SIFAT DASAR DAN SIFAT PENGOLAHAN KAYU MANIANI
(
Flindersia pimenteliana
F.v. Muell) ASAL TELUK WONDAMA
PAPUA BARAT
RENNY PURNAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Sifat Dasar dan Sifat Pengolahan Kayu Maniani (Flindersia pimenteliana F.v.Muell) asal Teluk Wondama Papua Barat” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Renny Purnawati
RINGKASAN
RENNY PURNAWATI. Sifat Dasar dan Sifat Pengolahan Kayu Maniani (Flindersia pimenteliana F. v. Muell) asal Teluk Wondama Papua Barat. Di bawah bimbingan IMAM WAHYUDI dan TRISNA PRIADI
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari sifat dasar dan sifat pengolahan kayu Flindersia pimenteliana F.v.Muell (maniani) yang diambil dari hutan alam di Teluk Wondama, Papua Barat. Sifat-sifat kayunya secara komprehensif dipelajari agar dapat memberikan informasi dan kontribusi ilmiah yang penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan perkayuan serta pengembangan pemanfaatan kayu F. pimenteliana F.v.Muellyang tepat.
Penelitian dilakukan berdasarkan Deutsche Institute Fuer Normung (DIN standar), Bristish Standard (BS), Asosiasi Teknis Industri Pulp dan Kertas (TAPPI), Standar Nasional Indonesia (SNI) dan American Society for Testing and Materials (ASTM).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu maniani memiliki corak dekoratif, bagian gubalnya berwarna putih hingga merah muda sedangkan bagian terasnya coklat kemerahan, tekstur halus, serat lurus, mengkilap, memiliki aroma yang khas, dan tergolong keras (kelas kuat II). Kualitas serat sebagai bahan baku pulp dan kertas diklasifikasikan ke dalam kelas II yaitu cocok sebagai bahan baku kertas seni dan pengemas.Nilai rata-rata kadar air segar 57.00%,berat jenis 0.61, sedangkan penyusutan tangensial dan radial masing-masing adalah 2.48% dan 1.21%. Kayu cukup stabil dengan rasio susut T/R sebesar 2.05. Rata-rata MOE adalah 108839.40 kg cm-2, sedangkan MOR, keteguhan tekan sejajar serat, kekerasan, keteguhan geser, keteguhan tarik dan keteguhan belah masing-masing adalah 817.43 kg cm-2, 426.33 kg cm-2, 435.75 kg cm-2, 135.71 kg cm-2, 111.60 kg cm-2 dan 16.96 kg cm-2. Kelarutan ekstraktif dalam air dingin, air panas, NaOH 1% dan etanol benzena masing-masing adalah 4.82%, 7.17%, 16.42%, dan 4.30%. Kadar holoselulosa, α-selulosa, lignin, abu dan silika masing-masing adalah 82.91%, 45.54%, 24.74%, 0.50% dan 0.15%. Keawetan alami dari rayap tanah dan penggerek kayu di laut tergolong kelas V (sangat buruk), jamur pelapuk kayu kelas II (agak tahan), dan rayap kayu kering kelas I (sangat tahan). Hasil pengujian aplikasi bahan pengawet secara rendaman dingin menghasilkan nilai retensi 0.97 kg m-3, penetrasi tembaga 0.72 mm dan boron 3.69 mm. Kayu maniani memiliki kualitas pengeringan yang cukup baik bila dikeringkan dengan menggunakan jadwal suhu 50 ºC - 80 ºC dan kelembaban udara 80% - 30%. Sifat pemesinan kayu yang terdiri dari pengetaman, pembubutan dan pemboran tergolong baik, sedangkan pembentukan dan pengamplasan sangat baik. Sifat finishingnya secara umum baik kecuali ketahanan terhadap larutan sabun dan saus.
Berdasarkan sifat-sifat yang diteliti, dapat direkomendasikan bahwa kayu maniani cocok untuk kerajinan, furniture, kayu bentukan (moulding) dan konstruksi interior.
SUMMARY
RENNY PURNAWATI. Basic- and Processing Properties of Maniani (Flindersia pimenteliana F. v. Muell) Wood from Wondama Bay, West Papua. Supervised by IMAM WAHYUDI and TRISNA PRIADI.
Basic- and processing properties of Flindersia pimenteliana F. v. Muell woods from natural forest in Wondama Bay, West Papua were studied comprehensively in order to analyze its proper utilization.
The study was carried out by following standards of Deutsche Institute Fuer Normung (DIN), Bristish (BS), Technical Association of Pulp and Paper Industry (TAPPI), Indonesia (SNI) and American Society for Testing and Materials (ASTM).
The results showed that maniani wood has decorative figure, white sapwood to pinkish and reddish brown heartwood, fine texture, straight grain, lustrous, good smell, moderately soft and light. Its fiber was classified in to class II. Green moisture content was 57.00% and specific gravity was 0.61, while tangential and radial shrinkages were 2.48% and 1.21%, respectively. MOE was 108839.40 kg cm-2, while MOR, compressive strength parallel to grain, hardness, shear strength, tension- and cleavage strengths were 817.43 kg cm-2, 426.33 kg cm-2, 435.75 kg cm-2, 135.71 kg cm-2, 111.60 kg cm-2 dan 16.96 kg cm-2, respectively. The extractives content in cold water, hot water, NaOH 1% and ethanol benzene were 4.82%, 7.17%, 16.42%, and 4.30%, respectively. The contents of holo-cellulose, α-selulosa, lignin, ash and silica were 82.91%, 45.54%, 24.74%, 0.50% and 0.15%, respectively. Natural resistances to subterranean termite, dry-wood termite and decay fungi were classified into V (poorly resistant), I (very resistant) and II (moderately resistant), respectively. Preservative application treatment using cold soaking method showed that its retention was 0.97 kg m-3, while penetrations of copper and boron were 0.72 mm dan 3.69 mm, respectively. The wood was good in drying quality with temperature of 50 ºC – 80 ºC and RH 80% – 30%. Properties of planning, turning and boring were good, while moulding and sanding properties were very good. Finishing properties were generally good except for resistance to soap solution and sauce. Based on these properties studied, it could be recommended that maniani wood is suitable for wood craft, furniture, mouldings and interior construction purposes.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan
SIFAT DASAR DAN SIFAT PENGOLAHAN KAYU MANIANI
(
Flindersia pimenteliana
F. V. Muell) ASAL TELUK WONDAMA
PAPUA BARAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2013
Judul Tesis : Sifat Dasar dan Sifat Pengolahan Kayu Maniani (Flindersia pimenteliana F. Muell) Asal Teluk Wondama Papua Barat Nama : Renny Purnawati
NIM : E251100141
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Imam Wahyudi, MS Ketua
Dr Ir Trisna Priadi, MEngSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan
Prof Dr Ir I Wayan Darmawan, MSc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini berjudul Sifat Dasar dan Sifat Pengolahan Kayu Maniani (Flindersia pimenteliana F. v. Muell) asal Teluk Wondama Papua Barat yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (MSi) pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Imam Wahyudi, MS dan Dr Ir Trisna Priadi, MEngSc selaku pembimbing atas arahan dan motivasi yang diberikan selama proses studi magister, juga kepada Prof Dr Ir I Wayan Darmawan, MSc selaku Dosen Penguji Luar Komisi atas kesediaannya menjadi penguji dan saran yang telah diberikan pada tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Negeri Papua dan Dekan Fakultas Kehutanan UNIPA atas ijin tugas belajar yang telah diberikan, serta kepada Ditjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas bantuan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS). Kepada staf dan laboran di lingkungan Departemen Hasil Hutan IPB dan Fahutan UNIPA, rekan dan sahabat serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dorongan semangat.
Ungkapan terima kasih setulus hati juga disampaikan kepada ayahanda Soebari (alm), ibunda Sutijati, suami tercinta Syafrudin R. Zain, anak-anak permata hati Afifah az Zahra, Iftinan Mardhiyyah, dan M. Aqil Imaduddin serta keluarga besar atas segala dukungan, kasih sayang dan doanya.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
2.1 Waktu dan Tempat Penelitian 2
2.2 Bahan dan Alat 3
2.3 Prosedur Percobaan 3
2.3.1 Pengamatan Struktur Anatomi Kayu 3
2.3.2 Pengujian Sifat Fisis Kayu 5
2.3.3 Pengujian Sifat Mekanis Kayu 6
2.3.4 Pengujian Sifat Kimia Kayu 7
2.3.5 Pengujian Sifat Keawetan Alami Kayu 10
2.3.6 Pengujian Sifat Keterawetan Kayu 14
2.3.7 Pengujian Sifat Pengeringan Kayu 15
2.3.8 Pengujian Sifat Pemesinan Kayu 16
2.3.9 Pengujian Sifat Finishing Kayu 18
2.4 Prosedur Analisis Data 19
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 20
3.1 Struktur Anatomi Kayu 20
3.1.1 Ciri Makroskopis Kayu 20
3.1.2 Ciri Mikroskopis Kayu 21
3.2 Sifat Fisis Kayu 26
3.3.3 Keteguhan Tekan Sejajar Serat 33
3.3.4 Keteguhan Tarik Sejajar Serat 34
3.3.5 Kekerasan Kayu 35
3.3.6 Keteguhan Geser Sejajar Serat 36
3.3.7 Keteguhan Belah 36
3.4 Sifat Kimia Kayu 37
3.4.2 Kadar Holoselulosa, Alfa Selulosa, dan Lignin 39
3.4.3 Kadar Abu dan Silika 40
3.5 Sifat Keawetan Alami Kayu 41
3.5.1 Keawetan Kayu dari Rayap Tanah 41
3.5.2 Keawetan Kayu dari Rayap Kayu Kering 43 3.5.3 Keawetan Kayu dari Jamur Pelapuk Kayu 44 3.5.4 Keawetan Kayu dari Penggerek Kayu di Laut (Marine Borer) 45
3.6 Sifat Keterawetan Kayu 46
3.7 Sifat Pengeringan Kayu 48
3.7.1 Sifat Dasar Pengeringan Kayu 48
3.7.2 Jadwal dan Laju Pengeringan Kayu 49
3.8 Sifat Pemesinan Kayu 50
3.9 Sifat Finishing Kayu 51
4 SIMPULAN 53
DAFTAR PUSTAKA 54
LAMPIRAN 59
DAFTAR TABEL
2.1 Persyaratan dan nilai dimensi serat kayu sebagai bahan baku pulp 4
2.2 Klasifikasi keawetan kayu dari rayap tanah 11
2.3 Penilaian kerusakan contoh uji oleh rayap tanah 11 2.4 Klasifikasi keawetan kayu dari rayap kayu kering 12 2.5 Klasifikasi keawetan kayu dari jamur pelapuk kayu 13 2.6 Klasifikasi keawetan kayu dari penggerek kayu di laut 13 2.7 Suhu dan kelembaban pada awal dan akhir pengeringan berdasarkan
kondisi cacat pengeringan 16
2.8 Sifat pemesinan dan bentuk cacat yang diamati 17
2.9 Klasifikasi sifat pemesinan 18
2.10 Klasifikasi hasil pengujian daya rekat cat 18
3.1 Proporsi bagian teras kayu maniani 20
3.2 Dimensi serat kayu maniani 23
3.3 Nilai turunan dimensi serat kayu maniani 24
3.4 Hasil uji Duncan KAS pada diameter batang 40 cm, 50 cm, dan 60 cm 27 3.5 Hasil uji Duncan KAU pada diameter batang 40 cm, 50 cm,dan 60 cm 27 3.6 Hasil uji Duncan BJ pada diameter batang 40 cm, 50 cm, dan 60 cm 28 3.7 Hasil uji Duncan penyusutan tangensial pada diameter batang 40 cm,
50 cm, dan 60 cm 30 3.12 Hasil uji Duncan keteguhan tekan sejajar serat pada diameter batang
50 cm, dan 60 cm 34
3.13 Hasil uji Duncan keteguhan tekan sejajar tarik pada diameter batang
50 cm, dan 60 cm 35
3.14 Hasil uji Duncan kekerasan kayu diameter batang 50 cm, dan 60 cm 35 3.15 Hasil uji Duncan keteguhan geser sejajar serat pada diameter batang
50 cm, dan 60 cm 36
3.16 Hasil uji Duncan keteguhan belah sejajar serat pada diameter batang
50 cm, dan 60 cm 37
3.17 Hasil uji Duncan kelarutan zat ekstraktif 38
3.18 Klasifikasi jenis kayu daun lebar Indonesia atas dasar komponen
kimia 40
3.19 Hasil uji Duncan kadar holoselulosa, alpha selulosa dan lignin 39
3.20 Hasil uji Duncan kadar abu dan silika 40
3.21 Hasil uji Duncan keawetan kayu dari rayap tanah pada kayu diameter
50 cm, dan 60 cm 42
3.22 Hasil uji Duncan uji kubur pada diameter batang 50 cm dan 60 cm 43 3.23 Hasil uji Duncan keawetan kayu dari rayap kayu kering pada
diameter batang 50 cm, dan 60 cm 44
3.24 Hasil uji Duncan keawetan kayu dari jamur pada diameter batang 50
3.25 Sifat dasar pengeringan kayu maniani 48 3.26 Jadwal pengeringan yang disarankanuntuk kayu maniani 50 3.27 Cacat yang timbul pada proses pengerjaan kayu 50
3.28 Sifat pemesinan kayu maniani 51
3.29 Hasil pengujian lapisan finishing dengan bahan kimia rumah tangga 52 3.30 Hasil uji gores (crosscut) pada lapisan finishing (ASTM D 3359-02) 53
DAFTAR GAMBAR
2.1 Pengujian keawetan kayu dari serangan rayap tanah 11 2.2 Pengujian keawetan kayu dari serangan rayap kayu kering 12 2.3 Pengujian keawetan kayu dari serangan jamur pelapuk kayu 13 2.4 Penyusunan contoh uji keawetan dari penggerek kayu di laut 14
2.5 Pola pemotongan contoh uji pemesinan kayu 17
3.1 Bagian kayu teras (a) pada penampang lintang dan dan corak kayu
pada bidang tangensial (b) 21
3.2 Struktur anatomi kayu F. pimenteliana bidang lintang (a), tangensial
(b dan d), dan radial (c) 22
3.3 Panjang serat dari empulur ke arah kulit pada diameter batang 40 cm,
50 cm, dan 60 cm 25
3.4 Kadar air segar kayu maniani 26
3.5 Kadar air kering udara kayu maniani 27
3.6 Berat jenis kayu maniani 28
3.7 Penyusutan tangensial (T) kayu dari kondisi segar ke kering udara 29 3.8 Penyusutan radial (R) kayu dari kondisi segar ke kering udara 30
3.9 Rasio susut T/R kayu maniani 31
3.10 Nilai Modulus of Elasticity (MOE) 32
3.11 Nilai Modulus of Rupture (MOR) 33
3.12 Nilai keteguhan tekan sejajar serat (tekan //) 34 3.13 Nilai keteguhan tarik sejajar serat(tarik //) 34
3.14 Nilai kekerasan kayu maniani 35
3.15 Nilai keteguhan geser sejajar serat(geser //) 36 3.16 Nilai keteguhan belah arah tangensial (T) dan radial (R) pada diameter
batang 50 cm dan 60 cm 37
3.17 Kelarutan kayu dalam air dingin, air panas, NaOH 1%, dan etanol
benzene 38
3.18 Kadar holoselulosa, α-selulosa, dan lignin 39
3.19 Kadar abu dan silika 40
3.20 Kehilangan berat kayu setelah pengujian dengan rayap tanah 41 3.21 Kondisi kayu sebelum (a) dan sesudah (b) pengujian rayap tanah 42 3.22 Persentase kerusakan kayu setelah uji kubur 42 3.23 Penurunan berat kayu setelah pengujian dengan rayap kayu kering 43 3.24 Lubang gerek setelah pengujian dengan rayap kayu kering 44 3.25 Penurunan berat setelah pengujian dengan jamur pelapuk kayu 44 3.26 Kondisi kayu sebelum (a) dan setelah pengujian (b) dengan jamur
3.27 Intensitas serangan marine borers 46 3.28 Kondisi kayu setelah pengujian marine borer 46 3.29 Retensi Diffusol CB dengan metode rendaman dingin 47
3.30 Penetrasi bahan pengawet tembaga dan boron 47
3.31 Cacat-cacat pengeringan yaitu retak permukaan (a), diamonding (b),
memangkuk (c), dan retak dalam (d) 49
3.32 Tampilan sebelum (a) dan sesudah (b) finishing kayu 51 3.33 Perubahan warna (a) dan pengelupasan (b) pada lapisan cat 52
DAFTAR LAMPIRAN
1 Deskripsi tumbuhan F. pimenteliana F. v. Muell 59 2 Morfologi tumbuhan F. pimenteliana F. v. Muell 60 3 Hasil identifikasi/determinasi tumbuhan F. pimenteliana 61
4 Skema pengambilan contoh uji 62
5 Penilaian sifat pengeringan kayu berdasarkan retak/pecah ujung, pecah
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini pasokan kayu komersil dari hutan alam sudah semakin berkurang. Hal ini berbanding terbalik dengan kebutuhan kayu yang semakin meningkat. Pada tahun 2008 kebutuhan kayu bulat mencapai lebih dari 46 juta m3 sementara hutan alam hanya mampu menyediakan sekitar 32 juta m3 (Kemenhut 2009). Di Indonesia, kawasan hutan terluas ada di Papua yaitu 32.6 juta ha (Wicaksono 2012). Namun demikian, potensi hutan di Papua meskipun secara fisik cukup besar yaitu 35 m3/ha untuk jenis komersial dan 61 m3/ha untuk semua jenis, namun kurang ekonomis karena sebagian besar kayunya belum dikenal (BAPESDALH 2012).
Diperkirakan masih banyak jenis-jenis kayu tropis yang berpeluang untuk dimanfaatkan dan dikembangkan. Menurut Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, Departemen Kehutanan, di Indonesia terdapat 3124 jenis kayu yang terdiri dari kayu komersial, non komersial, tak dikenal, maupun jenis kayu budidaya (Anonim 1986 dalam Dwianto & Marsoem 2008). Papua menempati posisi tertinggi dalam tingkat kekayaan dan keendemikan spesies tumbuhan dengan 1030 species tumbuhan di kawasan hutannya, termasuk di dalamnya sebanyak 55% merupakan species endemik (FAO/McKinnon 1981 dalam Kusmana 2012).
Keterbatasan bahan baku kayu baik untuk konstruksi maupun non konstruksi khususnya yang berasal dari hutan tropis dapat diatasi salah satunya dengan upaya diversifikasi bahan dengan melakukan pemanfaatan jenis-jenis kayu yang belum banyak dikenal namun memiliki potensi yang baik karena memiliki sifat kayu yang unggul dan berlimpah. Kecenderungan pemakaian kayu yang terus meningkat, baik untuk keperluan struktural maupun non struktural perlu diimbangi dengan pengetahuan jenis kayu, sifat dan cara pengolahan agar pemanfaatan suatu jenis kayu dapat lebih efektif dan efisien. Pemanfaatan jenis-jenis kayu kurang dikenal untuk tujuan tertentu harus didahului dengan penelitian mengenai sifat dasar dan kemungkinan pemanfaatannya.
Hal yang mendasari penelitian ini adalah bahwa sampai saat ini pemanfaatan jenis-jenis kayu yang tergolong kayu kurang dikenal (lesser known species) masih sangat terbatas, sedangkan ribuan jenis lainnya belum dimanfaatkan dengan baik. Sosef et al. (1998) telah mengkaji sebanyak 309 genera di wilayah Asia Tenggara yang termasuk ke dalam jenis kayu kurang dikenal, yang menunjukkan bahwa jenis-jenis kayu tersebut juga memiliki sifat-sifat yang baik digunakan sebagai bahan baku industri pengolahan kayu.
1.2 Perumusan Masalah
2
pengolahannya pun belum banyak diketahui. Setiap jenis kayu mempunyai sifat dan karakteristik yang berbeda sehingga dalam pengolahannya memerlukan penanganan yang berbeda pula. Dari sisi produsen, kepastian suatu jenis kayu penting artinya dalam proses produksi dan pemasaran, sedangkan bagi konsumen
lebih memudahkan untuk memilih kayu-kayu yang cocok untuk kepentingannya. Genus Flindersia merupakan jenis kayu kurang dikenal yang terdiri dari
17 jenis yang tersebar dari Kepulauan Seram dan Tanimbar, New Guinea, New Caledonia, hingga bagian timur Australia (Sosef et al. 1998). Empat jenis di antaranya termasuk endemik Papua (Hartley 1969). Salah satu jenis dari genus Flindersia yang layak untuk dikembangkan adalah Flindersia pimenteliana F. v. Muell (deskripsi dan morfologi tumbuhan pada Lampiran 1 dan 2). Masyarakat setempat menyebutnya dengan nama kayu maniani, kayu kemenyan, atau cendana Papua karena kayunya beraroma harum. Jenis ini tersebar luas di bagian barat Papua, Queensland hingga Papua New Guinea. Lokasi tempat tumbuhnya di hutan hujan dataran rendah hingga pegunungan. Pemanfaatannya oleh masyarakat setempat biasanya dibakar untuk mengeluarkan aroma harum kayunya. Jenis ini juga pernah digunakan oleh perusahaan minyak BP Tangguh sebagai program pemberdayaan masyarakat yaitu untuk pembuatan produk lokal seperti sendok, piring, mangkok, ukiran dan mainan. Sosef et al. (1994) hanya mengungkapkan sedikit informasi mengenai jenis F. pimenteliana, sehingga dibutuhkan penelitian yang lebih detail dan lengkap.
Permasalahan yang timbul adalah pemanfaatan jenis ini belum dilengkapi informasi yang cukup mengenai sifat dasar dan pengolahannya. Dengan mengetahui sifat-sifat dasar dan sifat pengolahannya, maka penggunaan kayu ini dapat diarahkan untuk tujuan yang paling optimal sehingga mampu memberikan nilai tambah (added value) bagi jenis kayu itu sendiri, meningkatkan nilai jual serta menghasilkan produk kayu yang lebih berkualitas.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat-sifat dasar (anatomis, kimia, fisis, mekanis, dan keawetan alami) dan sifat pengolahan (pengeringan, pengawetan, pemesinan dan finishing kayu) kayu maniani dan mengkaji tujuan penggunaannya yang optimal berdasarkan sifat-sifat yang telah diteliti.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lengkap mengenai sifat dasar dan pengolahan kayu serta pengembangan pemanfaatan kayu maniani secara tepat.
2
METODE
2.1 Waktu dan Tempat Penelitian
3 pengolahan kayu dilakukan di Laboratorium Sifat Dasar Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Laboratorium Keteknikan Kayu Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor IPB, serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) Bogor.
2.2 Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan sebagai objek penelitian adalah kayu F. pimenteliana yang berasal dari Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat. Pohon diambil sebanyak 3 (tiga) batang dengan diameter pohon setinggi dada sebesar 40 cm, 50 cm dan 60 cm. Sampel untuk pengujian sifat fisis, anatomis dan kimia diambil dari potongan cakram. Pengujian sifat kimia menggunakan serbuk kayu ukuran 40 sampai 60 mesh. Pengujian sifat mekanis, keawetan alami, keterawetan, pengeringan, pemesinan dan finishing diambil dari potongan papan. Pengambilan sampel untuk setiap pengujian berdasarkan bagian kayu dapat dilihat pada Lampiran 2.
Bahan lainnya adalah akuades, asam nitrat (HNO3), natrium hidroksida (NaOH), asam asetat glasial (CH3COOH), natrium klorat (Na2ClO3), natrium hipoklorit (NaHClO2), asam sulfat (H2SO4), etanol, benzene, HCl, rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light, rayap tanah Coptotermes curvignatus Holmgren, jamur pelapuk kayu Schizophyllum commune Fr, bahan pengawet kayu Diffusol CB, serbuk kunyit, alkohol, asam salisilat (C7H6O3), amonia pekat (NH3), asam rubianat, aseton, cat kayu Impra AquaWood Finish, dan bahan kimia rumah tangga (air, saus tomat, cuka, kecap, dan larutan sabun).
Peralatan yang digunakan adalah oven Memmert, timbangan analitik, GCMS pirolisis Shimadzu, mikrotom geser, peralatan gelas, tanur, kaliper, mikroskop cahaya, waterbath, UTM Instron, gergaji potong, mesin ketam, mesin pembentuk, mesin bor dan ampelas.
2.3 Prosedur Percobaan 2.3.1 Pengamatan Struktur Anatomi Kayu
Pengamatan Makroskopis Kayu Parameter sifat makroskopis kayu yang diteliti untuk bahan penyusunan kriteria sifat dasar kayu meliputi warna dan corak, bau, tekstur, arah serat, kesan raba permukaan, kilap, kekerasan dan persentase kayu teras dan kayu gubal.
Pengamatan Mikroskopis Kayu Pengamatan mikroskopis kayu terdiri dari pengukuran dimensi serat dan penentuan nilai turunannya, penentuan demarkasi kayu muda (juvenil) dan kayu dewasa, dan pengamatan struktur anatomi sel-sel penyusun kayu menggunakan mikroskop cahaya.
Pengukuran Dimensi Serat dan Penentuan Nilai Turunan Dimensi Serat
4
selanjutnya dipanaskan dalam waterbath pada suhu 80 ºC selama 15 menit atau hingga kayu berwarna putih pucat. Sampel dicuci dengan air hingga bebas asam dan selanjutnya diberi warna dengan perendaman di dalam larutan safranin. Serat-serat yang utuh selanjutnya disusun di atas gelas objek dan ditutup dengan cover glass kemudian dilakukan pengukuran dimensi serat yang meliputi panjang serat (L), lebar lumen (l) dan diameter serat (d). Tebal dinding serat dihitung dengan persamaan:
Tebal dinding serat w =(d−l) 2
Data hasil pengukuran dimensi serat selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai-nilai turunan dimensi serat seperti bilangan Runkle, daya tenun, bilangan Muhlsteph, flexibility dan koefisien kekakuan. Nilai turunan dimensi serat ini digunakan untuk menentukan kualitas serat kayu sebagai bahan baku pembuatan kertas. Panjang serat dan nilai turunan dimensi serat kemudian dibuat klasifikasi untuk menentukan kualitasnya nilai serat kayunya sebagai bahan baku pulp (Tabel 2.1). Nilai turunan dimensi serat dihitung dengan persamaan:
Bilangan Runkel = 2 w / l
Pembuatan preparat mikrotom diawali dengan pembuatan sampel berukuran 2 cm x 1 cm x 1 cm, kemudian direndam dalam larutan alkohol dan gliserin dengan perbandingan 1:1 selama 2 minggu hingga lunak. Penyayatan pada masing-masing bidang pengamatan (lintang, tangensial dan radial) dilakukan dengan mikrotom geser dengan target ketebalan 15-25 μm. Sayatan terpilih kemudian dicuci dengan akuades untuk menghilangkan asam, kotoran dan sisa-sisa gliserin. Setelah bersih, sayatan direndam dalam larutan safranin selama ± 1 jam, untuk kemudian dikeringkan dengan melakukan dehidrasi bertingkat menggunakan alkohol 30%, 50%, 70%, 90%, dan absolut masing-masing selama
Tabel 2.1 Persyaratan dan nilai serat kayu sebagai bahan baku pulp
5 5 menit. Selanjutnya sayatan direndam dalam larutan carboxylol dan toluene 5 - 10 menit. Tahap terakhir adalah penempelan pada kaca obyek (mounting) dan perekatan dengan enthelan.
Parameter yang diukur dan diamati antara lain adalah sel pembuluh (pori-pori kayu) yang meliputi sebaran, ukuran, jumlah per mm-2 dan arah gabungan; sel parenkim aksial (tipe dan keberadaannya); sel parenkim jari-jari atau jari-jari kayu (komposisi, ukuran dan jumlah per mm); serta karakteristik lain seperti saluran antarsel dan keberadaan kristal.
Penentuan Demarkasi Kayu Muda (Juvenil Wood)
Demarkasi kayu juvenil dilakukan dengan memetakan data panjang serat terhadap jaraknya dari empulur ke arah kulit. Penentuan kayu juvenil dilakukan pada bagian diameter setinggi dada (DBH) dan dievaluasi berdasarkan trend data yang ditunjukkan pada grafik sebagaimana Panshin dan de Zeeuw (1980); Haygreen dan Bowyer (1989).
2.3.2 Pengujian Sifat Fisis Kayu
Sifat fisis yang diuji adalah kadar air, berat jenis, penyusutan pada arah radial dan tangensial. Prosedur pengujian kadar air mengikuti standar DIN 52 183, berat jenis mengikuti standar DIN 52 182 dan penyusutan mengikuti DIN 52 184 (Scharai-Rad 1983).
Kadar Air dan Berat Jenis (BJ) Contoh uji kadar air diambil segera setelah pohon ditebang untuk memperoleh berat segarnya. Contoh uji berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm ditimbang dan diukur volume untuk mendapatkan berat awal (W0) dan volume awalnya (V0). Volume contoh uji diukur menggunakan prinsip Archimedes. Sampel uji selanjutnya dikeringudarakan sehingga diperoleh berat kering udara (W1) dan volume kering udara (V1). Setelah itu contoh uji dikeringkan dalam oven pada suhu 103 ± 2 ºC hingga konstan untuk memperoleh berat kering oven (W2) dan volume kering oven (V2). Kadar air (KA) dan berat jenis kayu dihitung menggunakan rumus:
KA segar % =W0− W2
Penyusutan Contoh uji dibuat berukuran 2 cm x 2 cm x 1 cm, dimana panjang 2 cm merupakan arah lebar penyusutan yang akan ditentukan. Contoh uji diukur pada kondisi segar (L0) dan kering udara (L1). Contoh uji dikeringudarakan hingga kadar airnya mencapai 12%. Selanjutnya contoh uji dikeringkan dalam oven pada suhu 103 ± 2 ºC hingga beratnya konstan. Persentase penyusutan radial dan tangensial ditentukan dengan rumus:
Penyusutan kondisi segar ke kering udara % =L0− L1
L0
6
2.3.3 Pengujian Sifat Mekanis Kayu
Prosedur pengujian sifat mekanis kayu mengikuti British Standard (BS-373) tentang metode pengujian standar untuk contoh kayu kecil bebas cacat. Sifat mekanis yang diuji adalah keteguhan lentur statis, keteguhan tarik, keteguhan tekan sejajar serat, keteguhan geser, keteguhan belah dan kekerasan.
Keteguhan Lentur Statis Prosedur pengujian lentur statis adalah sebagai berikut: contoh uji diambil dari setiap stick dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 30 cm dalam kondisi kering udara. Selanjutnya contoh uji dipasang pada alat pengujian. Beban tekan diberikan ditengah-tengah bentang contoh uji (panjang bentang 28 cm) kemudian nilai defleksinya dicatat. Kecepatan tetap pembebanan sebesar 0.26 inch/menit hingga beban maksimum (kayu patah). Dari hasil pengujian akan
P’ = Perubahan beban yang terjadi di bawah batas proporsi (kg) L = Jarak sangga (cm)
Δ’ = Perubahan defleksi akibat beban (cm) b = Lebar contoh uji (cm)
h = Tebal contoh uji (cm)
Keteguhan Tarik Sejajar Serat Contoh uji keteguhan tarik sejajar serat diambil dengan ukuran 30 cm x 0.3 cm x 0.6 cm dalam kondisi kering udara. Selanjutnya contoh uji tersebut ditempatkan sesuai tempat pengujian kemudian diberikan beban tarik sampai kayu tersebut rusak. Kecepatan tetap pembebanan sebesar 0,05 inch/menit. Nilai keteguhan tarik sejajar serat dihitung dengan rumus:
Keteguhan tarik =Pmax
A
Keterangan: Pmax = Beban maksimal (kg)
A = Luasan bidang pengujian (cm2)
Keteguhan Tekan Sejajar Serat Contoh uji keteguhan tekan sejajar serat diambil dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 6 cm dalam kondisi kering udara, orientasi serat menurut standar yang diujikan. Selanjutnya contoh uji tersebut dipasang sesuai tempat pengujian kemudian diberikan beban tekan sampai kayu tersebut rusak. Kecepatan tetap pembebanan sebesar 0,025 inch/menit. Nilai keteguhan tekan sejajar serat dihitung dengan rumus:
Keteguhan tekan =Pmax
7
Keteguhan Belah Pengujian dilakukan dengan cara menarik contoh uji pada bidang belahan secara perlahan-lahan dengan kecepatan 0.10 inch/menit. Tarikan dilakukan dengan alat Universal Testing Machine Amsler sampai kayu mengalami kerusakan. Contoh uji dibuat untuk keteguhan belah arah radial dan tangensial. Keteguhan belah dihitung dengan rumus:
Keteguhan belah =Pmax
b
Keteguhan Geser Sejajar Serat Contoh uji dibuat berukuran sisi 2 cm. Arah pembebanan sejajar dengan arah memanjang serat. Pembebanan dilakukan dengan kecepatan 0.025 inch/menit hingga contoh uji rusak. Keteguhan geser
2.3.4 Pengujian Sifat Kimia Kayu
Kadar Abu Kadar abu ditetapkan menurut standar TAPPI T 211 om-93. Cawan abu kosong dibersihkan dan dipanaskan pada suhu 525 ± 25 ºC selama 30 - 60 menit. Setelah dipanaskan, cawan didinginkan dalam desikator selama 45 menit kemudian ditimbang. Sampel uji ekuivalen 1 gram kering oven dimasukkan ke dalam cawan abu. Sampel dipanaskan pada suhu tidak lebih dari 100 ºC, kemudian dinaikkan sampai 525 ± 25 ºC secara bertahap hingga terjadi karbonisasi tanpa pembakaran. Pemanasan dilakukan selama 3 jam atau lebih, jika dibutuhkan dapat diulangi hingga semua partikel hitam menghilang. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan rumus:
Kadar abu (%) =A
B x 100
Keterangan:
A = Berat abu (gram)
B = Berat awal sampel kering oven (gram)
8
dengan 200 ml air destilata dingin dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 103 ± 2 ºC hingga bobotnya konstan, sampel didinginkan selanjutnya ditimbang beratnya.
Kelarutan Ekstraktif dalam Air Panas Dalam pengujian kelarutan kayu dalam air panas dilakukan penimbangan serbuk sebanyak 2 ± 0.1 gram, kemudian serbuk dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer 250 ml. Sebanyak 100 ml air panas dimasukkan ke dalam gelas piala yang telah berisi serbuk, kemudian dipanaskan di atas penangas selama 3 jam. Larutan tersebut disaring selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 103 ± 2 ºC sampai beratnya konstan, sampel didinginkan selanjutnya ditimbang beratnya. Kelarutan dalam air ditentukan dengan rumus:
Kelarutan air (panas dan dingin) (%) =A
B x 100
Keterangan:
A = Berat kering oven sampel sebelum ekstraksi (gram) B = Berat kering oven serbuk setelah ekstraksi (gram)
Kelarutan Ekstraktif dalam Etanol Benzene (1:2) Pengujian ini dilakukan berdasarkan standar TAPPI T 204 om-88. Serbuk kayu ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam timbel kertas saring yang telah ditentukan beratnya. Timbel diikat dan diberi pemberat lalu dimasukkan kedalam tabung ekstraksi dan diatur hingga cawan terendam dalam pelarut. Ekstraksi dilakukan selama 6-8 jam, tingkat pendidihan larutan sehingga pembilasan minimal 6 kali per jam dan setelah selesai timbel dikeluarkan. Selanjutnya dicuci dengan ethanol untuk mengeluarkan benzene, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 103 ± 2 ºC selama 1 jam, dan didinginkan dalam desikator. Kadar zat ekstraktif yang terlarut dalam etanol-benzena (1:2) dihitung dengan rumus:
Kelarutan dalam etanol benzene (%) = A−B
A x 100
Keterangan:
A = Berat kering oven sampel sebelum ekstraksi (gram) B = Berat kering oven serbuk setelah ekstraksi (gram)
Kelarutan Ekstraktif dalam NaOH 1% Pengujian ini dilakukan berdasarkan standar TAPPI T 212 om-88. Serbuk ditimbang sebanyak 2.0 ± 0.1 gram, kemudian dicampur dengan 100 ± 1 ml larutan NaOH 1% dan diaduk. Campuran ini ditempatkan dalam waterbath pada kisaran suhu 97 - 100 ºC selama 60 menit. Larutan diaduk masing-masing 5 detik setelah pemanasan 10, 15 dan 25 menit. Setelah pemanasan tersebut sampel dicuci dengan 100 ml air panas, kemudian ditambahkan 25 ml asam asetat 10% dan dibiarkan selama 1 menit sebelum larutan asam asetat dihilangkan. 25 ml asam asetat 10% dimasukkan kembali, kemudian sampel dicuci dengan air panas hingga bebas asam. Sampel dikeringkan pada suhu 103 ± 2 ºC hingga beratnya konstan, selanjutnya sampel ditimbang. Kadar kelarutan dalam NaOH 1% dihitung rumus:
Kelarutan dalam NaOH 1% (%) =A−B
A x 100
Keterangan:
9
Identifikasi Senyawa Kimia dengan GCMS Pirolisis (PyrGCMS) Padatan hasil ekstraksi dengan alkohol:benzena diinjeksikan ke dalam ruang kuarsa dalam unit pirolisis yang kemudian dipanaskan dalam lingkungan bebas oksigen pada suhu 400 °C selama 10 detik. Campuran senyawa ini kemudian dimasukkan ke dalam GCMS merk Shimadzu tipe QP2010. GCMS menggunakan helium sebagai carrier gas, kolom kapiler tipe Phase Rtx-5MS (panjang 60 m dan diameter 0.25 mmID), tekanan 100 Kpa, temperatur kolom 50 °C, flow rate 0.85 ml/menit. Hasil berupa struktur komponen kimia ditentukan dengan software komputer berdasarkan grafik karakterisasi GCMS.
Kadar Holoselulosa Kadar holoselulosa dihitung menurut Browning (1967) yang diacu dalam Rowell (2005). Serbuk kayu bebas ekstraktif sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam erlemenyer, lalu ditambah dengan air destilata sebanyak 80 ml, 1 gram NaClO2, dan 0.5 ml CH3COOH. Sampel dipanaskan pada suhu 70 °C selama 5 jam. Setiap 1 jam pemanasan ditambah 1 gram NaClO2 dan 0.5 ml CH3COOH sebanyak 4 kali. Setelah pemanasan selesai sampel disaring dan dicuci dengan menggunakan air panas. Sebanyak 25 ml asam asetat 10% ditambahkan kemudian dicuci hingga bebas asam. Sampel dioven pada suhu 103 ± 2 °C hingga beratnya konstan kemudian ditimbang. Kadar holoselulosa
Kadar α-Selulosa Kadar α-selulosa ditetapkan menurut Browning (1967) yang diacu dalam Rowell (2005). Sebanyak 2 gram holoselulosa ditempatkan ke dalam gelas piala 250 ml. Sebanyak 10 ml larutan NaOH 17.5% pada suhu 20 °C diaduk perlahan. Setiap interval waktu 5 menit ditambahkan 5 ml larutan NaOH 17.5% sampai sebanyak 3 kali sehingga total NaOH yang ditambahkan sebanyak 25 ml. Sampel dibiarkan selama 30 menit, kemudian ditambahkan 33 ml aquades, diaduk dan dibiarkan selama 1 jam pada suhu 20 °C. Sampel disaring dan dibilas dengan 100 ml NaOH 8.3%. Pembilasan dilanjutkan menggunakan 250 ml aquades, kemudian sampel dikeringkan selama 24 jam pada suhu 103 ± 2 ºC. Timbang hingga bobotnya konstan. Kadar α-selulosa dihitung dengan rumus:
Kadar α −selulosa (%) =A
B x 100
Keterangan:
A = Bobot α-selulosa (gram)
B = Bobot kering serbuk kayu (gram)
10
hingga dicapai konsentrasi H2SO4 3% yaitu hingga total volume 575 ml. Larutan dididihkan selama 4 jam dan dijaga agar volume larutan konstan dengan penambahan air panas. Lignin disaring dengan glass filter dan dicuci dengan air panas hingga bebas asam. Sampel lignin dikeringkan dalam oven pada suhu 102 ± 3 ºC hingga beratnya konstan, selanjutnya ditimbang. Kadar lignin dihitung dengan rumus:
Kadar Silika dalam Abu Penentuan kadar silika dilakukan berdasarkan standar TAPPI T 211 0m-85. Abu yang diperoleh dari pengujian kadar abu dipindahkan ke dalam cawan dan ditambahkan 20 ml HCl 6 M. Cawan berisi abu dipanaskan di atas waterbath bersuhu 80 °C, lalu diencerkan dengan aquades. Larutan disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman (telah diketahui berat kering ovennya) dan dicuci hingga bebas asam dan tidak terjadi endapan putih AgCl2 ketika diberi indikator AgNO3. Kertas saring beserta endapannya dimasukkan ke dalam cawan dan dioven pada suhu 103 ± 2 °C hingga beratnya tetap. Kadar silika dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Kadar silika (%) =A
B x 100
Keterangan:
A = Bobot silika (gram)
B = Bobot kering serbuk kayu (gram)
2.3.5 Pengujian Keawetan Alami Kayu
Uji Keawetan Kayu dari Rayap Tanah Pengujian dilakukan berdasarkan SNI 01-7207-2006 yang dimodifikasi menurut Arinana et al. (2012). Contoh uji berukuran 2.5 cm x 2.5 cm x 0.5 cm dikeringovenkan pada suhu 103 ± 2 ºC untuk mendapatkan berat kering sebelum pengujian (B0). Contoh uji dimasukkan ke dalam botol uji dan disandarkan sedemikian rupa sehingga salah satu bidang terlebar contoh uji menyentuh dinding botol uji. Ke dalam botol uji dimasukkan 200 gram pasir dan 50 ml aquades. Kemudian sebanyak 200 ekor rayap tanah Coptotermes curvignatus Holmgren dari kasta pekerja dimasukkan ke dalam botol, lalu botol uji ditutup dengan kain dan diletakkan ditempat gelap selama 4 minggu.
11
Gambar 2.1 Pengujian keawetan kayu dari serangan rayap tanah
Penentuan keawetan kayu berdasarkan penurunan berat kayu setelah pengujian berdasarkan Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Klasifikasi keawetan kayu dari rayap tanah
Kelas Keawetan Penurunan berat (%)
I Sangat tahan < 3,52
II Tahan 3,52 - 7,50
III Sedang 7,50 - 10,96
IV Buruk 10,96 - 18,94
V Sangat buruk 18,94 - 31,89
Sumber: SNI 01-7207-2006
Uji Kubur di Lapangan (Graveyard Test) Prosedur penelitian uji kubur di lapangan berdasarkan ASTM D 1758-02. Ukuran contoh uji 45.7 cm x 2 cm x 2 cm. Contoh uji kondisi kering udara dikubur secara acak dalam tanah di Arboretum dengan jarak kubur antar contoh uji 30 cm dan jarak antar baris 60 cm. Kedalaman contoh uji yang terkubur adalah 2/3 dari panjang totalnya. Pengujian dilakukan selama 3 bulan. Setelah masa pengujian berakhir, sampel dikeluarkan dari tanah dan dibersihkan permukaannya untuk kemudian diamati tingkat kerusakannya.
Penilaian tingkat kerusakan contoh uji oleh rayap pada uji lapang dengan menggunakan skoring yang mengacu pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Penilaian kerusakan contoh uji oleh rayap tanah Nilai Kondisi serangan
10 Tidak ada serangan: 1-2 lubang gerek kecil 9 Lubang gerek mencapai 3% dari cross section 8 Penetrasi mencapai 3-10% dari cross section 7 Penetrasi mencapai 10-30% dari cross section 6 Penetrasi mencapai 30-50% dari cross section 4 Penetrasi mencapai 50-75% dari cross section
0 Rusak
12
Uji Keawetan Kayu dari Rayap Kayu Kering Pengujian dilakukan berdasarkan SNI 01-7207-2006. Rayap yang digunakan dari jenis Cryptotermes cynocephalus Light. Contoh uji berukuran 5 cm x 2.5 cm x 2.5 cm dikeringovenkan pada suhu 103 ± 2 ºC selama 24 jam untuk mendapatkan berat kering sebelum pengujian (B0). Pada salah satu sisi terlebar pada contoh uji dipasang semprong kaca, ke dalamnya dimasukkan 50 ekor rayap yang sehat dan aktif dan ditutup dengan kapas. Contoh uji disimpan di tempat gelap selama 12 minggu. Persiapan pengujian seperti pada Gambar 2.2. Penurunan berat dihitung dengan menggunakan persamaan:
P (%) =(W1− W2)
W1 x 100 Keterangan:
P = Kehilangan berat contoh uji kayu
W1 = Berat kering oven kayu sebelum diumpankan (gram) W2 = Berat kering oven kayu setelah diumpankan (gram)
Gambar 2.2 Pengujian keawetan kayu dari serangan rayap kayu kering Penentuan keawetan kayu berdasarkan penurunan berat kayu setelah diujikan kepada rayap kayu kering seperti Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Klasifikasi keawetan kayu dari rayap kayu kering
Kelas Keawetan Penurunan berat (%)
I Sangat tahan < 2.0
II Tahan Sedang 2.0 - 4.4
III Sedang 4.4 - 8.2
IV Tidak tahan 8.2 - 28.1
V Sangat tidak tahan > 28.1
Sumber: SNI 01-7207-2006
13 pengamatan selesai, contoh uji dibersihkan dari miselium dan dioven untuk mengetahui bobot kering tanurnya. Persentase kehilangan berat akibat jamur dapat dihitung dengan persamaan:
P (%) =(W1− W2)
W1
x 100 Keterangan:
P = Persentase penurunan bobot
Wı = Berat kering tanur contoh uji sebelum pengujian (gram) W2 = Berat kering tanur contoh uji setelah pengujian (gram)
Gambar 2.3 Pengujian keawetan kayu dari serangan jamur pelapuk kayu Penentuan keawetan kayu terhadap serangan jamur didasarkan atas kelas seperti pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Klasifikasi keawetan kayu dari jamur pelapuk kayu
Kelas Keawetan Penurunan berat (%)
I Sangat tahan < 1
II Tahan 1 - 5
III Agak tahan 5 - 10
IV Tidak tahan 10 - 30
V Sangat tidak tahan > 30
Sumber: SNI 01-7207-2006
Uji Keawetan Kayu dari Penggerek Kayu di Laut (Marine borer) Pengujian dilakukan berdasarkan SNI 01-7207-2006. Bagian tengah contoh uji dilubangi dengan diameter 1.5 cm, penyusunan contoh uji sedemikian rupa seperti pada Gambar 2.4. Contoh uji yang telah disusun kemudian dipasang di perairan pantai yang bebas pencemar dengan salinitas 30 - 40 ppm, dan air pasang surut maksimal 1.5 - 2 meter. Setelah 6 bulan contoh uji diangkat, dibersihkan permukaannya dan dikeringkan. Contoh uji kemudian dibelah menjadi dua bagian pada sisi tebalnya.
14
Tabel 2.6 Klasifikasi keawetan kayu dari penggerek kayu di laut Intensitas serangan (%) Kelas Selang intensitas serangan
< 7,3 I Sangat tahan
7,3 - 27,1 II Tahan
27,1 - 54,8 III Sedang
54,8 - 79,1 IV Buruk
> 79,1 V Sangat buruk
Sumber: SNI 01-7207-2006
Gambar 2.4 Penyusunan contoh uji keawetan kayu dari penggerek kayu di laut
2.3.6 Pengujian Sifat Keterawetan Kayu
Pengujian sifat keterawetan kayu merujuk pada SNI 03-3233-1998. Contoh uji bebas cacat mewakili bagian pangkal dan ujung batang dibuat dengan ukuran 10 cm x 6 cm x 6 cm (Apriyanto 2010) . Contoh uji kondisi kering udara dilapisi cat pada kedua ujungnya, kemudian dilakukan proses rendaman dingin dengan bahan pengawet Diffusol CB.
Proses rendaman dingin dengan memasukkan contoh uji kayu ke dalam bak pengawetan, kemudian bahan pengawet dialirkan ke dalam bak pengawet sampai permukaan larutan mencapai 10 cm di atas tumpukan kayu selama 48 jam. Setelah masa perendaman tercapai, contoh uji ditiriskan sampai tidak ada larutan yang menetes, kemudian ditimbang untuk menghitung nilai retensinya.
Retensi (kgm−3) =(B1− B0)
V x K
Keterangan:
B1 = berat contoh uji setelah pengawetan (kg) B0 = berat contoh uji sebelum pengawetan (kg) V = volume contoh uji (m3)
K = konsentrasi larutan bahan pengawet (%)
15 1) Sampel uji dipotong melintang pada bagian tengahnya
2) Pada masing-masing penampang potongan sampel disemprotkan larutan bahan pereaksi yang sesuai dengan bahan aktif yang akan diuji secara berurutan. Bahan pereaksi untuk boron berupa pereaksi A yang terdiri dari 50 g serbuk kunyit dalam 500 ml alkohol, dan pereaksi B yaitu 80 ml alkohol dan 20 ml asam klorida pekat yang dijenuhkan dalam asam salisilat. Untuk tembaga, digunakan 10 ml amonia pekat dan 60 ml air suling (pereaksi A), serta 0.5 g asam rubianat, 90 ml alkohol, 10 ml aseton (pereaksi B). Adanya boron dalam kayu ditunjukkan dengan warna merah kekuningan, sedangkan adanya tembaga ditunjukkan dengan warna biru kehitaman.
3) Sampel uji yang sudah disemprot dengan pereaksi kemudian diangin-anginkan.
4) Pengukuran penetrasi dilakukan pada ke empat sisi yang ditembus oleh bahan pengawet lalu dirata-ratakan sebagai berikut:
X =
(X1 + X2 + X3 + X4) 4Persyaratan retensi dan penetrasi bahan pengawet didasarkan pada nilai yang terdapat dalam SNI 03-5010.1-1999 sebagai berikut:
1) Retensi bahan pengawet sebesar 8,0 kg m-3 untuk penggunaan di bawah atap, dan 11.0 kg m-3 untuk penggunaan di luar atap.
2) Penetrasi bahan pengawet sebesar 5 mm.
2.3.7 Pengujian Sifat Pengeringan Kayu
Contoh uji berukuran 20 cm x 10 cm x 2.5 cm dengan lima kali pengulangan dibersihkan dari serat-serat dengan menggunakan amplas dan cutter. Kemudian contoh uji disusun bertumpuk dengan menggunakan stiker kayu di dalam oven. Selanjutnya contoh uji tersebut dioven pada suhu konstan 100 °C hingga mencapai kadar air kering tanur (± 0%). Penilaian sifat pengeringan kayu didasarkan pada 3 jenis cacat dan tingkat kerusakan untuk masing-masing jenis cacat. Tingkat kerusakan kayu karena retak/pecah ujung, pecah permukaan dan perubahan bentuk (deformasi) menggunakan skala 1 sampai 8 sedangkan untuk retak/pecah di bagian dalam kayu menggunakan skala 1 sampai 6 (Lampiran 4).
Berdasarkan penilaian terhadap contoh uji dengan tingkat terparah, ditetapkan suhu dan kelembaban (awal dan akhir) pengeringan menurut Tabel 2.7. Berdasarkan hasil evaluasi cacat tersebut, maka disusun suatu rancangan jadwal pengeringan jenis kayu tersebut, yaitu berupa suhu awal dan akhir serta kelembaban awal dan akhir sehingga kayu tersebut dapat dikeringkan secara optimal. Perubahan tingkat suhu dan kelembaban untuk setiap perubahan kadar air dalam jadwal pengeringan mengacu pada jadwal pengeringan Forest Product Laboratory (FPL) Madison (Torgeson, 1951 dalam Basri et al. 2000). Perubahan kelembaban relatif untuk tiap perubahan kadar air dan suhu pengeringan dicari dengan menggunakan bantuan kurva penentu kelembaban udara relatif.
16
Percobaan pengeringan dilakukan dalam kilang pengering yang dilengkapi dengan alat pengatur suhu serta kelembaban udara. Proses pengeringan dilakukan menggunakan jadwal pengeringan yang diperoleh dari pengujian sebelumnya. Perhitungan kadar air dilakukan setiap hari hingga kadar air masing-masing kayu mencapai kondisi kering tanur. Penentuan laju pengeringan menggunakan rumus:
Perlakuan conditioning selama dua jam diberikan menjelang akhir pengeringan untuk menstabilkan kondisi kayu agar tidak ada cacat tambahan akibat perbedaan tegangan. Pada akhir pengeringan alat pengatur suhu dan kelembaban dimatikan namun kipas dibiarkan tetap menyala selama sekitar 6 jam sebelum papan dikeluarkan dari dapur pengering.
Tabel 2.7 Suhu dan kelembaban pada awal dan akhir pengeringan berdasarkan
Kelembaban awal 75 78 82 83 85 90 90 90
Suhu awal 95 90 85 80 80 80 80 80
Kelembaban awal 29 29 27 30 30 28 28 28
Deformasi (deformation)
Suhu awal 70 65 60 50 50 50 45 45
Kelembaban awal 75 75 82 81 81 85 85 89
Suhu awal 95 90 80 80 75 75 70 70
Kelembaban awal 29 29 25 27 28 27 27 27
Retak/pecah dalam (honeycomb)
Suhu awal 70 55 50 50 45 45 -
-Kelembaban awal 75 81 80 85 83 89
Suhu awal 95 80 75 70 70 70 -
-Kelembaban awal 29 27 25 27 27 27 -
-Sumber: Terazawa (1965) dalam Basri (2005)
2.3.8 Pengujian Sifat Pemesinan Kayu
Metode penelitian berdasarkan ASTM D-1666-64 yang dimodifikasi oleh Abdurachman dan Karnasudirdja (1982). Contoh uji, disebut contoh uji induk, dibuat dalam bentuk papan berukuran 125 cm x 12.5 cm x 2 cm sebanyak 5 lembar yang diambil dari bagian pangkal dan ujung pohon. Setiap papan dipotong berdasarkan pola pada Gambar 2.5.
17
Gambar 2.5 Pola pemotongan contoh uji pemesinan kayu Tabel 2.8 Sifat pemesinan dan bentuk cacat yang diamati
Sifat pemesinan Bentuk cacat
Penyerutan (planing) serat terangkat (raised grain), serat berbulu (fuzzy grain), serat patah (torn grain), tanda chip (chip marking). Pembentukan (shaping) serat terangkat (raised grain), serat berbulu (fuzzy grain),
tanda chip (chip mark)
Pengeboran (boring) serat berbulu (fuzzy grain), penghancuran (crushing), kelicinan (smoothness), penyobekan (tearout) Pembubutan (turning) serat berbulu (fuzzy grain), serat patah (torn grain),
kekasaran (roughness)
Pengampelasan (sanding) serat berbulu (fuzzy grain), bekas garukan (scratching) Sumber : Sumber: Abdurrachman & Karnasudirja, 1982
18
Tabel 2.9 Klasifikasi sifat pemesinan
Nilai bebas cacat (%) Kelas Kualitas pemesinan
0 - 20 V Sangat jelek (very poor)
Contoh uji berukuran 15 cm x 5 cm x 2 cm. dilakukan Persiapan contoh uji sebelum pengujian yaitu pengecatan sesuai prosedur aplikasi sebagai berikut: 1. Permukaan kayu dihaluskan menggunakan ampelas nomor 180 sesuai arah
serat kayu.
2. Pengecatan dengan Aqua Wood Filler AWF-911. Aplikasikan AWF-911 dengan memastikan bahwa filler telah mengisi seluruh permukaan kayu dengan efektif dan didiamkan selama 60 menit.
3. Pengampelasan dengan ampelas nomor 240 hingga permukaan kayu terlihat kembali.
4. Pemberian cat dasar menggunakan Aqua Wood Sanding Sealer ASS-941 yang dicampur dengan 10% air. Aplikasi dengan cara dikuas, dibiarkan selama 120 menit, kemudian diamplas menggunakan kertas ampelas nomor 400. Tahap ini diulang sebanyak 2 kali.
5. Proses pengecatan akhir (top coat) yaitu dengan menggunakan Aqua Lacquer AL-961, dibiarkan selama 120 menit dan setelah itu diampelas kembali. Proses pengecatan diulangi sebanyak 2 kali.
Pengujian keawetan lapisan cat terhadap bahan kimia rumah tangga adalah dengan mengaplikasikan air panas, air dingin, saos, kecap, cuka, minyak goreng, larutan sabun ke atas permukaan sampel kayu (ASTM D 1308-02) kemudian diamati perubahan warna dan fenomena lainnya secara kualitatif, masing-masing selama 15 menit, 1 jam dan 16 jam. Pengujian keawetan atau daya lekat bahan finishing terhadap kayu (ASTM D 3359-02) dilakukan dengan membuat sayatan menggunakan pisau cutter ukuran 2 mm x 2 mm pada permukaan kayu. Pada permukaan tersebut ditempelkan tape semi transparan, ditekan sehingga seluruh permukaan tape melekat secara sempurna. Setelah 90 detik, tape dilepas dengan gerakan cepat namun tidak menyentak, dan dievaluasi pengelupasan lapisan catnya sesuai dengan klasifikasi pada Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Klasifikasi hasil pengujian daya rekat cat Klasifikasi Persentase area yang terkelupas (%)
19
2.4 Prosedur Analisis Data
Data sifat dasar dan sifat pengolahan kayu masing-masing dianalisis dengan metoda yang sesuai. Data anatomi kayu dianalisis secara deskriptif; penentuan kayu juvenil dan dewasa menggunakan analisis regresi, dengan asumsi bahwa pertambahan panjang serat (Y) pada setiap segmen dari empulur ke kulit (X) mengikuti model reciprocal function. Pada awal pertumbuhan dekat empulur akan mengikuti pola hiperbola hingga batas tertentu akan mengalami batas optimum yang disebut asimtot. Fungsi resiprokal dapat dituliskan sebagai berikut (Johnson et al 1987):
=� + �
Data sifat fisis, mekanis, kimia, keawetan alami, dan keterawetan kayu dianalisis menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial untuk melihat perbedaan setiap parameter pengujian berdasarkan diameter dan bagian batang dengan model matematis sebagai berikut (Mattjik 2002):
Yijk = μ + αi + βj+ (αβ)ij + ρk+ εijk dengan i =1,2,3 ; j = 1,2,…,6; k = 1,2,…,5
Yijk = nilai pengamatan pada diameter batang ke-i, bagian batang ke-j dan kelompok ke-k
μ = rataan umum
αi = pengaruh diameter batang ke-i
βj = pengaruh bagian batang ke-j
(αβ)ij = pengaruh interaksi diameter batang ke-i dan bagian batang ke-j
ρk = pengaruh kelompok ke-k
εijk = pengaruh acak dari diameter batang ke-i, bagian batang ke-j dan kelompok ke-k
20
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Struktur Anatomi Kayu 3.1.1 Ciri Makroskopis Kayu
Hasil pengamatan makroskopis kayu F. pimenteliana adalah sebagai berikut:
Warna: Bagian gubal berwarna putih sedangkan bagian teras berwarna merah muda hingga coklat muda. Bagian teras dan gubal dapat dibedakan dengan jelas. Tekstur: halus. Arah serat: lurus dan sedikit bergelombang. Kilap: permukaaan kayu agak mengkilap. Kekerasan: keras. Bau: memiliki aroma yang khas (mirip kemenyan). Ciri makroskopis kayu sesuai dengan Gambar 3.1 dan proporsi kayu teras dan gubal pada 3 batang pohon sampel seperti pada Tabel 3.1.
Menurut Tsoumis (1991), kayu teras dapat diamati baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Secara maksroskopis terlihat dari warna kayu yang lebih gelap. Secara mikroskopis, pembentukan kayu teras dicirikan dengan matinya sel-sel parenkim (kehilangan protoplasma dan nukleus). Kematian sel parenkim tersebut disebabkan oleh akumulasi racun hasil metabolisme dalam sel. Hoadley (2000) menyatakan bahwa perubahan kayu gubal menjadi kayu teras disertai dengan pembentukan ekstraktif di dalam dinding sel. Pembentukan zat ekstraktif di dalam xilem ini ditandai dengan perubahan warna jaringan sehingga kayu teras berwarna lebih gelap.
Proporsi kayu teras semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya diameter pohon , kayu diameter 60 cm memiliki proporsi kayu teras yang lebih besar dibandingkan kayu diameter 50 cm dan 40 cm. Berdasarkan bagian batangnya, bagian pangkal memiliki proporsi teras yang lebih tinggi dibandingkan pada bagian tengah dan ujung batang.
Tabel 3.1 Proporsi bagian teras kayu maniani
Diameter batang (cm) Bagian batang Proporsi kayu teras (%)
40 Pangkal 73.19
Tengah 52.85
Ujung 42.41
50 Pangkal 76.32
Tengah 54.03
Ujung 53.16
60 Pangkal 77.04
Tengah 70.85
Ujung 62.58
21 Rata-rata proporsi kayu teras sebesar 62.49% menandakan jumlah kayu teras di dalam kayu ini cukup besar. Persentase kayu teras yang cukup besar pada pohon dapat mengindikasikan bahwa pohon dapat menghasilkan kayu dengan kualitas yang lebih baik.
Gambar 3.1 Bagian kayu teras pada penampang lintang (a) dan corak kayu pada papan bidang tangensial (b)
3.1.2 Ciri Mikroskopis Kayu
22
23
Pengukuran Dimensi Serat dan Penentuan Nilai Turunan Dimensi Serat
Dimensi serat merupakan salah satu sifat penting kayu yang dapat digunakan sebagai dasar memilih kayu untuk produksi pulp dan kertas. Dimensi serat dari pohon diameter 40 cm, 50 cm, dan 60 cm dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Dari Tabel 3.2 terlihat bahwa dimensi serat kayu maniani memiliki keragaman baik antar diameter batang maupun bagian batang. Menurut Tsoumis (1991), keragaman secara horisontal terjadi karena perubahan tebal dinding dan panjang serat, sedangkan secara vertikal keragaman terjadi pada panjang serat. Variasi struktur kayu bervariasi dapat terjadi baik dari empulur ke kulit maupun dari pangkal ke ujung batang.
Berdasarkan klasifikasi IAWA (2008), maka kayu maniani dikategorikan memiliki panjang serat sedang (900 sampai 1600 µ m), dan dinding sel sangat tipis sampai tebal. Berdasarkan klasifikasi Klemn (Nurahman dan Silitonga 1973), diameter serat kayu ini tergolong sedang (10 sampai 25 µ m).
Priasukmana dan Silitonga (1972) menyatakan bahwa dinding serat yang tipis dengan diameter yang besar dapat menyebabkan collapse dalam pembentukan lembaran yang rata, namun memiliki kekuatan tarik yang tinggi. Sebaliknya jika dinding serat tebal akan lebih tahan terhadap collapse namun kekuatan tariknya rendah. Lembaran kertasnya pun akan lebih tebal.
Selain mempengaruhi kekuatan pulp dan kertas, dimensi serat berpengaruh pula pada sifat-sifat kayu. Ukuran dimensi serat mempengaruhi tekstur kayu. Panjang serat juga mempengaruhi sifat fisis dan mekanis kayu. Kayu dengan serat panjang akan memiliki kekuatan tarik (tensile strength) yang tinggi (Jane 1942 yang diacu dalam Priasukmana dan Silitonga 1972).
Persyaratan serat untuk bahan baku pulp dan kertas juga ditentukan oleh nilai turunan dimensi serat. Nilai turunan dimensi serat dan nilai kelas serat dari pohon diameter 40 cm, 50 cm, dan 60 cm seperti pada Tabel 3.3.
24
Tabel 3.3 Nilai turunan dimensi serat kayu maniani Bagian Runkell yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh dinding serat pada kayu diameter 50 cm lebih tebal dibanding kayu diameter 40 cm dan 60 cm. Bilangan Runkell yang tinggi menurunkan kualitas lembaran kertas. Dinding sel dan lumen yang berukuran sedang biasanya terdapat pada jenis kayu yang setengah ringan atau agak berat. Bilangan Runkell yang rendah berarti serat berdinding tipis, lebih mudah memipih sehingga daerah kontak antar serat yang terbentuk semakin luas, proses penggilingan, pengepresan dan pengeringan juga lebih baik.
Muhlsteph ratio yang rendah juga meningkatkan kualitas lembaran kertas. Semakin kecil muhlsteph ratio, semakin besar diameter lumen sehingga serat semakin mudah menggepeng dan memiliki daya lipat yang tinggi.
Flexibility ratio yang terbesar (terbaik) dimiliki oleh kayu diameter 60 cm. Hal ini berarti diameter lumennya paling besar dan diameter seratnya kecil. Pulp yang dihasilkan mudah menggepeng dan memiliki kekuatan tarik yang tinggi.
Felting power yang tertinggi (pada kayu diameter 50 cm) menandakan serat tersusun lebih rapat sehingga kertas yang dihasilkan memiliki kekuatan sobek yang lebih tinggi. Felting power juga mempengaruhi daya lentur serat sehingga ikatan antar serat menjadi lebih baik.
Koefisien rigidity yang rendah menandakan dinding serat yang tipis dengan diameter serat yang lebar. Pembentukan lembaran kertas lebih fleksibel sehingga kualitas jalinan ikatan antar seratnya bagus.
25
Batas Kayu Juvenil dan Kayu Dewasa Volume dan persentase kayu muda (juvenil) dapat ditentukan berdasarkan salah satu indikator yaitu panjang serat secara horizontal, mulai dari empulur ke arah kulit pada tingkat ketinggian tertentu pada batang. Secara struktural kayu juvenil dicirikan dengan kenaikan dimensi panjang serat secara progresif hingga adanya kecenderungan konstan pada titik tertentu, maka kayu dewasa (mature wood) mulai terbentuk, dan sebaliknya pertumbuhan kayu muda mulai terhenti. Lamanya pembentukan kayu muda di antara jenis kayu sangat bervariasi, umumnya berkisar antara 5 - 20 tahun (Panshin dan de Zeeuw 1980).
Dengan menggunakan persamaan regresi dengan fungsi resiprokal, diperoleh trend pertambahan panjang serat dari empulur ke kulit seperti pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Panjang serat dari empulur ke arah kulit pada diameter batang 40 cm (♦), 50 cm (■) dan 60 cm (▲)
Dari Gambar 3.3 terlihat terjadi peningkatan panjang serat dari ketiga diameter pohon hingga jarak 11 - 13 cm dari empulur. Setelah itu panjang serat menunjukkan nilai yang relatif konstan hingga ke arah kulit. Dengan demikian dapat diduga bahwa bagian kayu dewasa mulai terbentuk di bagian pangkal batang setelah 13 cm dari empulur sehingga dapat dikatakan bahwa proporsi kayu juvenil pada bagian pangkal batang sebesar 30% - 50% dari total volume kayu.
Menurut Bendtsen (1978) dalam Haygreen dan Bowyer (1989), perubahan kayu juvenil ke kayu dewasa ditunjukkan oleh kenaikan nilai berat jenis, kerapatan, panjang sel, kekuatan, tebal dinding sel, penyusutan transversal dan persen kayu akhir. Menurut Glass dan Zelinka (2010) dan Tsoumis (1991), kayu juvenil meliputi seluruh riap pertumbuhan yang terletak dekat dengan empulur, dimana riap pertumbuhannya memiliki ciri-ciri adanya bagian kayu akhir yang kurang jelas, sel-selnya lebih pendek, sudut mikrofibrilnya lebih besar, derajat kristalinitas dan kadar selulosanya lebih rendah bila dibandingkan dengan kayu dewasa yang akan dibentuk kemudian. Karena sudut mikrofibril yang besar pada dinding sel lapisan S2, maka dapat memberi peluang terjadinya penyusutan longitudinal yang relatif besar ketika dikeringkan, sehingga menyebabkan cacat kayu seperti memuntir, memangkuk dan retak. Kayu juvenil berpengaruh besar pula terhadap berkurangnya sifat-sifat mekanis kayu.
26
3.2 Sifat Fisis Kayu 3.2.1 Kadar Air Segar
Gambar 3.4 memperlihatkan bahwa kadar air kondisi segar (KAS) kayu maniani pada bagian teras lebih tinggi dibandingkan gubalnya. Berbeda dengan kayu daun jarum yang selalu memiliki kadar air kayu gubal yang lebih tinggi dibandingkan terasnya, maka kadar air kayu daun lebar dapat berbeda-beda antara kayu gubal dan terasnya tergantung pada jenis kayu itu sendiri. Walaupun nilai kadar air setiap jenis kayu berada pada kisaran tertentu, namun variasi di dalam pohon cukup besar (Glass dan Zelinka 2010).
Di dalam sel, keberadaan air dikelompokkan menjadi dua yaitu air bebas dan air terikat. Air bebas terletak pada rongga sel yang memberikan pengaruh berat pada kayu serta air terikat yang terletak pada dinding sel dan mikrofoid memberikan pengaruh berat dan dimensi pada kayu. Jumlah air bebas tergantung pula pada porositas dan volume kayu (Siau 1971). Kayu teras memiliki kerapatan yang tinggi, dengan demikian jumlah komponen penyusun kayu seperti selulosa dan hemiselulosa juga semakin banyak. Kandungan selulosa yang tinggi pada kayu teras memberikan peluang terjadinya ikatan hidrogen dengan air lebih banyak pula. Setiap unit glukosa yang mengandung tiga gugus hidroksil dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air pada daerah amorph (Siau 1995; Skaar 1972).
Nilai KAS berkisar antara 32.97% - 78.91%. Kayu teras pada bagian tengah batang untuk masing-masing diameter (40 cm, 50 cm dan 60 cm) memiliki kadar air segar yang tertinggi. Berdasarkan sidik ragam terhadap nilai KAS pada selang kepercayaan 95%, terdapat perbedaan nilai KAS pada setiap diameter batang dan bagian batang pada setiap diameter batang. Hasil uji Duncan untuk KAS tersaji pada Tabel 3.4
Keterangan :
PT = pangkal teras TT = tengah teras UT = ujung teras
PG = pangkal gubal TG = tengah gubal UG = ujung gubal
27 Tabel 3.4 Hasil uji Duncan KAS pada diameter batang 40 cm, 50 cm dan 60 cm
Bagian batang Diameter 40 cm Diameter 50 cm Diameter 60 cm
PT 51.409 def 44.794 f 70.190 ab yang lebih tinggi, maka pada kondisi kering udara kadar air kayu gubalnya yang lebih tinggi dibandingkan kayu teras.
Kayu gubal mengandung sel kayu yang masih hidup, dengan demikian kandungan pati di dalam sel diduga masih tinggi. Hal ini mempengaruhi jumlah kadar air pada kayu gubal.
Berdasarkan analisis sidik ragam terhadap nilai KAU pada selang kepercayaan 95% diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan KAU antar diameter batang, namun demikian terdapat perbedaan pada bagian batang. Hasil uji Duncan seperti pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Hasil uji Duncan KAU pada diameter batang 40 cm, 50 cm dan 60 cm
Bagian batang Diameter 40 cm Diameter 50 cm Diameter 60 cm
PT 13.51 b 13.56 b 14.62 ab
28
3.2.3 Berat Jenis
Nilai berat jenis (BJ) kayu maniani berkisar antara0.49 - 0.98 dengan rata-rata 0.61. Bagian pangkal batang pada setiap diameter kayu memiliki BJ tertinggi, sedangkan bagian ujung batang sedikit lebih tinggi dibandingkan pada bagian tengah batang (Gambar 3.6).
Berdasarkan sidik ragam terhadap nilai BJ pada selang kepercayaan 95%, terdapat perbedaan nilai BJ antara diameter batang dan posisinya pada masing-masing diameter batang. Hasil uji Duncan tersaji pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6 Hasil uji Duncan BJ pada diameter batang 40 cm, 50 cm dan 60 cm
Bagian batang Diameter 40 cm Diameter 50 cm Diameter 60 cm
PT 0.664 c 0.863 a 0.600 def
Menurut Bowyer et al. (2003), bagian pangkal kayu cenderung memiliki BJ yang lebih tinggi daripada bagian kayu yang lebih tinggi dalam batang utama. Menurut Tsoumis (1991), BJ dipengaruhi oleh kadar air, struktur kayu, zat ekstraktif dan komponen kimia. Peningkatan kadar air cenderung untuk meningkatkan kerapatan kayu karena berat kayu yang bertambah dan volume yang walaupun meningkat pada awalnya hingga kapasitas maksimum sel untuk mengembang, namun setelah itu volume kayu akan konstan. Kerapatan kayu bervariasi tergantung jumlah penyusun dinding sel dan rongga sel pada volume tertentu. Lebar lingkaran pertumbuhan dan proporsi kayu akhir juga mempengaruhi kerapatan kayu. Kadar ekstraktif yang tinggi dapat pula meningkatkan berat jenis pada kayu teras. Komponen kimia penyusun dinding sel seperti selulosa dan lignin juga mempengaruhi kerapatan kayu.