• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laju Pertumbuhan Mikroalga Penghasil Biofuel Jenis Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. yang Dikultivasi Menggunakan Air Limbah Hasil Penambangan Timah di Pulau Bangka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Laju Pertumbuhan Mikroalga Penghasil Biofuel Jenis Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. yang Dikultivasi Menggunakan Air Limbah Hasil Penambangan Timah di Pulau Bangka"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

YANG DIKULTIVASI MENGGUNAKAN AIR LIMBAH

HASIL PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA

MUHAMMAD REZZA FACHRULLAH

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

Penghasil Biofuel Jenis Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. yang

Dikultivasi Menggunakan Air Limbah Hasil Penambangan Timah di Pulau Bangka. Dibimbing oleh MUJIZAT KAWAROE dan ADRIANI

SUNUDDIN.

Penelitian dengan topik kultivasi mikroalga penghasil biofuel jenis

Chlorella dan Nannochloropsis dengan menggunakan air limbah tailing timah ini

dilakukan pada bulan Februari - April 2011 di Laboratorium PT. TIMAH Tbk. Bangka. Penghitungan kepadatan sel mikroalga menggunakan haemacytometer dan mikroskop. Parameter fisika dan kimia yang diukur meliputi suhu ruangan, salinitas, derajat keasaman (pH), dan kadar logam berat (Pb, Cu, Cd, dan Cr). Analisis yang digunakan meliputi penghitungan kepadatan, laju pertumbuhan spesifik, kapasitas biosorpsi, dan uji validitas Pearson terhadap kualitas air media.

Kultivasi sel Chlorella dan Nannochloropsis dilakukan dengan tiga perlakuan, yaitu kontrol, menggunakan pupuk, dan tanpa pupuk. Perlakuan kontrol menggunakan media kultur non-limbah yang disesuaikan dengan

keadaaan optimum pertumbuhan mikroalga dengan kualitas air pH 8 dan salinitas 27‰. Kualitas air media perlakuan limbah logam berat dengan menggunakan pupuk dan tanpa pupuk disesuaikan dengan keadaaan kualitas air di lokasi pengambilan sampel, yaitu dengan pH 6 dan salinitas 37‰.

Kultivasi dengan menggunakan Chlorella memperlihatkan bahwa pada perlakuan kontrol sel memiliki kepadatan maksimum tertinggi sebesar 31×106 sel/ml. Media dengan perlakuan memperlihatkan bahwa Chlorella memiliki kepadatan sel maksimum sebesar 16,72×106 sel/ml, sedangkan media tanpa perlakuan pupuk memiliki kepadatan sel maksimum terendah yaitu sebesar 1,71×106 sel/ml.

Kultivasi dengan menggunakan sel Nannochloropsis memperlihatkan bahwa dengan perlakuan kontrol sel memiliki kepadatan sel maksimum tertinggi sebesar 42,50×106 sel/ml. Media perlakuan pupuk memperlihatkan bahwa sel

Nannochloropsis memiliki kepadatan sel maksimum sebesar 9,30×106 sel/ml, sedangkan media tanpa perlakuan pupuk memiliki kepadatan sel maksimum terendah sebesar 1,26×106 sel/ml.

Logam berat Pb, Cu, dan Cd mampu diserap oleh sel Chlorella maupun

Nannochloropsis mencapai lebih dari 80%. Nannochloropsis memiliki kapasitas

penyerapan logam berat lebih besar dibandingkan Chlorella untuk semua jenis logam, yaitu Pb 99%, Cu 99%, Cd 98,73%, dan Cr 52,63%. Kapasitas serapan terendah sel mikroalga terdapat pada logam berat Cr.

(3)

YANG DIKULTIVASI MENGGUNAKAN AIR LIMBAH

HASIL PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA

MUHAMMAD REZZA FACHRULLAH

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(4)

Dengan ini Saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

LAJU PERTUMBUHAN MIKROALGA PENGHASIL BIOFUEL JENIS Chlorella sp. DAN Nannochloropsis sp. YANG DIKULTIVASI

MENGGUNAKAN AIR LIMBAH HASIL PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, September 2011

(5)

© Hak Cipta milik IPB. Tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

(6)

Judul Skripsi: Laju Pertumbuhan Mikroalga Penghasil Biofuel Jenis

Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. yang Dikultivasi

Menggunakan Air Limbah Hasil Penambangan Timah di Pulau Bangka

Nama Mahasiswa: Muhammad Rezza Fachrullah Nomor Pokok: C54070074

Departemen: Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si. Adriani Sunuddin, S.Pi., M.Si. NIP. 19551213199403 2 002 NIP. 19790206 200604 2 013

Mengetahui,

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. NIP. 19580909 198303 1 003

(7)

vii

rahmat dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Laju Pertumbuhan Mikroalga Penghasil Biofuel Jenis Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. yang Dikultivasi Menggunakan Air Limbah Hasil

Penambangan Timah di Pulau Bangka” diajukan sebagai salah satu syarat

untuk mendapatkan gelar sarjana.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada orang tua dan keluarga. Tidak lupa ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Mujizat Kawaroe selaku dosen pembimbing utama, Ibu Adriani Sunuddin selaku pembimbing anggota, Bapak Adrianis dan Ibu Henny Kristin selaku pembimbing lapang dan juga yang telah memberikan izin tempat untuk melakukan kegiatan penelitian, Rama, Barok, Ari, Adit, Maemar, Dori, Alvi, Dina, Agus, Ryan, Ikbal, Ayu, Hera, Mbak Dwi, Bang Yoga, keluarga besar ITK khususnya angkatan 44, staf karyawan PT. TIMAH Tbk. Bangka, serta semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan kegiatan dan penyusunan skripsi penelitian ini.

Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna bagi diri sendiri maupun orang lain dan dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya.

Bogor, September 2011

(8)
(9)

ix

3.4. Analisis Data ... 32

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chlorella sp. dalam Media ... 33

4.1.1. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chlorella sp. dengan Perlakuan Kontrol ... 34

4.1.2. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chlorella sp. dengan Perlakuan Menggunakan Pupuk dalam Media Logam Berat ... 35

4.1.3. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chlorella sp. dengan Perlakuan Tanpa Menggunakan Pupuk dalam Media Logam Berat ... 38

4.2. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Nannochloropsis sp. dalam Media ... 39

4.2.1. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Nannochloropsis sp. dengan Perlakuan Kontrol ... 40

4.2.2. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Nannochloropsis sp. dengan Perlakuan menggunakan Pupuk dalam Media Logam Berat ... 41

4.2.3. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Nannochloropsis sp. dengan Perlakuan Tanpa Menggunakan Pupuk dalam Media Logam Berat ... 42

4.3. Perbandingan Kepadatan Sel Mikroalga (Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp.) ... 43

4.3.1. Kultivasi Chlorella sp. dengan Nannochloropsis sp. pada Media Kontrol ... 44

4.3.2. Kultivasi Chlorella sp. dengan Nannochloropsis sp. Menggunakan Pupuk dalam Media Limbah Logam Berat .. 46

4.3.3. Kultivasi Chlorella sp. dengan Nannochloropsis sp. Tanpa Pupuk dalam Media Limbah Logam Berat ... 48

(10)

x

1. Alat dan bahan yang digunakan ... 22

2. Konsentrasi logam Timbal (Pb), Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), dan Kromium (Cr ) pada media limbah logam berat ... 50

3. Indeks Korelasi Pearson pengaruh salinitas dan pH pada Chlorella sp. ... 60

4. Kepadatan dan laju pertumbuhan spesifik Chlorella sp. perlakuan kontrol ... 71

5. Kepadatan dan laju pertumbuhan spesifik Chlorella sp. perlakuan pupuk pada media limbah logam berat ... 72

6. Kepadatan dan laju pertumbuhan spesifik Chlorella sp. perlakuan tanpa pupuk pada media limbah logam berat ... 73

7. Kepadatan dan laju pertumbuhan spesifik Nannochloropsis sp. perlakuan kontrol ... 74

8. Kepadatan dan laju pertumbuhan spesifik Nannochloropsis sp. perlakuan pupuk pada media limbah logam berat ... 75

9. Kepadatan dan laju pertumbuhan spesifik Nannochloropsis sp. perlakuan tanpa pupuk pada media limbah logam berat ... 76

10. Salinitas pada media limbah logam berat ... 77

11. Derajat keasaman (pH) pada media limbah logam berat ... 78

(11)

xi

1. Bentuk sel Chlorella sp. ... 3

2. Bentuk sel Nannochloropsis sp. ... 5

3. Fase pertumbuhan mikroalga ... 10

4. Peta lokasi pengambilan sampel air limbah logam brerat di pulau bangka ... 21

5. Alat penyaring sampel air laut ... 23

6. Autoclave ... 25

7. Haemacytometer ... 26

8. Pemindahan bibit sel mikroalga ke dalam media limbah ... 29

9. Diagram alir proses pelarutan biomassa mikroalga hingga analisis logam berat ... 31

10. Grafik kepadatan sel Chlorella sp. ... 33

11. Grafik kepadatan sel Nannochloropsis sp. ... 39

12. Kepadatan sel Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. dengan perlakuan kontrol, menggunakan pupuk, dan tanpa pupuk ... 43

13. Grafik kepadatan sel Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. dengan perlakuan kontrol ... 44

14. Grafik Kepadatan Sel Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. dengan perlakuan pupuk ... 46

15. Grafik kepadatan sel Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. dengan perlakuan tanpa pupuk ... 49

16. Salinitas pada medium Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. perlakuan kontrol, menggunakan pupuk, dan tanpa pupuk ... 55

(12)

xii

1. Penghitungan kepadatan Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. .... 66

2. Penghitungan laju pertumbuhan spesifik mikroalga ... 67

3. Penghitungan kapasitas bioabsorpsi logam berat ... 68

4. Uji validitas Pearson dan uji lanjut regresi ... 69

5. Kepadatan dan laju pertumbuhan spesifik Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. ... 71

6. Kualitas air media kultivasi ... 77

7. Komposisi kimiawi pupuk analis (Walne Media) ... 79

8. Dokumentasi foto alat dan bahan, serta kegiatan penelitian ... 80

(13)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pulau Bangka dikenal sebagai pulau yang kaya dengan sumber daya alam

mineral, khususnya timah, sehingga menjadikan penambangan sebagai roda

penggerak ekonomi masyarakat dan pemerintah pulau ini. Sisa dari aktivitas

penambangan ini berupa tailing (buangan pasir yang tidak digunakan) yang

mengandung logam berat seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), tembaga (Cu), dan

kromium (Cr), yang berdampak mencemari biota dan lingkungan laut. Adanya

Perda No. 6 Tahun 2001 yang mengizinkan kegiatan penambangan timah rakyat,

menjadikan aktivitas penambangan timah berkembang pesat dan tidak terkendali.

Hal ini dilihat dari adanya sejumlah penambang liar yang tidak memiliki izin dan

kurangnya kapasitas dalam menangani buangan sisa hasil penambangan, sehingga

menumpuknya tailing dan mayoritas tidak melalui proses pengelolaan yang layak.

Salah satu upaya yang perlu dilakukan dalam pengendalian lingkungan

adalah melakukan analisis mineral atau unsur (logam berat) terutama yang

terdapat di wilayah sekitar penambangan. Selanjutnya, upaya analisis mineral

tersebut dapat dikembangkan menjadi upaya pemulihan bahan pencemar

logam-logam berat, sehingga antisipasi adanya akumulasi logam-logam berat di dalam tubuh

mahluk hidup menjadi lebih kecil. Pemulihan kondisi lingkungan dari

pencemaran logam berat dapat dilakukan dengan memanfaatkan makhluk hidup

atau dikenal dengan istilah bioremediasi. Upaya bioremediasi terbagi menjadi

dua sistem, yaitu bioaugmentasi dan biostimulasi. Penelitian ini dikembangkan

(14)

sehingga organisme yang digunakan untuk rekoveri dapat bertahan hidup di dalam

media kultur limbah logam berat.

Sistem kultivasi umumnya telah dikembangkan menggunakan mikroalga.

Beberapa jenis mikroalga seperti Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. memiliki

toleransi yang baik terhadap lingkungan ekstrim. Kemudahan dalam mengkultur

mikroalga ini memungkinkan untuk dilakukan penelitian terhadap kedua jenis

mikroalga tersebut. Selanjutnya, dengan kandungan lemaknya yang tinggi,

mikroalga berpotensi untuk menghasilkan biofuel sebagai salah satu solusi dalam

mengatasi krisis sumber daya minyak (Kawaroe et al., 2010).

Sistem kultivasi mikroalga memiliki peran penting dalam upaya perbaikan

lingkungan perairan yang tercemar logam berat. Namun sebelum pengembangan

ini dilakukan, kajian biologi mikroalga seperti kemampuan penyerapan logam

berat dan adaptasi terhadap media tumbuh yang tercemar logam berat sangat perlu

dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

kemampuan tumbuh dan bioabsorben mikroalga Chlorella sp. dan

Nannochloropsis sp. yang ditumbuhkan di media kultivasi tercemar logam berat.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Membandingkan laju pertumbuhan dua jenis mikroalga (Chlorella sp. dan

Nannochloropsis sp.) yang dikultivasi menggunakan limbah tailing timah;

2. Membandingkan kapasitas penyerapan logam berat Pb, Cu, Cd, dan Cr oleh

Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp.;

3. Menentukan pengaruh parameter fisika dan kimia media kultivasi terhadap

(15)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi, Morfologi, dan Habitat Chlorella sp.

Menurut Vashista (1979) dalam Rostini (2007), Chlorella sp. termasuk

dalam:

Filum : Chlorophyta

Kelas : Chlorophyceae

Ordo : Chlorococcales

Famili : Chlorellaceae

Genus : Chlorella sp.

Sel Chlorella sp. berbentuk bulat, hidup soliter, berukuran 2-8 m. Sel

Chlorella sp. di dalamnya mengandung 50% protein, lemak serta vitamin A, B, D,

E dan K, di samping banyak terdapat pigmen hijau (klorofil) yang berfungsi

sebagai katalisator dalam proses fotosintesis (Sachlan, 1982 dalam Rostini, 2007).

Setiap berat kering yang sama, Chlorella sp. mengandung vitamin A, B, D, E, dan K,

yaitu 30 kali lebih banyak dibandingkan yang terdapat dalam hati anak sapi, serta

empat kali vitamin yang terkandung dalam sayur bayam (Watanabe, 1978 dalam

Rostini, 2007).

(16)

Mikroalga Chlorella sp. memiliki potensi sebagai pakan alami, pakan

ternak, suplemen, penghasil komponen bioaktif, bahan farmasi dan kedokteran.

Hal tersebut disebabkan Chlorella sp. mengandung berbagai nutrien seperti

protein, karbohidrat, asam lemak tak jenuh, vitamin, klorofil, enzim, dan serat

yang tinggi (Kawaroe, 2010). Chlorella sp. juga menghasilkan suatu antibiotik

yang disebut Chlorellin, yaitu suatu zat yang dapat melawan penyakit-penyakit

yang disebabkan oleh bakteri (Vashista, 1979 dalam Rostini, 2007). Protoplas sel

dikelilingi oleh membran yang selektif, sedangkan di luar membran sel terdapat

dinding yang tebal terdiri dari selulosa dan pektin. Di dalam sel terdapat suatu

protoplas yang tipis berbentuk seperti cawan atau lonceng dengan posisi

menghadap ke atas. Pineroid-pineroid stigma dan vakuola kontraktil tidak ada

(Vashista, 1979 dalam Rostini, 2007).

Chlorella sp. dapat tumbuh pada salinitas 25 ‰. Alga tumbuh lambat pada

salinitas 15 ‰, dan hampir tidak tumbuh pada salinitas 0 ‰ dan 60 ‰. Chlorella

sp. tumbuh baik pada suhu 20 oC, tetapi tumbuh lambat pada suhu 32 oC. Tumbuh sangat baik sekitar 20-23 oC (Hirata, 1981 dalam Rostini, 2007). Pemanfaatan Chlorella sp. dilakukan menggunakan teknik kultur. Keberhasilan

teknik kultur bergantung pada kesesuaian antara jenis mikroalga yang

dibudidayakan dan beberapa faktor lingkungan. Salah satu hal yang perlu

diperhatikan adalah faktor derajat keasaman (pH) agar metabolisme sel mikroalga

tidak terganggu. Derajat keasaman (pH) media menentukan kelarutan dan

ketersediaan ion mineral sehingga mempengaruhi penyerapan nutrien oleh sel.

Perubahan nilai pH yang drastis dapat mempengaruhi kerja enzim serta dapat

(17)

2.2. Biologi, Morfologi, dan Habitat Nannochloropsis sp.

Klasifikasi Nannochloropsis sp. menurut Adehoog dan Simon (2001)

dalam Anon et al. (2009) adalah sebagai berikut:

Filum : Chromophyta

Kelas : Eustigmatophyceae

Ordo : Eustigmatales

Famili : Eustigmataceae

Genus : Nannochloropsis sp.

Nannochloropsis sp. memiliki sejumlah kandungan pigmen dan nutrisi

seperti protein (52,11%), karbohidrat (16%), lemak (27,64%), vitamin C (0,85%),

dan klorofil A (0,89%). Nannochloropsis sp. merupakan sel berwarna kehijauan,

tidak motil, dan tidak berflagel. Selnya berbentuk bola dan berukuran kecil.

Organisme ini merupakan divisi yang terpisah dari Nannochloris karena tidak

adanya klorofil b. Nannochloropsis sp. merupakan pakan yang populer untuk

rotifer, artemia, dan pada umumnya merupakan organisme filter feeder

(penyaring) (Anon et al., 2009).

(18)

Nannochloropsis sp. memiliki ukuran sel 2-4 mikron, berwarna hijau dan

memilki dua flagella (Heterokontous) yang salah satu flagella berambut tipis.

Nannochloropsis sp. memiliki kloroplas dan nukleus yang dilapisi membran.

Kloroplas memiliki stigma (bintik mata) yang bersifat sensitif terhadap cahaya.

Nannochloropsis sp. dapat berfotosintesis karena memiliki klorofil. Ciri khas dari

Nannochloropsis sp. adalah memiliki dinding sel yang terbuat dari komponen

selulosa.

Nannochloropsis sp. bersifat kosmopolit dapat tumbuh pada salinitas 0-35

‰. Salinitas optimum untuk pertumbuhannya adalah 25-35 ‰, dan suhu 25-30

o

C merupakan kisaran suhu yang optimal. Mikroalga ini dapat tumbuh baik pada

kisaran pH 8-9,5 dan intensitas cahaya 100-10000 lux. Nannochloropsis sp. lebih

dikenal dengan nama Chlorella sp. laut dikultur untuk pakan Barchionus plicatilis

atau Rotifer karena mengandung Vitamin B12. Kepadatan optimum yang dapat

dicapai untuk skala laboratrium 50-60 juta sel/mL, skala semi massal 20-25 juta

sel/mL dan massal 15-20 juta sel/mL dengan masa kultur 4-7 hari (Anon, 2009).

Nannochloropsis sp. memiliki kandungan lipid yang cukup tinggi yaitu

antara 31-68% berat kering (Campbell, 2008; Kawaroe, 2007; Rao, 2008).

Persentase PUFA (Poly Unsaturated Fattc Acid) utama pada Nannochloropsis sp.

tetap stabil pada kondisi dengan keterbatasan cahaya, tetapi pada kondisi dengan

intensitas cahaya jenuh kandungan PUFA menurun yang diikuti dengan kenaikan

proporsi SFA dan MUFA (Mono Unsaturated Fatty Acid). Nannochloropsis sp.

mengandung Vitamin B12 dan Eicosapentaenoic acid (EPA) sebesar 30,5 % dan

total kandungan omega 3 HUFAs sebesar 42,7%, serta mengandung protein

(19)

2.3. Kultivasi Mikroalga

2.3.1. Syarat Kultivasi Mikroalga

Kultivasi mikroalga dipengaruhi oleh beberapa faktor umum seperti faktor

eksternal (lingkungan) yang biasa dikenal. Faktor-faktor lingkungan tersebut

berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan metabolisme dari makhluk hidup

mikro ini. Faktor-faktor tersebut antara lain:

(1) Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman atau pH digambarkan sebagai keberadaan ion hidrogen.

Variasi pH dalam media kultur dapat mempengaruhi metabolisme dan

pertumbuhan kultur mikroalga antara lain mengubah keseimbangan karbon

anorganik, mengubah ketersediaan nutrien dan mempengaruhi fisiologi sel.

Kisaran pH untuk kultur alga biasanya antara 7-9, kisaran optimum untuk alga

laut berkisar antara 7,8-8,5. Secara umum kisaran pH yang optimum untuk kultur

mikroalga adalah antara 7–9.

(2) Salinitas

Kisaran salinitas yang berubah-ubah dapat mempengaruhi pertumbuhan

mikroalga. Beberapa mikroalga dapat tumbuh dalam kisaran salinitas yang tinggi

tetapi ada juga yang dapat tumbuh dalam kisaran salinitas yang rendah. Namun,

hampir semua jenis mikroalga dapat tumbuh optimal pada salinitas sedikit

dibawah habitat asal. Pengaturan salinitas pada media yang diperkaya dapat

dilakukan dengan pengenceran dengan menggunakan air tawar. Kisaran salinitas

yang paling optimum untuk pertumbuhan mikroalga adalah 25-35‰ (Sylvester et

(20)

(3) Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi

pertumbuhan mikroalga. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses kimia,

biologi dan fisika, peningkatan suhu dapat menurunkan suatu kelarutan bahan dan

dapat menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi mikroalga

di perairan. Secara umum suhu optimal dalam kultur mikroalga berkisar antara

20-24 oC.

Suhu dalam kultur diatur sedemikian rupa bergantung pada media yang

digunakan. Suhu di bawah 16 oC dapat menyebabkan kecepatan pertumbuhan turun, sedangkan suhu diatas 36 oC dapat menyebabkan kematian (Taw, 1990).

(4) Cahaya

Cahaya merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis yang berguna

untuk pembentukan senyawa karbon organik. Intensitas cahaya sangat

menentukan pertumbuhan mikroalga yaitu dilihat dari lama penyinaran dan

panjang gelombang yang digunakan untuk fotosintesis. Cahaya berperan penting

dalam pertumbuhan mikroalga, tetapi kebutuhannya bervariasi yang disesuaikan

dengan kedalaman kultur dan kepadatannya.

(5) Karbondioksida

Karbondioksida diperlukan oleh mikroalga untuk memenbantu proses

fotosintesis. Karbondioksida dengan kadar 1-2% biasanya sudah cukup digunakan

dalam kultur mikroalga dengan intensitas cahaya yang rendah. Kadar

karbondioksida yang berlebih dapat menyebabkan pH kurang dari batas optimum

(21)

(6) Nutrien

Mikroalga memperoleh nutrien dari air laut yang sudah mengandung

nutrien yang cukup lengkap. Namun pertumbuhan mikroalga dalam kultur dapat

mencapai optimum dengan mencampurkan air laut dengan nutrien yang tidak

terkandung dalam air laut tersebut.

Nutrien tersebut dibagi menjadi makro nutrien dan mikro nutrien. Unsur

makro nutrien terdiri atas N (meliputi nitrat), P (Posfat), K (Kalium), C (Karbon),

Si (silikat), S (Sulfat) dan Ca (Kalsium). Unsur mikro nutrien terdiri atas Fe

(Besi), Zn (Seng), Cu (Tembaga), Mg (Magnesium), Mo (Molybdate), Co

(Kobalt), B (Boron), dan lainnya (Sylvester et al., 2002; Edhy et al., 2003;

Cahyaningsih, 2009).

(7) Aerasi

Aerasi dalam kultivasi mikroalga digunakan dalam proses pengadukan

media kultur. Pengadukan sangat penting dilakukan bertujuan untuk mencegah

terjadinya pengendapan sel, nutrien tersebar dengan baik sehingga mikroalga

dalam kultur mendapatkan nutrien yang sama, mencegah sratifikasi suhu, dan

meningkatkan pertukaran gas dari udara ke media (Taw, 1990).

Pertumbuhan mikroalga dalam media kultur dapat ditandai dengan

bertambah besarnya ukuran sel atau bertambah banyaknya jumlah sel. Kepadatan

sel dalam kultur Nannochloropsis sp. dan Chlorella sp. digunakan untuk

mengetahui pertumbuhan jenis mikroalga hijau tersebut. Kecepatan tumbuh

dalam kultur ditentukan dari media yang digunakan dan dapat dilihat dari hasil

pengamatan kepadatan Nannochloropsis sp. dan Chlorella sp. yang dilakukan

(22)

2.3.2. Fase Pertumbuhan Mikroalga

Pertumbuhan mikroalga secara umum dapat dibagi menjadi lima fase yang

meliputi fase lag (adaptasi atau istirahat), fase eksponensial, fase penurunan

kecepatan pertumbuhan (deklinasi), fase stasioner dan fase kematian.

Gambar 3. Fase pertumbuhan mikroalga

Pada fase lag penambahan jumlah densitas mikroalga sangat rendah atau

bahkan dapat dikatakan belum ada penambahan densitas. Hal tersebut disebabkan

karena sel-sel mikroalga masih dalam proses adaptasi secara fisiologis terhadap

media tumbuh sehingga metabolisme untuk tumbuh manjadi lamban. Pada fase

eksponensial terjadi penambahan kepadatan sel mikroalga (N) dalam waktu (t)

dengan kecepatan tumbuh (µ) sesuai dengan rumus eksponensial.

Pada fase penurunan kecepatan tumbuh pembelahan sel mulai melambat

karena kondisi fisik dan kimia kultur mulai membatasi pertumbuhan. Pada fase

stasioner, faktor pembatas dan kecepatan pertumbuhan bersifat setimbang karena

jumlah sel yang membelah dan yang mati sama. Pada fase kematian, kualitas

fisik dan kimia kultur berada pada titik dimana sel tidak mampu lagi mengalami

pembelahan.

Sumber: Fogg dan Thake, 1987 dalam Edhy et al., 2003 1

2

3 4

5

1.Lag or Induction phase 2.Exponential phase

(23)

2.3.3. Biofuel dari mikroalga

Mikroalga berpotensi menghasilkan biofuel dalam jumlah yang sangat

besar. Biofuel yang dapat terbarukan dapat menggantikan minyak yang dijadikan

bahan bakar yang berkontribusi pada pemanasan global dan ketersediannya yang

terbatas. Biodiesel dan Bioethanol merupakan bahan bakar yang berpotensi dapat

diperbaharui yang menarik perhatian dunia. Biodiesel dan bioethanol diproduksi

oleh tanaman pertanian menggunakan metode yang ada dan keberadaannya tidak

dapat menggantikan minyak fosil yang dijadikan bahan bakar.

Tingginya potensi bahan dari mikroalga ini telah dikemukakan oleh Umdu

et al. (2008) bahwa minyak mikroalga mengandung lipid yang cocok untuk

esterifikasi atau transesterifikasi.

Mikroalga merupakan biota yang menjanjikan hasil lebih baik karena:

1. Memiliki laju pertumbuhan tinggi (Umdu et al., 2008).

2. Kandungan lipid dapat disesuaikan dengan mengubah komposisi media untk tumbuh (Umdu et al., 2008).

3. Dapat dipanen lebih dari satu kali dalam satu tahun (Umdu et al., 2008).

4. Dapat menggunakan air laut atau air limbah (Umdu et al., 2008).

2.3.4. Teknik Kultivasi Mikroalga

Kultivasi (kegiatan kultur) mikroalga dalam skala laboratorium

membutuhkan kondisi lingkungan yang stabil, sehingga diperlukan pendingin

ruangan (AC) agar suhu ruangan selalu terkendali dan ruangan terisolasi dari

lingkungan luar. Selain itu, ada beberapa mikroalga yang dapat tumbuh baik pada

(24)

Pupuk yang digunakan pada skala laboratorium terbuat dari bahan kimia

PA (Pro Analis) dengan dosis pemakaian 1ml/L volume kutur. Jenis dan formula

pupuk adalah yang telah distandarkan dan umum digunakan yaitu Conwy

(Walne’s Media), Guilard, dan Rhyter modifikasi F. Penggunaan pupuk pada

skala laboratorium dimanfaatkan agar pertumbuhan mikroalga optimal sehingga

didapatkan bibit (starter) yang bermutu tinggi untuk skala kultur selanjutnya.

2.4. Logam Berat

2.4.1. Deskripsi Logam Berat

Keberadaan logam berat dalam lingkungan dapat berasal dari dua sumber,

yaitu berasal dari proses alamiah seperti pelapukan secara kimiawi dan kegiatan

geokimiawi serta dari tumbuhan dan hewan yang membusuk, dan berikutnya

berasal dari hasil aktivitas manusia terutama hasil limbah industri. Berdasarkan

sudut pandang toksikologi, logam berat dapat dibagi dalam dua jenis. Jenis

pertama adalah logam berat esensial, di mana keberadaannya dalam jumlah

tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang

berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Cu,

Fe, Co, Mn, dan lain sebagainya. Sedangkan jenis kedua adalah logam berat tidak

esensial atau beracun, dimana keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui

manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, Cr, dan lain-lain.

Logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami

pengendapan, pengenceran dan dispersi, kemudian diserap oleh organisme yang

hidup di perairan tersebut. Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi

karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida (Hutagalung, 1995). Logam

(25)

dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam

sedimen lebih tinggi dibanding dalam air (Hutagalung, 1995).

2.4.2. Pencemaran Logam Berat Aktivitas Penambangan di Pulau Bangka

Pulau Bangka dikenal sebagai daerah penghasil timah sejak 3 abad silam

yang dimulai pada pemerintahan Kolonial Belanda. Seiring bergulirnya roda

pemerintahan, yang pada awalnya penambangan timah tidak diperbolehkan untuk

skala rakyat. Berdasarkan Perda No. 6 Tahun 2001, Pemprov Bangka

membolehkan penambangan timah rakyat untuk tujuan kemakmuran, sehingga

aktivitas penambangan tumbuh pesat, khususnya oleh penambang skala kecil.

Keadaan ini terlihat dengan semakin maraknya kegiatan penambangan

rakyat yang sifatnya ilegal, dan cenderung mengabaikan pengelolaan hasil

samping penambanganyang dapat mencemari lingkungan. Eksplorasi timah di

daerah laut secara besar-besaran telah menghasilkan limbah tailing yang besar

pula dan dibuang langsung ke laut tanpa pengolahan terlebih dahulu. Hal tersebut

menyebabkan terjadinya sedimentasi pada sebagian Laut Bangka. Di samping

limbah tailing, tumpahan oli dan solar dari aktivitas penambangan juga turut

memperparah pencemaran terutama berkaitan dengan pencemaran logam berat di

perairan Pulau Bangka.

Kegiatan penambangan timah di pulau Bangka ini telah berlangsung sejak

zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Pulau Bangka merupakan pulau

penghasil timah terbesar di Indonesia. Dari luas Pulau Bangka sebesar 1.294.050

ha, sekitar 27,56 % daratan pulau ini merupakan areal Kuasa Penambangan (KP)

timah PT. Tambang Timah menguasai lahan seluas 321.577 ha dan PT. Kobatin

(26)

Selain kedua perusahan tersebut, izin kuasa penambangan (KP) timah juga

diberikan kepada perusahaan swasta. Sampai dengan pertengahan tahun 2007,

jumlah KP timah mencapai 101 izin dengan luas pencadangan 320.219 ha, dan

yang telah ditambang 6.084 ha.

2.4.3. Beberapa Karakteristik Logam Berat, Sumber, dan Dampaknya

2.4.3.1. Timbal (Pb)

Timbal merupakan logam berat beracun yang dapat dideteksi secara praktis

pada seluruh benda mati di lingkungan dan seluruh sistem biologis. Logam ini

merupakan racun yang mudah terakumulasi dan akan mengalami peningkatan

jumlah dalam tubuh, hingga akhirnya mencapai suatu titik dimana telah terjadi

kerusakan sistem tubuh. Mobilitas timbal di tanah dan tumbuhan cenderung

lambat dengan kadar normalnya pada tumbuhan berkisar 0,5 – 3,0 ppm

(Suhendrayatna, 2001). Sumber utama timbal adalah dari makanan dan minuman

yang terkontaminasi timbal (Suhendrayatna, 2001).

Selain itu menurut Vinithkumar (2004), timbal juga terdapat di udara bebas

sebagai akibat dari penggunaan bahan bakar kendaraan dan industri yang tidak

bebas timbal. Timbal menimbulkan efek beracun pada sistem syaraf,

hemetologik, hemetotoksik, dan mempengaruhi kerja ginjal serta paru-paru,

bahkan gangguan pertumbuhan pada anak-anak dan bayi (Vinithkumar, 2004).

Mobilitas timbal di tanah dan tumbuhan cendrung lambat dengan kadar

(27)

2.4.3.2 Kadmium (Cd)

Kadmium lebih mudah diakumulasi oleh tanaman dibandingkan dengan

timbal dan lebih banyak dijumpai pada permukaan sampel tanah yang diambil

dekat penambangan bijih seng (Suhendrayatna, 2001). Sumber dari logam ini

antara lain berasal dari industri baterai, pewarnaan, plastik, dan pengolahan

logam. Logam kadmium tergolong berbahaya karena memiliki resiko tinggi pada

pembuluh darah. Kadmium berpengaruh terhadap tubuh manusia dalam jangka

waktu panjang dan dapat terakumulasi dalam tubuh, khususnya di hati dan ginjal.

Logam berat ini bersama timbal dan merkuri sebagai the big three heavy

metal yang memiliki tingkat bahaya tertinggi pada kesehatan manusia. Kadmium

adalah logam beracun yang merupakan polutan yang berbahaya bagi lingkungan

karena bersifat toksik selain dapat membahayakan makhluk hidup dan ekosistem

perairan. Kadmium dapat meleleh pada 320 oC dan bersifat sangat elektropositif. Logam-logam kadmium cenderung membentuk kompleks dengan NH3, ion halida

dan CN-. Kadmium dapat melarut lambat dalam asam encer dengan melepaskan hidrogen.

2.4.3.3 Kromium (Cr)

Logam kromium di alam ditemukan dalam bentuk chromite (FeO.Cr2O3).

Kromium adalah logam yang berwarna putih, tak begitu liat (keras tapi rapuh),

dan tak dapat ditempa. Logam ini memiliki titik leleh di atas 1800 oC. Logam kromium larut dalam asam klorida encer atau pekat. Jika tidak terkena udara,

akan terbentuk ion-ion kromium.

Logam kromium tidak dapat teroksidasi oleh udara yang lembab dan

(28)

yang sangat sedikit. Logam kromium mudah larut dalam HCl, sulfat, dan

perklorat. Sesuai dengan tingkat oksidasinya, logam atau ion kromium yang telah

membentuk senyawa, mempunyai sifat-sifat yang berbeda sesuai dengan tingkat

oksidasinya.

Sebagai logam berat, kromium termasuk logam yang mempunyai daya

racun tinggi. Umumnya dijumpai di alam dalam bentuk bervalensi tiga yang sifat

racunnya lebih rendah daripada 6 valensi. Meskipun demikian, kromium terutama

yang bervalensi 6 dapat mengakibatkan kanker saluran pencernaan, penyakit kulit,

dan bisul serta radang pada membran mukus nasal (Vinithkumar, 2004).

2.4.3.4 Tembaga (Cu)

Tembaga di alam dapat ditemukan dalam bentuk logam bebas, akan tetapi

lebih banyak ditemukan dalam bentuk persenyawaan atau sebagai senyawa padat

dalam bentuk mineral. Secara global, sumber masuknya logam Cu ke dalam

lingkungan dapat terjadi secara alamiah (akibat berbagai peristiwa alam) seperti:

erosi batuan, mineral, debu atau partikulat Cu yang ada di udara. Sumber Cu di

alam kini lebih banyak dipengaruhi aktifitas manusia, khususnya buangan industri

yang memakai Cu dalam proses produksinya, seperti industri galangan kapal,

industri pengolaan kayu, buangan rumah tangga, pertambangan, dan lainnya.

Cu digolongkan sebagai logam berat esensial, yang berarti walaupun

termasuk logam berat yang berbahaya tetapi unsur ini dibutuhkan oleh tubuh

dalam jumlah sedikit. Manusia memerlukan Cu sebagai metalloenzim dalam

sistem metabolismenya atau sistem enzim oksidatif. Selain itu, Cu juga sebagai

kompleks Cu protein yang mempunyai fungsi tertentu dalam pembentukan

(29)

logam Cu dalam metabolismenya akan berbalik menjadi bahan racun untuk

manusia bila masuk dalam jumlah berlebihan (Palar, 1994 dalam Yefrida, 2008).

Tembaga bersifat racun terhadap semua tumbuhan pada konsentrasi larutan di atas

0,1 ppm. Konsentrasi normal komponen ini di tanah berkisar 20 ppm, sedangkan

konsentrasi yang aman bagi air minum manusia adalah < 1 ppm.

2.5. Adsorpsi Logam Berat Oleh Mikroorganisme

2.5.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Bioabsorpsi

Adsorpsi secara umum adalah proses pengumpulan benda-benda terlarut

yang terdapat dalam larutan antara dua fase, yaitu fase padat (adsorben) dan fase

cair (pelarut, biasanya air) yang mengandung spesies terlarut yang akan diserap

(adsorbat, ion logam). Dalam penelitian ini, adsorbatnya adalah ion logam Pb

(Timbal), Cd (Cadmium), Cr (Chromium), dan Cu (Tembaga / Cuprum) dan

mikroalga sebagai adsorbennya. Jenis interaksi yang terjadi antara logam dengan

permukaan sel adalah interaksi ionik, interaksi pengomplekan, interaksi

pertukaran ion dan pengendapan.

Secara umum ada dua jenis adsorpsi logam berat oleh mikroorganisme

yaitu yang tidak bergantung pada mikroorganisme (metabolism-independent)

yang terjadi pada permukaan sel dan adsorpsi yang bergantung pada metabolisme

(metabolism-dependent) yang menyebabkan logam terakumulasi di dalam sel

(Lestari et al., 2002 dalam Triani, 2006). Proses tersebut terjadi pada dinding sel

dan permukaan eksternal lainnya melalui mekanisme kimia dan fisika misalnya

pertukaran ion (kation exchangeable), pembentukan kompleks (dengan

(30)

Proses adsorpsi dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

(1) pH (Derajat Keasaman)

Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh besar dalam proses adsorpsi

karena pH mampu mempengaruhi terjadinya interaksi ion logam dengan gugus

aktif adsorben. pH optimum untuk adsorpsi tembaga oleh Chlorella sp. yang

diimobilisasi pada silika gel dicapai pada pH 5 (Triyatno, 2004).

(2) Konsentrasi Logam

Konsentrasi logam sangat berpengaruh terhadap penyerapan logam oleh

adsorben. Pada permukaan penyerap (biomassa mikroalga) terdapat sejumlah sisi

aktif yang proporsional dengan luas permukaan penyerap. Jadi dengan

memperbesar konsentrasi larutan serapan logam akan meningkat secara linier

hingga konsentrasi tertentu.

(3) Waktu Kontak

Waktu kontak antara adsorbat dengan adsorben selama proses adsorpsi

berlangsung dipertahankan konstan. Triyatno (2004) melaporkan bahwa adsorpsi

maksimum Cu2+ dalam Chlorella sp. yang terimobilisasi silika gel dicapai setelah 20 menit.

(4) Tumbukan Antar Partikel

Proses adsorpsi tergantung pada banyaknya tumbukan yang terjadi antara

partikel-partikel adsorbat dan adsorben. Tumbukan antar partikel ini dapat

(31)

(5) Karakteristik dari Adsorben

Ukuran partikel dan luas permukaan adsorben akan mempengaruhi proses

adsorpsi. Semakin kecil ukuran partikel akan semakin cepat proses adsorpsi yang

terjadi dan semakin besar luas permukaan adsorben maka penyerapan yang terjadi

semakin merata.

2.5.2. Mekanisme Proses Adsorpsi

Mekanisme adsorpsi logam berat menggunakan biomassa mikroalga telah

banyak dikembangkan, namun masih memiliki kelemahan dan resiko terkait

akumulasi logam berat terhadap sel mikroalga. Metode yang digunakan adalah

absorbsi kation logam berat oleh dinding sel media bio (mikroalga) yang

bermuatan negatif dari gugus karboksil, hidroksil, sulfidril, amina dan fosfat.

Hal demikian dapat terjadi pada mikroorganisme dari golongan alga

(fitoplankton). Dalam tulisannya, Oswald (1988) menyebutkan bahwa alga atau

ganggang memiliki permukaan yang bermuatan negatif tinggi sehingga dapat

menarik logam berat yang memiliki muatan positif yang kuat. Melalui tingginya

tingkat resirkulasi di perairan, logam berat terserap oleh alga dan mendiami

tempat yang bersifat fakultatif atau di bawah kondisi lingkungan normal.

Mekanisme active uptake atau proses bioremoval terjadi pada berbagai sel

hidup dan secara simultan terjadi sejalan dengan konsumsi ion logam untuk

pertumbuhan mikroorganisme dan/atau akumulasi intraselular ion logam tersebut.

Proses ini tergantung pada energi yang terkandung dan sensitifitasnya terhadap

parameter-parameter yang berbeda seperti suhu, pH, kekuatan ikatan ionik,

(32)

Proses bioabsorpsi dapat dihambat dengan suhu rendah, tidak tersedianya

sumber energi, dan penghambat-penghambat metabolisme sel. Di sisi lain,

bioabsorpsi logam berat dengan sel hidup ini terbatas dikarenakan oleh akumulasi

ion yang menyebabkan racun terhadap mikroorganisme, sehingga dapat

menghalangi pertumbuhan mikroorganisme disaat keracunan terhadap ion logam

tercapai. Mikroorganisme yang tahan terhadap efek racun ion logam akan

dihasilkan berdasarkan prosedur seleksi yang ketat terhadap pemilihan jenis

(33)

3.

BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - April 2011 di

Laboratorium Air PT. TIMAH, Tbk. Pangkalpinang, Bangka. Penelitian ini

menggunakan air laut sampel yang berasal dari aktivitas hasil penambangan timah

di Pantai Rebo, Kabupaten Bangka Induk, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Secara rinci, referensi geografis tempat pengambilan sampel air laut adalah

01°55′22,2″ LS dan 106°10′30,9″ BT. Tempat pengambilan sampel air limbah

logam berat hasil aktifitas penambangan timah di Pulau Bangka dapat dilihat pada

Gambar 4.

(34)

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

Alat dan Bahan Spesifikasi Jumlah Unit

Aerator Air Pump AC-9902 4

Haemacytometer Assistant (Neubauer) 25x10-4 mm2 1

Handcounter - 1

Refraktometer Hand Refraktometer Atago 1

Thermometer Air Raksa (Hg) 1

Sprayer - 1

Tabung Durham Iwaki 15 mL 18

Timbangan Analitik AND EK-3000i 1

Air laut - 60 L

Kertas Saring Millipore Wheatman 150

(35)

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Pengambilan Air Limbah di Daerah Penambangan Timah

Pengambilan sampel air laut dilakukan tanggal 6 Februari 2011, pukul

14:30 WIB dengan menggunakan perahu nelayan. Sampel air laut diambil

menggunakan wadah polietilen berukuran 35 Liter.

3.3.2. Filterisasi

Filterisasi merupakan suatu metode yang dilakukan untuk menyaring air

laut dengan tujuan menghilangkan partikel-partikel sedimentasi yang ada di dalam

sampel tersebut. Metode ini menggunakan prinsip penyaringan dengan kertas

Millipore. Penggunaan kertas saring dimaksudkan agar partikel-partikel suspensi

dapat tersaring, sehingga yang terlarut akan menjadi media bagi kultivasi

mikroalga.

Alat yang digunakan dalam proses filterisasi ini adalah penyaring air laut.

Bagian-bagiannya terdiri atas pompa vakum, gelas media tampungan (sebagai

wadah filtrat), selang silikon (penghubung pompa vakum dengan gelas filtrat),

dan kertas saring Millipore.

(36)

Metode filterisasi tidak bertujuan untuk membunuh bakteri, karena hal

tersebut bertujuan agar partikel yang berukuran lebih dari 0,45 µm akan tersaring,

dan kurang dari 0,45 µm akan menjadi bagian partikel terlarut, termasuk ion atau

logam-logam berat di dalamnya. Proses filterisasi dimulai dengan mengalirkan

air limbah yang mengandung suspensi ke filtering apparatus, selanjutnya air

filtrat (yang tersaring) akan digunakan sebagai media kultur yang sebelumnya

akan melalui tahap sterilisasi (autoclave) agar air sampel limbah bebas dari

patogen dan sel plankton lainnya yang memiliki ukuran sel kurang dari 0,45 µm.

3.3.3. Sterilisasi

Sterilisasi bertujuan untuk menyucihamakan alat serta bahan yang akan

digunakan untuk isolasi maupun kultur mikroalga dari mikroorganisme serta

bahan kimia yang dapat menjadi kontaminan (Kawaroe, 2008). Metode sterilisasi

dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui pemanasan sederhana (air tawar

untuk sterilisasi alat dan wadah) dan menggunakan autoclave (panas bertekanan)

untuk media air laut dan peralatan yang tahan panas lainnya.

Pemanasan air tawar atau akuades digunakan untuk sterilisasi alat dan

wadah kultur, terdiri atas: selang dan batu aerasi, pipet mohr 1 mL; 2 mL; 5 mL;

10 mL; dan 25 mL, tabung reaksi, penutup tabung reaksi, dan erlenmeyer volume

2800 mL. Sterilisasi dimulai dengan pemanasan air tawar dengan menggunakan

hot plate hingga mendidih. Wadah dan alat yang sebelumnya telah dicuci dan

dibilas dengan air tawar, selanjutnya dialirkan air panas dari hot plate (membunuh

bakteri yang ada di wadah) dan ditiriskan. Sterilisasi menggunakan autoclave

merupakan suatu metode yang memanfaatkan uap panas bertekanan, dengan suhu

(37)

Metode ini digunakan untuk peralatan kultivasi dan air media, yang

bertujuan untuk menghilangkan kontaminasi dari patogen yang ada di dalam

media. Media autoclave dapat digunakan setiap pemakaian selama kurang-lebih

30 menit. Dengan luas penampang kira-kira 2 liter media.

3.3.4. Proses Kultur Nannochloropsis sp. dan Chlorella sp.

(1) Persiapan Wadah Kultur

Wadah kultur (250 mL, 750 mL, 1500 mL, dan 2800 mL) yang telah

disterilkan, baik menggunakan autoclave maupun pemanas disusun sesuai dengan

kebutuhan pengkulturan. Wadah kultur terbagi menjadi dua, yaitu wadah bagi

media Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. Wadah yang telah disiapkan diberi

air laut sesuai dengan kapasitas masing-masing wadah. Tahap awal kultur dimulai

dari media 250 mL, atau dari gelas erlenmeyer 250 mL. Selanjutnya, media 250

mL diberi pupuk Pro Analis. Dalam penelitian ini, wadah yang digunakan berisi

pupuk dari media Conwy (Walne’s media) sebanyak 1 mL untuk 1000 mL air

sampel. Setelah mencapai masa puncak populasi, media 250 mL dapat dikultur

kembali dengan menggunakan media 2000 mL, dan selanjutnya media dapat

digunakan untuk keperluan penelitian.

(38)

(2) Persiapan Pupuk (Conwy atau Walne) Untuk Kultivasi Mikroalga

Pupuk yang digunakan mengandung campuran dari beberapa bahan-bahan

kimia yang berfungsi untuk memberikan nutrisi dalam mendukung pertumbuhan

mikroalga. Tempat penyimpanan bahan-bahan kimia biasanya disediakan khusus

agar tidak menimbulkan kontaminasi dengan benda-benda sekitarnya. Larutan

media ini dicampurkan ke dalam wadah kultur sesuai dengan volume media

kultur. Selanjutnya media tersebut dapat dihitung jumlah kepadatan sel secara

rutin dengan menggunakan haemacytometer.

3.3.5. Perhitungan Kepadatan Sel Mikroalga

Perhitungan kepadatan bertujuan untuk menentukan kondisi mikroalga

setiap harinya (sel yang bertambah besar dan bertambah banyak). Perhitungan sel

mikroalga menggunakan haemacytometer dan alat bantu handcounter untuk

mencatat jumlah perhitungan. Haemacytometer terbuat dari gelas yang dibagi

menjadi kotak-kotak pada dua tempat bidang pandang untuk menghitung jumlah

kepadatan sel.

(39)

Kotak tersebut berbentuk bujur sangkar dengan sisi 1 mm dan tinggi 0,1

mm, sehingga bila ditutup dengan cover glass, akan menghasilkan volume

ruangan 0,1 mm3 atau 10-4 ml. Kotak tersebut dibagi lagi menjadi dua puluh lima kotak bujur sangkar, yang masing-masing dibagi lagi menjadi enam belas kotak

bujur sangkar yang lebih kecil (Isnansetyo, 1995). Contoh penghitungan

kepadatan Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. dapat dilihat pada Lampiran 1.

Estimasi kepadatan sel mikroalga dapat digambarkan dalam perhitungan pada persamaan (1) sebagai berikut:

1. Dalam 400 kotak (bila kepadatan rendah)

Jumlah sel x 104/ml = N sel/mL ………

(1)

2. Dalam beberapa (80) kotak (bila kepadatan terlalu tinggi) Rata-rata jumlah sel (dari 80 kotak) x 400 x 104/ml = N sel/mL

3.3.6. Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Media Kultivasi Mikroalga

Pengukuran parameter ini bertujuan untuk menentukan pengaruh dari

masing-masing parameter terhadap pertumbuhan dari mikroalga (Chlorella sp.

dan Nannochloropsis sp.). Selain itu, pengukuran ini juga berperan penting dalam

membandingkan pengaruh keadaan yang terkontrol dan fluktuatif terhadap

kehidupan mikroalga. Pengukuran parameter dilakukan setiap hari dengan

menggunakan thermometer untuk parameter suhu (oC), Refraktometer untuk salinitas (‰), dan pH meter untuk parameter keasaman air sampel limbah dalam

media kultivasi.

3.3.7. Pemanenan Populasi Mikroalga

Pemanenan dilakukan apabila hasil kultivasi telah mencapai tahap

maksimum. Hal tersebut dikarenakan, masa pertumbuhan mikroalga Chlorella sp.

(40)

atau kematian). Apabila pemanenan mikroalga terlalu cepat atau belum mencapai

puncak populasi, sisa zat hara masih cukup besar sehingga dapat membahayakan

organisme yang memanfaatkannya sebagai pakan alami. Pemanenan dilakukan

agar diperoleh bibit awal yang sesuai dengan kualitas yang baik, dan selanjutnya

dapat digunakan sebagai bibit kultur untuk perlakuan penelitian dengan media

yang tecemar logam berat.

3.3.8. Pemindahan Populasi Kultur ke Dalam Media Limbah Logam Berat

Populasi mikroalga akan mencapai masa puncak populasi. Hal ini

dimaksudkan kepadatan sel akan mencapai maksimum dan dapat digunakan untuk

keperluan penelitian menggunakan media limbah logam berat dari air laut sampel.

Selanjutnya populasi dari masing-masing jenis mikroalga (Chlorella sp. dan

Nannochloropsis sp.) dikontakkan ke dalam media khusus yang tercemar logam.

Jumlah sel (ml sampel mikroalga) yang dimasukkan ke dalam media sesuai

dengan kepadatan sel yang diperoleh ketika mencapai puncak populasi.

Ketepatan pemindahan jumlah sel dapat menggunakan formula pengenceran air

media dengan sampel bibit mikroalga. Semakin tinggi kepadatan sel mikroalga,

maka semakin sedikit inokulan (sel) yang ditambahkan.

Pemindahan bibit (inokulasi bibit sel) Chlorella sp. dan Nannochloropsis

sp. ke dalam wadah 1500 mL (perlakuan pupuk) dan 750 mL (tanpa pupuk)

dihitung berdasarkan kepadatan Chlorella sp. dan Nannochoropsis dalam wadah

inokulum. Dengan demikian, perhitungan dapat dimulai dengan menggunakan

rumus pengenceran (N1×V1 = N2×V2). Volume awal Chlorella sp. yang diperoleh

dari rumus pengenceran adalah sebesar 51 mL dalam media 1500 mL dan 25,575

(41)

1.000.000 sel/mL dalam media kultur dari limbah). Volume ini diperoleh dari

jumlah sel Chlorella sp. sebesar 29.325.000 sel/mL. Berbeda hal nya sel

Nannochloropsis sp. bervolume 35 ml untuk wadah media 1500 mL, dan 18,570

mL untuk media 750 mL, dengan jumlah kepadatan sel Nannochloropsis sp.

sebesar 40.325.000 sel/mL.

Volume air media (air laut sampel) yang dibutuhkan dalam proses

pengkulturan diperoleh dari jumlah volume kultur media dikurangi volume bibit

sel mikroalga yang dimasukkan ke dalam media. Dengan demikian, jumlah

volume antara air laut sampel dengan bibit sel adalah 1500 mL untuk perlakuan

menggunakan pupuk dan 750 mL tanpa menggunakan pupuk. Pada tahap akhir,

dengan menggunakan rumus pengenceran, akan diperoleh jumlah kepadatan sel

yang diharapkan untuk kultur awal, yaitu 1.000.000 sel/mL. Metode pemindahan

bibit sel mikroalga ke dalam media limbah pada penelitian ini disajikan pada

Gambar 8.

Gambar 8. Pemindahan bibit sel mikroalga ke dalam media limbah

2000 ml

(42)

Dengan demikian, kepadatan sel awal yang diperoleh dalam media air laut

limbah 1500 mL dan 750 mL adalah 1.000.000 sel/mL. Selanjutnya akan

dilakukan perhitungan harian, dimana jumlah sel diduga akan terus bertambah

hingga mencapai masa puncak populasi sel dan dilakukan pemanenan serta

perhitungan kapasitas ion logam berat yang diserap oleh mikroalga.

3.3.9. Perhitungan Laju Serapan Sel Mikroalga terhadap Logam Berat

Perhitungan laju serapan (kapasitas bioabsorpsi) ini dilakukan setelah

populasi dari Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. mencapai masa puncaknya.

Sehingga ion logam berat yang terserap dapat dihitung menggunakan AAS

(Spektrofotometer Serapan Atom) yang diperoleh dari biomassa sampel air

(mikroalga) yang sebelumnya telah dilakukan penyaringan dan pengasaman

sampai proses pelarutan bahan organik, sehingga yang tersisa adalah bahan-bahan

anorganik termasuk logam berat.

Langkah awal yang dilakukan adalah menyiapkan sampel mikroalga

Chlorella sp. dan Nannchloropsis sp. Selanjutnya sampel tersebut disaring

menggunakan alat penyaring sampel air dan kertas saring Whatman bebas abu.

Setelah disaring, hitung berat biomassa yang telah dikeringkan dengan

menggunakan oven pada suhu 60 - 80 oC. Setelah kering biomassa ditimbang menggunakan neraca analitik (sebelumnya, kertas saring ditimbang terlebih

dahulu untuk mengetahui berat kering dari kertas saring).

Proses pelarutan (melepaskan) logam yang menempel pada mikroalga

memerlukan asam kuat, yakni asam sulfat (H2SO4) 98% dan asam nitrat pekat

(HNO3) masing-masing sebanyak 5 ml. Proses berikutnya dilanjutkan di ruang

(43)

lainnya. Proses pemanasan dilakukan selama kurang-lebih 3 jam hingga yang

tersisa dari sampel hanya berupa bahan-bahan anorganik, termasuk logam-logam

berat. Setelah dipanaskan, sampel diencerkan dengan menambahkan HCl ke

dalam labu ukur ukuran 50 ml. Tahap akhir dari proses ini adalah analisis logam

berat menggunakan AAS. Ion-ion logam berat yang diukur adalah logam Pb, Cu,

Cd, dan Cr. Proses pelarutan biomassa mikroalga dalam penelitian ini dapat

dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Diagram alir proses pelarutan biomassa mikroalga hingga analisis logam berat

100 mL air sampel sel

Nannochloropsis sp. dan Chlorella sp.

(44)

3.4. Analisis Data

Analisis dilakukan dengan cara membandingkan laju pertumbuhan spesifik

(µ), serta serapan logam berat dari spesies Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp.

Perbandingan tersebut digambarkan dengan menggunakan grafik, laju

pertumbuhan spesifik (µ), dan kapasitas bioabsorpsi (mg logam berat/g biomassa

Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp.). Kualitas air dianalisis menggunakan uji

validitas Pearson untuk melihat korelasi yang terjadi dan uji lanjut regresi untuk

melihat pengaruh parameter kualitas air terhadap kelimpahan dengan nilai p=0,05.

Laju pertumbuhan spesifik (µ) mikroalga dihitung dengan formula menurut

Krichnavaruk et al. (2004), pada persamaan (2). Contoh penghitungan dapat

dilihat pada lampiran 2.

µ =

……….

(2)

Kapasitas bioabsorpsi mikroalga (qe) dihitung menurut model adsorpsi

isothermal dengan rumus menurut Vijayaraghavan, et al. (2004) pada persamaan

(3). Contoh penghitungan dapat dilihat pada Lampiran 3.

W

V = Volume larutan dalam wadah gelas atau erlenmeyer dengan kontak batch (ml);

Ci = Konsentrasi ion (Pb, Cd, Cr, Cu) dalam larutan (mg/l);

Ce = Konsentrasi akhir atau keseimbangan ion (Pb, Cd, Cr, Cu) dalam

(45)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chlorella sp.

Penelitian ini mendapati bahwa mikroalga Chlorella sp. memiliki laju

pertumbuhan spesifik dan kepadatan yang cukup baik untuk setiap perlakuan.

Laju pertumbuhan spesifik dan kepadatan sel Chlorella sp. dapat dilihat pada

Lampiran 5 dan grafik kepadatan sel Chlorella sp. dapat dilihat pada Gambar 10.

Jumlah kepadatan sel Chlorella sp. dengan perlakuan limbah logam berat pada

awal kultivasi adalah 1,00×106 sel/mL. Pertumbuhan masa puncak populasi

Chlorella sp. terjadi pada hari ke-10 dengan jumlah sel mencapai 16,72×106

sel/mL.

Gambar 10. Grafik kepadatan sel Chlorella sp.

Sel Chlorella sp. memiliki jumlah kepadatan sel dan laju pertumbuhan

spesifik yang berbeda tiap perlakuan. Kepadatan Chlorella sp. tertinggi terdapat

pada perlakuan kontrol, sedangkan kepadatan sel terendah terdapat pada

perlakuan tanpa pupuk. Puncak kepadatan populasi sel Chlorella sp. dengan

(46)

perlakuan kontrol terjadi pada hari ke-10, sedangkan untuk perlakuan pupuk dan

tanpa pupuk pada hari ke-13 dan hari ke-9. Sel mengalami penurunan jumlah

secara signifikan pada hari ke-15 untuk perlakuan kontrol. Perlakuan

menggunakan pupuk dan tanpa pupuk tidak mengalami penurunan jumlah

kepadatan sel secara signifikan hingga akhir pengamatan.

Jumlah sel media perlakuan kontrol dan perlakuan menggunakan pupuk

menunjukkan adanya peningkatan setiap harinya. Hal ini berbeda dengan

perlakuan tanpa pupuk dengan jumlah kepadatan sel cenderung stagnan atau tetap.

Hal tersebut dapat diduga karena pengaruh nutrisi, serta kualitas air pada media

kultur, sehingga mempengaruhi pertumbuhan Chlorella sp. pada media tumbuh.

4.1.1. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chlorella sp. dengan Perlakuan Kontrol

Kepadatan puncak mikroalga Chlorella sp. untuk perlakuan kontrol tercatat

mencapai 30×106 sel/mL, yang merupakan nilai tertinggi dibandingkan dengan kultivasi pada perlakuan lain. Hal tersebut diduga karena keadaan lingkungan

yang terkontrol meliputi suhu, salinitas, dan pH yang optimum untuk

pertumbuhan mikroalga. Sesuai dengan penelititan yang dilakukan Sylvester et

al. (2002) bahwa keadaan mikroalga laut yang dapat hidup normal pada salinitas

optimum 25-35 ‰, suhu optimum 25-32 oC, dan pH optimum berkisar 7-8. Chlorella sp. dengan perlakuan kontrol memiliki adaptasi yang sangat baik

terhadap media kultur, dapat dilihat dari nilai laju pertumbuhan spesifik pada hari

ke-1 sebesar 2,751. Hal tersebut menggambarkan bahwa dalam waktu yang

kurang dari satu hari, Chlorella sp. memiliki adaptasi yang sangat baik terhadap

(47)

selama kurang dari 24 jam. Hal tersebut dibuktikan pada hari ke-2, jumlah

populasi mikroalga terus meningkat hingga memasuki fase pertumbuhan

eksponensial. Salah satu faktor yang menentukan lamanya fase adaptasi adalah

umur kultur yang digunakan sebagai inokulum. Fase adaptasi akan menjadi lebih

singkat atau bahkan tidak terlihat apabila sel-sel yang diinokulasikan berasal dari

kultur yang berada dalam fase eksponensial (Fogg dan Thake, 1987 dalam

Prihantini et al., 2005).

Fase adaptasi tidak terlihat secara jelas pada media perlakuan kontrol yang

mungkin disebabkan oleh cepatnya kemampuan sel mikroalga menyesuaikan

dirinya terhadap media kultur yang baru, sehingga mampu tumbuh dan

berkembang dengan cepat. Pertumbuhan sel terus bertambah hingga hari ke-10,

dan diikuti Chlorella sp. fase stasioner pada hari ke-11 dan ke-12, karena jumlah

sel yang bertambah seimbang dengan jumlah sel yang mati. Chlorella sp. mulai

memasuki fase kematian pada hari ke-13, ditandai dengan jumlah sel yang

menurun secara drastis, karena ketersediaan nutrien yang telah jauh berkurang di

dalam media kultur. Turunnya laju pertumbuhan Chlorella sp. juga dapat

disebabkan oleh beberapa hal, seperti adanya toksik yang dihasilkan oleh

mikroalga sebagai hasil dari metabolisme yang meracuni mikroalga itu sendiri dan

berkurangnya proses fotosintesis akibat bertambahnya jumlah sel sehingga hanya

bagian tertentu saja yang memperoleh cahaya.

4.1.2. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chlorella sp. dengan Perlakuan Pupuk dalam Media Logam Berat

Jumlah kepadatan sel mikroalga Chlorella sp. pada perlakuan logam berat

(48)

pertumbuhan ini berlangsung relatif lambat, dengan jumlah kepadatan awal sel

1,00×106 sel/mL dari hari pertama kultur. Laju pertumbuhan yang lambat ini diduga karena faktor lingkungan pada media kultur. Media kultur Chlorella sp.

menggunakan air sampel limbah pada lokasi penelitian dengan salinitas sebesar

37 ‰, dan pH 6. Hal tersebut dapat menghambat laju pertumbuhan mikroalga

dan didukung kontaminasi logam berat dari hasil penambangan yang cenderung

dapat mempengaruhi jumlah kepadatan sel. Menurut Connel (1990) dalam

Haryoto (2004), pada konsentrasi logam yang tinggi, akumulasi dapat menganggu

pertumbuhan sel, karena sistem perlindungan organisme tidak mampu

mengimbangi efek toksisitas logam.

Selanjutnya laju pertumbuhan meningkat relatif lambat di hari ke-2 sampai

hari ke-5. Hal tersebut menunjukkan sel mengalami fase adaptasi terhadap

lingkungan kultur, sehingga pertambahan jumlah kepadatan sel relatif lebih

lambat. Hari ke-6, sel memasuki fase eksponensial, dengan laju pertumbuhan

spesifik mencapai 0,468 dan terus meningkat hingga hari ke-10 dengan jumlah sel

mencapai 15,16×106 sel/mL. Pada hari ke-11, jumlah sel mengalami penurunan. Penurunan jumlah sel ini diduga karena adanya pemanfaatan nutrien yang

berlebih dari hari-hari sebelumnya, sehingga ketersediaan nutrien berkurang dari

kebutuhan sel mikroalga untuk hari berikutnnya.

Pada hari ke-12 hingga ke-15, jumlah sel relatif bertambah tidak signifikan

dari sebelumnnya dan selanjutnya berkurang memasuki fase stasioner, yang

diduga karena sel memasuki periode kriptik dimana sel-sel Chlorella sp. yang

masih hidup memanfaatkan tambahan nutrisi dari sel Chlorella sp. yang lisis

(49)

(Annisa, 2005). Fase deklinasi (penurunan kecepatan petumbuhan) dapat terjadi

karena nutrisi pada media kultur berkurang dan telah terbentuk senyawa NH4+

dalam konsentrasi tinggi dan adanya produk esktraseluler dari mikroalga yang

meracuni diri sendiri sehingga dapat meningkatkan mortalitas Chlorella sp.

(Fogg, 1965 dalam Panggabean, 2000 dan Suantika, 2009), sehingga dalam waktu

kurang dari tiga hari sel mengalami penurunan jumlah manjadi 15,26×106 sel/mL. Pertumbuhan sel kultur di dalam media logam berat sangat dipengaruhi

oleh nilai pH. Hal tersebut dapat dilihat melalui perbandingan antara grafik media

kontrol dengan perlakuan limbah logam berat pada Gambar 10. Grafik perlakuan

kontrol menunjukkan jumlah kepadatan sel jauh lebih tinggi dibandingkan dengan

perlakuan logam berat. Rendahnya kepadatan sel dapat disebabkan adanya nilai

pH yang rendah (asam), sehingga laju pertumbuhan sel semakin lambat.

Penelitian Wong dan Lay (1980) dalam Prihantini et al. (2005) menunjukkan

bahwa Chlorella pyrenoidosa yang ditumbuhkan dalam media Bristol dengan pH

7 memiliki kerapatan sel yang lebih tinggi dibandingkan dengan media dengan pH

6,4.

Hal demikian disebabkan pada lingkungan netral (pH internal sel netral

adalah 7,15), CO2 berada dalam bentuk bebas sehingga dapat berdifusi dengan

mudah ke dalam sel mikroalga (Reynolds, 1984 dalam Prihantini et al., 2005).

Hal tersebut menyebabkan CO2 sebagai sumber karbon utama bagi proses

fotosintesis mikroalga cukup tersedia sehingga proses metabolisme dapat

berlangsung cepat dan kerapatan sel meningkat. Selain itu, jenis karbon

anorganik yang paling banyak terdapat pada media asam (pH 4-6) adalah asam

(50)

karbonat pada kisaran pH tersebut umumnya berada dalam bentuk senyawa yang

sangat mudah masuk ke dalam sel sehingga membuat pH internal sel menjadi

asam. Kondisi pH asam mengakibatkan proses biokimia sel terganggu sehingga

mempengaruhi pertumbuhan sel (Lane, 1981 dalam Prihantini et al., 2005). Hal

tersebut diduga merupakan penyebab rendahnya kerapatan sel pada media

perlakuan limbah logam berat dengan pH awal 6.

Secara umum sejak pengamatan hari ke-7 hingga hari ke-15 seluruh media

logam berat dengan perlakuan pupuk mengalami peningkatan pH. Meningkatnya

pH kemungkinan disebabkan adanya aktivitas fotosintesis Chlorella sp. Pada saat

fotosintesis, CO2 bebas merupakan jenis karbon anorganik utama yang digunakan

mikroalga. Mikroalga juga dapat menggunakan ion karbonat (CO32-) dan ion

bikarbonat (HCO3-). Penyerapan CO2 bebas dan bikarbonat oleh mikroalga

menyebabkan penurunan konsentrasi CO2 terlarut dan mengakibatkan

peningkatan nilai pH (Sze, 1993 dalam Prihantini et al., 2005).

4.1.3. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chlorella sp. dengan Perlakuan Tanpa Pupuk dalam Media Logam Berat

Jumlah sel Chlorella sp. dengan perlakuan tanpa pupuk relatif lebih rendah

dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Media perlakuan tanpa pupuk memiliki

batasan ketersedian nutrien yang bermanfaat untuk memacu pertumbuhan

mikroalga. Air laut yang tercemar logam berat juga turut mempengaruhi

kepadatan sel dari media kultur. Media limbah logam berat pada perlakuan tanpa

pupuk ini memiliki salinitas 37 ‰ dan pH 6-7. Dengan demikian, hal tersebut

membuktikan bahwa selain kurangnya ketersediaan nutrien, faktor lingkungan

(51)

lingkungan yang optimum untuk pertumbuhan mikroalga adalah salinitas berkisar

25-35 ‰, suhu optimum 25-32 oC, dan pH optimum berkisar 7-8 (Sylvester et al., 2002).

Laju pertumbuhan mikroalga relatif konstan dan bahkan menurun setiap

hari waktu pengamatan, yang dapat ditunjukkan dari laju pertumbuhan spesifik

mikroalga (negatif) dari setiap pertambahan sel nya. Kepadatan sel maksimum

terjadi pada hari ke-9 dengan jumlah sel 1,72×106 sel/mL dan kepadatan sel menurun hingga hari ke-15 dengan jumlah 1,12×106 sel/mL.

4.2. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Nannochloropsis sp.

Penelitian ini mendapati bahwa mikroalga Nannochloropsis sp. memiliki

laju pertumbuhan spesifik dan kepadatan yang cukup baik untuk setiap perlakuan.

Laju pertumbuhan spesifik dan kepadatan sel Nannochloropsis sp. dapat dilihat

pada Lampiran 5. Grafik kepadatan sel Nannochloropsis sp. dapat dilihat pada

Gambar 11.

(52)

Sel Nannochloropsis sp. juga memiliki jumlah kepadatan dan laju

pertumbuhan spesifik yang berbeda tiap perlakuan. Jumlah kepadatan sel

Nannochloropsis sp. dengan perlakuan limbah logam berat pada awal kultivasi

adalah 1,00×106 sel/mL. Masa puncak populasi sel Nannochloropsis sp. terjadi pada hari ke-8 dengan jumlah sel mencapai 9,28×106 sel/mL. Jumlah kepadatan sel tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol, sedangkan jumlah kepadatan sel

terendah pada perlakuan tanpa pupuk. Puncak kepadatan populasi

Nannochloropsis sp. untuk perlakuan kontrol teramati pada hari ke-10 dan hari

ke-14, sedangkan untuk perlakuan pupuk pada hari ke-13 dan perlakuan tanpa

pupuk pada hari ke-10.

4.2.1. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Spesifik Nannochloropsis sp. dengan Perlakuan Kontrol

Jenis mikroalga ini memiliki laju pertumbuhan yang sangat tinggi. Hal ini

dapat dilihat dari jumlah kepadatan sel yang sangat dominan pada hari ke-10 dan

hari ke-14. Jumlah kepadatan sel maksimum pada puncak pertama sebesar

42,50×106 sel/mL, dan diikuti puncak populasi kedua sebesar 41,15×106 sel/mL. Kepadatan optimum kultur Nannochloropsis sp. yang dapat dicapai untuk skala

laboratrium adalah 50 - 60×106 sel/mL, skala semi massal 20 - 25×106 sel/mL dan massal 15 - 20×106 sel/mL dengan masa kultur 4-7 hari (Anon et al., 2009).

Gambar 11 juga menggambarkan adanya adaptasi yang baik oleh

Nannochloropsis sp., yang dibuktikan dengan laju pertumbuhan spesifik pada hari

ke-2 yang meningkat signifikan sebesar 2,092. Hal tersebut menunjukkan bahwa

dalam waktu kurang dari 24 jam, sel Nannochloropsis sp. mampu menambah

Gambar

Gambar 1.  Bentuk sel Chlorella sp.
Gambar 3. Fase pertumbuhan mikroalga
Gambar 4.
Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait