ANALISIS PERANAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM KOORDINASI DAN SUPERVISI TERHADAP INSTANSI YANG
BERWENANG MELAKUKAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh
MUHAMMAD ADITYA PRATAMA PUTRA
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) sehingga penanganannya tidak lagi dapat menggunakan peraturan hukum yang konvensional dengan lembaga/instansi hukum yang konvensional pula dengan demikian dianggap sudah tidak sesuai dan butuh penanganan yang khusus dengan lembaga/instansi hukum yang lebih spesifik dan independen, maka dibuatlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur mengenai pembentukan lembaga yang independen dan khusus menangani tindak pidana korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam hal KPK menjalankan fungsi, tugas juga kewenangannya dalam koordinasi dan supervisi, mereka memiliki kedudukan/peranannya dalam masyarakat, di samping itu, dalam menjalankan sebuah peranan dalam koordinasi dan supervisi di masyarakat tentu tidak semudah yang diharapkan dan dalam pelaksanaannya terdapat hambatan-hambatan yang dapat mengganggu pelaksanaan peranan tersebut, seperti pada kasus simulator sim yang mengindikasikan adanya kepentingan dan kekuatan antar instansi didalamnya. Permasalahan yang diperoleh berdasarkan latar belakang tersebut yaitu, bagaimanakah peranan KPK dalam koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi dan apakah faktor-faktor yang menjadi penghambat peranan KPK dalam koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi.
Muhammad Aditya Pratama Putra
yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang kemudian dianalisis secara analisis kualitatif, guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.
Berdasarkan penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 (empat) klasifikasi peranan KPK terkait kewenangan koordinasi dan supervisi, yaitu peranan ideal, peranan yang seharusnya, peranan yang dianggap oleh diri sendiri dan peranan yang sebenarnya dilakukan, namun, Peranan yang dominan dan harus diterapkan/ditegakkan diantara keempat peranan tersebut adalah peranan yang seharusnya, yaitu berasal dari Undang-Undang KPK yang didalamnya terdapat pengaturan mengenai peranan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi, sehingga bila peranan yang seharusnya ini dijalankan dengan baik dan sesuai ketentuan maka akan tercipta harmonisasi peranan antara KPK dengan penyelenggara negara yang berwenang memberantas korupsi maupun penyelenggara negara lainnya. Terdapat 5 (lima) faktor penghambat peranan KPK terkait kewenangan koordinasi dan supervisi yaitu, faktor hukumnya sendiri (undang-undang), penegak hukumnya, sarana, masyarakat dan kebudayaan, namun faktor yang dominan dan memang nyata terjadi di masyarakat hanyalah faktor penghambat dari hukumnya sendiri yaitu pelemahan KPK dengan mencabut kewenangan penuntutan dan beberapa kewenangan lain dengan merevisi Undang-Undang KPK, juga faktor penghambat dari segi fasilitas yaitu tidak adanya perwakilan KPK di daerah yang dinilai dapat mempermudah koordinasi dan supervisi terhadap kasus di daerah.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tindak pidana yang menjadi permasalahan seluruh bangsa di dunia ini
adalah korupsi. Korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik
perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena
korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang
menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman
penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan
masyarakat kepada penguasa setempat.
Setelah perang dunia kedua, gejolak korupsi ini meningkat di negara yang sedang
berkembang dan di negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Masalah korupsi
ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara
tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa.
Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang
gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah
tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya
menyelesaikan masalah korupsi.1
1
2
Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini sudah dalam posisi yang memprihatinkan,
Berdasarkan survei persepsi korupsi tahun 2001, Indonesia masuk kedalam lima besar negara terkorup di dunia. Tentu saja hal tersebut merupakan predikat yang tidak baik yang diberikan oleh dunia sehingga dapat berdampak pada bidang eksternal maupun internal negara ini. Perkembangan praktek korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat dilihat dari data survei
Indeks Persepsi Korupsi setiap tahun yang mengurutkan negara-negara di dunia berdasarkan
persepsi (anggapan) publik terhadapkorupsidi jabatan publik dan politis menunjukkan
peningkatan dari tahun 2001 hingga 2004 dimana tahun 2001 hingga 2003 berindeks 1.9
kemudian meningkat di tahun 2004 yaitu 2.2, baik dari kuantitas atau jumlah kerugian keuangan
negara maupun dari segi kualitas yang semakin sistematis, canggih serta lingkupnya sudah
meluas dalam seluruh aspek masyarakat.2
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali seperti yang dikemukakan di atas
akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada
kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi tidak lagi dapat
digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Karena metode konvensional yang selama ini digunakan terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan korupsi yang ada di masyarakat maka dalam penanganannya pun juga
harus menggunakan cara-cara luar biasa(extra ordinary).
Penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia masih dihadapkan pada beberapa kondisi, yakni
masih lemahnya upaya penegakkan hukum tindak pidana korupsi, kualitas sumber daya manusia
(SDM) aparat penegak hukum yang masih rendah, lemahnya koordinasi penegakkan hukum
2
tindak pidana korupsi, serta masih terjadinya tindak pidana korupsi dalam penanganan kasus
korupsi.
Membentuk badan atau lembaga yang independent atau terlepas dari interfensi pihak manapun untuk menangani persoalan serius ini yaitu korupsi adalah keputusan yang sangat tepat. Kemudian pada tahun2003dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan
berdasarkan kepadaUndang-Undang Republik IndonesiaNomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan dibentuknya suatu lembaga negara yang
independent dan khusus menangani tindak pidana korupsi ini diharapkan membawa dampak baik
bagi Indonesia khususnya dimata bangsa sendiri maupun dimata dunia sehingga dapat
memperbaiki berbagai aspek kenegaraan lainnya.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) tersebut telah diberikan kewenangan
khusus seperti yang tercantum dalam undang-undang yang menjadi dasar pendiriannya yaitu
Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dimana dalam undang-undang ini diatur mengenai tugas dan kewenangan
dari KPK. Terdapat lima tugas utama yang diatur dalam undang-undang tersebut dan diantaranya
adalah koordinasi dan supervisi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi. Kewenangan KPK dalam hal mengawasi supervise dan bersatu atau bekerjasama (koordinasi) dengan lembaga negara atau instansi lain yang berwenang menangani
atau memberantas kasus tindak pidana korupsi, yang dalam penelitian ini adalah mencakup
Kejaksaan Republik Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia dalam menyidik dan
Menuntut perkara tindak pidana korupsi. Hal terkait koordinasi dan supervisi itu pun turut diatur
4
KPK dalam kewenangannya itu bukanlah semata-mata tanpa batasan, dapat dilihat dalam kasus
korupsi simulator sim yang dilakukan pejabat bintang dua Polri, dimana dikutip dalam
Indonesian Corruption Watchyang menyatakan bahwa:
“terdapat Kesepakatan Bersama antara Kejaksaan, Kepolisian dan KPK tentang
Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ditandatangani oleh Kapolri,
Jaksa Agung dan Ketua KPK pada 29 Maret 2012”.3
Keterangan di atas dapat diartikan bahwa KPK dapat melakukan kerjasama dalam hal koordinasi
dan supervisi dengan instansi lain yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi.
Terkait hal pelaksanaannya, hal yang diatur dalam undang-undang terkadang tidak sesuai dengan
implementasinya di lapangan, hal yang diatur dalam undang-undang dianggap hanya sebagai
aturan formil jadi pelaksanaannya di lapangan hanya dianggap formalitas saja, atau dapat
dikatakan improvisasi apabila dianggap tidak melaksanakan ketentuan formal undang-undang.
Maka dalam hal ini pelaksanaan tugas dan wewenang KPK khususnya dalam bidang koordinasi
dan supervisi apakah memang ada dan implementasinya sesuai dengan yang diatur
undang-undang. Bila dikaitkan dengan potensi terjadinya tindak pidana korupsi itu sendiri dalam hal
pelaksanaan formil inilah yang justru berpeluang untuk terjadinya suatu pelanggaran atau
ketidaksesuaian dengan kaidah atau aturan formil yang sudah ditetapkan dalam undang-undang.
Dalam hal lain, terkadang ada hambatan dimana tiap-tiap instansi ingin menunjukkan
kekuatannya dalam menangani suatu kasus tindak pidana korupsi, dimana instansi-instansi
tersebut sama-sama memiliki kewenangan untuk memberantas tindak pidana korupsi, bahkan
masih banyak lagi hambatan-hambatan lain seperti dalam kasus korupsi simulator sim tersebut
3
Indonesian Corruption Watch, “Air Mata Jenderal Hoegeng”, terdapat dalam situs:
dimanana terdapat ketidaksepakatan antara Polri dan KPK dalam kasus tersebut, juga dilihat dari
data yang diperoleh Polda Lampung pelaksanaan koordinasi dan supervisi dalam kenyataannya
memang relatif sedikit terjadi terutama pada perkara korupsi di daerah, khususnya di Provinsi
Lampung. Tercatat dari data yang di peroleh dengan sampel kasus tahun 2011-2012, yaitu:
a. Tahun 2011 terdapat 3 (tiga) kasus dengan kerugian Negara diatas 1 (satu) milyar, dan
tersangka dari kasus tersebut adalah penyelenggara negara, serta memperoleh perhatian
yang meresahkan masyarakat, kasus tersebut diantaranya:
1) Penyimpanan dana APBD Lampung Tengah oleh mantan Bupati Lampung Tengah
pada Bank Tripanca, Bandar Lampung.
2) Penyimpanan dana APBD Lampung Timur oleh mantan Bupati Lampung Timur
pada Bank Tripanca, Bandar Lampung.
3) Dugaan tindak pidana korupsi Dana Bansos Tahun Anggaran 2009 pada Biro
Keuangan Pemerintah Provinsi Lampung.
b. Tahun 2012 terdapat 1 (satu) kasus dengan kerugian Negara diatas 1 (satu) milyar dan
tersangka dari kasus tersebut adalah penyelenggara negara, serta memperoleh perhatian
yang meresahkan masyarakat, kasus tersebut adalah dugaan tindak pidana korupsi dana
APBN tahun anggaran 2008, program PMUK tahun anggaran 2008 pada KPPR Ratu
Manis, Kabupaten Lampung Utara, selain itu terdapat 3 (tiga) kasus di bawah 1(satu)
milyar, dari kasus-kasus tersebut belum sempat terjadi koordinasi dan supervisi KPK di
dalamnya, demikian juga dengan Kejaksaan Tinggi Lampung yang menangani
perkara-perkara diatas belum ada koordinasi dan supervisi KPK di dalamnya, hal tersebut dapat
6
supervisi KPK dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
Pada dasarnya terdapat perbedaan dalam pengaturan supervisi dan koordinasi dimana dalam hal
supervisi KPK bertindak sebagai pengawas yang dalam hakikatnya pengawas adalah badan yang
memiliki kewenangan tidak hanya untuk mengawasi melainkan juga untuk mengatur badan yang
diawasi, sedangkan dalam hal koordinasi, yaitu KPK sebagai lembaga yang bekerjasama dengan
lembaga lainnya untuk menyelesaikan perkara korupsi yang ditangani bersama, atau dapat
dikatakan saling tolong dalam perkara tersebut.4
Berdasarkan latar belakang yang telah di jelaskan diatas, maka permasalahan yang dapat diambil
dalam skripsi yang berjudul “Analisis Peranan KPK dalam Koordinasi dan Supervisi Terhadap
Instansi yang Berwenang Memberantas TindakPidana Korupsi” adalah sebagai berikut:
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan:
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat ditarik suatu permasalahan sebagai berikut:
a) Bagaimanakah peranan KPK dalam koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang
berwenang memberantas tindak pidana korupsi?
b) Apakah faktor-faktor yang menjadi penghambat peranan KPK dalam koordinasi dan
supervisi terhadap instansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi?
2. Ruang lingkup:
Agar penelitian dapat lebih terfokus dan terarah sesuai dengan yang penulis maksud, maka
sangat penting dijelaskan terlebih dahulu batasan-batasan atau ruang lingkup penelitian. Ruang
4
lingkup penelitian ini adalah ilmu hukum pidana khususnya pada Peran KPK dalam koordinasi
dan supervisi terhadap instansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi dan objek
Penelitian ini yaitu kewenangan koordinasi supervisi yang dilakukan KPK terhadap instansi yang
berwenang menangani tindak pidana korupsi dalam kesesuaian antara hukum yang mengatur
dengan keadaan yang nyata di lapangan. Adapun lingkup Lokasi Penelitian ini adalah di Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), instansi yang berwenang mengatasi tindak pidana
korupsi seperti Kejaksaan dan Kepolisian.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian:
Sesuai dengan pertanyaan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini
adalah untuk :
a. Mengetahui peranan dari KPK dalam koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang
berwenang memberantas tidak pidana korupsi dan kesesuaiannya dengan peraturan.
b. Mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam koordinasi dan supervisi KPK
terhadap instansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi.
2. Kegunaan Penelitian:
a. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan atau keilmuan mengenai
teori yang digunakan dalam hal supervisi dan koordinasi yang dilakukan KPK terhadap
instansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi dan yang terkait dengan judul
penelitian ini yaitu teori peranan.
8
hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan di kalangan akademisi serta
kalangan yang menggeluti bidang hukum terutama tindak pidana korupsi dan instansi yang
berwenang khusus mengatasinya yaitu KPK juga memberikan masukan kepada lembaga
yang diawasi dan dikoordinasikan oleh KPK berdasarkan undang-undang dan peraturan
yang berlaku. Di samping itu, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pihak-pihak terkait dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi agar
lebih profesional dalam menegakan hukum di negara ini.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari pemikiran
atau kerangka acuan yang pada dasarnya berguna untuk mengadakan identifikasi terhadap
dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti.5
Kerangka teoritis dapat disebut juga suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu
teori dengan faktor-faktor penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu.
Peranan atau role merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban. Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau
tugas.
Menurut Soerjono Soekanto peranan dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur sebagai berikut:
5
1. Peranan yang ideal(ideal role)
2. Peranan yang seharusnya(expected role)
3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri(perceived role 4. Peranan yang sebenarnya dilakukan(actual role).6
Setelah terlaksananya peranan yang dikemukakan tersebut diatas maka suatu peranan mungkin
saja dapat terhambat oleh faktor-faktor tertentu yang dapat menjadi batu sandungan dalam
terlaksananya peran tersebut.
Menurut Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang mempengaruhi upaya penegakan hukum, lima
faktor tersebut adalah :
1. Faktor hukumnya sendiri, yang dalam tulisan ini dibatasi pada faktor undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.7
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga yang memiliki tugas dan wewenang khusus
yang diberikan dan diatur langsung dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana ia bebas dari
interfensi dari lembaga lain untuk menjalankan tugasnya. Namun berdasarkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut diatur
pula terkait hal koordinasi dan supervisi dengan instansi yang berwenang memberantas tindak
pidana korupsi.
6
Ibid. hlm.20
7
10
Berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban tersebut, KPK dan semua instansi yang berwenang
memberantas tindak pidana korupsi memiliki peranan masing-masing dalam menangani perkara
tindak pidana korupsi, dimana dalam hal ini KPK dan instansi yang berwenang memberantas
tindak pidana korupsi dapat dikatakan sebagai penegak hukum.
Secara sosiologis menurut Soerjono Soekanto “setiap penegak hukum memiliki kedudukan
(status) dan peranan(role). Kedudukan tersebut merupakan suatu wadah yang isinya merupakan hak dan kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban tadi merupakan peranan ataurole”.8
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto diatas maka KPK dan instansi yang
berwenang memberantas tindak pidana korupsi memiliki peranannya masing-masing yang diatur
dalam peraturan mengenai fungsi, tugas dan wewenang instansi masing-masing termasuk KPK,
dapat diambil contoh kejaksaan memiliki kedudukan dalam menuntut suatu perkara. Dengan
adanya peraturan yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk berkoordinasi dan supervisi
dengan instansi lain yang berwenang memberantas tindak pidana, maka dapat saja terjadi ketidak
sesuaian menjalankan peranan masing-masing karena pola prilaku yang berbeda antara KPK
dengan instansi yang lainnya. Dimana terdapat teori yang menerangkan, bahwa gangguan
terhadap penegakkan hukum mungkin terjadi, apabila ketidakserasian antara nilai, kaidah dan
pola prilaku.9
2. Konseptual
8
Ibid. hlm.20
9
Kerangka Konseptual merupakan suatu model kemampuan untuk mengidentifikasi pola atau
hubungan yang tidak nampak dengan jelas. Termasuk didalamnya menyimpulkan informasi yang
beragam dan tidak lengkap menjadi sesuatu yang jelas, mengidentifikasi kunci atau dasar
permasalahan di dalam situasi yang kompleks dan menciptakan konsep-konsep baru.
Menurut Soerjono Soekanto, Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan
dengan istilah yang ingin atau akan di teliti.10
Definisi yang berkaitan dengan judul peniulisan ini dapat diartikan sebagai berikut, diantara nya
adalah :
a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu
sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan
pemahaman arti keseluruhan.11
b. Peranan adalah aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak
dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peran.12
c. Kewenangan adalah Hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu berdasarkan
undang-undang.13
d. Kewenangan koordinasi adalah Hak dan kekuasaan untuk melakukan kerjasama atau
bertindak kooperatif kepada perorangan atau lembaga berdasarkan undang-undang.14
10
Soerjono Soekanto,Penelitian Hukum Normatif.Rajawali Pers. Jakarta. 1986 hlm. 132
11
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia,Kamus Besar Bahasa Indonesia.1997, hlm. 32.
12
Soerjono Soekanto, Op. Cit. hlm. 20.
13
R. Suyoto Bakir,Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.Karisma Publishing Group. Tangerang: 2009. hlm.29.
14
12
e. Kewenangan supervisi adalah Hak dan kekuasaan untuk melakukan pengawasan kepada
perorangan atau lembaga berdasarkan undang-undang.15
f. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana
yang disertai sanksi (ancaman) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.16
g. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.17
E. Sistematika Penulisan
Sistematika ini memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan dengan tujuan untuk
mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan sistematika
sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Merupakan bab yang menguraikan latar belakang, masalah dan ruang lingkup tujuan dan
kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan bab pengantar yang menguraikan tentang pengertian-pengertian umum dari
pokok bahasan yang memuat tinjauan mengenai kewenangan supervisi KPK dan tindak
pidana korupsi.
15
Ibid. hlm ..
16
Moeljatno.Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta: 1983. Hlm.54.
17
III. METODE PENELITIAN
Merupakan bab yang membahas tentang metode yang digunakan dalam penulisan skripsi
ini yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan
pengolahan data serta analisis data yang di dapat.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Merupakan penjelasan dan pembahasan yang mengemukakan hasil penelitian mengenai
kewenangan supervisi dan koordinasi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK) terhadap instansi atau lembaga yang berwenang menangani tindak
pidana korupsi.
V. PENUTUP
Merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan
dan kemudian memberikan beberapa saran yang dapat membantu pihak-pihak yang
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Peranan
Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan dimana
kedudukan itu sendiri merupakan wadah yang berisi hak dan kewajiban. Hak dan
kewajiban tadi adalah merupakan peranan atau role. Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban
adalah beban atau tugas.
Menurut Soerjono Soekanto peranan dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Peranan yang ideal(ideal role)
2. Peranan yang seharusnya(expected role)
3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri(perceived role) 4. Peranan yang sebenarnya dilakukan(actual role).1
Soerjono Soekanto juga menerangkan unsur-unsur peranan tersebut diatas, yaitu:
“Peranan yang ideal dan yang seharusnya datang dari pihak (atau pihak
-pihak) lain, sedangkan peranan yang dianggap oleh diri sendiri serta peranan
yang sebenarnya dilakukan berasal dari diri pribadi”
Peranan penegak hukum tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
1
lain) yang merupakan awal terhadap terlaksananya suatu aktivitas atau kegiatan sehingga
yang lain tinggal mengikuti apa yang telah dilakukan oleh pihak pertama.
2. Peranan yang seharusnya, adalah peranan yang dianggap oleh diri sendiri yang sebenarnya
dilakukan atau berasal dari diri pribadi yaitu seseorang yang semestinya melakukan sesuatu
aktivitas atau kegiatan dia akan melakukannya sebelum orang lain melakukan terlebih
dahulu.
3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri yaitu peranan-peranan yang mulai berfungsi apabila
berhubungan dengan pihak lain atau peranan tersebut akan mulai dilaksanakan apabila sudah
ada pihak-pihak tertentu yang melakukan aktivitas atau kegiatan.
4. Peranan yang sebenarnya dilakukan yaitu berhubungan erat dengan kewajiban seseorang
dalam melakukan suatu aktivitas atau kegiatan tanpa ada perintah dia akan melakukan apa
yang seharusnya dilakukan.
Pelaksanaan peranan KPK dan instansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi
dalam penelitian ini bila diliahat dari teori diatas, maka dapat dibedakan peranan yang sesuai
dengan hukum positif dan peranan yang terjadi di lapangan.
B. Tinjauan Umum Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
1. Pengertian Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
Berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPK), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) adalah sebuah
lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dimana dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang menjadi dasar pendiriannya, maka sejak saat itulah Komisi pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK) mulai menjadi suatu lembaga negara yang berwenang
memberantas tindak pidana korupsi, dimana ia diberikan tanggungjawab, tugas dan wewenang
yang diatur dalam undang-undang tersebut.
Pemberantasan tindak pidana korupsi selama ini dibebankan kepada lembaga konvensional
dalam menyelesaikannya, atau dapat dikatakan lembaga-lembaga yang kewenangannya
diberikan langsung oleh hukum positif yaitu KUHAP, namun langkah ini memang tidak
memuaskan dalam melakukan langkah-langkah pemberantasannya, karena banyak mengalami
hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa extra ordinary melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta
bebas dari kekuasan maupun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang
pelaksanaannya dilakukan secara optimal intensif, professional dan berkesinambungan.
2. Tugas, wewenang dan Kewajiban Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
mengatur mengenai tugas, wewenang dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d.melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Terkait hal diatas, Komisi Pemberantasan Korupsi akan mengambil alih fungsi dan tugas
kejaksaan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara-perkara korupsi.
Mengingat adanya asas hukum yang menerangkan lex specialie derogat legi generalie dimana asas tersebut dapat diartikan ketentuan peraturan yang khusus lebih di dahulukan daripada
ketentuan peraturan yang bersifat umum ataugeneral.
Hal yang sama juga dipaparkan oleh hukum positif indonesia dimana KUHP pun
memperbolehkan adanya pengaturan hukum pidana diluar KUHP, yaitu dalam Pasal 103 KUHP,
yang menyatakan:
“ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini (KUHP) juga
berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya
Berdasarkan Pasal 103 KUHP ini dimungkinkan dibentuk undang-undang pidana di luar KUHP.
Dengan ketentuan cara berlakunya mengacu pada pasal 103 KUHP, yaitu: pada dasarnya
ketentuan-ketentuan tentang pidana dalam Undang-Undang Pidana di luar KUHP tunduk pada
yang dicantumkan dalam Buku I (Ketentuan Umum) KUHP, kecualiUU Pidana di luar KUHP itu
menentukan atau mengatur sendiri ketentuan-ketentuan mengenai pidananya.2
Selanjutnya kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah:
a. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun
memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi;
b. memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan
untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi
yang ditanganinya;
c. menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia,
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;
d. menegakkan sumpah jabatan;
e. menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5.
C. Koordinasi dan Supervisi dalam Tugas dan Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi
1. Koordinasi
Koordinasi adalah perihal mengatur suatu organisasi dan cabang-cabangnya sehingga
peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan yang dilaksanakan tidak saling bertentangan.
2
lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengatur atau bekerja sama dengan suatu organisasi
atau instansi (lembaga) yang berwenang menangani tindak pidana korupsi agar
peraturan-peraturan mengenai penanganan perkara korupsi dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan-peraturan.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
mengatur mengenai apa saja kewenangan yang diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam hal melaksanakan tugas koordinasi pada Pasal 7, yaitu sebagai berikut:
Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
2. Supervisi
Supervisi adalah pengawas utama, pengontrol utama atau penyelia. Berdasarkan pengertian
yang dipaparkan tersebut bahwa dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi adalah sebagai
pengawas utama atau pengontrol yang diutamakan terhadap lembaga atau instansi yang
berwenang menangani perkara tindak pidana korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
mengatur mengenai apa saja kewenangan yang diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
a. Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau
penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan
dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan
pelayanan publik.
b. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan
terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan.
c. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan,
kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara
beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
d. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan
menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan
kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto, yang menyatakan dalam bukunya bahwa:
hidup.”3
Atas dasar yang telah di jelaskan oleh Soerjono Soekanto diatas maka berikut ini adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hokum, yaitu sebagai berikut:
1. Faktor Undang-Undang
Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh
Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Mengenai berlakunya Undang-undang tersebut,
terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar Undang-undang tersebut mempunyai dampak
yang positif. Asas-asas tersebut antara lain :
a. Undang-undang tidak berlaku surut.
b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi pula.
c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat
umum, apabila pembuatannya sama.
d. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan Undang-undang yang berlaku
terdahulu.
e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
2. Faktor Penegak Hukum
Negara hukum yang hanya dikonstruksikan sebagai bangunan hukum perlu dijadikan lebih
lengkap dan utuh, dalam hal perlu dijadikannya memiliki struktur politik pula. Hukum hanya
merupakan sebuah teks mati jika tidak ada lembaga yang menegakkannya. Oleh karena itu,
dibentuklah penegak hukum yang bertugaskan untuk menerapkan hukum. Dalam
3
pelaksanaannya, hukum dapat dipaksakan daya berlakunya oleh aparatur negara untuk
menciptakan masyarakat yang damai, tertib dan adil. Terhadap perilaku manusia, hukum
menuntut manusia supaya melakukan perbuatan yang lahir, sehingga manusia terikat pada
norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat negara.
3. Faktor Sarana dan Fasilitas Dalam Penegakkan Hukum
Tindak pidana pencurian kendaraan bermotor tidak lagi dilakukan perseorangan, melainkan
melibatkan orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi
dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional
maupun internasional. Ada bebrapa kendala dalam menanggulangi tindak pidana pencurian
kendaraan bermotor, salah satunya adalah keterbatasan dan operasional dalam melaksanakan
penyidikan.
4. Faktor Masyarakat
Upaya pembangunan tatanan hukum paling tidak didasarkan atas tiga alasan, pertama sebagai
pelayan bagi masyarakat, karena hukum itu tidak berada pada kevakuman, maka hukum harus
senantiasa disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang dilayaninya juga senantiasa
berkembang. Kedua, sebagai alat pendorong kemajuan masyarakat. Ketiga, karena secara
realistis di Indonesia saat ini fungsi hukum tidak bekerja efektif, sering dimanipulasi, bahkan jadi
alat bagi penimbunan kekuasaan. Masyarakat merupakan poin penting dari penanggulangan
pencurian kendaraan bermotor. Hukum mengikat bukan karena negara menghendakinya,
melainkan karena merupakan perumusan dari kesadaran hukum masyarakat. Selanjutnya beliau
berpendapat bahwa kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap
dari kemauan masyarakat untuk melaksanakannya. Dapat dikatakan budaya hukum akan
mempengaruhi penolakan dan penerimaan masyarakat terhadap suatu peraturan hukum. Hal ini
penting diperhatikan karena suatu peraturan hukum tanpa dukungan dari masyarakat, dapat
berakibat tidak berwibawanya peraturan hukum tersebut.4
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan/sistem hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga
dianut dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari. Pasangan nilai yang berperan dalam
hukum adalah :
a. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
b. Nilai jasmani/kebendaan dari nilai rohani/keakhlakan.
c. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebauran/inovatisme.
4
II. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan masalah
Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
Yuridis-Normatif. Penelitian Hukum Yuridis-Normatif adalah penelitian hukum
mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi,
undang-undang, atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.1
Pendekatan ini digunakan dalam penelitian dengan meninjaunya dari suatu
pendekatan dengan cara melihat suatu masalah hukum sebagai kaidah atau norma
yang dianggap sesuai dengan penelitian. Pendekatan yuridis normatif itu sendiri
dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis dan legalistik, dimana dalam hal
ini adalah dengan melakukan pendekatan dan menelaah asas-asas hukum yang ada
dalam teori, undang-undang dan peraturan-peraturan yang lain, kemudian
menyesuaikannya dengan apa yang terjadi di lapangan dimana dalam hal ini
adalah kewenangan yang dimiliki KPK dalam hal supervisi dan koordinasi
terhadap lembaga atau instansi yang berwenang memberantas tindak pidana
korupsi.
1
Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung
dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.2 Sumber dan jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan. Dimana data ini diperoleh melalui cara mempelajari dan mengkaji literatur-literatur
dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini yaitu mengenai
pelaksanaan koordinasi dan supervisi KPK terhadap lembaga atau instansi yang berwenang
memberantas tindak pidana korupsi.
Adapun data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
yang dalam hal ini antara lain:
a. Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP);
b. Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP);
c. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
d. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
e. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
f. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
2
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan –bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum
primer dan dapat membantu dalam menganalisa atau mengkaji dan memahami bahan hukum
primer, diantaranya seperti buku-buku atau literatur-literatur, hasil-hasil penelitian juga
peraturan-peraturan hukum seperti Peraturan Pelaksana tim koordinasi pemberantasan tindak
pidana korupsi dalam Keputusan Presidan RI No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Pelaksana KUHAP dalam Peraturan
Pemerintah No. 58 tahun 2010 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
3. Bahan hukum tresier, yaitu bahan-bahan yang berguna sebagai penunjang dimana bahan ini
dapat memberikan informasi, petunjuk, dan penjelasan terhadap bahan hukm primer dan
bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, artikel, media massa,
makalah, naskah, paper, jurnal, dan bahan dari internet yang berkaitan dengan masalah
dalam penelitian ini
C. Penentuan Narasumber
Narasumber adalah orang yang memberi atau mengetahui secara jelas atau menjadi sumber
informasi.3 Adapun narasumber sebagai bahan hukum penunjang dalam penelitian ini adalah
pegawai KPK 1 orang, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Lampung 1 orang, penyidik
kepolisian Polda Lampung 1 orang dan akademisi Dosen Fakultas Hukum Univesitas Lampung 1
orang.
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur pengumpulan data
3
literatur.
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan ini bertujuan mencari dan mendapatkan data sekunder yang dilakukan dengan
cara membaca, mempelajari dan menganalisis peraturan perundang-undangan dan literatur
hukum yang berkaitan dengan supervisi dan koordinasi KPK terhadap instansi atau lembaga
yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi.
b. Studi Literatur
Studi literatur dilakukan dengan cara menelaah dan menidentifikasi literatur yang berhubungan
dengan masalah dalam penelitian ini yang mana masalah itu mengenai kewenangan koordinasi
dan supervisi KPK terhadap instansi atau lembaga yang berwenang memberantas tidak pidana
korupsi dimana akan ditarik kesesuaian antara norma yang mengatur kewenangan tersebut
dengan implementasinya dilapangan. Teknik yang digunakan adalah dengan membaca,
menganalisis kemudian memahami isi ketentuan dalam norma-norma atau peraturan-peraturan
yang mengatur mengenai kewenangan tersebut yang dapat memuahkan proses pengolahan data.
2. Pengolahan Data
Tahapan pengolahan data pada penelitian ini antara lain meliputi kegiatan-kegiatan berikut ini:
a. Editing, data yang diperoleh dari penelitian diperiksa dan diteliti kembali mengenai
kelengkapan, kejelasan dan kebenarannya juga relevansinya dengan pembahasan, sehingga
terhindar dari kekurangan dan kesalahan.
b. Klasifikasi, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya dikelompokkan sesuai pokok
c. Sistematisasi, yaitu menyusun data secara sistematis shingga memudahkan menganalisis dan
mengintrepretasikan data.
d. Interpretasi, yaitu mengubungkan, membandingkan dan menguraikan data serta
mendeskripsikan data dalam bentuk uraian, untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan.
E. Analisis Data
Anasisi data dilakukan dengan menyederhanakan data yang diperoleh dari penelitian agar lebih mudah dimengerti dan diintrepretasikan lebih lanjut, dimana dalam penelitian ini digunakan analisis kualitatif, yaitu dengan menggambarkan kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian, dengan menguraikan secara sistematis untuk memperoleh kejelasan dan
kemudahan pembahasan, dimana akan dianalisis dengan mencari kesesuaian antara imlpementasi dilapangan dengan doktrin-doktrin yang terdapat pada literatur-literatur. Selanjutnya berdasarkan hasil anasis data tersebut kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat induktif, yaitu dasar
A. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada hasil penelitian dan pembahasan,
maka pada bagian penutup ini dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai hasil
pembahasan tentang peranan KPK dalam koordinasi dan supervisi terhadap
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai
berikut:
1. Peranan KPK dalam koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang
berwenang memberantas tindak pidana korupsi terdiri dari beberapa
klasifikasi yaitu peranan ideal, peranan yang seharusnya, peranan yang
dianggap oleh diri sendiri dan peranan yang sebenarnya dilakukan. Peranan
yang dominan dan harus di terapkan/ditegakkan diantara keempat peranan
tersebut adalah peranan yang seharusnya, yaitu peranan yang memang sudah
secara nyata diatur dalam undang-undang dengan segala tugas dan
kewenangannya, dengan menjalankan sesuai apa yang diatur undang-undang
secara baik dan benar maka peranan KPK dalam koordinasi dan supervisi
terhadap instansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi akan
1. Faktor-faktor yang menjadi penghambat peranan KPK dalam koordinasi dan supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi terdapat
5 (lima) faktor, namun yang dominan adalah faktor fasilitas merupakan hal yang urgent untuk diselesaikan, dimana untuk melaksanakan tugas dan kewenangan KPK khususnya
dibidang koordinasi dan supervisi secara optimal dibutuhkan biaya oprasional dan
mengingat wilayah hukum KPK yang begitu luas yaitu seluruh Negara Kesatuan Republik
Indonesia, di samping itu akan timbul faktor penghambat dari faktor dari hukumnya sendiri
(Undang-Undang) bila disahkannya Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dianggap dapat melemahkan KPK
dengan diantaranya menghilangkan kewenangan penuntutan dan mempersulit KPK dialam
hal penyadapan.
B. Saran
Adapun saran untuk mengoptimalkan hasil penelitian dalam skripsi ini guna meningkatkan peran
KPK dalam koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai berikut:
1. Menjalankan peranan yang seharusnya (expected role) bagi KPK, yaitu peranan yang memang sudah tercantum dalam Undang-Undang KPK dan menyertakan peranan ideal
menurut undang-undang lain juga mendengar peranan ideal menurut pihak lain adalah
metode yang tepat agar terciptanya keselarasan antara penyelenggara negara dengan KPK
dalam kewenangan koordinasi dan supervisi.
2. Dibutuhkan kerjasama bukan hanya bagi instansi yang berwenang melakukan
dalam koordinasi dan supervisi, dimana KPK membutuhkan dukungan dengan bertindak
kooperatif terhadap tugas dan kewenangan KPK bukan malah sebaliknya dengan
memperlemah atu menghalangi kinerja peranan KPK dalam koordinasi dan supervisi
terhadap instansi yang berwenang memberantas korupsi, disamping itu, akan lebih efisien
bila terdapat perwakilan KPK di daerah, dengan demikian KPK dapat lebih efektif dan
efisien dalam melakukan koordinasi dan supervisi khususnya di daerah, yang tidak menutup
ANALISIS PERANAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM KOORDINASI DAN SUPERVISI TERHADAP INSTANSI YANG
BERWENANG MELAKUKAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(Skripsi)
Oleh :
MUHAMMAD ADITYA PRATAMA PUTRA 0912011337
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………...1
B. Permasalahan dan Ruang lingkup………. 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………...7
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual………8
E. Sistematika Penulisan………13
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Peranan………15
B. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi………17
C. Koordinasi dan Supervisi dalam Tugas dan Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi…………...………..20
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum……22
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah………..26
B. Sumber dan Jenis Data………..27
C. Penentuan Narasumber………..28
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data……….. 29
E. Analisis Data………..30
DAFTAR PUSTAKA
Andrisman, Tri. Tindak Pidana Khusus Di Luar KUHP. Universitas Lampung. Bandar Lampung: 2008
Bakir , Suyoto. R.Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.Karisma Publishing Group. Tangerang: 2009
Dirdjosisworo, Soedjono. 1988.Pengantar Ilmu Hukum. Rajawali. Jakarta: 1988. Firganefi.Politik Hukum Pidana. Universitas Lampung Press. Lampung: 1998. Moeljatno.Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta: 1983
Muhammad, Abdulkadir.Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung: 2004.
Prinst, Darwan. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Citra Aditya Bakti. Bandung: 2002
Simanjuntak, B, S.H.,Pengantar Kriminologi dan Pantologi Sosial. Tarsino: Bandung, Kitab Undang-undang Hukum Pidana: 1981.
Soekanto, Sarjono.Penelitian Hukum Normatif.Rajawali Pers. Jakarta. 1990
.Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum,Bumi Aksara, Jakarta, 1983
Sudarto.Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung. 1981.
Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung. Bandar Lampung: 2009 Kamus Besar Bahasa Indonesia.1997
Peraturan Perundang - Undangan
Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
atasUndang-Undang Republik IndonesiaNomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi
Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2010 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Nota Kesepahaman atau MoU(Memorandum of Understanding)antara Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor: KEP-049/A/J.A/ 03/2012, Nomor: B/23/III/2012 dan Nomor: SPJ-39/01/03/2012 tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tanggal 29 Maret 2012
Situs Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi (diakses tanggal 18 Juli 2012)
http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di- indonesia-tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi/(diakses tanggal 18 Juli 2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Persepsi_Korupsi (diakses tanggal 11 oktober 2012)
http://nasional.kompas.com/read/2012/10/09/15414512/Nasib.Revisi.UU.KPK.Ha rus.Diputuskan.di.Paripurna(diakses tanggal 2 Januari 2013)
Judul Skripsi :ANALISIS PERANAN KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM KOORDINASI DAN SUPERVISI TERHADAP INSTANSI YANG BERWENANG
MELAKUKAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Nama Mahasiswa :Muhammad Aditya Pratama Putra Nomor Pokok Mahasiswa : 0912011337
Bagian : Hukum Pidana
Fakultas : Hukum
MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing
Dr. Eddy Rifa’i, S.H., M.H. Maya Shafira, S.H., M.H. NIP 19610912 198603 1 003 NIP 19770601 200501 2 002
2. Ketua Bagian Hukum Pidana
1. Tim Penguji
Ketua :Dr. Eddy Rifa’i, S.H., M.H. ……….
Sekretaris/Anggota :Maya Shafira, S.H., M.H. ………..
Penguji Utama :Diah Gustiniati M, S.H., M.H. ………..
2. Dekan Fakultas Hukum
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Muhammad Aditya Pratama Putra,
akrab dipanggil Adit. Penulis dilahirkan di Bandar
Lampung, 2 Februari 1992, sebagai anak pertama dari 3
bersaudara dari pasangan Mashadi M, S.H. dan Ida
Diyanti, S.H.
Penulis mengawali pendidikan di TK Dharma Wanita Kalianda pada tahun 1996
dan diselesaikan pada tahun 1997. Sekolah Dasar Negeri 4 Kedondong dan
diselesaikan pada tahun 2003. Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di SMP
Al-Kautsar Bandar Lampung pada tahun 2006 dan pada tahun yang sama
melanjutkan pendidikan pada SMA Al-Kautsar Bandar Lampung dan selesai pada
tahun 2009. Pada tahun 2009 penulis di terima sebagai mahasiswa Fakultas
Go Big or Go Home! (Jukka Hilden)
Anger dwells only in the bosom of fools.
It’s not that I’m so smart, it’s just that I stay with problems longer.
(Albert Einstein)
Sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain. (HR. Bukhari)
PERSEMBAHAN
Puji syukur kupersembahakan kehadirat ALLAH SWT dzat yang tiada bandingannya yang telah menjadikan segala sesuatu yang sulit menjadi mudah dan shalawat teriring salam
kepada Nabi Besar MUHAMMAD SAW.
Kupersembahkan seluruh daya dan upaya menyelesaikan skripsi ini kepada:
Ayah terbaik Mashadi M, S.H. dan Ibu tercinta Ida Diyanti, S.H. yang selalu memberiku motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini
Adik-adik tersayang Muhammad Kharisma Aditya dan Muhammad Trias Aditya
Bismillahhirrahmanirrahim,
Dengan mengucap Alhamdulillah syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan
ridhonya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Peranan
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Koordinasi dan Supervisi terhadap
Instansi yang Berwenang Melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”
skripsi diajukan sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari dalam pembuatan skripsi ini melibatkan banyak pihak yang
turut serta dalam membimbing dan memberi motivasi untuk terselesaiknnya
skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih yang tulus kepada :
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H. M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana
Universitas Lampung dan selaku Pembahas I yang telah meluangkan waktu
untuk menguji dan memberikan saran serta dukungan dalam proses
3. Bapak DR. Eddy Rifa’i, S.H., M.H. selaku Pembimbing I yang telah banyak
meluangkan waktu, memberi saran dan motivasi serta arahan yang baik guna
terselesaikannya skripsi ini.
4. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah meluangkan
waktu untuk mengoreksi dan memberikan saran kepada penulis.
5. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H. selaku Pembahas II yang telah memberikan
pengarahan dan saran kepada penulis
6. Bapak Ahmad Saleh, S.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah
membantu penulis dalam proses kuliah.
7. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan
pemikiran dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
8. Seluruh staf Pengajar dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas
Lampung, Mba Sri, Mba Yanti, Babe, Kyai dan yang lainnya.
9. Bapak Johan Budi SP, selaku juru bicara KPK yang telah memberikan
informasi terkait research yang telah saya laksanakan.
10. Bapak Ramon Zamora, S.Sos, S.H. selaku penyidik tipikor Polda Lampung
yang telah memberikan informasi dalam penelitian ini.
11. Ibu Tri Kusuma Dewi, S.H. selaku jaksa penuntut umum pada Kejati
Lampung yang telah memberikan keterangannya.
12. Bapak DR. Maroni, S.H., M.H. selaku dosen Fakultas Hukum yang
memberikan pendapat serta arahan dalam penelitian ini.
13. Papa dan mamaku tersayang, Mashadi, M, S.H. dan Ida Diyanti, S.H. yang
selama ini selalu memberiku motivasi dukungan moril dan materil sehingga
yang kiranya dapat mengukir senyum bangga kepada saya.
14. Adik-adikku tersayang Muhammad Kharisma Aditya semoga bisa menjadi
mahasiswa yang lulus dengan nilai memuaskan dan untuk Muhammad Trias
Aditya contohlah prilaku terbaik dari abang-abang dan orang tua-mu, bahkan
berusahalah lebih baik dari pada mereka, insyaAllah kamu akan meraih
sukses, semoga kalian dapat tercapai apa yang dicita-citain dapat
membanggakan papa dan mama.
15. Untuk semua keluargaku (Nenek Murhani, Eyang Makino dan Mikana,
keluarga H. Mursalin, Pakwo Ali, Alak Rumai, Bung Nor, Annisa Assyfiani
dan yang lainnya, juga Keluarga H. Makino, Pakde Hendy, Tante Yayah, Om
Didi, Om Alwi dan yang lainnya) yang telah memberikan perhatiannya
kepadaku untuk menyelesaikan skripsiku.
16. Ade Tiffany Pasha yang telah banyak membantu memberi dukungan
semangatnya, masukan serta kesabarannya mendampingiku untuk
menyelesaikan skripsi ini.
17. Kepada sahabat-sahabatku Hedkandi Evolution, Ardo Gunata, Ryan Rana,
Mushab Rabbani, Mohammad Razwandha Mesya, Ridho Utama Putra,
Amelia Nanda Sari, Rizky Sandika, yang telah banyak membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
18. Kepada Saddam Chaled, Soli, Nina, Uli, Basma, Angga, teman-teman Sekutu
19. Teman-teman Tebet Timur Fajrin ciki, Ade dkk juga Immoral Mama, Fedryan
Primaogi kepet, Kakek, Wima beserta jajarannya, sukses selalu, pengalaman
seru selama research di Jakarta bersama kalian akan selalu teringat.
20. Semua teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum Universitas Lampung
terima kasih atas kerjasama, bantuan dan infonya kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
21. Teman-teman KKN, Kedaton Kasui (Uji, Tanti, Nisa, Dungdung, Tri, Dyah,
Dian dan teman-teman seperjuang di desa kedaton lainnya) yang telah
memberi semangat motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini,
perjalanan bersama kalian tidak akan terlupakan.
Semoga bantuan, arahan, bimbingan, doa yang tulus menjadi amal ibadah bagi
kita semua dan Allah SWT membalas semua kebaikan yang diberikan kepada
penulis dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya.
Bandar Lampung, Februari 2013
Penulis