• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analyst Of Prevention And Control Brucellosis In Kalimantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analyst Of Prevention And Control Brucellosis In Kalimantan"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN

BRUSELOSIS DI KALIMANTAN

ENDANG SRI PERTIWI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Bruselosis ... 5

Kebijakan Publik Dalam Pengendalian Penyakit Hewan ... 13

Standar Internasional Strategi Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis ... 14

Strategi Pengendalian Penyakit di Negara Yang Berhasil Memberantas Bruselosis ... 17

Program Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis di Kalimantan ... 18

BAHAN DAN METODE ... 21

Kerangka Konsep Penelitian ... 21

Variabel Penelitian ... 21

Sistem Skoring ... 23

Pengambilan Data ... 24

Responden ... 24

Waktu dan Penelitian ... 24

Analisis Data ... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

Hasil ... 27

Pembahasan ... 37

Strategi Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis yang Terpadu di Kalimantan ... 43

(3)

xi

Usulan Teknis Strategi Pengendalian Bruselosis di Kalimantan pada

Dinas Kabupaten/Kota yang Membawahi Fungsi Kesehatan Hewan ... 46

SIMPULAN DAN SARAN ... 49

Simpulan ... 49

Saran ... 50

(4)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Stabilitas Brucella sp dalam beberapa kondisi lingkungan ... 6

2. Jenis species Brucella sp pada inang ... 6

3. 4. Ketersediaan sumber daya manusia UPTKP ... 27

Sensitivitas dan spesifisitas beberapa pengujian bruselosis ... 11

5. Karakteristik Pelaku Kebijakan UPTKP ... 29

6. Alokasi dana UPTKP untuk pencegahan bruselosis di Kalimantan ... 29

7. Ketersediaan sarana prasana UPTKP ... 30

8. Sistem Kebijakan UPTKP ... 31

9. Ketersediaan sumber daya manusia dinas kabupaten/kota ... 33

10. Karakteristik pelaku kebijakan dinas kabupaten/kota ... 34

11. Alokasi sumber dana untuk pengendalian bruselosis di Kalimantan ... 35

12. Ketersediaan sarana prasarana dinas kabupaten/kota ... 36

(5)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Peta distribusi bruselsosis secara serologis ... 9

2. Skema analisa kebijakan publik ... 14

3. Alur Strategi Kebijakan untuk pengendalian bruselosis ... 16

(6)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Strategi Pencegahan Dan Pengendalian Bruselosis Di Kalimantan, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

(7)
(8)

ABSTRACT

ENDANG SRI PERTIWI. ANALYST OF PREVENTION AND CONTROL BRUCELLOSIS IN KALIMANTAN. Under direction of ETIH SUDARNIKA and USAMAH AFIFF.

The strategy of prevention and control of brucellosis has been implemented in Kalimantan and this province of Indonesia has been declare free of brucellosis in 2009. Cattle movement from brucellosis infected areas to Kalimantan poses a high risk of entry and spreading of brucellosis in this island. The purpose of this study is to analyse the strategy of prevention and control of brucellosis in Kalimantan. The study used a descriptive analysis including human resources, policy environment (fund and infrastructure) and policy system. The result of this study proves that AQA has been able to implement, monitor and control animal movement in Kalimantan in preventing new cases of brucellosis. Each AQA involved in sending and receiving cattle has adequate qualified human resources with sufficient knowledge and attitude related with brucellosis although the majority they never have additional training about brucellosis. Most of AQA already have enough funds and infrastructure to implement the strategy. Policy system in controlling cattle movement in relation with prevention of brucellosis has been implemented, but is not fully executed according to OIE. A total of 14 District veterinary services in this study that have a function to control brucellosis does not have enough veterinarian and para-veterinarian to implementing the strategy to control brucellosis in their area. In general, the district veterinary officer have sufficient knowledge and good attitude toward brucellosis, although the majority they never have additional training about brucellosis. Most of district veterinary services do not have funds and infrastructure related with strategy control of brucellosis. And also most of district veterinary services do not implemented yet the strategy of control of brucellosis which is based on the ministry of Agriculture and OIE.

(9)
(10)

RINGKASAN

ENDANG SRI PERTIWI. Kajian Strategi Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis di Kalimantan. Dibimbing oleh ETIH SUDARNIKA dan USAMAH AFIFF.

Kebijakan nasional pemberantasan dan pengendalian penyakit bruselosis telah diterapkan dan Kalimantan telah berhasil mendapatkan status bebas bruselosis pada tahun 2009. Namun pemasukan sapi dari berbagai daerah di Indonesia tentu saja berisiko tinggi terhadap masuk dan tersebarnya bruselosis di Pulau Kalimantan. Melihat kondisi ini maka dilakukan sebuah kajian strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis khususnya di pulau Kalimantan. Kajian ini untuk melihat kondisi nyata implementasi strategi pencegahanan dan pengendalian bruselosis yang diterapkan di Kalimantan. Standar-standar internasional seperti OIE, WHO, FAO dan pedoman strategi penyakit dari negara yang berhasil memberantas bruselosis akan dijadikan referensi sebagai standar dalam menyusun usulan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis yang terpadu antar instansi yang terkait sesuai dengan tupoksinya masing masing. Tujuan penelitian adalah untuk melakukan kajian terhadap program strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di Kalimantan serta dapat menyusun usulan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis yg terpadu berdasarkan fakta dan referensi yang ada.

Metode penelitian ini menggunakan analisa kebijakan strategis dan Menurut Dunn (2011) analisa kebijakan strategis terdiri dari pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan (sumber dana dan sarana prasarana dan kebijakan publik (sistem kebijakan). Analisa kebijakan ini oleh peneliti dijadikan kerangka metode penelitian yang dijabarkan dalam beberapa variabel. Penelitian ini menggunakan kuisioner kepada para pelaku kebijakan. Tempat penelitian dilaksanakan di seluruh Dinas Kabupaten/Kota yang membawahi fungsi kesehatan hewan yang ada di Kalimantan dan Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian (UPTKP) yang mempunyai tupoksi dalam pengawasan pergerakan hewan (sapi dan kerbau) ke Kalimantan. Dalam analisis data penulis menggunaka analisa deskripsi yang disajikan dalam bentuk tabel.

Strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di Kalimantan telah dilaksanakan oleh beberapa instansi terkait yang mempunyai tupoksi dalam strategi tersebut. Instansi-instansi tersebut adalah UPT Karantina Pertanian sebagai instansi yang mempunyai tupoksi dalam pencegahan bruselosis dan Dinas Kabupaten/Kota yang membawahi fungsi kesehatan hewan yang mempunyai tupoksi dalam pengendalian bruselsosis di Kalimantan.

(11)

beberapa hal penting yang belum semua dapat terpenuhi sehingga perlu ditingkatkan. Sistem kebijakan dalam pengawasan lalu lintas hewan terkait pencegahan bruselosis di Kalimantan telah diimplementasikan tetapi belum sepenuhnya dilakukan berdasarkan standar internasional (OIE)

Ke-14 Dinas Kabupaten/Kota yang membawahi fungsi kesehatan hewan terlihat bahwa ada sebagian dinas yang tidak mempunyai SDM berkompetensi dalam melaksanakan strategi pengendalian bruselosis di Kalimantan dalam hal ini dokter hewan dan paramedik veteriner. Secara umum pelaku kebijakan mempunyai pengetahuan yang cukup dan sikap yang baik serta mayoritas belum pernah mengikuti pelatihan terkait pengendalian bruselosis. Sumber dana dan sarana prasarana kurang memadai. Belum semua Dinas Kab/Kota yang dapat mengimplementasikan pengendalian bruselosis berdasarkan kepada keputusan Menteri Pertanian Nomor: 828/Kpts/OT.210/10/98 tentang pedoman pemberantasan penyakit hewan keluron menular (bruselosis) pada ternak.

Dalam mempertahankan status bebas bruselosis di pulau Kalimantan sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 2540/Kpts/Pd.610/6/2009 tentang Pernyataan Pulau Kalimantan Bebas Dari Penyakit Hewan Keluron Menular (bruselosis) Pada Sapi Dan Kerbau, maka dibutuhkan suatu perhatian yang serius terhadap sistem kebijakan dalam pengawasan lalu lintas hewan terkait pencegahan dan pengendalian bruselosis di Kalimantan. Pada implementasi sistem kebijakan pengawasan lalu lintas hewan seharusnya dilakukan berdasarkan standar internasional (OIE).

(12)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(13)
(14)

KAJIAN STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN

BRUSELOSIS DI KALIMANTAN

Endang Sri Pertiwi

B251100214

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)
(16)

Judul Tesis : Kajian Strategi Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis di Kalimantan

Nama : Endang Sri Pertiwi

NRP : B251100214

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Etih sudarnika, M.Si Ketua

drh. Usamah Afiff, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil Notodiputro, M.S

(17)
(18)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul Kajian Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis di Kalimantan. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana IPB.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada ibu Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si dan bapak drh. Usamah Afiff, M.Sc selaku komisi pembimbing atas arahan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis, kepada Dr. Ir. Kedi Suradisastra, M.Sc selaku penguji luar komisi pada ujian tesis.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana. Terima kasih perlu penulis sampaikan kepada drh. Mulyanto, MM, drh Sujarwanto, MM, drh. Mira Hartati, M.Si, drh. R. Nurcahyo, M.Si, drh. Esmiralda Eka Fitri, M.Si beserta staf Badan Karantina Pertanian atas kesempatan dan bantuan yang telah diberikan selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Balai Besar Soekarno Hatta beserta staf, Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas I Balikpapan beserta staf, seluruh pengajar Kesmavet berserta staf, dan rekan rekan KMV 15 dan rekan rekan mahasiswa pascasarjana atas segala saran, masukan dan bantuan yang diberikan.

Ungkapan terimakasih penulis juga sampai kan kepada suami tercinta drh. Al Habib, ibu dan bapak ibu mertua serta seluruh keluarga atas segala do’a, kasih sayang dan pengertian yang telah diberikan

Rasa terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan bantuan kepada penulis.

Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang membutuhkan.

(19)
(20)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 16 Desember 1977 dari ayahanda Alm. Sutarto dan ibunda Cici Sumiati. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dan menikah dengan drh. Al Habib pada tahun 2004.

Pendidikan SD Negeri ditempuh di SD Singdanglaya 4 Bandung lulus pada tahun 1991, Pendidikan SLTP ditempuh di SMP Negeri 1 Ujungberung dan SMP Negeri 1 Cibinong Bogor lulus tahun 1993, Pendidikan SLTA ditempuh di SMA Negeri 6 Bogor lulus tahun 1996. Kemudian penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor Fakultas kedokteran hewan dan gelar Sarjana Kedokteran Hewan diraih tahun 2000 serta melanjutkan Program Pendidikan Dokter Hewan dan gelar dokter hewan diraih tahun 2002.

(21)
(22)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Potensi Kalimantan dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal

ternak berbasis sumberdaya domestik dinilai cukup besar mengingat alam yang luas

untuk padang pengembalaan, penanaman rumput unggul dan integrasi antara

perkebunan dan ternak. Kapasitas daya tampung sapi di Kalimantan belum optimal,

sehingga bila dioptimalkan dapat mendukung Program Swasembada Daging Sapi

dan Kerbau Tahun 2014 (PSDSK-2014) yang merupakan salah satu program utama

Kementerian Pertanian terkait dengan ternak.

Untuk mewujudkan program swasembada tersebut, pemerintah daerah di

seluruh Kalimantan menambah populasi sapi dengan mendatangkan dari beberapa

daerah di luar Kalimantan. Sebagian pemasukan sapi ini memang berasal dari

daerah yang bebas bruselosis seperti pulau Lombok, Madura dan Bali tetapi

pemasukan sapi dari daerah-daerah tersebut tidak cukup untuk memenuhi jumlah

target pemasukan ternak. Dengan pertimbangan tertentu pemasukan dari daerah

yang tidak bebas bruselosis seperti daerah Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan

ataupun Jawa dilakukan. Pada saat ini Pulau Kalimantan telah ditetapkan sebagai

daerah yang bebas bruselosis, sehingga pemasukan sapi dari berbagai daerah tentu

saja berisiko tinggi terhadap masuk dan tersebarnya bruselosis di Pulau

Kalimantan.

Bruselosis atau penyakit keluron menular merupakan penyakit strategis dan

bersifat zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Brucella abortus, dan juga oleh Br.

melitensis dan Br. suis walaupun kedua penyebab terakhir relatif jarang ditemui di

Indonesia. Pada saat infeksi kuman Brucella sp. akan berkembang pada

limfoglandula superficial dan menyebar ke berbagai organ tubuh seperti organ

reproduksi, limpa dan hati. Pada hewan betina yang terinfeksi, Brucella sp. akan

mudah ditemukan pada jaringan dan cairan plasenta, hal ini dikarenakan adanya

pengaruh eritriol yang dihasil oleh plasenta yang akan merangsang multifikasi

kuman ini. Pada saat keguguran, fetus dan membran alantois mengandung 1014

kuman B. abortus per mililiter sedangkan pada cairan alantois mengandung 1012

(23)

2

mengkontaminasi lingkungan dan juga sumber penularan. Penularan bisa melalui

konjungtivita mata atau hidung. Oleh karena itu bruselosis merupakan penyakit

yang cara penularannya relatif cepat. Penyakit ini menimbulkan kerugian ekonomi

yang sangat besar meskipun mortalitasnya rendah. Hal ini menjadi salah satu dasar

bahwa penyakit ini termasuk dalam daftar hewan menular strategis dan daftar hama

penyakit hewan karantina (HPHK) golongan II.

Menurut BPPV (2008) Surveilans bruselosis di Kalimantan telah dilakukan

secara bertahap (on going surveilance) sejak tahun 1998 berdasarkan kemampuan

anggaran yang tersedia di BPPV regional V Banjarbaru. Pelaksanaan baru

dilakukan secara intensif pada periode tahun 2003-2007, hingga pertengahan tahun

2008. Berdasarkan data tahun 1998-2002, apparent prevalence penyakit bruselosis

di Kalimantan sangat rendah yaitu 0.087% dari jumlah 13 479 sampel yang diuji.

Kondisi ini sebenarnya menunjukan bahwa Kalimantan layak dinyatakan sebagai

daerah bebas bruselosis. Program pengendalian bruselosis di Kalimantan dilakukan

dengan jalan test and slaughter, yaitu dengan menguji serum sapi dengan

menggunakan RBT (rose bengal test) yang dilanjutkan dengan pengujian seri

menggunakan CFT (complement fixation test). Sapi-sapi bibit yang masuk

Kalimantan dilakukan pengujian 100% terhadap bruselosis di pintu pemasukan oleh

Karantina Hewan diseluruh Kalimantan dan terhadap reaktor (hewan yang positip

RBT dan CFT) dilakukan pemotongan. Terhadap sapi-sapi yang dipelihara oleh

peternak dilakukan serosurveilans yang dilakukan oleh BPPV Regional V

banjarbaru dan Laboratorium Kesehatan Hewan Propinsi.

Berdasarkan hasil surveilans bruselosis tahun 1998-2008 di Kalimantan serta

memperhatikan ketentuan OIE maka dapat disimpulkan bahwa Kalimantan dapat

dinyatakan sebagai zona bebas bruselosis karena prevalensinya kurang dari 0.2%.

Pada tahun 2009, status bebas bruselosis di Pulau Kalimantan ditetapkan dalam

Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 2540/Kpts/Pd.610/6/2009 Tentang

Pernyataan Pulau Kalimantan Bebas Dari Penyakit Hewan Keluron Menular

(24)

3

Rumusan Masalah

Kebijakan nasional pemberantasan dan pengendalian penyakit bruselosis

telah diterapkan dan Kalimantan telah berhasil mendapatkan status bebas bruselosis

pada tahun 2009. Namun selama tahun 2010 kasus bruselosis telah ditemukan di

beberapa daerah di Kalimatan diantaranya ditemukan adanya beberapa reaktor

bruselosis di propinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur.

Jumlah reaktor memang masih dibawah nilai toleransi yaitu masih dibawah 0.2%,

tetapi mengingat sifat dari bakteri ini yang cepat menyebar dan mempunyai nilai

kerugian ekonomi yang cukup besar maka hal ini seharusnya menjadi perhatian dari

instansi yang berwenang untuk melaksanakan program strategi pencegahan dan

pengendalian bruselosis di Kalimantan agar tetap bebas.

Sehubungan dengan kondisi diatas maka diperlukan sebuah kajian strategi

pencegahanan dan pengendalian bruselosis khususnya di pulau Kalimantan. Kajian

ini untuk melihat kondisi nyata implementasi strategi pencegahanan dan

pengendalian bruselosis yang diterapkan di Kalimantan. Standar-standar

internasional seperti OIE, WHO, FAO dan pedoman strategi penyakit dari negara

yang berhasil memberantas bruselosis akan dijadikan referensi sebagai standar

dalam menyusun usulan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis yang

terpadu antar instansi yang terkait sesuai dengan tupoksinya masing masing

Tujuan Penelitian

• Melakukan kajian terhadap program strategi pencegahan dan pengendalian

bruselosis di Kalimantan.

• Menyusun usulan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis yg

terpadu berdasarkan fakta dan referensi yang ada.

Manfaat Penelitian

• Dapat memberikan informasi mengenai hasil evaluasi terhadap program

strategi pencegahan dan pengendalian penyakit bruselosis di Kalimantan.

• Dapat memberikan data pendukung untuk penyusunan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis selanjutnya yg terpadu berdasarkan fakta dan

(25)
(26)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Bruselosis

Bruselosis merupakan salah satu penyakit zoonosis utama yang bisa

berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan perekonomian di banyak bagian

dunia (Agasthya et al. 2007). Agen patogen utama pada sapi adalah genus Brucella

abortus (Crawford et al. 1990). Penyakit ini pada manusia dikenal dengan Malta

fever, Mediterranean fever dan Gilbaltar fever sesuai dengan nama daerah tempat

pertama kali penyakit ini ditemukan. Juga dikenal sebagai nama undulant fever

karena gejala demam dengan suhu yang bervariasi dan berulang pada orang yang

terinfeksi (Megid et al. 2010). Infeksi penyakit ini ditularkan secara langsung

maupun tidak langsung melalui kontak dengan hewan atau produk hewan yang

terinfeksi (WHO 2006). Oleh karena itu alat-alat yang telah tercemar bakteri

brucella sebaiknya tak bersentuhan langsung dengan manusia. Bruselosis adalah

penyakit zoonosis serius yang menyebabkan aborsi, infertilitas, retensi plasenta,

kelahiran mati dan kerugian ekonomi yang sangat besar (Dhand et al. 2004). Sapi

dapat terinfeksi oleh Brucella melitensis dan Brucella suis ketika merumput atau

menggunakan secara bersama-sama peralatan kambing, domba atau babi yang

terinfeksi (PAHO 2003).

Etiologi

Bruselosis disebabkan oleh infeksi dari berbagai spesies dari genus brucella,

termasuk pada bakteri gram negatif, coccobacillus fakultatif intraseluler atau

berbatang pendek (Bret et al. 2007). Organisme ini biasanya aerobik tetapi pada

beberapa jenis memerlukan lingkungan yang mengandung karbondioksida 5-10%.

Pertumbuhan Brucella sp lambat, kadang-kadang memakan waktu 2-3 hari dengan

memerlukan media enriched dengan suhu 370

Kestabilitan Brucella sp dapat bertahan dalam beberapa kondisi lingkungan

(27)

6

Tabel 1 Stabilitas Brucella sp dalam beberapa kondisi lingkungan

LINGKUNGAN KONDISI STABILITAS

Sinar matahari <310C 4.5 jam

Air 40C 4 bulan

Air laboratorium 200C 2.5 bulan

Tanah Kering dalam laboratorium 180

<4 hari

C dengan kelembaban 69-72 hari ¸7 hari

Urin 370

Susu mentah 25-370

8

Padang rumput Dibawah sinar matahari Terlindung sinar matahari

<5 hari >6 hari

Kayu, dinding dan lantai - 3-4 hari

(Sumber: Puto et al. 2010)

Beberapa spesies yang dapat menginfeksi hewan antara lain: Brucella

abortus, B. Melitensis, B. Suis, B. Ovis, B. canis dan B. Neotomae (CFSPH 2007).

Setiap spesies brucella mempunyai sifat karakteristik yang khas tetapi tidak mutlak,

predileksi untuk menginfeksi hewan maupun manusia dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis species Brucella sp pada inang

Brucella sp Inang (host) Patogenitas Pada Manusia

B. suis Babi Tinggi

B. melitensis Kambing, domba Tinggi

B. abortus Sapi, bison Menengah

B. canis Anjing Menengah

Marine species Mamalia laut Jarang

B. ovis Domba Tidak ada

B. neotama Rodensia Tidak ada

(Sumber: Bret et al. 2007)

B. melitensis, B. suis, B. abortus dan B. canis merupakan agen yang sering

menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi strain Brucella sp yang dapat

menginfeksi hewan laut juga pernah dilaporkan dapat menginfeksi manusia (Bret et

al. 2007). Bruselosis pada manusia sering disebabkan oleh B. abortus,

B. melitensis dan B. suis biovars 1-4, jarang disebabkan oleh B. canis ataupun

brucella yang menginfeksi mamalia laut. Telah terbukti secara genetik dan

imunologi menunjukan bahwa semua anggota genus Brucella terkait erat. Beberapa

(28)

7

tunggal (B. melitensis) yang mempunyai banyak biovars. Tetapi usulan ini masih

kontroversial dan kedua taksonomi saat ini masih digunakan (CFSPH 2007).

Epidemiologi

Bruselosis pada hewan adalah penyakit populasi ternak atau disebut herd or

flock Problem. Penyebaran penyakit antar ternak dalam populasi biasanya tidak

menyebabkan gejala yang jelas dan terjadi secara kronis atau menahun. Penyebaran

penyakit dalam suatu populasi terutama disebabkan oleh pakan yang

terkontaminasi. Infeksi melalui kontak perkawinan juga biasa terjadi terutama pada

infeksi B.suis. Infeksi secara kongenital (in utero) atau infeksi perinatal juga bisa

terjadi dengan perkembangan infeksi yang laten (FAO 2003). Penularan dari

manusia ke manusia jarang terjadi, kejadian penyakit pada manusia erat kaitannya

dengan prevalensi bruselosis pada hewan, praktek-praktek atau kontak langsung

dengan hewan yang berpotensi penyakit dan produk hewan itu sendiri. Penularan

bruselosis pada manusia melalui kontak langsung biasa terjadi pada dokter hewan,

penggembala, peternak atau pekerja rumah potong hewan. Di beberapa negara lain

banyak manusia yang terinfeksi bruselosis melalui produk hewan yaitu dengan

adanya kebiasaan meminum susu tanpa pasteurisasi atau memakan keju yang

berasal dari susu yang tidak dipasteurisasi (Bret et al. 2007).

Bruselosis adalah salah satu penyakit zoonosis penting yang pernah tersebar

diseluruh dunia. Penyakit ini walaupun telah berhasil dikendalikan di beberapa

negara maju tetapi masih menjadi masalah di beberapa negara di Afrika,

Mediteranian, Timur tengah, sebagian Asia dan Amerika latin (Gul dan Khan

2007). Negara negara seperti Jepang, Kanada, beberapa negara Eropa, Australia,

Selandia Baru dan Israel telah berhasil memberantas bruselosis (CFSPH 2007).

Semua hewan domestik dapat menderita bruselosis. Bruselosis pada kerbau telah

dilaporkan di Egypt (10.0%) dan pakistan (5.05%). Pada unta bruselosis dilaporkan

di negara negara Arab dan Afrika (0.0-17.20%), pada saat itu juga dilaporkan kasus

yang terjadi pada kerbau, kuda dan babi (Gul dan Khan 2007). Pada sapi, domba,

kambing dan babi yang telah mengalami dewasa kelamin rentan terhadap

bruselosis. Pada hewan yang muda biasanya terjadi resisten walaupun dapat terjadi

(29)

8

Di Indonesia, bruselosis secara serologis diketahui pertama kali pada tahun

1953, ditemukan pada sapi perah di Grati, kabupaten pasuruan, Jaawa Timur. B.

abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Pada tahun 1940 penyakit bruselosis

juga dilaporkan di Sumatera Utara dan Aceh, dikenal dengan nama sebutan sakit

sane (radang sendi) atau sakit burut (radang testis). Dilihat dalam daftar penyakit

hewan menular yang diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda yang tertuang

staatsblaad 1912 No.432 dan 435, penyakit ini belum terdaftar dalam staatsblaad

tersebut. Lebih lanjut dalam catatan Roza tahun 1958 bahwa sampai tahun 1957

bruselosis belum dimasukan ke dalam daftar penyakit menular di Indonesia

sedangkan penyakit ini diidentifikasi sudah bersifat endemis pada banyak

peternakan sapi perah di Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada

tahun 1958 roza mengusulkan agar bruselosis segera diklasifikasikan sebagai

penyakit hewan menular dan pada tahun 1959 terbit surat keputusan menteri

pertanian No5494 C/SK/M tertanggal 4 Juli 1959 tentang Peraturan pengawasan

dan tindakan-tindakan terhadap hewan bruselosis (Putra et al. 2002).

Beberapa daerah telah bebas bruselosis yaitu Pulau Lombok di Prop NTB

(SK Mentan No. 444/Kpts/TN.540/7/2002), Pulau Bali (SK Mentan No.

443/Kpts/TN.540/7/2002), Pulau Sumbawa di Prop NTB (SK Mentan No.

97/Kpts/PO.660/2/2006), Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Kep. Riau (SK

Mentan No. 2541/Kpts/PD.610/6/2009), dan Pulau Kalimantan (SK Mentan No.

2540/Kpts/PD.610/6/2009). Namun seperti yang terlihat pada Gambar 1, selama

tahun 2010 kasus Brucellosis telah ditemukan di 16 provinsi di Indonesia yaitu

Sumatera Utara, Aceh, Bengkulu, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI

Yogyakarta, DKI Jakarta, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Kalimantan

(30)

9

Gambar 1 Peta distribusi bruselsosis secara serologis.

Perkembangan penyakit brucellosis sangat cepat, pada awal tahun 2010

brucellosis hanya terdeteksi di 5 provinsi tetapi pada akhir tahun 2010 kasus

brucellosis telah terdeteksi di 10 provinsi walaupun hewan yang terjangkit penyakit

tersebut langsung dipotong (Ditjennakeswan 2010).

Kondisi di Kalimantan dapat dideskripsikan setelah dilakukan surveilans awal

tahun 1998-2002 diketahui ada 3 kabupaten di Kalimantan yang merupakan daerah

reaktor bruselosis, yaitu Kotabaru, Tanah Bumbu dan Tanah Laut. Surveilans

lanjutan tahun 2003-2008 dikonsentrasikan juga pada ketiga kabupaten ini. Secara

komulatif pada tahun 1998-2008 surveilans dilakukan di 41 kabupaten, 180

kecamatan dan 385 desa. Total sampel yang terambil dan diuji bruselosis pada

tahun 1998-2008 tersebut sebanyak 45 462 sampel dengan jumlah reaktor yang

ditemukan sebanyak 72 ekor atau 0.17%. Nilai prevalensi sebesar 0.17% ini lebih

kecil dari ketentuan OIE untuk persyaratan yaitu sebesar 2%. Dengan demikian

secara keseluruhan dengan pendekatan zona per-pulau, Pulau Kalimantan dapat

dinyatakan sebagai zona bebas bruselosis (BBPV 2008).

Patogenesa

Sumber utama infeksi adalah cairan leleran dari sapi betina abortus yang

mencemari lingkungan via fetus, litter dan peralatan yang terkontaminasi. Ingesti

pakan/makanan yang terkontaminasi merupakan rute utama penularan bruselosis.

(31)

10

Brucella sp atau melalui kontak langsung. Brucella abortus paling sering

ditemukan pada kelompok ternak yang bebas bruselosis melalui pemasukan sapi

betina dan dara yang terinfeksi secara laten. Infeksi dapat juga berasal dari hewan

lain yang telah terinfeksi (kuda, babi, kambing, domba, anjing) dan manusia yang

terpapar (Blaha 1989). Bruselosis dapat menginfeksi hewan melalui luka pada kulit,

konjunktivita mata, saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Dalam saluran

pencernaan, organisme akan difagosit oleh sel dari epitel usus yang terkait dengan

jaringan limfoid lalu akan terus masuk ke submukosa. Organisme dengan cepat

dicerna oleh leukosit polimorfnuklear tapi pada umumnya gagal dieleminasi

kemudian difagositosis oleh makrofag. Bakteri kemudian diangkut oleh makrofag

ke jaringan limfoid dan akhirnya melokalisasi di beberapa organseperti kelenjar

getah bening, hati, limpa, kelenjar susu, sendi, ginjal dan sumsum tulang. Pada

ruminansia, organisme Brucella dapat melewati pertahanan tubuh inang yang

paling efektif dengan menargetkan jaringan embrio dan trofoblas. Pada sel dari

jaringan, bakteri tidak hanya tumbuh di phagosome tetapi juga dalam sitoplasma

dan retikulum endoplasma kasar. Dengan tidak adanya mekanisme mikrobisidal

intraseluler maka akan menyebabkan kemungkinan pertumbuhan bakteri, sehingga

menyebabkan kematian janin dan aborsi. Pada saat kelahiran eritriol yang

meningkatkan pertumbuhan brucella berkumpul di plasenta. Pada organ plasenta

saat aborsi kemungkinan berisi 1010 bakteri per-gram jaringan. Ketika aborsi septik

terjadi konsentrasi bakteri dari cairan plasenta sering mengakibatkan infeksi hewan

lain dan manusia (Bret et al. 2007).

Gejala Klinis

Bruselosis adalah penyakit sub-akut atau kronis yang dapat mempengaruhi

banyak spesies hewan yaitu pada sapi, domba, kambing, ruminansia lainnya dan

babi, fase awal setelah infeksi seringkali tidak jelas. Pada hewan seksual dewasa

infeksi melokalisasi pada sistem reproduksi dan biasanya menghasilkan placentitis

yang diikuti dengan aborsi pada hewan betina bunting, biasanya selama sepertiga

terakhir kehamilan, dan epididimitis dan orchitis pada hewan jantan. Klinis

tanda-tanda tidak patognomonik dan diagnosis tergantung pada jenis Brucella spp. baik

(32)

11

demonstrasi antibodi spesifik atau kekebalan tanggapan sel-dimediasi (WHO

2006). Ada kejadian pada beberapa anak sapi dapat lahir secara normal namun

kondisi tubuhnya sangat lemah (OIE 2009).

Diagnosa

Semua kejadian aborsi pada sapi pada masa kebuntingan mulai dari bulan

ke-5 harus dicurigai sebagai infeksi bruselosis dan harus diinvestigasi. Gambaran

klinis bruselosis biasanya tidak begitu jelas, meskipun dibantu oleh sejarah

penyakit sehingga dibutuhkan peneguhan diagnosa. Peneguhan diagnosa

seharusnya harus dengan isolasi dan identifikasi organismenya sendiri, tetapi dalam

situasi tertentu dimana isolasi dan identifikasi tidak praktis dilakukan maka

diagnosa dilakukan dengan pemeriksaan secara serologis (OIE 2009).

Pada sapi, kambing dan domba pengujian serologis biasa dilaksanakan.

Pengujian yang sering dilaksanakan disetiap individu ataupun kumpulan hewan

adalah Rose Bengal Test (RBT), Complement Fixation test (CFT) dan Elisa

(CPFSH 2007). Evaluasi uji serologis bruselosis sangat penting dilakukan untuk

menunjang keberhasilan program pengendalian dan pemberantasan. Idealnya uji

serologis harus mampu mendeteksi hewan yang terinfeksi dengan serum hewan

sehat. Secara epidemiologi ada 2 faktor penting yang berhubungan dengan uji

serologis yaitu sensitifitas dan spesifisitas (Dirkeswan 2000). Sensitivisitas dan

spesifisitas macam-macam pengujian serologis dapat terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Sensitivitas dan spesifisitas beberapa pengujian bruselosis

Test Sensitivitas

(33)

12

Rose Bengal Test (RBT)

Rose Bengal Test (RBT) adalah salah satu dari kelompok pengujian yang

menggunakan antigen Brucella, pengujian ini mengandalkan prinsip dari

kemampuan antibodi IgM dalam mengikat antigen dalam serum. RBT

merupakan pengujian dengan menggunakan cara aglutinasi dengan cara

mereaksikan antigen dan antibodi, setiap aglutinasi yang dihasilkan mendakan

positip reaksi. Pengujian ini merupakan screening test yang sangat baik tetapi

juga sangat sensitif untuk diagnosa hewan individu terutama hewan yang

divaksinasi (WHO 2006). Pengujian ini merupakan uji cepat aglutinasi yang

hanya dalam waktu kira-kira 4 menit bisa dilihat hasilnya. Pengujian ini telah

dikenalkan di banyak negara sebagai screening test yang standar karena sangat

sederhana dan bahkan lebih sensitif dari Slow Agglutination TestSlow

Agglutination Test (SAT)

(Godfroid 2010) Reaksi positif nterhadap pasca

vaksinasi S19 akan berjalan cukup lama (Dirkeswan 2000).

Complement Fixation Test (CFT)

Sensitivitas dan spesifisitas CFT sangat baik, tetapi metode pengujiannya

komplek dan tidak sesederhana RBT, dibutuhkan suatu fasilitas laboratorium

dan SDM yang terlatih. Jika fasilitas tersebut tersedia dan dilakukan secara

teratur maka hasilnya akan baik (WHO 2006).

CFT memungkinkan mendetekasi antibodi yang dapat mengaktifkan

komplemen. Imunoglobulin pada sapi yang dapat diaktifkan oleh komplemen ini

adalah IgM dan IgG. Menurut beberapa literatur CFT ini tidak menunjukan

sensitivitas yang tinggi tetapi menunjukan spesifisitas yang tinggi (Godfroid

2010). Reaksi positif tidak dapat membedakan antara hewan yang divaksin dan

infeksi alam (Dirkeswan 2000).

Enzym Linked Imunnosorbent Assay (ELISA)

Pengujian ELISA mempunyai sensitivitas dan spesitifitas yang tinggi dan

metode pengujiannya sederhana dengan minimal peralatan dan juga tersedia juga

secara komersil dalam bentuk kit (WHO 2006).

Ada 2 kelemahan yang seringkali terjadi pada uji serologis bruselosis yang

disebut negatif palsu dan positif palsu. Kelemahan ini dapat terjadi karena beberapa

(34)

13

masa inkubasi penyakit, infeksi laten pada anak sapi, sapi dara dan sapi bunting,

setelah melahirkan atau keguguran, infeksi kronis ataupun karena kesalahan

petugas pada saat pemberian label. Sedangkan pada positif palsu dapat terjadi

dikarenakan adanya titer antibodi yang persisten setelah vaksinasi, adanya reaksi

silang dengan bakteri lain seperti Yersinia enterolitica, ada beberapa hewan yang

menghasilkan abnormal serum globulin yang dapat menimbulkan reaksi aglutinasi

(Dirkeswan 2000).

Kebijakan Publik Dalam Pengendalian Penyakit Hewan

Terminologi kebijakan publik itu ternyata banyak sekali, tergantung dari

sudut mana kita mengartikannya. Harold Laswel dan Abraham kaplan dalam

Nugroho (2011) mendefinisikannya sebagai suatu program yang diproyeksikan

dengan tujuan tujuan tertentu, dan praktik-praktik tertentu sedangkan David Easton

Nugroho (2011) mendefinisikannya sebagai akibat dari aktifitas pemerintah.

Definisi lainnya dari R.S Parker dalam Wahab (2008) menjelaskan bahwa

kebijakan publik adalah Suatu tujuan tertentu, atau serangkaian asas tertentu atau

tindakan yang dilaksanakan pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya

dengan subyek atau sebagai respon terhadap suatu krisis. Pada dasarnya kebijakan

publik terdiri dari 2 kata: kebijakan dan publik. Kebijakan berasal dari kata bijak

yang artinya kepandaian atau kemahiran. Kebijakan dalam kamus besar bahasa

Indonesia adalah rangkaian konsep dan asas yg menjadi garis besar dan dasar

rencana pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak sedangkan

publik adalah

Kebijakan menurut Nugroho (2011) adalah teori yang berasal dari

pengalaman terbaik dan bukan diawali oleh temuan. Dengan demikian

pengembangan teori analisis kebijakan di masa mendatang akan semakin

ditentukan akan semakin ditentukan baik oleh keberhasilan ataupun kegagalan. sekelompok orang. Sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa

kebijakan publik adalah setiap keputusan yang dibuat oleh negara, sebagai strategi

untuk merealisasikan tujuan dari negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk

mengantar masyarakat pada masa transisi, untuk menuju masyarakat yang

(35)

14

Menurut Dunn (2011) Analisis kebijakan dapat diletakkan pada konteks sistem

kebijakan yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2 Skema analisa kebijakan publik.

Analisa kebijakan adalah satu diantara sejumlah banyak faktor lainnya dalam

sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola institusional dimana didalamnya

kebijakan dibuat. Analisa mencakup hubungan timbal balik diantara tiga unsur,

yaitu: kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan seperti pada

gambar 1 diatas.

Suatu kebijakan di suatu institusi dapat dikatakan berjalan dengan baik

apabila ada keselarasan dari ketiga unsur tersebut. Institusi yang terkait dalam

kebijakan strategi pencegahan dan pengendalian penyakit hewan adalah karantina

hewan, direktorat jendral peternakan dan pemerintah daerah. Dalam hal tersebut

diatas seluruh institusi yang terkait harus mempunyai keselarasan antara kebijakan

publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. Menurut OIE (2011) Seluruh

institusi yang terkait harus mempunyai kompetensi, integritas dan kepercayaan

sebagai kunci dari good governance.

Standar Internasional Strategi Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis

Pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan termasuk

bruselosis merupakan tujuan utama dari pelayanan kesehan hewan. Pemilihan

strategi dalam pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan

menjadi sangat penting dan sering menjadi penyebab kontroversi diantara

pengambil keputusan. Strategi yang akan dilaksanakan harus sesuai dengan kualitas

instansi pelayanan kesehatan hewan, sumber daya ekonomi yang tersedia dan

Pelaku kebijakan

lingkungan kebijakan Kebijakan

(36)

15

prevalensi penyakit. Kerjasama dengan petani menjadi sangat penting sebagai dasar

untuk melaksanakan program strategi ini (Blasco 2010).

Strategi Pencegahan

Menurut WHO (2006) Pencegahan penyakit akan selalu lebih ekonomis dan

praktis daripada pengendalian dan pemberantasan. Strategi pencegahan bruselosis

meliputi :

• Seleksi pada hewan ternak pengganti. Ternak harus bebas bruselosis dan harus berasal dari peternakan yang bebas bruselosis pula.

• Isolasi ternak pengganti setidaknya selama 30 hari dan dilakukan pemeriksaan

secara serologis.

• Pencegahan kontak dengan ternak lain

• Pengawasan secara periodik pada sapi (setidaknya empat kali per tahun) dan

pemotongan bersyarat pada hewan dengan prosedur skrining serologis sederhana

seperti RBT dan CFT.

• Melakukan disposal pada material bekas aborsi (fetus, plasenta dan organ

lainnya) dengan cara penguburan atau pembakaran serta desinfeksi daerah yang

terkontaminasi secara menyeluruh.

Strategi Pengendalian

Menurut WHO (2006) Tujuan dari program pengendalian hewan adalah

untuk mengurangi dampak dari penyakit dan konsekuensi ekonomi. Eliminasi

penyakit dari populasi bukanlah tujuan dari program kontrol, kejadian penyakit

masih ada dalam populasi dengan prevalensi yang dapat diterima. Program

pengendalian memiliki durasi yang tidak terbatas dan perlu dipertahankan bahkan

setelah "tingkat yang dapat diterima" infeksi telah tercapai, sehingga penyakit tidak

muncul kembali. Di banyak negara, metode untuk pengendalian bruselosis

didukung oleh peraturan pemerintah/perundang-undangan tetapi ada di sebagian

negara yang tidak. Oleh karena itu, prosedur untuk pengelolaan populasi ternak

yang terinfeksi sangat bervariasi. Namun demikian, ada beberapa prinsip yang

berlaku, yaitu: 1) Pengurangan paparan Brucella sp. dan 2) Meningkatkan

(37)

16

diklasifikasikan pada kategori umum yaitu test and Isolation/slaughter, higiene

lingkungan, pengendalian lalulintas hewan, vaksinasi serta surveilans untuk

menentukan status daerah yang diperlukan dalam menentukan kebijakan.

Penentuan Strategi Dalam Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis

Berbagai negara atau daerah yang berbeda dalam suatu negara mungkin

memerlukan strategi yang berbeda dalam melaksanakan program pencegahan dan

pengendalian brucellosis. Strategi bisa tergantung pada epidemiologi dan kondisi

sosial ekonomi. Keputusan mengenai strategi yang tepat untuk pengendalian

dan/atau pemberantasan brucellosis biasanya tanggung jawab pemerintah pusat

meskipun ada beberapa negara yang mendelegasikan kepada daerah atau provinsi

serta dibuat berlaku untuk individu atau masyarakat pulau.

Dalam memutuskan suatu strategi, banyak faktor yang harus

dipertimbangkan yaitu jenis peternakan, geografi daerah, pola perdagangan,

keuangan, teknis dan personil sumber daya yang tersedia dan yang paling penting,

prevalensi penyakit dan penerimaan strategi oleh ternak pemilik (WHO / MZCP

1988 dalam Abellan 2002) Hal utama yang harus dipertimbangkan untuk pemilihan

strategi yang tepat untuk kontrol brucellosis diilustrasikan dalam Gambar 3.

Gambar 3 Alur Strategi Kebijakan untuk pengendalian bruselosis.

(38)

17

Pembebasan Suatu Wilayah

Menurut OIE (2011) suatu negara atau daerah dapat dianggap bebas

bruselosis setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Wajib melaporkan apabila ditemukan adanya hewan tersangka bruselosis

2. Surveilans dilakukan diseluruh wilayah oleh instansi berwenang. Tingkat

infeksi atau prevalensi di wilayah tersebut tidak boleh lebih dari 0.2%

3. Dilakukan pengujian diagnostik pada populasi hewan secara periodik

4. Tidak dilakukan vaksinasi paling tidak selama tiga tahun terakhir

5. Dilakukan kebijakan pemotongan pada semua hewan reaktor.

6. Pemasukan hewan rentan bruselosis ke daerah bebas bruselosis harus berasal

dari daerah yang bebas bruselosis juga. Kondisi ini bisa diperbolehkan apabila

hewan tersebut tidak divaksinasi dan dilakukan pengujian serologi dengan hasil

negatif yang dilakukan dua kali (duplo) dengan jarak waktu 30 hari diantara

kedua pengujian. Pengujian kedua dilaksanakan 15 hari sebelum

keberangkatan. Kondisi ini dianggap tidak sah pada sapi yang baru melahirkan

selama 14 hari.

Pada daerah bebas bruselosis yang telah dinyatakan bebas dan tidak

ditemukan reaktor selama 5 tahun terakhir, sistem pengendalian diserahkan pada

daerah yang bersangkutan.

Strategi Pengendalian Penyakit Di Negara Yang Berhasil Memberantas

Bruselosis

Menurut AHA (2005) bruselosis telah berhasil diberantas di Australia setelah

beberapa tahun melaksanakan pengendalian dan usaha pemberantasan, banyak

negara yang lain juga yang telah berhasil memberantas penyakit ini. Strategi

vaksinasi dalam periode yang panjang diperlukan dalam mengendalikan bruselosis

dalam setiap kasus infeksi yang sangat meluas untuk mengurangi kejadian namun

vaksinasi saja tidak pernah dapat dipakai untuk mencapai pemusahan bruselosis

sehingga diperlukan strategi lain yaitu test and slaughter. Bruselosis dapat

diberantas dengan 2 prinsip yaitu melakukan stamping out pada populasi yang

terkena bruselosis dan yang kedua adalah melakukan test and slaughter. Kedua

(39)

18

Strategi kebijakan untuk pengendalian dan pemberantasan yang dilaksanakan oleh

Australia dalam beberapa metode berikut ini, meliputi:

1.

2.

Depopulasi hewan reaktor (hewan terinfeksi bruselosis)

3.

Karantina dan pengawasan lalu lintas hewan

4.

Sistem ketertelusuran (traceability) dan surveilans

5.

Vaksinasi

6.

Perlakuan hewan terinfeksi

7.

Perlakuan produk pangan dan non pangan asal hewan

8.

Disposal produk pangan dan non pangan asal hewan

9.

Kesadaran masyarakat dan media masa

Implikasi kesehatan masyarakat

Strategi yang utama dalam pengendalian dan pemberantasan adalah penentuan

prevalensi dan distribusi penyakit. Setelah diketahui prevalensi dan distribusi

penyakit maka dapat ditentukan strategi mana yang akan dilaksanakan.

Program Pencegahan Dan Pengendalian Bruselosis Di Kalimantan

Pada prinsipnya, tujuan dan sasaran program pemberantasan bruselosis pada

sapi adalah memperbaiki lingkungan budi daya peternakan sehingga bebas dari

bruselosis, meningkatkan produktifitas dan reproduktifitas ternak sapi dan pada

akhirnya untuk meningkatkan pendapatan petani peternak (Rompis 2002). Konsep

untuk melaksanakan program pemberantasan bruselosis secara nasional di

Indonesia tercetus sejak tahun 1995/1996, setelah melihat situasi penyebaran

penyakit yang semakin meluas dan dari kajian ekonomi di lapangan tahun 1994

kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada daerah daerah tertular sangat besar

(Ditjennak 1998). Strategi pemberantasan bruselosis harus disesuaikan dengan

kondisi sistem peternakan setempat. Di Indonesia, usaha peternakan sapi

kebanyakan dalam skala kecil dan bersifat tradisional atau peternakan rakyat.

Sistem manajemen peternakan seperti ini sangat mempengaruhi pola penularan

(40)

19

dan sistim pemberantasan bruselosis maka terlebih dahulu ditetapkan peta status

penyakit daerah bebas, daerah tersangka ataupun daerah tertular. Strategi pada

daerah bebas dan tersangka adalah mempertahankan statusnya sedangkan Sistem

Pemberantasan pada daerah tertular ringan dengan angka prevalensi dibawah 2%

dilakukan test and slaughter sampai dicapai status bebas. Pada daerah tertular berat

dengan angka prevalensi diatas 2% dilakukan vaksinasi masal secara serentak untuk

semua polulasi terancam sampai menekan angka prevalensi dibawah 2% setelah itu

dilakukan test and slaughter secara bertahap sampai dicapai status bebas. Strategi

test and slaughter untuk daerah tertular ringan ini dianggap tepat dan menurut Noor

(2008) mengatakan bahwa pemberantasan bruselosis dengan potong bersyarat dapat

memberikan hasil yang sangat nyata apabila prevalensi penyakit rendah. Potong

bersyarat harus dilakukan secara ketat untuk menghindarkan reinfeksi. Adapun

negara yang menerapkan sistem ini dan berhasil adalah Cekoslovakia dan Swis.

Selain itu program vaksinasi secara masal sangat efektif untuk menurunkan angka

prevalensi.

Menurut Hadi (2009) Kalimantan merupakan areal potensial untuk

pengembangan sapi potong bagi Indonesia. Pulau yang sangat besar ini baru

memiliki populasi sapi 522 381 ekor, 2008 atau 4.4% dari populasi sapi potong di

Indonesia atau kurang 1/5 populasi sapi potong Jawa Timur. Namun demikian,

sebagai daerah pengembangan sapi, Kalimantan sudah layak dinyatakan sebagai

pulau atau zona yang bebas dari bruselosis, sesuai dengan kaidah yang diatur dalam

terrestrial animal health code OIE, chapter 2.3.1., article 2.3.1.2. Kondisi bebas

dari bruselosis ini tentunya tidak mudah, melalui upaya panjang selama lebih

kurang 10 tahun. Tindak penolakan telah dilakukan oleh pengawas pintu masuk ke

Kalimantan, pihak Karantina Pertanian (Karantina Hewan) terhadap sapi bibit yang

datang dari NTB, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan daerah lain melalui kebijakan

test and slaughter. Melalui beberapa rapat koordinasi regional di Kalimantan telah

diputuskan bahwa terhadap sapi bibit yang masuk ke Kalimantan, harus di test

ulang bruselosis 100%. Terjadi komitmen dengan pemasok, dinas peternakan dan

karantina hewan, sapi yang positif RBT pun segera dipotong tanpa menunggu uji

konfirmatif dengan CFT. Test ulang 100% dilakukan untuk lebih meningkatkan

(41)

20

benar-benar bebas bruselosis, dan tidak ada tersembunyi sapi karier yang false

negatif uji. Kegiatan yang tidak kalah penting adalah surveilans dan pengujian di

lokasi penyebaran dan daerah padat ternak, yang dilakukan oleh BPPV regional V

Banjarbaru selama 10 tahun lebih dari tahun 1998-2008. Melalui metodologi

sampling, multistage sampling dan targeted sampling, dengan memperhatikan

sensitifitas dan spesifitas seri uji RBT dan CFT sebesar 73.9% dan 99.6%, telah

dilakukan surveilans di 41 kabupaten/kota, 180 kecamatan, 385 desa/kelurahan dan

telah diuji 45 462 ekor sapi terhadap bruselosis. Karena apparent prevalence

bruselosis di Kalimantan sangat kecil, jauh dari 2%, kebijakan yang diambil adalah

test and slaughter, semua reaktor bruselosis dipotong dengan pengawasan petugas

dinas peternakan setempat. Targeted sampling, sensus dan resampling dilakukan di

kabupaten tempat reaktor dengan menempatkan beberapa petugas BPPV yang

terlatih untuk menyisir, menguji RBT di tempat dan menandai sapi-sapi reaktor.

Data sampling, sensus dan resampling serta pengujian bruselosis di Kalimantan

telah dianalisis dengan pisau analitik

BPPV regional V Banjarbaru dan pemerintah daerah telah melaksanakan

surveilans bruselosis di Kalimantan selama 10 tahun berjalan pada 53

kabupaten/kota dalam 4 propinsi. Tindakan yang telah dilakukan oleh dinas

peternakan atau instansi terkait dalam pengendalian bruselosis adalah dengan

memotong segera reaktor bruselosis, sehingga jumlah reaktor menurun setiap

tahunnya hingga dalam taraf serendah mungkin.

Evaluasi hasil surveilans Bruselosis Kalimantan telah dilakukan oleh komisi

ahli kesehatan hewan Direktorat Jenderal Peternakan pada tanggal 22 Desember

2008 di Jakarta dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.

2540/Kpts/PD.610/6/2009 tanggal 15 Juni 2009 dinyatakan bahwa pulau

(42)

21

BAHAN DAN METODE

Kerangka Konsep Penelitian

Menurut Dunn (2011) analisa kebijakan strategis terdiri dari kebijakan publik,

pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan dan oleh pemikiran peneliti dapat

digambarkan sebagai berikut :

Gambar 4 Kerangka konsep penelitian.

Kerangka konsep penelitian ini akan dijabarkan dalam beberapa variabel yang

diduga mempengaruhi ketiga unsur tersebut diatas.

Variabel Penelitian

Ketiga unsur kebijakan strategi tersebut selanjutnya akan dievaluasi sesuai

dengan terrestrial animal health code OIE (2011) tentang evaluation of veterinary

services. Unsur yang diteliti adalah pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan dan

sistem kebijakan.

Pelaku kebijakan

Dalam unsur pertama yaitu pelaku kebijakan akan dikaji beberapa variabel

yaitu:

- Umur

- Pendidikan

- Lamanya bekerja

- Pelatihan yang diikuti terkait dengan pencegahan dan pengendalian

bruselosis

(43)

22

- Sikap terkait dengan pencegahan dan pengendalian bruselosis

Lingkungan Kebijakan

Pada unsur yang kedua yaitu lingkungan kebijakan akan diteliti beberapa

variabel yaitu:

- Sumber dana.

- Sarana dan prasarana.

Sistem Kebijakan

Serta unsur yang ketiga adalah sistem kebijakan, pada unsur ini dilakukan

analisis sistem kebijakan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di

Kalimantan. Analisis kebijakan strategi pencegahan dilakukan di UPTKP yang

mempunyai tupoksi dalam mencegah masuk dan tersebarnya penyakit hewan

(bruselosis) ke Kalimantan sedangkan analisis kebijakan strategi pengendalian

dilakukan di Dinas daerah yang mempunyai tupoksi dalam menjalankan fungsi

kesehatan hewan di seluruh pemerintah kabupaten/kota di Kalimantan.

• UPTKP

Dalam menjalankan tupoksinya UPTKP melakukan tindak karantina hewan

terkait bruselosis tidak terlepas dari Undang Undang no.16 tahun 1992 tentang

Karantina hewan, ikan dan tumbuhan, Peraturan Pemerintah no.82 tahun 2000

tentang karantina hewan serta peraturan peraturan terkait lainnya. Dalam UU

dan PP tersebut dijelaskan mengenai prosedur tindak karantina hewan yang

dikenal dengan istilah 8P, yaitu :

- Pemeriksaan,

- Pengasingan,

- Pengamatan,

- Perlakuan,

- Penahanan,

- Penolakan,

- Pemusnahan dan

- Pembebasan.

(44)

23

Analisa kebijakan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis yang

dilakukan pada Dinas daerah akan berdasarkan kepada keputusan Menteri

Pertanian Nomor: 828/Kpts/OT.210/10/98 tentang pedoman pemberantasan

penyakit hewan keluron menular (bruselosis) pada ternak. Variabel yang akan

diteliti adalah:

- Pengamatan bruselosis.

- Pengawasan lalu lintas ternak.

- Vaksinasi

- Pengujian

- Pemotongan bersyarat ( test and slaughter)

- Koordinasi dengan Dinas terkait

Sistem Skoring

Ada beberapa variabel yang dilakukan penilaian dengan menggunakan skor

yaitu pengetahuan dan sikap.

Pada pengetahuan diberikan 8 pertanyaan. Bobot nilai pada setiap pertanyaan

berbeda sesuai dengan jenis pertanyaan. Total nilai tertinggi adalah 12 dan nilai

terendah adalah 0 Kemudian nilai semua pertanyaan dijumlah dan dibagi menjadi 5

kategori yaitu, sangat baik (11-12), baik (8-10), cukup (5-7), kurang baik (2-4) dan

tidak baik (0-1).

Pada sikap diberikan 15 pernyataan. setiap pernyataan akan diberikan 4

pilihan jawaban yaitu, sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju.

Pertanyaan terdiri dari 2 jenis pertanyaan yaitu pernyataan positif dan negatif. Pada

pernyataan positif bila jawaban sangat setuju diberikan nilai 4, setuju diberikan

nilai 3, tidak setuju diberikan nilai 2 dan sangat tidak setuju diberikan 1. Pada

pernyataan negatif bila jawaban sangat setuju diberikan nilai 1, setuju diberikan

nilai 2, tidak setuju diberikan nilai 3 dan sangat tidak setuju diberikan 4. Kemudian

semua nilai dijumlah dan dibagi menjadi 5 kategori yaitu, sangat baik (51-60), baik

(45)

24

Pengambilan Data

Dalam pengumpulan data, peneliti melakukan penelitian dengan

menggunakan data sekunder dan kuisioner.

Responden

Kuisioner dilakukan di Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian (UPTKP)

dan Dinas yang melakukan fungsi kesehatan hewan di Pulau Kalimantan. UPTKP

yang dimaksud adalah 16 UPTKP yang melakukan kegiatan pengeluaran dan

pemasukan sapi dan hewan ruminansia lainnya ke dalam dan di wilayah wilayah

pulau Kalimantan. Dinas yang dimaksud adalah 54 Dinas yang melakukan fungsi

kesehatan hewan di kabupaten/kota di seluruh Kalimantan. Di ke-16 UPTKP dan

54 Dinas yang melakukan fungsi kesehatan hewan di Kabupaten/kota tersebut

masing-masing akan diberikan kuisioner kepada para pelaku kebijakan yaitu

pemegang kebijakan dan pelaksana kebijakan. Pemegang kebijakan yang dimaksud

adalah pejabat struktural yang membidangi pelayanan operasional karantina hewan

sedangkan pelaksana kebijakan yang dimaksud adalah medik veteriner karantina

dan paramedik veteriner karantina.

Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Maret 2012.

Tempat Penelitian

Tempat penelitian dilaksanakan di UPTKP yang melakukan pengawasan lalu lintas

hewan ke dalam seluruh daerah di Kalimantan dan Dinas yang melakukan fungsi

kesehatan hewan di seluruh Kabupaten/kota di Kalimantan.

• UPTKP di Kalimantan, yaitu : Balai Karantina Pertanian Kelas I Balikpapan, Balai Karantina Pertanian Kelas I Banjarmasin, Balai Karantina Pertanian

Kelas I Pontianak, Balai Karantina Pertanian Kelas II Palangkaraya, Balai

Karantina Pertanian Kelas II Tarakan, Stasiun Karantina Pertanian Kelas I

(46)

25

• UPTKP yang melakukan pengeluaran hewan ternak ruminansia ke Kalimantan,

yaitu: Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, Balai Besar Karantina

Pertanian Surabaya, Balai Besar Karantina Pertanian Makassar, Balai

Karantina Pertanian Kelas I Semarang, Balai Karantina Pertanian Kelas I

Denpasar, Balai Karantina Pertanian Kelas I Mataram, Stasiun Karantina

Pertanian Kelas I Pare pare, Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Sumbawa

Besar Stasiun Karantina Pertanian Kelas II Bangkalan, Stasiun Karantina

Pertanian Kelas II Mamuju.

• Dinas yang melakukan fungsi kesehatan hewan di Kabupaten/kota di seluruh

Kalimantan, yaitu :

Kalimantan Barat: Dinas Pertanian Kabupaten Bengkayang, Dinas Pertanian

Kabupaten Landak Kalimantan Barat, Dinas Pertanian Kabupaten Kapuas

Hulu, Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Ketapang, Dinas Pertanian

dan Peternakan Kabupaten Pontianak, Dinas Pertanian dan Peternakan

Kabupaten Sambas, Dinas Pertanian Perikanan dan Peternakan Kabupaten

Sanggau, Dinas Pertanian Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sintang, Dinas

Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kota Pontianak, Dinas Pertanian dan

Kehutanan Kota Singkawang, Dinas Pertanian Perikanan dan Peternakan

Kabupaten Melawi, Dinas Pertanian Perikanan dan Peternakan Kabupaten

Sekadau, Dinas Pertanian Peternakan Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten

Kayong Utara serta Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kubu Raya.

Kalimantan Selatan: Dinas Peternakan Kabupaten Banjar, Dinas Peternakan

Kabupaten Barito Kuala, Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Hulu

Sungai Selatan, Dinas Kehutanan Peternakan dan Perikanan Kabupaten Hulu

Sungai Tengah, Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara, Dinas

Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kota Baru, Dinas Tanaman Pangan

Peternakan dan Perikanan Kabupaten Tabalong, Dinas Peternakan Kabupaten

Tanah Laut, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Tapin, Dinas

Pertanian dan Kehutanan Kota Banjar Baru, Dinas Pertanian Kota

Banjarmasin, Dinas Pertanian Peternakan dan Perikanan Kabupaten Balangan

(47)

26

Kalimantan Timur: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Berau, Dinas

Pertanian Kabupaten Bulungan, Dinas Peternakan Kabupaten Kutai

Kartanegara, Dinas Pertanian Kabupaten Kutai Barat, Dinas Pertanian

Kabupaten Kutai Timur, Dinas Pertanian Kabupaten Malinau, Dinas

PertanianTanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Nunukan, Dinas

Peternakan Kabupaten Pasir, Dinas Pertanian Kota Balikpapan, Dinas

Pertanian Kota Bontang, Kantor Peternakan Kota Samarinda, Dinas Peternakan

dan Tanaman Pangan Kota Tarakan serta Dinas Pertanian Kabupaten Penajam

Paser Utara.

Kalimantan Tengah: Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Barito

Selatan, Dinas Pertanian Perikanan dan Peternakan Kabupaten Barito Utara,

Dinas Peternakan Kabupaten Kapuas, Dinas Pertanian dan Peternakan

Kabupaten Kotawaringin Barat, Dinas Pertanian Kabupaten Kotawaringin

Timur, Dinas Pertanian Kota Palangka Raya, Dinas Pertanian Kabupaten

Katingan, Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Seruyan, Dinas

Pertanian Kabupaten Sukamara, Dinas Pertanian Peternakan dan Perikanan

Kabupaten Lamandau, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Gunung

Mas, Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Pulang Pisau, Dinas

Pertanian Peternakan dan Perikanan Kabupaten Murung Raya serta Dinas

Perikanan dan Peternakan Kabupaten Barito Timur.

Analisis Data

Data dianalisis secara deskriptif yaitu dengan menyajikannya dalam bentuk

(48)

27

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini kajian dilakukan diseluruh instansi yang mempunyai

tupoksi berkaitan dengan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di

seluruh Kalimantan. Instansi-instansi tersebut meliputi: Unit Pelaksana Teknis

Karantina Pertanian (UPTKP), yaitu instansi yang mempunyai tupoksi mencegah

masuk dan tersebarnya bruselosis ke Pulau Kalimantan dan instansi yang

menjalankan fungsi kesehatan hewan di kabupaten dan kota yang ada di Pulau

Kalimantan, yaitu Dinas yang mempunyai tupoksi pengendalian bruselosis di Pulau

Kalimantan.

Ada beberapa unsur dan variabel yang telah diteliti dalam kajian strategis

pencegahan dan pengendalian bruselosis di Kalimantan ini, meliputi: pelaku

kebijakan, lingkungan kebijakan dan sistem kebijakan.

Hasil

Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian (UPTKP)

Dari hasil pengumpulan data di 16 UPTKP maka dapat diperoleh data sebagai

berikut :

Dari hasil pengamatan ke-16 UPTKP jumlah pelaku kebijakan secara umum

cukup memadai hanya saja penyebarannya kurang merata, Sumber daya manusia

(SDM) pada UPTKP sebagian besar merupakan pengiriman SDM dari kementrian

pertanian melalui Badan Karantina Pertanian yang direkrut hampir setiap tahun.

Penerimaan ini melalui tes calon pegawai negeri sipil yang diselenggarakan

serentak secara nasional diseluruh Indonesia. Data jumlah SDM yang dimiliki

UPTKP terkait dengan program pencegahan bruselosis di Kalimantan dapat dilihat

pada Tabel 4.

Pelaku Kebijakan UPTKP

Tabel 4 Ketersediaan sumber daya manusia UPTKP

(49)

28

Sumber daya manusia yang dimiliki oleh UPTKP yang melalulintaskan

hewan rentan bruselosis ke Kalimantan rata rata memiliki medik, paramedik dan

administrasi. Terlihat pada tabel 5 bahwa setiap UPTKP rata rata memiliki 8 medik

veteriner dengan maksimum 37 medik dan minimum 1 medik per UPTKP. Untuk

paramedik setiap UPTKP memiliki 16 paramedik dengan maksimum 39 dan

mimimum 1 paramedik per UPTKP. Tenaga administrasi per UPTKP rata rata

memiliki 6 tenaga administrasi dengan maksimum 34 tenaga administrasi namun

ada UPTKP yang tidak mempunyai tenaga administrasi.

Menurut data-data yang diperoleh, karakteristik para pelaku kebijakan di

UPTKP dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Kepala Seksi Pelayanan Operasional Karantina Hewan

Menurut pengamatan pada kelompok Kepala Seksi Pelayanan Operasional

Karantina Hewan (Kasi yanop KH) sebagian besar adalah laki laki, pada umur

31-40 tahun, lamanya masa kerja 10-15 tahun dan berpendidikan S1. Mayoritas

kepala seksi tidak pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan bruselosis.

2. Medik Veteriner Karantina

Menurut pengamatan pada kelompok medik veteriner, lebih banyak perempuan

daripada laki laki, mayoritas berumur diantara 31-40 tahun, dan mempunyai

masa kerja dibawah 5 tahun. Sebagian besar medik veteriner juga tidak pernah

mengikuti pelatihan berkaitan dengan bruselosis. Pengetahuan tentang bruselosis

pada medik veteriner baik diikuti dengan sikap yang baik pula.

3. Paramedik Veteriner Karantina

Menurut pengamatan pada kelompok paramedik veteriner, lebih banyak laki laki

daripada perempuan, pada umur merata dan paling banyak di bawah umur 30

tahun, mayoritas lamanya masa kerja 10-15 tahun serta pendidikan adalah

SLTA. Sebagian besar paramedik veteriner tidak pernah mengikuti pelatihan

yang berkaitan dengan bruselosis. Pengetahuan paramedik veteriner tentang

bruselosis cukup dengan diikuti sikap yang baik.

Pelatihan, pengetahuan dan sikap para pelaku kebijakan UPTKP terkait bruselosis

(50)

29

Tabel 5 Karakteristik pelaku kebijakan UPTKP

No Karakteristik Kepala Seksi

(%)

Medik (%)

Paramedik (%)

1 Pelatihan terkait bruselosis : Tidak pernah 2 Pengetahuan terkait pencegahan bruselosis

Sangat baik 3 Sikap terkait pencegahan bruselosis

Sangat baik

Menurut data dari beberapa UPTKP bahwa sumber dana yang dimiliki oleh

Dinas ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Secara umum semua UPTKP mempunyai anggaran untuk melakukan pengamatan

penyakit dan tindak karantina hewan. Menurut data yang diperoleh ada 89.58%

UPTKP yang menyebutkan menyediakan dana khusus untuk pengamatan

bruselosis. 79.17% UPTKP menyediakan dana untuk koordinasi dengan Dinas

terkait. Untuk pengembangan sumber daya manusia hanya 68.75% UPTKP yang

menyediakan dana untuk pelatihan dan 58.33% UPTKP untuk in house training.

Alokasi sumber dana secara rinci dapat terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Alokasi dana UPTKP untuk pencegahan bruselosis di Kalimantan

No Ketersediaan dana UPTKP

(%)

1 Pengamatan bruselosis termasuk surveilans dan tindakan karantina hewan (perjalanan, bahan dan alat pengambilan sampel serta bahan dan alat laboratorium)

89.58

2 Koordinasi dengan Dinas terkait 79.17

3 Pengembangan sumber daya : • Pelatihan

• In house training

(51)

30

2. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang dimiliki UPTKP sebagian besar berasal dari

pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari APBN. Menurut data yang

diperoleh secara umum ketersediaan sarana dan prasana pada instalasi karantina

hewan hampir semua UPTKP tersedia, ketersediaan sarana prasarana pada instalasi

karantina hewan, peralatan laboratorium, peralatan pengambilan sampel, kendaraan

operasional dan alat pengolah data relatif lengkap. Sarana dan parasarana dapat

dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Ketersediaan sarana prasana UPTKP

No Sarana dan Prasarana UPTKP Pemasukan (Kalimantan)

(%)

UPTKP Pengeluaran (Luar Kalimantan)

(%)

1 Instalasi Karantina Hewan

•Peralatan 100 100

•Bahan 100 100

•Ruang Pemeriksaan hewan 33 80

2 Laboratorium (Pemeriksaan RBT)

•Peralatan 100 100

•Bahan Antigen RBT 100 100

•Bahan Kontrol Positif Brucella 33 100

3 Pengambilan sampel 100 100

Ada beberapa hal penting yang terlihat kurang tersedia seperti ruang periksa

hewan dan bahan reagen kontrol positif Brucella sp. Pada ruang periksa hewan

hanya 33% dari UPTKP di Kalimantan yang memiliki ruang periksa hewan. Selain

itu pada bahan laboratorium yaitu reagen kontrol positif RBT hanya 33% UPTKP

di Kalimantan yang tersedia.Kedua sarana ini cukup penting dan dibutuhkan dalam

strategi ini. Ruang pemeriksaan sangat dibutuhkan dalam pemeriksaan hewan serta

pengambilan sampel sehingga harus tersedia. Reagen positif kontrol Brucella sp

dalam pemeriksaan rose bengal test (RBT) sangat dibutuhkan dalam penentuan

hasil pemeriksaan serologis, tanpa positif kontrol suatu uji tidak dapat dipastikan

kebenarannya.

Karantina pertanian dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam

tindakan karantina hewan terkait bruselosis tidak terlepas dari Undang Undang

(52)

31

Pemerintah no.82 tahun 2000 tentang karantina hewan serta peraturan peraturan

terkait lainnya. Dalam UU dan PP tersebut dijelaskan mengenai prosedur tindak

karantina hewan yang dikenal dengan istilah 8P yaitu pemeriksaan, pengasingan,

pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan. Dari

hasil yang diperoleh bahwa seluruh UPTKP telah melakukan tindakan karantina

hewan sesuai dengan aturan kebijakan tetapi ada beberapa hal yang belum dapat

terimplementasi sesuai dengan standar internasional (OIE). Implementasi sistem

kebijakan secara rinci terlihat seperti pada Tabel8.

Tabel 8 Sistem Kebijakan UPTKP

No Sistem kebijakan UPTKP

Pemasukan

kelengkapan, kebenaran isi, dan keabsahan dokumen

100 100

•Dokumen menjelaskan hewan berasal dari peternakan bebas bruselosis

50

•Dokumen menjelaskan hewan berasal dari daerah yang bebas bruselosis

40

b. Pemeriksaan fisik (kesehatan hewan)

100 100

c. Pemeriksaan laboratorium

•Pengambilan sampel serum 100 100

•Pemeriksaan RBT dan Uji Lanjut CFT

100 100

•Pemeriksaan Laboratorium pada sapi bibit dari daerah tidak bebas bruselosis dilakukan 2 kali dengan interval waktu 30 hari •Pemeriksaan Laboratorium pada

sapi potong 30 hari sebelum keberangkatan/30 hari setelah

Menurut hasil pengamatan hanya 50% UPTKP pengeluaran (di luar

Gambar

Tabel 1 Stabilitas Brucella sp dalam beberapa kondisi lingkungan
Gambar 1 Peta distribusi bruselsosis secara serologis.
Tabel 3 Sensitivitas dan spesifisitas beberapa pengujian bruselosis
Gambar 3 Alur Strategi Kebijakan untuk pengendalian bruselosis.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melaksanakan proses pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran berfikir induktif pada konsep kalor pada siklus I diadakan refleksi.. terhadap hasil

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat, taufik, hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Model

Menurut Rahardi (2003, hal.73) direktif merupakan suatu bentuk tuturan yang digunakan penutur untuk membuat pengaruh mita tutur untuk melakukan tindakan. Tindakan

Dari semua sikap penerimaan atau respon lingkungan hidup subyek baik lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat maupun lingkungan sekolah memberikan pelabelan kepada subyek

Modul LCD berukuran 16 karakter x 2 baris dengan fasilitas backlighting memiliki 16 pin yang terdiri dari 8 jalur data, 3 jalur kontrol dan jalur-jalur catu daya, dengan fasilitas

Menurut (Yunianta, 2006) kapasitas suatu ruas jalan didefinisikan sebagai jumlah maksimum kendaraan yang dapat malintasi suatu ruas jalan yang uniform per jam, dalam satu arah

Hasil penelitian ini menunjukkan variabel keaktifan siswa dalam proses pembelajaran mempunyai kontribusi yang lebih tinggi terhadap prestasi belajar mata pelajaran

“Bukti dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia tak