• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kandungan Nutrien (N, P) dan Pendugaan Status Kesuburan di Waduk Saguling, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kandungan Nutrien (N, P) dan Pendugaan Status Kesuburan di Waduk Saguling, Jawa Barat"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KANDUNGAN NUTRIEN (N, P) DAN

PENDUGAAN STATUS KESUBURAN DI WADUK

SAGULING, JAWA BARAT

DWI HARYANI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Analisis Kandungan Nutrien (N, P) dan Pendugaan Status Kesuburan di Waduk Saguling, Jawa Barat”. adalah benar hasil karya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

DWI HARYANI. Analisis Kandungan Nutrien (N, P) dan Pendugaan Status Kesuburan Di Waduk Saguling, Jawa Barat. Dibimbing oleh SIGID HARIYADI dan INNA PUSPA AYU.

Waduk Saguling adalah waduk buatan yang terbentuk dengan cara membendung Sungai Citarum. Waduk tersebut memiliki fungsi utama sebagai PLTA serta penunjang kegiatan perikanan keramba jaring apung (KJA). Beban masukan dari Sungai Citarum dan KJA berpotensi meningkatkan status kesuburan melalui eutrofikasi. Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2012 hingga bulan Januari 2013. Pengambilan contoh dilaksanakan pada 3 stasiun di Waduk Saguling (inlet, tengah, dan outlet). Parameter kualitas air yang diamati meliputi parameter fisika, kimia, dan biologi. Analisis kandungan nutrien diperoleh melalui analisis rasio N:P. Pendugaan status kesuburan diduga melalui metode TSI (Carlson 1977). Analisis rasio N:P menunjukkan nilai 24,2 yang berarti faktor pembatas di Waduk Saguling adalah P. Nilai TSI yang diperoleh menunjukkan status kesuburan Waduk Saguling tergolong kategori hipertrofik tetapi kondisi di lapang selama pengamatan tidak menunjukkan kriteria hipertrofik.

Kata kunci: nutrien, status kesuburan, Waduk Saguling

DWI HARYANI. Analysis of nutrient (N, P) and Estimating Trophic State In Saguling Reservoir, West Java. Supervised by SIGID HARIYADI and INNA PUSPA AYU.

Saguling Reservoir is man made lake that stem the flow of Citarum River. It has a major function as a hydropower and fisheries activities supporting floating cage. Nutrien input from Citarum River and KJA potentially increase the trophic state of Saguling Reservoir. Research was conducted from November 2012 until January 2013. Sampling was done in 3 stations of Saguling Resevoir (inlet, middle, and outlet). Water quality parameters include physics, chemistry, and biology was observed in this research. Nutrien concentration was analyzed from N:P ratio. Trophic state was estimated from TSI. Ratio of N: P showed a value of 24.2 which means P is the limiting factor in Saguling Reservoir. The value of TSI showed hypertrophic condition but characteristic of hypertrophic didn’t show during observed in Saguling Reservoir.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan

ANALISIS KANDUNGAN NUTRIEN (N, P) DAN

PENDUGAAN STATUS KESUBURAN DI WADUK

SAGULING, JAWA BARAT

DWI HARYANI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

Judul Skripsi : Analisis Kandungan Nutrien (N, P) dan Pendugaan Status Kesuburan di Waduk Saguling, Jawa Barat

Nama : Dwi Haryani

NIM : C24090065

Disetujui oleh

Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc. Pembimbing I

Inna Puspa Ayu, SPi, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc Ketua Departemen

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Kandungan Nutrien (N, P) dan Pendugaan Status Kesuburan di Waduk Saguling,

Jawa Barat”. ini dapat diselesaikan. Skripsi disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, terutama kepada :

1. Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc dan Inna Puspa Ayu, SPi, MSi selaku dosen pembimbing.

2. Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku dosen penguji.

3. Keluarga tercinta Ayahanda Sukarman, Ibunda Sri Lestari, kakak (Afrinia Eka Sari) dan adik (Astri Ira Wati) serta Anma Hari Kusuma yang telah memberikan dukungan dan kasih sayangnya.

4. Teman-teman Saguling (Ika, Rio, Eka, Kak Dwi) dan keluarga besar kang Ali.

5. Keluarga besar Laboratorium Biomikro dan Produktivitas Lingkungan MSP.

6. Teman-teman MSP 46, MSP 47, MSP 45, MSP 44, keluarga besar MSP, teman-teman new Arini, dan teman-teman sweet home.

7. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa depan. Demikian skripsi ini disusun, semoga bermanfaat.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan ... 2

Manfaat ... 3

METODE ... 3

Tempat dan Waktu Penelitian ... 3

Metode Pengambilan Contoh ... 4

Alat, Bahan, Metode Uji ... 4

Prosedur Analisis Data ... 5

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 7

Kandungan Nutrien (N,P) di Waduk Saguling ... 7

Parameter Pendukung ... 13

Penentu Status Kesuburan Waduk Saguling. ... 16

Kesamaan Karakteristik Kualitas Air Antar Stasiun. ... 22

Rekomendasi Pengelolaan ... 22

SIMPULAN DAN SARAN ... 23

Simpulan ... 23

Saran ... 24

DAFTAR PUSTAKA ... 24

(11)

DAFTAR TABEL

1. Nama dan koordinat lokasi pengambilan contoh air data primer... 4

2. Parameter (fisika,kimia,biologi) yang di uji... 5

3. Rasio N:P pada setiap stasiun... 13

DAFTAR GAMBAR

1. Bagan alir perumusan masalah... 2

2. Peta lokasi penelitian... 3

3. Kandungan nitrat-nitrogen pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling... 7

4. Kandungan nitrit-nitrogen pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling... 9

5. Kandungan amonia pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling... 10

6. Kandungan ortofosfat pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling... 12

7. Kandungan oksigen terlarut pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling... 14

8. Nilai ph pada setia stasiun pengamatan di Waduk Saguling... 15

9. Suhu pada stasiun pengamatan di waduk saguling... 16

10. Nilai kecerahan pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling... 17

11. Kandungan total P pada stasiun pengamatan... 18

di Waduk Saguling 12. (a) kandungan klorofil-a pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling... 19

12. (b) trend kandungan klorofil-a selama pengambilan contoh pada pengamatan november 2012-januari 2013... 19

13. Tingkat trofik pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling... 21

14. Dendogram kesamaan karakteristik kualitas air antar stasiun... 22

15. KJA dengan sistem double net ... 23

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data sekunder kualitas air di Waduk Saguling dari PT. Indonesia Power (pengamatan kwartal IV bulan Oktober 2008-2012)... 27

2. Pengelompokkan status trofik (TSI) Robert Carlson’s (1977)... 28

3. Data primer kualitas air di Waduk Saguling (November 2012, Desember 2012, dan Januari 2013)... 30

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Waduk Saguling merupakan waduk yang terbentuk dengan cara membendung Sungai Citarum. Waduk yang terletak di kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat ini telah beroperasi sejak tahun 1985 dan memiliki luas 5600 Ha dengan ketinggian 645 m di bawah permukaan laut (Krismono dan Astuti 2006). Waduk ini memiliki fungsi utama sebagai PLTA yang menyalurkan kebutuhan listrik Jawa dan Bali. Selain itu waduk ini juga berfungsi untuk menunjang beberapa kegiatan perikanan seperti kegiatan Keramba Jaring Apung (KJA).

Kegiatan KJA di Waduk Saguling dari tahun 1986-1996 terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data UPTD perikanan (2000) dalam Nuryanto (2001), jumlah KJA pada tahun 1986 hanya 208 unit dan terus meningkat tajam hingga 4425 unit pada tahun 1996. Tahun 2010 jumlah KJA di Waduk Saguling sudah mencapai 6980 unit (Machbub 2010). Peningkatan jumlah KJA di Waduk Saguling akan menyebabkan subtansi seperti sisa pakan dan feses ikan yang masuk ke perairan semakin besar. Selain menerima masukan dari KJA, Waduk Saguling juga menerima masukan dari Sungai Citarum. Sungai Citarum merupakan sungai yang menerima banyak masukan dari kegiatan di darat seperti kegiatan industri.

Beban masukan dari Sungai Citarum dan KJA berpotensi meningkatkan status kesuburan melalui eutrofikasi. Kesuburan perairan menggambarkan kapasitas atau kemampuan perairan untuk menyediakan unsur hara yang sesuai untuk kehidupan fitoplankton. Kesuburan perairan juga menggambarkan akumulasi bahan organik di perairan (Widjaja 2009). Eutrofikasi atau sering disebut pengkayaan unsur hara dalam perairan akan mengakibatkan perairan menjadi subur. Eutrofikasi merupakan proses alami yang akan terjadi pada setiap perairan tergenang namun dalam waktu tertentu. Seiring dengan meningkatnya aktivitas masyarakat, maka akan memberikan masukan berupa unsur hara ke badan air danau dan jika proses pulih diri (self purification) terlampaui maka akan mempercepat proses eutrofikasi (Suryono et al. 2010).

Eutrofikasi yang terjadi terus-menerus dapat memberikan beberapa dampak seperti pendangkalan, blooming algae, pesatnya pertumbuhan tumbuhan akuatik, limiting nutrient, serta kondisi anoksik (UNEP 1999). Dampak penting yang terjadi akibat eutrofikasi dapat mempercepat umur waduk sehingga pasokan listrik untuk Jawa dan Bali akan berkurang.

(13)

2

Perumusan Masalah

Saat ini Waduk Saguling telah mengalami degradasi fungsi yang cukup serius mulai dari penurunan kualitas dan kuantitas air akibat kegiatan antropogenik. Berbagai substansi yang masuk ke Waduk Saguling akan mempengaruhi keberadaan unsur hara pada waduk tersebut. Sumber unsur hara dari dalam waduk berasal dari kegiatan keramba jaring apung (KJA), sedangkan sumber unsur hara dari luar waduk berasal dari daerah aliran sungai dan tata guna lahan seperti pertanian. Masukkan unsur hara ke Waduk Saguling akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi di waduk tersebut. Keberadaan unsur hara dapat diketahui melalui kandungan N dan P yang ada di air. Selain itu, hasil dari eutrofikasi dapat diketahui melalui kandungan klorofil-a, kecerahan, dan total P (indeks trofik). Kandungan N dan P yang ada di air dapat menggambarkan adanya masukan unsur hara ke badan air dan informasi kandungan klorofil-a terkait dengan kecerahan dan total P dapat digunakan untuk menentukan status kesuburan Waduk Saguling. Status kesuburan Waduk Saguling akan berdampak pada ekosistem di waduk tersebut. Diagram alir perumusan masalah Waduk Saguling yang ditunjukkan oleh Gambar 1.

Gambar 1 Bagan alir perumusan masalah

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menentukan kualitas air berdasarkan kandungan nutrien (N, P) yang berasal dari sungai Citarum dan Kegiatan Keramba Jaring Apung (KJA) serta pendugaan stastus kesuburan di Waduk Saguling.

Kandungan N,P Indeks status

trofik (Klorofil-a, Kecerahan, dan

total P)

Sumber unsur hara dari dalam waduk

< Aktivitas KJA

Sumber unsur hara dari luar waduk

< Daerah aliran sungai <Tata guna lahan < Limpasa (run off)

Eutrofikasi

(14)

3

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi mengenai kualitas air serta sebagai dasar pengambilan keputusan dalam pengelolaan kawasan Waduk Saguling.

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di daerah Waduk Saguling Jawa Barat. Kegiatan penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan mengambil contoh air dari beberapa daerah yang dijadikan sebagai stasiun pengamatan yang meliputi Maroko (inlet) dengan sumber masukan sungai Citarum), Cicadas (tengah atau daerah KJA), dan DAM (outlet) yang terletak di Kabupaten Bandung Jawa Barat. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian

Sumber : PT. Indonesia Power Lokasi KJA

Lokasi KJA Lokasi

(15)

4

Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan dimulai dari November 2012 sampai dengan Januari 2013. Pengambilan contoh air dilakukan pada pukul 07.00-10.00 WIB. Data sekunder diperoleh dari PT. Indonesia Power adalah data parameter kulitas air meliputi; nitrat-nitrogen, nitrit-nitrogen, amonia, fosfat, suhu, kandungan oksigen terlarut, suhu, pH, serta kecerahan (Lampiran 1). Analisis laboratorium untuk menganalisa contoh air dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Metode Pengambilan Contoh

Pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan metode Pengambilan Contoh Acak Berlapis (PCAB). Metode pengambilan contok acak berlapis adalah suatu metode pengambilan contoh yang unsur-unsur populasinya digolongkan menjadi beberapa lapisan dan contoh diambil secara acak sederhana dari setiap lapisan (Setyobudiandi et al. 2009). Pada penelitian ini pengambilan contoh dilakukan dengan cara membagi daerah Waduk Saguling menjadi tiga stasiun, yaitu meliputi stasiun 1. Maroko (inlet dengan sumber masukan sungai Citarum), stasiun 2. Cicadas (tengah atau daerah KJA), dan stasiun 3. DAM (outlet). Pengambilan contoh dilakukan pada permukaan (kedalaman 1 meter) sebanyak 3 kali ulangan disetiap stasiun. Pengambilan contoh dilakukan sebanyak 1 kali dalam satu bulan selama 3 bulan. Penentuan posisi dari lokasi pengambilan contoh dilakukan dengan GPS (Global Positioning System). Contoh air diambil dengan menggunakan van dorn water sampler dari setiap lapisan atau stasiun. Koordinat lokasi pengambilan sample air data primer dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1 Nama dan koordinat lokasi pengambilan contoh air data primer

Stasiun Nama lokasi Lintang Selatan Bujur Timur

1 Maroko 06°31’26,1” 107°44’0,78”

2 Cicadas 06°32’15,72” 107°40’23,7”

3 DAM 06°31’26,1” 107°37’14,2”

Alat, Bahan, dan Metode Uji

Parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kesuburan diantaranya total P, klorofil-a, serta kecerahan, sedangkan parameter yang digunakan untuk analisis kandungan nutrien diantaranya ortofosfat, nitrat-nitrogen, nitrit-nitrogen, serta amonia. Parameter pendukung yang dianalisis diantarnya kadar oksigen terlarut (DO) dan pH.

(16)

5 disk, dan alat-alat instrumen. Bahan yang digunakan adalah bahan kimia untuk analisis parameter kimia serta biologi sesuai dengan metode yang di gunakan Eaton et al. (2005) pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2 Parameter (fisika,kimia, dan biologi) yang diuji

No Parameter Unit Metode Uji Keterangan

Fisika 5 Nitrat-nitrogen mg/L Spektrofotometer/metode

Brucine Laboratorium 6 Nitrit-nitrogen mg/L Spektrofotometer/metode

Colorimetr Laboratorium 7 Amonia mg/L Spektrofotometer/metode

Phenate Laboratorium 8 Total P mg/L Spektrofotometer/metode

Ascorbic acid Laboratorium 9 Ortofosfat mg/L Spektrofotometer/metode

Ascorbic acid Laboratorium

Biologi

10 Klorofil-a μg/L Spektrofotometer Laboratorium

Pada penelitian ini digunakan pula data sekunder yang diperoleh dari PT. Indonesia Power. Data sekunder yang diperoleh meliputi parameter fisika (suhu, kecerahan, dan kedalaman) dan parameter kimia (DO, pH, nitrat-nitrogen, nitrit-nitrogen, amonia, total P, dan ortofosfat). Data tersebut diperoleh pada pengamatan kwartal IV (Oktober 2008-Oktober 2012).

Prosedur Analisis Data

Metode Deskriptif

(17)

6

menduga tingkat kesuburan Waduk Saguling. Adapun tahapan analisis data sebagai berikut:

a) Menghitung rata-rata dari masing-masing parameter pada setiap stasiun selama pengamatan yaitu November 2012 sampai Januari 2013 sebagai data primer. b) Menyajikan data primer serta data sekunder dalam bentuk grafik yang

dibandingkan terhadap baku mutu penentu status trofik perairan (oligotrofik, mesotrofik, eutrofik, dan hipertrofik).

c) Analisis rasio N:P diperoleh dari penjumlahan kandungan nitrat, nitrit, dan amonia sebagai nilai N, sedangkan nilai P didapatkan dari kandungan ortofosfat (Ryding dan Rast 1989).

Metode Pendugaan Tingkat Kesuburan

Metode yang digunakan untuk menduga tingkat kesuburan pada penelitian ini adalah metode TSI. Penggunaan metode ini didasarkan pada hasil perhitungan rasio N:P. Apabila hasil analisis rasio N:P menunjukkan unsur P yang menjadi faktor pembatas, maka metode TSI cukup relevan untuk menduga status kesuburan Waduk Saguling. Menurut Carlson (1977), metode TSI (Thropic State Index) merupakan metode yang digunakan untuk menentukan status kesuburan suatu perairan darat (danau dan waduk). Parameter kunci yang digunakan untuk menggambarkan status kesuburan perairan pada metode TSI, yaitu:

1. Konsentrasi total fosfat dianalisis menggunakan spektrofotometri/ metode Ascorbic acid (TSI-TP).

2. Konsentrasi klorofil-a dianalisis menggunakan spektrofotometer/ metode spektrofotometri (TSI-Chl-a).

3. Kecerahan diukur menggunakan pengukuran cakram secchi disk (TSI-SD). Tingkat kesuburan perairan diukur melalui perhitungan Thropic State Index (TSI) yang disajikan seperti Carlson’s (1977) berikut:

TSI-TP = 14,42 x Ln[TP]+4,15 μg/l TSI-Chl-a = 30,6+9,81x Ln[Chl-a] μg/l TSI-SD = 60-14,41x Ln[Secchi] meter

Contoh perhitungan data primer dengan menggunakan indeks TSI dapat di lihat pada Lampiran 4. Sedangkan pengelompokkan status trofik menurut Carlson 1977 dapat di lihat pada Lampiran 2.

Kesamaan Karakteristik Kualitas Air Antar Stasiun

(18)

7 persamaan yang digunakan dalam indeks Canberra (Lance dan Williams 1967 dalam Krebs 1989):

Sc = {1- 1/n ∑ Yi1 - Yi2

Yi1 + Yi2

} x 100%

Keterangan: Sc = indeks Canberra

Yi1 = parameter i stasiun 1

Yi2 = parameter i stasiun 2

n = jumlah parameter

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Nutrien (N, P) di Waduk Saguling Nitrat-Nitrogen (NO3- - N)

Nitrat-nitrogen adalah bentuk nitrogen di perairan dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Hasil pengamatan kandungan nitrat-nitrogen pada setiap stasiun pengamatan di Waduk Saguling dapat dilihat dari Gambar 3.

Gambar 3 Kandungan nitrat-nitrogen pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling

Berdasarkan Gambar 3, rata-rata kandungan nitrat-nitrogen pada pengamatan bulan November 2012-Januari 2013 (data primer) di stasiun 1 (Maroko) yang merupakan inlet dari Sungai Citarum adalah 0,276 ± 0,020 mg/L, stasiun 2 (Cicadas) yang merupakan bagian tengah dan mendapat pengaruh dari aktivitas KJA sebesar 0,327 ± 0,081 mg/L, dan stasiun 3 (DAM) yang merupakan outlet Waduk Saguling sebesar 0,088 ± 0,038 mg/L. Kandungan nitrat-nitrogen tertinggi berada pada stasiun 2 (Cicadas) dan terendah berada pada stasiun 3.

>0,2 mg/L penyebab

blooming (Effendi

(19)

8

Tingginya kandungan nitrat-nitrogen di stasiun 2 dibandingkan kedua stasiun lainnya diduga karena stasiun 2 merupakan daerah yang menerima banyak masukan dari kegiatan keramba jaring apung. Pakan yang tidak dimakan akan jatuh ke dasar perairan dan mengalami proses dekomposisi kemudian mengalami proses mineralisasi hingga terbentuknya nutrien seperti nitrat-nitrogen. Selain itu Kandungan oksigen terlarut pada stasiun 2 sebesar 4,80 ± 1,29 mg/L, sehingga mendukung proses nitrifikasi oleh bakteri aerob (Effendi 2003). Rendahnya kandungan nitrat-nitrogen di stasiun 3 dibandingkan kedua stasiun lainnya diduga karena tingginya kandungan klorofil-a pada stasiun 3 (DAM) yang menjadi penyebab rendahnya kandungan nitrat-nitrogen pada stasiun ini dibandingkan stasiun lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan UNEP (1999) bahwa fitoplankton dan makrofita akuatik dapat sangat efektif memanfaatkan nutrien sehingga terjadi penurunan nutrien anorganik terlarut ke tingkat yang lebih rendah.

Kandungan nitrat-nitrogen yang lebih dari 0,2 mg/L dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming) (Effendi 2003). Berdasarkan kandungan nitrat-nitrogen di ketiga stasiun pada pengamatan bulan November 2012-Januari 2013 (data primer) di Waduk Saguling, kandungan nitrat-nitrogen di stasiun 1 dan 2 lebih dari 0,2 mg/L. Kandungan nitrat-nitrat-nitrogen di stasiun 1 dan 2 yang melebihi 0,2 mg/L menggambarkan bahwa telah terjadi eutrofikasi di stasiun tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Edmon et al. (1993) dalam Chale (2004) bahwa nitrogen adalah nutrien pembatas untuk produktivitas fitoplankton di danau, sehingga ketersediaan nutrien yang berlebih dapat mendukung produktivitas fitoplankton. Namun kandungan nitrat-nitrogen yang berlebih dapat menstimulir pertumbuhan alga sehingga dapat menyebabkan blooming.

Waduk Saguling memiliki fungsi sebagai PLTA dan kegiatan perikanan KJA sehingga berdasarkan baku mutu menurut PP No. 82 tahun 2001, kandungan nitrat-nitrogen pada pengamatan November 2012-Januari 2013 (data primer) di Waduk Saguling masih layak untuk PLTA dan kegiatan perikanan KJA karena masih berada di bawah baku mutu yaitu di bawah 20 mg/L. Weiner (2008) menyatakan bahwa kandungan nitrat-nitrogen atau nitrit-nitrogen lebih dari 1-2 mg/L mengindikasikan adanya pencemaran pupuk dari kegiatan pertanian. Kandungan nitrat-nitrogen pada pengamatan November 2012-Januari 2013 di ketiga stasiun berada di bawah 1-2 mg/L sehingga berdasarkan pernyataan Weiner (2008), kandungan nitrat-nitrogen pada ketiga stasiun belum menggambarkan adanya pencemaran pupuk dari kegiatan pertanian.

(20)

9 masih dalam trend yang stabil. Fluktuasi debit rata-rata ini sangat bergantung dari pengaruh musim tahunan. Berdasarkan hasil pengamatan Maulana (2012), curah hujan selama periode 1992-2000 menunjukkan pola yang sama yaitu terjadi 2 kali puncak hujan pada bulan maret dan november sehingga hal ini dapat memprediksi debit air di Waduk saguling pada akhir tahun (Maulana 2012). Fluktuasi parameter fisika, kimia, dan biologi seringkali terjadi musim hujan lebat dan terjadi masuknya rezim presipitasi (Gerald dan Boavida 2005 dalam Gautam dan Bhattarai 2008).

Nitrit-Nitrogen (NO2- - N)

Nitrit-nitrogen merupakan bentuk peralihan antara nitrat-nitrogen dan amonia yang bersifat tidak stabil dan merupakan toksik bagi organisme perairan. Keberadaan nitrit-nitrogen menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen sangat rendah (Effendi 2003). Hasil pengamatan kandungan nitrit-nitrogen pada setiap stasiun pengamatan di Waduk Saguling dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Kandungan nitrit-nitrogen pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling

Berdasarkan Gambar 4, rata-rata kandungan nitrit-nitrogen pada pengamatan November 2012-Januari 2013 di stasiun 1 (Maroko) yang merupakan inlet dari Sungai Citarum di Waduk Saguling adalah 0,073 ± 0,001 mg/L, stasiun 2 (Cicadas) yang merupakan bagian tengah dan mendapat pengaruh dari aktivitas KJA sebesar 0,035 ± 0,004 mg/L, dan stasiun 3 (DAM) yang merupakan outlet Waduk Saguling sebesar 0,083 ± 0,017mg/L. Kandungan nitrit-nitrogen tertinggi berada pada stasiun 3, sedangkan kandungan nitrit-nitrogen terendah berada pada stasiun 2. Tingginya kandungan nitrit-nitrogen di stasiun 3 dibandingkan kedua stasiun lainnya diduga karena bentuk N pada stasiun 3 berada pada kondisi tidak stabil atau berada pada tahap peralihan dari nirat menjadi amonia (denitrifikasi). Hal ini didukung dengan rendahnya kandungan nitrat-nitrogen pada stasiun 3 dibandingkan kedua stasiun lainnya. Sedangkan rendahnya kandungan nitrit-nitrogen di stasiun 2 dibandingkan kedua stasiun lainnya diduga karena bentuk N yang lebih dominan pada stasiun 2 adalah nitrat-nitrogen. Hal ini menunjukkan

(21)

10

bahwa kondisi di stasiun 2 masih mendukung terjadinya proses oksidasi dari NH3

menjadi NO2- kemudian menjadi NO3- (nitrifikasi).

Menurut Moore (1991) dalam Effendi (2003), kadar nitrit-nitrogen yang lebih dari 0,05 mg/L dapat bersifat toksik bagi organisme perairan. Kandungan nitrit-nitrogen di stasiun 1 dan 3 pada pengamatan November 2012-Januari 2013 lebih dari 0,05 mg/L, sehingga berdasarkan pernyataan Moore (1991) dalam Effendi (2003) kandungan nitrit-nitrogen di stasiun 1 dan 3 dapat bersifat toksik bagi organisme akuatik. Sedangkan di stasiun 2 pada pengamatan November 2012-Januari 2013 kandungan nitrit-nitrogen kurang dari 0,05 mg/L sehingga kondisi di stasiun 2 tersebut masih baik untuk kegiatan perikanan. Weiner (2008) menyatakan bahwa kandungan nitrat-nitrogen atau nitrit-nitrogen lebih dari 1-2 mg/L mengindikasikan adanya pencemaran pupuk dari kegiatan pertanian, sehingga berdasarkan kandungan nitrit-nitrogen pada pengamatan November 2012-Januari 2013 belum mengindikasikan adanya pencemaran pupuk dari kegiatan pertanian.

Berdasarkan pola grafik kandungan nitrit-nitrogen pada pengamatan November 2012-Januari 2013 (data primer) dan grafik pada pengamatan Oktober 2008-Oktober 2012 (data sekunder) , stasiun 2 pada kedua grafik memiliki pola berbeda. Stasiun 2 pada data primer memiliki kandungan nitrit-nitrogen lebih kecil dibandingkan pada pengamatan Oktober 2008-Oktober 2012 (data sekunder). Kandungan nitrit-nitrogen yang kecil pada stasiun 2 saat pengamatan November 2012-Januari 2013 (data primer) dibandingkan grafik pada pengamatan Oktober 2008-Oktober 2012 (data sekunder) diduga karena curah hujan saat sampling lebih tinggi dibandingkan curah hujan biasanya.

Amonia (NH3)

Amonia merupakan bentuk nitrogen di perairan pada saat kondisi oksigen rendah sehingga bersifat toksik bagi organisme perairan. Hasil pengamatan kandungan amonia pada setiap stasiun pengamatan di Waduk Saguling dapat dilihat dari Gambar 5.

(22)

11 Berdasarkan Gambar 5, rata-rata kandungan amonia pada pengamatan November 2012-Januari 2013 di stasiun 1 (Maroko) yang merupakan inlet dari Sungai Citarum di Waduk Saguling adalah 0,286 ± 0,242 mg/L, stasiun 2 (Cicadas) yang merupakan bagian tengah dan mendapat pengaruh dari aktivitas KJA sebesar 0,065 ± 0,049 mg/L, dan stasiun 3 (DAM) yang merupakan outlet Waduk Saguling sebesar 0,109 ± 0,088 mg/L. Kandungan amonia tertinggi berada pada stasiun 1, sedangkan kandungan amonia terendah berada pada stasiun 2. Tingginya kandungan amonia di stasiun 1 (Maroko) dibandingkan kedua stasiun lainnya diduga karena stasiun ini menerima masukan dari sungai Citarum seperti limbah industri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) bahwa kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan (run off) pupuk pertanian. Selain itu tingginya kandungan amonia pada stasiun 1 juga dapat disebabkan rendahnya kandungan oksigen terlarut pada stasiun ini dibandingkan stasiun lainnya yaitu sebesar 3,114 ± 0,437 mg/L. Sedangkan rendahnya kandungan amonia pada stasiun 2 dibandingkan kedua stasiun lainnya diduga karena kandungan oksigen dan kondisi di stasiun 2 masih mendukung terjadinya nitrifikasi atau oksidasi dari bentuk amonia menjadi nitrat. Hal ini sesuai pada pengamatan November 2012-Januari 2013 bahwa kandungan nitrat-nitrogen tertinggi berada pada stasiun 2.

Menurut Weiner (2008), kandungan ammonia total untuk perikanan sebaiknya kurang dari atau sama dengan 0,02 mg/L dan kandungan ammonia bebas lebih dari 0,5 mg/L dapat menyebabkan toksik yang signifikan pada ikan. Kandungan amonia bebas pada pengamatan November 2012-Januari 2013 masih berada di bawah 0,5 mg/L sehingga dapat dikatakan kandungan amonia selama pengamatan belum menyebabkan toksik yang signifikan pada ikan. Berdasarkan hasil pengamatan sebelumnya, Tarigan dan Harsono (2004) menyatakan bahwa kualitas air di Waduk Saguling untuk NH3 telah melebihi baku mutu sebagai

akibat dari masukkan dari anak-anak Sungai Cimahi yang membawa air limbah dari sentra industri Leuwigajah yang relatif besar. Beban masukan N yang tinggi diduga penyebab tingginya kandungan amonia pada setiap stasiun pengamatan karena oksigen terlarut yang tersedia tidak cukup untuk mengoksidasi NH3

menjadi nitrat-nitrogen (nitrifikasi) di Waduk Saguling.

(23)

12

Ortofosfat

Ortofosfat merupakan bentuk P yang paling sederhana dan dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Menurut Effendi 2003, sumber antropogenik fosfor adalah limbah industri dan domestik yakni fosfor yang berasal dari detergen. Hasil pengamatan kandungan ortofosfat pada setiap stasiun pengamatan di Waduk Saguling dapat dilihat dari Gambar 6.

Gambar 6 Kandungan ortofosfat pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling Berdasarkan Gambar 6, rata-rata kandungan ortofosfat pada pengamatan November 2012-Januari 2013 di stasiun 1 (Maroko) yang merupakan inlet dari Sungai Citarum di Waduk Saguling adalah 0,059 ± 0,019 mg/L, stasiun 2 (Cicadas) yang merupakan bagian tengah dan mendapat pengaruh dari aktivitas KJA sebesar 0,050 ± 0,023 mg/L, dan stasiun 3 (DAM) yang merupakan outlet Waduk Saguling sebesar 0,037 ± 0,011 mg/L. Kandungan ortofosfat dan total P tertinggi berada pada stasiun 1, sedangkan kandungan ortofosfat terendah dibandingkan kedua stasiun lainnya adalah stasiun 3. Tingginya kandungan total P di stasiun 1 disebabkan banyaknya masukkan dari sungai Citarum. Rendahnya kandungan ortofosfat pada stasiun 3 dibandingkan stasiun lainnya diduga karena kandungan klorofil-a di stasiun 3 lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya sehingga pemanfaatan ortofosfat di stasiun ini lebih tinggi.

(24)

13 kandungan ortofosfat saat sampling karena ortofosfat yang ada pada badan perairan dimanfaatkan fitoplankton untuk kelangsungan hidupnya. Selain itu rendahnya kandungan ortofosfat pada data primer dibandingkan data sekunder diduga ketersediaan oksigen terlarut pada tahun sebelumnya lebih tinggi dibandingkan data primer atau data yang diperoleh pada saat sampling karena ortofosfat terbentuk pada saat P berikatan dengan oksigen.

Rasio N:P

Rasio N:P adalah konsep limiting nutrient untuk menduga pertumbuhan alga dengan mengetahui proporsi serta kuantitas nutrien di perairan. Proporsi unsur P digambarkan melalui kandungan ortofosfat, sedangkan proporsi N digambarkan melalui penjumlahan nitrat-nitrogen, nitrit-nitrogen, dan amonia. Hasil dari perbandingan rasio N dan P pada setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Rasio N:P pada setiap stasiun

Stasiun N:P

Maroko (St. 1) 26,5

Cicadas (St. 2) 24,0

DAM (St.3) 20,8

Rata-rata Stasiun 1, 2, dan 3 24,2

Tabel 3 menunjukkan rasio N:P pada stasiun 1, 2, dan 3 di Waduk Saguling lebih dari 20, sehingga menurut Forsberg dan Ryding 1980 dalam Rast dan Ryding 1989; Hecky et al.. 1991 dalam Chale 2004; dan Sakamoto 1966 dalam Smith 1979 faktor pembatas di stasiun 1, 2, dan 3 adalah fosfor. Berdasarkan beberapa hasil penelitian di Danau Biwa menunjukkan bahwa faktor pembatas pertumbuhan fitoplakton adalah P (Ishida et al. 1982; Tezuka 1984, 1985; Seike et al. 1996 dalam Urabe et al. 1999). Hal ini menunjukkan bahwa faktor pembatas di perairan waduk atau danau adalah unsur P.

Parameter Pendukung

Oksigen Terlarut (DO)

(25)

14

Gambar 7 Kandungan oksigen terlarut pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling

Berdasarkan Gambar 7, kandungan oksigen terlarut rata-rata pada stasiun 1 (Maroko) yang merupakan inlet dari Sungai Citarum di Waduk Saguling adalah 3,11 ± 0,44 mg/L, stasiun 2 (Cicadas) yang merupakan bagian tengah dan mendapat pengaruh dari aktivitas KJA sebesar 4,80 ± 1,29 mg/L, dan stasiun 3 (DAM) yang merupakan outlet Waduk Saguling sebesar 5,97 ± 1,83 mg/L. Kandungan oksigen terendah berada pada stasiun 1. Tingginya tingkat kesuburan pada stasiun 1, 2, dan 3 dapat menyebabkan deplesi oksigen akibat proses respirasi oleh biota akuatik pada malam hari. Kandungan klorofil yang tinggi pada stasiun 1, 2, dan 3 mendukung terjadinya deplesi oksigen pada malam hari. Penyebab menurunnya kandungan oksigen terlarut adalah proses respirasi dan dekomposisi (Welch 1952 dalam Ruttner 1960). Stasiun 1 merupakan stasiun yang pertama kali menerima dampak antropogenik dari sungai Citarum sehingga diduga banyaknya subtansi yang masuk akan mempengaruhi kelarutan oksigen di stasiun ini.

(26)

15

Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) dapat mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah. Berikut adalah hasil pengukuran pH terlarut pada setiap stasiun pengamatan. Hasil pengamatan pH pada setiap stasiun pengamatan di Waduk Saguling dapat dilihat dari Gambar 8.

(27)

16

Suhu

Suhu sangat berperan dalam mengendalikan ekosistem perairan karena suhu akan mempengaruhi proses metabolisme, kandungan oksigen terlarut serta proses biologis dan kimia lainnya. Berikut adalah hasil pengukuran suhu pada setiap stasiun pengamatan. Hasil pengamatan suhu pada setiap stasiun pengamatan di Waduk Saguling dapat dilihat dari Gambar 9.

Gambar 9 Suhu pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling

Berdasarkan Gambar 9 yang merupakan hasil pengamatan pada pukul 07.00-10.00 WIB, suhu rata-rata pada stasiun 1 (Maroko) yang merupakan inlet dari Sungai Citarum di Waduk Saguling adalah 28,3 ± 0,6 0C stasiun 2 (Cicadas) yang merupakan bagian tengah dan mendapat pengaruh dari aktivitas KJA sebesar 27,3 ± 0,9 0C, dan stasiun 3 (DAM) yang merupakan outlet Waduk Saguling sebesar 28,9 ± 0,7 0C. Menurut Utami 2006, Nugroho 2009, dan Widjaja 2009, kisaran suhu rata-rata di Waduk Saguling antara 25,7-280C; 24,9-28,30C; dan 26,9

– 29,2 0C. Kisaran suhu di Waduk Cirata adalah 28,8 ± 1,5 (Sudrajat et al. 2010). Kisaran suhu di Waduk Jatiluhur pada pukul 10.00–12.00 WIB berkisar 29-30°C (Ekawati et al. 2010). Suhu pada stasiun 1,2, dan 3 masih mendukung kehidupan beberapa algae seperti filum Chorophyta dan diatom (Haslam 1995 dalam Effendi 2003). Hal ini dapat di lihat dari tingginya kandungan klorofil-a pada setiap stasiun. Berdasarkan grafik rata-rata suhu yang diperoleh dari data sekuder pengamatan kwartal IV (Oktober) tahun 2008-2012, menunjukkan kisaran suhu di Waduk saguling pada tahun 2008-2012 serta hasil sampling tidak berbeda dengan kisaran suhu di Waduk Cirata dan Jatiluhur.

Penentu Status Kesuburan di Waduk Saguling

Kecerahan

(28)

17 kecerahan pada setiap stasiun pengamatan di Waduk Saguling dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Nilai Kecerahan pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling Berdasarkan Gambar 10 yang merupakan hasil pengamatan pada pukul 07.00-10.00 WIB, kecerahan rata-rata pada stasiun 1 (Maroko) yang merupakan inlet dari Sungai Citarum di Waduk Saguling adalah 81,9 ± 50,1 cm, stasiun 2 (Cicadas) yang merupakan bagian tengah dan mendapat pengaruh dari aktivitas KJA sebesar 70 ± 11,2 cm, dan stasiun 3 (DAM) yang merupakan outlet Waduk Saguling sebesar 61,9 ± 11,4 cm. Hasil pengamatan pada stasiun 1, 2, dan 3 menunjukkan Waduk Saguling termasuk perairan hipertrofik karena rata-rata nilai kecerahan di waduk ini kurang dari 1,5m (OECD 1982) dalam Ryding dan Rast (1989). Rendahnya nilai kecerahan pada stasiun 1, 2, dan 3 dapat disebabkan tingginya kandungan klorofil-a pada stasiun tersebut sehingga penetrasi cahaya yang masuk akan berkurang. Berdasarkan grafik rata-rata kecerahan yang diperoleh dari data sekuder pengamatan kwartal IV (Oktober) tahun 2008-2012, kecerahan di Waduk Saguling pada tahun 2008-2012 membuat status kesuburan Waduk Saguling berada pada status hipertrofik.

Total P

Total P di perairan dapat menggambarkan kesuburan suatu perairan karena P merupakan unsur penting untuk kehidupan tumbuhan akuatik dan algae. Berikut adalah hasil pengukuran kandungan total P pada setiap stasiun pengamatan. Hasil pengamatan kandungan total P pada setiap stasiun pengamatan di Waduk Saguling dapat dilihat dari Gambar 11.

Hypertrophic <150

cm

(29)

18

Gambar 11 Kandungan total P pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling Berdasarkan Gambar 6, kandungan total P rata-rata pada stasiun 1 (Maroko) yang merupakan inlet dari Sungai Citarum di Waduk Saguling adalah 0,345 ± 0,081 mg/L, stasiun 2 (Cicadas) yang merupakan bagian tengah dan mendapat pengaruh dari aktivitas KJA sebesar 0,107 ± 0,022 mg/L, dan stasiun 3 (DAM) yang merupakan outlet Waduk Saguling sebesar 0,198 ± 0,123 mg/L. Tingginya kandungan total P di stasiun 1 disebabkan banyaknya masukan dari sungai Citarum. Menurut Effendi 2003, sumber antropogenik fosfor adalah limbah industri dan domestik yakni fosfor yang berasal dari detergen.

Utami (2006) dan Widjaja (2009) menyatakan bahwa status kesuburan Waduk Saguling berada pada pada tingkat eutrofik. Berdasarkan klasifikasi perairan berdasarkan total P, Waduk Saguling termasuk perairan hipertrofik karena kandungan total P pada stasiun 1, 2, dan 3 lebih dari 0,1 mg/L (Wetzel 2001 dan OECD 1982 dalam Ryding dan Rast 1989). Peningkatan status kesuburan Waduk Saguling dari eutrofik menjadi hipertrofik dapat disebabkan meningkatnya masukan dari sungai citarum, kegiatan KJA, serta kegiatan di darat seperti pertanian. Pada tahun 2010 jumlah KJA di waduk saguling sudah mencapai 6980 unit (Machbub 2010). Berdasarkan data jumlah KJA pada tahun 2012 yang diperoleh dari dinas Kabupaten Bandung, jumlah KJA yang ada di Waduk Saguling adalah 7261 unit. Peningkatan jumlah KJA dapat meningkatkan penyediaan unsur hara ke Waduk Saguling. Selain beban P yang berasal dari kegiatan KJA, beban P yang ada di Waduk Saguling juga berasal dari kegiatan yang ada di daratan seperti kegiatan pertanian. Secara umum, pengontrolan unsur P dapat dilakukan dengan kontrol kegiatan pertanian serta melakukan pengolahan air yang telah digunakan (Yenilmez dan Aksoy 2013).

Klorofil-a

Kandungan klorofil-a di perairan dapat menggambarkan kelimpahan fitoplankton. Fitoplankton merupakan produsen primer yang berperan penting dalam sirkulasi materi dan arus energi di ekosistem akuatik (Ariyadej et al. 2008). Berikut adalah hasil pengukuran klorofil-a pada setiap stasiun pengamatan. Hasil pengamatan kandungan klorofil-a pada setiap stasiun pengamatan di Waduk Saguling dapat dilihat dari Gambar 12.

Hypertrophic

(30)

19

Gambar 12 (a) Kandungan klorofil-a pada stasiun pengamatan di Waduk

Saguling

(b) Trend kandungan klorofil-a selama pengambilan contoh pada pengamatan November 2012-Januari 2013

Berdasarkan Gambar 12 (a), kandungan klorofil-a rata-rata pada stasiun 1 (Maroko) yang merupakan inlet dari Sungai Citarum di Waduk Saguling adalah 22,830 ± 2,213 μg/L, stasiun 2 (Cicadas) yang merupakan bagian tengah dan mendapat pengaruh dari aktivitas KJA sebesar 23,896 ± 3,551 μg/L, dan stasiun 3 (DAM) yang merupakan outlet Waduk sebesar 30,8964 ± 4,009 μg/L. Menurut OECD (1982) dalam Ryding dan Rast (1989) perairan yang memiliki kandungan klorofil-a lebih dari 25 μg/L menunjukkan perairan tersebut tergolong ke dalam perairan hipertrofik. Kandungan klorofil-a di stasiun 3 lebih dari 25 μg/L sehingga berdasarkan klasifikasi OECD (1982) dalam Ryding dan Rast (1989) stasiun 3 tergolong ke dalam perairan hipertrofik. Menurut Dillon (1974), eutrofikasi dapat meningkatkan kandungan nutrien selanjutnya biomasaa fitoplankton. Penurunan klorofil-a dipengaruhi oleh total P dan kecerahan (Brown et al. 2000). Kecerahan tertinggi selama pengamatan berada pada stasiun 1, namun kandungan klorofil-a tertinggi berada pada stasiun 3. Hal ini diduga karena tingginya beban masukan yang berasal dari Sungai Citarum menyebabkan kondisi

Hypertrophic >25 μg/L (OECD 1982)

(a)

(31)

20

fisik dan kimia stasiun 1 tidak stabil yang berdampak pada kandungan klorofil-a di stasiun 1 lebih sedikit dibandingkan stasiun lainnya.

Berdasarkan Gambar 12 (b), kandungan klorofil-a cenderung mengalami penurunan selama pengamatan 3 bulan. Hal tersebut ditunjukkan oleh kandungan klorofil- a tertinggi pada ketiga stasiun pengamatan terjadi pada pengamatan pertama (Nopember 2012). Kandungan klorofil-a terendah selama pengamatan selama 3 bulan terjadi pada pengamatan terakhir (Januari 2013). Penurunan kandungan klorofil-a selama pengamatan diduga karena semakin pesatnya pertumbuhan makrofita eceng gondok sehingga memungkinkan terjadinya kompetisi ruang, makanan, dan faktor cahaya antara fitoplankton dan eceng gondok. Sesuai dengan hasil pengamatan Widjaja (2009) bahwa pertumbuhan eceng gondok sangat pesat di Waduk Saguling.

Berdasarkan uji statistik keterkaitan antara kandungan klorofil-a dan nitrat didapatkan persamaan Y=39,959 Chl-a– 69,704 Nitrat–nitrogen dengan korelasi sebesar 0,89 dan R2 sebesar 0,63 yang berarti setiap peningkatan klorofil-a sebesar 39,959 μg/L dapat menurunkan nitrat-nitrogen sebesar 69,704 mg/L dengan hubungan yang sangat erat antar kedua parameter. Penurunan nitrat-nitrogen akibat kenaikan klorofil-a diduga karena nitrat-nitrogen merupakan bentuk N yang dapat dimanfaatkan fitoplankton untuk kelangsungan hidupnya, sesuai dengan pernyataan Ferber et al. (2004) dalam Nürnberg (2007) blue green algae memberikan respon positif pada penerunan nitrat. Menurut Garno (2002) dalam Tarigan dan Harsono (2004), kepadatan fitoplankton di Waduk Saguling adalah antara 19.03-25.39*10 sel/l dan bila keadaan ini berlanjut maka air waduk

akan didominasi oleh “blue green algae”.

Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari PT. Indonesia Power dari tahun 2008-2011 pada pengamtan kwartal IV (Oktober), kelimpahan fitoplankton yang paling tinggi adalah Oscillatoria sp, Microcystis sp, dan Spirulina sp. Menurut Bellinger dan Sigee (2010), Oscillatoria sp, Microcystis sp, dan Spirulina sp termasuk kelompok blue green algae. Tingginya kandungan klorofil -a pada setiap stasiun pengamatan dapat disebabkan fitoplankton di Waduk Saguling didominansi oleh kelompok blue green algae. Kondisi tersebut dikuatirkan akan menunjang tumbuhnya alga toksik yang dapat merancuni kehidupan aquatik, serta dapat mengganggu kestabilan kandungan oksigen terlarut perairan (Tarigan dan Harsono 2004).

Tingkat Trofik (Kesuburan) Menggunakan Metode TSI

(32)

21

Gambar 13 Tingkat trofik pada stasiun pengamatan di Waduk Saguling Tingkat eutrofikasi berdasarkan metode TSI, stasiun 1 (Maroko) memiliki skor 85,61(hipertrofik), stasiun 2 (Cicadas/daerah KJA) memiliki skor 86,95 (hipertrofik), dan stasiun 3 (DAM) memiliki skor 91,27 (hipertrofik). Berdasarkan grafik tingkat trofik di atas dapat di lihat bahwa tingkat kesuburan tertinggi berada pada stasiun 3. Tingginya nilai TSI di Waduk Saguling didukung dengan tingginya nilai dari komponen TSI seperti kandungan total P yaitu lebih dari 0,1 mg/L sehingga status tingkat kesuburannya menjadi hipertrofik (Wetzel 2001) dan nilai kecerahan/ transparansi <1,5 m juga menunjukkan status kesuburan hipertrofik (OECD 1982 dalam Ryding dan Rast 1989). Salah satu ciri perairan hipertrofik adalah tingginya masukan fosfat dan nitrogen yang relatif menurun (UNEP 1999). Nitrat-nitrogen pada stasiun 3 lebih rendah dibandingkan stasiun 1 dan 2 sedangkan kandungan total P pada stasiun 3 cukup tinggi. Proporsi kandungan nitrat-nitrogen dan total P pada stasiun 3 (DAM) tidak seimbang sehingga mengindikasikan status kesuburan stasiun 3 adalah hipertrofik.

Berdasarkan klasifikasi Carlson (1977) pada Lampiran 2, perairan yang tergolong ke dalam status hipertrofik memiliki ciri yaitu terjadinya gumpalan alga, kematian ikan, dan tumbuhan air yang didominasi oleh alga. Pada saat pengambilan contoh air pada bulan November 2012-Januari 2013 tidak ditemukan adanya gumpalan alga, namun terjadi dominansi tumbuhan air eceng gondok yang dapat di lihat pada Lampiran 2. Tingginya kandungan nutrien di Waduk Saguling dapat menyebabkan terjadinya deplesi oksigen pada malam hari. Fenomena tersebut diduga merupakan salah satu penyebab terjadinya kematian masal ikan budidaya di Waduk Saguling (Garno 2001). Hal ini sesuai dengan pernyataan Kurniawan (2011) bahwa kasus kematian ikan di Waduk Saguling sering terjadi akibat penurunan kandungan oksigen terlarut. Namun berdasarkan kondisi di lapang saat pengambilan contoh bulan November 2012-Januari 2013 status kesuburan Waduk Saguling lebih mendekati pada status eutrofik ringan sampai sedang dengan ciri-ciri menurut Carlson (1977) pada Lampiran 2.

Mesotrofik Ultraoligotrofik

Hipertrofik

Eutrofik ringan Eutrofik sedang Eutrofik berat

(33)

22

Kesamaan Karakteristik Kualitas Air Antar Stasiun

Stasiun-stasiun yang memiliki persamaan karakteristik kualitas air akan membentuk kelompok (cluster). Parameter-parameter yang akan digunakan untuk menentukan kesamaan karakteristik kualitas air antar stasiun meliputi parameter fisika, kimia, dan biologi. Berikut adalah dendogram yang kesamaan karakteristik kualitas air antar stasiun yang ditunjukkan oleh Gambar 14.

1 2 3

Gambar 14 Dendogram kesamaan karakteristik kualitas air antar stasiun Berdasarkan Gambar 14 pada taraf kesamaan 78,50% dapat dilihat bahwa stasiun 1 dan 2 merupakan satu kelompok (cluster 1) atau memiliki kesamaan sebesar 70,80%. Kesamaan tersebut menunjukkan bahwa adanya persamaan karakteristik antara stasiun 1 yang merupakan daerah inlet yang menerima masukkan dari Sungai Citarum dan stasiun 2 merupakan dearah KJA yang menerima masukkan N dan P yang berasal dari sisa pakan. Pada taraf kesamaan 78,50%, cluster 1 yang terdiri dari stasiun 1 dan 2 memiliki kesamaan karakteristik kualitas air dengan stasiun 3 dengan tingkat kesamaan antara cluster 1 (stasiun 1 dan 2) dan cluster 2 (stasiun 3) adalah 86,21%.

Rekomendasi Pengelolaan

(34)

23 satu KJA diharapkan pakan yang tidak termakan oleh ikan mas di jaring utama dapat dimakan oleh ikan nila yang berada di jaring lapis sehingga dapat mengurangi beban N dan P yang jatuh ke perairan Waduk Saguling. KJA ganda juga dapat menghemat lokasi/tempat pemeliharaan sehingga KJA ganda ini lebih efisien dan ramah lingkungan (KKP 2011). Operasi KJA dengan sistem double net dapat di lihat pada Gambar 15.

Gambar 15 KJA dengan sistem double net

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(35)

24

Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai status kesuburan Waduk Saguling dengan waktu pengambilan sample air pada musim kemarau agar dapat dibandingkan dengan data hasil sampling saat musim hujan. Selain itu perlu adanya penelitian tingkat kesuburan di perairan lain untuk mendapatkan kriteria TSI yang sesuai untuk perairan tropis.

DAFTAR PUSTAKA

Ariyadej C, Tansakul P, dan Tansakul R. 2008. Variation Of Phytoplankton Biomassa As Chlorophyli-a in Banglang Reservoir, Yala Province. Songklanakarin J. Sci. Technol. 30(2): 159-166.

Bellinger EG, Sigee DC. Fresh Water Algae (Identification and Use as Bioindicator). USA: Willey-Blackwell.

Boyd CE. 1979. Water Quality in Warm Water Fish Pond. Alabama: Auburn University.

Brown CD, Hoyer MV, Bachmann RW, dan Canfield ED. 2000. Nutrien-Chorophyll Relationship: An Evaluation Of Empirical Nutrient-Chlorophyll Models Using Florida And North Temperate Lake Data. Can. J. Fish Aquatic. Sci. 57: 1574-1583.

Carlson RE. 1977. A Trophic State Index for Lakes. Limnology and Oceanography. 22(2).

Chale FMM. 2004. Inorganic Nutrient Concentrations and Chlorophyll in the Euphotic Zone of Lake Tanganyika. Hydrobiologia. 523: 189-197.

Dillon, Rigler FH. 1974. The Phosphorus-Chlorophyll Relationship in Lakes. Limnology and Oceanography. 19(5).

Eaton AD, Lenore SC. Eugene WR, Arnold EG, Mary HF. 2005. Standart Methods for Examination of Water and Wastewater: Centennial Edition. 21 st Edition. APHA,AWWA,WPCF. Washington DC (USA).

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius: Yogyakarta.

Ekawati D, Astuty S, dan Dhahiyat Y. 2010. Studi Kebiasaan Makan Nilem (Osteochilus hasselti C.V) yang dipelihara pada Karamba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat [skripsi]. Bandung ID: Universitas Padjajaran.

Garno YS. 2001. Status dan Karakteristik Pencemaran di Waduk Kaskade Citarum. Teknologi Lingkungan. 2(2).

Gautam B, Bhattarai B. 2008. Seasonal Changes in Water Quality Parameters and Sediment Nutrient in Jagadishpur. Nepal Journal of Science ang Technology. 9: 149-156.

Jones JR, Knowlton MF. 2005. Chlorophyll Response To Nutrients And Non-Algae Seston In Missouri Reservoirs And Oxbow Lake. Lake And Reservoir. 21(3): 361-371.

(36)

25 Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York: University of British

Columbia. p 301.

Krismono, Astuti LP. 2006. Pengelolaan Waduk Kaskade (Saguling, Cirata, Jatiluhur) untuk Budidaya Ikan dalam Karamba Jaring Apung. Balitbang KP. 4: 389.

Kurniawan M. 2011. Senja Kala Lumbung Ikan Citarum. Kompas [Internet]. [26 Juni 2013]. http://lipsus.kompas.com/ekspedisicitarum/read

/2011/05/02/15332861/Senja.Kala.Lumbung.Ikan.Citarum.

Machbub B. 2010. Model Perhitungan Daya Tampung Beban Pencemar Air Danau dan Waduk. Sumber daya Air. 6(2).

Maulana R. 2012. Prediksi Curah Hujan Dan Debit Menggunakan Metode Adaptive Neurofuzzy Inference System (ANFIS) [skripsi]. Bandung ID: Institut Teknologi Bandung.

McCauley E, Downing JA, dan Watson S. 1989. Sigmoid Relationship Between Nutrients And Chlorophyll Among Lakes. Can. J. Aquatic. Sci. 46: 1171-1175.

Nasution Z. 2005. Analisis Kelembagaan dalam Pengelolaan Lingkungan Perairan Waduk. Buletin Ekonomi Perikanan. 6(1).

Notodarmojo S, Devina, A. 2004. Penurunan Zat Organik dan Kekeruhan Menggunakan Teknologi Membran Ultrafiltrasi dengan Sistem Aliran Dead-End (Studi Kasus: Waduk Saguling). ITB. 36A(1): 63-82.

Nugroho A. 2009. Pengaruh Pencampuran Berbagai Kolom Air Terhadap Kadar DO (Dissolved Oxygen) Di Karamba Jaring Apung Di Waduk Saguling, Kabupaten Bandung [skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor.

Nürnberg GK. 2007. Low-Nitrate-Days (LND), a Potential Indicator of Cyanobacteria Blooms in a Eutrophic Hardwater Reservoir. Water Qual. Res. J.42(4): 269-283.

Nuryanto S. 2001. Model Eutrofikasi Akibat Kegiatan Perikanan Sistem Karamba Jaring Apung (KJA) Di Waduk Saguling, Jawa Barat [thesis]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor.

Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. London : W.B. Saunders.

Presiden Republik Indonesia. 2001. Peraturan pemerintah No.82 tahun 2001. Tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran perairan. Ruttner F. 1960. Fundamental Of Limnology. Canada: University Of Taronto

Press, Toronto and Buffalo (ISBN 0-8020-2028-3).

Ryding SO dan Rast W. 1989. The Control of Eutrophication 0f Lake And Reservoir. Paris : UNESCO.

Septiadi D, Hadi S. 2011. Karakteristik Petir Terkait Curah Hujan Lebat Di Wilayah Bandung, Jawa Barat. ITB. 12(2).

Setyobudiandi I, Sulistiono, Yulianda F, Kusmana C, Hariyadi S, Damar A, Sembiring A, dan Bahtiar. 2009. Sampling Dan Analisis Data Perikanan Dan Kelautan (Terapan Metode Pengambilan Contoh di Wilayah Pesisir dan Laut). FPIK IPB: Makaira.

Smith Val H. 1979. Nutrient Dependence of Primary Productivity in Lake. Limnology Oceanografi. 24: 1051-1064.

(37)

26

Ketahanan Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan : Pusat penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya.

Suryono T, Nomosatryo S, dan Mulyana E. 2006. Tingkat Kesuburan Perairan Danau Singkarak, Padang, Sumatera Barat. LIPI : Pusat Penelitian Limnologi. 15.

Suryono T, Sunanisari S, dan Mulyana E. 2010. Tingkat Kesuburan dan Pencemaran Danau Limboto, Gorontalo. LIPI : Pusat Penelitian Limnologi. 36(1): 46-61.

Susana T. 2009. Tingkat Keasaman (pH) dan Oksigen Terlarut Sebagai Indikator Kualitas Perairan Muara Sungai Cisadane. Teknologi Lingkungan. 5(2). Tarigan T , Harsono, E. 2004. Kapasitas Waduk Saguling Dalam Mereduksi

Beban Nutrien (N,P) Dan Karbon Organik Dari Sungai Citarum. Limnotek. 11(2): 20-26.

UNEP. 1999. Planning and Management of Lake And Reservoirs, an Integrated Approach to Eutrophication. Osaka: IETC.

Urabe J, Sekino T, Nozaki K, Tsuji A, Yoshimizu C, Kagami M, Koitabashi T, Miyazaki T, dan Nakanishi M. 1999. Light, Nutrients and Primary Productivity in Lake Biwa: An evaluation of the Current Ecosystem Situation. Ecological Research. 14: 233-242.

Utami S.E. 2006. Analisis Kandungan Unsur Hara N dan P Serta Tingkat Eutrofikasi Di Lokasi Karamba Jaring Apung Perairan Waduk Saguling, Jawa Barat [skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor.

Wetzel RG. 2001. Limnology 3 th ed. USA: Academis Press.

Weiner RE. 2008. Application of Environmental Aquatic Chemistry. USA: CRC Press.

Widjaja W.K. 2009. Penentuan Konsentrasi Khlorofil-a Sebagai Indikator Kualitas Perairan Waduk Saguling. BPPT: Peneliti Ekotoksikologi Perairan Pusat Teknologi Lingkungan.

(38)

LAMPIRAN 1

Data Sekunder Kualitas Air di Waduk Saguling (Pengamatan kwartal IV Bulan Oktober) dari PT. Indonesia Power

2008 2009 2010 2011 2012 Satuan

Nitrat

Maroko 6,211 2,990 1,150 1,800 2,400 mg/l

Cicadas 6,440 4,371 0,920 1,400 1,733 mg/l

DAM 3,910 1,840 1,150 1,667 1,222 mg/l

Nitrit

Maroko 0,041 0,451 0,008 0,039 0,062 mg/l

Cicadas 0,500 0,162 0,038 0,160 0,109 mg/l

DAM 0,412 0,011 0,004 0,014 0,011 mg/l

Amonia

Maroko 0,109 0,104 0,007 0,034 0,016 mg/l

Cicadas 0,139 0,031 0,072 0,021 0,041 mg/l

DAM 2,600 0,332 0,205 0,035 0,065 mg/l

Ortofosfat

Maroko 0,349 0,056 0,313 0,373 0,101 mg/l

Cicadas 0,105 0,198 0,300 0,279 0,055 mg/l

DAM 0,104 0,222 0,312 0,387 0,119 mg/l

Oksigen Terlarut

Maroko 5,70 2,50 2,80 4,10 4,90 mg/l

Cicadas 1,10 7,60 5,70 3,00 4,50 mg/l

DAM 2,60 4,80 6,30 6,20 6,10 mg/l

Suhu

Maroko 26,7 27,7 26,7 27,5 28,2 °C

Cicadas 26,9 29,6 28,7 27,5 28,6 °C

DAM 26,7 28,4 28,7 28,6 30,8 °C

pH

Maroko 7,5 7,7 7,2 7,2 7,0 -

Cicadas 7,7 8,4 8,3 7,1 7,7 -

DAM 7,5 8,9 8,7 8,0 8,2 -

(39)

LAMPIRAN 2

Pengelompokkan Status Trofik (TSI) Robert Carlson’s (1977)

Skor Status Trofik Keterangan

<30 Ultraoligotrofik Air jernih, konsentrasi oksigen terlarut tinggi sepanjang tahun dan mencapai zona hipolimnion

30-40 Oligotrofik Air jernih, dimungkinkan adanya pembatasan anoksik pada zona hypolimnetik, secara periodik (DO = 0)

40-60 Mesotrofik Kecerahan air sedang, peningkatan perubahan sifat anoksik di zona hypolimnetik, secara estetika masih mendukung untuk kegiatan olahraga air. 50-60 Eutrofik ringan Penurunan kecerahan air, zona hypolimnetik bersifat anoksik, terjadi problem

tanaman air, hanya ikan-ikan yang mampu hidup di air hangat, mendukung kegiatan olahraga air tetapi perlu penanganan.

60-70 Eutrofik sedang Didominasi oleh alga hijau-biru, terjadi penggumpalan, problem tanaman air sudah ekstensif.

70-80 Eutrofik berat Terjadi bloming alga berat, tanaman air membentuk lapisan bed seperti kondisi hypertrofik.

>80 Hypereutrofik Terjadi gumpalan alga, ikan mati, tanaman air didominasi oleh alga.

(40)

Inlet (Maroko) KJA (Cicadas)

Outlet (DAM)

Eceng gondok

(41)

LAMPIRAN 3

Data Primer Kualitas Air di Waduk Saguling (November 2012, Desember 2012, dan Januari 2013)

(42)
(43)

LAMPIRAN 4

(44)

Nilai TSI-TP, TSI-Chl a, dan TSI-SD selama pengamatan Tahap 2. Perhitungan TSI Stasiun 1 Ulangan 1

TSI

= 90,945

(45)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 8 Maret 1991 dari ayah Sukarman dan ibu Sri Lestari. Penulis adalah putri kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA HUTAMA Bekasi dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Talenta Mandiri IPB (UTMI) dan diterima di Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkulihan, penulis menjadi asisten praktikum Limnologi pada tahun ajaran 2011/2012, asisten praktikum Ekosistem Perairan Pesisir pada tahun ajaran 2012/2013, asisten praktikum Ekosistem Perairan Pesisir dan Laut Tropis pada tahun ajaran 2013/2014. Penulis juga pernah aktif sebagai staf Promotion and Promotion UKM Century IPB, Corporation BEM FPIK IPB , sekretaris ENSO HIMASPER IPB, dan staf HIMASUPERINDO. Bulan Juli 2011 penulis melaksanakan kegiatan magang di Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjanapada program studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul “Analisis

Kandungan Nutrien (N, P) dan Pendugaan Status Kesuburan di Waduk Saguling,

Gambar

Gambar 1 Bagan alir perumusan masalah
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Tabel 2  Parameter (fisika,kimia, dan biologi) yang diuji
Gambar 3,
+7

Referensi

Dokumen terkait