanakah proses komunikasi yang terjadi dalam pembentukan identitas diri ini dan pesan apa yang hendak disampaikan waria melalui pemilihan fashionnya tersebut. Penelitian yang melibatkan 9 orang waria dari 7 profesi yang berbeda di kota Yogyakarta ini menerapkan metode etnologi untuk melihat waria sebagai suatu subjek studi yang lekat akan nilai-nilai budaya dan sosial.

Melalui penelitian ini tergali lah beberapa kesalahan persepsi yang selama ini, setidaknya ada dalam benak peneliti, tentang sosok waria. Masyarakat awam cenderung menjustifikasi waria sebagai subjek penyimpangan seksual yang berusaha untuk menjadi perempuan untuk memenuhi antara lain hasrat seksualnya. Namun, ternyata ini tidak sepenuhnya benar. Waria tidak sekedar mengaktualisasikan identitas gender ataupun sosial melalui fashion yang mereka pilih, tapi waria menyuarakan pemberontakan, menuntut kesetaraan agar bisa dikategorikan sebagai gender ketiga, bukan laki-laki dan bukan pula perempuan.

Anggapan bahwa waria kurang memiliki sense ketika berpakaian dan berdandan

yang mengakibatkan tampilan mereka menjadi norak dan berlebihan, ternyata juga salah. Justru sebagai bentuk reproduksi stereotipe sosial mereka, waria dengan sengaja memililih penampilan norak dan berlebihan ini untuk menyatakan bahwa mereka ingin melebihi perempuan dan menjadi pusat perhatian. “Saya waria, bukan perempuan,” ujar mereka.

Melalui penelitian sederhana ini peneliti berharap kajian komunikasi semakin kaya, jendela komunikasi semakin lebar dan semakin banyak unsur-unsur unik kehidupan yang akan diteliti dengan pisau komunikasi, terutama etnologi sebagai pisau pembedah yang diambil untuk menafsirkan segala simbol-simbol sosial yang hadir ditengah-tengah kehidupan waria.

(13)

commit to user

xiii

Amalia B D1206506, FASHION AND TRANSVESTITES PERSONAL IDENTITY (An Ethnology Study about Benefit of Fashion (Clothes, Make-up, and Accecories) to Build Personal Identity in Yogyakarta’s Transvestites Community)

Transvestites as communication subject and become a separate communication phenomenon because they succeded to gain advantage of the fashion world (clothes, make up and accessories) to communicate not only their personalities, as well as the subjective and objective identities which led them to the selection of distortion sexual orientation from what is common in society. Transvestites are example and also prove that communication posses very strong power to affect many aspects of life, including sexual orientation with very simple yet complex language, fashion.

This study is done to find what is the communication process in order to create transvestites’ personal identities and what kind of messages that they need to transfer through their fashion. This study involves 9 transvestites from 7 different working fields in Yogyakarta by applying the ethnology methode to observe transvestites as a study subjective which close to social and culture values.

Through the researcher’s point of view, misperception regarding transvertites was revelead. The society with less information, tend to justify transvestites as subjects of sexual deviation, who see to fulfills their sexual desirse to become a woman. However, this is not entirely true. They have managed to emphasized social or gender identity through fashion and also expressed rebellious and demands over equality to be considered as third gender, neither men nor women. The presumption that transvestites are senseless when it comes to dressing up, is also inncorrect. As a social stereotype reproduction of transvestites, they dress, accesorize excesively to make a statement who they really are and become the center of attention. “I am a transvestite, not a woman” , stated them.

(14)

commit to user

1

BAB I

P E N D A H U L

U A N

A. LATAR BELAKANG

Manusia telah menemukan arti penting komunikasi sejak berabad-abad

lamanya. Sebagai makhluk sosial, manusia memang tidak dapat memisahkan

dirinya dari kegiatan berkomunikasi. Beriringan dengan berbagai inovasi di

bidang teknologi selanjutnya, termasuk teknologi komunikasi dan informasi,

maka komunikasi antar manusia juga menjadi lebih kompleks. Komunikasi pun

kemudian dijadikan bahan ajar di berbagai universitas di seluruh dunia untuk

dapat dipelajari dan diteliti lebih lanjut, serta ditingkatkan keefektifannya. Sekitar

tahun 1940-an di Amerika Serikat muncul istilah communicology untuk

mendefinisikan ilmu yang mempelajari gejala-gejala sosial sebagai akibat dari

proses komunikasi massa, komunikasi kelompok dan komunikasi antarpersonal1.

Karena komunikasi dinyatakan sebagai pembelajaran atas gejala-gejala sosial

yang terjadi dalam masyarakat, maka tidak mengherankan ketika pada akhirnya

mutasi dari ilmu komunikasi ini sendiri menjadi luas bidangnya.

Pada dasarnya manusia berkomunikasi dalam dua cara, yaitu secara verbal

dan nonverbal. Pada awalnya, bidang penelitian komunikasi nonverbal terbatas

1

(15)

commit to user

2

sebagian besar pada pesan tubuh manusia2, di mana komunikasi nonverbal

dianggap sebagai suatu alat bantu memperjelas komunikasi verbal. Yang dianggap

sebagai komunikasi nonverbal masih terbatas pada bahasa tubuh, mimik wajah

dan intonasi suara.

Dengan pengembangan kajian ilmu komunikasi barulah kemudian disadari

bahwa untuk berkomunikasi secara nonverbal orang dapat pula menggunakan

banyak hal seperti gambar, simbol, warna, bentuk, bahan, dandanan, dekorasi,

pakaian, dan sebagainya 3 . Unsur-unsur komunikasi nonverbal inipun

mendapatkan porsi perhatian khusus terutama di bidang-bidang visual seperti

periklanan dan industri media.

Kemajuan teknologi yang diiringi dengan perubahan sosial masyarakat

juga kemudian memberikan warna baru bagi pemaknaan komunikasi nonverbal,

di mana masyarakat mulai menggunakan cara baru dalam berkomunikasi,

misalnya memanfaatkan pakaian untuk mengkomunikasikan kepribadian mereka

ke orang banyak tanpa harus bersusah payah menjelaskannya. 4 Anggapan ini

berawal dari keadaan sosial masyarakat yang mulai memberikan porsi perhatian

berlebih terhadap industri mode dan fashion.

Di Indonesia hal ini ditandai dengan bertumbuhnya pusat perbelanjaan

bergaya semacam shopping mall serta serbuan majalah-majalah mode dan gaya

2 Barnard, Malcolm. Fashion sebagai Komunikasi : Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender . Jalasutra. Bandung. 2006. hal vii dalam kata pengantar oleh Idi Subandy Ibrahim

3 Disarikan dari tulisan Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. 2001.Bandung. PT Remaja Rosdakarya.hal 7 dan Idi Subandy Ibrahim dalam kata pengantar untuk Barnard, Malcolm. Fashion sebagai Komunikasi : Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender . Jalasutra. Bandung. 2006. hal vii

(16)

commit to user

3

hidup transnasional yang memasukkan fashion sebagai salah satu porsi utama

dalam terbitannya5. Ini belum termasuk acara-acara televisi yang mengulas

seputar fashion dan kecantikan. Sehingga tidak dapat disalahkan ketika kemudian

salah seorang pakar pop culture di Indonesia, Idi Subandy Ibrahim, memberikan

sebutan era fashion untuk menggambarkan kondisi masyarakat saat ini yang

mengalami perubahan gaya hidup karena pengaruh globalisasi ekonomi,

globalisasi media dan transformasi kapitalisme konsumsi dalam masyarakat. 6

Memang belum semua orang menyadari peran penting pakaian sebagai

suatu bentuk komunikasi nonverbal yang dipakai untuk menyampaikan pesan

kepada orang lain ataupun besarnya peranan pakaian dalam rangka menciptakan

suatu image terutama bagi orang yang ditemui untuk pertama kalinya. Meski

demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa disadari atau tidak sejak lama

sesungguhnya masyarakat sudah menyadari arti pentingnya pakaian melebihi

fungsi utamanya untuk melindungi tubuh pemakainya dari cuaca atau demi alasan

kesopanan. Itulah sebabnya, untuk kesempatan tertentu orang akan cenderung

memikirkan pakaian yang akan mereka kenakan, misalnya pakaian untuk

menghadiri wawancara kerja atau pesta.

Pakaian juga kemudian menjadi identitas pribadi bagi semua orang. Oleh

karena itu memilih pakaian, baik di toko maupun di rumah, berarti mendefinisikan

dan menggambarkan diri kita sendiri 7. Contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari

5

Chaney, David. Lifestyles : Sebuah Pengantar Komprehensif. Jalasutra. 2003. hal 8 dalam kata pengantar oleh Idi Subandy Ibrahim

6 Ibid

(17)

commit to user

4

di mana dapat dilihat orang menggunakan pakaian dengan sengaja untuk

merepresentasikan dirinya kepada masyarakat adalah pemilihan pakaian (fashion)

oleh kelompok transeksual atau transgender.

Perlu difahami terlebih dahulu bahwa ada perbedaan antara penggunaan

isitilah transeksual dan transgender secara harfiah. Transseksual adalah orang

yang berusaha mengubah jenis kelaminnya menjadi jenis kelamin lawan jenisnya

(the opposite gender). Sementara transgender digunakan untuk menggambarkan

keadaan mental seseorang yang merasa dirinya tidak berada pada gender yang

tepat, namun tidak berusaha merubah jenis kelaminnya. 8 Yang menyamakan

mereka adalah perilaku berpakaian mereka yang tidak sesuai dengan kontruksi

gender yang diterapkan dalam masyarakat. Kelompok transesksual ataupun

transgender ini menjadi contoh nyata bahwa pakaian merupakan salah satu bentuk

komunikasi nonverbal penting bagi mereka dalam menyampaikan kepribadian

mereka kepada masyarakat dan termasuk di dalamnya adalah pemilihan orientasi

seksual mereka sebagai seorang homoseksual.

Teori pakaian dan orientasi seksual sebenarnya tidak secara eksklusif

dimiliki oleh kelompok transeksual/transgender. Ada kelompok homoseksual

yakni gay dan lesbian yang barangkali juga memiliki pakem-pakem tersendiri

dalam berpakaian atau berperilaku terutama dalam melihat peran mereka dalam

berhubungan dengan pasangannya. Dalam menemukan “sesama” di lingkungan

yang masih menganggap orientasi seksual berbeda sebagai hal yang tabu, banyak

dari kaum gay ini mengandalkan gaydar, yang merupakan sebutan bagi istilah gay

8

(18)

commit to user

5 radar (istilah kaum gay bagi kemampuan mereka mendeteksi seseorang dengan

orientasi seksual sama). Fashion maupun gesture tertentu, lantas, menjadi sangat

krusial peranannya, karena dalam upaya untuk mengembangkan pergaulan dengan

orientasi seksual semacam itu memerlukan penanda-penanda tertentu untuk

menentukan siapa memerankan peran sebagai siapa. Namun tentu saja pemikiran

ini memerlukan pengkajian lebih lanjut, karena sebagian besar kelompok

homoseksual dengan orientasi sebagai gay dan lesbian menolak untuk

mengkategorisasikan peran mereka dari penampilan luar karena menurut mereka

itu adalah pakem bagi kelompok heteroseksual dan tidak berlaku dalam kelompok

homoseksual.

Berbeda halnya dengan kelompok transeksual atau transgender yang

dengan sangat jelas mendefinisikan orientasi seksual dan sekaligus kepribadian

mereka melalui fashion yang mereka pilih. Lalu apakah yang sebenarnya ingin

dikomunikasikan oleh kelompok transeksual atau transgender ini dengan

pemilihan fashion yang memiliki kecenderungan kuat bertentangan dengan jenis

kelaminnya sendiri? Transeksual maupun transgender biasanya sejak usia dini

menyadari bahwa dirinya secara fisik bukanlah dirinya secara mental, misalnya

laki-laki yang merasa terperangkap dalam tubuh perempuan ataupun sebaliknya.

Seiring dengan pertumbuhan usia, kelompok transeksual dan transgender ini

berusaha mengakomodir kebutuhan dirinya untuk menampakkan sisi dirinya yang

(19)

commit to user

6

sesungguhnya, salah satu caranya adalah dengan menampilkan identitas baru

melalui pakaian. 9

Masyarakat kita mungkin sudah sangat akrab dengan sosok transeksual

atau transgender dalam kehidupan sehari-hari, terutama transeksual atau

transgender MTF (male to female) atau yang lazim disebut waria. Istilah waria

pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1983 di wilayah Jawa Timur, yang

mana kata ini merupakan akronim dari wanita-pria. 10

Untuk kasus di Indonesia tidak semua waria dalam kesehariannya

berperilaku cross-dressing (memakai pakaian lawan jenisnya) setiap saat. Prof. Dr.

Sarlito Wirawan Sartono dalam artikel yang berjudul “Dari Homoseks ke

Metroseks” menyebutkan bahwa kebanyakan waria di Indonesia cenderung

menjadi waria paruh waktu (siang Hartono malam Hartini).11 Perilaku yang juga

seringkali disebut dragqueen ini tidak jarang hanya dilakukan pada acara-acara

drag show yang biasanya diadakan oleh klub-klub malam.

Menariknya justru fenomena waria ini sebenarnya memiliki keterkaitan

erat dengan akar budaya Indonesia. Sejarah budaya di Indonesia mencatat adanya

beberapa seni pertunjukan yang memang memakai waria sebagai unsur utama

dalam pentasnya, sebut saja kesenian ludruk dan gandrung yang berasal dari

daerah Jawa. Terdapatnya peran waria dalam panggung ludruk maupun gandrung

dimungkinkan kontruksi sebagian agamawan (Islam) yang dulu menolak

tampilnya perempuan dalam pentas pertunjukan. Hal ini kemudian disiasati

9 ibid

10 http://bambangpriantono.multiply.com/Indonesia, Dangerously Beautiful!!!!/ Kata Bahasa Indonesia Hari Ini : "WARIA". Diakses pada 27 Maret 2008 pukul 19.26 WIB.

(20)

commit to user

7

dengan cara merias laki-laki sebagai perempuan, dengan merubah gaya dan

penampilan selayaknya perempuan, kekenesan, kekonyolan dan sekaligus

banyolan-banyolan yang sengaja diperagakan oleh waria untuk menjadi magnet

dalam pertunjukan12.

Tidak mengherankan jika kemudian di wilayah lain Indonesia seperti

Soppeng, Bugis, Sulawesi Selatan ditemukan pula peranan waria dalam ritual

kebudayaannya. Waria (atau biasa disebut calabai) di daerah ini justru dihormati

dan dijadikan sebagai salah satu unsur penting dalam ritual upacara keagamaan

mereka. Calabai yang disebut Bissu dalam upacara keagamaannya tidak pernah

menerima perlakuan buruk dari masyarakat sekitarnya meski mereka senang

berdandan layaknya perempuan dan senang merayu pria. 13 Selain itu di

Kalimantan, tepatnya di Suku Dayak Ngaju juga dikenal adanya pendeta-pendeta

perantara yang mengenakan pakaian lawan jenis. 14

Penelitian ini nantinya akan mencoba mengungkapkan bagaimana fashion

dapat digunakan untuk mengkomunikasikan kepribadian pemakainya, dan sebagai

contoh kasusnya adalah pemilihan orientasi seksual yang dinyatakan melalui

pakaian yang dikenakan oleh para waria, karena dapat dipastikan waria memiliki

orientasi seksual sebagai homoseksual. 15 Penelitian ini juga ingin memotret lebih

jauh apa yang menjadi alasan bagi para waria untuk berpakaian seperti lawan

jenisnya, apakah sebagai suatu bentuk keinginan untuk diakui sebagai suatu

12 Anoegrajekti, Novi. Tandak Ludruk : Ambiguitas dan Panggung Identitas dalam Srintil (ed) Menggugat Maskulinitas dan Feminitas. 2003. Depok : Kajian Perempuan Desantara. Hal 18. Dikutip dari Puspitosari, Hesti dan Pujileksono, Sugeng. Waria dan Tekanan Sosial. 2005. Malang : Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Hal 37.

13 ibid 14

(21)

commit to user

8

gender tersendiri (the third gender), ataupun dimungkinkan sebagai perwujudan

keinginan untuk mengkonstruksikan dirinya sebagai perempuan, atau bahkan

sebagai bentuk perlawanan terhadap kontruksi gender dalam masyarakat dan

bagaimana pakaian membantu pembentukan identitas baru seorang waria. Perlu

diketahui bahwa tidak semua waria ingin dianggap perempuan. Ada sebagian

yang justru merasa lebih nyaman dianggap sebagai waria saja. 16 Kondisi ini

menggambarkan suatu indikasi bahwa sebagian waria menginginkan pengakuan

diri mereka sebagai suatu gender tersendiri.

Cara fashion waria yang berbeda dengan apa yang lazim ada di dalam

masyarakat, yaitu melakukan cross dressing merupakan contoh dari bentuk

pemanfaatan komunikasi non verbal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

komunikasi non-verbal sangat penting dalam menyampaikan pesan-pesan yang

dasar tanpa harus menggunakan komunikasi verbal sekalipun. Untuk melihat lebih

jelas tentang penerapan komunikasi non-verbal pada pola fashion waria ini

digunakan metode etnologi, yang menggunakan pendekatan budaya, dimana

seperti disebutkan di awal waria memiliki keterkaitan erat dengan akar budaya

Indonesia, dimana waria ini dalam proses pembentukan identitas diri nya baik

secara pribadi maupun sosial cenderung menciptakan komunitas baru dan hidup

berkelompok dengan komunitasnya sehingga bisa dianggap sebagai kelompok

budaya tertentu. Untuk itulah etnografi dipilih sebagai pendekatan yang

digunakan untuk menganalisa bentuk identitas yang disampaikan waria melalui

pakaiannya.

16

(22)

commit to user

9

B. RUMUSAN PERMASALAHAN

Fokus penelitian ini adalah untuk melihat konteks fashion sebagai suatu

bentuk komunikasi non-verbal yang berkaitan dengan identitas diri. Sebagai

contoh kasusnya kelompok waria yang peneliti anggap sebagai kelompok yang

merepresentasikan orientasi seksual mereka melalui pemilihan fashion yang

dikenakannya.

1. Secara umum penelitian ingin melihat bagaimana pemanfaatan

simbol-simbol komunikasi non-verbal dalam fashion yang

dipergumakan waria dalam membentuk identitas diri mereka.

2. Secara khusus penelitian ini akan menelaah bagaimana fashion

(pakaian, make-up, aksesoris) membentuk identitas diri waria

(23)

commit to user

10

C. TUJUAN PENELITIAN

Sebagaimana yang dinyatakan pada rumusan masalah di atas, penelitian

ini ditujukan terutama sebagai salah satu pengembangan wawasan mengenai studi

komunikasi yang dapat dikatakan sangat luas teritorinya. Jika dirumuskan maka

tujuan penelitian ini adalah :

1. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan

pemanfaatan simbol-simbol komunikasi non-verbal (fashion)

oleh waria berkaitan dengan identitas diri mereka.

2. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan

pemanfaatan pakaian oleh waria dikaitkan dengan identitas

subyektif dan obyektif.

3. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan

pemanfaatan make up oleh waria dikaitkan dengan identitas

subyektif dan obyektif.

4. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan

pemanfaatan aksesoris oleh waria dikaitkan dengan identitas

(24)

commit to user

11

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu wawasan baru bagi kajian

ilmu komunikasi dan juga memberikan manfaat yang baik terutama :

a. Bagi waria : memberikan suatu wawasan baru tentang bagaimana

pemanfaatan pola fashion, baik secara subyektif maupun obyektif,

agar dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan komunikasi

agar terbentuk suatu komunikasi dan penerimaan yang baik bagi

masyarakat di sekitarnya.

b. Bagi keluarga waria : penelitian ini diharapkan mampu

memberikan wawasan dan pemahaman terutama bagi keluarga

waria agar dapat menerima dengan baik keputusan dari anggota

keluarganya untuk melakukan transisi secara seksual yang

dinyatakan melalui pemilihan fashion yang bertentangan dengan

gender asli seorang waria ketika dilahirkan.

c. Bagi masyarakat umum : label stigma buruk yang diberikan

anggota masyarakat kepada kelompok waria merupakan hal yang

lazim kita temui hampir di setiap kelompok sosial masyarakat.

Melalui penelitian ini, diharapkan masyarakat pada umumnya

dapat memahami adanya kebutuhan waria untuk

mengkomunikasikan identitas seksual mereka melalui pemilihan

fashion. Karena dinyatakan sebagai kebutuhan ,selayaknya-lah

(25)

commit to user

12

sosial agar dapat berdampingan hidup secara damai dengan para

waria.

d. Bagi pengambilan keputusan dari berbagai instansi terutama dinas

sosial : waria adalah kelompok yang dapat dikatakan tidak

mendapatkan porsi selayaknya dalam hal kesejahteraan sosial

dimana tidak banyak atau bahkan bisa dikatakan tidak ada bidang

pekerjaan formal yang bisa dijalani oleh waria. Yang harus kita

fahami terlebih dahulu adalah keputusan untuk menjadi seorang

waria tidak pernah menjadi sebuah keputusan yang mudah bagi

siapapun, namun kebutuhan untuk mengkomunikasikan identitas

diri tentunya dimiliki oleh siapapun termasuk waria. Melalui

penelitian ini diharapkan agar kebutuhan pengkomunikasian

identitas diri ini dapat ditanggapi secara bijak dan positif sehingga

bisa memberikan output yang baik bagi kehidupan waria di

(26)

commit to user

13

E. TELAAH PUSTAKA

1. Komunikasi

Kegiatan yang akan terus menerus dilakukan manusia di sepanjang

hidupnya adalah berkomunikasi. Komunikasi memang merupakan kebutuhan

dasar manusia. Dengan komunikasi orang menyampaikan keinginannya, baik

secara langsung maupun tidak langsung, verbal maupun nonverbal. Bahkan untuk

orang yang memiliki keterbatasan sekalipun, komunikasi tetap penting adanya.

Untunglah kemajuan teknologi saat ini semakin memudahkan manusia untuk

berkomunikasi dengan manusia lainnya.

Jika ditinjau dari asal kata, komunikasi (communication) berasal dari kata

Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama

di sini maksudnya adalah sama makna. 17 Untuk mendapatkan komunikasi yang

efektif maka haruslah ada persamaan makna, persamaan persepsi antara pemberi

pesan dengan penerima pesan. Dalam ilmu psikologi sering diungkapkan bahwa

makna dari sebuah kata bukan berada dalam kata itu sendiri, melainkan terletak

pada komunikator dan komunikannya sendiri. Itulah sebabnya kadang ada dua

kata yang sama memiliki makna yang berbeda ketika dipakai oleh dua komunitas

yang berbeda (ambiguitas).

Komunikasi dapat berlangsung secara langsung (face to face) ataupun

memakai perantara. Perantara ini, atau yang lazim disebut media, bisa berupa

telepon, televisi, koran dan media lain yang dapat digunakan untuk penyampaian

(27)

commit to user

14

pesan. Pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi pada dasarnya bersifat

abstrak. Manusialah yang memberikan makna pada pesan-pesan tersebut. Untuk

dapat memaknai pesan ini manusia menciptakan lambang komunikasi, yang dapat

berupa mimik, gesture, suara, bahasa lisan dan bahasa tulisan, simbol dan

sebagainya.

Lambang komunikasi dapat dibedakan menjadi lambang komunikasi

umum, yaitu lambang komunikasi yang digunakan untuk tujuan umum dalam

berbagai bidang kehidupan manusia, contohnya mimik, gerak-gerik, suara, bahasa

lisan dan bahasa tulisan. Sedangkan lambang komunikasi khusus hanya digunakan

untuk tujuan-tujuan khusus, tertentu pada salah satu bidang kehidupan saja. 18

Contohnya, warna, jika digunakan pada lampu lalu lintas, maka kita memaknai

merah sebagai stop, sementara jika merah kita maknai pada bendera negara kita

maka ia akan diasosiakan sebagai penjabaran sifat berani, dan memang seringkali

warna merah dikaitkan dengan sifat berani. Bahkan ilmu psikologi memiliki ilmu

turunan psikologi warna yang khusus mempelajari tentang warna dan berbagai

pengaruhnya.

Selain warna, cara berpakaian, parfum yang dipilih, sepatu yang

dipakai dan atribut-atribut lainnya dalam perlambangan komunikasi khusus

dianggap sebagai upaya untuk mengkomunikasikan pribadi pemakainya.

Selain lambang komunikasi umum dan khusus, ada pula yang

disebut lambang komunikasi verbal dan nonverbal. Termasuk dalam kategori

verbal adalah bahasa lisan dan bahasa tulisan. Sedangkan yang masuk kategori

(28)

commit to user

15

nonverbal adalah mimik, gerak-gerik, serta suara. 19 Dengan mengkaitkan kategori

verbal-nonverbal pada kategori umum-khusus, kita bisa mendapatkan

pengkategorisasian dengan lebih detil, contohnya20:

a. Lambang Komunikasi Verbal-Umum : bahasa lisan dan

bahasa tulisan.

b. Lambang Komunikasi Verbal-Khusus : bahasa lisan dan

bahasa tulisan yang penggunaannya khusus pada bidang atau

kalangan tertentu, misalnya bahasa kaum waria, contohnya

mereka menyebut dandan dengan dendong, dsb.

c. Lambang Komunikasi Nonverbal-Umum : suara, mimik,

dan gerak-gerik. Misalnya, tersenyum berarti bahagia.

d. Lambang Komunikasi Nonverbal-Khusus : warna, gambar,

dan nada.

2. Komunikasi Non-Verbal

Komunikasi non-verbal adalah bentuk komunikasi yang tidak

menggunakan kata-kata, baik lisan maupun tulisan. Pada awalnya pengetahuan

tentang komunikasi verbal lebih banyak mengarah pada pesan-pesan

non-verbal yang dikomunikasikan oleh gerakan tubuh, gerakan mata, ekspresi wajah,

sosok tubuh, penggunaan jarak (ruang), kecepatan dan volume bicara. 21 Namun

seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pembelajaran tentang

19 Ibid 20 Ibid, hal 63

21

(29)

commit to user

16

komunikasi non-verbal pun menjadi luas bidangnya. Komunikasi non-verbal tidak

lagi dibatasi hanya pada pesan-pesan non-verbal yang dihasilkan oleh tubuh

manusia. Berbagai benda kemudian disadari dapat juga dimanfaatkan untuk

menyampaikan pesan-pesan non-verbal. Pakaian, gaya rambut, parfum yang

digunakan, secara personal dianggap sebagai salah satu cara untuk

menggambarkan tingkah laku, perasaan ataupun kepribadian seseorang22. Bahkan

ilmu arsitektur mengakui bahwa ada satu keterkaitan antara desain arsitektural,

seperti pemilihan bentuk, warna hingga pemilihan dekorasi ruangan sebagai suatu

usaha komunikasi non-verbal untuk menggambarkan kepribadian dari pemilik

ruangan tersebut23.

Dapat dikatakan bahwa manusia diakui memiliki kemampuan untuk

berkomunikasi dengan menggunakan tubuh dan penampilannya, serta melalui

lingkungan yang ia ciptakan di mana ia tinggal di dalamnya. Terlebih lagi

penelitian yang dilakukan dalam ilmu komunikasi juga menyimpulkan bahwa

komunikasi non-verbal lebih sulit dimanipulasi dibandingkan dengan petunjuk

verbal (kata-kata)24.

Komunikasi non-verbal memiliki berbagai fungsi, yaitu25:

a) Untuk menekankan.

b) Untuk melengkapi (complement).

22 ibid

23 Disarikan dari Santosa, Revianto. B, Semiotika dalam Arsitektur-Pendekatan non-verbal, dilansir pada

www.ftsp1.uii.ac.id/twiki/pub/Main/TeoriSemiotikaKritikArsitekturR/SEMIOTIKA-2.pdf -

Diakses pada 26 Juni 2008, pukul 22:48 24 Op.cit

25

(30)

commit to user

17

c) Untuk menunjukkan kontradiksi.

d) Untuk mengatur.

e) Untuk mengulangi.

f) Untuk menggantikan pesan verbal.

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya salah satu alat komunikasi

non-verbal adalah pakaian. Berkomunikasi tidak dapat ditampik merupakan suatu

kebutuhan primer bagi manusia, demikian pula halnya dengan berpakaian.

Manusia tidak bisa hidup tanpa pakaian, baik itu untuk alasan melindungi diri dari

cuaca maupun untuk alasan kesopanan. Menjadi menarik ketika kemudian kedua

kebutuhan primer manusia ini memiliki peran ganda yang searah yang mana

keduanya seringkali dimanfaatkan oleh manusia untuk menyampaikan

kepribadiannya kepada orang lain diluar dirinya. Mungkin orang sudah banyak

mengetahui fungsi pakaian dari segi psikologi ataupun sosiologi. Untuk itu perlu

dipahami dengan lebih jelas maksud dari konsep fashion bila ditinjau dari sisi

komunikasi

3. Fashion sebagai Komunikasi

Pesan-pesan yang disampaikan melalui proses komunikasi dapat berupa

pesan verbal maupun pesan nonverbal. Pesan verbal berupa kata-kata dan teks

yang umumnya digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari dan cenderung

memiliki makna yang serupa atau sama pada kelompok masyarakat tertentu.

Sementara pesan non-verbal cenderung lebih kompleks, karena tidak hanya

(31)

commit to user

18

salah satu penentu interpretasi pesan non-verbal. Pada awalnya, kajian ilmu

komunikasi melihat pesan-pesan nonverbal ada untuk memperkuat pesan verbal,

misalnya ketika berkomunikasi orang juga menggunakan gesture, mimik, intonasi

dan sebagainya yang mana dalam masyarakat tertentu biasanya pesan-pesan

non-verbal ini telah memiliki makna tersendiri yang disepakati bersama. Namun,

seiring dengan perkembangan kajian komunikasi yang makin luas, ditemukan

pula berbagai pesan non-verbal yang tidak terbatas pada tubuh komunikator.

Salah satu diantaranya adalah fashion.

Fashion bergerak dari fungsinya sebagai alat untuk melindungi badan

dari cuaca, dan juga sebagai alasan kesopanan, menjadi sebuah alat komunikasi

yang bisa sangat efektif untuk menyampaikan pesan yang ingin ditransfer oleh

komunikator kepada komunikan. Ada banyak contoh yang dapat dikemukakan

untuk memperlihatkan bagaimana fashion dapat menjadi bentuk komunikasi.

Misalnya, ketika melihat seorang perempuan berjilbab, tanpa perlu diterangkan

kita sudah dapat mengetahui bahwa orang yang bersangkutan merupakan pemeluk

agama Islam. Begitu pula halnya dengan pendeta, biarawati, biksu dan sebagainya.

Kita bisa mengetahui identitas agama mereka cukup dengan melihat pakaian yang

mereka kenakan.

Roland Barthez dalam bukunya ‘The Language of Fashion’ mengatakan

bahwa :

“ At first sight, human clothing is a very promising subject to research or reflect upon: it is a complete phenomenon, the study of which requires at any one time a history, an economy, an ethnology, a technology and maybe even, as we will see in a moment, a type of linguistics.” 26

(32)

commit to user

19

Barthez melihat fashion sebagai suatu fenomena komplet yang menarik

untuk dijadikan suatu bahan penelitian bagi berbagai disiplin ilmu. Barthez

bahkan menyebutkan bahwa pakaian dapat dikatakan sebagai suatu bahasa. Maka

tidak mengherankan ketika Umberto Eco dalam bukunya ‘Social Life as a Sign

System’ menyarankan untuk berbicara lewat pakaian. 27 Melalui pernyataannya

ini Eco menegaskan bahwa pakaian merupakan salah satu sarana komunikasi yang

efektif dalam menyampaikan pesan-pesan non-verbal.

Untuk dapat lebih memahami posisi fashion sebagai mekanisme

berkomunikasi, lebih dahulu perlu dipahami makna dari fashion itu sendiri. Secara

etimologis, menghubungkan kata “fashion” dengan bahasa Latin, factio yang

berarti “making”, atau “doing”. Makna dasar dari fashion, lantas dapat dirunut ke

belakang, dan merujuk pada aktivitas.28 Ide original dari factio yang kemudian

berkembang ke dalam bahasa Inggris menjadi to factio adalah ide tentang

pemujaan atau fetish. Pendapat yang kian banyak terdengar dari kaum kritis

adalah bahwa fashion merupakan perwujudan komoditas yang dipuja yang paing

banyak diproduksi maupun dikonsumsi di era kapitalis ini.

Oxford English Dictionary menyebutkan beberapa tautan berbeda dalam

mendefinisikan fashion29:

(a) the action or process of making

(b) a particular shape or cut

(c) form

27 Barnard, op.cit, hal 39 28

(33)

commit to user

20 (d) through manner or demeanour

(e) conventional usage of dress

Namun demikian, pengertian fashion di sini masih jauh dari jelas.

Polhemus dan Procter sebagaimana dikatakan oleh Malcolm Barnard

menyebutkan bahwa dalam masyarakat Barat kontemporer, istilah fashion sering

digunakan sebagai sinonim dari istilah adornment (penghiasan), style (gaya), dan

dress (pakaian).30 Ada juga yang menggunakan istilah fashion sebagai sinonim

bagi clothes atau clothing.

“ The attempt to view fashion through several different pairs of spectacles simultaneousy – of aestethics, of social theory, of politics – may result in an obliquity of view, even of astigmatism or blurred vision, but it seems we must attempt it.”

Kaitannya dengan komunikasi, Malcolm Barnard menyebutkan ada

banyak sekali pesan non-verbal yang dapat dikomunikasikan lewat fashion berupa

pakaian, semisal identitas sosial, seksual, kelas, afiliasi politik, budaya, gender,

kerpibadian, dan sebagainya. Roland Barthez ikut menambahkan bahwa secara

psikoanalisis orang memilih pakaian adalah lebih untuk mengekspresikan diri dan

kepribadiannya, dan pilihan ini jika ditinjau dari sisi psikologi dapat dipengaruhi

oleh berbagai faktor seperti iklan, merek, tips-tips fashion, efek windows shopping,

dan lain-lain yang dapat dikategorikan sebagai pengaruh dari lingkungan. Namun

dari segi psiko-analitik menurut Barthez lebih jauh lagi pakaian bahkan dapat

menentukan posisi seseorang nantinya dalam kelompok masyarakat yang menjadi

(34)

commit to user

21

huniannya, misalnya dalam hal kedudukan sosial, seringkali orang memanfaatkan

penampilan untuk menunjukkan kelas sosialnya di masyarakat.

Melalui konteks psiko-analitik inilah pakaian lebih menunjukkan

form-nya sebagai suatu bentuk komunikasi. Sebegitu pentingform-nya dampak dari pakaian

untuk mengkomunikasikan kepribadian kepada orang diluar diri pemakainya

mungkin menyebabkan banyak orang, semisal selebritis, yang bahkan

menggunakan jasa penata kostum untuk penampilan mereka di depan khalayak.

Ada satu fenomena menarik, di mana pilihan orientasi seksual sekalipun

ternyata kadang dapat dilihat dari pemilihan fashion. Meski tentunya kita tidak

dapat menampik kenyataan bahwa tidak semua orang yang memilih orientasi

seksual tertentu memilih fashion yang seragam dengan orang lain yang berada

dalam komunitasnya, namun biasanya ada kesamaan mencolok sehingga dapat

ditarik garis merah antara pemilihan fashion dan pemilihan orientasi seksual

mereka. Tentu akan sangat dangkal jika kita mengklaim orientasi seksual semata

dari cara dia berpakaian, namun setidaknya hal ini diakui sendiri oleh beberapa

orang gay dan lesbian yang pernah peneliti temui. Mereka menyatakan bahwa

secara sepintas lalu mereka dapat melihat apakah seseorang itu gay atau lesbian

hanya dari penampilan luarnya saja. Namun sayangnya mereka tidak dapat

menyebutkan secara spesifik ciri khususnya karena menurut mereka ini lebih

karena ‘gaydar’ atau feeling mereka sebagai pemilik orientasi homoseksual.

Namun jika dilihat secara global, mereka memilih laki-laki yang cenderung

feminin untuk dianggap sebagai gay pada kesan pertamanya, atau perempuan

(35)

commit to user

22

Dalam masyarakat ada satu kelompok yang sudah terdefinisikan orientasi

seksualnya hanya dengan melihat penampilan luarnya, yaitu kelompok waria.

Waria secara orientasi seksual sudah dapat dipastikan adalah homoseksual. Dan

dari segi penampilan luar tentunya tidak sulit bagi siapapun untuk membedakan

waria dari pemilihan fashionnya, meski memang kadang ada beberapa waria yang

tampilannya sudah sangat menyerupai perempuan sehingga sulit dibedakan yang

mana perempuan asli dan mana waria. Hal ini membuktikan bahwa fashion

menjadi statement penting bagi waria dalam mendefinisikan kepribadian mereka.

Seperti apa deskripsi keperibadian yang diekspresikan melalui pakaian oleh para

waria inilah yang akan menjadi ruh dari penelitian ini.

4. Waria dan Identitas Diri

Waria adalah seseorang yang memiliki ketidaksesuaian antara fisik dan

identitas gendernya. Mereka merasa bahwa jauh dalam dirinya , biasanya sejak

masa kanak-kanak, mereka adalah orang yang berjenis kelamin beda dengan

dirinya saat ini31. Adanya ketidaksesuaian ini mengakibatkan waria tidak senang

dengan alat kelaminnya dan ingin mengubahnya. Untuk mendukung perubahan

tersebut maka waria akan bertingkah laku seperti perempuan dan

mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan dengan cara berdandan sebagai

perempuan32. Ketika gangguan tersebut mulai terjadi pada masa kanak-kanak, hal

tersebut akan dihubungkan dengan dengan banyaknya perilaku lintas gender,

31 Perroto, R.S.,&Culkin, J. Exploring Abnormal Psycology.New York:Harpercollins College Publisher. 1993. Hal 78

32

(36)

commit to user

23

seperti berpakaian seperti perempuan, dan melakukan permainan yang secara

umum dianggap sebagai permainan perempuan33.

Faktor penyebab munculnya perubahan perilaku dari laki-laki menjadi

waria dapat ditinjau dari beberapa perspektif yaitu: biologis, behavioristik dan

sosiokultural 34 . Perspektif biologis berkaitan dengan masalah hormonal,

behavioristik berkaitan dengan penguatan yang diberikan oleh keluarga atau orang

lain ketika anak laki-laki berperilaku/berpenampilan seperti perempuan,

sedangkan perspektif sosiokultural berkaitan dengan faktor budaya yang diduga

mempengaruhi perubahan laki-laki menjadi waria.

Waria dapat dikatakan sebagai jenis kelamin ketiga, yang memiliki sifat

antara pria dan wanita tetapi bukan penggabungan diantara keduanya. Waria

memiliki ketidaksesuaian secara fisik, psikis dan seks, dimana secara fisik waria

berwujud sebagai laki-laki, sementara secara psikologis dia bertingkah laku

seperti perempuan dan memiliki penyimpangan perilaku seksual.

Secara psikiatrik waria dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu 35:

a. Kelompok transeksual, laki-laki yang mengalami ketidak serasian pada

jenis biologis dan kelamin mereka sehingga memiliki keinginan untuk

menghilangkan dan mengganti alat kelaminnya dan hidup sebagai lawan

jenisnya. Sebagai langkah awal mereka akan menghilangkan ciri khas

33 Davidson, G.C., Neale, J.M., & Kring, A.M. Abnormal Pscyology. New York : John Willey and Sons, inc. 2006. Hal 14

34 Nevid, J.S, Rathus, S.A, Greene,B. Abnormal Pschyology in a Changing World. 2th Edition. New Jersey:Prentice Hall, inc. 1994. Hal 27

35

(37)

commit to user

24

laki melalui operasi, misalnya pada payudara, dagu, kelopak mata atau

minimal mereka merasa perlu merias diri dan berpakaian sebagai wanita.

b. Kelompok transvestit, yaitu laki-laki yang mendapat kepuasan ketika

memakai baju perempuan. Perilaku ini biasanya dilakukan pada saat-saat

tertentu saja terutama pada saat ingin berhubungan seksual. Kelompok

transvestit mendapatkan gairah seksual dengan mengenakan pakaian

perempuan. Dari segi orientasi seksual, kelompok transvestit adalah

heteroseksual yang biasanya menikah.

c. Kelompok homoseksual penderita transvestisme, yaitu kelompok

homoseksual yang mendapatkan kepuasan atau gairah seksual dengan

mengenakan pakaian perempuan. Beberapa diantara mereka mengenakan

pakaian perempuan adalah untuk mendapatkan pasangan homoseksial dan

bukan karena memiliki keinginan untuk menjadi transeksual.

d. Kelompok opportunies, laki-laki pada kelompok ini tidak memiliki

kelainan seksual, namun mereka mengenakan pakaian perempuan untuk

mencari nafkah, biasanya adalah seorang entertainer seperti Aming dan

Tata Dado .

5. Waria, Identitas Diri dan Pemilihan Fashionnya

Secara garis besar ada 3 macam orientasi seksual, yaitu heteroseksual,

homoseksual dan biseksual. Heteroseksual adalah hubungan antara laki-laki dan

perempuan yang lazim kita temui dalam masyarakat. Sementara homoseksual

(38)

commit to user

25

perempuan dan perempuan. Biseksual adalah keadaan dimana pelaku seksualnya

dapat melakukan hubungan seksual baik dengan laki-laki maupun dengan

perempuan. Secara kasat mata perilaku sosial dari tiga kelompok orientasi seksual

ini umumnya memiliki perbedaan, dan secara spesifik salah satu diantaranya

adalah pemilihan identitas yang diungkapkan melalui pakaian.

Komunitas homoseksual dan biseksual sering disebut sebagai perilaku

menyimpang dalam masyarakat. Sebenarnya jika ditinjau dari segi perilaku,

kecuali perilaku seksual mereka, komunitas ini sama saja dengan orang

kebanyakan. Namun mereka biasanya memiliki ciri khusus pada cara

berpenampilan dan berperilaku36.

Meski demikian tidak berarti penampilan luar dari kelompok homoseksual

maupun biseksual ini bisa dengan mudah terbaca oleh masyarakat awam. Sebagai

contoh kelompok gay. Lazimnya laki-laki yang sangat memperhatikan

penampilan dan rajin merawat diri di salon cenderung dianggap gay. Namun sejak

munculnya istilah metroseksual pada tahun 1994 yang pertama kali ditulis oleh

Mark Simpson, seorang penulis asal Inggris, orang-orang tidak lagi serta merta

menganggap bahwa laki-laki yang suka memperhatikan penampilan adalah gay37.

Demikian halnya juga dengan lesbian. Tidak setiap perempuan tomboy adalah

lesbian, ataupun tidak semua lesbian harus tomboy. Jadi jika hendak mengkaitkan

perihal pemilihan orientasi seksual dan penampakan penampilan luar, waria lah

objek yang tepat.

36 Diananto, Wayan. Pola Komunikasi On-line dan Off-line gay dalam penggunaan chatroom. 2007. Skripsi pada jurusan Komunikasi UNS Surakarta. hal 27

37

(39)

commit to user

26

Istilah waria merupakan akronim dari “wanita tapi pria”. Istilah lain yang

juga sering digunakan adalah banci yang kemudian bermetamorfosa menjadi

bencong. Ada lagi istilah wadam yang merupakan kependekan dari kata wanita

adam, namun istilah ini sudah tidak begitu populer lagi38.

Waria jika dilihat dari konteks sosiologi merupakan transgender.

Transgender didefinisikan sebagai suatu kecenderungan seseorang untuk

berpenampilan berkebalikan dari jenis kelaminnya atau berkebalikan dari fungsi

gender yang dikonstruksikan masyarakat. Sementara dari konteks psikologis,

waria adalah seorang transeksual yang merasa dirinya tidak berada pada raga yang

tepat sehingga cenderung ingin mengubah perilakunya dengan jenis kelamin yang

berseberangan dengan kondisi lahiriahnya dan bahkan beberapa diantaranya

mengubah alat kelaminnya menjadi lawan jenisnya (the opposite gender)39.

Karena kondisi psikologisnya inilah maka waria berperilaku transvestit atau

cross-dressing. Mereka menggunakan pakaian dari lawan jenisnya dan

menciptakan identitas baru sebagai seorang perempuan, dengan mengubah nama

panggilan misalnya.

Pilihan mereka yang ekstrim untuk berganti penampilan yang berlawanan

dengan identitas seksual aslinya ini tentunya bukan tanpa resiko. Penolakan dari

masyarakat akan menjadi momok utama kelompok ini, karena sebagian besar

masyarakat kita masih menganggap waria sebagai penyakit masyarakat. Belum

lagi sulitnya mencari pekerjaan, membuat kartu identitas dan sejumlah masalah

sosial lainnya yang seringkali membuat kelompok waria ini cenderung menarik

38 http://bambangpriantono.multiply.com/style-custom/bambangpriantono/31/custom.css, judul artikel Indonesia, Dangerously Beautiful, diakses pada 27 Maret 2008 pukul 19.49 WIB

(40)

commit to user

27

diri dari masyarakat, dan lebih suka bergaul hanya dengan sesama waria bahkan

cenderung mencurigai orang lain di luar komunitasnya. Masalah penerimaan

masyarakat ini pada akhirnya menyeret banyak waria mengais rejeki di jalan

dengan menjadi pengamen, bahkan PSK, sehingga sering kali masyarakat

mengidentikkan waria dengan penghibur jalanan.

Namun, ternyata kenyataan ini tidak menghambat para waria untuk

berekspresi lewat pakaiannya. Menurut mereka, disukai atau tidak, mereka

memiliki kebutuhan yang tidak terelakkan untuk berpenampilan sesuai dengan

panggilan jiwa masing-masing. Disilah letak keistimewaaan fashion, di mana

fashion tidak sekedar bisa untuk menutupi kekurangan dalam tubuh atau sekedar

menutup bagian tubuh untuk alasan kesopanan, namun lebih jauh lagi fashion

dapat membawa pemakainya untuk menunjukkan kepribadiannya bahkan

menyerukan pemberontakan sekalipun. Hal ini dianggap sebagai suatu fungsi

komunikasi, di mana fashion dianggap sebagai alat komunikasi yang berfungsi

menyampaikan keinginan pemakainya untuk menunjukkan image apa yang ingin

ia sampaikan melalui pakaiannya hingga bahkan fashion menjadi jembatan

pembentukan identitas diri.

Identitas dapat dilihat dari dua kacamata, yaitu kacamata subjektif yaitu

bagaimana orang tersebut melihat dirinya, dan yang kedua kacamata objektif yaitu

bagaimana orang menilai dirinya. Identitas diri bagi waria adalah identitas

subjektif yang dikembangkan, dimana mereka berusaha mengubah pandangan

(41)

commit to user

28

F. DEFINISI KONSEP 1. Waria

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, waria adalah suatu fenomena

tersendiri dalam masyarakat. Disukai atau tidak, keberadaannya ada di

tengah-tengah kehidupan sosial kita, meski memang seringkali keberadaan mereka

terpinggirkan oleh berbagai nilai moral maupun agama yang seringkali

mengganggap perilaku ‘menyimpang’ mereka tidak sesuai dengan nilai-nilai yang

dianut sebagian besar masyarakat. Tentunya penelitian ini tidak untuk melihat

waria dengan segala dilema sosial yang dihadapi, tapi penelitian ini adalah sebuah

bentuk uraian deskriptif akan kuatnya pengaruh penyampaian komunikasi, bahkan

yang tanpa melibatkan ‘kata’ sekalipun. Pesan non-verbal justru adalah salah satu

jenis pesan yang sulit dimanipulasi keberadaannya, meski memang sama seperti

pada pesan verbal, interpretasi berbeda tentunya masih tidak dapat dihindarkan.

Bagi peneliti waria menjadi menarik karena melalui sosok waria kita

mampu melihat fungsi lebih dari fashion, baik itu pakaian, make up maupun

aksesoris. Mengapa dikatakan memiliki fungsi lebih? Selama ini sebagian besar

orang cenderung menggunakan fashion, terutama pakaian, sebatas fungsi utama

dari pakaian tersebut yaitu untuk melindungi diri dari cuaca dan sebagai bagian

dari norma kesopanan. Tidak semua orang menggunakan pakaian sebagai suatu

kekuatan untuk membentuk persepsi orang tentang image yang ingin dia bentuk.

Sama halnya dengan penggunaan aksesoris maupun make-up sebagai statement

pendukung dari suatu usaha pembentukan persepsi akan keberadaan seseorang.

(42)

commit to user

29

menaiki ‘tangga pergaulan sosial’ dan biasa disebut kaum jetsetter adalah

kelompok orang yang paling memperdulikan fashion, baik itu pakaian, make-up

maupun aksesoris, sebagai simbol kemapanan, status sosial, kelas dan

simbol-simbol sosial lainnya.

Namun di luar kelompok ini tentunya kaum waria-lah yang menjadi

sorotan utama sebagai subjek yang memanfaatkan pesan nonverbal dari fashion

untuk mendefinisikan siapa mereka. Siapa mereka disini dimaknai sebagai jiwa

asli yang hendak mereka keluarkan dari kungkungan fisik, karena setiap waria

adalah perempuan yang merasa terperangkap dalam tubuh laki-laki. Meski

kemudian banyak dari waria yang menyadari sepenuhnya mereka bukan lah

perempuan, dan kemudian menjadi lebih nyaman dengan posisi sebagai gender

ketiga (gender semu) dalam masyarakat dan tidak berusaha untuk menjadi

perempuan seutuhnya dengan operasi kelamin dan sebagainya.

2. Fashion (pakaian, make up, aksesoris)

The Age of Fashion. Era fashion. Demikian istilah yang dipakai oleh pakar

pop culture, Idi Subandy Ibrahim, untuk menggambarkan keadaan masyarakat

saat ini40. Anggapan ini berawal dari keadaan sosial masyarakat yang mulai

memberikan porsi perhatian berlebih terhadap industri mode dan fashion di tanah

air. Hal ini ditandai dengan bertumbuhnya pusat perbelanjaan bergaya semacam

shopping mall serta serbuan majalah-majalah mode dan gaya hidup transnasional

dalam edisi khusus Indonesia maupun majalah terbitan negeri sendiri yang

(43)

commit to user

30

menggunakan fashion sebagai salah satu porsi utama dalam terbitannya41. Belum

lagi acara-acara televisi yang mengulas seputar fashion dan kecantikan. Tak pelak

lagi, julukan era fashion sepertinya tepat sekali jika digunakan untuk menamai

perubahan gaya hidup masyarakat yang sebagian besar dipengaruhi globalisasi

ekonomi, globalisasi media dan transformasi kapitalisme konsumsi dalam

masyarakat42.

Lalu mengapakah fashion dapat menyita perhatian masyarakat? Hal ini

dapat terjadi karena masyarakat mulai terdidik untuk memahami bahwa fashion

dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengkomunikasikan identitas diri

kepada orang lain. Bahkan dalam beberapa kasus, fashion dapat dijadikan sebagai

kekuatan untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh pemakainya. Misalnya,

untuk mendapatkan kesan baik ketika melakukan wawancara kerja orang akan

berusaha untuk berpakaian serapi dan terlihat seprofesional mungkin. Hal serupa

juga dinyatakan oleh seorang Psikolog Amerika terkemuka, Nancy Etcoff, dalam

bukunya Survival of the Prettiest : The Science of Beauty yang menyebut lookism

sebagai sebuah teori yang menganggap bahwa bila lebih baik tampilan Anda,

maka akan sukseslah Anda dalam kehidupan43. Teori ini berkaitan erat dengan

teori psikonalisis Sigmund Freud yang memandang bahwa kebanyakan manusia

normal memiliki hasrat untuk memandang dan memperoleh kesenangan lewat

pandangan atas segala yang mereka jumpai. Kesenangan dalam memandang ini

41Chaneyop.cit. hal 8 dalam kata pengantar oleh Idi Subandy Ibrahim 42

(44)

commit to user

31

biasanya disebut scopofilia44. Namun istilah ini dalam dunia kedokteran jiwa lebih

sering dikaitkan dengan cara mendapatkan kesenangan untuk mendapatkan

kepuasan secara seksual.

Fashion secara garis besar terdiri atas 3 item yaitu pakaian, aksesoris

dan make up. Ketiga hal ini secara berkala akan mengalami recycle. Poin

terpenting dari fashion sendiri bagi sebagian besar orang dan yang paling

mendapat porsi perhatian lebih adalah pakaian, sehingga kemudian pakaianlah

yang paling banyak berbicara tentang siapa kita. Disadari atau tidak, pakaian yang

kita pilih bisa mempengaruhi kesan yang diberikan orang terhadap kita, terlebih

orang yang baru pertama kali kita temui. Orang dapat memperkirakan bagaimana

watak dan kepribadian kita dari pakaian yang kita kenakan. Bahkan meski kita

sendiri tidak memikirkan kesan apa yang hendak kita tampilkan ketika memilih

satu pakaian, tapi orang yang berinteraksi dengan kita mungkin akan tetap

menafsirkan penampilan kita seolah-olah ada pesan tertentu yang hendak

disampaikan lewat penampilan kita. Jika dalam psikologi kita mengenal istilah

persepsi, maka pakaian menjadi salah satu instrumen pencitraan persepsi untuk

mengkomunikasikan kepribadian kita kepada dunia luar. Persepsi sendiri

didefinisikan sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa atau

hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan

pesan45.

44 Freud, Sigmund. On Sexuality, Pelican Freud Library, vol 7, dalam Angela Richards (ed.), Harmondsworth : Penguin Books, 1977. hal 69. Dipetik dari Fashion sebagai Komunikasi : Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender karya Malcolm Barnard. Jalasutra. Bandung. 2006. hal 164

(45)

commit to user

32 Adanya proses penyampaian pesan ketika berpakaian membawa

pakaian untuk dapat dikategorikan sebagai bentuk komunikasi nonverbal. Pakaian

dipandang memiliki suatu fungsi komunikatif. Pakaian, kostum dan dandanan

adalah bentuk komunikasi artifaktual. Karena menyampaikan pesan-pesan

nonverbal, maka ia termasuk komunikasi nonverbal46.

Lalu bagaimanakah asal mulanya fashion dikaitkan dengan pemilihan

orientasi seksual? Pada awalnya masyarakat mengenal istilah maskulinitas yag

dilekatkan pada sosok kepribadian seorang pria, dan feminitas pada kepribadian

wanita. Definisi maskulin dan feminin ini kadang memiliki karakteristik yang

berbeda antara satu budaya dengan budaya yang lain. Tapi pada dasarnya

maskulinitas dikaitkan dengan perilaku agresif, mendominasi dan bekerja di luar

rumah. Sementara menjadi feminin yang pantas maka ia harus menjadi sosok

yang peduli, santun, dan menjaga47. Feminin juga dikaitkan dengan perilaku

ekshibionisme yang menjelaskan mengapa perempuan senang berdandan dan

menjadi pusat perhatian. Sementara menjadi maskulin lebih didekatkan dengan

perilaku voyeurisme dan fethisisme yang menjelaskan bagaimana pria selalu

senang bereaksi ketika melihat wanita cantik ataupun sexy, yang akhirnya

menempatkan pria di posisi penonton (beholder)48. Namun pada kenyataanya

tidak semua pria memiliki perilaku maskulin, dan demikian pula wanita, tidak

semuanya memiliki perilaku feminin. Dalam masyarakat seringkali kita melihat

pria yang kewanita-wanitaan (sering dipanggil dengan istilah banci) dan wanita

yang kepria-priaan (tomboy). Mereka inilah yang pada akhirnya menimbulkan

(46)

commit to user

33 prasangka bahwa adanya keterkaitan antara perilaku yang bertentangan dengan

pola yang biasa diterapkan orang pada umumnya (pria yang feminin dan wanita

yang maskulin, yang mana biasanya juga ditunjukkan melalui pilihan fashion

mereka) dengan pemilihan orientasi seksual, dimana pria yang kewanita-wanitaan

dianggap gay, dan wanita yang kepria-priaan dianggap lesbian.

Setidaknya ada satu perilaku sosial yang tercermin lewat pemilihan

fashion yang terkait dengan orientasi seksual, yaitu waria. Waria merupakan salah

satu bentuk pengekspresian kepribadian melalui pemilihan cara berpakaian yang

mana pemilihan ini menunjukkan orientasi seksual yang mereka miliki.

3. Identitas diri

Identitas dikategorikan menjadi dua bagian yaitu identitas diri dan

identitas sosial. Identitas diri adalah identitas yang dibawa sejak lahir dan

dibentuk secara pribadi seiring dengan perkembangan seseorang. Sementara

identitas sosial adalah identitas yang tercipta karena adanya interaksi sosial

dengan masyarakat di sekitarnya. Identitas diri dan identitas sosial memiliki

keterkaitan yang sangat kuat dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Identitas diri terbagi menjadi dua yaitu identitas subyektif dan identitas

obyektif. Pada waria proses pembentukan identitas baru, baik identitas diri

maupun sosial melibatkan suatu perubahan yang signifikan dan biasanya proses

ini dimulai sejak masa kanak-kanak hingga masa dewasa. Sebagaimana yang

dipaparkan sebelumnya bahwa sebagian besar waria mulai merasa ada yang salah

Gambar

Tabel 4.1 Tipologi  Perilaku.............................................................................
tabel di bawah ini88 :
Tabel 2.2 Perkembangan Homoseksual di Indonesia
Tabel 4.1 Tipologi Perilaku

Referensi

Dokumen terkait