KARYA TULIS ILMIAH
PENGARUH PAPARAN BAU MENYENGAT PADA DAYA PENCIUMAN DAN TINGKAT OBSTRUKSI NASAL PADA PEKERJA PENGECORAN LOGAM
DIKECAMATAN CEPER
Disusun oleh
SOFYAN RAHARJO SUGIARTO 20120310267
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
i
KARYA TULIS ILMIAH
PENGARUH PAPARAN BAU MENYENGAT PADA DAYA PENCIUMAN DAN TINGKAT OBSTRUKSI NASAL PADA PEKERJA PENGECORAN
LOGAM DIKECAMATAN CEPER
Disusun oleh
SOFYAN RAHARJO SUGIARTO 20120310267
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini Nama : Sofyan Raharjo Sugiarto NIM : 20120310267
Program Studi : S1 Pendidikan Dokter
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya tulis saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Yogyakarta, 14 Mei 2016 Yang membuat pernyataan,
3
KATA PENGANTAR
Pertama, penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal Penelitian ini dengan sebaik-baiknya. Dalam proposal penelitian ini, penulis menyajikan informasi yang diharapkan dapat menambah wawasan para pembaca.
Tak lupa, penulis mengucapkan terima kasih untuk dosen pembimbing yang telah membimbing dan orang tua serta adik dan teman-teman tersayang yang telah memberi bantuan baik moral maupun materil. Penulis berharap, proposal penelitian ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membacanya serta dapat membantu kegiatan perkuliahan di FKIK UMY khususnya.
Akhir kata, bagai gading yang tak retak maka apabila dalam penulisan kata-kata ada yang kurang berkenan, penulis memohon maaf sebelumnya.
Yogyakarta, 14 Mei 2016
4 DAFTAR ISI
5
Abstract
Background: The reduction of quality in human smelling ability can occur due to odorants interference, sensory disorders and neurological disorders. The common causes of smell disorders are nasal obstruction and exposure to toxic substances continuously. In the United States estimated 1.4% suffering smell ability impairment. In Austria, Switzerland and Germany about 80,000 people annually to the ENT with complaints of smell disorders.
Objective: To determine the effect of pungent smell exposure toward sense of smell and nasal obstruction level in metal foundry workers in the Ceper district.
Methods: This study was conducted cross sectional, 23 metal foundry workers as a test group and 23 Ceper districts resident as a control group. The analysis is a bivariate analysis using chi square test. Data collection is done by giving six kinds of smell to the test group and the control to determine whether there is interference smell. whereas to determine the nasal obstruction, data retrieval is done using a steel plate that has been modified to measure the extent of steam exhalation.
Results: From test group obtained 23 people suffer decreased sense of smell, while the control group gained 19 of the 23 people. From Chi Square test, the P score is 0,054. On nasal obstruction examination, there is no nasal obstruction abnormalities from both the test group and the control group.
Conclusions: There were no significant effect of exposure to pungent smell towards the sense of smell and nasal obstruction on metal foundry workers in the Ceper district.
Intisari
Latar belakang: Penurunan kualitas penghidu pada manusia dapat terjadi karena gangguan odoran, gangguan sensoris dan gangguan syaraf. Penyebab tersering gangguan penghidu yaitu obstruksi nasal dan paparan zat toksik secara terus menerus. Di Amerika serikat diperkirakan 1,4% penduduk mengalami gangguan penghidu. Di Austria, Switzerland dan Jerman sekitar 80.000 penduduk pertahun ke bagian THT dengan keluhan gangguan penghidu.
Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh paparan bau menyengat pada daya penciuman dan tingkat obstruksi nasal pada pekerja pengecoran logam dikecamatan Ceper.
Metode: Penelitian ini dilakukan secara cross sectional pada 23 pekerja pengecoran logam sebagai kelompok uji dan 23 warga kecamatan ceper sebagai kelompok kontrol. Analisis yang digunakan adalah analisis bivariat dengan uji chi square.pengambilan data dilakukan dengan cara memberikan 6 macam jenis bau kepada kelompok uji dan kontrol untuk mengetahui apakah ada gangguan penghidu. sedangkan untuk mengetahui obstruksi nasal, pengambilan data dilakukan menggunakan plat besi yang sudah dimodifikasi untuk mengetahui luas dari uap pernafasan. Hasil: Dari kelompok uji didapatkan 23 orang mengalami penurunan daya penciuman sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan 19 dari 23 orang. Pada uji Chi Square didapat P = 0,054. Pada pemeriksaan obstruksi nasal tidak didapatkan kelainan obstruksi nasal baik kelompok uji maupun kelompok kontrol.
Kesimpulan: Tidak didapatkan pengaruh yang signifikan dari paparan bau menyengat pada daya penciuman dan obstruksi nasal pada pekerja pengecoran logam dikecamatan Ceper.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia memiliki panca indera, dan salah satunya adalah penghidu. Penghidu adalah salah satu fungsi organ hidung (Guyton, 2003), dan merupakan bagian dari nervus cranial yaitu olfaktorius dan memiliki peranan penting pada manusia untuk mengetahui sensasi dari bau tertentu. Disamping itu dengan menghidu dapat mendeteksi adanya bahaya, serta mengetahui adanya makanan (Ship, 1996).
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. QS 16;18
Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 1,4% penduduk mengalami gangguan penghidu (Doty et al, 2006). Di Austria, Switzerland dan Jerman sekitar 80.000 penduduk pertahun ke bagian THT dengan keluhan gangguan penghidu (Hummel et al, 2010).
2
Kemampuan penghidu seseorang dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu Normosmia (kemampuan menghidu normal), Anosmia (hilangnya kemampuan menghidu), Agnosia (tidak dapat menghidu 1 macam odoran), Parsial Anosmia (tidak dapat menghidu beberapa macam odoran), Hiposmia (penurunan kemampuan menghidu baik secara kualitas maupun sensitifitas), Disosmia (persepsi bau yang salah, termasuk parosmia dan phantosmia) dan Presbiosmia (penurunan kualitas penghidu karena faktor usia) (Hummel et al, 2011).
Penurunan kualitas penghidu pada manusia dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu gangguan transpor odoran, gangguan sensoris dan gangguan saraf. Gangguan transpor disebabkan pengurangan odoran yang mencapai epitelium olfaktorius, misalnya pada inflamasi kronik dihidung. Gangguan sensoris disebabkan kerusakan langsung pada neuroepitelium olfaktorius, misalnya pada infeksi saluran nafas atas, atau polusi udara toksik. Gangguan saraf disebabkan kerusakan pada bulbus olfaktorius dan jalur sentral olfaktorius, misalnya pada penyakit neurodegenaratif atau tumor intracranial (Raviv et al, 2006) (Costanzo et al, 2006).
3
mengalami gangguan penciuman. Hutapea (2003) menemukan bahwa pekerja industri pengolahan batu kapur di Yogyakarta juga mengalami gangguan penghidu karna paparan debu kapur tempat tersebut.
Pada industri pengecoran logam mungkin juga termasuk tempat yang dapat menimbulkan penurunan daya penciuman. Dalam pengecoran logam terdapat beberapa proses, yang pertama adalah proses peleburan semua bahan utama agar mejadi cair kemudian proses penuangan dan proses penyetakan. Dalam proses peleburan ini terdapat beberapa bahan utama seperti besi, tembaga, alumunium dan plastik yang dididihkan sampai menjadi cairan secara bersamaan. Efek samping dari proses inilah yang dapat menimbulkan bau menyengat karena gas seperti karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO4), dioxin dan forin. Setelah cetakan dingin dilakukan penghalusan hasil cetakan dengan cara menggesekan pada logam tertentu yang berputar kencang. Hasil dari gesekan kedua logam ini juga menimbulkan bau menyengat seperti ban kendaraan yang mengerem pada aspal.
Atas dasar tersebut diatas, peneliti ingin meneliti apakah pada pekerja pengecoran logam juga berpotensi terjadi gangguan penciuman dan obstruksi nasal.
B. RUMUSAN MASALAH
4
C. TUJUAN PENELITIAN a. Tujuan umum :
Untuk mengetahui pengaruh paparan bau menyengat pada daya penciuman dan kejadian obstruksi nasal pada pekerja pengecoran logam
b. Tujuan khusus :
Untuk mengetahui apakah paparan bau menyengat dapat
menurunkan daya penciuman pada pekerja pengecoran logam. Untuk mengetahui apakah paparan bau menyengat dapat
menyebabkan obstruksi nasal.
D. MANFAAT PENELITIAN
a. Manfaat bagi instansi terkait
Dapat memberikan informasi bagi pemilik maupun pekerja perusahaan dalam rangka mencegah gangguan penciuman dan obstruksi nasal akibat bau nyengat pengecoran logam
b. Manfaat bagi masyarakat
Menambah wawasan masyarakat akan dampak dan bahaya paparan bau menyengat pada pengecoran logam
c. Manfaat bagi peneliti
Menambah pengetahuan dan pengalaman nyata tentang daya penciuman dan tingkat obstruksi nasal
5
Dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya dengan tema yang terkait
E. KEASLIAN PENELITIAN
Penelitian tentang daya penciuman juga dilakukan peneliti berikut :
a. Penelitian oleh Mahda Adil Aufa pada tahun 2010 yang berjudul Pengaruh Paparan Uap Bensin Terhadap Gangguan Penghidu pada Pekerja SPBU. Penelitian dilakukan untuk mengetahui efek paparan uap bensin di SPBU dengan melakukan sniffin’ sticks testmenggunanakan 6 zat penghidu berbeda pada 2 kelompok, yaitu kelompok I berisi 20 pegawai SPBU dan kelompok II berisi 20 orang mahasiswa UMY sebagai kelompok kontrol. Ditemukan bahwa pada kelompok I terdapat 15 orang (37,5%) dan 4 orang pada kelompok II (10%) yang mengalami penurunan daya penciuman. Sehingga terdapat perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok.
b. Penelitian oleh Nurul Endah Ardianti ,dkk pada 2012 dengan judul Gambaran Fungsi Penghidu dengan Sniffin’ Sticks pada Pasien
Rinitis Alergi (RA). Penelitian dilakukan untuk mengetahui rerata nilai ambang, diskriminasi dan identifikasi (ADI) pada pasien RA intermiten dan persisten. Didapatkan perbedaan tidak bermakna pada ADI pasien RA intermiten maupun persisten dan sebanyak 45% dari seluruh pasien percontohan RA mengalami gangguan penghidu. c. Penelitian oleh Hasma Idris Nohong ,dkk pada tahun 2014 dengan
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi dan Fisiologi Penciuman
Beberapa bagian utama hidung yang terlibat dalam fungsi penghidu adalah neuroepitel olfaktorius, bulbus olfaktorius dan korteks olfaktorius. Neuroepitel olfaktorius terletak dibagian atap rongga hidung dan karna itu tidak terkena aliran udara nafas secara langsung (Delank KW, 1994). Neoroepitel olfaktorius merupakan epitel kolumnar berlapis semu yang berwarna kecoklatan, warna ini disebabkan pigmen granul pada sitoplasma kompleks golgi (allanger JJ, 2002).
Sel di neuroepitel olfaktorius ini terdiri dari sel pendukung yang merupakan reseptor olfaktorius. Terdapat sekitar 20 – 30 miliar sel reseptor. Pada ujung masing masing dendrit terdapat olfaktor rod dan ujungnya terdapat silia. Silia akan terproyeksi kedalam mukus hidung dan melapisi permukaan dalam rongga hidung. Dalam neuroepitel juga terdapat sel penunjang atau sel sustentakuler yang memiliki fungsi pembatas antara sel reseptor, mengatur komposisi sel lokal mukus dan melindungi sel olfaktorius dari kerusakan akibat benda asing (Doty et al, 2006).
monofosfat. Adenosin monofosfat yang banyak ini kemudian menjadi adenosin monofosfat siklik (cAMp) dan akhirnya mengaktifkan gerbang kanal ion natrium. Ini menyebabkan mengalirnya ion natrium dan menghasilkan potensial listrik sehingga merangsang neuron olfaktorius menjalarkan potensial aksi ke saraf pusat melalui nervus olfaktorius (Guyton & Hall, 2006).
Bulbus olfaktorius berada didasar fossa anterior dari lobus frontal. Bulbus olfaktorius adalah bagian yang menonjol dari otak (telensefalon). Merupakan tempat dari sinaps atau dendrite sel mitral yang rumit, sel tufted dan sel granular. Jadi, sel olfaktorius bipolar adalah neuron pertama dalam system penciuman, sel mitral dan sel tufted dari bulbus olfaktorius mewakili neuron kedua. Akson dari neuron-neuron ini membangun traktus olfaktorius, yang pada tiap sisi terletak lateral dari girus rekti di atas sulkus olfaktorius (Ganong, 2001).
Korteks olfaktorius adalah tempat terakhir dari proses penciuman, terbagai sebagai korteks frontal yang merupakan pusat persepsi dari penciuman (Ballanger, 2002). Hipotalamus dan amygdala menjadi pusat emosional dari odoran. Enthorinal merupakan pusat memori dari odoran.
2. Gangguan Penciuman
Indera penghidu merupakan fungsi dari nervus olfaktorius, sangat erat hubungannya dengan nervus trigeminus karena keduanya sering bekerja bersama. Sensitivitas sensor olfaktori juga dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Pada wanita lebih tajam secara virtual daripada pria di semua aspek. Belum ada penjelasan yang pasti tentang hal tersebut, namun karna faktor hormonal adalah isu yang paling banyak diperdebatkan. Macam gangguan penciuman adalah anosmia, agnosia, parsial anosmia, hiposmia, disosmia dan presbiosmia (Hummel et al, 2011).
Anosmia merupakan hilangnya kemampuan menghidu secara keseluruhan. Hal ini dapat timbul akibat trauma didaerah frontal atau oksipital. Selain itu anosmia dapat juga terjadi setelah infeksi oleh virus, tumor seperti osteoma, atau meningioma dan akibat proses degenerasi pada orang tua (Endang, 1990).
Agnosia adalah tidak mampuan untuk menghidu satu macam odoran. Dimisalkan pada satu odoran yang spesifik pada pemeriksaan daya penghidu sederhana. Parsial anosmia yaitu ketidakmampuan menghidu beberapa odoran tertentu.
Hiposmia adalah penurunan kemampuan menghidu, baik berupa sensitifitas maupun kualitas penghidu. Keadaan ini merupakan kasus yang paling sering terjadi. Dapat disebabkan oleh rinitis alergi, rinitis vasomotor, rinitis atrofi, hipertrofi konka, deviasi septum, polip dan tumor.
odoran yang berbeda dan kadang tak terdefinisi baunya. Dengan jenis dan odor yang sama, penderita parosmia tidak mengalami aroma harum mawar, namun hanya bau yang samar (Hummel, 2011).
Presbiosmia adalah gangguan penghidu dikarenakan faktor umur. Pada penelitian Hummel, dkk (1997) dengan pengujian sniffin’ sticks test mendapatkan nilai ambang daya penciuman pada umur 55 tahun mulai mengalami penurunan yang berarti.
3. Obstruksi Nasal
Obstruksi nasal adalah gangguan yang menimbulkan penyumbatan pada saluran pernapasan bagian atas. Penyebab tersering adalah trauma dan inflamasi, baik dari virus maupun bakteri, pada saluran nafas atas. Macam penyakit yang menyebabkan obstruksi nasal seperti polip hidung, deviasi septum dan hematom (Endang & Retno, 1990).
Polip hidung sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom dan predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein terjadi karna perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang bertubulensi sehingga menyebabkan prolaps submukosa yang diikuti repitalisasi dan pembentukan kelenjar baru. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab dan timbulah polip. Secara makroskopik polid merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin berbentuk lonjong dan tidak sensitif. Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari komplek ostio-meatal di meatus medius dan sinus etmoid (Endang & Retno, 1990).
bagian bawah kartilago septum ke luar dari kristamaksila dan masuk ke rongga hidung, (3) penonjolan tulang rawan septum, (4) deviasi bertemu dan melekat dengan konka. Keluhan utama pada deviasi septum adalah sumbatan hidung. Kadang kadang juga menyebabkan rasa nyeri dikepala dan daerah sekitar mata (Nuty & Endang, 1990).
Hematoma septum diakibatkan oleh trauma dan menyebabkan pembuluh darah submukosa pecah sehingga darah akan berkumpul di antara perikondrium dan tulang rawan septum hingga membentuk hematoma pada septum. Gejala yang sering adalah saumbatan hidung dan rasa nyeri. Pengobatan harus segera dilakukan pada kasus ini karna dapat menyebabkan nekrosis tulang rawan.
4. Diagnosis Gangguan Penciuman a. Anamnesis
Lebih dari 50% kasus hanya dengan anamnesis, diagnosis suatu penyakit bisa ditegakkan. Ditanyakan lama keluhan, apakah dirasakan terus menerus atau hilang timbul dan apakah unilateral. Riwayat trauma kepala, penyakit sinonasal, dan infeksi saluran nafas atas, kebiasaan sehari hari dan semua faktor yang bisa menyebabkan gangguan fungsi penciuman.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior untuk melihat apakah ada kelainan anatomik yang menyebabkan sumbatan hidung, perubahan mukosa hidungm tanda tanda infeksi dan tumor.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menyingkirkan kelainan intracranial dan evaluasi kondisi anatomis dari hidung. Pemeriksaan tomografi komputer merupakan pemeriksaan yang paling berguan untuk memperlihatkan adanuya massa, penebalan ataupun sumbatan pada celah olfaktorius. Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif pada jaringan lunak.
d. Pemeriksaan kemosensoris penghidu
Merupakan pemeriksaan dengan pemaparan odoran tertentu untuk merangsang sistem penghidu. Ada beberapa jenis pemeriksaan yang sudah dipublikasikan secara luas, seperti tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell Identifiacation), tes the Connecticut Chemosensory Clinical Research Center (CCCRC), tes Sniffin’ Sticks, tes Stick Identification Test for Japanese (OSIT-J). Tes Sniffin’ Sticks merupakan yang paling sederhana dan sudah banyak dilakukan. Untuk di Indonesia, kita dapat merubah jenis odoran yang familiar dimasyarakat.
5. Pengecoran Logam
Pengecoran logam adalah suatu proses manufaktur yang menggunakan logam cair dan cetakan untuk menghasilkan bentuk yang mendekati bentuk geometri akhir produk jadi. Logam cair akan dituangkan atau ditekan ke dalam cetakan yang memiliki rongga cetak (cavity) sesuai dengan bentuk atau desain yang diinginkan.
menggunakan mesin. Proses peleburan bahan cor logam dilakukan dengan cara dimasukkan pada tungku pembakaran besar secara bersamaan yang kemudian bahan mencapai titik didihnya dan berubah menjadi cair. Bahan cair tersebut kemudian dituangkan ke cetakan yang sudah dibuat sebelumnya kemudian sebagai hasil akhir, logam yang sudah dingin kemudian digerinda untuk menghaluskan sisa sisa cor yang tidak sesuai.
Bahan utama dalam pengecoran logam seperti besi, alumunium, tembaga dan plastik. Pada pembakaran kita ketahui memiliki efek samping berupa zat karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO4), dioxin dan forin di udara. Karbon monoksida sendiri dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan bau menyengat dan sampai keracunan.
6. Hubungan Antara Inhalasi Gas pada Gangguan Penciuman dan Obstruksi Nasal
kuat untuk menekan penyiaran sel penghidu. Kejadian seperti diatas secara berulang dimungkinkan menyebabkan pengurangan kepekaan dari indera penciuman.
Inflamasi yang disebabkan iritan dari debu yang secara tidak langsung terhirup juga dapat menjadi penyebab gangguan penciuman, karna dapat menyebabkan pengeringan mukosa nasal dan menghambat silia olfaktorius terangsang. Inflamasi secara menerus dapat menyebabkan penebalan dinding sel dan meningkatkan massa dari sel tersebut.
B. KERANGKA KONSEP
C. HIPOTESIS
Hipotesis penelitian ini adalah paparan bau menyengat pada pengecoran logam dapat menyebabkan gangguan penciuman dan terjadi obstruksi nasal.
Hidung Normal
Gangguan transpor odoran Pengecoran Logam
Gangguan sensoris Debu, karbon
monoksida, nitrogen oksida, sulfur dioksida,
dioxin, forin.
Gangguan saraf
Hidung Abnormal
BAB III
METODE PENELITIAN
A. DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode potong lintang (cross sectional). Metode cross sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmojo, 2012). Subyek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok yaitu pekerja pengecoran logam sebagai kelompok I dan masyarakat kecamatan Ceper sebagai kelompok II. Pada kedua kelompok akan dilakukan pengukuran daya penghidu dan tingkat obstruksi nasalnya.
B. POPULASI DAN SAMPEL 1. Populasi :
Populasi dalam penelitian ini adalah laki laki dalam usia produktif (18 - 45 tahun) yang bekerja pada industri pengecoran logam dan masyarakat Kecamatan Ceper.
2. Sampel :
Sampel adalah bagian dari populasi yang diharapakan dapat mewakili populasi (Riyanto, 2011). Sampel dalam penelitian ini adalah pekerja dipengecoran logam dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Jumlah sampel ditentukan dari perhitungan uji hipotesis 2 proporsi yaitu :
n = jumlah sampel
α = 5% , merupakan angka untuk tingkat kesalahan tipe I zα = 1,64 , karna merupakan penelitian satu arah
β = 20% , angkatingkat kesalahan tipe II
power = (1 – β) = 80% , maka penelitian ini memiliki peluang 80% untuk mendeteksi insidensi presbiakusis.
p2 = 2% , didapat dari kepustakaan
(p1 – p2)= beda klinis yang dianggap penting
Sehingga didapat:
√ √
n1 = n2 = 23
Dari perhitungan diatas didapatkan sampel masing masing kelompok adalah 23.
1) Kriteria Inklusi kelompok terpapar :
i. Jenis kelamin laki laki yang telah bekerja 2 tahun ii. Umur pada usia produktif ( 18 – 55 tahun)
iii. Tidak menggunakan obat tetes hidung 1 bulan terakhir iv. Setuju mengikuti penelitian
ii. Setuju mengikuti penelitian 3) Kriteria Eksklusi :
i. Penderita Rinitis Alergi
ii. Terdapat riwayat trauma kepala dan hidung iii. Terdapat riwayat operasi hidung
iv. Penderita alergi
v. Penderita gangguan sistem saraf pusat vi. Penderita tumor hidung
C. VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL 1. Variabel bebas : Paparan bau menyengat.
2. Variabel tergantung : Gangguan daya penciuman dan obstruksi nasal. Definisi Operasional :
a) Bau menyengat :
Suatu sensasi dari daya penciuman yang menyebabkan rasa tidak nyaman. b) Gangguan daya penciuman :
Kemampuan penghidu seseorang dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu Normosmia (kemampuan menghidu normal), Anosmia (hilangnya kemampuan menghidu), Agnosia (tidak dapat menghidu 1 macam odoran), Parsial Anosmia (tidak dapat menghidu beberapa macam odoran), Hiposmia (penurunan kemampuan menghidu baik secara kualitas maupun sensitifitas), Disosmia (persepsi bau yang salah, termasuk parosmia dan phantosmia) dan Presbiosmia (penurunan kualitas penghidu karena faktor usia).
Obstruksi nasal adalah gangguan yang menimbulkan penyumbatan pada saluran pernapasan bagian atas. Penyebab tersering adalah trauma dan inflamasi, baik dari virus maupun bakteri, pada saluran nafas atas. Pada orang normal akan menyebabkan uap ≥ 2cm pada plat uji.
D. LOKASI DAN JADWAL PENELITIAN
Penelitain ini dilakukan disalah satu industri pengecoran logam dikecamatan Ceper. Pelaksanaan penelitian berkisar bulan Desember 2015 sampai Februari 2016.
E. INSTRUMEN PENELITIAN Penutup mata
Tabung reaksi Pipet
Sarung tangan bebas bau
Zat volatile (6 macam odoran) Kuesioner
Plat pengukuran tingkat obstruksi nasal
F. JALANNYA PENELITIAN
Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap yaitu : a) Tahap persiapan :
i. Melakukan pengurusan dan pengajuan proposal ke Fakultas Kedokteran
iii. Mengurus surat perizinan dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ke bagian industri pengecoran logam.
b) Tahap operasional :
i. Melakukan tes penghidu dan obstruksi nasal dibeberapa industri pengecoran logam
ii. Melakukan pengumpulan data dari hasil penelitian c) Tahap penyelesaian :
Data yang telah diperoleh kemudian dianalis secara computerizede dengan bantuan software SPSS, penyusunan karya tulis ilmiah dilanjutkan dengan pendadaran.
G. CARA KERJA
Pada pemeriksaan tingkat obstruksi nasal, subjek diminta bernafas biasa dengan plat besi diletakkan dibawah hidungnya sekitar 3cm untuk mengetahui luas uap dari hasil pernapasan tersebut.
H. ANALISIS DATA
Dimulai dengan perhitungan skor instrumen penelitian yang nantinya akan digunakan untuk perhitungan statistik. Data yang diperoleh dianalis menggunakan Chi Square.
I. ETIKA PENELITIAN
Dalam penelitian ini, peneliti telah mempertimbangkan prinsip-prinsip etika dalam penelitian antara lain:
a. Ethical clearance
Penelitian ini telah mengajukan permohonan pengujian etik kepada Komite Etik Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
b. Perizinan
Penelitian dilakukan atas izin yang diajukan oleh peneliti kepada pihak terkait.
c. Anonymity (tanpa nama)
Anonimity merupakan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden.
24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Pengambilan data dilakukan di desa Tegalrejo RT 1 RW 6 kecamatan Ceper kabupaten Klaten berkisar pada Januari - Februari 2016. Selama penelitian didapatkan sampel sebanyak total 46 data dimana 23 menjadi kelompok uji dan 23 menjadi kelompok kontrol. Kriteria uji adalah orang yang bekerja di pabrik pengecoran logam sedangkan kriteria kontrol adalah warga sekitar pabrik untuk homogenitas penelitian. Pengambilan data dilakukan dalam tiga tahap pada beberapa pabrik yang berbeda.
1. Karakteristik Subjek Penelitian a. Umur Subjek Penelitian
Dari data didapatkan bahwa umur subjek termuda adalah 18 tahun sedang tertua adalah 57 tahun. Rata-rata umur subjek adalah 29,85 tahun. Standard deviation ± 11,262 . Umur dibagi dalam 3 kategori yaitu <30 tahun, 31-50 tahun dan >50 tahun.
Tabel 4.1 Umur Responden Umur Kelompok Uji Kelompok Kontrol
TOTAL
N % N %
<30 8 34,7826 17 73,913043 25 31-50 12 52,17391 4 17,391304 16 >50 3 13,04348 2 8,6956522 5
25
Dari data tabel distribusi umur terhadap kelompok tersebut kemudian dilakukan uji normalitas secara analitis menggunakan Uji Shapiro-Wilk karna jumlah data kurang dari 50. Pada kelompok uji didapatkan nilai P = 0,163 karena P > 0,05 sehingga dapat disimpulkan distribusi data normal, maka data bersifat homogen sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan nilai P = 0,00. Karena P < 0,05 maka distribusi data tidak normal, maka data tidak bersifat homogen.
b. Tingkat Pendidikan Subjek
Pada penelitian ini didapatkan data bahwa sebanyak 4 subjek (8,7%) dengan riwayat pendidikan terakhir SD, 6 subjek (13,1%) dengan riwayat pendidikan terakhir SMP, 33 subjek (71,7%) dengan riwayat pendidikan terakhir SMA, 3 subjek (6,5%) dengan riwayat pendidikan terakhir perguruan tinggi.
Tabel 4.2 Tingkat Pendidikan Subjek Pendidikan
Total SD SMP SMA PT
Kelompok
Uji 4 6 13 0 23
Kontrol 0 1 19 3 23
Total 4 7 32 3 46
c. Jenis Kelamin Subjek
26
Tabel 4.3 Jenis Kelamin Subjek
Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan
Kelompok
Uji 23 0 23
Kontrol 17 6 23
Total 40 6 46
d. Analisis Bivariat
Untuk menghitung rasio prevalensi (Prevalence Ratio) maka digunakan tabel 2x2
Tabel 4.4 Analisis Bivariat Fungsi Penghidu Fungsi Penghidu
Total Kasus Abnormal Normal
Kelompok
Uji 23 0 23
Kontrol 19 4 23
Total 42 4 46
Risk exposed (P1) = a / a + b = 23 / 23 = 1 Risk unexposed (P2) = c / c + d = 19 / 23 = 0,82
Nilai P1 dan P2 yang didapat kemudian dilanjutkan dengan perhitungan berikut :
Prevalence Ratio =
27
menyengat pada pengecoran logam merupakan faktor resiko terjadinya gangguan pada daya penciuman.
Tabel 4.5 Analisis Bivariat Obstruksi Nasal
Obstruksi nasal
total kasus abnormal normal
kelompok
Uji 0 23 23
kontrol 0 23 23
Total 0 46 46
Dari data analisis bivariat pemeriksaan obstruksi nasal tidak didapatkan kelainan obstruksi nasal baik kelompok uji maupun kelompok kontrol sehingga dapat disimpulkan paparan bau menyengat pada pengecoran logam bukan faktor resiko terjadinya obstruksi nasal.
B. PEMBAHASAN
Pada penelitian ini subjek yang diteliti 46 orang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok uji pada pekerja pengecoran logam dan kelompok kontrol pada warga sekitar pabrik pengecoran logam. Dari 23 orang pada kelompok uji didapatkan semua responden terjadi penurunan daya penciuman sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan 19 dari 23 orang mengalami penurunan daya penciuman.
28
didapatkan nilai P (1-sided) dari Fisher’s exact test adalah 0,054 sehingga P > 0,05 yang berarti tidak terdapat hubungan antara paparan bau menyengat pengecoran logam dengan gangguan penghidu.
Pada kelompok terpapar maupun tidak terpapar didapatkan terjadi penurunan daya penciuman. Namun dari hasil perhitungan menggunakan chi square didapatkan hasil bahwa penurunan daya penciuman bukan dari paparan bau menyengat karena pada kelompok kontrol juga didapatkan angka penurunan daya penciuman yang tinggi. Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh factor-faktor lain diantaranya kebiasaan merokok (Katotomichelakis et al, 2007), tingkat pengetahuan responden tentang bahan uji ataupun factor idiopatik lainnya.
Pada orang yang merokok didapatkan data bahwa pemeriksaan ambang penghidu, perbedaan odor dan identifikasi odor pada perokok menghasilkan skor yang lebih rendah dibandingkan yang tidak merokok. Perokok mengalami penurunan kemampuan olfaktori hampir sebesar enam kali lipat dibanding yang tidak merokok (Katotomichelakis et al, 2007).
29
dengan rumah sakit. Selain eter, bahan uji lain yang tingkat kesalahannya juga tinggi adalah oleum mentol piperrae (mentol) dan vanilla. Hal ini terbukti saat responden cenderung memilih jawaban yang berhubungan dengan makanan seperti permen maupun agar-agar. Pernyataan diatas menunjukan bahwa responden kemungkinan tidak terbiasa dengan istilah mentol maupun vanilla.
Faktor idiopatik yang berkorelasi dengan ketidaksignifikanan dari hasil penelitian ini antara lain disebabkan oleh metode penelitian yang digunakan oleh peneliti, yaitu metode cross sectional. Metode ini memiliki kelemahan yaitu tidak dapat mengetahui factor paparan mendahului efek karena penelitian hanya dilakukan pada satu waktu. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Quint et al (2001) didapatkan 45 dari 120 orang yang menjadi responden penelitian tidak diketahui faktor pasti (idiopatik) dari penyebab kerusakan olfaktoriusnya.
Pada pemeriksaan penurunan fungsi penghidu tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada pembagian berdasar kelompok umur pada kedua kelompok. Ini bertentangan dengan penelitian oleh Ship (1996) yang menyatakan bahwa terjadi menurunan daya penghidu pada orang sehat, laki laki pada umur 55 tahun dan perempuan pada umur 75 tahun.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Tidak didapatkan pengaruh antara paparan bau menyengat pada daya penciuman dan tingkat obstruksi nasal pada pekerja pengecoran logam dikecamatan Ceper.
B. SARAN
Pada kelompok kontrol sebaiknya dilakukan pada orang yang sama sekali tidak
terpapar bau menyengat agar didapatkan hasil yang lebih valid.
Pada penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan alat uji yang lebih memadai
seperti Sniffin’s Test Olfactory Screening 12 maupun The University of Pennsylvania SmellIdentificationTest (UPSIT).
Penelitian selanjutnya sebaiknya lebih mendalami latar belakang dari responden
untuk mengetahui apakah bahan penelitian yang akan diujikan benar benar sesuai dengan pengetahuan responden.
Pada penelitian selanjutnya peneliti untuk menambahkan jumlah sampel.
DAFTAR PUSTAKA
Berry, M. Bansister LH, 1995. Standring SM. Nervous System. Dalam Gray’s Anatomy ; Churchill Living Stone, London, 1225
Ganong, William F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta : EGC. Guyton, A.C, John E, Hall.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
Aufa, MA. 2010. Pengaruh Paparan Uap Bensin Terhadap Gangguan Penghidu Pada Petugas SPBU. Skripsi tidak diterbitkan. FKIK UMY
Hariyati, Effy., Budiman, Bestati Jaka. 2010. Gangguan Fungsi Penciuman dan Pemeriksaannya. Skripsi tidak diterbitkan. FK Universitas Andalas Padang.
Admin . 2014. Carbon monoxide poisoning – Symptoms, (online), (http://www.nhs.uk/Conditions/Carbon-monoxide poisoning/Pages/Symptoms.aspx) di akses 8 April 2015).
Saputra, Yoky Edy.2014. KarbonMonoksida dan Dampaknya pada Kesehatan, (online),
(http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/kimia_lingkungan/karbonmonoksida-dan-dampaknya-terhadap-kesehatan/) di akses 10 april 2015).
Admin, 2010. Teknik Pengecoran Logam. (online). (http://logamceper.com/teknik-pengecoran-logam/) di akses 10 April 2015).
Doty RL, Bromley SM,Panganiban WD. 2006. Olfactory function and disfunction. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newland SD, editors. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; P.290-305
Ganong WF. 2001. Smell and Taste. In review of medical physiology. 20th ed. San Fancisco; AW, editors. 2006. Taste and smell. Vol 63. Switzerland; Karger.
Mangunkusumo, Endang. Efiaty AS, Nurbaity NI, Jenny B, Ratna DR, editor. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke 6. Jakarta: balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Hal 136.
Nurrohman, Royani. Harahap, Fachrial. Taufik, Feni Fitriani.(2014).Keluhan Respirasi dan Faal Paru Pekerja yang Terpajan Debu Karbon Hitam Pabrik Tinta. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan. 158-166
DAFTAR LAMPIRAN
Computed only f or a 2x2 table a.
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN
(INFORMED CONCENT)
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama :
Umur :
Alamat :
Pada pe elitia te ta g Pe garuh Papara Bau Me ye gat Pada Daya Pe iu a da Ti gkat O struksi Nasal pada Pekerja Pe ge ora Loga di Ke a ata Ceper ya g aka dilakuka pe eriksaa
penciuman dan obstruksi nasal dengan 6 macam zat dengan cara bahan pembauan di dekatkan ke salah satu hidung 1cm kemudian tarik nafas, setelah itu diminta menyebutkan apakah ada bau, bila ya sebutkan jenis bau nya, dilakukan 2-3 kali bila hasilnya meragukan, dengan jarak waktu 1 menit, kemudian dilakukan dengan hal yang sama pada lubang hidung sebelahnya.
Setelah mendengar penjelasan dari Sofyan Raharjo dan diberikan kesempatan untuk bertanya maka dengan ini menyatakan setuju untuk dilakukan penelitian pada diri saya. Pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya, dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan apapun.
Klaten, 2016
Peneliti Yang menyatakan
FORMULIR SELEKSI SUBYEK PADA PENELITIAN PENGARUH PAPARAN BAU MENYENGAT PADA DAYA PENCIUMAN DAN TINGKAT OBSTRUKSI NASAL PADA
PEKERJA PENGECORAN LOGAM DIKECAMATAN CEPER
I. IDENTITAS
1. No. Penelitian :
2. Nama Subyek :
3. Umur Subyek :
4. Pendidikan :
5. Jenis Kelamin :
6. Alamat Subyek :
II. DATA PEKERJAAN
1. Jenis Pekerjaan :
2. Mulai Berkerja : Lama Bekerja : tahun
Keterangan
Ya TidakKeluhan Hidung Tersumbat :
1. lama keluhan >7 hari
2. Tersumbat terus menerus
3. Ingus encer
4. Bersih <5x / hari
Keluhan berhubungan dengan debu
Keluhan penghidu sudah ada sebelum bekerja
Pemakaian obat tetes/semprot <1 bulan terakhir
Pernah menderita trauma kepala
Pernah menderita trauma hidung
Pernah di operasi hidung
Menderita gangguan syaraf
DAFTAR KUESIONER JENIS BAU
Nama :
Nomer Penelitian :
1. Jenis bau yang dihidu pada tabung 1 adalah
a) Kapur barus
b) Wangi
c) Kamfer
d) Kembang gula
e) Diluar yang disebut di atas (sebutkan) ...
f) Tidak tahu baunya
2. Jenis bau yang dihidu pada tabung 2 adalah
a) Karet
b) Sulfur
c) Kentut
d) Busuk
e) Diluar yang disebut di atas (sebutkan) ...
f) Tidak tahu baunya
3. Jenis bau yang dihidu pada tabung 1 adalah
a) Vanili
b) Frambus
c) Wangi
d) Agar – agar
e) Diluar yang disebut di atas (sebutkan) ...
f) Tidak tahu baunya
a) Mentol
b) Semriwing
c) Permen
d) Balsam
e) Diluar yang disebut di atas (sebutkan) ...
f) Tidak tahu baunya
5. Jenis bau yang dihidu pada tabung 1 adalah
a) Spritus
b) Obat bius
c) Sengak
d) Semriwing
e) Diluar yang disebut di atas (sebutkan) ...
f) Tidak tahu baunya
6. Jenis bau yang dihidu pada tabung 1 adala
a) Merica
b) Lombok
c) Bawang
d) Jahe
e) Diluar yang disebut di atas (sebutkan) ...
Determine The Effect Of Pungent Smell Exposure Toward Sense Of Smell And Nasal Obstruction Level In Metal Foundry Workers In The Ceper District
Pengaruh Paparan Bau Menyengat Pada Daya Penciuman Dan Tingkat Obstruksi Nasal Pada Pekerja Pengecoran Logam Dikecamatan Ceper
Sofyan Raharjo Sugiarto1, dr. H. Adnan Abdullah, Sp.THT-KL, M.Kes.2
1
Mahasiswa pendidikan dokter FKIK UMY
2
Bagian THT FKIK UMY
Abstract
Background: The reduction of quality in human smelling ability can occur due to odorants interference, sensory disorders and neurological disorders. The common causes of smell disorders are nasal obstruction and exposure to toxic substances continuously. In the United States estimated 1.4% suffering smell ability impairment. In Austria, Switzerland and Germany about 80,000 people annually to the ENT with complaints of smell disorders.
Objective: To determine the effect of pungent smell exposure toward sense of smell and nasal obstruction level in metal foundry workers in the Ceper district. Methods: This study was conducted cross sectional, 23 metal foundry workers as a test group and 23 Ceper districts resident as a control group. The analysis is a bivariate analysis using chi square test. Data collection is done by giving six kinds of smell to the test group and the control to determine whether there is interference smell. whereas to determine the nasal obstruction, data retrieval is done using a steel plate that has been modified to measure the extent of steam exhalation.
Results: From test group obtained 23 people suffer decreased sense of smell, while the control group gained 19 of the 23 people. On nasal obstruction examination, there is no nasal obstruction abnormalities from both the test group and the control group.
Conclusions: There were no significant effect of exposure to pungent smell towards the sense of smell and nasal obstruction on metal foundry workers in the Ceper district.
Keywords: sense of smell, the pungent smell, nasal obstruction, impaired smell
Intisari
penghidu. Di Austria, Switzerland dan Jerman sekitar 80.000 penduduk pertahun ke bagian THT dengan keluhan gangguan penghidu.
Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh paparan bau menyengat pada daya penciuman dan tingkat obstruksi nasal pada pekerja pengecoran logam dikecamatan Ceper.
Metode: Penelitian ini dilakukan secara cross sectional pada 23 pekerja pengecoran logam sebagai kelompok uji dan 23 warga kecamatan ceper sebagai kelompok kontrol. Analisis yang digunakan adalah analisis bivariat dengan uji chi square.pengambilan data dilakukan dengan cara memberikan 6 macam jenis bau kepada kelompok uji dan kontrol untuk mengetahui apakah ada gangguan penghidu. sedangkan untuk mengetahui obstruksi nasal, pengambilan data dilakukan menggunakan plat besi yang sudah dimodifikasi untuk mengetahui luas dari uap pernafasan.
Hasil: Dari kelompok uji didapatkan 23 orang mengalami penurunan daya penciuman sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan 19 dari 23 orang. Pada pemeriksaan obstruksi nasal tidak didapatkan kelainan obstruksi nasal baik kelompok uji maupun kelompok kontrol.
Kesimpulan: Tidak didapatkan pengaruh yang signifikan dari paparan bau menyengat pada daya penciuman dan obstruksi nasal pada pekerja pengecoran logam dikecamatan Ceper.
Kata kunci: daya penciuman, bau menyengat, obstruksi nasal, gangguan penghidu
Pendahuluan
Manusia memiliki panca indera, dan salah satunya adalah penghidu. Penghidu adalah salah satu fungsi organ hidung (Guyton, 2003), dan merupakan bagian dari nervus cranial yaitu olfaktorius dan
Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 1,4% penduduk mengalami gangguan penghidu ( Doty et al, 2006). Di Austria, Switzerland dan Jerman sekitar 80.000 penduduk pertahun ke bagian THT dengan keluhan gangguan
Penurunan kualitas penghidu pada manusia dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu gangguan transpor odoran, gangguan sensoris dan gangguan saraf. Gangguan transpor disebabkan pengurangan odoran yang mencapai epitelium olfaktorius, misalnya pada inflamasi kronik dihidung. Gangguan sensoris disebabkan kerusakan langsung pada neuroepitelium olfaktorius, misalnya pada infeksi saluran nafas atas, atau polusi udara toksik. Gangguan saraf disebabkan kerusakan pada bulbus olfaktorius dan jalur sentral olfaktorius, misalnya pada penyakit
neurodegenaratif atau tumor intracranial (Raviv et al, 2006) (Costanzo et al, 2006).
Pada industri pengecoran logam mungkin juga termasuk tempat yang dapat menimbulkan penurunan daya penciuman. Dalam pengecoran logam terdapat beberapa proses, yang pertama adalah proses peleburan semua bahan utama agar mejadi cair kemudian proses penuangan dan proses penyetakan. Dalam proses peleburan ini terdapat beberapa bahan utama seperti besi, tembaga, alumunium dan plastik yang dididihkan sampai menjadi cairan secara bersamaan. Efek samping dari proses inilah yang dapat menimbulkan bau menyengat karena gas seperti karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO4), dioxin dan forin. Setelah cetakan dingin dilakukan penghalusan hasil cetakan dengan cara menggesekan pada logam tertentu yang berputar kencang. Hasil
dari gesekan kedua logam ini juga menimbulkan bau menyengat seperti ban kendaraan yang mengerem pada aspal.
Bahan dan Cara
Tabel 4.1 Umur Responden
Umur Kelompok Uji Kelompok Kontrol
TOTAL
Subjek yang memenuhi kriteria inkulusi dan eksklusi kemudian dilakukan informed consent untuk mencari variabel penelitian. Pemeriksaan daya penghidu dan tingkat obstruksi nasal dilakukan diruangan yang bebas bau menggunakan standarisasi 6 jenis zat pembau oleh Sianipar B. Zat yang dimaksud adalah camphora (kapur barus), capcaisin (pedas), carbon disulfida (busuk), vanila (wangi), oleum mentol piperrae (mentol) dan eter (sengak). Semua zat tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung dengan penomoran. Pemaparan bau dari tabung ke hidung berjarak 1 cm sembari subjek bernafas biasa (respirasi 20x/menit)
dan dalam keadaan memakai penutup mata. Dilakukan bergantian pada lubang hidung kiri dan kanan dengan cara salah satu hidung yang tidak diperiksa ditutup. Dapat diulangi 2 sampai 3x dengan interval 1 menit. Setelah menghidu subjek diminta menyebutkan apakah ada bau, bila ya kemudian dilanjutkan dengan mengisi kuesioner.
Pada pemeriksaan tingkat obstruksi nasal, subjek diminta bernafas biasa dengan plat besi diletakkan dibawah hidungnya sekitar 3cm untuk mengetahui luas uap dari hasil pernapasan tersebut. Hasil Penelitian
Tabel 4.2 Tingkat Pendidikan Subjek
kecamatan Ceper kabupaten Klaten berkisar pada Januari - Februari 2016. Selama penelitian didapatkan sampel sebanyak total 46 data dimana 23 menjadi kelompok uji dan 23 menjadi kelompok kontrol. Kriteria uji adalah orang yang bekerja di pabrik pengecoran logam sedangkan kriteria kontrol adalah warga sekitar pabrik untuk homogenitas penelitian. Pengambilan data dilakukan dalam tiga tahap pada beberapa pabrik yang berbeda.
1. Karakteristik Subjek Penelitian
a. Umur Subjek Penelitian Dari data didapatkan bahwa umur subjek termuda adalah 18 tahun sedang tertua adalah
57 tahun. Rata-rata umur subjek adalah 29,85 tahun. Standard deviation ± 11,262 . Umur dibagi dalam 3 kategori yaitu <30 tahun, 31-50 tahun dan >50 tahun.
Tabel 4.3 Jenis Kelamin
Tabel 4.4 Analisis Bivariat Fungsi Penghidu
Fungsi Penghidu Total
pada kelompok kontrol didapatkan nilai P = 0,00. Karena P < 0,05 maka distribusi data tidak normal, maka data tidak bersifat homogen.
a. Tingkat Pendidikan Subjek
Pada penelitian ini didapatkan data bahwa sebanyak 4 subjek (8,7%) dengan riwayat pendidikan terakhir SD, 6 subjek (13,1%) dengan riwayat pendidikan terakhir SMP, 33 subjek
b. Jenis Kelamin Subjek Dari data penelitian didapatkan 40 subjek berjenis kelamin laki laki dan 6 subjek berjenis kelamin perempuan. c. Analisis Bivariat
Tabel 4.5 Analisis Bivariat Obstruksi Nasal
Nilai P1 dan P2 yang didapat kemudian dilanjutkan dengan perhitungan berikut : 1 maka variabel yang diduga sebagai faktor resiko merupakan penyebab suatu penyakit. Dapat disimpulkan bahwa paparan bau menyengat pada pengecoran logam merupakan faktor resiko terjadinya gangguan pada daya penciuman.
Dari data analisis bivariat
pemeriksaan obstruksi nasal tidak didapatkan kelainan obstruksi nasal baik kelompok uji maupun kelompok kontrol sehingga dapat disimpulkan paparan bau menyengat pada pengecoran logam bukan faktor resiko terjadinya obstruksi nasal. Diskusi
penciuman.
Dalam penghitungan rasio prevalensi didapatkan P = 1,19 terdapat hubungan antara paparan bau menyengat pengecoran logam dengan gangguan penghidu.
Pada kelompok terpapar maupun tidak terpapar didapatkan terjadi penurunan daya penciuman. Namun dari hasil perhitungan menggunakan chi square didapatkan hasil bahwa penurunan daya penciuman bukan dari paparan bau menyengat karena pada kelompok kontrol juga didapatkan angka penurunan daya penciuman yang tinggi. Hal ini
mungkin dapat disebabkan oleh factor-faktor lain diantaranya
kebiasaan merokok
(Katotomichelakis et al, 2007), tingkat pengetahuan responden tentang bahan uji ataupun factor idiopatik lainnya.
Pada orang yang merokok didapatkan data bahwa pemeriksaan ambang penghidu, perbedaan odor dan identifikasi odor pada perokok menghasilkan skor yang lebih rendah dibandingkan yang tidak merokok. Perokok mengalami penurunan kemampuan olfaktori hampir sebesar enam kali lipat dibanding yang tidak merokok (Katotomichelakis et al, 2007).
mengujikan salah satu bahan uji yaitu bau eter (sengak), hampir semua responden mengatakan bahwa mereka merasakan sensasi bau rumah sakit. Hal ini mungkin disebabkan oleh tidak pernah terpaparnya responden tehadap bau eter dikeseharian kecuali saat di rumah sakit. Sehingga responden cenderung menjawab pilihan yang berhubungan dengan rumah sakit. Selain eter, bahan uji lain yang tingkat kesalahannya juga tinggi adalah oleum mentol piperrae (mentol) dan vanilla. Hal ini terbukti saat responden cenderung memilih jawaban yang berhubungan dengan makanan seperti permen maupun agar-agar. Pernyataan diatas menunjukan bahwa responden kemungkinan tidak terbiasa dengan istilah mentol maupun vanilla.
Faktor idiopatik yang berkorelasi dengan ketidaksignifikanan dari hasil penelitian ini antara lain disebabkan oleh metode penelitian yang digunakan oleh peneliti, yaitu metode cross sectional. Metode ini memiliki kelemahan yaitu tidak dapat mengetahui factor paparan mendahului efek karena penelitian hanya dilakukan pada satu waktu. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Quint et al (2001) didapatkan 45 dari 120 orang yang menjadi responden penelitian tidak diketahui faktor pasti (idiopatik) dari penyebab kerusakan olfaktoriusnya.
terjadi menurunan daya penghidu pada orang sehat, laki laki pada umur 55 tahun dan perempuan pada umur 75 tahun.
Pada pengujian tingkat obstruksi nasal diperoleh hasil bahwa tidak ditemukan kejadian obstruksi nasal pada semua responden baik kelompok uji maupun kelompok kontrol. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa bau menyengat pada pengecoran logam tidak sampai menyebabkan obstruksi nasal.
Kesimpulan
Tidak didapatkan pengaruh antara paparan bau menyengat pada daya penciuman dan tingkat obstruksi nasal pada pekerja pengecoran logam dikecamatan Ceper.
Saran
Pada kelompok kontrol
sebaiknya dilakukan pada
orang yang sama sekali tidak terpapar bau menyengat agar didapatkan hasil yang lebih valid.
Pada penelitian selanjutnya
sebaiknya menggunakan alat uji yang lebih memadai seperti
Sniffin’s Test Olfactory
Screening 12 maupun UPSIT.
Peneliti sebaiknya lebih
mendalami latar belakang dari responden untuk mengetahui apakah bahan penelitian yang akan diujikan benar benar sesuai dengan pengetahuan responden.
Pada penelitian selanjutnya
peneliti untuk menambahkan jumlah sampel.
Menambahkan merokok
Daftar Pustaka
Berry, M. Bansister LH, 1995. Standring SM. Nervous System. Dalam Gray’s Anatomy ; Churchill Living Stone, London, 1225
Ganong, William F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta : EGC.
Guyton, A.C, John E, Hall.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC. Aufa, MA. 2010. Pengaruh Paparan
Uap Bensin Terhadap Gangguan Penghidu Pada Petugas SPBU. Skripsi tidak diterbitkan. FKIK UMY
Hariyati, Effy., Budiman, Bestati Jaka. 2010. Gangguan Fungsi
Penciuman dan
Pemeriksaannya. Skripsi tidak diterbitkan. FK Universitas Andalas Padang. Saputra, Yoky Edy.2014.
KarbonMonoksida dan
Dampaknya pada Kesehatan, (online),
(http://www.chem-is-Admin, 2010. Teknik Pengecoran
Logam. (online).
(http://logamceper.com/teknik-pengecoran-logam/) di akses 10 April 2015).
Doty RL, Bromley SM,Panganiban WD. Olfactory function and disfunction. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newland SD, editors. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2006. P.290-305
Ganong WF. Smell and Taste. In review of medical physiology. 20th ed. San Fancisco; Medical Publishing Division; 2001. 340-7
Ballenger JJ. Hidung dan Sinus Paranasal. Dalam: Ballanger JJ, alih bahasa FKUI. Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Jilid 1. Jakarta: Bina Rupa Aksara; 2002. Hal 1-27
Mangunkusumo, Endang. Gangguan Penghidu. Efiaty AS, Nurbaity NI, Jenny B, Ratna DR, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok