• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi titik kritis traceability menggunakan metode pendekatan Failure Modes Effects and Criticality Analysis (FMECA) pada industri pengolahan udang breaded di PT Y

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi titik kritis traceability menggunakan metode pendekatan Failure Modes Effects and Criticality Analysis (FMECA) pada industri pengolahan udang breaded di PT Y"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

Effects and Criticality Analysis (FMECA) PADA INDUSTRI

PENGOLAHAN UDANG BREADED DI PT Y

MOLLY HESAMESTYNA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI DAN HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

Menggunakan Pendekatan Failure Modes Effects And Criticality Analysis

(FMECA) pada Industri Pengolahan Udang di PT Y. Dibimbing oleh BUSTAMI

IBRAHIM dan AGOES M. JACOEB.

Identifikasi titik kritis traceability digunakan untuk menganalisis dan

mengidentifikasi titik kritis pada implementasi internal traceability dalam proses

produksi di perusahaan dengan menggunakan metode Failure Modes, Effects and

Criticality Analysis (FMECA). Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menggunakan metode FMECA untuk menganalisis dan mengidentifikasi titik

kritis pada implementasi internal traceability dalam proses produksi udang

breaded di PT Y.

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: pemahaman terhadap

proses produksi (serta proses traceability di perusahaan), pembuatan outline

(skema) proses produksi dan analisis data. Tahapan penelitian pembuatan skema proses adalah mengumpulkan data yang berhubungan dengan tahapan proses selama proses produksi di perusahaan dan wawancara secara terstruktur. Pengumpulan data dan dokumen dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan manajemen TC dalam perusahaan serta mencatat informasi penting pada tiap tahapan proses (meliputi pengecekan dan pengamatan keadaan di lapangan terhadap tahapan proses yang didokumentasikan, dan metode pelabelan yang digunakan). Analisis data dilakukan berdasarkan Sistem Pakar dengan menggunakan aplikasi tehnik FMECA. Analisis FMECA terdiri dari dua tahapan

analisis yaitu: Analisis ragam/ titik kegagalan dan analisis efek (Failure Modes

and Effects Analysis/ FMEA). Analis FMEA dibagi menjadi dua tahapan analisis

yaitu: Analisis titik-titik kegagalan traceability (failure mode analysis) dan

Analisis efek (efek lokal dan global). Sedangkan analisis kritikal (Criticality

Analysis/ CA) dilakukan melalui empat tahapan: Menentukan tingkat kepelikan (Severity/ S), Menentukan peluang terjadinya (Probability/ P), Menetukan nilai masing-masing titik kegagalan dengan menggunakan metode RPN dan

Menentukan posisi dalam matriks kritikal (criticality matrix).

Hasil FMECA yang dilakukan pada manajemen sistem traceability

diperusahaan maka diperoleh bahwa PT Y memiliki 10 titik kegagalan yaitu pada

failure ID 1.10; 1.20; 1.30; 9.10; 16.10; 17.10; 19.10; 19.20; 25.10; 25.20. Penyebab-penyebab kegagalan adalah tidak ada pencatatan Surat perjanjian jual beli udang (1.10); tidak ada Nota pembelian produk (1.20); Tidak ada pencatatan Nota timbang produk saat di tambak/ tiba diperusahaan (1.30); Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan(9.10; 16.10; 17.10); Tidak diberikannya label (19.10); Tidak diketahui berat akhir udang setelah proses breaded (19.20); Penomoran produk tersisa yang jumlahnya sedikit menjadi label dengan jumlah produk yang terbanyak dalam 1 MC (25.10); dan Misslabelling (25.20). Setelah

diketahui kemungkinan-kemungkinan titik kegagalan traceability dalam

perusahaan maka peneliti mengajukan proposal perbaikan struktural manajemen

taceability dalam perusahaan. Proposal ini bertujuan menurunkan level/ area kritis

dari masing-masing failure ID tersebut sehingga mencapai keefektifan dan

(3)

Effects and Criticality Analysis ) PADA INDUSTRI

PENGOLAHAN UDANG DI PT Y

MOLLY HESAMESTYNA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI DAN HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Identifikasi Titik Kritis Traceability Menggunakan Pendekatan Failure Modes Effects And Criticality

Analysis (FMECA) pada Industri Pengolahan Udang di PT Y adalah karya

saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk

apa pun ke perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang dikutip dari karya

yang telah diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

(5)

Nama : Molly Hesamestyna

NRP : C34061993

Menyetujui:

Pembimbing I

Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc NIP. 19611101 198703 1 002

Pembimbing II

Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol NIP. 19591127 1986010 1 005

Mengetahui

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP. 19580511 198503 1 002

(6)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Februari 1990.

Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari

pasangan Ir. Sanga P. Simanjuntak dan Dra. Herly Manurung.

Penulis menempuh pendidikan di TK Agape Doulos, Jakarta

pada tahun 1993-1994. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di

SD Katholik Nusa Melati, Jakarta Timur selama enam tahun pada tahun

1994-2000. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama

di SMPN 9 Jakarta pada tahun 2000-2003 serta melanjutkan pendidikan di SMA

Negeri 64 Jakarta pada tahun 2003-2006.

Pada tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih

tinggi melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada program Strata 1

(S1) program studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama di IPB, penulis aktif dalam unit

kegiatan mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB serta asisten

mata kuliah Avertebrata Air pada periode 2008/2009 dan periode 2009/2010.

Penulis menyusun tugas akhir dengan judul Identifikasi Titik Kritis

Traceability dengan Menggunakan Pendekatan FMECA (Failure Modes Effects and Criticality Analysis pada Industri Pengolahan Udang di PT Y di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Agoes M.

Jacoeb, Dipl.-Biol. sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

(7)

iv

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala berkat-Nya

sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Pelaksanaan skripsi ini bertempat di PT

Y. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS (Alm) selaku dosen pembimbing sekaligus

dosen Pembimbing Akademik, yang telah memberikan bimbingan dan

pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc selaku dosen pembimbing, yang

telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi

ini.

3. Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol selaku dosen pembimbing

kedua dan Ketua Program Studi Departemen Teknologi Hasil Perairan,

yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan

skripsi ini.

4. Bapak Ir. Dadi R.Sukarsa selaku dosen penguji yang telah memberikan

masukan dan pengarahan dalam skripsi ini.

5. Kedua orangtuaku tercinta serta seluruh keluargaku yang senantiasa

memberikan doa, semangat dan dukungan kepada penulis selama

menempuh pendidikan di Bogor.

6. Pimpinan PT Adijaya Guna Satwatama, Cirebon, Jawa Barat yang telah

memberikan kesempatan pada penulis untuk melaksanakan penelitian.

7. Ibu Yeni selaku pembimbing di lapangan, yang telah banyak membantu

dan memberikan informasi, bimbingan dan pengarahan saat di lapangan.

8. Bapak Budi dan Bapak Fuad Sulaiman, atas segala bimbingan kepada

penulis saat melaksanakan skripsi di lapangan.

9. Mba Rika, mba Ruri, mba Naoki atas bantuannya selama penulis berada

(8)

v

11.K‟eka dan teman-teman di Perwira 43, terimakasih atas bantuannya

selama ini.

12.Teman-teman KPS‟43 PMK, terimakasih atas kebersamaanya selalu.

13.Teman-teman seperjuanganku Holland, Cikui, Arin, Tika, Hilda, Septin

dan Idmar yang yang telah memberikan semangat dan dorongan kepada

penulis untuk segera menyelesaikan penelitian.

14.Uuk, K‟era, Cece, Anggi, Ratna, Ratih, Achi, serta semua teman-temanku

di THP‟43, 44, dan 45 yang telah memberikan semangat dan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penelitian.

15.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini yang tidak dapat penulis sebutkan nama satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap

penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua pihak yang

membutuhkannya. Terima kasih.

Bogor, Juli 2011

(9)

vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ...x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

1 PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA ...3

2.1 Udang ... 3

2.1.1 Deskripsi dan klasifikasi udang ... 3

2.1.2 Komposisi kimia udang ... 5

2.2 Proses Kemunduran Mutu Udang ... 5

2.3 Mutu dan Keamanan Pangan ... 7

2.3.1 Mutu Pangan ... 7

2.3.2 Keamanan pangan ... 8

2.4 Traceability (Mampu Telusur) ... 10

2.5 Dokumentasi dan Perekaman ... 13

2.6 Metode FMECA ... 16

3 METODOLOGI ...19

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

3.2 Kerangka Pemikiran ... 19

3.3 Tata Laksana Penelitian ... 20

3.3.1 Pemahaman terhadap proses produksi ... 20

3.3.2 Pembuatan outline (skema) proses produksi... 20

3.3.3 Analisis data ... 20

3.4 Tehnik Pengumpulan Data ... 22

3.5 Pakar ... 23

4 PEMBAHASAN ...25

4.1 Keadaan Umum Perusahaan ... 25

4.1.1 Sejarah dan perkembangan perusahaan ... 25

4.1.2 Struktur organisasi perusahaan ... 26

(10)

vii

4.2.3 Pencucian 1 ... 32

4.2.4 Potong kepala ... 33

4.2.5 Pencucian II ... 34

4.2.6 Sortasi ukuran ... 34

4.2.7 Sortasi final ... 35

4.2.8 Pencucian III ... 35

4.2.9 Kupas (peeled) ... 35

4.2.10 Pembuangan usus ... 36

4.2.11 Pencucian dan penimbangan ... 36

4.2.12 Gores perut ... 37

4.2.18 Penyusunan tray ... 39

4.2.19 Penimbangan ... 39

4.2.20 Pemeriksaan akhir ... 39

4.2.21 Pembekuan ... 40

4.2.23 Pengemasan ke dalam polybag ... 40

4.2.24 Pendeteksian logam ... 40

4.2.25 Pengemasan ke dalam Master Cartoon (MC) ... 42

4.2.26 Penyimpanan dalam ruang pendinginan (Cold Storage/ CS) ... 42

4.2.27 Stuffing dan distribusi ... 42

4.3 Failure Modes, Effects and Criticality Analysis (FMECA) ... 48

4.4 Analisis FMEA ... 51

4.4.1 Pengangkutan bahan baku ... 53

4.4.2 Penerimaan bahan baku ... 53

4.4.3 Pencucian ... 54

4.4.10 Pembuangan usus ... 56

4.4.13 Stretching ... 57

4.4.14 Pencucian IV ... 58

4.4.15 Soaking ... 58

4.4.16 Pemberian pre-dust ... 58

4.4.17 Pemberian batter dan breadcrumb... 59

4.4.18 Penyusunan tray ... 59

(11)

viii

4.4.23 Pengemasan primer ... 60

4.4.24 Pendeteksian logam ... 61

4.4.25 Pengemasan sekunder ... 61

4.4.26 Penyimpanan dalam Cold Storage (CS) ... 61

4.4.27 Stuffing dan distribusi ... 62

4.5. Analisis CA ... 62

5 KESIMPULAN DAN SARAN ...76

5.1 Kesimpulan ... 76

5.2 Saran ... 76

(12)

ix

Tabel 1 Volume dan nilai ekspor udang Indonesia ...5

Tabel 2 Komposisi kimia daging udang mentah ...6

Tabel 3 Klasifikasi tingkat kepelikan dan peluang terjadinya berdasarkan MIL STD-1629A ... 23

Tabel 4 Daftar pemasok udang (Supplier) perusahaan ...33

Tabel 5 Kode jam/ waktu produksi ...42

Tabel 6 Outline dokumen perekaman perusahaan ...44

Tabel 7 Sortasi ukuran SF pada udang Black Tiger (Penaeus monodon) ...48

Tabel 8 Peluang terjadinya kegagalan (probability of occurence) ...64

Tabel 9 Tingkat kepelikan (severity classification) ...64

Tabel 10 Deteksi terjadinya kegagalan (detection) ...65

Tabel 11 Analisis FMECA dari kedua pakar ...67

(13)

x

Nomor Teks Halaman

Gambar 1 Identifikasi udang secara umum...3

Gambar 2 Matriks analisis kritikal... ...24

Gambar 3 Tagging pada proses penerimaan bahan baku... ...31

Gambar 4 Tagging pada tahap potong kepala... ...34

Gambar 5 Tagging pada tahap sortasi ukuran... ...35

Gambar 6 Pelabelan pada kemasan primer (polybag)... ...41

Gambar 7 Pelabelan pada kemasan sekunder... ...42

Gambar 8 Kisaran RPN pada masing-masing titik kegagalan traceability ...65

Gambar 9 Hasil analisis CA pada matriks kritikal... ...69

(14)

xi

Lampiran 1. Manajemen TC dalam proses produksi breaded ...82

Lampiran 2. Analisis Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) ...83

Lampiran 3. Analisis FMECA oleh Pakar 1 (perusahaan) ...90

Lampiran 4. Analisis FMECA oleh Pakar 2 (akademik) ...93

(15)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Udang merupakan salah satu komoditas penting dalam perikanan Indonesia

(KKP 2010). Selain itu, udang memiliki kandungan lemak yang rendah dan

kandungan protein yang tinggi (Murty 1991). Negara tujuan utama ekspor produk

udang Indonesia adalah Jepang, United States, dan UE (Gillet 2008).

Ekspor udang Indonesia ke luar negeri mengalami kendala yang diakibatkan

masalah berkaitan dengan keamanan pangan. Keamanan pangan menjadi sangat

penting saat ini bagi masyarakat internasional mengingat pangan dapat menjadi

transmisi agen penyebab penyakit (bakteri, virus dan kuman lainnya) dari suatu

negara ke negara lain. Mereka mensyaratkan standar yang tinggi pada bahan

pangan yang diterima dan dikonsumsinya (Hariyadi 2007). Saat ini, masyarakat

Eropa mengembangkan Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) yaitu

sistem yang dikembangkan masyarakat Eropa untuk menyediakan informasi

secepat mungkin mengenai bahaya keamanan dan kesehatan pangan serta pakan.

Pada kasus tahun 2008, masih ditemukan 3 notifikasi pada produk udang beku

(frozen shrimps) yang berasal dari Indonesia (RASFF 2009).

Pada saat ditemukannya notifikasi ALERT pada suatu produk maka akan

dilakukan langkah penahanan, pelepasan, atau pengendalian sesegera mungkin.

Saat dilakukannya penarikan ulang terhadap produk, maka perusahaan

memerlukan traceability untuk dapat menelusuri bahan baku produk. Traceability

dibutuhkan oleh produsen/ perusahaan, sehingga jika suatu permasalahan

berkembang selama proses produksi maka produsen dapat menarik kembali hanya

batch yang terkena masalah dan bukan keseluruhan produk yang diproduksi bersamaan pada saat itu. Hal ini menjadi penting bagi produsen untuk membuat

surat izin agar dilakukan penghentian proses produksi pada bagian lot yang

bersangkutan sehingga mencegah produk yang berasal dari lot yang sama tersebut

selesai di produksi (Martinez et al. 2005).

Sistem Mampu Telusur (traceability) merupakan salah satu tahapan dalam

pelaksanaan persyaratan standar ISO 22000:2005. Acu silang antara HACCP dan

(16)

perekaman (record keeping). Pada saat terjadi penarikan produk dari pasar (recall

product) maka perusahaan membutuhkan suatu sistem keterlusuran produk yang mampu mengidentifikasi lot bahan baku mulai dari pemasok langsung, proses

produksi hingga distribusi produk. Sistem penelusuran produk (traceability

system) membutuhkan dokumen dan rekaman saat pelaksanaan HACCP perusahaan yang berkaitan dengan analisis bahaya (misalnya: rekaman

pemantauan CCP secara berkala) atau rekaman yang berkaitan dengan program

verifikasi (misalnya: rekaman jadwal kalibrasi, sertifikat hasil kalibrasi, jadwal

internal audit dan laporan internal audit) (Thaheer 2005).

Titik kritis traceability adalah tahapan proses produksi, yang tidak

dilakukan proses pelabelan dan dokumentasi saat pelaksanaan sistem traceability

dalam perusahaan. Identifikasi terhadap titik kritis traceability digunakan untuk

menganalisis dan mengidentifikasi titik kritis pada implementasi internal

traceability dalam proses produksi di perusahaan dengan menggunakan metode

Failure Modes, Effects and Criticality Analysis (FMECA). Hasil dari identifikasi titik kritis metode FMECA dapat digunakan sebagai acuan bagi perusahaan untuk

mengambil tindakan koreksi terhadap pelaksanaan internal traceability serta

membuat pelaksanaan traceability menjadi efektif dan efisien (Bertolini et al.

2006). Keefektifan sistem (misalnya, kemampuan dalam mengumpulkan

informasi penting) dan keefisienan sistem (misalnya seberapa cepat kemampuan

perusahaan untuk melakukan perbaikan/ recover dan penggunaan kembali

informasi yang dihasilkan) tersebut memberikan keuntungan kompetitif bagi

perusahaan sehingga dapat bersaing dengan kompetitor lainnya dalam memberi

jaminan keamanan produk, transparansi dan perlindungan terhadap kesehatan

konsumen (Bertolini et al. 2006; Schroder 2008).

1.2 Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menganalisis dan

mengidentifikasi titik kritis pada implementasi internal traceability dengan

(17)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Udang

Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki

aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi tinggi (Purwaningsih 1995). Udang

merupakan salah satu ikan ekonomis penting dalam komoditas perikanan di

Indonesia (KKP 2010).

2.1.1. Deskripsi dan klasifikasi udang

Udang diklasifikasikan ke dalam filum Crustacea dan genus Penaeus.

Setiap udang kemudian dibagi-bagi kembali atas suku, marga dan jenis yang

berbeda-beda. Udang juga dibedakan menurut tempat hidupnya yaitu udang laut

dan udang darat (Purwaningsih 1995). Klasifikasi udang menurut Bailey-Brock

dan Shaun (1992):

Filum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Sub-kelas : Eucarida

Ordo : Decapoda

Sub-Ordo : Natantia

Famili : Penaeidae

Genus : Penaeus

Gambar 1 Morfologi udang secara umum

(Sumber : King 2007 dalam Gillett 2008)

Ordo Decapoda memiliki 3 pasang apendik pada thorax pertama, sepasang

(18)

5 pasang apendik yang berfungsi sebagai kaki jalan (pereipod), sehingga

dinamakan Decapoda bearati “10 kaki”. Abdomen udang terdiri dari 6 ruas dan

memiliki 5 pasang kaki yang berfungsi sebagai kaki renang (pleopods), sepasang

uropod yang berfungsi untuk mendayung udang saat berenang serta memiliki

telson (Bailey-Brock dan Shaun 1992).

Penyatuan bagian kepala dengan beberapa ruas thorax/ ruas abdomen pada

Crustacea dinamakan cephalothorax. Seluruh abdomen udang tertutup oleh

kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari bahan kitin. Kerangka

tersebut mengeras, kecuali pada sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh

yang berdekatan sehingga memudahkan udang bergerak. Bagian kepala-dada

tertutup oleh sebuah kelopak yang dinamakan kelopak kepala atau cangkang

kepala (carapaceae). Pada bagian anterior cephalothorax terdapat cucuk kepala

(rostrum) yaitu berupa “gigi” yang meruncing dan pinggirnya bergerigi (Suyanto dan Ahmad 2004).

Udang merupakan hewan nokturnal yaitu sifat binatang yang aktif mencari

makan pada waktu malam. Pada waktu siang mereka lebih suka beristirahat, baik

membenamkan diri di dalam lumpur maupun menempel pada suatu benda yang

terbenam dalam air (Suyanto dan Ahmad 2004).

Udang merupakan salah satu ikan ekonomis penting dalam komoditas

perikanan di Indonesia (KKP 2010). Tiga pangsa pasar utama ekspor produk

udang Indonesia adalah Jepang, United States, dan UE (Gillet 2008). Data ekspor

perikanan Indonesia yang diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan

menunjukkan bahwa terdapat 665.274 ton atau 4.628.729.000 dolar AS udang

dikirim ke berbagai negara di Uni Eropa, AS dan Jepang (KKP 2010).

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa ekspor udang Indonesia mengalami naik

turun selama tahun 2005 hingga 2009. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa

negara penghasil devisa terbesar bagi Indonesia adalah Amerika Serikat yaitu

2.080.839.000 US$. Data produksi udang di Indonesia dari tahun 2005 – 2009

(19)

Tabel 1 Volume dan nilai ekspor udang Indonesia

Tahun

Negara tujuan

Total Jepang Amerika Serikat Uni Eropa

Volume

Total 212.423 1.731.310 314.984 2.080.839 137.867 816.580

Sumber: KKP (2010)

2.1.2 Komposisi kimia udang

Meningkatnya permintaan udang tidak terlepas dari mutu udang yaitu

sebagai bahan pangan yang bergizi. Udang memiliki kandungan lemak yang

rendah dan kandungan protein yang tinggi (Murty 1991). Udang seperti crustrasea

pada umumnya mengandung asthaxantin, yaitu suatu jenis karotenoid yang

berwarna merah muda atau merah. Warna kebiruan pada udang segar dihasilkan

dari ikatan asthaxantin dengan protein. Jika terkena panas maka ikatan protein

dengan asthaxanthin akan terputus sehingga menghasilkan warna merah

kekuningan yang khas dari karotenoid bebas. Komposisi kimia daging udang

dapat dilihat pada Tabel 2.

2.2 Proses Kemunduran Mutu Udang

Syarat bahan baku udang segar yang digunakan untuk menghasilkan suatu

produk harus memenuhi SNI 01-2728.2-2006. Bahan baku udang segar adalah

semua jenis udang hasil perikanan yang baru ditangkap/ dipanen dan belum

mengalami penanganan dan pengolahan. Mutu bahan baku yang harus dipenuhi

adalah bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan

pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat

alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan

(20)

Tabel 2 Komposisi kimia daging udang mentah

Bahan gizi Satuan Kandungan gizi per

100 gram udang

Catatan: nilai dan berat gizi yang digunakan untuk edible portion

(spesies udang campuran)

Sumber: Anonima (2010)

Secara organoleptik bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran

seperti berikut (BSN 2006):

- Kenampakan : bening, cemerlang, antar ruas kokoh

- Bau : segar

- Tekstur : elastis, padat dan kompak.

Penurunan mutu pada udang terjadi secara autolisis, bakteriologis dan oksidasi.

Penurunan mutu ditandai dengan rasa, warna, tekstur dan rupa yang berubah

(Purwaningsih 1995). Penurunan mutu secara autolisis adalah proses penurunan

(21)

tubuh udang. Enzim secara alami terdapat pada ikan hidup yaitu di dalam sistem

pencernaan dan dalam daging. Kegiatan enzim pada ikan hidup dapat diatur oleh

badan ikan dan kegiatannya menguntungkan bagi ikan. Saat ikan mati,

enzim-enzim tersebut masih tetap aktif dan enzim-enzim proteolitis yang semula menguraikan

bahan makanan yang masuk ke dalam perut ikan karena sudah tidak ada lagi

makanan yang masuk lalu enzim tersebut akan menguraikan jaringan disekitarnya.

Proses ini disebut autolisa, yaitu proses penguraian jaringan yang berjalan dengan

sendirinya setelah ikan itu mati (Moeljanto 1992). Proses ini ditandai dengan

perubahan rasa, warna, tekstur dan rupa ikan (Purwaningsih 1995).

Penurunanan mutu secara bakteriologis adalah proses penurunan mutu yang

disebabkan kegiatan bakteri yang berasal dari selaput lendir, permukaan tubuh,

insang, dan saluran pencernaan. Penurunan mutu ini mengakibatkan daging udang

terurai dan menimbulkan bau busuk (Purwaningsih 1995). Pencegahan atau usaha

untuk menghentikan penurunan mutu ikan secara bakteriologis adalah

pendinginan atau pembekuan ikan. Untuk mengurangi bakteri di dalam insang

dapat dilakukan dengan mencuci atau membuang insangnya, lalu mencucinya

dengan menggunakan air bersih. Pengurangan bakteri dari dalam rongga perut

dilakukan dengan membuang semua isi perut dan mencucinya bersih-bersih

(Moeljanto 1992).

Pencegahan terhadap terjadinya penurunan mutu secara oksidasi biasanya

terjadi pada udang yang kandungan lemaknya tinggi. Penurunan mutu ini terjadi

karena lemak udang dioksidasi oleh oksigen yang berada di udara sehingga

akhirnya menimbulkan bau dan rasa yang tengik (Purwaningsih 1995).

2.3 Mutu dan Keamanan Pangan 2.3.1 Mutu Pangan

Pemahaman perusahaan terhadap mutu sangat penting untuk memenuhi

persyaratan mutu yang diminta oleh konsumen. J.M. Juran mendefinisikan mutu

sebagai “fitness for use” (cocok atau layak untuk digunakan). Fitness for use juga memiliki arti yaitu suatu produk atau jasa harus dapat memenuhi kebutuhan dan

(22)

mendefinisikan mutu (quality) adalah derajat yang dicapai oleh karakteristik yang inheren dalam memenuhi persyaratan.

Undang-Undang Republik Indonesia No.7 tahun 1996, pengertian mutu

pangan berkaitan dengan keamanan pangan yaitu nilai yang ditentukan atas dasar

kriteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap

bahan makanan dan minuman. Sedangkan pada literatur lain, mutu adalah sesuatu

yang diputuskan oleh pelanggan, dan bukan pula oleh pemasaran atau manajemen.

Mutu dapat didefinisikan sebagai keseluruhan gabungan karakteristik produk dan

jasa dari pemasaran, rekayasa, pembikinan dan pemeliharaan yang membuat

produk dan jasa yang digunakan memenuhi harapan-harapan pelanggan.

Pengukuran terhadap mutu dilakukan dengan menentukan dan mengevaluasi

hingga derajat atau tingkat suatu produk atau jasa mendekati keseluruhan

gabungan ini (Feigenbaum 1983).

Pada industri pangan, mutu ditentukan oleh berbagai karakteristik yang

terus berkembang mengikuti kebutuhan konsumen yang semakin luas

spektrumnya. Salah satu karakteristik mutu yang menjadi isu dalam nasional dan

internasional adalah karakteristik keamanan pangan (food safety). Semakin tinggi

pengetahuan dan kemampuan ekonomi suatu masyarakat, semakin tinggi pula

kecenderungan menuntut pangan yang lebih aman untuk dimakan (Muhandri dan

Darwin 2008). Terdapat beberapa jenis bahaya dalam bisnis pangan yang dapat

mempengaruhi secara negatif atau membahayakan konsumen, yaitu bahaya

biologis, kimia, dan bahaya fisik (Winarno dan Surono 2004). Karakteristik

keamanan ini dirasakan banyak menghambat ekspor produk pangan negara-negara

dunia ketiga ke negara maju, misalnya Amerika serikat, Eropa, dan Jepang karena

persyaratan yang diberlakukan secara ketat. Apabila produsen ingin mendapatkan

pasar ke negara-negara tersebut, maka karakteristik ini harus ditangani secara

intensif (Muhandri dan Darwin 2008).

2.3.2 Keamanan pangan

Mutu dan keamanan pangan ikan menjadi salah satu aspek penting saat

mengekspor produk perikanan Indonesia. Definisi keamanan pangan dalam

Undang-Undang Republik Indonesia No.7 tahun 1996 tentang Pangan hampir

(23)

mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain

yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.

Pada literatur lain, yaitu Regulation (EC) No. 178/2002 (2002), definisi keamanan

pangan adalah semua kondisi dan upaya yang diperlukan selama proses produksi,

pengolahan, penyimpanan, dan distribusi kepada konsumen. Setiap tahapan

tersebut harus diperhatikan dengan baik mengingat setiap tahapan tersebut dapat

memiliki bahaya potensial terhadap keamanan pangan.

Keamanan pangan menjadi sangat penting juga karena pangan dapat

menjadi transmisi agen penyebab penyakit (bakteri, virus dan kuman lainnya) dari

suatu negara ke negara lain. Masyarakat internasional memperhatikan keamanan

pangan yang dikonsumsinya, sehingga mereka mensyaratkan standar yang tinggi

pada bahan pangan yang diterima dan dikonsumsinya. Bila masyarakat Indonesia

terutama para eksportir bahan pangan belum memahami pentingnya keamanan

pada pangan yang dijualnya, maka akan lebih banyak terjadi kasus penahanan dari

negara importir (Hariyadi 2007).

Keamanan pangan juga menjadi aspek penting bagi masyarakat Eropa.

Negara-negara Eropa memiliki ketentuan yang bersifat mandatory yang harus

dipenuhi oleh semua komoditi pangan dan pakan yang masuk ke kawasan Eropa

(RASFF 2009). Masyarakat Eropa mengembangkan Rapid Alert System for Food

and Feed (RASFF) yaitu sistem yang dikembangkan masyarakat Eropa untuk menyediakan informasi secepat mungkin mengenai bahaya keamanan dan

kesehatan pangan serta pakan. Sistem tersebut menyediakan peralatan efektif

sehingga dapat saling bertukar informasi dalam menjawab resiko serius pada

pangan atau pakan (Regulation (EC) No. 178/2002). Sistem tersebut menyediakan

lembaga yang berwenang dalam pertukaran informasi pada masing-masing negara

meliputi Komunitas Eropa (Europa Commision/ UE), EFTA (European Free

Trade Assocation), EFSA (European Food Safety Authority) serta negara lainnya yakni Austria, Belgia, Bulgaria, Cyprus, Republik Czech, Denmark, Estonia,

Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Iceland, Ireland, Italy, Latvia,

Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Malta, Netherlands dan Norway. Dasar

(24)

mandatory bagi semua komoditi pangan dan pakan yang masuk ke kawasan Eropa.

RASFF disepakati dengan menerapkan dua macam notifikasi yaitu

notifikasi ALERT dan notifikasi INFORMASI. Notifikasi ALERT adalah

notifikasi yang bertalian dengan produk yang ada di pasar kawasan Eropa, yang

beresiko serius bagi pengguna. Notifikasi INFORMASI adalah notifikasi yang

berhubungan pada produk yang beresiko bagi pengguna, namun diasumsikan

tidak beredar di pasar Eropa (misalnya tertahan di perbatasan, produk terlanjur

kadaluarsa, ada periode waktu lama antara penemuannya dengan notifikasi).

Notifikasi ALERT mengharuskan langkah penahanan, pelepasan, atau

pengendalian sesegera mungkin. Sedangkan notifikasi INFORMASI tidak

mengharuskan adanya langkah aksi secara cepat (RASFF 2009). Pada keseluruhan

kasus notifikasi pada tahun 2000 keatas untuk kategori produk: Crustacea dan

produk turunan Crustacea (Crustaceans and products thereof) terdapat 87

notifikasi. Pada tahun 2008, terdapat 3 notifikasi yang disebabkan oleh kondisi

higiene yang buruk serta bahaya kimia (kloramfenikol dan merkuri).

2.4 Traceability (Mampu Telusur)

Pengertian traceability berdasarkan Derrick dan Dillon (2004) adalah

kemampuan untuk menelusuri, mengikuti, dan mengidentifikasi unit/ batch

produk “dengan unik” pada keseluruhan tahapan produksi, proses, dan distribusi.

Menurut ISO 22005 (2007), sistem traceability merupakan alat yang berfungsi

membantu suatu organisasi beroperasi dalam suatu rantai pasok pangan atau

pakan untuk mencapai sasaran hasil yang didefinisikan dalam sistem manajemen.

Traceability adalah kemampuan untuk dapat mengikuti pergerakan pangan atau

pakan pada setiap tahapan produksi, pengolahan, dan distribusi. Pergerakan

pangan atau pakan tersebut juga termasuk asal bahan baku, riwayat selama

pengolahan atau distribusi serta pada keseluruhan bagian produksi dan rantai

proses produksi. Perusahaan harus melakukan perekaman terhadap pelaksanaan

traceability dan dokumen perekaman traceability tersebut harus tetap disimpan. Peraturan Uni Eropa No.178/ 2002 pada pasal 3 menyatakan bahwa

(25)

pangan, pakan, hewan yang menghasilkan pangan (food-producing animal), dan bahan tambahan yang akan dicampur ke dalam pangan/pakan pada keseluruhan

tahapan proses produksi, pengolahan dan distribusi. Keseluruhan tahapan tersebut

yaitu mulai pada saat produksi awal (dari kolam, tambak/ laut), proses produksi di

pabrik, penyimpanan, distribusi penjualan hingga saat mencapai konsumen akhir

(yaitu orang-orang yang tidak menggunkana pangan tersebut sebagai bagian dri

operasi/ aktivitas dalam bisnis pangan/pakan) (Regulation (EC) No. 178/2002).

CAC (2010) juga menyampaikan definisi traceability seperti pada UE No.178/

2002, yaitu kemampuan untuk mengikuti pergerakan pangan secara spesifik pada

masing-masing tahapan produksi, pengolahan dan distribusi. Moe (1998),

traceability merupakan salah satu subsistem penting dalam manajemen mutu.

Pengembangan sistem internal traceability digunakan perusahaan untuk

meningkatkan efisiensi pengumpulan data, kontrol sistem (plant control) dan

jaminan mutu produk.

Traceability menyediakan informasi sejarah produk yang menghubungkan

antara bagian hulu (upstream) pada rantai pasok perusahaan (seperti pada saat

proses pemesanan bahan baku) ke bagian hilir (downstream) (seperti proses

pengiriman sesuai dengan karakter masing-masing produk), sehingga informasi

tersebut dapat digunakan untuk tujuan pelaporan bagi kedua belah pihak ataupun

bagi pihak ketiga (Regattieri et al. 2007).

Kemampuan sistem traceability dalam menelusuri produk yaitu mencakup

tracable dan trackable. Trackable (tracing) yaitu kemampuan sistem dapat mengikuti jejak produk dalam rantai produksi pangan mulai dari pemasok hingga

mencapai konsumen/ke bagian hilir (downstream). Tracking menjadi salah satu

faktor kritis efisiensi penarikan produk dari pasaran. Tracing merupakan

kemampuan suatu sistem dalam mengidentifikasi asal dan karakteristik suatu

bahan baku (tracing back)/ ke bagian hulu (upstream) (Dupuy et al. 2005). Sistem

mampu telusur terdiri dari tiga komponen yaitu: 1) Mampu telusur terhadap

pemasok (supplier traceability) yaitu untuk menjamin bahwa asal bahan baku

(ingredient) dapat diidentifikasi dari rekaman (record) dan dokumentasi; 2)

Mampu telusur terhadap rantai proses (process traceability) yaitu untuk menjamin

(26)

diidentifikasi; 3) Mampu telusur terhadap pelanggan (customer traceability) yaitu untuk menjamin bahwa pelanggan dari semua produk yang disuplai dapat

diidentifikasi (Wiryanti 2009).

Moe (1998), sistem yang bagus dalam pengawasan kualitas dan

traceability dalam proses produksi dapat menghasilkan beberapa keuntungan kompetitif bagi perusahaan, yaitu:

a) Meningkatkan pengawasan terhadap proses, melalui petunjuk

sebab-akibat (cause-and-effect) sehingga dapat diketahui produk yang tidak

memenuhi standart perusahaan;

b) Menghubungkan secara langsung antara produk akhir dan data bahan

baku, sehingga secara spesifik dapat meningkatkan proses produksi dan

memberikan jaminan penggunaan bahan baku untuk menghasilkan

produk akhir;

c) Mencegah pencampuran bahan baku yang berkualitas baik dengan

bahan baku yang berkualitas rendah sehingga menghasilkan campuran

(mixed) produk yang tidak menguntungkan bagi perusahaan;

d) Proses audit mutu menjadi lebih mudah.

Traceability berarti menyediakan informasi lebih bagi produsen/ perusahaan dalam menjamin mutu dan kemanan produk, serta adanya transparansi sistem

perusahaan sehingga dapat membantu menemukan tahapan proses produksi yang

bermasalah pada rantai produksi pangan (supply chain) yang kompleks.

Traceability menjadikan pemerintah lokal setempat dapat mengidentifikasi produk yang memiliki bahaya bagi kesehatan konsumen serta penarikan produk

(jika diperlukan) (Schroder 2008).

Sistem perekaman (record keeping) yang merupakan salah satu dasar dari

sistem Mampu Telusur (Traceability) sebenarnya telah ada dalam konsep Hazard

Analysis Critical and Control Point (HACCP), yaitu pada prinsip keenam: penetapan sistem perekaman. Penerapan sistem HACCP ditekankan pada

pelaksanaan Pre-requisite Program (PRP), analisis resiko bahaya (baik

kontaminasi mikroorganisme patogen, objek fisik, kimiawi) dan pengendalian

titik kritis. Rekaman pada kegiatan pemantauan HACCP merupakan catatan dan

(27)

Critical Control Points (CCP) secara efektif sehingga produk tersebut aman dikonsumsi dan memenuhi batas keberterimaan (Thaheer 2005).

Penerapan ISO memadukan Standar Internasional yaitu prinsip-prinsip

sistem dan tahapan penerapan HACCP yang dikembangkan oleh Komisi bersama

antara FAO dan WHO dalam Codex Alimentarius Commission (CAC) dengan

sistem Mampu Telusur (Traceability). Pada saat terjadi penarikan produk dari

pasar (recall product) maka perusahaan membutuhkan suatu sistem keterlusuran

produk yang mampu mengidentifikasi lot bahan baku mulai dari pemasok

langsung, proses produksi hingga distribusi produk. Sistem penelusuran produk

(traceability system) ini membutuhkan dokumen dan rekaman saat pelaksanaan HACCP perusahaan yang berkaitan dengan analisis bahaya (misalnya: rekaman

pemantauan CCP secara berkala) atau rekaman yang berkaitan dengan program

verifikasi (misalnya: rekaman jadwal kalibrasi, sertifikat hasil kalibrasi, jadwal

internal audit dan laporan internal audit). Selain itu, rekaman identifikasi lot

ingredient bahan pengemas dan produk akhir dari hasil perekaman pelaksanaan

HACCP juga dapat digunakan untuk membantu saat terjadi recall product.

Rekaman produk harus dipelihara pada periode tertentu untuk asessmen sistem

sehingga memudahkan penanganan produk yang potensial tidak aman dan jika

terjadi kasus penarikan produk (Thaheer 2005).

2.5 Dokumentasi dan Perekaman

Unsur utama pelaksanaan sistem traceability adalah melakukan

dokumentasi dan perekaman. Dokumen merupakan data-data yang

terdokumentasi, misalnya pedoman mutu, Prosedur mutu, log book, spesifikasi,

instruksi kerja, dan formulir. Rekaman merupakan hasil dari sesuatu yang

didokumentasikan, misalnya formulir pemantauan/ pemeriksaan yang telah diisi

dan disahkan. Selain itu juga dibutuhkan penyimpanan rekaman. Penyimpanan

rekaman dilakukan setidaknya selama „self life‟ produk. Penyimpanan rekaman

dibutuhkan untuk memudahkan penelusuran produk jika terjadi penyimpangan

maupun memudahkan dalam menarik kembali (recall) produk di pasaran

(28)

Proses dokumentasi dilakukan dengan mencatat “penanda khusus” atau

berupa kode batch produk yang diproses pada tiap tahapan. Kode batch yang

tertempel pada produk akan berbeda-beda pada tiap tahapan proses produksi dan

tiap jenis produk (Derrick dan Dillon 2004). Kode batch dicantumkan pada

keseluruhan jenis barang (sehingga mirip seperti label pada seluruh

barang/produk) di dalam perusahaan sebagai informasi keseluruhan tahapan

dalam rantai pasok yaitu asal bahan baku, proses produksi, pengemasan dan

penyimpanan produk (Regattieri et al. 2007). Menurut Derrick dan Dillon (2004),

ada tiga jenis metode yang dapat digunakan dalam melakukan sistem pelabelan:

1). Metode pelabelan dengan menggunakan kertas (paper-based traceability)

Sistem ini paling banyak digunakan pada keseluruhan industri, yakni

pengkodean dengan menggunakan kertas. Langkah awal sebelum

menerapkan sistem ini adalah membuat “kode identifikasi batch” produk,

sehingga QA dapat langsung mencatat tiap kode yang tertempel pada produk

pada lembar dokumentasi tiap tahapan proses produksi (Derrick dan Dillon

2004).

Keuntungan penggunaan metode ini adalah murah dan sangat sederhana

sehingga lebih fleksibel digunakan pada tiap tahapan proses produksi

(Derrick dan Dillon 2004; Regattieri et al. 2007). Metode ini membutuhkan

ketelitian yang tinggi dari operator dalam penulisan kode dilakukan secara

manual (Regattieri et al. 2007). Proses recall akan menjadi lebih sulit dan

membutuhkan waktu yang lebih lama karena kemungkinan disintegritas data

sangat tinggi (Derrick dan Dillon 2004; Regattieri et al. 2007).

2). Metode pelabelan dengan menggunakan bar-code/scanner (bar-code/scanner

traceability)

Sistem ini menggunakan barcodes dan scanner untuk membaca serta

memasukkan kode-kode tersebut ke dalam komputer. Metode ini

menggunakan manajemen data sehingga tidak memakan waktu lama saat

memberi kode dan memiliki tingkat ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan paper based system (Regattieri et al. 2007). Penggunaan barcodes,

(29)

dan Dillon 2004). Proses scanning pada sistem ini masih menggunakan campur tangan manusia sehingga masih memungkinkan terjadinya kesalahan

dan inefisiensi. Penyebab lain inefisiensi metode ini yaitu saat terjadinya

kontak fisik pada label dan menyebabkan label rusak (“optical damage”)

(Regattieri et al. 2007).

3). Metode pengkodean dengan menggunakan teknologi modern yaitu (

radio-frequency identification/ RFID)

Perkembangan selama beberapa dekade terakhir sudah diimplementasikan

sistem informasi teknologi (information technology/ IT). Inovasi teknologi

serta tehnik banyak dikembangkan dan digunakan untuk sektor perikanan,

misalnya dalam sistem pelaporan, manajemen perusahaan serta manajemen

mutu. Selain itu juga digunakan untuk mengatur dan mengumpulkan

informasi yang dibutuhkan (Derrick dan Dillon 2004).

Pusat dari penggunaan IT adalah penggunaan komputer di dalam

perusahaan. Komunikasi IT dengan menggunakan intranet perusahaan akan

memudahkan komunikasi informasi secara cepat. Penggunaan e-mail dan

Worl Wide Web juga akan mempermudah dan lebih mempercepat

pemindahan informasi antara suplier dan customer (Derrick dan Dillon 2004).

Sistem RFID menggunakan frekuensi gelombang radio tertentu untuk

membaca, dan atau memodifikasi data yang dimasukkan ke dalam elctronic

circuit atau microchip yang biasanya dibungkus dengan plastik yang tidak

mudah rusak sehingga membentuk “tag”. Sistem RFID terdiri dari tiga

komponen yaitu transceiver yang berfungsi mengirimkan energi (dalam

bentuk gelombang radio) melalui antena, kemudian bertemu dengan RFID

tag, sehingga memancarkan sinyal radio yang ada didalam tag dan pada

akhirnya diteruskan untuk menunjukkan informasi yang ada didalam tag.

Transceiver dapat disatukan dengan berbagai macam peralatan mulai dari

portal (doorways); hand held scanner misalnya yang digunakan dalam bar-code scanner; atau peralatan lainnya (Derrick dan Dillon 2004). Implementasi RFID di dalam perusahaan akan membutuhkan biaya yang

(30)

kebutuhan tenaga kerja, waktu pengaplikasian kode yang cepat serta efisien

(Regattieri et al. 2007).

2.6 Metode FMECA

Titik kritis traceability adalah tahapan proses produksi, yang tidak

dilakukan proses pelabelan dan dokumentasi saat pelaksanaan sistem traceability

di dalam perusahaan. Identifikasi terhadap titik kritis traceability digunakan untuk

menganalisis dan mengidentifikasi titik kritis pada implementasi internal

traceability dalam proses produksi di perusahaan dengan menggunakan metode

Failure Modes, Effects and Criticality Analysis (FMECA). Hasil dari identifikasi titik kritis metode FMECA dapat digunakan sebagai acuan perusahaan untuk

mengambil tindakan koreksi terhadap pelaksanaan internal traceability serta

membuat pelaksanaan traceability menjadi efektif dan efisien (Bertolini et al.

2006). Keefektifan sistem (misalnya, kemampuan dalam mengumpulkan

informasi penting) dan keefisienan sistem (misalnya seberapa cepat kemampuan

perusahaan untuk melakukan perbaikan/ recover dan penggunaan kembali

informasi yang dihasilkan) tersebut memberikan keuntungan kompetitif bagi

perusahaan sehingga dapat bersaing dengan kompetitor lainnya dalam memberi

jaminan keamanan produk, transparansi dan perlindungan terhadap kesehatan

konsumen (Bertolini et al. 2006; Schroder 2008).

FMECA yang bagus menolong seorang analis mengidentifikasi

kemungkinan titik kegagalan potensial, kegagalan yang umum yang terjadi serta

penyebab (dan efek-efek yang ditimbulkan) dengan cara memberi skala prioritas

pada titik-titik kegagalan yang berhasil diidentifikasi dan melakukan tindakan

koreksi. Seorang analis menggunakan FMECA adalah mencegah terjadinya

kemungkinan-kemungkinan kegagalan tersebut sebelum tiba di pelanggan/

konsumen (Kwai-Sang et al. 2009). Bertolini et al. (2006), analisis titik kegagalan

(failure mode) menyediakan informasi penting dalam:

- Subsistem dan barang (produk) akhir sistem dalam susunan hierarki

(31)

- Berbagai kegagalan („failure’) atau „malfunctioning’ yang umum terjadi,

serta daftar dan deskripsi seluruh titik kegagalan (failure mode) yang

dianalisis berpotensi terjadi selama proses;

- Peluang kejadian (probability), tingkat kepelikan (severity) dan sampai

sejauh mana masing-masing titik kegagalan tersebutdapat dideteksi;

- Analisis kritikal (Criticality Analysis/ CA), yang mengklasifikasikan

keseluruhan titik kegagalan tersebut berdasarkan kepentingannya.

Keuntungan penggunaan metode FMECA adalah metode ini merupakan

visibility tool yang dapat dengan mudah dimengerti dan digunakan (Braglia 2000). Metode FMECA merupakan metode yang mudah dioperasikan serta alat yang

efektif untuk mengidentifikasi dan menilai bagaimana potensi terjadinya

kegagalan dapat mempengaruhi kinerja proses atau produk. Analisis dengan

metode FMECA memiliki dua macam pendekatan utama yang dapat digunakan

untuk dapat melakukan FMECA yaitu hardware approach dan functional

apprach. Hardware appraoch umumnya digunakan ketika komponen-komponen mesin (senjata) dapat diidentifikasikan secara unik dengan menggunakan bagan

(alur proses), gambaran secara umum, dan desain data mesin lainnya. Hardware

approach juga disebut bottom-up approach digunakan untuk mengidentifikasi kegagalan pada setiap tahapan proses berdasarkan klasifikasi tingkat kepelikan

yang nantinya akan digunakan untuk menetapkan prioritas saat melakukan

tindakan koreksi. Functional approach umumnya digunakan ketika

komponen-komponen mesin (senjata) tidak dapat diidentifikasikan secara unik atau ketika

kompleksitas sistem membutuhkan analisis dari awal dan dilakukan mengarah ke

bawah (top-down approach). Functional approach digunakan untuk menganalisis

akibat-akibat yang ditimbulkan hanya pada sistem-sistem utama yang ada (US

Military Standard 1983). Metode FMECA dibedakan menjadi dua tahapan, yaitu:

(i) Analisis awal, dikenal sebagai FMEA (Failure Modes and Effect Analysis),

yaitu mengidentifikasi penyebab-penyebab terjadinya kegagalan (cause of

failures);

(ii) Tahap kedua, dikenal sebagai CA (Criticality Analysis), untuk menilai resiko

(32)

berdasarkan pada masing-masing titik kegagalan (failure mode) yang telah ditetapkan pada tahap sebelumnya.

Evaluasi terhadap titik kegagalan (failure mode) dapat dilakukan dengan

menggunakan 2 pendekatan yang berbeda yaitu Criticality Number (CN) atau

mengembangkan Risk Priority Number (RPN) (Bertolini et al. 2006; Braglia

2000). Metode FMECA dapat digunakan jika sejarah data dan data statistik tidak

tersedia di perusahaan. Pengaplikasian metode ini memerlukan perhatian khusus

ketika menggunakan pendapat seseorang sehingga perlu dicegah hasil yang

membahayakan dikarenakan subyektifitas hasil analisis (Carmignani 2009).

Metode FMECA menggunakan sistem Pakar. Pakar adalah orang yang ahli

dalam masalah dan siapa saja yang setuju dalam menjawab kuesioner (Marimin

2004). Penggunaan Pakar pada penelitian ini didasarkan pada penilaian orang

yang dianggap ahli tentang traceability. Penilai tersebut didukung oleh keahlian,

pengalaman, pengetahuan dan wawasan yang luas sehingga penilaian yang

diberikan tepat terhadap variabel keputusan yang dijadikan sebagai parameter

(Eriyatno dan Fadjar 2007).

Pada proses akuisisi pengetahuan maka penetapan sumber informasi atau

responden, yaitu pakar atau ahli terkait, didasarkan atas pertimbangan dan kriteria:

(1) keberadaan responden, keterjangkauan dan kesediaan untuk diwawancarai, (2)

reputasi, kedudukan , dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai pakar, dan

(3) pengalaman pribadi yang menunjukkan bahwa orang tersebut mampu

memberikaan saran yang benar dan membantu memecahkan masalah. Seorang

pakar dalam menyelesaikan suatu persoalan mempunyai tiga karakteristik, yaitu:

efektif, efisien dan sadar akan keterbatasan. Metoda utama yang digunakan dalam

menyerap pengetahuan dari seorang ahli adalah melalui wawancara secara

(33)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di perusahaan pengolahan udang breaded di PT

Y pada bulan Agustus 2010 hingga September 2010.

3.2 Kerangka Pemikiran

Sistem traceability dalam rantai pasok pangan menjadi semakin

berkembang dan menjadi perhatian dalam industri pangan. Saat ini, produsen

pangan mengembangkan dan mengadopsi sistem internal traceability untuk

meningkatkan keamanan pangan, dimana traceability dapat menjadi subsistem

yang penting dalam manajemen kualitas pangan.

Tujuan dari penelitian ini adalah menghadirkan pendekatan metodologi

yang baru sehingga dapat melakukan analisis struktural yang sudah ada dalam

perusahaan dengan mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan kegagalan

traceability yang dapat terjadi dalam perusahaan dengan aplikasi Failure Modes, Effects and Criticality Analysis (FMECA). Identifikasi titik kritis traceability

dilakukan melalui pengamatan dan pengecekan terhadap: kode traceability

(Traceability Code/ TC) dan dokumen perekaman. Traceability Code (TC) digunakan sehingga dapat membedakan setiap tahapan proses produksi di dalam

perusahaan. Identifikasi titik kritis traceability digunakan untuk menganalisis dan

mengidentifikasi titik kritis pada implementasi internal traceability dalam proses

produksi di perusahaan. Hasil dari identifikasi titik kritis metode FMECA dapat

digunakan perusahaan sebagai acuan untuk mengambil tindakan koreksi terhadap

pelaksanaan internal traceability yang efektif dan efisien (Bertolini et al. 2006).

Keefektifan sistem (misalnya, kemampuan dalam mengumpulkan informasi

penting) dan keefisienan sistem (misalnya seberapa cepat kemampuan perusahaan

untuk melakukan perbaikan/ recover dan penggunaan kembali informasi yang

dihasilkan) tersebut memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan sehingga

dapat bersaing dengan kompetitor lainnya dalam memberi jaminan keamanan

produk, transparansi dan perlindungan terhadap kesehatan konsumen (Bertolini et

(34)

3.3 Tata Laksana Penelitian

Tahapan penelitian dilakukan melalui tiga tahapan , yaitu:

3.3.1 Pemahaman terhadap proses produksi

Hal dasar yang harus dilakukan sebelum melakukan penelitian adalah

memahami proses produksi di perusahaan. Pada tahapan ini juga dilakukan

pemahaman terhadap proses traceability di perusahaan untuk mengetahui kegiatan

di ruang produksi serta meminta penjelasan tentang hal-hal yang kurang jelas

kepada pembimbing di lapangan dan pelaku proses produksi dalam hal ini adalah

operator mesin. Peneliti juga melakukan pengamatan dan pengecekan terhadap

kode traceability (Traceability Code/ TC), manajemen TC serta mengumpulkan

dokumen perekaman.

3.3.2 Pembuatan outline (skema) proses produksi

Tahap awal sebelum dibuatnya outline (skema) proses produksi adalah

mengumpulkan data yang berhubungan dengan tahapan proses selama proses

produksi di perusahaan dan wawancara secara terstruktur. Pengumpulan data

dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan manajemen TC dalam perusahaan.

Pengumpulan data dan dokumen dilakukan untuk mencatat informasi penting

pada tiap tahapan proses (meliputi pengecekan dan pengamatan keadaan di

lapangan terhadap tahapan proses yang didokumentasikan) dan metode pelabelan

yang digunakan. Pengumpulan data selanjutnya akan digunakan untuk

menentukan penyebab-penyebab terjadinya kegagalan (causes of failures) (pada

masing-masing tahapan proses) untuk digunakan pada tahapan analisis FMEA

serta melakukan penilaian titik kritis dengan menggunakan acuan pada Tabel 3.

3.3.3 Analisis data

Analisis data dilakukan berdasarkan sistem Pakar dengan menggunakan

aplikasi tehnik FMECA. Analisis FMECA terdiri dari dua tahapan analisis yaitu:

1) Analisis ragam/ titik kegagalan dan analisis efek (Failure Modes and Effects

Analysis/ FMEA). Analis FMEA dibagi menjadi dua tahapan analisis yaitu:

a) Analisis titik-titik kegagalan traceability (failure mode analysis)

Pada tahapan ini dilakukan beberapa tahapan yaitu:

- Menentukan function ID

(35)

- Menentukan titik-titik kegagalan traceability (failure mode) dan

penyebab terjadinya kegagalan-kegagalan tersebut (causes offailures)

Penentuan failure mode dapat dilihat dari pengamatan secara langsung

atau dari dokumen mengenai berapa kali/ intensitas terjadinya pada

tahapan tersebut. Sedangkan penyebab terjadinya kegagalan

diidentifikasi pada masing-masing tahapan proses (Bertolini et al.

2006; Braglia 2000). Evaluasi failure mode pada penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan Risk Probbality Number (RPN).

b) Analisis efek (effects analysis)

Analisis efek dibedakan menjadi dua macam yaitu:

- Analisis efek lokal (local effect)

Misalnya: salah satu penyebab terjadinya kegagalan (cause of failure)

pada tahapan penerimaan bahan baku adalah kesalahan manusia/

pekerja (human error) maka efek lokal (local effect) yang terjadi

adalah terjadinya kekeliruan atau kesalahan dalam pendokumentasian

(recording error).

- Analisis efek global (global effect)

Misalnya: kehilangan informasi yaitu informasi pada perusahaan

menjadi salah atau informasi produk menjadi kurang lengkap.

2) Analisis kritikal (Criticality Analysis/ CA)

Analisis kritikal dilakukan melalui empat tahapan:

a) Menentukan tingkat kepelikan (Severity/ S)

b) Menentukan peluang terjadinya (Probability/ P)

c) Menetukan nilai masing-masing titik kegagalan dengan menggunakan

metode RPN (Bertolini et al. 2006; Bowles 2004; Carmignani 2009;

Kwai-Sang et al. 2009).

RPN = S x O x D

d) Menentukan posisi dalam matriks kritikal (criticality matrix)

Analisis kegagalan secara kualitatif menggunakan matriks kritikal

(Criticality matrix) terhadap tingkat kepelikan (severity classification) dan

peluang terjadinya (probability of occurence level) menggunakan pakar.

(36)

criticality matrix, dimana setiap kolom dihubungkan untuk menunjukkan

tingkatan kepelikan (severity level) dan tiap baris menunjukkan peluang

terjadinya (occurence level). Semakin ke kiri kolom tersebut, maka

menujukkan bahwa peluang terjadinya titik-titik kegagalan tersebut

semakin tinggi (begitu sebaliknya) dan jika semakin ke atas baris tersebut,

maka menunjukkan bahwa tingkat kepelikan kegagalan tersebut adalah

semakin tinggi (begitu juga sebaliknya) (Bertolini et al. 2006; US Military

Standard, MIL-STD-1629A 1983). Matriks analisis kritikal dapat dilihat pada Gambar 2.

e) Menentukan tingkatan/ area kritis (Criticality level)

Tahapan ini dilakukan untuk menentukan permasalahan tersebut berada

pada salah satu tingkatan/ area kritis, yaitu:

- Unacceptable - Undesirable

- Acceptable with revision - Acceptable without revision

Menentukan tingkat kepelikan dan peluang terjadinya kegagalan dilakukan

berdasarkan pada MIL-STD-1629A yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Hasil dari analisis menunjukkan perlu tidaknya tindakan koreksi dari

perusahaan. Jika hasil dari analisis FMECA didapat bahwa tahapan tersebut

berada pada area kritis (criticality level): unacceptable atau undesirable, maka

sebaiknya dilakukan tindakan koreksi sehingga pada akhirnya diperoleh bahwa

tahapan tersebut menjadi berada pada area kritis: acceptable with revision atau

acceptable without revision. Tindakan koreksi yang dilakukan dapat berupa :

- Adopsi prosedur baru untuk manajemen operasi atau

- Sejumlah perbaikan struktural skema proses sehingga adanya modifikasi

dari skema produksi yang sudah ada sebelumnya di perusahaan.

3.4 Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data pada penleitian ini dilakukan melalui dua

sumber yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari unit

(37)

wawancara langsung kepada QC produksi dan staf-staf produksi. Data sekunder

diperoleh dari PT Y, Studi pustaka serta berbagai informasi dari berbagai pihak

yang berhubungan dengan kegiatan selama berlangsungnya pelaksanaan di PT Y.

3.5 Pakar

Pakar adalah orang yang ahli dalam masalah dan siapa saja yang setuju

dalam menjawab kuesioner (Marimin 2004). Pakar (misalkan: dari pihak

akademik, manajer produksi, keamanan produk dan manajer mutu) merupakan

sejumlah orang yang pendapatnya dapat digunakan untuk mengaplikasikan

metode FMECA berdasarkan sistem Pakar. Pada saat penelitian digunakan dua

pakar yaitu pakar dari pihak perusahaan dan pakar dari bidang akademik (dosen).

Pakar dari pihak perusahaan terdiri dari QC yang berhubungan langsung pada saat

proses produksi yaitu staf-staf QC dan staf-staf produksi. Eriyatno dan Fadjar

(2007), penentuan pakar dari pihak perusahaan berdasarkan pengalaman pribadi

pakar yang bekerja di dalam perusahaan sehingga dianggap mampu memberikaan

saran yang benar dan membantu memecahkan masalah. Braglia (2000), pakar juga

dapat ditentukan menurut pengalaman dari staf yang berkaitan dengan traceability

di perusahaan.

Tabel 3 Klasifikasi tingkat kepelikan dan peluang terjadinya berdasarkan MIL-STD-1629A

Catatstophic: tingkat kepelikan dimana menyebabkan kehilangan

banyak informasi (total lost)

Critical: tingkat kepelikan dimana menyebabkan ketidakefisienan berat dan atau ketidakefektifan saat rekonstruksi informasi.

Marginal: tingkat kepelikan dimana menyebabkan ketidakefisienan ringan dan atau ketidakefektifan saat rekonstruksi informasi.

Minor: tingkat kepelikan dimana dapat dilakukan tindakan penanggulangan secara langsung (tanpa perlu dijadwalkan).

Frequent: peluang terjadinya tinggi

Reasonably common: peluang terjadinya moderat (sedang)

Occasional: peluang terjadinya jarang

Rare: sangat tak mungkin terjadi

Extremely rare: peluang terjadinya kegagalan adalah nol.

(38)

Level kemungkinan terjadinya kegagalan traceabilliy

(peningkatan level kemungkinan terjadinya kegagalan)

Area kritis

Gambar 2 Matriks analisis kritikal

A B C D E

I

II

III

IV

Unacceptable Undesirable

Acceptable

with

Revision

Acceptable

Without

revision

Klasif

ik

asi

tin

g

k

at

k

ep

elik

an

Klasifik

asi tin

g

k

at

k

ep

elik

(39)

4 PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Perusahaan

Lokasi PT Y terletak di Jalan Mundu Pesisir No. 33, Desa Mundu Pesisir,

Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Perusahaan ini memiliki

lokasi yang strategis karena berada di depan jalan raya dan tidak jauh dari kota

sehingga memudahkan akses transportasi. Perusahaan juga dilengkapi dengan

fasilitas air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan jaringan

listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Perusahaan juga mendapatkan

kemudahan dalam mencari sumber daya manusia atau tenaga kerja dari wilayah

sekitar karena letaknya yang berada di sekitar pemukiman penduduk. Luas

bangunan yang dimiliki PT Y yaitu sebesar 2500 m2 yang terdiri atas 5 bangunan

yaitu bangunan utama, gudang produksi, tempat pengolahan limbah, bengkel dan

mess karyawan.

4.1.1 Sejarah dan perkembangan perusahaan

Salah satu anak cabang dari PT Japfa Comfeed Indonesia yang berpusat di

Jakarta adalah PT Y. Perusahaan ini didirikan dengan akta notaris Teddy Anwar,

SH No. 37 pada tanggal 4 Maret 1998 yang pada awalnya berkantor pusat di

Wisma IWI, Jalan Perjuangan Jalur Lambat, Kebon Jeruk, Jakarta Barat dan saat

ini telah pindah di Jalan MT. Haryono kav. 16, Wisma Millenia lt. 8 Jakarta

Selatan. Proses kegiatannya baru dimulai pada tanggal 26 Juli 1999.

Latar belakang didirikannya perusahaan yaitu dengan melihat potensi kota

Cirebon sebagai kota penghasil udang, selain itu perusahaan pengolahan

pembekuan udang yang belum terlalu banyak sehingga memungkinkan untuk

menjadikan peluang bisnis yang baik. Perusahaan ini bergerak di bidang

pengolahan udang beku, misalnya udang mentah beku (Frozen Shrimp), udang

masak beku (Frozen Cooked Shrimp) dan udang breaded beku (Frozen Breaded

Shrimp), akan tetapi sejak tahun 2007 kegiatan ekspor udang mentah beku dihentikan dan dialihkan dalam bentuk produk olahan udang masak beku dan

(40)

Perusahaan menyediakan kebutuhan ekspor maupun lokal. Saat ini negara

tujuan ekspornya meliputi Jepang sebanyak 60% dari total produksi, USA

sebanyak 20% dari total produksi dan negara-negara Uni Eropa sebanyak 20%

dari total produksi. Perusahaan ini merupakan satu-satunya perusahaan perikanan

di Cirebon yang bergerak di bidang pengolahan udang. Berdasarkan penilaian

kelayakan dasar yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan

Pemasaran Hasil Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan (KKP), saat ini

perusahaan tersebut telah memperoleh Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP)

dengan nilai kelayakan dasar A. Sistem Hazard Analysis Critical Control Point

(HACCP) telah diterapkan di perusahaan, yaitu dalam melakukan proses produksi

telah berpedoman pada manual HACCP (HACCP-Plan) dan diverifikasi secara

internal maupun eksternal. Verifikasi internal dilakukan oleh tim HACCP

perusahaan, sedangkan verifikasi eksternal dilakukan oleh pemerintah, yaitu

Departemen Kelautan dan Perikanan. Saat ini PT Y dilengkapi dengan surat dan

sertifikat antara lain :

1. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) No. SIUP 0033/10-23/PB/VII/2009.

2. Surat Pernyataan Halal No. 025c/Per./LPPOM MUI/II/2009.

3. Sertifikat Halal No. 00030023510103.

4. Surat Kelayakan Pengolahan (SKP) No. SKP 277/PP/SKP/PB/V/8/07 untuk

jenis produk Frozen Shrimp.

5. Surat Kelayakan Pengolahan (SKP) No. SKP 276/PP/SKP/PB/IV/8/07untuk

jenis produk Frozen Breaded Shrimp.

6. Surat Kelayakan Pengolahan (SKP) No. SKP 91/PP/SKP/PB/V/6/08 untuk

jenis produk Frozen Cooked Shrimp.

7. Sertifikat Penghargaan Departemen Kelautan dan Perikanan atas penerapan

Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan Konsepsi Hazard

Analysis Critical Control Point (HACCP) sebagai sistem jaminan mutu dalam pengolahan hasil perikanan.

4.1.2 Struktur organisasi perusahaan

Struktur organisasi yang dimiliki perusahaan ini disusun sebagai

pelimpahan wewenang, tugas dan tanggung jawab yang ada pada setiap tingkat

Gambar

Gambar 1  Identifikasi udang secara umum.............................................................3
Tabel 2 Komposisi kimia daging udang mentah
Gambar 2 Matriks analisis kritikal
Tabel 4   Daftar pemasok udang (Supplier) perusahaan
+7

Referensi

Dokumen terkait