• Tidak ada hasil yang ditemukan

Medik Konservasi Satwa Ular: Studi Kasus Di Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia dan CV. Terraria

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Medik Konservasi Satwa Ular: Studi Kasus Di Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia dan CV. Terraria"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

MEDIK KONSERVASI SATWA ULAR:

STUDI KASUS DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN,

TAMAN SAFARI INDONESIA DAN CV. TERRARIA

ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F. Medik Konservasi Satwa Ular: Studi Kasus di Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia dan CV. Terraria, di bawah bimbingan R.P. AGUS LELANA.

(3)

ABSTRACT

ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F. Conservation Medicine of Snake: a Case Study at Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia and CV. Terraria. Under the direction of R.P. AGUS LELANA.

(4)

MEDIK KONSERVASI SATWA ULAR:

STUDI KASUS DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN,

TAMAN SAFARI INDONESIA DAN CV. TERRARIA

ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul : Medik Konservasi Satwa Ular: Studi Kasus di Taman Margasatwa

Ragunan, Taman Safari Indonesia, dan CV. Terraria

Nama : Zulfa Ikhsanniyati Rucita Ciwi F

NRP : B04103066

Disetujui,

Pembimbing

Drh. R.P. Agus Lelana, SpMP. MSi.

NIP. 131 473 988

Diketahui,

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS

NIP. 131 129 090

(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas kasih sayang dan

karunia yang telah diberikan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.

Berawal dari latar belakang sebagai mahasiswa kedokteran hewan, minat

terhadap ular dan kepedulian terhadap satwaliar maka dalam penyusunan karya

tulis ilmiah untuk tugas akhir penulis mengambil tema upaya konservasi satwa

ular melalui pendekatan medis dengan judul Medik Konservasi Satwa Ular: Studi

Kasus di Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia dan CV.

Terraria.

Pengambilan data dan penulisan telah dimulai dari September 2006

sampai Agustus 2007. Selama penyusunan karya ilmiah ini penulis telah

mendapat berbagai bantuan materi, informasi dan saran serta dukungan moral

dari berbagai pihak. Sehubungan dengan itu penulis menyampaikan

penghargaan dan mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Drh. R.P. Agus Lelana, SpMP. MSi beserta keluarga atas bimbingan,

kesabaran, seluruh tenaga dan waktu serta perhatian yang telah diberikan

kepada penulis selama penyusunan tugas akhir.

2. Bapak Drh. Deni Noviana, Ph.D selaku dosen penilai seminar dan skripsi

serta atas bantuan saran yang diberikan.

3. Direktorat Jendral PHKA Direktorat KKH Dephut RI beserta staf di gedung

Manggala Wana Bakti: Drh. Indra, Ibu Evi dan Ibu Ratna atas bantuan

perizinan dan segala informasi yang telah diberikan.

4. Pimpinan Taman Margasatwa Ragunan DKI Jakarta beserta Drh. Edward,

Drh. Endang, Mas Bambang, Mas Manto, Bapak Kusno dan seluruh staf

perawat di Terrarium Reptil yang telah banyak membantu pengumpulan data.

5. Pimpinan Taman Safari Indonesia beserta Drh. Yohana, Mas Rofandi, Mas

Imam, Mas Yanto dan Bang Ucok yang telah banyak membantu

pengumpulan data.

6. Pimpinan CV. Terraria: Bapak Budi beserta staf, Bapak Alif, Mr.Vladimir, Bapak Arif dan Ibu Dina yang telah banyak membantu pengumpulan data.

7. Koordinator kerjasama IPB – Taman Safari Indonesia, Prof. Dondin Sajuthi,

Ph.D atas masukan dan kritik serta pengarahan selama mempersiapkan

(7)

8. Ketua Ophio Jogja Reptiles Club tahun 2003, Bapak Drh. Slamet Raharjo

atas segala informasi yang telah diberikan.

9. Bapak Drh. Triatmo B. S. yang telah bersedia meminjamkan berbagai judul

buku sebagai sumber referensi, masukan saran dan dukungan moral kepada

penulis.

10. Kedua orang tua serta seluruh keluarga besar di Cilegon, Jakarta, Bekasi,

dan Bogor atas dorongan, doa, dan dukungannya kepada penulis.

11. Revina “Kakak sulung” atas kesediaannya untuk saling mendukung, segala

bantuan moral serta materi yang telah diberikan.

12. Agusriady dan Nining untuk semua kasih sayang, ketulusan, bantuan materi,

kritik dan saran serta dukungan moral.

13. Herli, Yasmilia dan Yasmin atas kesediaannya menjadi editor selama

penulisan dan mempersiapkan materi presentasi.

14. Dewi, Astri, Mami , Puji, Ramlah, Mbak Irao, Devi, Aji, dan Isaias atas

kesediaannya membantu memfasilitasi pengetikan naskah, pengambilan

data dan presentasi dalam seminar selama pengerjaan tugas akhir.

15. Kabo, Dewilis, Wywy, Prita, Adam, Togu, Nita dan semua Keluarga besar

Gymnolaemata 40 atas kebersamaan dan ketulusan untuk saling

menguatkan dan kenangan berharga selama 4 tahun.

16. Anggota H impunan Profesi Satwa Liar: Rama, Mbak Hamria, Aisy, Winy,

Liza, Silvi, Rani, Cepi serta seluruh teman-teman yang memiliki minat dan

dedikasi terhadap satwaliar atas informasi dan dukungan moral yang telah

diberikan.

17. Seluruh teman-teman kiper dan tenaga medis di Pusat Penyelamatan Satwa

Cikananga (PPSC) yang telah memberi inspirasi dan dukungan moral.

Serta semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung turut

memperlancar penyelesaian penyusunan karya ilmiah ini. Penulis memohon

maaf atas segala kesalahan dan kekurangan yang terdapat di dalam karya ilmiah

ini dan penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat.

Bogor, 5 September 2007

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 September 1985 sebagai

anak ketiga dari tiga bersaudara, dari ayah yang bernama Drs. Fadhllilah Djamud

dan ibu R Yeyet Rohayati. Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Inpres

Pabuaran Kodya Cilegon Propinsi Banten pada tahun 1991 kemudian lulus tahun

1997 dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Madrasah

Tsanawiyah Al Khairiyah Pabuaran Kodya Cilegon Propinsi Banten dan lulus

tahun 2000. Pendidikan menengah ditempuh di Madrasah Aliyah Negeri 1

Serang Propinsi Banten mulai tahun 2000 sampai tahun 2003. Penulis diterima

sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor ditahun

yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... PENDAHULUAN ... ix 1 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Bioekologi Ular ... 3

Pemanfaatan Satwa Ular ... 7

Konsep Medik Konservasi ... 8

METODOLOGI PENELITIAN ... 11

Tempat dan Waktu ... 11

Bahan dan Metode ... 11

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Lembaga Konservasi dan Usaha Penangkaran ... 16

Pemeliharaan yang Baik (Good Care Practices) ... 17

Manajemen Kandang ... 18

Manajemen Pakan ... 24

Manajemen Sarana dan Prasarana ... 27

Manajemen Sumberdaya Manusia ... 27

Manajemen Pencatatan ... 28

Tindak Medis yang Baik (Good Medical Practices) ... 29

Tindakan Preventif ... 29

Tindakan Rehabilitatif ... 29

Karantina ... 30

Tindakan Kuratif ... 32

Tindakan Promotif ... 49

Penangkaran yang Baik (Good Breeding Practice) ... 50

Pemanfaatan Jenis Hasil Penangkaran ... 52

KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Struktur taksonomi ular ... 3

2. Gambaran umum lembaga konservasi dan usaha penangkaran ... 16

3. Jenis koleksi ular(dokumentasi Februari–Juli 2007) ... 17

4. Pengaturan mikroklimat di TMR, TSI dan CV. Terraria ... 19

5. Manajemen pakan ular di TMR, TSI dan CV. Terraria ... 25

6. Sumber koleksi ular dan kondisi yang mengikutinya ... 30

7. Kegiatan karantina ular di TMR, TSI dan CV. Terraria ... 31

8. Kasus penyakit yang terjadi (Periode Januari 2004–Januari 2007, rekapitulasi data dari TMR, TSI dan CV. Terraria) ... 34

9. Kegiatan penangkaran ular di TSI dan CV. Terraria ... 51

(11)

MEDIK KONSERVASI SATWA ULAR:

STUDI KASUS DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN,

TAMAN SAFARI INDONESIA DAN CV. TERRARIA

ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

ABSTRAK

ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F. Medik Konservasi Satwa Ular: Studi Kasus di Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia dan CV. Terraria, di bawah bimbingan R.P. AGUS LELANA.

(13)

ABSTRACT

ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F. Conservation Medicine of Snake: a Case Study at Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia and CV. Terraria. Under the direction of R.P. AGUS LELANA.

(14)

MEDIK KONSERVASI SATWA ULAR:

STUDI KASUS DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN,

TAMAN SAFARI INDONESIA DAN CV. TERRARIA

ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)

Judul : Medik Konservasi Satwa Ular: Studi Kasus di Taman Margasatwa

Ragunan, Taman Safari Indonesia, dan CV. Terraria

Nama : Zulfa Ikhsanniyati Rucita Ciwi F

NRP : B04103066

Disetujui,

Pembimbing

Drh. R.P. Agus Lelana, SpMP. MSi.

NIP. 131 473 988

Diketahui,

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS

NIP. 131 129 090

(16)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas kasih sayang dan

karunia yang telah diberikan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.

Berawal dari latar belakang sebagai mahasiswa kedokteran hewan, minat

terhadap ular dan kepedulian terhadap satwaliar maka dalam penyusunan karya

tulis ilmiah untuk tugas akhir penulis mengambil tema upaya konservasi satwa

ular melalui pendekatan medis dengan judul Medik Konservasi Satwa Ular: Studi

Kasus di Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia dan CV.

Terraria.

Pengambilan data dan penulisan telah dimulai dari September 2006

sampai Agustus 2007. Selama penyusunan karya ilmiah ini penulis telah

mendapat berbagai bantuan materi, informasi dan saran serta dukungan moral

dari berbagai pihak. Sehubungan dengan itu penulis menyampaikan

penghargaan dan mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Drh. R.P. Agus Lelana, SpMP. MSi beserta keluarga atas bimbingan,

kesabaran, seluruh tenaga dan waktu serta perhatian yang telah diberikan

kepada penulis selama penyusunan tugas akhir.

2. Bapak Drh. Deni Noviana, Ph.D selaku dosen penilai seminar dan skripsi

serta atas bantuan saran yang diberikan.

3. Direktorat Jendral PHKA Direktorat KKH Dephut RI beserta staf di gedung

Manggala Wana Bakti: Drh. Indra, Ibu Evi dan Ibu Ratna atas bantuan

perizinan dan segala informasi yang telah diberikan.

4. Pimpinan Taman Margasatwa Ragunan DKI Jakarta beserta Drh. Edward,

Drh. Endang, Mas Bambang, Mas Manto, Bapak Kusno dan seluruh staf

perawat di Terrarium Reptil yang telah banyak membantu pengumpulan data.

5. Pimpinan Taman Safari Indonesia beserta Drh. Yohana, Mas Rofandi, Mas

Imam, Mas Yanto dan Bang Ucok yang telah banyak membantu

pengumpulan data.

6. Pimpinan CV. Terraria: Bapak Budi beserta staf, Bapak Alif, Mr.Vladimir, Bapak Arif dan Ibu Dina yang telah banyak membantu pengumpulan data.

7. Koordinator kerjasama IPB – Taman Safari Indonesia, Prof. Dondin Sajuthi,

Ph.D atas masukan dan kritik serta pengarahan selama mempersiapkan

(17)

8. Ketua Ophio Jogja Reptiles Club tahun 2003, Bapak Drh. Slamet Raharjo

atas segala informasi yang telah diberikan.

9. Bapak Drh. Triatmo B. S. yang telah bersedia meminjamkan berbagai judul

buku sebagai sumber referensi, masukan saran dan dukungan moral kepada

penulis.

10. Kedua orang tua serta seluruh keluarga besar di Cilegon, Jakarta, Bekasi,

dan Bogor atas dorongan, doa, dan dukungannya kepada penulis.

11. Revina “Kakak sulung” atas kesediaannya untuk saling mendukung, segala

bantuan moral serta materi yang telah diberikan.

12. Agusriady dan Nining untuk semua kasih sayang, ketulusan, bantuan materi,

kritik dan saran serta dukungan moral.

13. Herli, Yasmilia dan Yasmin atas kesediaannya menjadi editor selama

penulisan dan mempersiapkan materi presentasi.

14. Dewi, Astri, Mami , Puji, Ramlah, Mbak Irao, Devi, Aji, dan Isaias atas

kesediaannya membantu memfasilitasi pengetikan naskah, pengambilan

data dan presentasi dalam seminar selama pengerjaan tugas akhir.

15. Kabo, Dewilis, Wywy, Prita, Adam, Togu, Nita dan semua Keluarga besar

Gymnolaemata 40 atas kebersamaan dan ketulusan untuk saling

menguatkan dan kenangan berharga selama 4 tahun.

16. Anggota H impunan Profesi Satwa Liar: Rama, Mbak Hamria, Aisy, Winy,

Liza, Silvi, Rani, Cepi serta seluruh teman-teman yang memiliki minat dan

dedikasi terhadap satwaliar atas informasi dan dukungan moral yang telah

diberikan.

17. Seluruh teman-teman kiper dan tenaga medis di Pusat Penyelamatan Satwa

Cikananga (PPSC) yang telah memberi inspirasi dan dukungan moral.

Serta semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung turut

memperlancar penyelesaian penyusunan karya ilmiah ini. Penulis memohon

maaf atas segala kesalahan dan kekurangan yang terdapat di dalam karya ilmiah

ini dan penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat.

Bogor, 5 September 2007

(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 September 1985 sebagai

anak ketiga dari tiga bersaudara, dari ayah yang bernama Drs. Fadhllilah Djamud

dan ibu R Yeyet Rohayati. Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Inpres

Pabuaran Kodya Cilegon Propinsi Banten pada tahun 1991 kemudian lulus tahun

1997 dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Madrasah

Tsanawiyah Al Khairiyah Pabuaran Kodya Cilegon Propinsi Banten dan lulus

tahun 2000. Pendidikan menengah ditempuh di Madrasah Aliyah Negeri 1

Serang Propinsi Banten mulai tahun 2000 sampai tahun 2003. Penulis diterima

sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor ditahun

yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama

(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... PENDAHULUAN ... ix 1 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Bioekologi Ular ... 3

Pemanfaatan Satwa Ular ... 7

Konsep Medik Konservasi ... 8

METODOLOGI PENELITIAN ... 11

Tempat dan Waktu ... 11

Bahan dan Metode ... 11

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Lembaga Konservasi dan Usaha Penangkaran ... 16

Pemeliharaan yang Baik (Good Care Practices) ... 17

Manajemen Kandang ... 18

Manajemen Pakan ... 24

Manajemen Sarana dan Prasarana ... 27

Manajemen Sumberdaya Manusia ... 27

Manajemen Pencatatan ... 28

Tindak Medis yang Baik (Good Medical Practices) ... 29

Tindakan Preventif ... 29

Tindakan Rehabilitatif ... 29

Karantina ... 30

Tindakan Kuratif ... 32

Tindakan Promotif ... 49

Penangkaran yang Baik (Good Breeding Practice) ... 50

Pemanfaatan Jenis Hasil Penangkaran ... 52

KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

(20)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Struktur taksonomi ular ... 3

2. Gambaran umum lembaga konservasi dan usaha penangkaran ... 16

3. Jenis koleksi ular(dokumentasi Februari–Juli 2007) ... 17

4. Pengaturan mikroklimat di TMR, TSI dan CV. Terraria ... 19

5. Manajemen pakan ular di TMR, TSI dan CV. Terraria ... 25

6. Sumber koleksi ular dan kondisi yang mengikutinya ... 30

7. Kegiatan karantina ular di TMR, TSI dan CV. Terraria ... 31

8. Kasus penyakit yang terjadi (Periode Januari 2004–Januari 2007, rekapitulasi data dari TMR, TSI dan CV. Terraria) ... 34

9. Kegiatan penangkaran ular di TSI dan CV. Terraria ... 51

(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Ruang lingkup medik konservasi ... 8

2. Diagram alir kerangka pemikiran strategi medik konservasi ... 9

3. Diagram efisiensi dan efektifitas upaya konservasi ... 10

4. Kandang ular di TMR (Terrarium 1 dan 2) ... 22

5. Kandang ular di TSI ... 22

6. Kandang induk sanca hijau (Chondropython viridis) di CV. Terraria .... 23

7. Contoh sumber udara dan pencahayaan ... 23

8. Keamanan bentuk dan fasilitas kandang ... 24

9. Contoh keamanan pakan ... 26

10. Tube feeding pada ular ... 33

11. Abrasi mulut pada sanca batik (Python reticulatus) ... 36

12. Mouth rot pada ular ... 38

13. Endoparasit pada ular ... 43

14. Ektoparasit tungau pada ular (Ophionyssus natricis) ... 43

15. Kejadian prolaps hemipenis pada ular ... 46

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Daerah Utama Pemeriksaan Fisik Pada Ular... 62

2. Bagan Pengambilan Keputusan untuk Satwa yang Akan

Ditangkarkan (IUCN 2000)... 64 3. Bagan Pengambilan Keputusan untuk Satwa yang Akan

Dilepaskan ke Alam (IUCN 2000)... 65

4. Contoh surat angkut tumbuhan dan satwa liar luar negeri

(SATS-LN) dengan stamp CITES... 66

5. Contoh surat angkut tumbuhan dan satwa liar luar negeri

(SATS-LN) tanpa stamp CITES... 67 6. Contoh surat angkut tumbuhan dan satwa liar dalam negeri

(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara mega-biodiversity memiliki potensi keanekaragaman hidupan liar yang sangat besar. Dokumen Biodiversity Action Plan for Indonesia mencatat bahwa Indonesia memiliki 10% jenis tumbuhan berbunga dunia, 12% jenis mamalia dunia, 16% jenis reptil dunia, 17% jenis

burung dunia, serta 20% jenis ikan dunia. Kelimpahan hidupan liar ini mampu

menunjang kebutuhan hidup sebagian masyarakat Indonesia. Sekitar 12 juta

diantara populasi penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya dari hutan

salah satunya adalah dengan menjual satwa yang banyak diminati publik

(Soehartono dan Mardiastuti 2003).

Permintaan publik terhadap hidupan satwaliar sebagai hewan peliharaan

dan beberapa produk lain (konsumsi, obat-obatan dan asesoris) cenderung

meningkat. Salah satunya adalah pemanfaatan reptil jenis ular dengan

banyaknya permintaan daging, kulit, organ dalam, bisa dan segala produk yang

mungkin dari ular, serta berkembangnya trend ular sebagai hewan kesayangan.

Ular juga dimanfaatkan sebagai hewan peraga di kebun binatang dan keperluan

penelitian. Hal ini menyebabkan aktivitas eksploitasi ular dari alam meningkat

(Hackbart 2003). Saat ini beberapa jenis ular dikategorikan ke dalam Apendiks II

dalam CITES (Convention on International Trades of Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora) sebagai satwa yang berpotensi terancam punah bila usaha pelestarian tidak segera dilakukan (Samedi et al. 2004).

Untuk menata kembali tata cara pemanfaatan satwa secara lestari maka

dirumuskan suatu aturan mengenai manajemen pemanfaatan satwa liar berbasis

konservasi berupa: pengembangbiakan jenis satwa, terutama spesies satwa

yang terancam punah; penyelamatan satwa akibat kegiatan manusia; dan

kegiatan penangkaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai upaya

menekan eksploitasi dari alam yang semakin marak dilakukan (Santoso 2003).

Tujuannya adalah terjaminnya kelangsungan hidup satwa dan kebutuhan hidup

manusia secara langsung maupun tidak langsung berdasarkan prinsip kelestarian.

Konsep Pemikiran

Eksploitasi sejumlah spesies ular dari habitatnya setiap tahun semakin

(24)

Indonesia telah melakukan program konservasi ular melalui pemeliharaan

di habitat buatan beserta kegiatan penangkaran. Beberapa lembaga konservasi

yang mengupayakan program tersebut diantaranya adalah Taman Margasatwa

Ragunan (TMR) dan Taman Safari Indonesia (TSI). Salah satu contoh lembaga

usaha yang diberi izin oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan penangkaran

satwa ular dalam rangka memenuhi permintaan publik ialah usaha penangkaran

reptil CV. Terraria.

Upaya memelihara ular dalam habitat buatan memiliki beberapa kendala

yaitu: masalah kesehatan, belum optimalnya upaya reproduksi, serta kejadian

kematian yang cukup sering. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan medik

konservasi satwa ular.

Medik konservasi satwa merupakan serangkaian tindakan rehabilitatif,

preventif, kuratif, dan promotif yang diterapkan dalam menunjang program

pelestarian satwa liar. Berangkat dari masalah pemeliharaan ular dalam habitat

buatan ini, maka dilakukan suatu studi terhadap implementasi medik konservasi

pada perawatan ular di habitat buatan yang telah dilaksanakan oleh TMR, TSI

dan CV. Terraria sebagai lembaga yang mengupayakan program konservasi.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari studi kasus ini adalah untuk mempelajari implementasi konsep

medik konservasi yang telah dilakukan. Hasil studi kasus ini diharapkan dapat

memberi informasi yang lebih komprehensif mengenai manajemen perawatan

ular di habitat buatan dan keberhasilan upaya penangkaran, serta dapat

dijadikan acuan untuk mengevaluasi implementasi konsep medik konservasi

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Bioekologi Ular

Taksonomi dan Distribusi Geografi

Penyusunan famili dalam taksonomi ular mengikuti teori evolusi (Tabel 1).

Semua famili yang termasuk peralihan ordo Scolecophidia dianggap primitif. Kelompok ular berbisa yang merupakan sebagian besar dari peralihan ordo

Xenophidia adalah ular modern yang paling berkembang sampai sekarang.

Sedangkan peralihan ordo Henophidia seperti famili Boidae dianggap pertengahan diantaranya. Genus Phyton dan Boa tidak seprimitif genus pada famili Typhlopydae namun tidak berkembang dengan sempurna seperti genus

pada famili Colubridae dan ular berbisa lain (Hediger 1975) .

Tabel 1 Struktur taksonomi ular (Pope 1949; Hotstetter et al. 1969; Breen 1974; Hediger 1975; Wikipedia.org 2006)

Kingdom Animalia Filum Chordata Kelas Sauropsida Ordo Squamata Subordo Serpentes Intermediate

ordo Famili Genus ( dalam jumlah) Spesies (dalam jumlah)

Scolecopidhia Typhlopidae Leptotyphlopidae Anomalepidae

5 23 Tidak ada informasi

200 50 Tidak ada informasi Henophidia Acrochordidae

Anillidae Anomochilidae Bolyeridae Cylindrophidae Loxocemidae Trophidopidae Boidae Uropeltidae Xenopeltidae 2 9

Tidak ada informasi Tidak ada informasi Tidak ada informasi Tidak ada informasi Tidak ada informasi 22 (Phyton, Boa)

8 1 (Xenopeltis)

3

Tidak ada informasi Tidak ada informasi Tidak ada informasi Tidak ada informasi Tidak ada informasi Tidak ada informasi 90 (Phyton reticulatus)

40

1 (Xenopeltis unicolor) Xenophidia Atractaspididae

Colubridae Elaphidae Viperidae Hydrophidae

Tidak ada informasi 250

41 14 16

Tidak ada informasi 2500

180 150 50

Sebagai hewan poikilotermik, ular semakin jarang ditemukan di tempat

(26)

spesies dari famili Viperidae seperti Vipera ruselli (ular bandotan), Southern Hemisphere Bothrops ammodytoides (ular derik Argentina), Vipera berus (ular derik Eropa) serta Rhamnopis sirtalis (American common garter snake) (Breen 1974).

Ular lebih banyak tersebar di daerah tropis hingga subtropis terutama

spesies ular ukuran besar yang termasuk famili Boidae seperti spesies dari genus Python dan Boa. Spesies ini umum ditemui di daerah Asia Tenggara seperti Indonesia dan Filipina; India Barat; Indian; Afrika; dan sepanjang daerah

Amazon di Amerika. Ular yang termasuk famili Elaphidae (kobra) tersebar di

seluruh daratan kecuali benua Eropa (Wikipedia.org 2006).

Penyebaran dan kelimpahan jumlah ular semakin tinggi ke arah katulistiwa.

Indonesia memiliki ± 400 spesies dan 115 spesies diantaranya adalah ular

berbisa. Sebanyak 35 spesies ular berbisa tersebut hidup di terestrial dan

selebihnya di ekosistem akuatik (Santoso 2003).

Anatomi dan Fisiologi

a. Anatomi Tubuh

Tehupuring (2003) mengatakan, secara umum tubuh ular dibagi menjadi

tiga bagian yaitu:

a. sepertiga bagian depan meliputi trakhea, esofagus dan jantung

b. sepertiga bagian tengah meliputi jantung, lambung dan paru-paru

c. sepertiga bagian belakang meliputi usus halus, pankreas, limpa, kantung

empedu, kelenjar adrenal, usus besar, gonad, saluran reproduksi, ginjal,

lemak tubuh dan kloaka. Pada daerah kaudal kloaka terdapat musk gland pada betina dan sepasang hemipenis pada jantan.

Os thoracalis (tulang rusuk) tidak memiliki sternum sehingga menggantung bebas dan tidak melindungi jantung yang terletak di bagian ventral. Paru-paru

ular memanjang dan di ujung membentuk kantung udara. Fungsi kantung udara

adalah sebagai cadangan udara yang dipompa saat menelan mangsa yang

besar (Hediger 1975). Saluran esofagus sangat tipis dan tidak mengandung otot

(27)

waktu berhari-hari (O’ Malley 2005). Ular tidak memiliki kantung kemih sehingga

saluran urinari langsung menuju kloaka (Hediger 1975).

Ular tidak memiliki kelopak mata. Sebagai gantinya terdapat lapisan bening

dari semacam material gelas yang melapisi seluruh kornea, disebut spektakel (spectacle). Spektakel sebenarnya merupakan diferensiasi dari kulit yang akan terkelupas saat molting (Hotstetter et al. 1969).

b. Temperatur Tubuh

Temperatur tubuh ular bersifat ectotherm (Underwood 1970). Kemampuan refleks homeotermik pada ular kurang berkembang sehingga temperatur

tubuhnya mengalami fluktuasi cukup besar mengikuti temperatur lingkungan

(hewan poikilotermik). Sebagai satwa ectotherm maka seluruh fungsi metabolisme ular bergantung temperatur lingkungan (temperature-dependent) (Ross dan Marzec 1990). Menurut Funk (1996) ular memiliki Prefered Optimum Temperatur Zone (POTZ); suatu temperatur tertentu di lingkungan yang dapat mendukung keseluruhan fungsi metabolisme ular secara optimal. POTZ ular

umumnya 27°-30°C dan bervariasi untuk beberapa spesies ular lain (Scott 1995). Spesies ular yang berhabitat di daerah temperatur sedang (temperate spesies) memiliki POTZ pada suhu ± 24°C sedangkan spesies ular tropis memiliki POTZ

pada suhu ± 28°C (O’ Malley 2005).

Temperatur tubuh ular harus berada pada POTZ tertentu yang disebut

Prefered Body Temperatur (PBT), agar fungsi metabolisme berlangsung baik. Kondisi ini ditandai dengan aktif bergerak, berjemur, berlangsungnya fungsi

pencernaan, fungsi hormon reproduksi (Funk 1996), dan sistem imunitas yang

bekerja maksimal (Mader 1996). Hediger (1975) mengatakan, suhu rendah di bawah POTZ atau melewati toleransi PBT akan menghambat sensor indra

peraba dan pergerakan, serta mengakibatkan paralisis dengan mortalitas hampir

100%.

Kondisi ini menggambarkan kebergantungan ular terhadap ketersediaan

energi panas untuk mengontrol temperatur tubuh melalui proses termoregulasi.

Termoregulasi dilakukan dengan memasukan dan mengeluarkan panas dari

matahari atau sumber lain dengan cara meluruskan atau meregangkan tubuh

sedangkan untuk bertahan hidup ketika temperatur lingkungan rendah ular

(28)

c. Kelembapan

Kelembapan lingkungan juga sangat mempengaruhi homeostasis tubuh

ular. Kelembapan yang rendah menyebabkan ular mengalami dehidrasi,

pneumonia dan kegagalan inkubasi telur (Ross dan Marzec 1990; Klingenberg

1993; Ackerman 1995). Kondisi sebaliknya menyebabkan ular mengalami

dermatits (Ackerman 1995). Spesies ular yang berhabitat di padang pasir

(spesies padang pasir) membutuhkan kelembapan 30-50%; spesies subtropis

60-80%; dan spesies tropis 80-90% (Mitchell 2003).

d. Fisiologi Reproduksi

Siklus hormonal reproduksi pada jantan dan betina dipengaruhi oleh

musim dan kondisi temperatur, umumnya musim penghujan dan saat temperatur

rendah (Ross dan Marzec 1990). Kematangan seksual lebih dipengaruhi oleh

ukuran tubuh dari pada tingkat umur. Betina memulai siklus lemak dan siap

kawin saat mencapai ukuran tubuh tertentu yang dipengaruhi faktor kuantitas

pakan. Ular yang tumbuh dengan perawatan dan pemberian pakan optimal

biasanya mulai mengalami kematangan seksual pada umur 2-3 tahun (Mader

1996). Ular yang mengalami kekurangan pakan tidak akan mencapai

kematangan seksual (Vladimir 2007).

Ketika kopulasi betina dan jantan akan saling bertumpuk atau melilit. Organ reproduksi betina disebut musk gland dan organ kopulator jantan disebut hemipenis yang berjumlah sepasang. Saat kopulasi hanya satu hemipenis yang dimasukan ke dalam musk gland dan jika kopulasi selesai hemipenis akan ditarik kembali ke dalam kloaka (Hediger 1957).

Sebagian besar jenis ular bersifat vivipar seperti pada Python, dan sebagian lagi bersifat ovovivipar seperti pada Boa. Jumlah telur yang dihasilkan beragam. Telur mengalami inkubasi normal pada kelembapan relatif 75-85% dan

temperatur ideal 25,5°- 28,80C selama ± 55-60 hari (Animal hospital-usa.com 2006). Ross dan Marzec (1990) mengatakan bahwa kelembapan yang

dibutuhkan untuk inkubasi telur ular adalah = 88–100 %. Sedangkan Phyton dan Boa, umumnya membutuhkan kelembapan relatif pada 90-100 %.

e. Molting (Ecdysis)

(29)

nutrisi dan pertumbuhan (Mader 1996). Frekuensi molting bergantung kepada banyak faktor terutama temperatur lingkungan, frekuensi dan jumlah pakan, serta

tingkat aktivitas yang dialaminya. Umumnya ular berganti kulit 4-8 kali pertahun.

Ular muda yang sedang tumbuh mengalami pergantian kulit yang lebih sering,

terutama pada beberapa tahun pertama setelah menetas atau dilahirkan

(Ummas.edu 2006).

Hediger (1975) mengatakan proses molting ditandai dengan adanya inaktifitas yaitu ular cenderung diam dan menolak makan, warna kulit kusam dan

spektakel yang memutih keruh. Molting yang normal terjadi ± 14 hari dan setelah molting, warna kulit baru cerah dan berkilauan. Ular akan defekasi dan sangat lapar sehingga nafsu makannya tinggi.

Pemanfaatan Satwa Ular

Herpetologist di universitas Massachusetts percaya bahwa manusia telah mengeksploitasi ular sejak berabad-abad lalu untuk kebutuhan hidupnya

(Ummas.edu 2006). Beberapa negara timur khususnya China, menganggap

daging, darah, bisa dan empedu ular adalah obat berkhasiat tinggi. Bisa ular

dipercaya dapat menyembuhkan beberapa penyakit serius melalui pengenceran

beberapa ribu kali dan telah dibuktikan oleh para ahli pengobatan tradisional.

Sampai saat ini bisa ular digunakan untuk mencegah serangan jantung dan

stroke, serta membasmi kanker dan mengobati alergi berat (Dwiyono 2004).

Selain itu, kulit beberapa jenis ular memiliki ketebalan dan corak menarik yang

dianggap bernilai tinggi untuk dijadikan produk perhiasan, sepatu, tas, dompet,

hiasan dinding, dan pakaian. Semakin bergesernya anggapan sebagian

masyarakat terhadap ular dengan menganggap ular sebagai satwa eksotik yang

menarik, maka beberapa spesies satwa ini juga semakin banyak dijadikan hewan

peliharaan (Soehartono dan Mardiastuti 2003).

Pemanfaatan ini dijadikan peluang bagi para pengusaha untuk mengambil

keuntungan melalui perdagangan ular. Menurut Soehartono dan Mardiastuti

(2003), jumlah kulit mentah ular dan ular hidup yang diperdagangkan di seluruh

dunia mencapai ratusan ribu hingga jutaan pertahun. Negara pengimpor terbesar

spesies ular untuk dipelihara sebagai koleksi kebun binatang dan hewan

kesayangan dari Indonesia adalah Amerika dan Eropa sedangkan negara

pengimpor terbesar produk ular berupa daging dan obat-obatan adalah

(30)

Konsep Medik Konservasi

Medik konservsi lahir untuk menyatukan konsep kesehatan manusia dan

kesehatan hewan yang akhir-akhir ini menunjukan korelasi yang semakin berarti

(Weinhold 2003). Secara sederhana, manusia berinteraksi dengan lingkungan

untuk memenuhi kebutuhannya. Interaksi ini hampir selalu mengakibatkan

homeostasis lingkungan terganggu dan menimbulkan perubahan dalam

ekosistem. Salah satu tanda yang dapat dikenali akibat perubahan ekosistem

adalah mencuatnya suatu agen penyakit dari lingkungan, hewan, tumbuhan

maupun manusia.

Konsep medik konservasi adalah pendekatan baru ilmu konservasi yang

selama ini biasa dikaji melalui ilmu biologi dan kehutananan. Mencuatnya suatu

agen penyakit dari ekosistem salah satunya bersumber dari satwa yang sakit

karena mengalami ketidakseimbangan homeostasis tubuh. Gangguan

homeostasis terjadi akibat adanya gangguan pada jumlah populasi, kondisi

habitat, ketersediaan pakan, serta perubahan lingkungan. Oleh karena itu, para

pelaku konservasi yang berlatar belakang ahli medis hewan mulai melakukan

pendekatan strategi konservasi satwaliar dari sudut pandang medis. Satwa yang

sehat akan menjalani aktivitasnya dengan normal, terutama aktivitas reproduksi

sebagai upaya untuk mempertahankan populasi.

Profesi dokter hewan didefinisikan sebagai orang yang mendapat

[image:30.595.159.451.492.655.2]

kualifikasi dan wewenang untuk mengatasi penyakit dan cedera pada hewan.

Gambar 1 Ruang lingkup medik konservasi. (Lelana 2004)

Dalam ruang lingkup medik konservasi (Gambar 1), tanggung jawab dan

(31)

(preventif) yang meliputi aspek manajemen pemeliharaan, higiene dan sanitasi;

penyembuhan (kuratif), yang meliputi tindakan pengurangan sakit dan penyakit

serta pemulihan; penanganan penyakit zoonosa yang berujung pada jaminan

kesehatan masyarakat; dan keberhasilan reproduksi di habitat buatan untuk

menurunkan tingkat eksploitasi dari alam dan mendukung program reintroduksi

sebagai upaya memantapkan kembali kestabilan ekosistem di habitat asli.

Peran dokter hewan dalam otoritas medik konservasi terwujud melalui

beberapa kontrol dalam penanganan satwa, yaitu kontrol fisiologi, kontrol

[image:31.595.151.490.294.442.2]

mikrobiologi, kontrol perilaku (behavior), kontrol genetik, kontrol reproduksi, kontrol kualitas, dan kontrol adaptasi (Gambar 2).

Gambar 2 Diagram alir kerangka pemikiran strategi medik konservasi. (Lelana 2004)

Medik konservasi berupa wujud dari serangkaian tindakan medik veteriner

berupa tindakan rehabilitatif, preventif, kuratif, dan promotif yang diterapkan

dalam menunjang program pelestarian satwaliar. Termasuk aspek sumberdaya

manusia dan alat-alat pendukung lain yang menunjang satwa dapat tetap hidup

secara normal dan sehat.

Dokter hewan dapat dianggap sebagai salah satu sumberdaya manusia

dalam bidang konservasi, diharapkan lewat konsep medik konservasi dan

pengembangan sumberdaya manusianya, efektifitas dan efisiensi konservasi

sebagai upaya pelestarian akan berkesinambungan dan lebih optimal (Gambar

3). Riki (2005) mengatakan, melalui pengetahuan dokter hewan terhadap

penyakit satwa, peranan dokter hewan sebagai pelaku medik konservasi menjadi

sangat penting dalam pelestarian satwa. Diagnosa berbagai jenis penyakit,

(32)

serta perbaikan nutrisi satwa yang ditangkarkan secara eksitu menjadi bagian

[image:32.595.218.435.139.307.2]

penting dalam konservasi satwa.

Gambar 3 Diagram efisiensi dan efektifitas upaya konservasi. (Lelana 2004)

Tinjauan dasar di atas merupakan abstraksi dari medik konservasi. Sesuai

dalam definisi medik konservasi menurut Lelana (2004) yaitu:

1. Segala urusan yang berhubungan dengan penanganan medik maupun

keterlibatan tenaga medik secara langsung atau tidak langsung dalam

program pelestarian satwa liar dan dampaknya terhadap lingkungan

hidup dan kesehatan manusia.

2. Merupakan salah satu strategi sistem kesehatan hewan nasional dalam

mengharmonikan kesehatan hewan, masyarakat dan lingkungan.

(Pengganti UU No. 6/1967 tentang Ketentuan Pokok Peternakan dan

Kesehatan Hewan)

3. Merupakan salah satu strategi dalam pelestarian spesies/ plasma nutfah

berikut habitatnya.

Konsep baru: Strategi

medik konservasi:

SDM: kualitas & kuantitas Upaya

pelestarian: berkesinam

(33)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Studi kasus dilaksanakan pada tanggal 29 Januari 2007 s.d. 31 Juli 2007

di (1) Taman Margasatwa Ragunan, (2) CV. Terraria dan (3) Taman Safari

Indonesia Unit 1 Bogor. Penelusuran literatur dan pengumpulan informasi dari

berbagai pihak dilakukan selama 1 tahun, sejak September 2006 s.d. Agustus

2007.

Bahan dan Metode

Bahan terdiri dari data primer dan data sekunder yang diperoleh dari

perpustakaan maupun melalui observasi di lapangan, wawancara, dan mempelajari data rekam medik (medical record). Wawancara petugas mencakup kiper, teknisi medis, tenaga ahli (dokter hewan dan ahli biologi hewan) serta

pengelola penangkaran satwa. Materi wawancara lebih ditekankan pada aspek

medik konservasi dan implementasinya di lapangan. Hasil dari kegiatan ini

dianalisa dan dikonfirmasi dengan literatur yang telah ada

Informasi yang akan dikumpulkan diajukan dalam daftar pertanyaan

sebagai berikut:

Aspek Preventif Manajemen Umum

1. Apakah sistem catatan untuk informasi siap untuk diperiksa setiap saat?

2. Apakah catatan itu menyediakan informasi yang cukup relevan dengan

pemeliharaan ular?

Manajemen Kandang

1. Apakah kondisi kandang sedemikian rupa sehingga tidak ada

kemungkinan dapat mencelakai atau mencederai ular (material dan

konstruksi kandang, sirkulasi udara, pencahayaan, suhu dan kelembapan

serta ukuran)?

2. Apakah fasilitas kandang dapat memenuhi kebutuhan ular

mengekspresikan perilaku alami dan normalnya (bentuk tempat air dan

air untuk minum dan berendam; tempat berlindung, bak, lorong dan

(34)

3. Apakah semua bangunan dan perlengkapan termasuk peralatan listrik

yang terpasang tidak menimbulkan resiko atau tidak mengganggu

jalannya kegiatan operasional?

4. Apakah kandang yang dihuni beserta area yang berdampingan bebas

dari sampah dan peralatan?

5. Bagaimana pengaturan kebersihan kandang?

6. Apakah ukuran kandang disesuaikan dengan jumlah populasi ular yang

menghuni kandang tersebut?

7. Apakah pohon-pohon di dalam maupun di luar kandang dalam kondisi

aman?

8. Apakah standar kebersihan kandang dan ruang pengobatan

memuaskan?

9. Apakah semua kandang memiliki sistem saluran yang baik?

10. Apakah kandang karantina dilegalisir oleh pihak karantina hewan?

Manajemen Pakan dan Air

1. Apakah kuantitas dan kualitas pakan yang disediakan untuk ular sudah

memuaskan?

2. Apakah variasi jenis pakan untuk ular mendapat perhatian?

3. Bagaimana mengatur jadwal pemberian pakan?

4. Apakah penetapan menu pakan melibatkan ahli nutrisi ular (termasuk

dokter hewan)?

5. Darimana mendapatkan suplai pakan?

6. Bagaimana manajemen suplai pakan (pakan sehat, tidak sakit, dan tidak

membawa parasit atau agen infeksius lain)?

7. Apakah pakan diberikan dalam kondisi hidup, sehingga naluri ular untuk memangsa tetap ada?

8. Apakah pakan yang diberikan diyakini dimakan oleh ular (terutama pada

kandang bersama)?

9. Darimana sumber air yang digunakan?

10. Apakah kebersihan dan kualitas air terkontrol sehingga bebas dari

kontaminasi bakteri, parasit dan agen infeksius lain serta zat kimiawi yang

terkandung di dalamnya?

11. Apakah kuantitas air yang diberikan diyakini mencukupi?

(35)

Manajemen Kesehatan Ular

1. Apakah kondisi fisik dan kesehatan ular dikontrol setiap hari?

2. Apakah petugas dilarang merokok agar tidak berakibat buruk bagi ular?

3. Apakah dilakukan pemeriksaan parasit dan program preventif vaksinasi?

4. Apakah ada fasilitas peralatan medis? Bila ya, apakah lengkap dan

terawat?

5. Adakah catatan penyakit dan tindakan pengobatan yang dilakukan?

Aspek Kuratif

Manajemen Kesehatan Ular

1. Apakah dilakukan penanganan segera terhadap ular yang menderita sakit

atau terluka?

2. Apakah pencatatan pengobatan dilaksanakan dengan baik?

3. Apakah tersedia ruang pengobatan yang bersih serta berventilasi untuk

pemeriksaan rutin bagi ular yang diberi penenang?

4. Apakah alat transportasi untuk pengobatan atau operasi yang dilakukan

di luar karantina tersedia setiap saat?

5. Adakah fasilitas untuk perawatan bagi ular yang menderita sakit atau

luka?

6. Apakah obat-obatan, vaksin dan produk obat lainnya disimpan secara

benar dan aman, kemudian kuncinya hanya dipegang oleh petugas yang

berwenang? Apakah penggunaan obat terkontrol dengan baik?

7. Apakah fasilitas dan peralatan untuk melaksanakan pemeriksaan post mortem tersedia dan cukup memadai?

Aspek Rehabilitatif Manajemen Kandang

Apakah ada fasilitas inkubator, bila ya, bagaimana kondisi suhu dan

kelembabannya?

Manajemen Kesehatan Ular

1. Bagaimana manajemen kesehatan anak ular dan pemeliharaan telur di

dalam inkubator?

2. Adakah fasilitas dalam pengendalian, pemberian anastesi, dan perawatan

(36)

Manajemen Penangkaran

Apakah ada program reintroduksi pada ular-ular yang dipelihara di kebun

binatang? Bila ya, bagaimana prosedurnya?

Aspek Promotif Manajemen Umum

1. Apakah fasilitas untuk penangkaran dan pengangkutan ular tersedia?

2. Apakah perencanaan dan penghitungan telah dibuat sebelum membuat

persiapan membawa keluar ular berkaitan dengan pengawasan,

keamanan dan kesejahteraan ular?

3. Bagaimana prosedur pengiriman ular hidup ke luar daerah (luar kota/

lintas negara)?

4. Bagaimana kriteria ular yang akan ditukar dengan taman margasatwa lain

atau untuk diekspor?

5. Apakah ada program reintroduksi pada ular-ular yang dipelihara di kebun

binatang? Bila ya, bagaimana prosedurnya?

Aspek Keselamatan Satwa, Petugas dan Lingkungan Manajemen Umum

1. Apakah semua prosedur pengamanan termasuk peraturan P3K dan

prosedur darurat mendapat perhatian dan tersedia dalam bentuk

dokumen tertulis?

2. Apakah prosedur pengamanan pada saat ular terlepas digunakan secara

baik?

3. Adakah catatan tentang individu atau kelompok ular yang dikenal, dipelihara, dan dirawat?

4. Apakah sistem manajemen cukup untuk melaksanakan pengawasan

kandang, kebersihan, pemberian pakan, dan air yang disyaratkan?

Manajemen Kesehatan

1. Atas saran dokter hewan, apakah petugas memakai pakaian pelindung

dan peralatan yang berbeda untuk area isolasi dan pakaian pelindung

serta peralatan itu dibersihkan dengan baik?

(37)

Manajemen Penangkaran

1. Bagaimana hubungan yang terjalin antara pihak penangkaran terhadap

masyarakat sekitar?

2. Apakah ada penetapan jumlah ular yang diambil dari alam, jumlah ular

yang berhasil dan hasil yang ditangkarkan?

3. Bagaimana macam dan distribusi produk hasil budidaya pada pengelola

penangkaran untuk budidaya?

4. Apakah ada sistem pengawasan keamanan produk yang telah

terdistribusi?

Aspek Sumberdaya Manusia

1. Apakah jumlah petugas cukup untuk melaksanakan pemeliharaan ular

secara tepat?

2. Apakah petugas diberi latihan dan pengalaman dengan ular yang

dipelihara? Apakah jumlah keseluruhan petugas cukup untuk benar-benar

melaksanakan pemeliharaan ular?

3. Apakah pengelola penangkaran atau taman margasatwa dapat menjamin

pemeliharaan ular pada saat mendatang (minimal 3 tahun)?

4. Apakah pengelola penangkaran atau taman margasatwa bertanggung

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lembaga Konservasi dan Usaha Penangkaran

Fungsi utama lembaga konservasi eksitu adalah sebagai tempat

pengembangbiakan dan penyelamatan satwa dengan tetap mempertahankan

kemurnian jenisnya. Selain lembaga konservasi, kegiatan pengembangbiakan

satwa juga dapat dilakukan oleh setiap orang dan badan hukum dalam bentuk

lembaga usaha penangkaran yang hasilnya dapat dijual untuk memenuhi

permintaan publik terhadap jenis satwaliar (Santoso 2003). Pada Tabel 2,

beberapa lembaga konservasi eksitu tersebut adalah Taman Margasatwa

Ragunan (TMR) dan Taman Safari Indonesia (TSI) sedangkan lembaga usaha

[image:38.595.115.512.348.653.2]

penangkaran contohnya adalah CV. Terraria.

Tabel 2 Gambaran umum lembaga konservasi dan usaha penangkaran

Profil Pengelola

TMR TSI CV. Terraria

Kelembagaan

Lembaga konservasi eksitu milik pemerintah daerah Lembaga konservasi eksitu milik perusahaan swasta Eksportir dan captive breeding komersil

Tujuan Peraga dan penelitian

satwa

Peraga, breeding dan

penelitian satwa Perdagangan

Lokasi Ragunan, DKI Jakarta Cisarua, Bogor Gunung Sindur,

Parung Bogor Mikroklimat Cuaca Temperatur Kelembapan Cenderung berawan ± 29,50C

± 80 %

Cenderung hujan ± 210C

± 85 %

Panas berawan ± 31,90C ± 84,5 %

Jumlah jenis ular 14 spesies 21 spesies 9 spesies

Sumberdaya manusia

Tenaga ahli

Staf perawat

Pengalaman petugas

dengan ular

Dokter Hewan, Teknisi Medis Veteriner (D3), Kurrator

SLTA, D3 Veteriner

0 - 20 tahun

Dokter Hewan, Teknisi Medis Veteriner (D3), Kurrator

SLTA, D3 Veteriner

0 - 15 tahun

Herpetologist

SLTA

5 - > 20 tahun Sarana dan prasarana

Alat restrain

Inkubator telur

Ruang nekropsi

Pemusnahan kadaver

Cukup Tidak ada Ada Krematorium Lengkap Ada Ada Krematorium Lengkap Ada Tidak ada Septi tank

Pemeliharaan ular di luar habitatnya wajib mengikuti syarat manajemen

yang memenuhi standar kesehatan dan pengayaan perilaku satwa,

(39)

sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan operasional (Santoso

2003).

Sebagian dari koleksi di ketiga lembaga ini merupakan spesies yang

[image:39.595.114.510.274.657.2]

statusnya dilindungi pemerintah yaitu: sanca bodo (Phyton molurus bivittatus), sanca hijau (Chondrophyton viridis) dan sanca timor (Apodora papuanus) (Santoso 2003) dan sebagian lagi merupakan spesies yang termasuk golongan Apendiks II CITES (Samedi et al. 2004) sedangkan selebihnya belum memiliki status apapun karena populasinya masih berlimpah di alam (Tabel 3).

Tabel 3Jenis koleksi ular(dokumentasi Februari – Juli 2007)

No Jenis Ular

Pengelola

TMR TSI Terraria CV.

1. Phyton reticulatus/ sanca batik* Ada Ada Ada

2. Chondrophyton viridis/ sanca hijau* Ada Ada Ada

3. Apodora papuanus/ sanca timor* Ada Ada Ada

4. Leiophyton albertisi/sanca coklat* Ada Ada Ada

5. Liasis fuscus/sanca hitam* Ada Ada Ada

6. Morelia amethistina amethistina/ sanca

kuning* Ada Ada Ada

7. Phyton curtus brongersmai/ sanca darah* Tidak ada Ada Ada

8. Phyton molurus bivittatus albino/ sanca

sawah albino† Ada Ada Tidak ada

9. Phyton molurus bivittatus/sanca bodo Ada Tidak ada Tidak ada 10. Morelia spilota variegata/ sanca karpet* Tidak ada Tidak ada Ada

11. Xenopeltis unicolor/ sanca pelangi Tidak ada Ada Tidak ada

12. Liasis mackloti savuensis/ sanca sewu Tidak ada Ada Tidak ada 13. Reticulatus calico/ sanca batik kaliko‡ Tidak ada Ada Tidak ada

14. Candoia aspera/ candoia tanah* Tidak ada Ada Tidak ada

15. Candoia carinata/boa pohon* Tidak ada Ada Tidak ada

16. Boa constrictor constrictor/ common boa Tidak ada Ada Tidak ada

17. Achcrocordus javanicus/ ular karung Ada Tidak ada Tidak ada

18. Elaphe guttata guttata/ ular jagung Tidak ada Ada Tidak ada

19. Elaphe radiata/ ular sapi Ada Tidak ada Tidak ada

20. Ptyas koros/ ular koros Ada Ada Tidak ada

21. Boyga dendrophilia dendrophilis/ cincin mas Ada Tidak ada Tidak ada

22. Naja sputatrix/ kobra* Tidak ada Ada Tidak ada

23. Naja naja kaouthia/ kobra albino† Tidak ada Ada Tidak ada

24. Ophiopagus hannah/ king kobra* Ada Ada Tidak ada

25. Chaloselasma ibodostoma/ malayan viper Tidak ada Ada Tidak ada

26. Enhyridis enhyridis/ kadut belang Ada Tidak ada Tidak ada

27. Bungarus multicintus multicintus/ many

banded krait Tidak ada Ada Tidak ada

28. Maticora bivirgata flaviceps/ malayan

long-glanded coral snake Tidak ada Ada Tidak ada

*Golongan appendix II yang umum diperdagangkan; †Jenis impor; ‡Spesiesjarang

Pemeliharaan yang Baik (Good Care Practices)

(40)

suatu temperatur tertentu di lingkungan yang dapat mendukung keseluruhan

fungsi metabolisme ular secara optimal. Tubuh ular membutuhkan POTZ agar

metabolisme berlangsung baik. Kecendrungan temperatur tubuh ular terhadap

POTZ disebut Prefered Body Temperatur (PBT) dan pada kondisi ini ular aktif bergerak, berjemur, melangsungkan fungsi pencernaan, fungsi hormon

reproduksi (Funk 1996), dan memiliki sistem imunitas yang baik (Mader 1996).

Temperatur lingkungan yang tidak memenuhi PBT ular merupakan sumber sakit dan stress. Ular menjadi lebih pasif terhadap lingkungan, tidak nafsu makan dan cenderung diam. Selain temperatur, kelembapan juga merupakan faktor

lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan dan reproduksi. Kelembapan

suboptimal menyebabkan pneumonia dan kegagalan hibernasi pada ular

(Klingenberg 1993).

Fisiologi dan biologi dasar ini wajib menjadi pertimbangan dasar dalam

menciptakan habitat buatan yang prima sehingga dapat mendukung kesehatan

dan produktivitas ular seperti di habitat asli. Manajemen di habitat buatan

tersebut meliputi: manajemen kandang, manajemen pakan, manajemen sarana

dan prasarana, manajemen pencatatan, manajemen sumberdaya manusia dan

manajemen reproduksi.

Manajemen Kandang

Menurut Mader (1996) kriteria kandang ular ideal dalam habitat buatan

yaitu: aman dari resiko kemungkinan ular terlepas dan menyerang; memiliki

ukuran yang sesuai untuk aktivitas ular di dalamnya; memiliki fasilitas dasar

untuk pengayaan dan pengaturan sistem mikroklimat; bentuk dan semua fasilitas

kandang tidak boleh menimbulkan resiko mencederai ular; meme nuhi syarat

kebersihan; serta memiliki ventilasi dan pencahayaan matahari yang baik.

Akses jalan keluar seperti pintu kandang harus selalu terkunci atau tertutup

rapat dan tidak ada kemungkinan akses jalan keluar lain. Ular yang tidak merasa

nyaman dalam kandang cenderung berusaha melepaskan diri mencari tempat

yang kondisinya lebih baik.

Ular juga membutuhkan area pribadi untuk bergerak dengan leluasa sesuai

ukuran tubuhnya, sehingga kandang harus memiliki ukuran yang memadai.

Ukuran kandang harus disesuaikan dengan ukuran dan jumlah ular agar setiap

ekor ular dapat menentukan daerah aktivitasnya masing-masing. Menurut Alif

(41)

memudahkan observasi, kontrol pakan, kontrol parasit dan penyakit menular lain serta dapat mencegah stress karena kondisi kandang yang tenang dan memungkinkan ular beraktivitas dengan leluasa tanpa adanya dominansi dari

ular lain.

Fasilitas dasar yang dapat memenuhi perilaku dan kebutuhan fisiologi ular

yaitu tempat bertengger, tempat bersembunyi serta air untuk minum dan

berendam. Tempat bertengger dapat terbuat dari kayu asli, pipa PVC atau dahan

pohon imitasi. Kelebihan pipa PVC adalah mudah dibersihkan dan didesinfeksi.

Ular cenderung mengekspresikan perilaku gugup dengan menyerang akibat

kontak dengan manusia dan kondisi kandang yang ribut (Ackerman 1995).

Keadaan ini menimbulkan stress sehingga ular memerlukan tempat bersembunyi guna merasa lebih aman. Kandang juga wajib memiliki persediaan air di dalam

tempat yang bentuknya memadai untuk keperluan minum dan berendam.

Berendam adalah salah satu cara ular mendapatkan kelembapan di habitat asli.

Menurut Alif (2007) penempatan air dalam kolam harus cukup agar ular mampu

merendam seluruh tubuhnya dan cukup minum.

Pada Tabel 4, diperoleh gambaran pengaturan mikroklimat berupa sumber

panas, pengaturan suhu, kelembapan serta pencahayaan yang disediakan di

habitat buatan. Ular membutuhkan sumber panas untuk mempertahankan PBT

yang mendukung seluruh fungsi metabolisme. Selain sumber panas, fungsi

metabolisme sangat dipengaruhi oleh kondisi kelembapan dan pencahayaan di

[image:41.595.114.513.544.664.2]

lingkungan.

Tabel 4 Pengaturan mikroklimat di TMR, TSI dan CV. Terraria

Mikroklimat TMR TSI CV. Terraria

Sumber panas Matahari Elemen heater, lampu par Matahari,

Pengaturan suhu Lingkungan Thermostat: 240 – 270C

(kandang peraga);

290-300C (kandang karantina)

Lingkungan, thermostat

Pengaturan kelembapan Air Air, humidifier: 80% Air, humidifier: 90%

Pergerakan udara Lubang

ventilasi

Blower Lubang ventilasi

Pencahayaan Matahari Lampu UV, bohlam dan lampu

pijar

Matahari

Sumber panas di habitat asli adalah matahari. Panas matahari mengatur

suhu lingkungan sehingga tercipta POTZ yang mendukung PBT ular. Panas

matahari, pergerakan udara dan air menentukan kondisi kelembapan.

(42)

provitamin D3 dari kulit serta sangat mempengaruhi siklus biologi ular yang bersifat diurnal (photoperiode) (Mader 1996).

Menurut Raharjo (2007), pengaturan mikroklimat di habitat buatan, kurang

optimal untuk menciptakan kondisi yang sesuai dengan kebutuhan ular seperti di

habitat asli. Selain itu kebutuhan kondisi mikroklimat dapat bervariasi tergantung

jenis dan daerah asal setiap spesies. Oleh karena itu, dibutuhkan alat

pengaturan mikroklimat buatan yang dapat diatur untuk menciptakan kondisi

habitat buatan yang mirip dengan habitat asli.

Higrometer dibutuhkan untuk mengontrol temperatur dan kelembapan

dalam kandang. Kondisi temperatur daerah TMR dan CV. Terraria (Tabel 2),

dapat mendukung PBT ular, sehingga dalam Tabel 4, matahari dapat menjadi

sumber panas dan pencahayaan secara alami dengan syarat bentuk kandang

yang cukup mendapat sinar matahari. Adapun temperatur di daerah TSI (Tabel

2) ternyata tidak dapat mendukung PBT ular, sehingga sumber pemanas dan pencahayaan seperti heater atau lampu harus tersedia. Menurut Mader (1996), kondisi temperatur, cuaca dan pergerakan udara di habitat buatan tidak dapat

mendukung kelembapan yang optimal sehingga alat pengatur kelembapan seperti humidifier dibutuhkan untuk menciptakan kondisi kelembapan sesuai kebutuhan fisiologi setiap spesies ular.

Sebagian besar trauma perlukaan pada ular adalah akibat kondisi

kandang. Oleh karena itu, maka fasilitas dan bentuk kandang harus dimodifikasi

seaman mungkin untuk mencegah hal tersebut. Kolam pada kandang cukup diisi

air setengah penuh agar saat ular berendam permukaan air yang naik tidak

keluar membasahi dasar kandang. Tumpahan air yang merembes ke lapisan

dasar kandang dapat mengenai heater dan sumber listrik di bawahnya, sehingga menyebabkan korsleting listrik dan berbahaya bagi ular yang sedang berada di

dasar kandang tersebut.

Dalam upaya mencegah abrasi mulut, kandang tidak boleh menggunakan

jaring kawat berlubang (Wikipedia.org 2006). Kandang yang terbuat dari besi

berlubang atau berjeruji disarankan dilapisi dengan solar tab, sehingga dapat

meredam benturan ular saat menyerang (Rofandi 2007). Kandang yang terbuat

dari kaca harus dilengkapi dengan tempat bersembunyi, mengingat kaca kurang

baik untuk meredam benturan serangan ular sehingga ular yang merasa gugup

(43)

Letak alat pemanas dan sumber listrik di kandang harus disembunyikan di

belakang fasilitas pengayaan kandang, seperti di tempat bertengger atau alas

kandang. Sumber listrik dalam kandang seperti lampu par, lampu UV dan sumber

pemanas harus ditutup agar tidak kontak dengan ular dan menghindari trauma

luka bakar. Kondisi peralatan harus selalu dikontrol dan dipastikan tetap

berfungsi baik. Alat pemanas yang tidak berfungsi dengan baik dapat membuat kondisi temperatur kandang berubah dan menimbulkan stress pada ular.

Kandang harus memenuhi syarat kebersihan dan sanitasi yang baik.

Seluruh fasilitas dan material kandang harus mudah dibersihkan dan

didesinfeksi, agar bebas dari kontaminasi agen infeksi, feses dan urin. Alas

kandang harus terbuat dari material yang dapat menyerap air dengan sempurna,

agar kandang tidak lembab dan kotor. Alas kandang ukuran kecil, seperti boks,

kontainer atau akuarium, dapat menggunakan kertas koran, karena paling baik

menyerap air dan cepat kering (Boyer 1993). Kandang dan fasilitas kandang

harus dibersihkan setiap hari dan didesinfeksi secara berkala (Mader 1996).

Menurut hasil observasi dan wawancara di tempat studi maka desinfektan

yang dapat digunakan adalah: Virkon’s® yang mengandung senyawa

peroksisen, surfaktan dan asam organik. Menurut Alif (2007), desinfektan ini

kurang efektif jika digunakan untuk membasmi sarang ektoparasit di kandang.

Adapun Super Algicide® yang mengandung isothiazolone dapat digunakan

sebagai anti alga/ anti lumut, anti jamur dan anti bakteri atau TH4 sebagai Anti

jamur, anti bakteri dan anti viral. Menurut Yohana (2007), kandang yang

terkontaminasi jasad renik dapat didesinfeksi dengan menggunakan TH4 dan

setelah kering permukaan kandang dibakar dengan spirtus dan tidak dipakai

dalam waktu minimal 3 bulan. Menurut Mader (1996) sodium hipoklorit (NaClO) 5,25% juga merupakan desinfektan yang efektif. Penggunaan desinfektan

(44)
[image:44.595.115.513.85.377.2]

Gambar 4 Kandang ular di TMR (Terrarium 1 dan 2). Jumlah ular pada kandang ini maksimal 5 ekor sanca batik (Python reticulatus) ukuran sedang. (kiri atas) (A,? ) Pintu depan kandang berupa jendela kaca yang digeser dan (B,? ) adalah pintu pada bagian belakang kandang. Fasilitas dasar berupa: (kanan atas) semak-semak untuk tempat bersembunyi, (kiri bawah) tempat bertengger dari batang kayu serta kolam tempat minum dan berendam di dasar kandang (kanan bawah; C, ? ).

Gambar 5 Kandang ular di TSI. Jumlah ular pada kandang ini maksimal 1 ekor sanca batik (Python reticulatus) ukuran besar. (A,? ) adalah pintu kandang. Fasilitas dasar adalah tempat bertengger (B,? ) serta kolam tempat minum dan berendam di dasar kandang (C,? ).

B

A

C

A

A

B

[image:44.595.114.511.497.681.2]
(45)
[image:45.595.114.509.84.255.2]

Gambar 6 Kandang induk sanca hijau (Chondropython viridis) di CV. Terraria. Ukuran kandang ini hanya untuk satu ekor ular. kandang sebelah kiri adalah sepasang jantan dan betina yang disatukan saat kawin. Pintu kandang adalah jendela kaca yang digeser. Fasilitas dasar adalah tempat bertengger dari pipa PVC dan tempat minum di dasar kandang. Lubang ventilasi terdapat di bagian belakang kandang (? ).

[image:45.595.115.510.359.677.2]
(46)
[image:46.595.112.511.83.424.2]

Gambar 8 Keamanan bentuk dan fasilitas kandang. (kiri atas) Kandang yang dilapisi solar tab. (kanan atas) Lampu yang ditutup. (bawah) Thermostat (A,? ) dan sumber panas yang disembunyikan di alas kandang dan di dalam batu tempat bertengger (B,? ).

Manajemen Pakan

Hal utama yang harus dikontrol saat pemberian pakan adalah kondisi POTZ untuk mendukung temperatur tubuh ular (PBT) dalam melangsungkan

fungsi enzim pencernaan dan fungsi penyerapan makanan.

Pakan yang baik adalah cukup jumlahnya, bergizi, serta bebas dari sumber

penyakit. Pada Tabel 5 dapat dipelajari bahwa dalam manajemen pakan terdapat

tiga hal penting; yaitu menu dan kuantitas pakan sesuai kebutuhan ular; kontrol

kualitas pakan; serta pengawasan saat pemberian pakan.

Menu pakan diberikan berdasarkan jenis ular, tahap perkembangan,

ukuran tubuh dan disesuaikan dengan pakan yang biasa didapatkan di alam.

Pakan tersebut umumnya ayam, mencit dan tikus. Variasi menu pakan juga perlu

dilakukan terutama terhadap ular yang mengalami anoreksia (Yohana 2007).

Ular yang baru datang di habitat buatan sebaiknya diberi menu pakan yang

A

(47)

paling sering ia pilih di alam sebelum membiasakan dengan pakan yang telah disediakan. Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil dampak stress dalam proses adaptasi di habitat buatan. Kuantitas pakan yang cukup sangat dibutuhkan untuk

menyimpan cadangan energi dalam bentuk glikogen di hati dan lemak dalam

tubuh (Ackerman 1995). Kekurangan jumlah asupan pakan pada ular yang

[image:47.595.113.511.250.660.2]

dikandangkan menyebabkan kelaparan yang merupakan sumber stress dan penurunan ketahanan tubuh (Scott 1995).

Tabel 5 Manajemen pakan ular di TMR, TSI dan CV. Terraria

Lokasi Pakan Kontrol Kualitas Pakan Pemberian

Pakan

Jenis ular Menu

TMR

Ular sendok Ular koros, tikus putih

Pemeriksaan fisik terhadap pakan dari suplayer.

• Jadwal pakan seminggu 1x. • Ditunggu

oleh perawat. Sanca hijau Tikus, mencit,

burung Finch (mprit/ pipit) Sanca batik, sanca albino Ayam.

Koleksi lain Tikus, mencit, katak TSI Sanca batik, sanca albino, sanca sawu Ayam. Variasi pakan; marmut, burung, anak kambing dan anak rusa

• Mencit dan tikus diternakkan secara higienis

Pellet berkualitas, deworming tiap bulan, suplemen vitamin, mineral.

• Menyediakan air bersih • Ayam diperiksa secara fisik

dan dilakukan Test AI secara cepat

• Jadwal pakan seminggu 1x. • Ditunggu

oleh perawat.

Ular air Ikan mas segar Koleksi lain Mencit dan

tikus. CV. Terraria Sanca batik Induk dan dewasa

Ayam 1,5 kg 2-3 ekor

• Mencit dan tikus diternakkan secara higienis

Pellet berkualitas, deworming tiap bulan, suplemen vitamin, mineral.

• Menyediakan air bersih • Pakan tidak cacat

• Ayam dan marmut dari suplier atau pasar dan diberikan pada hari yang sama atau disimpan dalam gudang pakan hanya sebagai persediaan selama satu kali jadwal pakan

• Jadwal pakan ular sanca batik 6 hari 1x, jenis ular lain 12 hari 1x. • Ditunggu

oleh perawat. • Pakan yang

tidak dimakan akan diambil, diberikan keesokan harinya. Sanca darah

Marmut 250 gr 4–8 ekor Sanca hijau, sanca karpet, sanca kuning, sanca hitam Tikus dewasa 4–5 ekor

Anakan Bayi mencit atau tikus Anakan

sanca hijau

Bayi mencit

Kriteria hewan mangsa untuk pakan adalah lincah, bersih, tubuh tidak

cacat, bulu atau rambut utuh dan cukup gemuk (Vladimir 2007). Mencit dan tikus harus tersedia setiap saat. Selain itu hewan ini dapat berfungsi sebagai

(48)

golongan protozoa Cryptosporodium yang merupakan zoonosis (Mader 1996). Oleh karena itu, mencit dan tikus harus diternakan secara higienis dengan

pemberian pellet berkualitas, air bersih, deworming sebulan sekali, pemberian vitamin serta tambahan mineral.

Ayam dapat menjadi sumber wabah salmonellosis pada ular terutama jenis

ular sanca albino (Python molurus bivittatus albino) (Mader 1996). Oleh karena itu, ayam hidup harus disuplai dari peternakan dengan sanitasi yang baik,

memiliki sertifikat sehat, dan diperiksa kembali sebelum diberikan pada ular

(Yohana 2007). Persediaan ayam hidup harus dikandangkan secara khusus dalam gudang pakan maupun diberi air bersih untuk minum dan pellet yang baik dan bersih. Kandang dan peralatan pemeliharaan mencit dan tikus maupun

gudang tempat menyimpan persediaan pakan juga harus didesinfeksi secara

berkala.

Perawat satwa harus memastikan bahwa pakan benar–benar ditelan

dengan baik dan tidak terjadi regurgitasi. Jika pakan tidak dimakan dalam waktu

15-30 menit, maka mangsa yang dijadikan pakan, terutama tikus dan mencit,

harus diambil kembali mengingat hewan ini dapat menyerang ular dan

[image:48.595.129.496.443.690.2]

menimbulkan luka gigitan yang serius (Barten 1996).

(49)

Manajemen Sarana dan Prasarana

Pada Tabel 2 dapat dilihat kelengkapan sarana dan prasarana pada ketiga

tempat studi. Perawatan ular dalam jumlah besar dan bervariasi harus didukung

dengan peralatan alat restrain untuk mencegah trauma fisik dan stress pada saat handling. Peralatan tersebut meliputi tongkat ular, forceps untuk membuka mulut, probe untuk sexing dan sonde lambung untuk melakukan pencekokan (Fowler 1978). Perawatan ular dalam program konservasi harus dilengkapi dengan

sarana inkubator untuk mendukung kegiatan penangkaran. Menurut Raharjo

(2007) fasilitas sumber pemanas, pengaturan temperatur dan kelembapan

dibutuhkan untuk menciptakan keadaan seperti di habitat aslinya.

Manansang et al. (2004) mengatakan bahwa lembaga konservasi harus memiliki freezer atau refrigerator guna menyimpan kadaver untuk keperluan nekropsi. Mader (1996) mengatakan bahwa ular yang mati sebaiknya disimpan

dalam refrigerator dan segera dilakukan nekropsi. Menurut Nugroho (2007)

kadafer ular akan rusak atau mengalami autolisis setelah 72 jam setelah mati

sehingga nekropsi harus dilakukan sebelum 72 jam.

Agar pelayanan kesehatan dan pelayanan medis dapat terlaksana dengan

baik, maka lembaga konservasi perlu didukung dengan bangunan rumah sakit

dan peralatan medis yang meliputi meja pemeriksaan, alat bedah, alat

pembiusan, alat pemeriksaan dasar diagnostik, listrik yang cukup, peralatan

pemeriksaan sampel darah serta penyediaan obat yang memadai. Jika ini tidak

dapat dipenuhi seperti pada lembaga usaha penangkaran, minimal perlu

disediakan ruangan yang bersih dan berventilasi baik untuk melakukan

pemeriksaan. Sebagai upaya untuk mencegah penularan dan penyebaran infeksi

diperlukan fasilitas untuk memusnahkan kadaver seperti bangunan krematorium atau septi tank (Manansang et al. 2004).

Manajemen Sumberdaya Manusia

Pada Tabel 2 dapat dilihat sumberdaya manusia pada ketiga tempat studi, pada umumnya meliputi: dokter hewan, para medis, herpetologist (ahli reptil), kurrator (ahli perilaku dan biologi hewan), serta perawat satwa (petugas

kandang) yang merawat ular secara langsung.

Setiap petugas yang bekerja langsung dengan satwa harus memiliki

keahlian dan pengetahuan dasar tentang ular agar perawatan dan program

(50)

manajemen restrain, pengaturan mikroklimat setiap spesies ular dan

pengetahuan umum tentang fisiologi reproduksi ular. Petugas harus mengenakan

alat pelindung untuk menghindari resiko terkontaminasi kuman dan parasit,

transmisi zoonosis serta bisa ular. Zoonosis asal ular dapat ditularkan langsung

lewat udara, material kandang d

Gambar

Tabel 1 Struktur taksonomi ular (Pope 1949; Hotstetter et al. 1969; Breen 1974; Hediger 1975; Wikipedia.org  2006)
Gambar 1 Ruang lingkup medik konservasi. (Lelana 2004)
Gambar 2 Diagram alir kerangka pemikiran strategi medik konservasi. (Lelana 2004)
Gambar 3 Diagram efisiensi dan efektifitas upaya konservasi. (Lelana 2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait