ANALISA CURAH HUJAN DENGAN METODE HIDROGRAF
SATUAN SINTETIK NAKAYASU TERHADAP
TERJADINYA MIGRASI DEBRIS FLOW
KALI PUTIH GUNUNG MERAPI
Skripsi
diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan
Oleh
Ginanjar Abdunnafi’ NIM. 5101412024
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
ii
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan .(QS. Ar Rahman : 11)
Orang-orang sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yang
harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka
menyukainya atau tidak.
PERSEMBAHAN
Allah SWT dan Nabi Muhammad atas segala nikmat-Nya
Almamater Universitas Negeri Semarang
Balai Sabo Yogyakarta
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat-Nya yang telah melimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikanskripsi denagn judul “Analisa Curah Hujan dengan Metode
Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu terhadap Terjadinya Migrasi Debris Flow
Kali Putih Gunung Merapi”,yang diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Teknik
Bangunan.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan,
bantuan, saran, dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh kareana itu, dengan
segala kerendahan hati dan rasa hormat, penulis menyampaikan terima kasih atas
segala bantuan yang telah diberikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Fatur Rokhman, M.Hum, selaku Rektor Universitas Negeri
Semarang.
2. Bapak Dr. Nur Qudus, M.T, selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas
Negeri Semarang.
3. Ibu Dra. Sri Handayani, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Teknik Sipil dan Ketua
Program Studi Pendidikan Teknik bangunan.
4. Bapak Drs. Lashari, M.T, selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dr. Rini
Kusumawardani, S.T., M.T., M.Sc, selaku dosen pembimbing II yang penuh
perhatian atas perkenaan memberi bimbingan dan dapat dihubungi
sewaktu-waktu disertai kemudahan dalam memberikan bahan dan menunjukkan
sumber-sumber yang relevan dalam membantu penulisan skripsi ini.
5. Bapak Untoro Nugroho, S.T.,M.T, selaku dosen penguji yang telah memberi
masukan yang sangat berharga berupa saran, ralat, perbaikan, pertanyaan,
komentar, tanggapan terhadap kualitas skripsi ini.
6. Dr. Ir. Muhammad Mukhlisin, M.T, selaku peneliti utama di bidang debris
flow.
7. Seluruh dosen di Jurusan Teknik Sipil, yang telah menyalurkan ilmunya
vii
8. Staf Balai Sabo Yogyakarta dan staf Balai Penyelidikan dan Pengembangan
Teknologi Kebencanaan Geologi Yogyakarta yang telah memberi
kesempatan kepada penulis untuk memperoleh data penelitian.
9. Bapak Dul Muntolib, S.T, M.T, dan Ibu Dra. Maemunah yang telah
memberikan dukungan materiil, pengorbanan yang tulus, kesabaran serta
doa restunya yang selalu mengiringi setiap langkah penulis dalam
penyusunan karya ini.
10. Sahabat-sahabatku terbaik dan teman mahasiswa Program Studi Pendidikan
Teknik Bangunan angkatan 2012 yang selalu memberikan motivasi, bantuan
serta saran-saran dalam berbagai hal dan mendoakan penulis sampai
selesainya penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna untuk itu
penulis mohon kritik dan saran untuk penulis supaya bisa lebih baik dalam
membuat laporan di lain kesempatan.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan
sebagai bekal untuk pengembangan di masa mendatang.
viii ABSTRAK
Gunung Merapi merupakan gunung api teraktif di dunia dengan karakteristiknya yang sangat khas. Gunung api ini sewaktu-waktu bisa mengalami fase erupsi sehingga menimbulkan letusan yang hebat. Material hasil erupsi dengan intensitas volume yang besar ini kemudian mengalir masuk ke sungai-sungai di wilayah gunung tersebut. Air adalah salah satu media utama dalam proses angkutan sedimen. Dengan demikian intensitas hujan memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap fenomena migrasi sedimen material hasil erupsi serta besarnya daya rusak yang ditimbulkan. Campuran antara air (air hujan atau air yang lain) dengan sedimen konsentrasi tinggi yang meluncur ke bawah melalui lereng atau dasar alur berkemiringan tinggi disebut aliran debris.
Salah satu cara dalam mendukung upaya peringatan dini bencana aliran debris pada Kali Putih Gunung Merapi yaitu dengan mencari hubungan parameter hujan (terkait durasi hujan dan intensitas hujan penyebab aliran debris) dan parameter yang dominan terhadap kejadian aliran debris dengan lokasi studi di lereng Gunung Merapi. Metode yang digunakan yaitu analisis data primer berupa material dasar sungai dan analisis data sekunder berupa data curah hujan yang disubstitusikan ke dalam Persamaan Takahashi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas hujan maksimum lebih besar dari 36 mm/jam akan menyebabkan terjadinya aliran debris. Parameter lain yang dominan mempengaruhi terjadinya aliran debris dari Persamaan Takahashi adalah kemiringan dasar sungai (�) dan ketinggian air (ho). Pada alur Kali Putih Gunung
Merapi kejadian aliran debris terjadi pada kemiringan dasar minimum 8,5 derajat dan kedalaman air minimum 0,032 m.
.
ix DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
ABSTRAK ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Identifikasi Masalah... 3
1.3 Perumusan Masalah ... 3
1.4 Pembatasan Masalah ... 4
1.5 Tujuan ... 4
1.6 Manfaat ... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI ... 6
2.1 Debris Flow ... 6
2.2 Klasifikasi dan Karakteristik Debris Flow ... 7
2.3 Prediksi Waktu Kejadian Debris Flow ... 8
2.4 Metoda Pengamatan Debris Flow ... 9
2.4.1 Persamaan Takahashi... 9
2.4.2 Penentuan Diameter Endapan Aliran Debris ... 17
2.4.3 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu ... 17
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 22
3.1 Lokasi Penelitian ... 23
x
3.3 Metode Pengumpulan Data... 25
3.3.1 Data Primer ... 25
3.3.2 Data Sekunder ... 25
3.4 Metode Analisis Data ... 26
3.4.1 Analisa Penampang Memanjang Sungai ... 26
3.4.2 Analisa Tanah Dasar Sungai ... 26
3.4.3 Analisa Curah Hujan... 33
3.4.4 Analisa Persamaan Takahashi untuk Kondisi Nyata di Alur Sungai ... 34
3.5 Metode Pendekatan Utama ... 34
3.6 Perumusan Analisa ... 35
3.7 Hipotesis ... 35
3.8 Bagan Pelaksanaan Penelitian ... 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 37
4.2 Analisa Data... 40
4.2.1 Hasil Pemeriksaan Uji Kadar Air Tanah ... 40
4.2.2 Hasil Pemeriksaan Berat Jenis Tanah ... 40
4.2.3 Hasil Pemeriksaan Soil Properties ... 41
4.2.4 Hasil PemeriksaanAnalisa Butiran ... 43
4.2.5 Hasil Analisa Uji Geser Langsung ... 45
4.2.6 Hasil Analisa Penampang Memanjang Sungai ... 46
4.2.7 Hasil Perhitungan Tinggi Air Minimum (Ho) ... 46
4.3 Analisa Curah Hujan... 48
4.3.1 Pemilihan Stasiun ... 48
4.3.2 Pemilihan Data Curah Hujan ... 48
4.3.3 Perhitungan Parameter Curah Hujan ... 51
4.3.4 Menarik Garis Kritik... 53
4.4 Analisa Penggunaan Persamaan Takahashi untuk Kondisi Nyata di Sungai ... 55
xi
4.4.2 Analisa Persamaan Takahashi ... 55
4.4.3 Analisa dalam Bentuk Grafik ... 59
4.5 Pembahasan ... 74
4.5.1 Curah Hujan ... 74
4.5.2 Sensitifitas Persamaan Takahashi ... 78
4.5.3 Penggunaan Persamaan takahashi ... 81
BAB V PENUTUP ... 105
5.1 Kesimpulan ... 105
5.2 Saran ... 106
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Mekanisme terjadinya aliran debris ... 10
Gambar 2.2 Susunan butiran tanah dasar ... 14
Gambar 2.3 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu ... 19
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian terhadap DAS Kali Putih ... 22
Gambar 3.2 Sub DAS Kali Putih bagian hulu... 23
Gambar 3.3 Bagan pelaksanaan penelitian ... 35
Gambar 4.1 Peta endapan piroklasik letusan Gunung Merapi tahun 2010 ... 37
Gambar 4.2.1 Kurva distribusi ukuran butiran PU-D2 titik 1 ... 43
Gambar 4.2.2 Kurva distribusi ukuran butiran PU-D2 titik 2 ... 43
Gambar 4.2.3 Kurva distribusi ukuran butiran PU-D2 titik 3 ... 43
Gambar 4.3 Morfologi Kali Putih ... 45
Gambar 4.4 Perbandingan curah hujan maks/jam dengan curah hujan anteseden ... 52
Gambar 4.5 Perbandingan durasi hujan dengan curah hujan kumulatif . 53 Gambar 4.7 Perbandingan durasi hujan dengan curah hujan maksimum ... 53
Gambar 4.7 Perbandingan curah hujan kumulatif dengan curah hujan maksimum ... 54
Gambar 4.8 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-C10.1 ... 58
Gambar 4.9 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-C10.2 ... 59
Gambar 4.10 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-C10.3 ... 59
Gambar 4.11 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-D1.1 ... 60
Gambar 4.12 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-D1.2 ... 60
Gambar 4.13 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-D1.3 ... 61
Gambar 4.14 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-D2.1 ... 61
Gambar 4.15 Nilai Persamaan Takahashi pada titik PU-D2.2 ... 62
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Jumlah desa rawan terkena banjir lahar ... 38
Tabel 4.2 Daerah terkena dampak banjir lahar DAS Kali Putih ... 38
Tabel 4.3 Hasil perhitungan kadar air tanah ... 39
Tabel 4.4 Hasil perhitungan berat jenis tanah ... 40
Tabel 4.5 Nilai γb, γd , γs, γsat ... 41
Tabel 4.6 Hasil nilai perhitungan Sr, n, e, Dr, Rc ... 41
Tabel 4.7 Sistem klasifikasi unified ... 42
Tabel 4.8 Hasil pemeriksaan sudut geser tanah ... 44
Tabel 4.9 Kedalaman air minimum penyebab terjadinya aliran debris .. 46
Tabel 4.10 Data Hujan yang Terjadi Aliran Debris. ... 48
Tabel 4.11Data Hujan yang Tidak Terjadi Aliran Debris ... 49
Tabel 4.12Data curah hujan yang terjadi aliran debris . ... 50
Tabel 4.13Data curah hujan yang terjadi aliran debris ... 51
Tabel 4.14 Pembuktian Persamaan Takahashi dari data yang terjadi aliran debris dengan HSS Nakayasu ... 56
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian ... 70
Lampiran 2 Foto Dokumentasi... 73
Lampiran 3 Data Hasil Pengujian Kadar Air Tanah ... 79
Lampiran 4 Data Hasil Pengujian Berat Jenis Tanah ... 82
Lampiran 5 Data Hasil Pengujian Soil Properties ... 86
Lampiran 6 Data Kurva Distribusi Ukuran Butiran dan Analisa Perhitungannya ... 96
Lampiran 7 Data Hasil Pengujian Sudut Geser Tanah ... 114
Lampiran 8 Data Aliran Sungai (DAS) Kali Putih ... 124
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki banyak gunung berapi yang masih aktif. Gunung
api ini sewaktu-waktu bisa mengalami fase erupsi sehingga menimbulkan
letusan yang hebat. Material hasil erupsi dengan intensitas volume yang
besar ini kemudian mengalir masuk ke sungai-sungai di wilayah gunung
tersebut. Fenomena ini suatu saat dapat berubah menjadi aliran lahar yang
kemudian membawa bencana di sepanjang alur sungai yang dilalui baik
berupa kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana publik antara
lain : transportasi, irigasi, kerusakan lahan pertanian dan perkebunan,
bahkan korban jiwa. Selain kerugian di berbagai sektor, bencana yang
ditimbulkan oleh aliran lahar dingin, atau aliran debris ini juga
memberi tambahan beban keuangan negara terutama untuk merehabilitasi
serta memulihkan fungsi sarana dan prasarana publik yang rusak.
Gunung Merapi secara administratif termasuk di wilayah kabupaten
Sleman Propinsi DIY, kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten, di Provinsi
Jawa Tengah dengan ketinggian 2980 meter dari permukaan air laut.
Gunung Merapi adalah gunung api tipe strato dengan kubah lava dan
merupakan gunung api teraktif di dunia dengan karakteristiknya yang
Potensi bahaya vulkanik Gunung Merapi dapat dibedakan menjadi
bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer adalah bahaya yang
ditimbulkan secara langsung saat terjadi erupsi atau letusan gunung api
(Bronto, 2001). Bahaya tersebut berupa awan panas, lontaran atau hujan
batu pijar, longsoran batuan gunung api, lahar letusan, aliran lava, hujan abu
dan gas beracun. Bahaya sekunder adalah bahaya yang terjadi secara tidak
langsung setelah aktivitas gunung api berlalu (Bronto, 2001). Bahaya ini
berupa lahar dingin, banjir bandang, pencemaran air tanah, kekurangan air
bersih dan kelaparan serta penyakit menular.
Air adalah salah satu media utama dalam proses angkutan sedimen.
Dengan demikian maka intensitas hujan memberikan pengaruh yang sangat
signifikan terhadap fenomena migrasi sedimen material hasil erupsi serta
besarnya daya rusak yang ditimbulkan (Mananoma, 2007).
Pemerintah Indonesia dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum,
telah ditugaskan untuk mengendalikan bencana alam yang disebabkan oleh
gunung berapi aktif, terutama untuk mengurangi kerugian karena bencana
alam langsung (letusan gunung berapi) maupun bencana alam tidak langsung
(proses transpor material dari hulu ke hilir). Sering dijumpai bahwa bencana
alam tidak langsung seperti aliran lahar dingin cukup berbahaya pula sebab
dapat merusak jaringan air minum, irigasi, dan transportasi, yang melayani
Sehubungan dengan timbunan material hasil erupsi yang menumpuk
di puncak Gunung Merapi berpotensi mengalami luncuran turun berupa
aliran debris / banjir lahar dingin akibat air hujan, serta bahaya dan dampak
yang diakibatkan oleh aliran debris ini, sehingga penelitian mengenai
“Analisa Curah Hujan dengan Metode Hidrograf Satuan Sintetik
Nakayasu terhadap Terjadinya Migrasi Debris Flow Kali Putih Gunung Merapi” disusun guna memprediksi kejadian aliran debris hujan
di lereng Gunung Merapi.
1.2 Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah adalah sebagai berikut:
a. Penimbunan material endapan hasil erupsi Gunung Merapi tahun 2010 di
bagian hulu sungai.
b. Hubungan antara intensitas hujan dengan debris flow.
c. Hubungan antara morfologi sungai dan perilaku sedimen dengan debris
flow.
1.3 Perumusan Masalah
Perumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pengaruh parameter hujan (terkait durasi hujan dan intensitas
hujan penyebab aliran debris) terhadap kejadian debris flow?
b. Bagaimana hubungan spasial hujan dengan kedalaman hujan pada saat
terjadi debris flow di wilayah lereng Gunung Merapi?
c. Bagaimana pengaruh parameter morfologi sungai dan perilaku sedimen
1.4 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Lokasi penelitian di wilayah lereng Gunung Merapi yang secara
administrasi berada di Kabupaten Sleman di Daerah Istimewa
Yogyakarta serta Kabupaten Magelang dan Kabupaten Klaten di Provinci
Jawa Tengah.
b. Data kejadian debris flow pada rentang waktu Desember 2010 hingga
Februari 2012 di Kali Putih.
c. Data pengujian sedimen tanah pada bangunan sabo diantaranya PU-D2
(Mranggen), PU-D1 (Mranggen), PU-C10 (Ngepos).
d. Waktu yang diambil untuk diamati di setiap stasiun adalah dalam jangka
waktu 7 hari terakhir dari waktu kejadian aliran debris.
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini ini adalah sebagai berikut:
a. Menganalisa curah hujan yang menyebabkan terjadinya aliran debris
b. Mencari nilai persentase terjadinya aliran debris dengan Persamaan
Takahashi pada Kali Putih Gunung Merapi.
c. Mengetahui ketebalan muka air minimum dan kemiringan sungai yang
menyebabkan terjadinya aliran debris pada Kali Putih Gunung Merapi.
d. Menganalisa pengaruh curah hujan anteseden terhadap terjadinya aliran
debris.
e. Menjabarkan hasil penelitian sebagai masukan pengembangan sistem
1.6 Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagi Bangsa dan Negara
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah pola spasial hujan untuk
pengembangan system peringatan dini bencana aliran debris di wilayah
lereng Gunung merapi dengan menggunakan nilai intensitas hujan
(mm/jam) dan nilai working rainfall (mm) sebagai masukan bagi sistem
peringatan dini bencana aliran debris khususnya di area Kali Putih.
b. Bagi Ilmu Pengetahuan
Inventarisasi ilmu pengetahuan potensi bahaya debris flow khususnya
pengembangan early warning system di Kali Putih.
c. Bagi Penulis
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah menambah pengetahuan
penulis dan dapat menerapkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh dari
bangku kuliah serta dapat digunakan untuk memperoleh gelar Sarjana
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Debris Flow
Aliran debris (debris flow) adalah aliran campuran antara air (air hujan
atau air yang lain) dengan sedimen konsentrasi tinggi yang meluncur ke
bawah melalui lereng atau dasar alur berkemiringan tinggi. Aliran ini
seringkali membawa batu-batu besar dan batang-batang pohon, meluncur ke
bawah dengan kecepatan tinggi (biasanya masih di bawah kecepatan
mudflow) dengan kemampuan daya rusak yang besar terhadap apa saja yang
dilaluinya seperti bangunan rumah atau fasilitas lainnya sehingga
mengancam kehidupan manusia. Aliran debris tidak terkait langsung dengan
letusan gunung api, namun dapat terjadi di daerah vulkanik maupun
non-vulkanik.
Kusumobroto (2006), mengklasifikasikan aliran debris dalam dua
karakteristik yang berbeda yaitu aliran debris tipe berbatuan (gravel type
debris flow) merupakan aliran debris yang mengandung banyak batu-batu
besar dan aliran debris tipe lumpur (mudflow type debris flow) merupakan
aliran debris dengan kandungan batu besar sedikit dan lebih didominasi oleh
kandungan pasir dan batu-batu kecil.
Dari aspek teknik sipil aliran lahar atau yang disebut sebagai aliran
debris ini membawa pengaruh yang signifikan terhadap perubahan
morfologi sungai sehingga dengan demikian juga berpengaruh terhadap
berpengaruh terhadap kejadian aliran debris pada wilayah gunung berapi
adalah kemiringan lereng, jumlah material endapan, faktor topografi dan
geologi tanah, luas Daerah Aliran Sungai, serta curah hujan (Mananoma,
2007).
Terjadinya aliran debris pada sungai di daerah vulkanik dikarenakan
kemiringan dasar sungai curam sehingga kecepatan aliran sangat tinggi dan
daya rusaknya sangat besar. Dampak meluncurnya aliran debris dengan
kecepatan tinggi dapat menerjang semua obyek yang dilaluinya antara lain
bangunan sungai, jembatan, kawasan permukiman, lahan pertanian, dan
infrastruktur lainnya. Aliran debris menyebabkan bencana berupa kerusakan
lingkungan dan infrastruktur, serta kerugian harta benda, bahkan korban
jiwa dan luka-luka dalam jumlah besar.
2.2 Klasifikasi dan Karakteristik Debris Flow
Klasifikasi dan karakteristik debris flow tidak bisa terlepas dari
pemahaman pengetahuan tentang debris flow itu sendiri, baik mengenai
kriteria terjadinya maupun mekanisme alirannya. Dengan demikian karakter
aliran, total migrasi sedimen, kecepatan aliran, dan besar serta kekuatan
daya rusak akan dapat diprediksi.
Aliran lumpur vulkanik (volcanic mud flow) adalah campuran antara
air dengan material vulkanik hasil letusan gunungapi yang meluncur ke
bawah melalui alur sungai atau alur-alur gunung. Temperatur aliran ini
kurang dari 100º tetapi dapat mengandung blok-blok lava panas yang dapat
tinggi dapat mencapai 100 km/jam sehingga sulit untuk menghindar. Daya
rusak aliran tinggi mengakibatkan kerusakan terhadap apa saja yang
dilanggarnya.
Di Indonesia aliran lahar dikenal sebagai aliran lahar hujan, karena
biasanya aliran lahar terbentuk dari air hujan bercampur endapan material
piroklastik hasil letusan gunungapi. Jika endapan piroklastik pembentuk
aliran lahar masih panas yang terjadi adalah lahar hujan dengan temperatur
tinggi disebut lahar panas, namun jika material piroklastiknya sudah dingin
yang terbentuk adalah aliran lahar hujan yang tidak panas disebut sebagai
lahar dingin (Kusumobroto, 2006). Lahar hujan terjadi akibat hujan yang
terus menerus dalam jangka waktu tertentu di atas timbunan endapan
material vulkanik di sekitar puncak dan lereng gunung berapi. Air hujan
yang turun di atas endapan material vulkanik ini akan mengakibatkan
endapan material menjadi jenuh dan mudah longsor atau runtuh. Longsoran
campuran material vulkanik dengan air hujan ini mengalir menuju
sungai-sungai yang berhulu di sekitar endapan lereng dan puncak gunung berapi
dalam bentuk aliran lumpur atau aliran debris (Kusumosubroto, 2010).
2.3 Prediksi Waktu Kejadian Debris Flow
Watanabe, dalam Mukhlisin (1998) menyatakan bahwa untuk
memprediksi terjadinya aliran debris dapat ditempuh dengan cara :
1. Memperkirakan hujan lebat yang dapat memicu terjadinya aliran debris,
2. Analisa statistik hubungan antara intensitas hujan dengan aliran debris
3. Memperkirakan deposit yang ada di dalam sungai sebagai aliran debris
dalam hubungannya dengan hujan,
4. memperkirakan penambahan tingkat bahaya dari faktor pengendalian
deposit.
Takahashi (1991) mengulangi lagi pernyataannya bahwa biasanya
aliran debris yang terjadi mempunyai korelasi yang baik dengan curah
hujan. Ditegaskan lagi bahwa korelasi antara kejadian aliran debris dan
curah hujan persepuluh menit adalah sangat baik dan lebih dari itu, aliran
debris terjadi ketika intensitas hujan menaik dan tidak terjadi pada saat
intensitas hujan menurun.
2.4 Metoda Pengamatan Debris Flow
Takahashi, dalam Legono (1989), menyatakan bahwa ada dua metoda
pengamatan yang perlu dilakukan berkaitan dengan fenomena kerusakan, yaitu
metoda keras (hard method) dan metoda lunak (soft method). Metoda keras adalah
usaha-usaha yang lebih ditekankan pada pengecekan akan daya perusak,
bagaimana mengendalikannya, atau mengalihkannya ke daerah lain yang lebih
aman, yaitu dengan cara membuat konstruksi penahan yang sesuai. Metoda lunak
merupakan usaha-usaha untuk memindahkan penduduk sebelum terserang
bencana,berikut fasilitas atau barang berharga lainnya. Tentu saja jalan keluar
dengan satu metoda saja tidak cukup untuk usaha pencegahan bencana, dengan
2.4.1 Persamaan Takahashi
Mekanisme aliran dideskripsikan oleh Takahashi (1979) dengan
mengasumsikan bahwa air dan material sedimen yang terangkut oleh aliran
sebagai satu kesatuan yaitu aliran debris. Teori persamaan aliran debris
selanjutnya dengan pertimbangan material-material debris, yaitu dengan
menganggapnya sebagai benda yang terletak pada bidang miring (Gambar
2.1)
Mukhlisin (1998), mengasumsikan bahwa dari suatu lapisan sedimen
atau endapan dasar sungai yang berupa tanah non khesif, dengan kedalaman
D dan kemiringan θ. Pada saat aliran dengan ketinggian ho lewat, ruang pori
diantara endapan sedimen sudah menjadi jenuh dan aliran rembesan yang
sejajar akan terjadi. Takahashi menjelaskan bahwa besarnya tegangan geser
pada sungai memiliki 3 keadaan seperti terlihat pada Gambar 2.1. Tegangan
geser τ merupakan tegangan tangensial yang bekerja, sedangkan τL
merupakan tegangan yang menahannya. Jika lapisan dasar atau debrisnya
sangat tebal, distribusi tegangan tersebut dapat terjadi seperti keadaan
Gambar 2.1c dan Gambar 2.1b. jika tegangan geser yang bekerja lebih besar
daripada tegangan yang menahan, maka material dasar sungai tersebut akan
bergerak ke bawah atau ke hilir. Beberapa butiran material dasar akan
bergerak apabila aL lebih besar dari diameter butiran tunggalnya. Ruangan
pori dari lapisan butiran dasar yang bergerak tersebut akan bertambah, jika
ho relatif lebih dangkal dibandingkan aL dan butiran selanjutnya akan terurai
secara tidak teratur pada kedalaman air tersebut. Bertambahnya ruangan pori
akan memungkinkan gerakan massa tersebut kearah hilir. Angkatan massa
ini akan berupa aliran debris.
Mekanisme aliran debris yang diajukan oleh Takahashi (1979) adalah
sebagai berikut :
τ = g sin θ [C*(γs - γw)a + γw (a + ho)] (2.1)
τ = tegangan geser yang bekerja (N/m2),
θ = sudut kemiringan dasar sungai (º),
ho = kedalaman air minimum (m),
C* = konsentrasi sedimen (material dasar),
a = tebal lapisan sedimen yang diharapkan akan bergerak,
g = percepatan gravitasi bumi (m/s2),
γs = berat jenis partikel butiran (gr/cm3),
γw = berat jenis air (gr/cm3),
Kemudian tegangan geser yang menahan bergeraknya material dasar,
akan mempunyai persamaan :
τL = g cos θ [C*(γs - γw)a] tan φ (2.2)
dengan :
τ L = tegangan geser yang menahan (N/m2),
φ = sudut gesek dalam material dasar sungai (º),
Keadaan seperti pada Gambar 2.1a, akan terjadi bila dτ/da ≥ dτL/da.
Selanjutnya gerakan aliran debris akan terjadi jika :
an θ
≥
γ -γγ -γ γ an θ (2.3)
Kemiringan dasar sungai yang memenuhi persamaan (2.3) akan
menyebabkan kelongsoran dasar sungai walaupun aliran rembesan
belum mencapai permukaan. Dalam hal ini, kemungkinan bahwa τr akan
dasar sungainya seolah-olah stabil. Fenomena ini lebih tepat jika disebut
dengan kelongsoran tanah, yang sangat berbeda dengan fenomena aliran
debris. Bencana tanah longsor yang berupa rusaknya struktur dasar sungai
dapat terjadi tanpa adanya aliran air yang cukup atau terpenuhinya
persyaratan. Dengan kata lain, aliran debris akan terjadi bila ada aliran air
diatas akumulasi debris. Selanjutnya keadaan seperti pada Gambar 2.1b
akan terjadi bila dτ/da < dτL/da dan aL ≥ d, dengan d adalah diame er ra a
-rata yang dianggap mewakili sedimen debris. Diameter yang digunakan
adalah d50 dari endapan debris tersebut.
Keadaan terjadinya aliran debris ini akan dipenuhi jika :
γ -γ
γ -γ an θ ≤ an θ
≥
γ -γ
γ -γ γ an θ (2.4)
Apabila aL lebih dangkal dari D, secara teoritis tidak akan ada lapisan
butiran yang bergerak yang disebabkan oleh gaya-gaya statik tersebut.
Namun, bila masih ada gerakan lapisan butiran, hal ini pasti disebabkan oleh
adanya gaya-gaya drag and lift dari permukaan yang merupakan angkutan
sedimen secara umumnya. Kemudian, kemiringan dasar kritis yang
menybabkan aliran debris akan diberikan dalam bentuk persamaan:
an θ γ -γ
Dari persamaan (2.5) dapat dilihat bahwa semakin besar nilai ho maka
akan semakin landailah kemiringan kritis yang akan menyebabkan aliran
debris.
Disini yang dimaksud dengan konsentrasi bahan dasar adalah nilai
banding antara volume butiran padat dan volume keseluruhan bahan dasar,
yaitu :
C* = (2.6)
dengan :
Vs = volume butiran padat (cm3),
V = volume total yaitu volume udara ditambah volume air dan
volume butiran (cm3).
Gambar 2.2 Susunan butiran tanah dasar
Prinsip yang harus dipahami adalah :
W = Ww + Ws
V = Vs + Vw + Va
Keterangan Gambar 2.2 ditinjau dari struktur elemen tanah, adalah
sebagai berikut :
Ws = berat butiran padat (gr),
Ww = berat air (gr),
Vs = volume butiran padat (cm3),
Vw = volume air (cm3),
Gs = berat jenis butiran (gr/cm3),
e = angka pori,
w = kadar air (%),
S = derajat kejenuhan (%),
Hubungan volume yang biasa digunakan dalam mekanika tanah yaitu
angka pori (void ratio), porositas (porosity) dan derajat kejenuhan (degree
of saturation).
Angka pori : e =
(2.7)
Porositas : n =
(2.8)
Derajat kejenuhan : S = x 100% (2.9)
Volume air : Vw = S . Vv = S . e (2.10)
Berat air : Ww = γw . Vw = �. Ws = �. Gs . γw . Vs atau
Sedangkan hubungan berat yang biasa digunakan adalah kadar air
(moisture content), dan berat volume (unit weight).
Kadar air : w = x 100% (2.11)
Berat volume basah : γb =
(2.12)
Berat volume kering : γb =
(2.13)
Jika berat volume butiran padat (γs) = Ws / Vs (gr/ ), maka
perbandingan antara berat volume butiran padat (γs) dengan berat volume air
(γw) pada temperatur tertentu adalah berat jenis (specific gravity) :
Berat jenis butiran : Gs =
(2.14)
Takahashi menyebutkan bahwa awal terjadinya aliran debris terjadi
pada kondisi jenuh, sedangkan pada saat jenuh nilai S = 1, sehingga :
Angka pori : e = �. Gs (2.15)
Sedangkan :
C* =
e (2.16)
Sehingga jika nilai e dapat ditentukan akan diperoleh nilai konsentrasi
bahan dasarnya (C*).
2.4.2 Penentuan Diameter Endapan Aliran Debris
Material dasar sungai yang ditinjau berupa campuran dari pasir, krikil,
maka teknik sampling material dasar dengan kedalam 1 meter sebagai
standar ASTM.
Untuk selanjutnya tebal air minimum (ho) yang menginisiasi aliran
debris dapat ditentukan, bila kemiringan dasar sungai θ), berat jenis dasar
(γs), berat jenis air (γw), berat volume kering (γd), angka pori (e) dan d50
dapat diketahui.
2.4.3 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu
Hidrograf satuan sintetis Nakayasu dikembangkan berdasarkan
beberapa sungai di Jepang (Soemarto, 1987). Penggunaan metode ini
memerlukan beberapa karakteristik parameter daerah alirannya, seperti :
a) Tenggang waktu dari permukaan hujan sampai puncak hidrograf
b) Tenggang waktu dari titik berat hujan sampai titik berat hidrograf .
c) Tenggang waktu hidrograf (time base of hydrograph)
d) Luas daerah aliran sungai
e) Panjang alur sungai utama terpanjang (length of the longest channel)
Bentuk persamaan HSS Nakayasu adalah:
) 3
, 0 ( 6 , 3
.
3 , 0
T Tp
Ro CA Qp
(2.17)
dengan :
Qp = debit puncak banjir (m3/dt)
Ro = hujan satuan (mm)
T0,3 = waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari puncak sampai
30% dari debit puncak (jam)
CA = luas daerah pengaliran sampai outlet (km2)
Untuk menentukan Tp dan T0,3 digunakan pendekatan rumus sebagai
berikut :
Tp = tg + 0,8 tr (2.18)
T0,3 = α g (2.19)
tr = 0,5 tg sampai tg (2.20)
tg adalah time lag yaitu waktu antara hujan sampai debit puncak banjir
(jam). tg dihitung dengan ketentuan sebagai berikut :
a) sungai dengan panjang alur L > 15 km : tg = 0,4 + 0,058 L
b) sungai dengan panjang alur L < 15 km : tg = 0,21 L0,7
Perhitungan T0,3 menggunakan ketentuan:
α = 2 pada daerah pengaliran biasa
α = ,5 pada bagian naik hidrograf lambat, dan turun cepat
α = 3 pada bagian naik hidrograf cepat, dan turun lambat
α = 4 A
g (2.21)
Bentuk hidrograf satuan diberikan oleh persamaan berikut :
1) Pada waktu naik : 0 < t < Tp
Qa = (t/Tp)2,4 (2.22)
dimana Qa adalah limpasan sebelum mencapai debit puncak (m3/dt)
T T 0,32 QP 0,3Q QP lengkung turun lengkung naik tr t tg
0,8 tr
a. elang nilai : ≤ ≤ Tp + T0,3)
Qd1 =
3 , 0 3 , 0 . T Tp t Qp (2.23)
b. selang nilai : (Tp + T0,3 ≤ ≤ Tp T0,3 + 1,5 T0,3)
Qd2 =
3 , 0 3 , 0 5 , 1 5 , 0 3 , 0 . T T Tp t Qp (2.24)
c. selang nilai : t > (Tp + T0,3 + 1,5 T0,3)
Qd3 =
3 , 0 3 , 0 2 5 , 1 3 , 0 . T T Tp t Qp (2.25)
Dari hasil perhitungan hidrograf diperoleh debit puncak, untuk
kemudian digunakan untuk mencari kedalaman air yang menyebabkan
aliran debris. Debit Q pada suatu penampang saluran untuk sebaran aliran
dinyatakan dengan :
Q = V . A (2.26)
Dengan :
V = 1/n (2.27)
Dimana :
n = koefisien kekasaran manning,
R = jari-jari hidraulik (m),
S = kemiringan saluran,
Gambar 2.3 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu (Triatmodjo, 2008)
Suharyono (1993) menerangkan untuk mengetahui terjadinya lahar di
daerah Gunung Merapi dilakukan secara grafis terhadap hubungan antara
intensitas hujan, curah hujan komulatif, dan saat terjadinya lahar, mengacu
pada Buku Pedoman Penentuan Curah Hujan Kritik untuk Peringatan Dini
dan Perintah Pengungsian akan Terjadinya Lahar yang diterbitkan oleh
Departemen Pekerjaan Umum Jepang, dimana untuk perhitungan parameter
hujan menggunakan rumus berikut :
RWA = = = (2.28)
dimana :
RWA = curah hujan anteseden (mm),
α = koefisien reduksi,
= , t = waktu (hari),
d = tebal curah hujan 24 jam pada hari ke t,
BAB III
METODE PENELITIAN
Penghitungan kedalaman air minimum sebagai faktor terjadinya aliran
debris secara teoritik dilakukan dengan menggunakan Persamaan Takahashi.
Dari Persamaan Takahashi ini dapat diketahui kedalaman aliran permukaan
yang memicu terjadinya aliran debris. Namun hal ini perlu diuji dan
dibuktikan dengan menghitung kedalaman aliran permukaan di lokasi yang
sesungguhnya akibat intensitas dan durasi hujan dalam skala tertentu yang
memang telah menimbulkan terjadinya aliran debris.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya aliran debris yaitu material
endapan vulkanik yang masuk ke dalam alur sungai menjadi endapan debris
yang berupa pasir dan agregat kasar. Bagian tanah tersebut mempunyai sifat
permeable, jika terjadi hujan deras di sekitar puncak Gunung Merapi maka
dapat mengakibatkan terjadinya aliran lahar atau aliran debris yang
mengangkut material dengan ukuran dari batu-batu besar, kerikil, pasir, abu
vulkanik, serta kayu-kayu yang tumbang. Akumulasi sedimen setelah banjir
ini dapat menimbulkan perubahan pada morfologi sungai yang akan
mempengaruhi arah aliran debris bila terjadi banjir berikutnya. Banjir yang
melanda daerah sekitar yang dilalui aliran ini, dan peristiwa tersebut sangat
berbahaya, oleh sebab itu perlu mekanisme peringatan dini yang cepat.
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi yang dipilih adalah Kali Putih. Daerah Aliran Sungai (DAS)
yang berada pada sisi lereng barat dari Gunungapi Merapi yang sering
terlanda bencana lahar, salah satunya adalah DAS Kali Putih. Pada
letusan Gunung Merapi tahun 2010 menghasilkan endapan material
vulkanik yang terakumulasi dalam jumlah besar di hulu Sungai Putih.
Material endapan vulkanik tersebut akan masuk ke dalam alur sungai dan
bila terjadi hujan deras di sekitar puncak Gunung Merapi maka dapat
mengakibatkan terjadinya aliran lahar atau aliran debris yang mengangkut
material dengan ukuran dari batu-batu besar, kerikil, pasir, abu vulkanik,
serta kayu-kayu yang tumbang. Peta Lokasi Penelitian terhadap Daerah
Aliran Sungai (DAS) Kali Putih dapat dilihat pada Gambar 3.1 dan fokus
perhitungan kedalaman air minimum dalam penelitian ini mencakup Sub
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian terhadap DAS Kali Putih
Gambar 3.2 Sub DAS Kali Putih bagian hulu (Balai Sabo Yogyakarta, 2015)
3.3 Jenis Metode Penelitian
Adapun metode dalam penelitian ini yaitu pengambilan sampel
dengan populasi sampel catchment area pada Kali Putih dengan tahapan :
1) Penentuan nilai kedalaman air minimum yang menyebabkan terjadinya
aliran debris dari persamaan Takahashi. Pada tahap ini idealnya
pengambilan sampel dilakukan saat akan terjadinya aliran debris. Namun
hal ini tidak bisa dilakukan karena belum adanya prediksi yang tepat
untuk memperkirakan awal terjadinya aliran debris dan sangat berbahaya
mengambil sampel di sungai dalam kondisi akan terjadi aliran debris.
Data berupa endapan tanah dasar Kali Putih yang selanjutnya dilakukan
pengujian di laboratorium, dihasilkan nilai-nilai parameter tanah yang
2) Analisa curah hujan dengan menyeleksi data curah hujan yang
menimbulkan aliran debris dan data curah hujan yang mempunyai
besaran tertentu tetapi tidak menimbulkan aliran debris.
3) Analisa sensitifitas persamaan Takahashi.
3.4 Metode Pengumpulan Data
3.4.1 Data Primer
Pengambilan sampel tanah material dasar sungai pada tiga lokasi
sepanjang Kali Putih, yaitu di desa Mranggen dengan kode bangunan sabo
D1 dan D2 serta di desa Ngepos dengan kode bangunan sabo
PU-C10. Ketiga lokasi tersebut dipilih karena mewakili jenis material dasar
sungai, serta paling dekat dengan stasiun curah hujan.
3.4.2 Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan selama penelitian
dilaksanakan. Beberapa literatur yang berhubungan dengan topik penelitian
dipilah-pilahkan untuk diseleksi mana saja yang ada beserta teknik-teknik
penelitian yang dapat dimanfaatkan.
Data yang dibutuhkan untuk mendapatkan kedalaman aliran air akibat
curah hujan pada saat terjadinya aliran debris adalah data sekunder meliputi
peta teristis sungai yang ditinjau, peta topografi serta data hirologi untuk
daerah pengaliran sungai yang bersangkutan.
Untuk data hidrologi diperlukan data curah hujan pada saat kejadian
aliran debris berlangsung dan beberapa jam sebelumnya yang tercatat pada
debris yaitu data volume endapan vulkanik, geometri sungai, data curah
hujan, data elevasi muka air, dan rekaman informasi kejadian banjir lahar.
Data-data tersebut diperoleh dari Balai Sabo Yogyakarta dan Balai
Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi
(BPPTKG) Yogyakarta.
3.4 Metode Analisa Data
3.4.1 Analisa Penampang Memanjang Sungai
Data pengukuran elevasi dan jarak Kali Putih yang dihitung dari
muara yaitu pertemuan antara sungai tersebut dengan Sungai Apu, dalam
penelitian ini diperoleh dari Balai Sabo Yogyakarta. Dari data tersebut
kemudian dapat digambarkan grafik hubungan antara jarak dengan
elevasinya.
3.4.2 Analisa Tanah Dasar Sungai
Jenis-jenis pengujian dalam analisa material dasar sungai untuk
mendapatkan data primer dalam penelitian ini yaitu:
1) Analisa kadar air tanah
Tujuan dari analisis ini adalah untuk menentukan kadar air dari
sampel agregat debris dengan perbandingan antara berat air yang
dikandung agregat dengan berat keringnya. Selanjutnya dinyatakan
dalam bentuk persen. Metode yang digunakan digunakan dalam
analisa kadar air ini berpedoman pada ASTM D 2216-98. Adapun
a) Timbang cawan yang akan dipakai berikut tutupnya lalu beri
nomor/tanda. (=W1)
b) Masukkan benda uji yang akan diperiksa kedalam cawan tersebut
lalu tutup.
c) Timbang cawan yang telah berisi benda uji tersebut. (=W2)
d) Masukkan kedalam oven yang suhunya telah diatur 11OºC selama
24 jam sehingga beratnya konstan (tutup cawan dibuka).
e) Setelah dikeringkan dalam oven, cawan tersebut lalu dimasukkan
ke dalam desikator agar cepat dingin.
f) Setelah dingin, timbang kembali cawan yang telah berisi tanah
kering tersebut. (=W3)
g) Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara duplo, artinya untuk satu
hasil didapatkan dari dua benda uji. Hasilnya harus hampir sama,
lalu dibagi dua.
2) Analisa berat jenis tanah
Tujuan analisa ini adalah untuk menentukan berat jenis agregat
debris yang merupakan penbandingan antara berat butir-butir tanah
dengan berat air destilasi di udara pada volume dan temperatur yang
sama. Biasanya diambil suhu temperatur 27,5 OC. Metode penelitian
untuk analisa berat jenis ini berpedoman pada ASTM D854-14.
a) Siapkan benda uji secukupnya oven dengan temperatur 6O°C
sampai dapat digemburkan atau pengeringan dengan sinar
matahari.
b) Dinginkan dalam desicator, tumbuk bila menggumpal dengan
mortar dan pastle, saring dengan sieve No.4.
c) Piknometer beserta tutupnya bersih dan kering ditimbang. (=W1)
d) Ambil sampel tanah sekitar 15-25 gram, dimasukan piknometer
kemudian ditimbang. (=W2)
e) Ditambahkan aquades hingga dua per tiga volume pikno lalu
direbus menggunakan kompor listrik sehingga gelembung-
gelembung udara keluar dan air menjani jernih, hal ini dilakukan
selama ± 15 menit.
f) Piknometer ditambang air destilasi sampai penuh, ditutup, dan
ditimbang serta diukur suhunya t °C. (=W3)
g) Piknometer dikosongkan, diisi air destilasi sampai penuh, tutup,
dan timbang. (=W4)
h) Hitung nilai berat jenis (Gs) masing-masing percobaan.
i) Sama seperti pemeriksaan kadar air. Analisis ini menggunakan
teknik duplo.
3) Analisa distribusi sedimen
Tujuan analisa ini adalah untuk menentukan distribusi
butir-butir tanah yang tidak mengandung butir-butir tertahan saringan No. 10
dengan analisa sedimen dengan hydrometer, sedangkan untuk
butir-butir yang tertahan saringan No. 200 (0.0075mm) dilakukan dengan
menggunakan saringan. Metode penelitian untuk analisa distribusi
sedimen berpedoman pada ASTM D 1140-00 & ASTM D 422-63.
Adapun langkah pemeriksaan analisa distribusi sedimen sebagai
berikut:
a) Menyiapkan set ayakan dengan susunan dari atas ke bawag
berturut-turut: Tutup ayakan, saringan No. 10 (2,00 mm), No. 20
(0,850 mm), No. 40 (0,425 mm), No. 60 (0,250 mm), No 140
(0,106 mm), dan No. 200 (0.075 mm) serta alas tempat sisa.
b) Menimbang sampel tanah sebanyak ± 500 gr yang sudah dioven
terlebih dahulu.
c) Menempatkan ayakan kedalam set ayakan dan digetarkan
menggunakan alat vibrator.
d) Massa tanah yang tertahan pada asing-masing ayakan ditimbang.
e) Taruh sampel tanah dalam tabung gelas (beaker kapasitas 250 cc).
Tuangkan sebanyak ± 125 cc larutkan air + reagent yang telah
disiapkan campur dan aduk sampai seluruh tanah bercampur
dengan air. Biarkan tanah terendam selama sekurang-kurangnya
16 jam.
f) Tuangkan campuran tersebut dalam alat pengaduk (stirring
apparatus). Jangan ada butir yang tertinggal atau hilang dengan
alat. Bila perlu tambahkan air, sehingga volumenya sekitar lebih
dari separuh penuh. Putarkan alat pengaduk selama lebih dari 1
menit.
g) Kemudian segera pindahkan suspensi ke gelas silinder pengendap.
Jangan ada tanah tertinggal dengan membilas dan menuangkan air
bilasan ke silinder. Tambahkan air destilasi sehigga volumenya
mencapai 1000 cm³.
h) Disamping silinder isi suspensi tersebut, sediakan gelas silinder
kedua yang diisi hanya dengan air destilasi ditambah reagent
sehingga berupa larutan yang keduanya sama seperti yang dipakai
pada silinder pertama. Apungkan hydrometer dalam silinder kedua
ini selama percobaan dilaksanakan.
i) Tutup gelas isi suspensi dengan tutup karet (atau dengan telapak
tangan). Kocok suspense dengan membolak-balik vertical keatas
dan kebawah selama 1 menit, sehingga butir-butir tanah melayang
merata dalam air. Gerakan membolak-balik gelas ini harus sekitar
60 kali. Langsung letakan silinder berdiri diatas meja dan bersama
dengan berdirinya silinder, jalankan stop watch dan merupakan
waktu permulaan pengendapan.
j) Lakukan pembacaan hydrometer pada saat t = 2; 5; 15; 30; 60; 250
dan 1440 menit (setelah t = 0), dengan cara sebagai berikut :
1) Kira-kira 20 atau 25 detik sebelum setiap saat pelaksanaan
secara hati-hati dan pelan-pelan dalamsuspensi sampai
mencapai kedalaman sekitar taksiran skala yang akan terbaca,
kemudian lepaskan (jangan sampai timbul goncangan).
Kemudian pada saatnya bacalah skala yang ditunjuk oleh
puncak meniscus muka air = R1 (pembacaan dalam koreksi).
2) Setelah dibaca, segera ambil hidrometer pelan-pelan,
pindahkan kedalam silinder kedua. Dalam air silinder kedua,
bacalah skala hydrometer = R2 (koreksi pembacaan).
3) Catatan : Apabila digunakan "water bath" dengan suhu
konstan, taruhlah kedua silinder kedalam water bath dan
lakukanlah ini sesudah pembacaan 2 menit dan sebelum
pembacaan 5 menit.
k) Setiap setelah pembacaan hidrometer, amati dan catat temperatur
suspensi dengan mencelupkan thermometer.
l) Setelah pembacaan hidrometer terakhir selesai dilaksanakan (t =
1440 menit), tuangkan suspensi ke atas saringan no. 200
seluruhnya, jangan sampai ada butir yang tertinggal. Cucilah
dengan air (air bersih) sampai air yang mengalir di bawah saringan
menjadi jernih dan tidak ada lagi butir halus yang tertinggal.
m) Pindahkan butir-butir tanah yang tertinggal pada suatu tempat,
kemudian keringkan dalam oven (dalam temperature 105° - 110°
n) Kemudian dinginkan dan timbang serta catat berat tanah kering
yang diperoleh = B1 gram.
o) Saringlah tanah ini dengan menggunakan sejumlah saringan yang
tersebut pada bagian Peralatan no. 2.
p) Timbang dan catat berat bagian tanah yang tertinggal di atas tiap
saringan. Periksalah bahwa seharusnya jumlah berat dari masing-
masing bagian sama atau dekat dengan berat sebelum disaring.
4) Uji geser langsung tanah
Kekuatan geser suatu masa tanah merupakan perlawanan
internal tanah tersebut per satuan luas terhadap keruntuhan atau
pergeseran sepangjang bidang geser tanah. Tujuan dari pengujian ini
adalah untuk mengerahui nilai sudut geser langsung karena sampel
tanahnya berupa pasir. Metode penelitian untuk analisa uji geser
langsung ini berpedoman pada ASTM D3080-04. Khusus pengujian
kali ini menggunakan alat merek Matest dengan kode alat S276-11.
Pengolaan data selanjutnya menggunakan aplikasi bawaan dari alat
tersebut. Adapun langkah pemerikasan uji geser langsung sebagai
berikut:
a) Menyiapkan benda uji untuk tiga kali percobaan tiap satu sampel
material dasar sungai. Jadi dari ke-sembilan sampel dilakukan
b) Menyusun kotak geser susuai pentunjuk manual dari alat ini.
Kotak geser memiliki dimensi 25 x 60 x 60 dalam satuan
millimeter.
c) Kemudian masukan sampel kedalam kotak geser dan ditimbang
berat sampelnya. Diharuskan pada tiap pegujian geser ke-1, ke-2,
dan ke-3 miliki massa yang sama.
d) Benda uji pertama diberikan tegangan 200 kPa. Benda uji kedua
diberi tegangan 300 kPa. Benda uji ketiga diberi tegangan 400
kPa.
e) Selanjutnya pengujian geser dalam kondisi jenuh.
f) Setelah semua siap, alat matest dijalankan, dan diperiksa hasil
pembacaan dari alat tersebut baru kemudian diolah menggunakan
aplikasi bawaan dari alat tersebut.
3.4.3 Analisa Curah Hujan
Data yang dibutuhkan untuk mendapatkan kedalaman aliran air akibat
curah hujan pada saat terjadinya aliran debris adalah data sekunder meliputi
peta teristis sungai yang ditinjau, peta topografi serta data hidrologi untuk
pengaliran sungai yang bersangkutan.
Untuk data hidrologi diperlukan data curah hujan pada saat kejadian
aliran debris berlangsung. Data ini dianalisa dari sisi intensitas maksimum
per jam, durasi hujan, waktu puncak curah hujan dan sebagainya. Data curah
3.4.4 Analisa Persamaan Takahashi untuk Kondisi Nyata di Alur
Sungai
Dari hasil-hasil pemeriksaaan indeks properties tanah dan penentuan
kemiringan dasar sungai (tan �), serta kedalaman air akibat curah hujan (ho)
penyebab aliran debris sepanjang Kali Putih maka persamaan (2.5) yang
dinyatakan dalam bentuk berikut ini akan dapat dibuktikan.
γ -γ γ
γ -γ
an θ
an
≥ (3.1)
3.5 Metode Pendekatan Utama
Untuk menghindari kerumitan masalah karena banyaknya faktor
lapangan yang mempengaruhi keandalan hasil penelitian, maka berikut ini
disajikan anggapan-anggapan yang perlu diutarakan.
1. Kondisi awal aliran debris dianggap terjadi pada satu lokasi tertentu
saja dan dapat terjadi disembarang lokasi, tergantung pada kondisi
lapangan .
2. Faktor utama yang mempengaruhi terjadinya aliran debris adalah
karakteristik curah hujan
3. Karakteristik curah hujan dalam bentuk intensitas dan durasi hujan akan
membentuk suatu korelasi spesifik dengan kejadian aliran debris, dan
pada kondisi fenomena yang tersebut pada (1) sudah dilampaui.
3.6 Perumusan Analisa
Untuk memprediksi kejadian aliran debris dalam kaitannya dengan
intensitas hujan dapat dilakukan analisa berikut ini.
1. Dibuat analisa mengenai besaran debit yang menyebabkan konsentrasi
sedimen bergerak meluncur kebawah sungai.
2. Dibuat perbandingan antara hujan sebelum kejadian aliran debris (mm)
dan intensitas hujan saat kejadian aliran debris (mm/jam).
3. Dibuat perbandingan antara durasi hujan dengan intensitas maksimum
dalam satuan mm/jam pada kejadian hujan yang terjadi aliran debris.
4. Analisa dengan Unit Satuan Hidrograf.
3.7 Hipotesis
1. Pengaruh debit dan kecepatan aliran sungai akan memicu terjadinya
aliran debris.
2. Karakteristik hujan dalam bentuk intensitas dan durasi hujan
membentuk suatu korelasi spesifik dengan kejadian aliran debris.
3. Jika nilai kedalaman air akibat intensitas air hujan lebih besar dari
Ya
[image:49.595.107.543.80.732.2]Tidak 3.8 Bagan Pelaksanaan Penelitian
Gambar 3.3 Bagan pelaksanaan penelitian. Mulai
1. Studi pustaka (karakteristik lokasi studi fenomena banjir lahar akibat banjir lahar)
2. Review kondisi eksisting sungai (kondisi geometri sungai pasca erupsi) 3. Inventarisasi dan identifikasi data sekunder (dart curah hujan, data
geometri sungai, peta, catchment area, foto udara, rekaman kejadian banjir lahar)
1. Analisis data geometri sungai (kapasitas tamping alur sungai pasca erupsi)
2. Analisis perilaku dan karakteristik banjir lahar / aliran debris (kecepatan aliran, kandungan material, serta daya rusak yang ditimbulkan)
3. Analisis intensitas hujan (hujan intensif dan hujan kumulatif)
4. Analisis rekaman kejadian banjir lahar (waktu kejadian, jangkauan jarak luncur, kerugian yang ditimbulkan)
1. Hasil dan pembahasan (karakteristik hujan terhadap migrasi sedimen) 2. Kesimpulan dan saran (penetapan kriteria yang potensial terjadi aliran
debris)
Kesimpulan
Pembuatan abstrak
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Gunung Merapi adalah salah satu gunung berapi paling aktif di dunia
yang terlatak 2980 meter di atas permukaan laut di Provinsi Jawa Tengah.
Hingga saat ini, Gunung Merapi telah menglami erupsi sebanyak 68 kali,
erupsi terakhir yang terbesar terjadi pada tanggal 26 Oktober 2010. Erupsi
ini merupakan yang terbesar bila dibandingkan dengan bencana serupa pada
lima kejadian sebelumnya, yaitu kejadian erupsi pada tahun 1994, 1997,
1998, 2001 dan 2006 atau terbesar sejak 150 tahun tepatnya tahun 1872
(Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2011).
Suatu rangkaian erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 terdiri dari
hujan abu, keluarnya awan panas, lava pijar, dan lahar panas. Salah satu
potensi dampak yang berbahaya dari erupsi Gunung Merapi yaitu terjadinya
aliran banjir lahar dari endapan material sedimen yang dipicu oleh curah
hujan dengan intensitas tinggi.
Terhitung pada tanggal 26 Oktober 2010 menghasilkan endapan
material sebanyak 130 juta m3 dan sedikitnya terdapat akumulasi 100 juta
m3 endapan material yang sangat berpotensi menjadi aliran banjir lahar.
Distribusi endapan piroklastik kawasan Gunung Merapi pada tahun 2010
setidaknya tersebar pada tiga kali besar yakni Kali Pabelan dengan
akumulasi sebesar 20,8 juta m3, Kali Putih Sebesar 8,2 juta m3, dan Kali
Gambar 4.1
P
eta e
nda
pa
n piroklastik l
etusan G
unung Me
ra
pi t
ahun 2010
(Ba
lai S
abo Yogya
ka
rta
,
Berdasarkan data dari Balai Sabo Yogyakarta, daerah yang sering
terkena dampak banjir lahar pasca erupsi Gunung Merapi yaitu wilayah
disekitar Kali Putih. Kali Putih merupakan sungai yang memiliki potensi
bahaya cukup besar dikarenakan lokasinya terletak cukup dekat dengan
pemukiman penduduk. Gambaran selengkapnya mengenai sebaran area
terkena dampak banjir lahar DAS Kali Putih dijelaskan pada Tabel 4.1 dan
Tabel 4.2.
Tabel 4.1 Jumlah desa rawan terkena banjir lahar
No Nama Kali Desa Dusun
1 Kali
Pabelan 12 18
2 Kali Putih 5 10
3 Kali Gendol 3 20
4 Kali Opak 3 10
5 Kali Gendol 2 13
Jumlah 25 71
Tabel 4.2 Daerah terkena dampak banjir lahar DAS Kali Putih
No Kecamatan Desa Luas terdampak lahar (Ha)
Luas desa (Ha) 1
Ngluwar Blongkeng 22,42 244
2 Plosogede 7,89 278
3
Salam
Gulon 29,54 441
4 Jumoyo 61,77 569
5 Seloboro 21,83 183
6 Sirahan 48,40 238
Jumlah 191,8 1953
Untuk mengurangi potensi bahaya tersebut, dilakukan upaya
pencegahan berupa analisa curah hujan sebagai peringatan dini (early
dibutuhkan adalah data hidrologi berupa data curah hujan harian maupun
jam-jaman, data penyelidikan tanah, peta DAS Kali Putih, peta topografi
dan peta geometri sungai.
4.2 Analisa Data
4.2.1 Hasil Pemeriksaan Uji Kadar Air Tanah
Nilai pengukuran kadar air tanah dari endapan material sedimen Kali
Putih menyimpulkan bahwa adanya beberapa variasi nilai yang berkisar
antara 11,96% sampai dengan 16,11%. Hasil penghitungan akhir kadar air
tanah Kali Putih dapat dilihat pada Tabel 4.3, sedangkan data hasil proses
[image:53.595.144.481.419.638.2]perhitungan laboratorium selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.
Tabel 4.3 Hasil perhitungan kadar air tanah
No Posisi Elevasi Satuan Kode w
1 C10 1 13,15%
2 C10 2 15,06%
3 C10 3 14,51%
PU - C10 604 m Rata² C10 14,24%
4 D1 1 16,11%
5 D1 2 11,96%
6 D1 3 13,54%
PU - D1 638 m Rata² D1 13,87%
7 D2 1 14,23%
8 D2 2 13,92%
9 D2 3 14,94%
PU - D2 702 m Rata² D2 14,36%
4.2.2 Hasil Pemeriksaan Berat Jenis Tanah
Berat jenis tanah sangat penting diketahui yang selanjutnya digunakan
berpengaruh pada analisa persamaan Takahashi untuk mengetahui
kedalaman air minimum terjadinya aliran debris.
Hasil perhitungan berat jenis tanah berkisar antara 2,42 sampai dengan
2,91. Tabel 4.4 menunjukkan hasil akhir analisa berat jenis tanah Kali Putih,
sedangkan proses perhitungan dengan data hasil laboratorium selengkapnya
[image:54.595.160.511.307.517.2]dapat dilihat pada Lampiran 4.
Tabel 4.4 Hasil perhitungan berat jenis tanah
No Posisi Elevasi Satuan Kode Gs 27.5 °C
1 C10 1 2,54
2 C10 2 2,42
3 C10 3 2,44
PU - C10 604 m Rata² C10 2,47
4 D1 1 2,91
5 D1 2 2,88
6 D1 3 2,78
PU - D1 638 m Rata² D1 2,85
7 D2 1 2,58
8 D2 2 2,74
9 D2 3 2,71
PU - D2 702 m Rata² D2 2,68
4.2.3 Hasil Pemeriksaan Soil Properties
Hasil penelitian dapat dihubungkan antara berat volume, porositas,
dan angka pori dengan tipe dari tanah ukuran butiran. Perbedaan nilai hasil
pengujian laboratorium ditunjukkan pada Tabel 4.5 dan Tabel 4.6. proses
perhitungan dengan data hasil laboratorium selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 4.5 Nilai γb, γd , γs, γsat
No Posisi Kode Γw γd γs γsat Satuan
1 C10 1 1,76 1,56 2,54 1,946 gr/cm³
2 C10 2 1,69 1,47 2,42 1,862 gr/cm³
3 C10 3 1,64 1,43 2,44 1,844 gr/cm³
PU - C10 Rata² C10 1,70 1,49 2,47 1,88 gr/cm³
4 D1 1 1,80 1,55 2,91 2,018 gr/cm³
5 D1 2 1,76 1,57 2,88 2,028 gr/cm³
6 D1 3 1,67 1,48 2,78 1,944 gr/cm³
PU - D1 Rata² D1 1,75 1,53 2,86 2,00 gr/cm³
7 D2 1 1,69 1,48 2,58 1,904 gr/cm³
8 D2 2 1,75 1,54 2,74 1,975 gr/cm³
9 D2 3 1,62 1,47 2,71 1,927 gr/cm³
PU - D2 Rata² D2 1,68 1,49 2,68 1,94 gr/cm³
Tabel 4.6 Hasil nilai perhitungan Sr, n, e, Dr, Rc
No Posisi Kode Sr n e Dr Rc
1 C10 1 53,14% 38,59% 0,63 50,58% 0,78
2 C10 2 56,24% 39,31% 0,65 54,00% 0,73
3 C10 3 50,14% 41,39% 0,71 64,26% 0,72
PU - C10 Rata² C10 53,17% 39,76% 0,66 56,28% 0,74
4 D1 1 53,47% 46,71% 0,88 94,13% 0,78
5 D1 2 41,54% 45,32% 0,83 85,75% 0,74
6 D1 3 42,55% 46,94% 0,88 95,56% 0,74
PU - D1 Rata² D1 45,86% 46,32% 0,86 91,81% 0,75
7 D2 1 49,14% 42,76% 0,75 71,41% 0,74
8 D2 2 48,65% 43,95% 0,78 77,91% 0,77
9 D2 3 32,44% 45,79% 0,84 88,53% 0,73
[image:55.595.139.539.464.681.2]4.2.4 Hasil Pemeriksaan Analisa Butiran
Pengujian ini untuk menentukan distribusi ukuran butir-butir tanah untuk
tanah yang tidak mengandung butir tertahan saringan no. 10 (tidak ada butir
yang lebih besar dari 2 mm). Pemeriksaan dilakukan dengan analisa sedimen
dengan hidrometer, sedangkan ukuran butir-butir yang tertahan saringan no.
200 (0,075 mm) dilakukan dengan menggunakan saringan. Berikut
[image:56.595.115.507.333.537.2]klasifikasi tanah hasil pengujian sampel dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Sistem klasifikasi unified
No Posisi Kode Lempung Lanau Pasir Krikil
1 C10 1 3,38% 3,26% 74,65% 18,71%
2 C10 2 2,08% 9,11% 77,68% 11,13%
3 C10 3 1,37% 2,33% 71,19% 25,12%
PU - C10 Rata² C10 2,27% 4,90% 74,51% 18,32%
4 D1 1 1,49% 0,70% 80,42% 17,39%
5 D1 2 0,91% 0,24% 90,49% 8,36%
6 D1 3 1,35% 1,75% 78,79% 18,11%
PU - D1 Rata² D1 1,25% 0,90% 83,23% 14,62%
7 D2 1 0,96% 5,67% 83,97% 9,41%
8 D2 2 1,01% 0,42% 95,30% 3,28%
9 D2 3 1,24% 1,71% 89,40% 7,65%
PU - D2 Rata² D2 1,07% 2,60% 89,55% 6,78%
Hasil terpenting dari pengujian ini adalah dapat diketahuinya diameter
endapan butiran yang sangat berpengaruh dalam gerakan sedimen. Hasil
akhir analisa mekanik digambarkan dengan kurva distribusi ukuran butiran
di titik PU-D2 yang dapat dilihat pada Gambar 4.2.1, Gambar 4.2.2, dan
Gambar 4.2.3 Analisa hasil penggabungan antara teknik ayakan dan teknik
Gambar 4.2.1 Kurva distribusi ukuran butiran PU-D2 titik 1
Gambar 4.2.2 Kurva distribusi ukuran butiran PU-D2 titik 2
Gambar 4.2.3 Kurva distribusi ukuran butiran PU-D2 titik 3 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0.001 0.010 0.100 1.000 10.000 P e rse nta se butiran ya ng lo lo s, %
Ukuran butiran, mm DISTRIBUSI BUTIRAN TANAH
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0.001 0.010 0.100 1.000 10.000 P e rse nta se butiran ya ng lo lo s, %
Ukuran butiran, mm DISTRIBUSI BUTIRAN TANAH
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0.001 0.010 0.100 1.000 10.000 P e rse nta se butiran ya ng lo lo s, %
[image:57.595.129.526.562.734.2]4.2.5 Hasil Analisa Uji Geser Langsung
Tegangan geser dihasilkan dari perbandingan antara gaya geser
dengan luasan sampel tanah, begitu pula dengan tegangan normal. Dari
titik-titik yang diplotkan pada grafik ditarik garis lurus terbaik sehingga
didapatkan besarnya sudut geser intern (ø) berikut dengan nilai kohesi (C)
tanahnya. Pada pengujian ini untuk menganalisis datanya digunakan
program komputer mengingat begitu banyaknya sampel yang harus diuji.
Penyajian hasil uji geser langsung ditampilkan dalam bentuk grafik
hubungan antara tegangan geser sebagai ordinatnya dan tegangan normal
sebagai absisnya. Hasil akhir analisa sudut geser tanah dapat dilihat pada
Tabel 4.8, sedangkan data laboratorium dan proses perhitungan
[image:58.595.140.506.470.677.2]selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7.
Table 4.8 Hasil pemeriksaan sudut geser tanah
No Posisi Kode c Satuan ɸ Satuan
1 C10 1 0,35 kg/cm2 38,65 o
2 C10 2 0,29 kg/cm2 37,00 o
3 C10 3 0,19 kg/cm2 36,50 o
PU - C10 Rata² C10 0,28 kg/cm2 37,38 o
4 D1 1 0,29 kg/cm2 40,95 o
5 D1 2 0,26 kg/cm2 41,78 o
6 D1 3 0,09 kg/cm2 45,13 o
PU - D1 Rata² D1 0,21 kg/cm2 42,62 o
7 D2 1 0,23 kg/cm2 36,25 o
8 D2 2 0,24 kg/cm2 34,39 o
9 D2 3 0,14 kg/cm2 35,84 o
4.2.6 Hasil Analisa Penampang Memanjang Sungai
Dari data morfologi Kali Putih yang didapat dari Balai Sabo
Yogyakarta mencantumkan data elevasi dan jarak dapat diubah menjadi
grafik yang menggambarkan hubungan antara jarak dan elevasi tersebut.
Sumbu ordinat sebagai elevasi sungai dan sebagai absisnya adalah jarak tiap
titik elevasi sepanjang sungai dari muara dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3 Morfologi Kali Putih (Balai Sabo Yogyakarta, 2015)
4.2.7 Hasil Perhitungan Tinggi Air Minimum (Ho)
Dari hasil-hasil analisis kadar air tanah, berat jenis, analisis saringan,
uji geser langsung, pengukuran penampang memanjang sungai, maka akan
didapatkan variabel-variabel yang akan digunakan untuk menghitung ho dari
Persamaan Takahashi sebagai ketinggian air minimum yang dapat memicu
terjadinya aliran debris pada titik-titik yang ditinjau. Hasil perhitungan
Tabel 4.9 Kedalaman air minimum penyebab terjadinya aliran debris
No Titik Sabo Jarak (m)
Elevasi (m)
θ (o)
d50
(m) C*
ɸ (o)
ho
(m)
1 PU - C10 1 5757 604 6,1 0,006 0,614 38,65 0,007
2 PU - C10 2 5422 6,6 0,006 0,607 37 0,007
3 PU - C10 3 5198 7,0 0,006 0,586 36,5 0,007
4 PU - D1 1 5059 638 7,9 0,007 0,533 40,95 0,006
5 PU - D1 2 4724 8,2 0,007 0,547 41,78 0,006
6 PU - D1 3 4487 8,6 0,007 0,531 45,13 0,006
7 PU - D2 1 3827 702 9,4 0,004 0,572 36,25 0,006
8 PU - D2 2 3611 10,1 0,004 0,561 34,39 0,006
9 PU - D2 3 3378 10,9 0,004 0,558 35,84 0,006
Untuk mengetahui kedalaman air minimum penyebab terjadinya aliran
debris secara menyeluruh disepanjang alur Kali Putih, maka data hasil
pengamatan laboratorium harus ditentukan rata-ratanya seperti yang terlihat
pada tabel-tabel yang tersebut di atas. Nilai rata-rata yang ada dari
masing-masing parameter adalah sebagai berikut :
Berat jenis tanah Gs = 2,67
Kadar air w = 14,15 (%)
Angka pori e = 0,772
Konsentrasi sedimen C* = 0,564
Sudut geser tanah ɸ = 38,50 (o)
Berat volume air γb = 1,000 (t/m3)
4.3 Analisa Curah Hujan
Untuk mendapatkan garis kritik guna memperkirakan terjadinya aliran
debris dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
4.3.1 Pemilihan Stasiun
Stasiun