KULTUR AKAR TRANSGENIK DARI
Trichosanthes
cucumerina
L.: BEBERAPA FAKTOR YANG BERPENGARUH
TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA DAN HASIL PROTEIN
TOTAL, SERTA AKTIVITAS ANTICENDAWAN DARI
PROTEIN ASAL AKAR TRANSGENIK
Oleh
DEW1 SUKMA
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANLAN BOGOR
ABSTRAK
DEW1 SUKMA. Kultur Akar Transgenik dari Trrchosanthes cucumerina 1.: Beberapa Faktor yang Berpengaruh terhadap Produksi Biomassa dan Hasil Protein Total serta Aktivitas Anticendawan dari Protein Asal Akar Transgenik. Dibimbing oleh SUGENG SUDIATSO, SAID HARRAN dan SUDARSONO.
Kultur akar transgenik (akar berambut) yang dihasilkan melalui infeksi dengan Agrobacterrum rhrzogenes telah banyak dilakukan pada berbagai tanaman terutama untuk memproduksi metabolit sekunder. Kultur akar berambut pada beberapa tanaman dari famili Cucurbitaceae Qlaporkan dapat digunakan untuk mempelajari keberadaan protein aktif yang dapat berfungsi sebagai anticendawan dan antikanker.
Tujuan penelitian adalah menginduksi akar transgenik dari Trrchosanthes cucumerrna L. dengan bantuan Agrobacterrum rhrzogenes strain 9457, mengetahui pengaruh densitas eksplan dan urnur panen, kasein hidrolisat, serta sukrosa terhadap pertumbuhan, produksi biomassa dan produksi protein total dari kultur akar berambut, mempelajari stabilitas produksi biornassa dan protein total dari akar berambut serta menguji aktivitas anticendawan dari total protein asal akar berambut terhadap beberapa cendawan patogen tanaman.
Dalam percobaan pertarna dilakukan induksi dan inisiasi kultur akar berambut dari kecambah in vrtro tanaman Trzchosanthes cucumerrna L., untuk mendapatkan akar transgenik yang turnbuh stabil dalam media tanpa penarnbahan zat pengatur turnbuh. Dalam percobaan kedua diuji pengaruh densitas eksplan awal(3,5,7 dan 9 ujung akar per botol) dikombinasikan dengan urnur panen (4, 8 dan 12 Hari Setelah Tanam (HST)), terhadap perturnbuhan dan hasil biomassa serta hasil protein total akar berambut. Dalam percobaan ketiga dipelajari pengaruh penambahan kasein hidrolisat (0, 50, 100, dan 150 mgll) dalam media terhadap produksi biomassa clan hasil protein total akar berambut. Sedangkan dalam percobaan keempat dipelajari pengaruh konsentrasi sukrosa (20, 30,40 dan 50 g/l) terhadap produksi biomassa dan hasil protein akar berambut. Untuk menguji stabilitas produksi setelah beberapa periode sub kultur, pada percobaan ke-5 diuji produksi biomassa akar transgenik setelah melewati tiga kali sub kultur dalam media yang mengandung sukrosa 40 atau 50 gll. Akhirnya pada percobaan keenam dilakukan uji pendahuluan untuk mengetahui keberadaan protein anticendawan yang diisolasi dari akar transgenik. Uji aktivitas anticendawan dilakukan terhadap patogen Fusarrum sp. Sclerotrum rolfsrr, Rhrzoctonra solanr, Colletotrrcum gloeosporordes dan Colletotricum conyzordes..
Hasil penelitian pada percobaan pertarna menunjukkan akar rambut dapat diinduksi dari kecambah Trrchosanthes cucumerina L. dengan bantuan Agrobacterrum rhrzogenes. Efisiensi induksi akar rambut mencapai 43% dari total eksplan yang diinokulasi dengan Agrobacterrum. Identifikasi akar transgenik dilakukan dengan menanam akar rambut dalam media MS (Murashige-Skoog) tanpa zat pengatur turnbuh tanaman. Kontrol akar normal tidak berkembang dalam media tanpa ZPT sedangkan akar transgenik mampu turnbuh normal. Dari 43 galur akar rambut yang diisolasi, berhasil diperoleh satu galur akar transgenik yang tumbuh normal dan berkembang dalam media MS tanpa ZPT.
tidak dipengaruhi oleh jumlah eksplan awal. Tetapi tahapan fase stasioner dari akar transgenik yang ditanam lebih cepat tercapai pada kultur dengan eksplan awal 5-9 eksplan per botol. Hasil protein total tidak dipengaruhi oleh densitas eksplan awal namun tergantung pada umur panen. Meskipun demikian, densitas eksplan awal9 ujung akar cenderung menghasilkan protein total tertinggi.
Perlakuan kasein hidrolisat (0, 50, 100, 150 mg/l) tidak berpengamh nyata terhadap produksi biomassa namun cenderung menekan produksi biomassa. Sedangkan kadar protein nyata meningkat dengan penarnbahan kasein hidrolisat 50 mg/l. Tetapi hasil protein total paling tinggi dihasilkan pada media tanpa kasein hidrolisat.
Peningkatan konsentrasi sukrosa (20, 30, 40, 50 gll) nyata meningkatkan produksi biomassa yang mencapai maksimal pada sukrosa 40 g/l. Kadar protein nyata menurun dengan meningkatnya konsentrasi sukrosa. Sukrosa 40 gll memberikan hasil protein total yang paling tinggi.
Uji kestabilan produksi biomassa dilakukan pada sukrosa 40 dan 50 g/l dan dilihat dalam 3 kali sub kultur atau 3 kali pemanenan. Hasil percobaan menunjukkan ketidakstabilan pertumbuhan dan produksi biomassa maupun protein akar berambut karena pada konsentrasi sukrosa yang tingg. Produksi biomassa, kadar maupun hasil protein total menurun pada sub kultur 2 dan 3. Morfologr akar berambut menjadi lebih gemuk, tebal dan kaku pada sub kultur ke- 2 dan ke-3.
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
KULTUR AKAR TRANSGENIK DARI Trichosanthes cucumerina L. :
BEBERAPA FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA DAN HASIL PROTEIN TOTAL, SERTA AKTIVITAS
ANTICENDAWAN DARI PROTEIN ASAL AKAR TRANSGENIK
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah Qnyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
KULTUR AKAR TRANSGENIK DARI
Trichosanthes
cucumerina
L.: BEBERAPA FAKTOR YANG BERPENGARUH
TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA DAN HASIL PROTEIN
TOTAL, SERTA AKTIVITAS ANTICENDAWAN DARI
PROTEIN ASAL AKAR TRANSGENIK
Oleh
DEW1 SUKMA
98495-AGR
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Agronomi
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Kultur Akar Transgenik dari Trichosanthes cucumerina L.: Beberapa Faktor yang Berpengaruh terhadap Produksi Biornassa dan Wasil Protein Total, serta Aktivitas Anticenclawan dari Protein Asal Akar Transgenik
Nama : Bewi Sukma
NRP : 98495
Program Studi : Agronorni
Menyetujui 1. Komisi Pembimbing
Praf Dr. Ir. Su6eng Sudiats~. M.S
Dr. Ir. a' Harran
k
KetuaDr. Ir. Sudarsono, M.Sc. Anggota
Mengetahui,
RIWAYAT HIJIt.JP
Penulis dilahlrkan di Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat pada tanggal 4 April 1970, sebagai anak ketiga dari Bapak M. Dt. Mudo nan Panjang dan Ibu Rasima Ali.
Jenjang pendidikan dari SD dan SMP diselesaikan di Kabupaten 50 Kota, sedangkan SMA di Kotamadya Payakwnbuh, Sumatera Barat. Gelar Sarjana Pertanian diperoleh dari Institut Pertanian Bogor pada tahun 1994.
Pada tahun 1997 penulis menikah dengan Ir. Susilan Hidayat dan telah dikaruniai seorang anak bernama Muhammad Imam Adi Wicaksana.
PRAKATA
Puji dan syukw penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah : Kultur Akar Transgenik dari Trichosanthes crccumerina L. : Beberapa Faktor yang Berpengaruh terhadap Produksi Biomassa dan Easil Protein Total, serta Aktivitas Anticendawan dari Protein Asal Akar Transgenik
Penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof Dr. Ir. Sugeng Sudiatso, MS., Bapak Dr. Ir. Said Harran, dan Bapak Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc, selaku komisi jxmbimbing, atas segala bimbingan, petunjuk dan pengarahannya selama penelitian sampai selesainya penulisan tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan untuk Ibu Prof. Dr. Ir. Livy Winata (Alm), yang telah membimbing penulis dalam penelitian pendahuluan.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dirjen Pendidikan Tinggi- Pengelola Beasiswa BPPS dan Pimpinan Proyek Hibah Tim-URGE atas bantuan biaya studi dan penelitian. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Jurusan Budidaya Pertanian, Ketua Lab. Produksi Tanaman, yang telah memberikan ijin dan dukungan pada penulis dalam penyelesaian studi. Kepada Ir. Yusnita, M.Sc. dan Ir. Dwi Hapsoro, M.Sc, terimakasih yang talc terhingga atas segala bantuannya.
Terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada suami dan anak tercinta, Bapak dan Ibu serta seluruh keluarga atas segala doa, bantuan dan dorongan yang telah diberikan. Akhirnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, penulis ucapkan terimakasih. Semoga Allah SWT membalas segala budi baiknya dengan balasan yang berlipat ganda.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengguna.
Bogor, Februari 2002
DAFTAR IS1
Halaman
...
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR ...
... Latar Belakang ... Tujuan Penelitian ... Hipotesis ... Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA ... ...
Botani Trichosanthes sp
...
Protein Aktif dalam Tanaman
Inisiasi Kultur Akar Transgenik ...
Akar Berambut dari Tanaman Cucurbitaceae ...
Kultur Akar Berambut untuk Produksi Metabolit Sekunder ...
Produksi Biomassa dan Senyawa Target dalam Kultur Akar Berambut ...
...
Daftar Pustaka
KULTUR AKAR TRANSGENIK Trichosanthes cucumerina L
.
SERTA PENGARUH DENSITAS EKSPLAN AWAL. UMUR PANEN DAN KASEIN HIDROLISAT TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA DAN PROTEIN TOTAL AKAR TRANSGENIK ...Abstrak ... ...
Pendahuluan
Bahan dan Metode ... ... Hasil ... Pembahasan ... Kesimpulan
Daftar Pustaka ...
UJI PENGARUH SUKROSA DAN STABILITAS PRODUKSI BIOMASSA SERTA PROTEIN TOTAL D A N AKAR TRANSGENIK Trichosanthes cucumerina L ...
...
Abstrak
...
Pendahuluan
...
Bahan dan Metode
Hasil ...
Pembahasan ...
Kesimpulan ...
Daf€ar Pustaka ...
UJI PENDAHULUAN AKTIVITAS ANTICENDAWAN DAlU PROTEIN TOTAL AKAR BERAMBUT Trichosanthes cucumerina L ... ... Abstrak
...
Pendahuluan
... Bahan dan Metode
... Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan ...
... D a m Pustaka
... PEMB AHAS AN
...
DAFTAR TABEL
Halaman Bobot segar dan persentase bahan kering akar berambut
Trichosanthes cucumerina L pada beberapa densitas eksplan
awal dan umur panen ... 36 Bobot kering akar berambut Trichosanthes cucumerina L pada
beberapa densitas eksplan awal dan u m u panen ... 36 Kadar protein total dan hasil protein total dari akar berambut
Trichosanthes cucumerina L pada beberapa densitas eksplan ... awal dan umur panen
Bobot segar, bobot kering dan persentase bobot bahan kering akar berambut Trichosanthes cucumerina L pada berbagai
...
konsentrasi kasein hidrolisat
Kadar
protein total dan hasil protein total dari akar bermbut Trichosanthes cucumerina L pada beberapa konsentrasi kasein ... hidrolisatProduksi biomassa segar, biomassa kering dan persen bahan kering dari akar berambut Trichosanthes cucumerina L. pada
...
beberapa konsentrasi sukrosa..
Kadar protein total dan hasil protein total dari akar berambut Trichosanthes cucumerina L. pada beberapa konsentrasi sukrosa Bobot segar, bobot kering dan persen bahan kering
dari
akar berarnbut Trichosanthes cucumerina L. pada dua taraf sukrosa dalam 3 kali pemanenan ...Kadar protein dan hasil protein total dari akar berambut Trichosanthes cucumerina L. pada dua konsentrasi sukrosa dalam 3 kali pemanenan ...
Hasil uji aktivitas anticendawan pada beberapa surnber protein
...
DAFTAR GAMBAR
Morfologi tanaman Trichosanthes cucumerina L. ... Akar adventif yang muncul di lokasi infeksi dengan Agrobacterium rhizogenes dan akar berambut yang telah tumbuh stabil dalam media MS 0
+
3% sukrosa tanpa ZPT dengan kondisi cahaya terang terus menerus dan kondisi cahaya...
rendah.
Morfolog akar berambut Trichosanthes cucumerina L. pada berbagai densitas eksplan awal pada umur kultur 4 HST ... Morfologi akar berambut Trichosanthes cucumerina L. pada berbagai densitas eksplan awal pada urnur kultur 8 HST. ... Morfologi akar berarnbut Trichosanthes cucumerina L. pada berbagai densitas eksplan awal pada umur kultur 12 HST. ...
Morfologi akar berarnbut Trichosanthes cucumerina L. hasil perlakuan kasein hidrolisat pada umur M t u r 12 HST. ...
Morfologi akar berambut Trichosanthes cucumerina L. pada beberapa konsentrasi sukrosa pada umur Mtur 12 HST ... Morfologi akar berambut Trichosanthes cucumerina L. pada sukrosa 40 dan 50 g/l pada sub kultur ke-III, urnur kultur 14 HST. ... 67 Metode uji aktivitas anticendawan dan protein total akar
...
berambut
Hasil uji aktivitas anticendawan dm protein total akar berambut Trichosanthes cucumerina L. pada Sclerotium rolfsii
dan
Fusarium sp. ...
. .
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki kekayaan alam berupa berbagai jenis plasmanutfah
tumbuhan. Sebagian besar dari plasmanutfah tersebut sudah diketahui kegunaan
dan manfaatnya, namun tidak sedikit juga yang masih belum diketahui
kegunaannya atau masih sedikit informasi mengenai kegunaannya. Salah satu di
antaranya adalah Trichosanthes cucumerina L.
Trichosantes cucumerina L. termasuk dalam famili Cucurbitaceae.
Tanaman ini terkenal di Indonesia dengan nama lokal paria belut ataupun paria
ular, karena bentuk buahnya yang memanjang dan belang-belang putih kehijauan.
Bagian tanaman yang dimanfaatkan adalah buah muda yang biasanya dimasak
untuk sayuran. Tanaman ini juga sangat jarang dibudidayakan secara intensif
karena belum begitu meluas pemanfaatannya di masyarakat. Di Indonesia,
tanaman ini banyak ditanam di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Protein aktif yang bersifat anticendawan, antivirus, anti tumor, antiknker
bahkan anti-HIV telah dilaporkan terdapat pada beberapa spesies dari famili
Cucurbitaceae. Protein aktif tersebut diantaranya termasuk protein yang
berhubungan dengan adanya infeksi patogen pada tanaman (patogenesis- related
(PR) proteins). Disamping itu ada juga yang termasuk kelompok enzim seperti
Chitinuse yang ditemukan pada akar Trichosanthes kirilowii (Savary dan Flores,
1994).
Kelompok protein aktif lainnya dikenal sebagai Protein Pengnaktif
Ribosom (Ribosom Inactivating Proteins -RIPS). RIP'S merupakan protein
tanaman dengan &vitas N-glycosidase pada rRNA dari ribosom mamalia, fungi,
berfungsi sebagai defensive protein bagi tanaman penghasilnya (Stirpe et al.,
1992). Beberapa peneliti melaporkan bahwa RIPS terdapat pada beberapa tanaman
Cucurbitaceae seperti paria (Momordica charantia L.) oleh Dong et a1 (1994),
blestru (Luffa qllindrica L.) oleh Toppi et al. (1996), dan Trichosanthes sp. oleh
Savary dan Flores (1994).
Protein aktif dari tanaman dapat diperoleh melalui ekstraksi langsung dari
bagian-bagian tanarnan in vivo. Ekstraksi senyawa target dari bagian tanaman in vivo mempunyai beberapa kelemahan, seperti kondisi bahan yang tidak steril,
kondisi lingkungan dan iklim yang berubah-ubah mempengaruhi kandungan
senyawa sehingga produksi tidak stabil, buddaya tanaman memerlukan lahan
yang luas dan dipengaruhi musim sehingga tidak dapat dihasilkan sepanjang
waktu.
Alternatif lain untuk menghasilkan senyawa yang diinginkan adalah
melalui kultur in vitro. Kultur in vitro merupakan t e h k untuk memelihara bagian
tertentu dari tanaman baik sel, jaringan maupun organ dalam wadah tertutup yang
aseptik dengan media pertumbuhan dan kondisi lingkungan yang terkontrol.
Produksi senyawa metabolit sekunder secara in vitro antara lain
menggunakan kultur sel, kultur suspensi sel, kultur kalus, kultur embrio maupun
kultur akar transgenik(akar berambut). Produksi senyawa metabolit melalui kultur
in vitro mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah
tidak tergantung faktor-faktor lingkungan seperti iklim, dan hambatan-hambatan
geografi serta musim, sistem produksinya dapat diatur, kualitas produk lebih
konsisten, dan tidak memerlukan lahan yang luas. Kelemahannya adalah
sel, kalus, ataupun akar berambut yang menghasilkan senyawa yang diinginkan dalam jumlah yang memadai.
Akar berambut merupakan istilah untuk akar transgenik yang dihasilkan melalui infeksi tanaman in vitro dengan Agrobacterium rhizogenes. Kultur akar transgenik secara stabil mengekspresikan lintasan biosintetik spesifik akar. Akar tanaman secara spesifik juga mensintesis dan mengakumulasikan makromolekul seperti protein cadangan dan protein yang berhubungan dengan sifat ketahanan (Maeshima, et al. 1985; Bowles et al. 1990) seperti enzim glucanohydralase,
chitinase, dan P-1,3 glucanase (Neale et al. 1990). Dengan demikian kultur akar transgenik merupakan alternatif yang baik untuk studi berbagai metabolit yang dihasilkan akar tanarnan.
Kelebihan akar berambut dibandingkan kultur sel maupun suspensi sel adalah cenderung lebih mudah untuk dilaksanakan, mampu tumbuh stabil dalam media tanpa penambahan zat pengatur tumbuh, pertumbuhan akar berambut yang relatif cepat sehngga memungkinkan untuk menghasilkan sejumlah besar biomassa dalam waktu singkat, serta sifat genetik dan kemampuan menghasilkan senyawa yang lebih stabil (Savary dan Flores, 1994).
Kultur akar berambut dari tanaman Trichosanthes sp. yang menghasilkan protein aktif berupa RIP yang disebut trichosantin dan Class III Chitinases telah dilaporkan oleh Savary dan Flores (1994). Sementara itu Kondo et al. (1994) menginduksi akar berambut dari Trichosanthes kirilowii untuk studi senyawa triterpen yang disebut asam brionolik.
senyawa yang diinginkan dalam akar berambut. Berbagai faktor yang mempengaruhi produksi biomassa maupun biosintesis senyawa target dapat dimanipulasi untuk mengoptimalkan kondisi kultur sehingga dihasilkan senyawa yang diinginkan dalam jurnlah yang sebanyak-banyaknya. Faktor-faktor yang dapat dimanipulasi diantaranya adalah kondisi fisik dan kimia serta kondisi lingkungan kultur.
Penelitian ini merupakan studi untuk mempelajari kapasitas produksi biomassa dan protein total pada akar berambut dari Trichosanthes cucumerina L. Beberapa faktor penting dalam kultur seperti eksplan, sukrosa, dan sumber asam amino berupa kasein hidrolisat diuji pengaruhnya terhadap perturnbuhan, produksi biomassa dan protein total dari akar berambut.
Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan kultur akar berambut yang tumbuh stabil dalam media tanpa penambahan zat pengatur tumbuh eksogen dari Trichosanthes cucumerina L. melalui infeksi kecambah in vitro dengan Agrobacterium rhizogenes strain 9457.
2. Mempelajari pengaruh densitas eksplan awal, umur panen, kasein hidrolisat, sukrosa dan sub kultur terhadap pertumbuhan, produksi biomassa, dan protein total dari akar berambut
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Akar berambut dapat chperoleh dari kecambah in vitro tanaman
Trichosanthes cucumerina L. clan dapat tumbuh stabil dl media tanpa zat
pengatur tumbuh.
2. Densitas eksplan awal, umur panen dan kasein hidrolisat berpengaruh
terhadap pertumbuhan, produksi biomassa, kadar dan hasil protein total dari
akar berambut..
3. Sukrosa dan sub kultur berpengaruh terhadap produksi biomassa, kadar serta
hasil protein total dari akar berambut.
4. Protein kemungkinan berpengaruh terhadap pertumbuhan cendawan dalam
uji in vitro.
Manfaat Penelitian Beberapa manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Dapat diketahui efisiensi induksi akar berambut dengan infeksi
Agrobacterium rhizogenes pada Trichosanthes cucumerina L. Kultur akar rambut yang autotrof hormon dan tumbuh cepat memungkinkan untuk
diperbanyak dalam jurnlah besar sehingga menjamin ketersediaan bahan
untuk ekstraksi protein ataupun metabolit sekunder lainnya.
2. Produksi protein yang stabil dari akar berambut memungkinkan untuk
mempurifikasi dan mengkarakterisasi protein lebih lanjut serta menguji
aktivitas protein terhadap berbagai patogen tanaman baik secara in vitro
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Trichosanthes sp.Trichosanthes sp. termasuk famili tanaman Cucurbitaceae. Berdasarkan
Siemonsma dan Piluek (1994), terdapat 4 spesies utama yaitu :
1. T. celebica Cogn., di Indonesia dikenal sebagai tawuruk atau amut tarnburuk.
2. Trichosanthes cucumerina L.(snake gourd) dengan sinonim T. anguina L. atau
T. cucumerina var anguina (L.) Haines. T. cucumerina dikenal di Indonesia
sebagai paria belut atau paria ular.
3. T. ovigera, dikenal di Indonesia dengan nama areuj tiwuk (Sunda),
4. T. villosa, di kenal di Indonesia dengan nama areuj baduyut atau waluh
leuweung (Sunda).
Taksonomi tanaman Trichosanthes sp. belum banyak diketahui, namun
diperkirakan sekitar genus tersebut terdiri dari sekitar 40 spesies. Sekitar 15 spesies terdapat di Asia Tenggara. Sedangkan di Indonesia yang paling banyak
ditanam adalah paria ular atau paria belut. Paria belut dibudidayakan biasanya
hanya untuk komsurnsi sendiri atau pasar lokal.
Trichosanthes sp. ada yang bersifat tanaman setahun dan ada juga yang
merupakan tanaman tahunan, monocious ataupun diocious, merupakan herba yang
merambat atau memanjat. Bagian tanarnan yang dikomsumsi adalah buah yang
masih muda ( per 100 g buah muda mengandung air 94 g, protein 0.6 g, lemak 0.3
g, karbohidrat 4 g, serat 0.8 g, Ca 26 mg, Fe 0.3 mg, P 20 mg, vitamin A 235 IU,
vitamin B1 0.02 mg, B2 0.03 mg, niacin 0.3 mg dan vitamin C 12 mg)..
Disamping itu, semua spesies menghasilkan glukosida elaterin, minyak biji dan
C
D
Protein Aktif dalam Tanaman
Pengetahuan awal tentang protein dalam tanaman menyatakan bahwa
protein memiliki fungsi terutama sebagai pembangun berbagai struktur atau organ
tanaman atau sebagai storage protein yang tidak mempunyai aktivitas enzimatik.
Storage protein disimpan dalam berbagai bentuk organ seperti daun batang dan
akar (Heldt, 1997). Kelompok protein lainnya adalah protein yang mempunyai
aktivitas enzimatik dan terlibat dalam berbagai reaksi kimia dalam metabolisme
tanaman. Namun dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi, berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa protein berperan dalam
mekanisme ketahanan tanaman terhadap patogen, diantaranya thionins, ribosome
inactivating proteins, l p i d transfer proteins, 2S storage albumin, nonenzymatic
chitin-binding protein, polygalacturonase, inhibitor proteins, defensins, dan PR-
proteins (Yun et al. 1996).
Protein yang berkaitan dengan mekanisme ketahanan tanarnan terhadap
patogen antara lain protein yang dihasilkan ketika tanaman mengalami infeksi
patogen atau di sebut dengan Patogenesis Related (PR) Proteins (Bowles, 1990).
PR-protein pada awalnya ditemukan dalam hpersensitive response yang
diinduksi oleh tobacco mosaic virus (TMV) (Cheong et al, 1997).
PR-protein bersifat stabil pada pH rendah, resisten terhadap kerja protease,
merupakan monomer dengan berat molekul rendah clan sebagian besar
menunjukkan lokalisasi apoplastik. Berdasarkan ciri secara serologi, massa
molekul, dan data sekuens, PR-proteins dikelompokkan ke dalam 5 famili utama
yang berhubungan dengan respon terhadap cendawan, bakteri dan virus (Cheong
fungsinya belum sepenuhnya diketahui, narnun pada beberapa percobaan
menunjukkan adanya aktivitas anticendawan dalam uji secara in vitro.
PR-5 proteins tidak termasuk enzim tapi merupakan protein yang
menunjukkan pengaruh anticendawan dengan merusak membran fungi. Protein ini
dilaporkan telah berhasil diisolasi dari jagung yang disebut dengan zeamatin dan
dari tembakau yang dikenal dengan osmotin. Osmotin mempunyai bobot molekul
24 kD terakurnulasi dalam vakuola selama adaptasi sel tembakau (Nicotiana
tabacumi var. Wisconsin 38) terhadap cekaman osmotik. PR-protein juga telah
berhasil dimurnikan dan dikarakterisasi dari daun waluh. Protein tersebut
mempunyai bobot molekul 28 kD dan dapat menghambat pertumbuhan hifa
Fusarium oxysporum dan Neurospora crassa dalam uji in vitro. (Cheong et al.
1997).
Marcus et al. (1997) melaporkan tentang antimicrobial peptide dari kulit
biji Macademia integrijolia yang dinarnakan MiAMPl (Macademia
Antimicrobial Peptide 1). Peptida tersebut mempunyai bobot molekul 8.1 kD dan
menunjukkan aktivitas penghambatan pertumbuhan spora 7 cendawan patogen
tanaman.
Terras et al. (1997) telah mengisolasi dua protein homolog yang kaya
Cysteine dari biji lobak, yang dinamakan Raphanus sativus -antfungal protein 1
(Rs-AFP1) dan Rs-AFP2. Protein tersebut mempunyai bobot molekul 5-kD dan
menunjukkan potensi aktivitas anticendawan dalam uji in vitro.
Balasaraswathi et al. (1998) melaporkan adanya protein antivirus dari akar
Bougenvillia spectabilis yang aktif menghambat transmisi mekanik Tomato
RIP'S (Ribosome In-activating Protein) merupakan jenis senyawa yang
secara intensif diteliti pada beberapa jenis tanaman dari famili Cucurbitaceae,
seperti paria (Momordica charantia L.), blustru (Lufla cyllindrica L. Roem.), dan
Trichosanthes sp. RIP'S merupakan protein tanaman dengan aktivitas N-
glycosidase pada rRNA dari ribosom mamalia, fungi, tanaman, dan bakteri yang
secara irreversibel merusak sintesis protein dan diduga berfungsi sebagai
defensive protein bagi tanaman penghasilnya (Stirpe et al. 1992). Hipotesis ini
didukung oleh adanya aktivitas anticendawan in vitro dan peningkatan ketahanan
terhadap cendawan pada tanaman tembakau transgenik yang mengekspresikan
RIP biji barley (Logeman et al. 1992).
Perhatian terhadap RIP'S ini meningkat karena RIP'S berpotensial untuk
digunakan dalam bidang pertanian, yaitu sebagai faktor antiviral dan atau
anticendawan untuk proteksi tanaman. Kegunaan lain adalah untuk pengobatan,
sebagai konjugat sitotoksik dengan antibodi monoclonal (irnrnunotoksin) (Toppi
et al, 1996).
Vivanco et al. (1997) melaporkan tentang RIPS yang diisolasi dari
tanaman Mirabilis sp. Mirabilis Antiviral Protein (MAP) merupakan RIP dengan
rantai tunggal yang berhasil diisolasi dari akar dan daun Mirabilis jalapa. MAP
menunjukkan penghambatan terhadap transmisi mekanik Tobacco Mosaic Virus
pada sistem model tembakau. Mirabilis expansa dan Mirabilis mullflora juga
telah diidentifikasi mengandung RIP yang mirip dengan MAP. Uji aktivitas total
RIPS dari berbagai spesies tanaman Cucurbitaceae banyak dilaporkan
berkaitan dengan potensinya untuk pengobatan penyakit-penyakit seperti tumor,
kanker bahkan H I V . Minami et al. (1992) berhasil mengisolasi dua macam
momordin (RIP's) dari biji Momordica charantia L. yang berpotensi untuk
immunotoksin melawan sel-sel kanker, sel tumor dan virus AIDS.
RIP's berupa luffin a dan luffin b serta inhibitor sintesis protein PAP-S
diisolasi dari biji Luffa cyllindrica L.Roem. Sedangkan Trichosanthn (TCN)
merupakan senyawa yang paling intensif diteliti pada Trichosanthes sp, dan
digunakan sebagai abortifasien dan perlakuan untuk tumor trophoblastic (Dong et
al., 1994). Ng-TB et al. (1994) melaporkan bahwa trichosantin, a- dan
P-
mormorcharin, yang ditemukan pada biji Trichosanthes kirilowii dan akar
Momordica charantia L. menunjukkan aktivitas abortifasien, immunosupresif dan
aktivitas antitumor dalarn uji in vitro.
Protein lain yang berhubungan dengan TCN adalah Trichosanthes anti-
HIV protein (TAP 29), yang diisolasi dari root tubers tanarnan Trichosanthes kirilowii dan karasurin, dengan tingkat kesarnaan (homologi) sekuens kira-kira
98% dengan TCN, yang diisolasi dan biji Trichosanthes kirilowi (Dong et al.
1994).
Akar urnbi (root tubers) dari Trichosanthes kirilowii var japonicum Kitam.
dilaporkan mengandung protein dasar karasurin A dan karasurin B, yang
menunjukkan aktivitas induksi aborsi, seperti yang ditunjukkan oleh trichosantin
Inisiasi Kultur Akar Transgenik
Kultur akar merupakan suatu bentuk kultur jaringan akar yang hidup dan
berdiferensiasi secara terorganisir membentuk biomassa akar tanpa kehadiran tipe
organ lain dari tanaman seperti batang, daun ataupun bunga. Terdapat dua tipe
kultur akar yaitu kultur akar non transgenik dan kultur akar transgenik. Kultur
akar non transgenik diperoleh dengan memotong ujung akar tanaman di lapangan
lalu disterilkan maupun akar kecambah tanaman in vitro lalu ditanam dalam
media kultur jaringan (Payne et al. 1992).
Kultur akar transgenik merupakan kultur akar yang dihasilkan dengan
menginfeksi bagian tanaman seperti kotiledon, batang ataupun dam dengan
Agrobacterium rhizogenes. Infeksi tanaman dengan Agrobacterium rhizogenes
akan mengakibatkan ditransfernya T-DNA dari Ri (Root inducing) plasmid ke
genom tanarnan yang menyebabkan induksi proliferasi akar transgenik yang juga
disebut akar berambut (Payne et al. 1992).
Agrobacterium merupakan genus dari bakteri tanah gram negatif, dari kelompok famili Rhizobiaceae. Genus tersebut ada yang bersifat saprofit maupun
parasit. Dua spesies yang paling terkenal sebagai patogen tanaman adalah A.
tumefaciens clan A. rhizogenes. Kedua spesies tersebut dapat menginfeksi luka
dari beberapa spesies tumbuhan dkotil dan monokotil, yang menyebabkan
terjadinya pertumbuhan berlebihan pada daerah infeksi (Cleene dan De Ley,
1976). Infeksi oleh A. tumefaciens menginduksi pertumbuhan sel-sel tumor
(crown gall), sedangkan infeksi oleh A. rhizogenes menginduksi pertumbuhan
massa akar adventif dengan rambut-rambut akar yang disebut sebagai akar
Proses terjadinya infeksi jaringan tanaman oleh Agrobacterium melibatkan
3 komponen genetik yaitu T-DNA yang merupakan materi genetik yang akan
ditransfer ke sel tanaman, berbagai faktor virulensi (virulence factors = vir gene)
yang ada pada Ti-Ri-plasmid, dan berbagai faktor virulensi yang ada pada
kromosom. T-DNA merupakan mobile genetic element dimana dalam strukturnya
tidak terdapat gen yang mengkode protein (enzim) yang diperlukan untuk
terjadinya t m f w T-QNA (Zambryski et al. 1989).
Faktor virulensi yang esensial pada Ti-mi-plasmid antara lain adalah virA,
virB, virD, dan virG dan faktor virulensi yang berperan sebagai enhancer yaitu
virC dan VirE. Sedangkan faktor virulensi yang terdapat pada kromosom adalah
lokus chvA dan chvB yang berkaitan dengan proses sintesis dan ekskresi P-1,2
glukan (sintesis dalam sel dan ekskresi keIuar sel bakterinya), lokus cel yang
berfungsi dalam sintesis benang-benang selulosa, lokus pscA atau exoC yang
berfungsi dalam proses sintesis siklik-glukan atau acidic sucinoglycan, dan lokus
att yang berfungsi dalam proses sintesis protein yang berasosiasi dengan membran
sel bagian luar (cell surface protein) (Zambryski et al. 1989).
Inisiasi proses transfer terjadi ketika tanaman yang luka melepaskan
senyawa fenolik dengan berat molekul rendah seperti Acetosyringone (AS ) dan
Hidroxy-acetosyringone(0H-AS). AS dan OH-AS berfungsi sebagai inducer
spesifik untuk gen virulensi dari Agrobacterium. Agrobacterium aktif bergerak
menuju ke sel tanaman yang terluka akibat adanya AS dan OH-AS (kemotaksis).
AS dan OH-AS dideteksi oleh protein dari gen virA. Produk dari gen virA yang
protein) berfungsi sebagai sensor dan chemoreceptor untuk AS dan OH-AS
(Zambryski et al. 1989).
Adanya AS dan OH-AS menyebabkan virG diaktifkan oleh virA protein
yang terjadi melalui proses fosforilasi. VirG merupakan regulator untuk berbagai
gen virulensi yang lain dan diaktifkannya virG menyebabkan dimulainya ekspresi
berbagai gen virulensi. Setelah terjadi ekspresi berbagai gen virulensi, elemen T-
DNA yang ada pada Ti-mi-plasmid mengalami perubahan dramatis yang diakhiri
dengan tertransfernya elemen T-DNA ke dalam sel tanaman (Zambryski et al.,
1989).
T-DNA dari Agrobacterium tumefaciens mengandung oncogen yaitu iaaM
yang mengkode enzim trqtopan,2-monooksigenase, iaaH yang mengkode enzim
indol 3-asetamid hidrolisa, dan iptZ yang mengkode enzim isopentenil
transferuse. Enzim-enzim tersebut berperan dalam mengkatalisis biosintesis
hormon auxin dan sitokinin (Zambryski et al. 1989).
Akibat adanya iaaM dan iaaH, sel tanaman dapat mensintesis auksin
melalui jalan yang baru yang semula tidak ada. Sehngga pada sel transgenik
pembentukan auksin terjadi melalui dua jalan, yaitu melalui pathway yang ada
pada tanaman danpathway baru alubat adanya produk dari iaaM dan iaaH. Akibat
adanya pathway baru dalam biosintesis zat pengatur turnbuh (ZPT), maka
produksi ZPT dalam sel menjadi tidak dibatasi lagi, terjadi proliferasi sel
transgenik akibat meningkatnya ZPT internal, dan terjadi proliferasi sel normal
disekitar sel transgenik akibat translokasi ZPT. Hasil akhirnya adalah berupa
transgenik dan sel-sel bukan transgenik (Zambryski et al, 1989; Olsson dan
Nilsson, 1997).
T-DNA dari Agrobacterium rhizogenes terdiri dari beberapa rol gene,
yaitu rolA, roll3, rolC dan rolD. Roll3 diduga berperan meningkatkan pool auksin
aktif dalam tanaman dengan hidrolisis konjugat IAA inaktif, mengatur sensitivitas
sel terhadap IAA dan mendorong pembentukan meristem. RolC diduga berperan
meningkatkan level sitokinin aktif melalui aktivitas P-glucosidase yang mampu
melepaskan sitokinin aktif dari konjugatnya. Hasil akhir dari ekspresi berbagai rol
gene pada T-DNA dari Ri-plasmid adalah dengan terbentuknya jaringan akar
adventif atau lazim disebut dengan akar berambut (Nilsson dan Olsson, 1997).
Akar berambut hasil infeksi dengan A. rhizogenes dihasilkan dari proses
pasca infeksi yang secara fundamental berbeda dari crown gall, hasil infeksi dari
A. tumefaciens dan melibatkan set gen yang sama sekali berbeda. Perbedaan
mendasar lainnya adalah bahwa crown gall disusun oleh sel-sel yang tidak
berdiferensiasi dan turnbuh cepat serta mengandung sel-sel transgenik maupun
nontransgenik. Sebaliknya, akar berambut hanya terdiri dari sel-sel transgenik dan
dapat diregenerasikan menjadi tanarnan lengkap (Nilsson dan Olsson, 1997).
Akar Berambut dari Tanaman Cucurbitaceae
Beberapa spesies dari Cucurbitaceae dilaporkan menghasilkan akar
berambut setelah dinfeksi dengan Agrobacterium rhizogenes, antara lain
Cucurbita pepo L (Toppi et al. 1997). Akar berambut pada tanaman tersebut
diperoleh dengan menginfeksi bagian hipokotil tanarnan, kotiledon yang masih
berada pada tanaman atau kotiledon yang sudah dipisahkan dari tanaman
1855. Semua bagian tanaman yang diinfeksi tersebut dapat membentuk akar
berambut dalam waktu 7 hari setelah infeksi. Akar berambut yang dihasilkan
dapat tumbuh dalam media tanpa zat pengatur tumbuh untuk jumlah sub kultur
yang tidak terbatas.
Savary dan Flores (1994) telah mendapatkan akar berambut dari
Trichosanthes kirilowii Maxim. var japonicum Kitam (TKMJK), T. bracteata
Voigt, T. cucumeroides Maxim., dan T cucumerina var anguina (L.) Greb. untuk studi biosintesis Ribosome-Inactivating Protein (RIP) TCN dan protein lainnya pada akar yang berhubungan dengan ketahanan. Klon akar yang stabil dan tumbuh
cepat dari masing-masing spesies tersebut, diperoleh dari hasil infeksi plantlet in
vitro dengan Agrobacterium rhizogenes American Type Collection Culture
(ATCC) strain 15834.
Hasil penelitian Savary dan Flores (1994) juga menyatakan bahwa masing-
masing spesies menghasilkan pola protein yang berbeda dalam media kultur. Hasil
analisis protein menunjukkan adanya protein intraseluler (dalam jaringan akar)
dan ekstraselluler (terakumulasi dalam media cair) dari kultur akar T. kirilowii var
japonicum. Kelompok I11 Chitinases merupakan protein utarna yang ditemukan
dan biosintesis TCN berasosiasi dengan pertumbuhan akar sekunder.
Kondo et al. (1995) melaporkan hasil induksi akar berambut pada
Trichosanthes kirilowii var. japonicum. Akar berambut tersebut menghasilkan
asam brionolik (3P-hydroxy D:C -Jiedoolan -8-en-29 oic acid) dalam jumlah
yang cukup tinggi mencapai sekitar 2,8% dari berat kering akar. Asam brionolik
menunjukkan pengaruh penghambatan terhadap perturnbuhan sel B16 (sel
Akar berambut dari Lufla cyllindrica ( L . ) Roem dihasilkan oleh di Toppi et al. (1 996) melalui infeksi plantlet in vitro dengan Agrobacterium rhizogenes strain 1855. Kira-kira 80% dari plantlet yang diinfeksi membentuk akar berambut
dalam waktu 4 minggu setelah inokulasi bakteri. Akar berambut turnbuh optimal
dalam media B5 Gamborg tanpa penambahan zat pengatur tumbuh dan cahaya
penuh. Pada kondisi tersebut, kultur akar berambut menunjukkan kurva
pertumbuhan sigrnoid dan aktivitas penghambatan translasi oleh ekstrak kasar
protein meningkat secara progresif dan mencapai maksimal pada selama awal fase
pertumbuhan stasioner.
Kultur Akar Berambut untuk Produksi Metabolit Sekunder Kultur akar berarnbut banyak digunakan untuk produksi berbagai macam
senyawa metabolit sekunder, terutama kelompok alkaloid seperti akar berambut
pada Atropa belladona, Duboiisia myoporides, Hyoscyamus niger, Datura
stramonium, Datura candida dan Scopolia japonica untuk menghasilkan alkaloid
tropane. Akar berambut dari tanaman Catharanthus roseus menghasilkan
kelompok senyawa indole alkaloid seperti ajmalicine, cathenamine, iminium
cathenamine dan serpentine. Akar berambut dari pada Panax gingseng digunakan
untuk memproduksi saponine, Nicotiana rustica untuk produksi nicotine,
Nicotiana hesperis untuk menghasilkan anabasine dan lain sebagainya (Hoekstra, 1993).
Keuntungan penggunaan akar berambut untuk menghasilkan metabolit
sekunder terutama adalah pertumbuhannya yang cepat dalarn media kultur tanpa
penambahan zat pengatur tumbuh dan sifat genetik yang stabil. Kultur akar
telah digunakan secara luas dalam studi biosintesis berbagai metabolit seperti
alkaloid, flavonoid, poliasetilen, dan sesquiterpen.
Akar tanaman secara spesifik juga mensintesis dan mengakumulasikan
makromolekul seperti protein cadangan dan protein yang berhubungan dengan
sifat ketahanan (Maeshima, et al., 1985; Bowles et al., 1990) seperti enzim
glucanohydralase, chitinase, dan P-1,3 glucanase (Neale et al., 1990). Kultur akar
berambut juga sangat berguna untuk mempelajari berbagai protein pada akar yang
berhubungan dengan ketahanan tanarnan.
Produksi Biomassa dan Senyawa Target dalam Kultur Akar Berambut
Produksi senyawa target dalam kultur jaringan tanarnan secara in vitro
dipengaruhi oleh faktor genetik tanaman, faktor dalam kultur (seperti media, zat
pengatur turnbuh, vitamin, asam amino, dan lain-lain). Sedangkan faktor dari
lingkungan luar kultur meliputi cahaya, suhu, dan kelembaban.
Disamping pengaruh faktor genetik dan lingkungan dalam dan luar kultw,
tingkat diferensiasi sel juga mempengaruhi keberhasilan produksi metabolit
sekunder. Hal ini berhubungan dengan ekspresi lintasan biosintesis dari suatu
senyawa yang kadang-kadang hanya terjadi pada tingkat perkembangan sel atau
jaringan tertentu. Seperti pada tanaman Catharanthus roseus yang menghasilkan
vincristine dan vinblastine. dihasilkan lebih banyak pada daun hasil kultur
jaringan dibanding pada kalus. Pada Poligonum tinchtorium Ait, senyawa
anticendawan (antifungal compound) dihasilkan dalam jumlah besar pada akar
Beberapa strategi dapat dilakukan untuk memperbaiki produktivitas
biomassa maupun senyawa target dari kultur akar berambut. Diantaranya melalui
shining dan seleksi sel atau klon yang mempunyai kapasitas produksi tinggi,
optimasi media pertumbuhan, induksi senyawa target dengan penambahan elisitor,
dan rekayasa metabolik (Verpoorte et al. 1999).
Manipulasi media kultur telah dilaporkan pada kultur akar berambut dari
beberapa tanaman. Faktor-faktor yang dimanipulasi antara lain meliputi jenis dan
konsentrasi sukrosa, konsentrasi dan komposisi ion-ion dari unsur makro
(nitrogen, fosfat dm kaliurn), pH media, asam amino dan senyawa organik
lainnya serta zat pengatur tumbuh.
Payne et al. (1987) melaporkan pengaruh sukrosa, glukosa, fosfat dan
nitrat terhadap produksi biomassa dan kandungan hyoscyamine pada akar
berambut Datura stramonium. Konsentrasi sukrosa dan glukosa yang diuji adalah
I, 2, 3, 5, 7 dan lo%, fosfat 0.1, 0.5, 1.0, 5.0, 10.0, 20.0, 50.0 rnM dan nitrat 10,
20,30,60, dam 120 mM dengan kontrol media B5. Kultur akar berambut dengan
perlakuan tersebut diukur biomassa dan kandungan hyoscyamine-nya pada umur
28 hari.
Payne et al. (1987) menunjukkan bahwa akar berambut Datura
stramonium tidak tumbuh pada media yang mengandung glukosa sebagai sumber
karbon tunggal. Pada media yang mengandung sukrosa pertumbuhan lebih cepat,
dan konsentrasi sukrosa yang paling optimum untuk pertumbuhan biomassa dan
produksi hyoscyamine adalah 5% (wlv).
Cooke dan Webb (1997) melaporkan bahwa glukosa optimal untuk
sukrosa 0.5%, 6%, dan 9%, pertumbuhan cenderung menurun. Pada sukrosa
0.5%, akar berambut hanya membentuk sedikit percabangan lateral, lebih tebal
dan memanjang dibandingkan pada sukrosa 3%.
Wielanek dan Urbanek (1999) melaporkan hasil penelitian mengenai
pengaruh asam amino L-cystein clan Phenylalanin (0.1, 0.3, 0.6, dan 0.9 rnM),
methyljasmonate (MeJA 2,5, dan 10 pM), Peptonfrom Casein (PC 100,200, dan
400 mgll) dan terhadap pertumbuhan dan produksi glucotropaeline serta aktivitas
myrosinase pada akar berambut tanaman Tropaelum majus (nastirtium).
L-cystein terlihat menghambat produksi biomassa Tropaleum majus,
dimana pada kultur yang berumur 6 dan 9 hari biomassa yang diperoleh dengan
perlakuan L-cystein hanya 35% dari yang dihasilkan pada media kontrol Gamborg
B5. Pertumbuhan biomassa pada kultur yang mengandung PC atau MeJA sama
dengan yang diperoleh pada kontrol. Sedangkan Phenylalanin tidak menghambat
pertumbuhan biomassa sampai kultur berumur 6 hari, namun pada umur kultur 9
hari menyebabkan terjadinya penurunan biomassa sebesar 40% dibanding kontrol.
Pengaruh L-cystein, Phenylalanin, MeJA dan PC terhadap kandungan
glucotropaeoline dari akar berambut Tropaleum majus menunjukkan bahwa
senyawa-senyawa tersebut dapat meningkatkan kandungan glucotropaeline
sekitar 40% -70 % di atas kontrol pada kultur berumur 6 hari. Berdasarkan berat
kering perlakuan L-cystein menghasilkan glucotropaeoline 150% lebih tinggi
dibandingkan kontrol, sedangkan pada perlakuan PC, Phe atau MeJA kira-kira 30-
50% di atas kontrol. Sementara itu, perlakuan MeJA menyebabkan peningkatan
glucotropaeoline, mencapai 120%
-
150% diatas kontrol. Pada perlakuan L-Cystein, Phenylalanin atau PC, aktivitas myrosinase tidak begitu dipengaruhi.
Pangaruh zat pengatur tumbuh eksogen terhadap pertumbuhan akar
berambut jarang di teliti. Kemungkinan ini karena penambahan penambahan zat
pengatur turnbuh eksogen, misalnya auksin dapat menyebabkan terbentuknya
kalus, yang selanjutnya akan membentuk suspensi sel (Ernawati, 1992).
Hasil penelitian Cooke dan Webb (1997) pa& akar berambut tanaman
Lotus corniculatus yang ditambahkan 2,4D 0.1, 1 dan 10 p M menunjukkan bahwa
semua konsentrasi 2,4D tersebut menghambat pertumbuhan akar berambut
dibandingkan kontrol tanpa 2,4D. Pada 2,4D 0.1 pM, akar utarna dan cabang
lateral menjadi lebih tebal dan bantut dibandingkan dengan akar berambut yang
ditanam dalam media tanpa 2,4D.
Faktor lingkungan seperti cahaya dan suhu juga dapat dimanipulasi untuk
meningkatkan produktivitas kultur akar berambut. Beberapa kondisi cahaya dan
suhu pada penelitian kultur akar berambut antara lain menggunakan kondisi gelap
dan suhu 22°C pada kultur akar berambut Tropaleum majus (Wielanek dan
Urbanek, 1999), gelap dengan suhu 23-25°C pada akar berambut Datura
stramonium L. (Sikuli dan Demeyer, 1997), 16 jam terang, 8 jam gelap dengan
suhu 26°C pada akar berambut Datura stramonium (Payne et al., 1987), dan
cahaya (ca. 65 rnE m-2s-1) dan suhu 25°C pada akar berambut Luia cylindrica
(L.) Roem. (Toppi et al. 1996).
Cooke dan Webb (1997) bahwa perturnbuhan akar berambut Lotus
corniculatus relatif sama pada kondisi gelap dan terang. Suhu optimal untuk
rendah, mempunyai panjang yang sama dengan kontrol, namun dengan
percabangan lateral yang lebih sedikit dan pendek-pendek. Sedangkan pada suhu
35"C, perturnbuhan sangat tertekan serta akar berarnbut mengalami penebalan dan
darkening.
Daftar Pustaka
Balasaraswathi R, Sadasivam S, Ward M, Walker JM. 1998. An antiviral protein
from Bougenvillia spectabilis roots; purification and characterization. Phytochemistry 47: 156 1
-
1565.Bowles DJ. 1990. Defense-related protein in higherplants. Annu Rev Biochem. 59:873-907.
Cheong NE et al. 1997. Purification and characterization of an antifungal PR-5
protein fiom pumpkin leaves. Moll Cells 7:2 14-2 19.
Cooke DE, Webb KJ. 1997. Stability of CaMV 35s-gus gene expression in
(Bird's foot trefoil) hairy root cultures under different growth conditions. Plant Cell, Tissue and Organ Cult 47 : 163-168.
Cleene MD, Ley JD. 1976. The host range of crown gall. pot Rev 42:389-466.
Dong TX, Ng TB, Yeung HW, Wong RNSm. 1994. Isolation and characterization of a novel ribosome-activating protein, P-kirilowin, fi-om the seed of Trichosanthes kirilowii. Biochem Biophys Res Com 199; 1 :.
Ernawati A, 1992. Produksi senyawa-senyawa metabolit sekunder dengan kultur
jaringan tanaman Di dalarn: Wattimena GA, editor. Bioteknolog! Tanaman. Departemen Penddidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. hlm 169-2 16.
Fu TJ. 1999. Plant cell and tissue culture for food ingredient production. Di
dalam: Fu TJ, Singh G, Curtis WR, editor. Plant Cell and Tissue Culture
for the Production of Food Ingredients. Kluwer AcademicPlenurn Publishers. New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow.
Girbes T et al. 1993. Ebulin 1, a nontoxin novel type 2 ribosome-inactivating protein from Sambucus ebulus L. Leaves. J Biol Chem 268;24: 18195-
Heldt HW. 1997. Plant Biochemistry and Molecular Biology. Oxford University Press. p 3 10
Hoekstra SS. 1993. Accumulation of indole alkaloids in plant-organ cell cultures. Proefscrift. 127p.
Kondo T, Inoue M, Mizukarni H, Ogihara Y. 1995. Cytotoxic activity of
bryonolic acid isolated from transformed hairy roots of Trichosanthes kirilowii var. japonica. Biol Pharm Bull 18 ;5: 726-729
Logeman J, Jach G, Tommerup H, Mundy J, Schell J. 1992. Expression of barley ribosome-inactivating protein leads to increased fungal protection in
transgenic tobacco plants. BioITechnology 10:305-308 .
Maeshima M, Sasaki T, Asahi T. 1985. Characterization of major protein in
sweet potato tuberous root. Phytochemistry 24: 1899-1 902.
Marcus JP, Goulter KC, Green JL, Harrison SJ, Manners JM. 1997. Purification,
characterization and cDNA cloning of an antimicrobial peptide from Macademia integrfolia. Eur J Biochem 244:743-749
Minami Y, Nakahara Y, Funatsu G. 1992. Isolation and characterization of two
momordins, Ribosome In-activatig Protein from seed of bitter gourd (Momordica charantia). Biosci Biotech Biochem 56;9: 1470-1477.
Neale AD et al. 1990. Chitinase, P-1,3-glucanase, osmotin, and extensin are expressed in tobacco explants during flower formation. Plant Cell 2 : 673- 684.
Ng TB, Liu-Wk, Tsao Sw, Yeung HW. 1994. Effect of trichosanthin and momorcharin on isolated rat hepatocytes. J Ethnopharm 43;2:81-87.
Nilsson 0, Olsson 0. 1997. Getting to the root: The role of the Agrobacterium
rhizogenes rol genes in the formation of hairy roots. Physiol Plant 100:463-473
Payne J, Hamill JD, Robins RJ, Rhodes JC. 1987. Production of hyoscyamine by
hairy root cultures of Datura stramonium. Planta medica 53:474-478.
Payne GF, Bring V, Prince CL, Shuler ML. 1992. Plant Cell and Tissue Culture
in Liquid Systems. New York: John Wiley and Sons.Bab 8, Root Cultures; hlm 227-277.
Savary BJ, Flores HE. 1994. Biosynthesis of defense-related protein in
transformed root cultures of Trichosanthes kirilowii Maxim. Var.
Siemonsma JS, Piluek K. editor. 1994. Vegetables. Plant resources of South East Asia. Ed ke-8. Bogor.
Sikuli NN, Demeyer K. 1997. Influence of ion composition of medium on
alkaloid production by "hairy roots" of Datura stramonium. Plant Cell Tissue Organ Cult 47:26 1-267.
Terras FRG et al. 1995. Small cysteine-rich antifungal proteins fiom radish: their role in host defense. The Plant Cell 7: 573-588.
Toppi LS de, Gorini P, Properzi G, Barbieri L, Spano L. 1996. Production of ribosome in-activating protein from hairy-root cultures of Lufa cyllindrica (L.) Roem. Plant Cell Reports 1 5 : 9 10-9 13.
Toppy LS di, Pecchioni N, Durantee M. 1997. Cucurbita pep0 L. can be
transformed by Agrobacterium rhizogenes. Plant Cell. Tissue Organ Cult
51:89-93.
Vivanco
JM,
Weitzel D, Flores HE. 1997. Characterization of a major storage rootprotein isolated from the andean root crop Mirabilis expansa. Di dalam:
Flores HE, Lynch JP, Eissenstat D. Radical biology: Advances and
Perspectives on the Function of Plant Roots. Proceedings 1 l& Annual Penn State Symposium in Plant Physiology. Arnarican Society of Plant Physiologists, Rockville, Maryland U.S.A.
Verpoorte R, Heijden R van der, Hoopen HJG ten, Memelink J. 1999. Novel
approaches to improve plant secondary metabolite production. Di dalam: Fu TJ, Singh G, Curtis WR, editor. Plant Cell and Tissue Culture for the Production of Food Ingredients. New York: Kluwer AcademicRlenum Publishers. Hlm 85-100.
Wielanek M, Urbanek H. 1999. Glucotropaelin and myrosinase production in
hairy root cultures of Tropaeolum majus. Plant Cell Tissue Organ Cult 57 :
39-45.
Yun DJ et 01. 1996. Novel osmotically induced antifungal chitinases and bacterial expression of an active recombinant isoform. Plant Physiol 11 1:1219-
1225.
Zambryski P, Tempe J, Schell J. 1989. Transfer and function of T-DNA genes
KULTUR AKAR TRANSGENIK
Trichosanthes cucumerha
L.
SERTA PENGARUH DENSITAS EKSPLAN AWAL, UMUR
PANEN DAN KASEIN HIDROLISAT TERHADAP PRODUKSI
BIOMASSA DAN PROTEIN TOTAL AKAR TRANSGENIK
Abstrak
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan kultur akar transgenik (akar berambut) yang tumbuh stabil dalam media tanpa penarnbahan zat pengatur tumbuh dari kecambah Trichosanthes cucumerina L. dengan bantuan Agrobacterium rhizogenes 9457, mempelajari pengaruh densitas eksplan awal, umur panen serta kasein hldrolisat terhadap produksi biomassa dan hasil protein total dari akar transgenik.
Penelitian tediri dari tiga tahap yaitu inisiasi kultur akar berambut, uji pengaruh densitas eksplan dan umur panen terhadap produksi biomassa dan hasil protein total dari akar berambut, dan uji pengaruh penarnbahan kasein hidrolisat terhadap produksi biomassa dan hasil protein total dari akar berambut.
Hasil infeksi kecambah in vitro dengan A. rhizogenes menunjukkan sebanyak 42 kecambah dari selutar 108 kecambah yang diinfeksi menghasilkan akar pada lokasi infeksi. Namun setelah melalui tahap penapisan dalarn media Murashige-Skoog tanpa zat pengatur tumbuh (MS-0), hanya dihasilkan satu galur akar berarnbut yang tumbuh stabil dalam media tersebut. Galur akar berambut tersebut tumbuh stabil dalam jurnlah sub kultur yang ti& terbatas dalam media MS-0 dan menunjukkan indikasi yang kuat sebagai akar transgenik. Kesulitan mengeliminasi sisa-sisa Agrobacterium dari media kultur menyebabkan galur akar berambut yang dihasilkan sangat terbatas.
Galur akar berambut yang tumbuh stabil digunakan dalam uji pengaruh densitas eksplan awal, umur panen dan kasein hidrolisat. Densitas eksplan awal3,
5, 7 dan 9 akar per botol dikombinasikan dengan umur panen 4, 8 dan 12 HST.
Biomassa yang dihasilkan pada semua perlakuan densitas eksplan awal pada 12 HST, berbeda nyata antara eksplan awal3 dengan yang lainnya. Sebaliknya hasil protein total cenderung menurun dengan meningkatnya umur panen pada setiap densitas eksplan awal. Perbedaan densitas eksplan mempengaruhi pola perturnbuhan karena pada densitas eksplan 7 dan 9 akar berarnbut cenderung lebih cepat memasuki fase stasioner. Kadar protein total menurun dengan meningkatnya umur kultur sedangkan hasil protein total tergantung pada waktu panen.
Pendahuluan
Kultur akar merupakan suatu bentuk kultur jaringan akar yang hidup dan berdiferensiasi secara terorganisir membentuk biomassa akar tanpa kehadran tipe organ lain dari tanaman seperti batang, daun ataupun bunga. Terdapat dua tipe kultur akar yaitu kultur akar non transgenik dan kultur akar transgenik. Kultur akar non transgenik diperoleh dengan memotong ujung akar tanaman di lapangan lalu disterilkan maupun akar kecambah tanarnan in vitro lalu ditanam dalam media kultur jaringan (Payne et al. 1992).
Kultur akar transgenik merupakan kultur akar yang dihasilkan dengan menginfeksi tanaman dengan Agrobacterium rhizogenes. Infeksi tanaman dengan Agrobacterium rhizogenes akan mengakibatkan ditransfernya T-DNA dari Ri (Root inducing) plasmid ke genom tanaman yang menyebabkan induksi proliferasi akar transgenik yang juga disebut akar berambut (Payne et al., 1992).
Akar berambut mempunyai ciri percabangan lateral yang ekstensif dan tidak dipenganh geotropisme. Percabangan yang ekstensif tersebut menghasilkan banyak meristem sehingga memungkinkan pertumbuhan biamassa yang cepat dibandingkan akar tanaman normal. Sifat penting lainnya dari akar berambut adalah kemampuannya untuk tumbuh stabil dalam media kultur in vitro walaupun tanpa penambahan zat pengatur tumbuh.
baik dibandingkan ekstraksi protein langsung dari tanaman in vivo maupun Mtur kalus dan suspensi sel (Toppi et al. 1996).
Induksi akar berambut dengan bantuan Agrobacterium rhizogenes telah berhasil dilakukan pada beberapa spesies Cucurbitaceae. Diantaranya adalah Lufla cylrndrica L. ( Toppi, 1996; Turnilisar 2001), Cucurbita pep0 L. (Toppi, 1997), dan Trichosanthes spp.(Savary dan Flores, 1994). Akar berambut pada beberapa spesies Cucurbitaceae tersebut digunakan mtuk mempelajari identitas protein aktif yang ada pada akar tanaman.
Protein aktif dari berbagai tanaman dilaporkan bermanfaat bagi tamman penghasilnya sebagai suatu mekanisme ketahanan terhadap serangan patogen maupun cekarnan abiotik. Protein aktif tersebut dapat berupa enzim, defensin, antimicrobial peptide, maupun Ribosome Inactivating Proteins (RIP). Kultur akar berambut dari Trichosanthes sp. dilaporkan mengha