• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemeriksaan Kadar Serum Transferrin Receptor (sTfR) Untuk Diagnostik Anemia Defisiensi Besi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemeriksaan Kadar Serum Transferrin Receptor (sTfR) Untuk Diagnostik Anemia Defisiensi Besi"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERIKSAAN KADAR SERUM TRANSFERRIN

RECEPTOR (sTfR) UNTUK DIAGNOSTIK ANEMIA

DEFISIENSI BESI

T E S I S

OLEH:

PITA OMAS LUMBAN GAOL

DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN

(2)

PEMERIKSAAN KADAR SERUM TRANSFERRIN

RECEPTOR (sTfR) UNTUK DIAGNOSTIK ANEMIA

DEFISIENSI BESI

T E S I S

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Untuk Mencapai Keahlian Dalam Bidang Patologi Klinik Pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

PITA OMAS LUMBAN GAOL

DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN

2010

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Bapa yang di Surga oleh

karena kasih karuniaNya, sehingga saya dapat mengikuti Program

Pendidikan Dokter spesialis patologi klinik Fakultas Kedokteran Sumatera

utara dan dapat menyelesaikan Karya tulis (tesis) yang berjudul

Pemeriksaan Kadar Serum Transferrin Receptor (sTfR) untuk Diagnostik

Anemia Defisiensi Besi.

Selama saya mengikuti pendidikan dan proses penyelesaian

penelitian untuk karya tulis ini, saya telah banyak mendapat bimbingan,

petunjuk, bantuan dan pengarahan serta dorongan baik moril dan materil

dari berbagai pihak sehinggan saya dapat menyelesaikan pendidikan dan

karya tulis ini. Untuk semua itu perkenankanlah saya menyampaikan rasa

hormat dan terimakasih yang tiada terhingga kepada :

Yth, Prof. Adi Koesoema Aman, SpPK-KH, FISH, sebagai

pembimbing saya yang telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk,

pengarahan, bantuan dan dorongan selama dalam pendidikan dan proses

penyusunan, sampai selesainya tesis ini. Saya juga sangat berterimakasih

kepada beliau selaku Ketua Departemen Patologi Klinik yang memberikan

kesempatan sebagai pesera Program Pendidikan Dokter Spesialis

Patologi Klinik.

Yth, Dr. Soegiarto Gani, SpPD, pembimbing II dari Department

(5)

pengarahan dan bantuan mulai dari penyusunsn proposal, selama

dilaksanakan penelitian sampai selesainya tesis ini.

Yth, Prof. DR. Dr. Ratna Akbarie ganie, SPPK-KH, FISH dan Dr.

Ricke Loesnihari SpPK-K, sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi di Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Sumatera utara, yang

telah banyak membimbing, mengarahkan dan memotivasi sejak awal

pendidikan dan menyelesaikannya.

Yth, Prof. Herman Hariman, PhD, SpPk-KH, FISH, yang

memberikan bimbingan, pengarahan dan masukan selama saya mulai

pendidikan sampai menyelesaikan penulisan tesis ini.

Yth, Prof. Burhanuddin Nasution, SpPK-KN, FISH, yang banyak

memberikan bimbingan dan pengarahan selama pendidikan dan

menyelesaikan penulisan tesis ini

Yth, Prof. Dr. Iman Sukiman, SpPk-KH, FISH, Dr. R. Ardjuna M

Burhan, DMM, SpPK-K (Alm), Dr. Muzahar, DMM, SpPK-K, Dr. Zulfikar Lubis, SpPK-K, FISH, dr. Tapisari Tambunan, SpPK-KH, Dr. Ozar Sanuddin SpPK, Dr. Farida Siregar, SpPK, Dr. Ulfah Mahidin, SpPK, Dr. Chairul Rahmah, SpPk, Dr. Lina spPK dan Dr Nelly Elfrida SpPK, semuanya guru-guru saya yang telah banyak memberikan petunjuk,

arahan selama saya mengikuti pendidikan Spesialis Patologi Klinik dan

selama penyelesaian tesis ini. Hormat dan terimakasih saya ucapkan.

Yth, Drs. Abdul jalil Amri Arma, MKes, yang telah memberikan

(6)

memulai penelitian sampai selesainya tesis saya, terimakasih banyak

saya ucapkan.

Ucapan terimakasih juga saya ucapkan kepada seluruh

teman-teman sejawat Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, para analis dan

pegawai, serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu,

atas bantuan dan kerja sama yang diberikan kepada saya, sejak mulai

pendidikan dan selesainya tesis ini.

Hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bupati

Kabupaten Toba Samosir dan Kepala Dinas Kesehatan kabupaten Toba samosir, yang telah member izin kepada saya untuk mengikuti Program Studi Dokter spesialis patologi Klinik di Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera utara. Ucapan terimakasih juga kepada Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Rektor Universitas

Sumatera Utara, Direktur rumah Sakit umum Pusat H. Adam Malik yang

telah memberikan kesempatan dan menerima saya untuk mengikuti

Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik.

Terimakasih yang setulus-tulusnya saya sampaikan kepada

ayahanda Ir. Osman lumban Gaol dan ibunda Nuri Sibarani, BA, yang

telah membesarkan, mendidik serta memberikan dorongan moril dan

materil kepada ananda selama ini. Begitu juga ucapan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada bapak Drs. BP Simatupang dan ibu mertua

(7)

materil kepada saya dan keluarga. Juga terimakasih saya kepada kakek

st W. Sibarani (Alm) yang masih memberangkatkan saya dalam doa sewaktu ujian seleksi masuk PPDS.

Akhirnya terimakasih yang tiada terhingga saya sampaikan kepada

suami tercinta Dr. sabam JMT Simatupang yang telah mendampingi

saya dengan penuh pengertian, perhatian, memberikan motivasi dan

pengorbanan selama saya mengikuti pendidikan sampai saya dapat

menyelesaikan pendidikan ini. Juga untuk anak-anakku yang tersayang

Roni, Aryani, Grace dan Peter yang telah banyak kehilangan perhatian dan kasih sayang selama saya mengikuti pendidikan.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Dan semoga Tuhan

Yang Maha Kuasa memberkati kita semua.

Medan, Juli 2010

Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

Kata pengantar... Daftar isi ……….. Daftar gambar dan tabel... Daftar lampiran ……….. Daftar singkatan ………... Abstrak ... Ringkasan...

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ………...

1.2. Perumusan Masalah………..

1.3. Hipotesa Penelitian ……… 1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum ………... 1.4.2. Tujuan Khusus ……… 1.5. Manfaat Penelitian ………... 1.6. Kerangka konsep………

BAB II. Tinjauan Kepustakaan

2.1. Serum Transferrin Receptor ………...

2.2. Anemia Defisiensi Besi ...

2.3. Mekanisme Transport Besi ...

(9)

2.4. Stadium Klinis Defisiensi Besi dan Diagnosis Laboratorium ...

2.5. Perubahan Metabolisme Besi Pada Anemia Penyakit Kronis ...

2.6. Metode pemeriksaan sTfR………

BAB III. Metode Penelitian

3.1. Desain Penelitian ……….

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ………

3.3. Populasi dan Sunyek Penelitian

3.3.1. Populasi Penelitian ……… 3.3.2. Subyek Penelitian ………..

3.4. Perkiraan Besar Sampel ………...

3.5. Bahan dan Cara Kerja

3.5.1. Bahan yang diperlukan……….. 3.5.2. Anamnese dan pemeriksaan fisik……….

3.5.3. Pengambilan dan pengolahan sampel………

3.5.4. Pemeriksaan laboratorium……….

3.5.4.1. Pemeriksaan darah lengkap ……….

3.6. Ethical Clearance dan Informed Consent ……….

(10)

3.7. Analisa Data ……… 3.8. Batasan operasional………... 3.11. Kerangka operasional……….

BAB IV. HASIL PENELITIAN………..

BAB V. PEMBAHASAN………

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN...

DAFTAR PUSTAKA ………. 29 30 33

(11)

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Gambar 2.1. Skema reaksi imunoturbidimetri 19

Grafik 3.1. Grafik kalibrator preciset sTfR 28

Tabel 3.1. Pemantapan kualitas menggunakan sTfR

control set level 1 dan sTfR control set level 2. 29

Tabel 4.1. Karakteristik subjek penelitian kelompok ADB

dan APK

35

Tabel 4.2. Perbandingan parameter hematologi pada

ADB dan APK

36

Tabel 4.3. Perbandingan parameter hematologi pada

APK dengan

indeks sTfR-F < 1,5 (APK murni) dengan indeks sTfR > 1,5 (ADB bersamaan APK).

37

Tabel 4.4. Perbandingan parameter hematologi pada

ADB dan ADB bersamaanAPK

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lampiran 2

Formulir persetujuan setelah penjelasan Status penelitian

Lampiran 3 Surat persetujuan Komite Etik Penelitian bidang

Kesehatan FK-USU

Lampiran 4 Data penelitian pasien ADB dan APK.

(13)

DAFTAR SINGKATAN

Anemia Defisiensi Besi Serum Iron

Transferrin Saturation Total Iron Binding Capacity Anemia Penyakit Kronis Serum Transferrin Receptor Transferrin receptor

Serum Transferrin Receptor - Ferritin Hemoglobin

Mean Corpuslcular Volume World Health Organization C reactive Protein

Duodenal Cytochrome B Divalent Metal Transporter 1 Mean Corpuscular Hemoglobin

Mean Corpuscular Hemoglobin Consentration

Interferron -

Tumor Necroting Factor - α

(14)

ABSTRAK

Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Untuk membedakan ADB dan APK kadang-kadang sulit, khususnya ketika ADB yang bersamaan dengan APK. Pada keadaan kebutuhan besi meningkat dan peningkatan proliferasi sel maka ekspresi transferrin receptor (TfR) pada membran sel meningkat. Penelitian dilakukan bertujuan mengevaluasi kegunaan serum transferrin receptor (sTfR) dan indeks sTfR-Feritin untuk mendiagnosa ADB.

(15)

Hasil: Nilai sTfR dan indeks sTfR-F pada ADB murni lebih tinggi dibandingkan total APK. Nilai sTfR dan indeks sTfR-F pada kombinasi APK dengan ADB lebih tinggi dibandingkan APK murni.

Kesimpulan: Pemeriksaan sTfR dan indeks sTfR-F dapat membedakan ADB dengan APK. Pemeriksaan ini juga dapat

(16)

RINGKASAN

Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah klinis yang

dalam beberapa keadaan relatif mudah didiagnosa dengan menggunakan

pemeriksaan laboratorium status besi konvensional seperti serum iron,

total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin dan serum feritin.

Serum iron mengalami variasi diurnal, nilai TIBC pada keadaan inflamasi

dan hypoalbuminemia menurun, feritin berperan sebagai protein fase akut.

Pewarnaan besi sumsum tulang dengan Prussian blue merupakan marker

pasti, akan tetapi tidak praktis, tidak nyaman dan sulit dilakukan.

Anemia defisiensi besi sering bersamaan dengan APK dan

keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Untuk

membedakan ADB dan APK kadang-kadang sulit, khususnya pada ADB

awal atau ketika ADB yang bersamaan dengan penyakit kronis. Nilai feritin

serum yang lebih rendah dari 15 ug/L kemungkinan besar merupakan

ADB meskipun bersamaan dengan inflamasi. Dan nilai feritin serum yang

meningkat diatas normal (>150-200 ug/L) kemungkinan besar bukan

ADB meskipun dengan inflamasi. Nilai feritin serum antara kedua level ini

(15-150 ug/L) dan dalam keadaan inflamasi membutuhkan pemeriksaan

lain untuk memastikan apakah dijumpai defisiensi besi. Sebab itu

pemeriksaan parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya.

Transferrin receptor (TfR) merupakan protein transmembran yang

(17)

Transferin receptor (sTfR) yang larut dalam plasma berasal dari

ektodomain yang mengalami proteolisis. Konsentrasi sTfR sebanding

dengan jumlah TfR yang diekspresikan pada membran sel. Pada

keadaan kebutuhan besi meningkat dan peningkatan proliferasi sel maka

ekspresi TfR pada membran sel meningkat.

Penelitian dilakukan bertujuan mengevaluasi kegunaan sTfR dan

indeks sTfR-F untuk mendiagnosa ADB, dilaksanakan dari tanggal 24

Maret 2010 sampai 29 Mei 2010. Subjek penelitian adalah 36 orang

pasien ADB dan 36 orang APK yang berkunjung ke poliklinik Penyakit

Dalam dan yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum

Pusat H. Adam Malik Medan. Diagnosa ADB menurut kriteria WHO yaitu

laki-laki dewasa: Hb<13 g/dl, perempuan dewasa: Hb<12 g/dl dan nilai

feritin<15ug/L. Diagnosa APK dengan nilai Hb pada laki-laki dewasa <13

g/dl, perempuan dewasa Hb<12 g/dl, nilai feritin>15 ug/Ldan CRP positip.

Pasien yang mendapat terapi Fe, mendapat transfusi dalam 3 bulan

terakhir, anemia hemolitik, anemia megaloblastik, wanita hamil, anemia

dengan penyakit ginjal kronis, pasien dengan keganasan, anemia aplastik

dikeluarkan dari penelitian ini.

Pemeriksaan darah lengkap menggunakan alat cell dyne 3700,dan

morfologi darah tepi dengan pembuatan sediaan apus darah tepi dan

menggunakan pewarnaan giemsa. Pemeriksaan feritin dengan

menggunakan Cobas e 601 dengan prinsip electrochemiluminescence

(18)

(CRP) latex reagent set berdasarkan prinsip aglutinasi latex. Pemeriksaan

sTfR dengan menggunakan alat Cobas c 501 menggunakan metode

particle enhanced immunoturbidimetric assay. Nilai indeks sTfR-F dihitung

dengan membagi sTfR terhadap log feritin. Kontrol kualitas untuk feritin

dilakukan dengan elecsys PreciControl Tumor Marker 1 dan 2. Kontrol

kualitas untuk pemeriksaan CRP dengan mengikutkan kontrol CRP positif

dan negatif pada setiap melakukan pemeriksaan. Kontrol kualitas untuk

sTfr dilakukan dengan sTfR Control set, dengan memakai 2 nilai

konsentrasi yaitu sTfR control set level 1 dan sTfR control set level 2 untuk

memantau akurasi assay sTfR.

Pada penelitian ini, nilai sTfR dan indeks sTfR-F kelompok ADB

murni lebih tinggi dibandingkan kelompok total APK . Tetapi pemeriksaan

ini tidak memberi informasi tambahan untuk membedakan ADB murni dari

total APK. Karena parameter lain yaitu Hb, MCV, MCH, dan feritin juga

terdapat perbedaan yang bermakna.

Dengan menggunakan nilai indeks sTfR-F dengan cut-off 1,5, total

APK dibagi menjadi 2 bagian. Kelompok APK yang memiliki nilai indeks

sTfR-F <1,5 merupakan APK murni dan kelompok APK yang memiliki

nilai indeks sTfR-F >1,5 merupakan kombinasi APK dengan ADB. Nilai

sTfR dan nilai indeks sTfR-F kombinasi APK dengan ADB lebih tinggi

dibandingkan APK murni. Tidak dijumpai perbedaan yang bermakna pada

parameter lain yaitu Hb, MCV, MCH, MCHC dan feritin antara kelompok

(19)

Nilai sTfR dan indeks sTfR-F kelompok ADB murni lebih tinggi

dibandingkan kelompok kombinasi APK dengan ADB. Dijumpai perbedaan

bermakna pada nilai sTfR dan indeks sTfR-F antara ADB murni

dibandingkan kombinasi APK dengan ADB. Dijumpai juga perbedaan

yang bermakna antara parameter yaitu Hb, MCV, MCH. MCHC dan feritin,

(20)

ABSTRAK

Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Untuk membedakan ADB dan APK kadang-kadang sulit, khususnya ketika ADB yang bersamaan dengan APK. Pada keadaan kebutuhan besi meningkat dan peningkatan proliferasi sel maka ekspresi transferrin receptor (TfR) pada membran sel meningkat. Penelitian dilakukan bertujuan mengevaluasi kegunaan serum transferrin receptor (sTfR) dan indeks sTfR-Feritin untuk mendiagnosa ADB.

(21)

Hasil: Nilai sTfR dan indeks sTfR-F pada ADB murni lebih tinggi dibandingkan total APK. Nilai sTfR dan indeks sTfR-F pada kombinasi APK dengan ADB lebih tinggi dibandingkan APK murni.

Kesimpulan: Pemeriksaan sTfR dan indeks sTfR-F dapat membedakan ADB dengan APK. Pemeriksaan ini juga dapat

(22)

RINGKASAN

Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah klinis yang

dalam beberapa keadaan relatif mudah didiagnosa dengan menggunakan

pemeriksaan laboratorium status besi konvensional seperti serum iron,

total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin dan serum feritin.

Serum iron mengalami variasi diurnal, nilai TIBC pada keadaan inflamasi

dan hypoalbuminemia menurun, feritin berperan sebagai protein fase akut.

Pewarnaan besi sumsum tulang dengan Prussian blue merupakan marker

pasti, akan tetapi tidak praktis, tidak nyaman dan sulit dilakukan.

Anemia defisiensi besi sering bersamaan dengan APK dan

keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Untuk

membedakan ADB dan APK kadang-kadang sulit, khususnya pada ADB

awal atau ketika ADB yang bersamaan dengan penyakit kronis. Nilai feritin

serum yang lebih rendah dari 15 ug/L kemungkinan besar merupakan

ADB meskipun bersamaan dengan inflamasi. Dan nilai feritin serum yang

meningkat diatas normal (>150-200 ug/L) kemungkinan besar bukan

ADB meskipun dengan inflamasi. Nilai feritin serum antara kedua level ini

(15-150 ug/L) dan dalam keadaan inflamasi membutuhkan pemeriksaan

lain untuk memastikan apakah dijumpai defisiensi besi. Sebab itu

pemeriksaan parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya.

Transferrin receptor (TfR) merupakan protein transmembran yang

(23)

Transferin receptor (sTfR) yang larut dalam plasma berasal dari

ektodomain yang mengalami proteolisis. Konsentrasi sTfR sebanding

dengan jumlah TfR yang diekspresikan pada membran sel. Pada

keadaan kebutuhan besi meningkat dan peningkatan proliferasi sel maka

ekspresi TfR pada membran sel meningkat.

Penelitian dilakukan bertujuan mengevaluasi kegunaan sTfR dan

indeks sTfR-F untuk mendiagnosa ADB, dilaksanakan dari tanggal 24

Maret 2010 sampai 29 Mei 2010. Subjek penelitian adalah 36 orang

pasien ADB dan 36 orang APK yang berkunjung ke poliklinik Penyakit

Dalam dan yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum

Pusat H. Adam Malik Medan. Diagnosa ADB menurut kriteria WHO yaitu

laki-laki dewasa: Hb<13 g/dl, perempuan dewasa: Hb<12 g/dl dan nilai

feritin<15ug/L. Diagnosa APK dengan nilai Hb pada laki-laki dewasa <13

g/dl, perempuan dewasa Hb<12 g/dl, nilai feritin>15 ug/Ldan CRP positip.

Pasien yang mendapat terapi Fe, mendapat transfusi dalam 3 bulan

terakhir, anemia hemolitik, anemia megaloblastik, wanita hamil, anemia

dengan penyakit ginjal kronis, pasien dengan keganasan, anemia aplastik

dikeluarkan dari penelitian ini.

Pemeriksaan darah lengkap menggunakan alat cell dyne 3700,dan

morfologi darah tepi dengan pembuatan sediaan apus darah tepi dan

menggunakan pewarnaan giemsa. Pemeriksaan feritin dengan

menggunakan Cobas e 601 dengan prinsip electrochemiluminescence

(24)

(CRP) latex reagent set berdasarkan prinsip aglutinasi latex. Pemeriksaan

sTfR dengan menggunakan alat Cobas c 501 menggunakan metode

particle enhanced immunoturbidimetric assay. Nilai indeks sTfR-F dihitung

dengan membagi sTfR terhadap log feritin. Kontrol kualitas untuk feritin

dilakukan dengan elecsys PreciControl Tumor Marker 1 dan 2. Kontrol

kualitas untuk pemeriksaan CRP dengan mengikutkan kontrol CRP positif

dan negatif pada setiap melakukan pemeriksaan. Kontrol kualitas untuk

sTfr dilakukan dengan sTfR Control set, dengan memakai 2 nilai

konsentrasi yaitu sTfR control set level 1 dan sTfR control set level 2 untuk

memantau akurasi assay sTfR.

Pada penelitian ini, nilai sTfR dan indeks sTfR-F kelompok ADB

murni lebih tinggi dibandingkan kelompok total APK . Tetapi pemeriksaan

ini tidak memberi informasi tambahan untuk membedakan ADB murni dari

total APK. Karena parameter lain yaitu Hb, MCV, MCH, dan feritin juga

terdapat perbedaan yang bermakna.

Dengan menggunakan nilai indeks sTfR-F dengan cut-off 1,5, total

APK dibagi menjadi 2 bagian. Kelompok APK yang memiliki nilai indeks

sTfR-F <1,5 merupakan APK murni dan kelompok APK yang memiliki

nilai indeks sTfR-F >1,5 merupakan kombinasi APK dengan ADB. Nilai

sTfR dan nilai indeks sTfR-F kombinasi APK dengan ADB lebih tinggi

dibandingkan APK murni. Tidak dijumpai perbedaan yang bermakna pada

parameter lain yaitu Hb, MCV, MCH, MCHC dan feritin antara kelompok

(25)

Nilai sTfR dan indeks sTfR-F kelompok ADB murni lebih tinggi

dibandingkan kelompok kombinasi APK dengan ADB. Dijumpai perbedaan

bermakna pada nilai sTfR dan indeks sTfR-F antara ADB murni

dibandingkan kombinasi APK dengan ADB. Dijumpai juga perbedaan

yang bermakna antara parameter yaitu Hb, MCV, MCH. MCHC dan feritin,

(26)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah klinis yang

dalam beberapa keadaan relatif mudah didiagnosa dengan menggunakan

pemeriksaan laboratorium status besi konvensional seperti serum iron

(SI), total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin dan serum

feritin.1 Serum iron menunjukkan variasi diurnal, dengan konsentrasi yang

lebih tinggi pada sore hari dibandingkan pagi hari.2,3 Pemeriksaan serum

feritin sangat efisien untuk menilai cadangan besi tubuh, akan tetapi feritin

berperan sebagai protein fase akut, sehingga sulit dibedakan antara ADB

dengan anemia karena infeksi, inflamasi dan keganasan, yang disebut

anemia penyakit kronis (APK).4,5 Pada ADB nilai TIBC meningkat, tetapi

dapat normal atau menurun pada keadaan inflamasi dan

hypoalbuminemia. 6 Pewarnaan Prussian blue sumsum tulang merupakan

marker pasti untuk defisiensi besi. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak

nyaman, tidak praktis dan sulit dilakukan secara rutin. Selain itu,

pemeriksaan ini memerlukan waktu yang lebih lama dan biaya yang lebih

mahal, sehingga dibutuhkan pemeriksaan yang tidak invasif dan sensitif

untuk mendeteksi ADB. 7,8

Gambaran darah tepi ADB adalah mikrositer. Diferensial diagnosa

(27)

APK. Anemia defisiensi besi sering bersamaan dengan APK dan

keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Untuk

membedakan ADB dan APK kadang-kadang sulit, khususnya pada ADB

awal atau ketika ADB yang bersamaan dengan penyakit kronis. 9

Nilai feritin serum yang rendah merupakan diagnosa untuk ADB.

WHO merekomendasikan konsentrasi feritin <12 ug/l mengindikasikan

deplesi cadangan besi pada anak-anak <5 tahun, dan nilai <15 ug/l

mengindikasikan deplesi cadangan besi pada umur >5 tahun.10,11

Penelitian Pasricha dkk mendapatkan dengan pemakaian cut-off feritin

<15 ug/l memberikan sensitivitas 44% dan spesifisitas 80%, dan cut-off

<30% memberikan sensitivitas 72% dan spesifisitas 52%.12 Penelitian di

Bali dengan memakai feritin serum <12 ug/l dan, 20 ug/l memberikan

sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan

96%.13 Penelitian Mast AE dkk mendapatkan sensitivitas 25% dan

spesivisitas 98% dengan memakai feritin <12 ug/l. Akan tetapi dengan

memakai feritin < 30 ug/l diperoleh sensitivitas 92% dan spesifisitas

98%.14

Nilai feritin serum yang lebih rendah dari 15 ug/L kemungkinan

besar merupakan ADB meskipun bersamaan dengan inflamasi. Dan nilai

feritin serum yang meningkat diatas normal (>150-200 ug/L)

kemungkinan besar bukan ADB meskipun dengan inflamasi. Nilai feritin

serum antara kedua level ini (15-150 ug/L) dan dalam keadaan inflamasi

(28)

defisiensi besi. Prosedur diagnostik yang reliabel sangat penting karena

ADB membutuhkan evaluasi dengan seksama. Sebab itu pemeriksaan

parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya.15

Transferrin receptor (TfR) merupakan protein transmembran yang

berikatan dengan transferin pada proses transportasi besi. Serum

Transferin receptor (sTfR) yang larut dalam plasma berasal dari

ektodomain yang mengalami proteolisis. Konsentrasi sTfR sebanding

dengan jumlah TfR yang diekspresikan pada membran sel. Pada

keadaan kebutuhan besi meningkat dan peningkatan proliferasi sel maka

ekspresi TfR pada membran sel meningkat. Pada beberapa penelitian,

pengukuran sTfR telah terbukti berguna untuk membedakan diagnosa

ADB dengan APK, dan konsentrasi sTfR tidak dipengaruhi respon protein

fase akut, sehingga sTfR lebih baik dibandingkan pengukuran status besi

konvensional. Dalam diferensial diagnosa ADB dan APK, interpretasi sTfR

lebih mudah dibandingkan konsentrasi feritin serum, karena peningkatan

konsentrasi sTfR diatas nilai batas referensi menunjukkan defisiensi besi

sementara pada APK dalam batas referensi.16

Dengan pemeriksaan feritin serum dan sTfR dapat dihasilkan nilai

indeks sTfR-F yaitu rasio sTfR/log feritin. Rasio ini sangat baik untuk

mengestimasi cadangan besi. Cut-off untuk indeks sTfR–F adalah 1,5.

Pada ADB indeks sTfR–F lebih besar dari 1,5 dan pada APK lebih kecil

(29)

Kari Punnonen dkk tahun 1996 di Finland meneliti kadar sTfR pada

anemia yang dibagi dalam 3 kelompok yaitu ADB, APK dan kombinasi

ADB dengan APK. sTfR pada ADB dan kombinasi ADB dengan APK lebih

tinggi dibanding APK. Karenanya sTfR indikator yang baik untuk defisiensi

besi.17

Simek M dkk tahun 2002 di Slovakia mendapatkan nilai sTfR pada

ADB lebih tinggi dibandingkan pada APK. Pada ADB kombinasi dengan

APK mempunyai nilai sTfR yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol

normal dan APK. 18

Jayarenees S dkk tahun 2005 di Kuala Lumpur menilai 91 sampel

darah dengan anemia hipokrom mikrositer, yang dikelompokkan menjadi

ADB, APK dan talasemia. Nilai sTfR pada ADB signifikan lebih tinggi

dibanding kontrol normal, APK dan talasemia.1

1.2. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dirumuskan beberapa masalah yaitu

1. Apakah dengan pemeriksaan sTfR dapat membedakan ADB

dengan APK?

2. Apakah perhitungan indeks sTfR-F dapat membedakan antara

(30)

1.3. Hipotesa penelitian

1. Kadar sTfR pada ADB lebih tinggi dibandingkan APK

2. Nilai indeks sTfR-F pada ADB lebih tinggi dibandingkan APK

1.4 Tujuan penelitian

1.4.1. Tujuan umum

Untuk mengevaluasi kegunaan sTfR dan indeks sTfR-F dalam

mendiagnosa ADB.

1.4.2. Tujuan khusus

1. Anemia defisiensi besi dapat dibedakan dari APK dengan

pemeriksaan sTfR.

2. Anemia Penyakit kronis yang bersamaan dengan ADB dapat

ditegakkan dengan pemeriksaan indeks sTfR-F.

1.5. Manfaat penelitian

Dengan pemeriksaan sTfR dan indeks sTfR-F dapat membedakan

ADB MURNI, ADB yang bersamaan APK dan APK MURNI, yang

(31)

1.6. Kerangka konsep

ADB MURNI Feritin < 15 ug/L

  Feritin > 15 ug/L

Kriteria eksklusi Kriteria inklusi

sTfR & indeks sTfR –F ADB >APK

Indeks sTfR-F pada ADB + APK > APK

 

Kari Punnonen dkk Simek M dkk

Jayarenees S dkk 

Anemia Kriteria WHO

CRP (+)

APK

sTfR &

(32)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Serum Transferrin receptor (sTfR)

Transferrin receptor merupakan transmembran homodimer yang

terdiri dari dua monomer yang identik, berat molekul sekitar 90 kDa,

dimana tiap monomer dihubungkan oleh ikatan 2 sulfida pada Cys89 dan

Cys98. Reseptor ini memiliki region sitoplasmik NH2-terminal (residu

1-67), single transmembrant pass (residu 68-88) dan bagian ektraseluler

yang besar (ektodomain, residu 89-760).19,20,21 Ektodomain larut dan

mengandung satu site yang sensitif trypsin, dan mengandung site untuk

berikatan dengan transferin. sTfR disintesa di retikulum endoplasma.19

Domain ekstraseluler memiliki tiga posisi N-linked glycosilation pada

Asn251, Asn317 dan Asn727 dan posisi O-linked glycosilation pada

Thr104. Posisi ini sangat penting untuk fungsi sTfR.19

Ektodomain merupakan homodimer yang berbentuk seperti

kupu-kupu. Tiap monomer terdiri dari tiga domain globular yang berbeda, yaitu

protease-like, apical dan helical domain, membentuk cleft lateral sehingga

dapat berikatan dengan molekul transferin.19,20,22 Ektodomain dipisahkan

dari membran oleh sebuah tangkai. Transferrin receptor berikatan dengan

dua molekul transferin dengan affinitas yang bervariasi. Protein dalam

bentuk diferik memiliki affinitas yang lebih tinggi dibandingkan bentuk

(33)

Transferin receptor diekspresikan pada semua sel yang berinti

seperti sel erytroid, hepatosit, sel intestinal, monosit (makrofag), otak ,

blood brain barrier, tetapi dalam jumlah yang berbeda. Pada sel yang

membelah dengan cepat dapat dijumpai 10.000 sampai 100.000 molekul

per sel, sebaliknya ekspresi TfR pada sel yang tidak berproliferasi sagat

rendah bahkan sering tidak dapat dideteksi.19

Jumlah TfR berbeda selama maturasi seri erytroid, mencapai

puncaknya pada normoblast polikromatofilik. Jumlah paling sedikit

dijumpai pada burst-forming unit-erythroid cells, dan sedikit meningkat

pada colony- forming unit-erythroid cells. Pada setiap sel normoblast

basofilik dijumpai 300.000 reseptor dam meningkat mencapai 800.000

pada tiap sel normoblast polikromatofilik. Tingkat uptake besi secara

langsung berhubungan dengan jumlah reseptor. Jumlah TfR berkurang

pada retikulosit, dimana sel erythroid melepaskan sisa TfR melalui

eksosotosis dan proteolisis. Jumlah reseptor yang lepas dapat dijumpai

pada plasma dalam konsentrasi tertentu yang berhubungan dengan laju

erythropoesis. Peningkatan sTfR merupakan indikator yang sensitif untuk

massa erytroid dan defisiensi besi jaringan.6

Kadar sTfR berubah selama ontogenesis, meningkat pada umur

20-42 minggu kehidupan fetal. Pada saat lahir kadar sTfR dua kali lebih

tinggi dari pada usia dewasa.23 Anak usia satu tahun memiliki nilai sTfR

(34)

korelasi dengan usia (19-79 tahun) dan tidak ada perbedaan antara

laki-laki dan perempuan atau perempuan pre dan post menopause.23,24

Pada anemia defisiensi besi nilai sTfR meningkat 3-5 kali lipat

dibandingkan orang normal. Kandungan besi tubuh pada orang yang

dilakukan phlebotomy secara kuantitatif menjadi berkurangnya, tetapi

sTfR masih relatif stabil dalam batas normal sampai cadangan menjadi

kosong. Pada saat kompartemen besi semakin deplesi, nilai sTfR

meningkat secara progresif berbanding terbalik dengan tingkat defisit

besi. Keadan ini mencerminkan peningkatan besar reseptor yang

diekspresikan tiap sel pada defisiensi besi.25

Feritin serum mempunyai keterbatasan dalam menilai status besi

pada anak-anak, masa pertumbuhan, kehamilan dan atlet, karena

cadangan besi biasanya berkurang pada masa ini. Karena faktor-faktor

lain yang mempengaruhi dapat terjadi peningkatan palsu kadar feritin,

sehingga konsentrasi sTfR merupakan penilaian yg baik. Kerusakan lever

akut dan inflamasi tidak mempunyai efek terhadap pengukuran kadar

sTfR. Maka sTfR dapat membedakan anemia karena penyakit kronis dan

inflamasi. Sebelum pemeriksaan sTfR dikembangkan hanya evaluasi

sumsum tulang untuk pewarnaan besi merupakan pemeriksaan yang

reliabel untuk membedakannya ADB dan APK. Pada keadaan dijumpai

kombinasi ADB dan APK, dengan pemeriksaan sTfR diketahui defisit besi

(35)

Serum transferrin receptor meningkat pada keadaan aktivitas

erytripoesis sumsum tulang yang meningkat meskipun tidak dijumpai

deplesi besi fungsional yaitu anemia hemolitik atau inefektif eritropoesis

seperti pada anemia megaloblastik, myelodisplasia, dan talasemia mayor.

Pada keadaan yang disebut di atas nilai feritin serum normal atau

meningkat. Pada anemia hemolitik dijumpai retikulositosis dan nilai MCV

normal atau meningkat. Anemia megaloblastik dan myelodisplasia pada

umumnya terjadi peningkatan MCV.19

Konsentrasi sTfR tetap normal pada APK. Ratio sTfR terhadap

feritin merupakan perkiraan kuantitatif jumlah besi di tubuh, dan indeks

sTfR-F secara langsung berbanding dengan jumlah cadangan besi.

Dengan menggunakan indeks sTfR-F, pemeriksaan pewarnaan sumsum

tulang dengan prussian blue besidapat berkurang pada pasien inflamasi

kronik untuk mengetahui apakah terdapat defisiensi.20 Dengan

pemeriksaan feritin dan sTfR dapat dihasilkan nilai indeks sTfR-F yaitu

rasio sTfR/log feritin. Rasio ini sangat baik untuk mengestimasi cadangan

besi. Cut-off untuk indeks sTfR–F adalah 1,5. Pada ADB indeks sTfR–F

lebih besar dari 1,5, dan pada APK lebih kecil dari 1,5.6

2.2. Anemia defisiensi besi

Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa Hb

yang beredar di sirkulasi tidak dapat memenuhi fungsinya untuk

(36)

Menurut WHO, dikatakan anemia bila:27

Laki-laki dewasa Hb < 13 g/dl

Perempuan dewasa tidak hamil Hb < 12 g/dl

Perempuan hamil Hb < 11 g/dl

Anak umur 6-12 tahun Hb < 12 g/dl

Anak umur 6 bulan-6 tahun Hb < 11 g/dl

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat

berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoiesis, karena cadangan besi

kosong yang akhirnya mengakibatkan pembentukan Hb berkurang.13

Penilaian status besi merupakan tambahan pemeriksaan Hb dan

hematokrit (Ht), dan dapat dinilai dengan beberapa test yang telah

ditetapkan. Hanya saja tidak ada pemeriksaan tunggal yang standart

untuk menilai defisiensi besi tanpa anemia. Penggunaan test yang

beragam hanya sebagian mengatasi keterbatasan test tunggal dan

tidak menjadi pilihan pada keadaan sumber daya yang terbatas. Indikator

yang terbaik untuk deteksi defisiensi besi adalah feritin serum pada saat

tidak dijumpai infeksi.27,28

Feritin serum merupakan indikator yang terbaik untuk menilai

interfensi besi dan deplesi besi. WHO merekomendasikan konsentrasi

konsentrasi feritin < 12 ug/l mengindikasikan deplesi cadangan besi pada

anak-anak < 5 tahun, dan nilai < 15 ug/l mengindikasikan deplesi

cadangan besi pada umur > 5 tahun. Tetapi feritin merupakan protein fase

(37)

Pengukuran protein fase akut yang berbeda dapat membantu

menginterpretasi nilai serum feritin, jika konsentrasi protein fase akut ini

meningkat menandakan dijumpai inflamasi. Pemeriksaan protein fase akut

yang sering digunakan adalah CRP, karena meningkat dengan cepat

terhadap inflamasi dan juga turun dengan cepat. 28

2.3. Mekanisme transport besi

Besi merupakan ion yang bermuatan dan tidak dapat berdifusi

bebas melewati membrane sel, sehingga dibutuhkan protein karier spesifik

untuk transfer transmembran. Secara umum ada dua jalan transport

besi. Beberapa sel seperti sel epitel intestinal, hepatosit dan makrofag

dilengkapi keduanya yaitu mekanisme import besi ke dalam sel dan

pelepasan (eksport) besi dari luar sel. Sel-sel ini terlibat dalam

penerimaan, penyimpanan dan mobilisasi besi. Pada sel lain seperti

prekursor eritroid hanya terjadi import besi tetapi tidak melepaskannya

kecuali sel tersebut hancur. 29

Sekitar 25 mg besi dibutuhkan setiap hari untuk mendukung

produksi Hb pada eritrosit yang matur. Jumlah ini sangat besar

dibandingkan dengan 1-2 mg besi yang masuk ke dalam tubuh setiap hari.

Besi untuk eritropoiesis diperoleh dari makrofag retikuloendotelial yang

menjalankan fungsi siklus besi dari eritrosit tua. 29

Besi diabsorbsi dalam lingkungan asam pada mukosa duodenum

(38)

ferri (Fe3+) harus direduksi menjadi ferro (Fe2+) oleh ferrireductase, yang

diidentifikasi merupakan duodenal cytochrome b (DCYTB). Ion Fe 2+

melalui divalent metal transporter 1 (DMT1, disebut juga Nramp 2)

memasuki sitoplasma. Besi yang masuk dalam sitoplasma sebagian

disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui basolateral

transporter (ferroportin disebut juga IREG 1) ke dalam kapiler usus. Pada

proses ini terjadi perubahan dari feri menjadi fero oleh enzim ferooksidase,

antara lain hephaestin. 29,30.31

Di dalam plasma, besi berikatan dengan transferin. Transferin

mempunyai tiga fungsi penting. Pertama, menjaga besi dalam bentuk

terlarut. Kedua transferin membuat besi tidak reaktif sehingga menjadi

tidak toksik dalam sirkulasi. Ketiga, transferin memfasilitasi pengiriman

besi menuju sel yang memiliki transferin reseptor di permukaannya.29

Transferin mengirim besi ke normoblast dan sel-sel lain melalui

ikatan dengan transferin reseptor. Setelah interaksi reseptor dengan ligan,

transferin yang mengandung besi mengalami endositosis yang diawali

dengan invaginasi clathrin-coated pits, membentuk endosom. Endosom

mengalami asidifikasi (pH 5-6) melalui influks proton sehingga

memudahkan pelepasan besi dari transferin dan memperkuat interaksi

apotransferin-reseptor. Besi dirubah dari bentuk ferro menjadi ferri dan

keluar dari endosome melalui divalent metal ion transporter 1 (DMT1)

menuju tempat penyimpanan (feritin) dan digunakan dalam sel

(39)

eksternalisasi kembali ke permukaan sel dan apotransferin dilepaskan

kembali. 6,31

2.4. Stadium klinis defisiensi besi dan diagnosis laboratorium.

Karakteristik penting dari defisiensi besi adalah pelepasan besi dari

makrofag dan cadangan hepatosit bersama-sama dengan masukan dari

makanan tidak mencukupi kebutuhan besi untuk eritropoiesis. Pada fase

awal yang disebut juga defisiensi besi laten, semua cadangan besi akan

dimobilisasi. Pada keadaan ini semua parameter laboratorium masih

dalam batas normal, meskipun konsentrasi feritin dan cadangan besi di

sumsum tulang (feritin dan hemosiderin) berkurang secara bertahap.16

Reseptor transferin masih stabil.32

Fase kedua yang disebut eritropoesis defisiensi besi, cadangan

besi kosong sehingga jumlah besi tidak cukup untuk produksi Hb dan

protein lain yang mengandung besi. Konsentrasi Hb masih normal, tetapi

feritin serum menurun, SI rendah, transferin serum tinggi (akibatnya

saturasi transferin berkurang) dan terjadi peningkatan sTfR di plasma.16,32

Pada fase ketiga yaitu anemia defisiensi besi, kadar Hb sudah

berkurang. Pada keadaan kronik, dengan berkurangnya Hb lebih lanjut,

MCV dan MCH dapat menjadi rendah, bersamaan dengan munculnya

eritroblast patologis pada sumsum tulang dan morfologi eritrosit yang

patologis pada darah tepi.16 Penurunan feritin lebih berat dan peningkatan

(40)

Petunjuk pertama pada defisiensi besi adalah anemia, akan tetapi

penilaian Hb dan Ht memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang rendah dan

dibutuhkan pemeriksaan laboratorium tambahan. Selain gambaran

laboratorium untuk erytropoesis defisiensi besi, pemeriksaan lain seperti

saturasi transferin, mean corpuscular hemoglobin consentration (MCHC),

erythrocyte zinc protoporphyrin, konsentrasi hemoglobin eritrosit dan

retikulosit dapat meningkatkan diagnosa. Akan tetapi perubahan dari

parameter ini pada defisiensi besi tidak dapat dibedakan dari APK. Hal ini

karena inflamasi menyebabkan peningkatan hepcidin sehingga

menghalangi pelepasan besi dari enterosit dan sistem retikuloendotelial

dan menghasilkan defisiensi besi eritropoeisis.16

Saturasi transferin memiliki kelebihan yaitu biaya yang murah dan

banyak tersedia, tetapi mengalami variasi diurnal dan dipengaruhi

beberapa kelainan klinis. Pemeriksaan darah tepi dapat dipercaya bila

diperiksa yang berpengalaman. MCV merupakan indikator yang dapat

dipercaya, tetapi parameter ini berubah tergantung onset defisiensi

eritropoeisis. Persentase eritrosit yang hipokrom dapat diukur dengan

hematology analyzer tertentu , tetapi merupakan indikator yang lambat

untuk mendeteksi eritropoeisis defisensi besi.16

Pendekatan diagnostik yang optimal untuk ADB dengan menilai

serum feritin dan sTfR. Pemeriksaan feritin serum tersedia luas dan

telah dibakukan dengan baik dan merupakan indeks status besi yang

(41)

WHO merekomendasikan konsentrasi feritin < 12 ug/l mengindikasikan

deplesi cadangan besi pada anak-anak < 5 tahun, dan nilai < 15 ug/l

mengindikasikan deplesi cadangan besi pada umur > 5 tahun.10,11

Penelitian Pasricha dkk mendapatkan dengan pemakaian cut-off feritin

<15 ug/l memberikan sensitivitas 44% dan spesifisitas 80%, dan cut-off <

30% memberikan sensitivitas 72% dan spesifisitas 52%.12 Penelitian di

Bali dengan memakai feritin serum < 12 ug/l dan 20 ug/l memberikan

sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan

96%. 13 Penelitian Mast AE dkk mendapatkan sensitivitas 25% dan

spesivisitas 98% dengan memakai feritin < 12 ug/l. Akan tetapi dengan

memakai feritin < 30 ug/l diperoleh sensitivitas 92% dan spesifisitas

98%.14

Tetapi feritin merupakan protein fase akut dan pada keadaan

inflamasi akut atau kronis feritin meningkat tidak tergantung pada status

besi. Perbedaan antara APK dan ADB sangat sulit karena konsentrasi

feritin serum yang meningkat tidak mengeksklusi ADB yang bersamaan

dengan inflamasi. Sebaiknya pada negara berkembang dengan frekwensi

infeksi yang tinggi dilakukan pemeriksaan marker inflamasi seperti CRP.16

Dalam waktu relatif singkat (6-8) jam setelah terjadi reaksi radang akut /

kerusakan jaringan, sintesa dan sekresi CRP meningkat dengan tajam,

dan hanya dalam waktu 24-48 jam telah mencapai nilai puncaknya. Kadar

(42)

telah mereda. Dalam waktu sekitar 24-48 jam telah dicapai nilai normalnya

kembali.33

2.5. Perubahan metabolisme besi pada anemia penyakit kronis

Anemia penyakit kronis didefinisikan sebagai anemia yang terjadi

pada infeksi kronis, inflamasi atau neoplasma dan bukan oleh karena

adanya tumor pada sumsum tulang, perdarahan atau hemolisis, yang

ditandai dengan hypoferemia dan dijumpai cadangan besi.34

Disregulasi besi pada APK terjadi karena peningkatan hepcidin

sebagai respon terhadap sitokin yang meningkat karena inflamasi dan

juga karena efek langsung sitokin seperti IFN - dan TNF-α yang

merangsang makrofag untuk mengakusisi besi melalui DMT1 dan

menginhibisi feroportin 1 untuk melepaskan besi. Kedua mekanisme ini

menyebabkan sekuestrasi besi dalam fagosit mononuklear, sehingga

ketersediaan besi untuk eritropoesis berkurang.34,35 Gambaran ini tampak

melalui parameter hematologi yaitu, SI berkurang, saturasi transferin

berkurang < 16 %, dan nilai feritin serum normal hingga meningkat.

Pengukuran nilai sTfR dan indeks sTfR-F dapat membedakan ADB

dengan APK.16

2.6. Metode pemeriksaan sTfR

Metode yang umum dipakai untuk mengukur sTfR adalah enzyme

(43)

1.

Prinsip ELISA berdasarkan microplate sandwich enzyme

immunoassay menggunakan dua antibodi monoklonal spesifik

untuk sTfR. sTfR sebagai antigen berikatan dengan antibodi

monoklonal yang berada pada microplate. Setelah dicuci kemudian

ditambahkan antibodi monoklonal berkonjugasi dengan enzyme,

sehingga terjadi kompleks antibodi-sTfR-antibodi. Jumlah kompleks

ini sebanding dengan konsentrasi sTfR pada sampel. 37

Pemeriksaan dengan metode ELISA dilakukan secara manual,

sehingga cukup merepotkan , memerlukan banyak waktu dan

memerlukan peralatan khusus. Selain itu belum ada kalibrator yang

sama untuk penetapan nilai sTfR.38

2. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode

particle

enhanced immunoturbidimetric assay. sTfR dalam serum sebagai

antigen berikatan dengan antibodi soluble transferrin receptor yang

dilapisi dengan partikel lateks. Komplek antigen antibodi yang

terjadi diukur secara fotometer pada panjang gelombang 583 nm.39

Jumlah analit berbanding terbalik dengan jumlah sinar yang

diteruskan40. Partikel lateks berguna untuk memperbesar kompleks

imun sehingga terjadi amplifikasi reaksi dan sensitivitas reaksi

meningkat secara bermakna.41

Pemeriksaan dengan metode immunoturbidimetry dilakukan secara

(44)

dengan metode ELISA. Koefisien variasi intra dan interassay dua

sampai tiga kali lebih rendah dibandingkan dengan metode ELISA.

Akan tetapi metode ini memerlukan analyzer yang tidak dijumpai

pada semua laboratorium klinik. 38

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain penelitian

Penelitian dilakukan dengan observasional analitik dengan cara

cross sectional (potong lintang). Pengambilan sampel dengan cara

consecutive sampling, dimana jumlah sampel dibatasi minimal sesuai

perkiraan jumlah sampel atau sampai batas waktu pengumpulan sampel

yang ditetapkan.

3.2. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK USU/RSUP.

H. Adam Malik Medan dan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK

USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, mulai Maret sampai dengan Mei

2010.

3.3. Populasi dan subyek penelitian

3.3.1. Populasi penelitian

Populasi penelitian adalah pasien-pasien anemia yang berkunjung

ke Poliklinik Penyakit Dalam dan Pasien-pasien anemia yang dirawat di

(46)

3.3.2. Subyek penelitian

Pasien dengan diagnosa ADB menurut kriteria WHO yaitu laki-laki

dewasa: Hb<13 g/dl, perempuan dewasa: Hb<12 g/dl dan nilai

feritin<15ug/L .14

Pasien dengan diagnosa APK dengan nilai Hb pada laki-laki

dewasa <13 g/dl, perempuan dewasa Hb<12 g/dl, nilai feritin>15 ug/L14

dan CRP positip.

Kriteria inklusi

 Bersedia ikut dalam penelitian.

 Pasien umur 19-79 tahun.

 Anemia defisiensi besi menurut WHO:

o Anemia :

 laki-laki dewasa : Hb < 13 g/dl

 Perempuan dewasa: Hb < 12 d/dl

o Feritin < 15 ug/L

 Anemia penyakit kronis:

o Anemia menurut kritria WHO:

 laki-laki dewasa: Hb< 13 g/dl

 Perempuan dewasa: Hb < 12 d/dl

o Feritin > 15 ug/L.

(47)

Kriteria eksklusi

 Pasien yang mendapat terapi Fe.

 Pasien yang menerima transfusi dalam 3 bulan terakhir.

 Anemia hemolitik.

 Anemia megaloblastik.

 Wanita hamil.

 Anemia dengan penyakit ginjal kronis .

 Pasien dengan keganasan .

 Anemia aplastik

3.4. Perkiraan besar sampel

Untuk menentukan sampel yang diteliti dipakai rumus uji hipotesis

terhadap dua rerata dua populasi, dalam hal ini untuk dua kelompok

berpasangan, 43 sebagai berikut:

(Zα + Z) Sd 2

n ≥

d

Dimana:

n = jumlah sampel.

Zα = nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung pada

nilai α yang ditentukan. Untuk α = 0,05 → Zα = 1,96.

Z = nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung pada

(48)

d = selisih rerata kedua kelompok yang bermakna = 4,0

Sd = simpangan sTfR dari selisih rata-rata, dihitung dari kepustakaan

1.

Sd = (n1-1) Sd1

2

+ ( n2-1) Sd2

n1 + n2 - 2

Dimana : n1 = 47, n2 = 28, Sd1 = 8,76, Sd2 = 3,94

Sd = (47-1) 8,76

2

+ ( 28-1) 3,942

47 + 28 - 2

Sd = 7,355

Jumlah sampel yang dibutuhkan:

(1,96 +1,282) 7,355 2

4,0 n ≥

n ≥ 35,5 ≥ 36

3.5. Bahan dan Cara Kerja

3.5.1. Bahan yang diperlukan

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah darah EDTA dan

darah tanpa anti koagulan.

3.5.2. Anamnese dan Pemeriksaan Fisik

(49)

Pemeriksaan fisik dilakukan pada posisi penderita berbaring. Seluruh data

dan hasil pemeriksaan dicatat dalam status khusus penelitian.

3.5.3. Pengambilan dan pengolahan sampel

Sampel darah diambil melalui vena punksi dari vena mediana cubiti

tanpa stasis vena yang berlebihan, Tempat vena terlebih dahulu

dibersihkan dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering. Darah diambil

dengan menggunakan spuit disposible sebanyak 5 cc darah, selanjutnya

dibagi menjadi 2 tabung.

Tabung 1 : dimasukkan darah hingga 2 ml dalam tabung yang berisi 3,6

mg EDTA dan dicampurkan secara perlahan. Konsentrasi

EDTA 1,5-2,0 mg/ml darah tidak memberikan efek yang

bermakna terhadap parameter darah lengkap.44

Tabung 2 : dimasukkan darah sebanyak 3 ml (tanpa antikoagulan).

Selanjutnya tabung 2 dibiarkan dalam suhu kamar selama 30

menit, kemudian dilakukan pemutaran dengan sentrifuge

dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit untuk

mendapatklan serum yang jernih. Serum dipisah secara

hati-hati ke dalam 2 tabung plastik (aliquot). Tabung plastik

pertama untuk pemeriksaan feritin dan CRP. Tabung kedua

segera disimpan dalam freezer (-20OC) - (-70OC) sampai

(50)

3.5.4. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan darah lengkap menggunakan alat cell dyne 3700.

b. Pemeriksaan morfologi darah tepi dengan pembuatan sediaan

apus darah tepi dan menggunakan pewarnaan giemsa.

c. Pemeriksaan feritin dengan menggunakan alat Cobas e 601

d. Pemeriksaan CRP dengan C-Reactive protein (CRP) latex reagent

set.

e. Pemeriksaan sTfR dengan menggunakan alat Cobas c 501.

3.5.4.1. Pemeriksaan darah lengkap

Dengan alat automatic cell counting celldyne 3700 (abbot). Bahan

sampel darah EDTA. Prinsip pemeriksan spectrophotometry berdasarkan

reaksi pembentukan haemoglobin cyanide.

3.5.4.2. Pemeriksaan feritin

Prinsip electrochemiluminescence immunoassay (ECLIA). Feritin

sebagai antigen bereaksi dengan antibodi spesifik feritin monoklonal

biotinylasi, dan antibody spesifik feritin yang dilebel dengan kompleks

ruthenium membentuk kompleks sandwich. Kemudian ditambahkan

mikropartikel yang dilapisi streptavidin, komplek yang terbentuk berikatan

dengan fase solid melalui interaksi biotin dengan streptavidin. Campuran

reaksi diaspirasi dalam cell pengukur dimana mikropartikel secara

(51)

berikatan dibuang melalui Procell. Aplikasi voltase (tegangan) pada

elektroda menginduksi emisi chemiluminescent yang diukur oleh

photomultiplier. Dalam reaksi Electro Chemiluminescent (ECL) terjadi

reaksi antara kompleks ruthenium dengan TPA (trypropylamine) yang

distimulasi secara elektrik untuk menghasilkan emisi cahaya. Jumlah

cahaya yang dihasilkan berbanding lurus dengan kadar analit dalam

sampel.45

Sampel darah dari pasien anemia berdasarkan kriteria WHO

dilakukan pemeriksaan feritin. Hasil feritin < 15 ug/l dimasukkan dalam

kelompok ADB. Kemudian pada sampel dengan feritin > 15 ug/l dilakukan

pemeriksaan CRP, dan bila hasil positif dimasukkan dalam kelompok

APK.

3.5.4.3. CRP

Pemeriksaan CRP berdasarkan prinsip aglutinasi latex. Bila serum

mengandung ≥ 0.8 mg/dl CRP maka akan terjadi aglutinasi. Setiap

melakukan pemeriksaan CRP selalu disertakan kontrol positif dan kontrol

negatif. Hasil yang terjadi dikonfirmasi oleh 3 orang untuk menilai apakah

terjadi aglutinasi atau tidak (positif atau negatif).

3.5.4.4. Soluble Transferin Receptor

Pemeriksaan dilakukan secara serentak setelah terkumpul

(52)

alat automatic analyzer Cobas Elecsys 601 (Cobas c 601), menggunakan

metode Particle enhanced immunoturbidimetric assay. Sampel yang beku

dari freezer dicairkan pada suhu ruangan. Reagensia, kalibrator dan

kontrol juga disamakan dengan suhu ruangan (20-25 0C). Stabilitas serum

pada temperatur 20-25 0C selama 3 hari, temperature 4-8 0C selama 7

hari, dan temperature (-200C) – (-700C) selama 4 minggu.

Perhitungan indeks sTfR-F dengan menghitung nilai sTfR dengan

membaginya dengan log feritin. Nilai < 1,5 dikatakan APK dan bila > 1,5

dikatakan APK bersamaan ADB.

Indeks sTfR-F = sTfR

log feritin

3.5.5. Pemantapan kualitas

Kontrol kualitas untuk feritin dilakukan dengan elecsys PreciControl

Tumor Marker 1 dan 2, dilakukan setiap melakukan pemeriksaan, setiap

pemakaian reagent kit baru dan setelah selesai kalibrasi. Nilai konsentrasi

kontrol harus masuk dalan range yang ditetapkan untuk menjamin akurasi

assay feritin.

Kontrol kualitas untuk pemeriksaan CRP dengan mengikutkan

(53)

3.5.5.1. Kontrol kalibrasi pemeriksaan sTfR

Kontrol kalibrasi menggunakan kalibrator preciset sTfR. Kalibrasi

dilakukan setiap pemakaian lot baru. Grafik yang ditampilkan adalah garis

linier, dengan menggunakan lima titik yaitu 1.60, 3.65, 9.66, 31.4 dan 41.4

Grafik 1. Kalibrator dengan preciset sTfR

3.5.5.1. Kontrol kualitas sTfR

Kontrol kualitas untuk sTfr dilakukan dengan sTfR Control set,

dengan memakai 2 nilai konsentrasi yaitu sTfR control set level 1 dan

sTfR control set level 2 untuk memantau akurasi assay sTfR. Kontrol

dilakukan sesudah kalibrasi dan sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap

sampel yang sudah dikumpulkan.

Selama penelitian kontrol kulaitas dilakukan sebanyak 3 kali

bersamaan dengan sampel yang diperiksa. Dalam 3 kali pemeriksaan

sampel, nilai sTfR control set level 1 dan sTfR control set level 2 tidak

(54)

sampel dengan nilai sTfR control set level 1: 2,296 dan sTfR control set

level 2: 6,852. Pemeriksaan kedua sebanyak 16 sampel dengan nilai sTfR

control set level 1: 2,414 dan sTfR control set level 2: 7,447. Pemeriksaan

ketiga menggunakan reagent kit baru dengan lot yang sama sebanyak 6

sampel nilai sTfR control set level 1: 2,138 dan sTfR control set level

2:6,453.

Tabel 3.1. Pemantapan kualitas menggunakan sTfR control set level 1 dan sTfR control set level 2 pada pemeriksaan sTfR.

sTfR control set level 1 sTfR control set level 2 No

3.6. Ethical clearance dan informed consent

Ethical clearance diperoleh dari Komite Penelitian Bidang

Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera utara Medan yang

ditanda tangani oleh Prof. Dr Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP(K) dengan

nomor surat 118/KOMET/FK USU/2010. Inform consent diminta secara

tertulis dari subjek penelitian atau diwakili oleh keluarganya yang ikut

bersedia dalam penelitian setelah mendapat penjelasan mengenai

(55)

3.7. Analisa data

Analisa data dilakukan dengan menggunakan perhitungan statistik.

Untuk melihat perbedaan parameter hematologi dan biokimia pada

anemia defisiensi besi dibandingkan anemia penyakit kronis digunakan

uji T independent jika data pada kedua kelompok yang diamati

berdistribusi normal. Sebaliknya jika tidak berdistribusi normal digunakan

uji Mann-Whitney.

3.8. Batasan Operasional

1. Anemia defisiensi besi

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat

berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan

besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan Hb

berkurang. Anemia defisiensi besi bila dijumpai anemi menurut WHO

dengan feritin serum < 15ug/L.

2. Anemia penyakit kronis

Anemia penyakit kronis adalah anemia yang terjadi karena respon

sistemik penyakit atau inflamasi. Dikatakan anemia penyakit kronis

bila dijumpai anemi menurut kriteria WHO, feritin > 15 ug/L dan

(56)

3. Anemia hemolitik

Anemia hemolitik adalah kadar Hb kurang dari normal akibat

kerusakan eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang

untuk menggantikannya.46 Indikator destruksi eritrosit adalah

peningkatan LDH serum dan bilirubin tidak terkonjugasi.47

4. Anemia megaloblastik

Anemia megaloblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh

gangguan sintesis DNA dan ditandai oleh sel megaloblastik.48 Skrening

laboratorium yang digunakan untuk diagnosa adalah dijumpai anemia,

peningkatan MCV dan morfologi darah tepi.49 Peningkatan MCV > 97

fl.50 Morfologi darah tepi berupa makroovalosit dan hipersegmentasi

neutrofil.

5. Anemia dengan penyakit ginjal kronis.

Gagal ginjal ditentukan berdasarkan riwayat penyakit seperti

penderita hemodialisa reguler, pemeriksaan fisik dengan adanya

hipertensi, edema dan pucat dan atau penetapan Estimation

Glomerular Filtration Rate (EGFR) yang direkomendasikan The

National Kidney Foundation, dengan kalkulasi Cocroft-Gault

(57)

EGFR (ml/menit) = (140 – umur) X BB (kg)

72 X Scr (mg/dl)

Keterangan: -. Bila perempuan, hasil dikali 0,85

-. Scr adalah kreatinin serum

Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan EGFR ≤ 40 ml/menit.

6. Anemia dengan keganasan

Pasien dengan diagnosa keganasan ditetapkan oleh divisi

hematologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUP. H. Adam

Malik Medan.

7. Wanita hamil

Kehamilan didiagnosa dengan anamnese haid terakhir. Bila pasien

lupa atau tanggal seharusnya haid sudah lewat dilakukan test

kehamilan urine.

8. Pansitopenia

Dikatakan pansitopenia apabila dijumpai penurunan nilai leukosit,

(58)

3.11. Kerangka operasional

Pemeriksaan darah lengkap & sediaan hapus darah tepi

HD regular

Hipertensisi, pucat, oedema dan atau EGFR <40 ml/mnt

feritin

Pasien polikliniki dan bangsal devisi hematologi onkologi medik

Riwayat

transfusi < 3 bln eksklusi

(59)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan bertujuan mengevaluasi kegunaan sTfR dan indeks sTfR-F untuk mendiagnosa ADB, dilaksanakan dari tanggal 24 Maret 2010 sampai 29 Mei 2010. Subjek penelitian adalah pasien-pasien ADB dan APK yang berkunjung ke poliklinik Penyakit Dalam dan yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

(60)

Table 4.1.Data-data laboratorium subjek penelitian

kelompok ADB murni, APK murni dan kombinasi APK dengan ADB.

Jenis

(61)

Tabel 4.2. Perbandingan parameter hematologi dan biokimia pada ADB murni dan total APK

ADB murni (N= 36)

Total APK (APK murni + kombinasi APK

dengan ADB)

(N=36) Parameter

Mean ±SD Range±SD Mean ±SD Range±SD

P value

Hb (g/dl)* 7,22 ± 1,83 3,10-10,8 8,69 ± 2,34 3,33-11,9 0,004***

MCV (fl) * 61,88 ± 7,89 46,2-73,6 81,31 ± 8,10 62,5-95,1 0,0001***

MCH (pg) * 17,98 ± 2,79 12,2-27,8 26,44 ± 3,42 16,5-31,9 0,0001***

MCHC (g%) * 28,85 ± 2,79 23,1-34,7 32,31 ± 2,23 26,4-35,4 0,0001***

Feritin (ug/L) * 4,09 ± 3,54 1,61-14,86 411,08 ± 374,60 36-950 0,0001***

sTfR (mg/L) * 26,32 ± 12,89 5,56-54,49 4,41 ± 2,81 1,92-15,51 0,0001***

Indeks sTfR-F** 76,22 ± 64,65 6,81-226,52 2,05 ± 1,82 0,78-9,97 0,0001***

Keterangan: * uji T independent, ** uji Mann-whitney ,*** signifikan

(62)

Tabel 4.3. Perbandingan parameter hematologi dan biokimia kelompok APK murni dengan kombinasi APK dengan ADB.

APK murni

(indeks sTfR-F < 1,5)

(N=23)

Kombinasi APK dengan ADB

(indeks sTfR > 1,5) * uji T independent, ** signifikan

(63)

Tabel 4.4. Perbandingan parameter hematologi dan biokimia pada ADB murni dan kombinasi APK dengan ADB.

ADB murni (N=36)

Kombinasi APK dengan ADB (N=13) Keterangan: * uji T independent, ** uji Mann-whitney ,*** signifikan

(64)

BAB IV

PEMBAHASAN

Anemia defisiensi besi dalam beberapa keadaan relatif mudah didiagnosa dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium status besi konvensional seperti serum iron (SI), total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin dan serum feritin. WHO merekomendasikan konsentrasi feritin < 12 ug/l mengindikasikan deplesi cadangan besi pada anak-anak < 5 tahun, dan nilai < 15 ug/l mengindikasikan deplesi cadangan besi pada umur > 5 tahun.3 Pemeriksaan serum feritin sangat efisien untuk menilai cadangan besi tubuh, akan tetapi feritin berperan sebagai protein fase akut, sehingga sulit dibedakan antara ADB dengan APK. Pada beberapa penelitian, pengukuran sTfR telah terbukti berguna untuk membedakan diagnosa ADB dengan APK, dan konsentrasi sTfR tidak dipengaruhi respon protein fase akut, sehingga sTfR lebih baik dibandingkan pengukuran status besi konvensional. Dengan pemeriksaan feritin dan sTfR dapat dihasilkan nilai indeks sTfR-F.

(65)

Punnonen Kari dkk tahun 1997 di Finland membedakan ADB dengan APK berdasarkan pewarnaan besi sumsum tulang. Nilai sTfR pada ADB (6,2 ± 3,5 mg/L) lebih tinggi dibandingkan APK (1,8 ± 0,6 mg/L mg/L). Nilai indeks sTfR-F pada ADB (6,8 ± 6,5) lebih tinggi dibanding indeks sTfR APK ( 0,8 ± 0,3).17

Penelitian Remacha Angel dkk tahun 1998 di Spanyol membedakan ADB dengan APK dengan batasan nilai feritin 13 ug/L. Nilai sTfR pada ADB (8,1 ± 5,4 mg/L) lebih tinggi dibandingkan nilai sTfR pada APK( 3,5 ± 1,2 mg/L).53

Simek M dkk tahun 2002 di Slovakia membedakan ADB dengan APK berdasarkan pewarnaan besi sumsum tulang. Pada pasien ADB nilai sTfR (5,3 ± 1,8 mg/L) lebih tinggi dibandingkan dengan APK (1,6 ± 0,4 mg/L).18

Penelitian Hanif Ejas dkk tahun 2005 di Pakistan membedakan ADB dengan APK dengan pewarnaan besi sumsum tulang. Nilai sTfR pada ADB (9,6± 2,4 mg/L) lebih tinggi dibandingkan nilai sTfR pada APK (2,961,28 ± 1,2 mg/L).54

Jayarenes dkk tahun 2006 di Kuala Lumpur membedakan ADB dengan APK berdasarkan batasan nilai feritin 12 ug/L. Nilai sTfR pada ADB (5,53 ± 8,76 mg/L) lebih tinggi dibandingkan nilai sTfR pada APK (3,32 ± 3,94 mg/L). Nilai indeks sTfR-F pada ADB (2368,98 ± 7236,4) lebih tinggi dibanding indeks sTfR APK ( 71,01± 193,58).1

(66)

dkk, 2005 di Dallas juga mendapatkan dijumpai perbedaan yang bermakna pada nilai feritin serum, MCV, MCH dan MCHC pada kelompok ADB dengan APK.55

Dengan menggunakan nilai indeks sTfR-F dengan cut-off 1,5, total APK dibagi menjadi 2 bagian. Kelompok APK yang memiliki nilai indeks sTfR-F <1,5 merupakan APK murni dan kelompok APK yang memiliki nilai indeks sTfR-F >1,5 merupakan kombinasi APK dengan ADB. Nilai sTfR kelompok kombinasi APK dengan ADB (7,10 ± 3,14 mg/L) lebih tinggi dibandingkan kelompok APK murni (2,89 ± 0,68 mg/L). Nilai indeks sTfR-F pada kelompok kombinasi APK dengan ADB (3,64 ± 2,35) lebih tinggi dibandingkan kelompok APK murni (1,16± 0,24).

Punnonen Kari dkk mendapatkan nilai sTfR pada kombinasi APK dengan ADB (2,1±2,0 mg/Lmg/L) lebih tinggi dibandingkan APK (1,8 ± 0,6 mg/Lmg/L). Indeks sTfR-F pada kombinasi APK dengan ADB (3,8 ± 1,9) lebih tinggi dari APK (0,8 ± 0,3).

Penelitian Remacha A dkk mendapatkan nilai sTfR pada kombinasi APK dan ADB (7 ± 5,1 mg/L) lebih tinggi dibandingkan APK (3,54 ± 0,2 mg/L).17

Simek M dkk mendapatkan nilai sTfR pada kombinasi APK dan ADB (6,71 ± 2,58 mg/L) lebih tinggi dibandingkan APK (1,8 ± 0,6 mg/L).53

(67)

sTfR-F pada kombinasi APK dengan ADB (176,31 ± 197,12) lebih tinggi dari APK (16,2 ± 28,97).1

Nilai sTfR sangat berguna untuk mendiagnosa ADB, dan indeks sTfR-F merupakan parameter yang baik untuk mengetahui apakah dijumpai defisiensi besi pada pasien-pasien APK. Tidak dijumpai perbedaan yang bermakna pada parameter lain yaitu Hb, MCV, MCH, MCHC dan feritin antara kelompok APK murni dengan APK bersamaan ADB.

(68)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

1. Kadar sTfR dan Indeks sTfR-F pada anemia defisiensi besi lebih

tinggi dibandingkan anemia penyakit kronis sehingga dengan

pemeriksaan sTfR dapat membedakan anemia defisiensi besi

dengan anemia penyakit kronis. Tetapi pemeriksaan sTfR dan

indeks sTfR-F tidak memberi informasi tambahan untuk

membedakan anemia defisiensi besi dengan anemia penyakit

kronis.

2. Kadar sTfr dan indeks sTfR-F pada anemia defisiensi besi lebih

tinggi dibandingkan kombinasi anemia penyakit kronis dengan

anemia defisiensi besi. Tetapi pemeriksaan sTfR dan indeks sTfR-F

tidak memberi informasi tambahan untuk membedakan anemia

defisiensi besi dengan kombinasi anemia penyakit kronis dengan

defisiensi besi.

3. Kadar sTfR dan Indeks sTfR-F pada kombinasi anemia penyakit

kronis dengan anemia defisiensi besi lebih tinggi dibandingkan

anemia penyakit kronis murni. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk

(69)

6.2. SARAN

Pada anemia penyakit kronis perlu dilakukan pemeriksaan sTfR

disertai feritin untuk mendapatkan indeks sTfR-F sehingga dapat

(70)

DAFTAR PUSTAKA

1. Jayaraness S and Sthaneshwar P. Serum soluble transferrin

receptor in hypochromic microcytic anaemia. Singapore Med J,

2006;49(2):38-42.

2. Worwood M, Hoffbrand A.V. Iron metabolisme, Iron deficiency and

disorders of haem synthesis in Postgraduate haematology. 5th ed.

Blackell Publishing, 2005: 26-43.

3. Brugnara C. Iron Deficiency and Erythropoiesis: New diagnostic

approaches. Clin Chem, 2003;49(10):1573-78.

4. Provan D. Iron deficiency anemia in ABC of Clinical haematology.

2nd ed, BMJ Books, 2003:1-4.

5. Beutler E. Disorders of Iron metabolisme in Williams Hematology,

7th ed, McGraw-Hill, 2006:511-53.

6. Andrew NC. Iron deficiency and related disorder in Wintrobe

Clinical Hematology, 11th ed, Lippincott Williams & Wilkins,

2004:979-1009.

7. Wu AC, Lesperance L, Bernstein H. Screening for iron deficiency.

Pediatric in review 2002;23:171-78.

8. Hilman RS, Ault KA, Rinder HM: Iron Deficiency Anemia in

(71)

9. Killip S, Bennett JM and Chambers MD. Iron deficiency anemia.

AAFP, 2007;75(5):671-8.

10. Word health organization. Worldwide prevalence of anemia

1993-2005 in WHO Global Database on Anemia, World Health

Organization, 2008.

11. World Health Organization. Methode of assessing iron status in iron

deficiency anemia assessment, prevention and control a guide for

programme managers, WHO, 2001,33-43.

12. Pasricha SR, Casey GJ, Phuc TQ et all. Baseline iron indices as

predictor of hemoglobin improvement in anemic Vietnamese

womwn receiving weekly iron-folic acid supplementation and

deworming. Am.J. Trop. Med. Hyg, 81(6),2009,1114-9.

13. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia defisiensi besi dalam

buku ajar ilmu penyakit dalam, Edisi IV, Pusat Penerbitan Ilmu

Penyakit Dalam FK-UI. Jakarta, 2006:634-40.

14. Mast AE, Blinder ma, Gronowski AM, Chumley C, Scott M. Clinical

utility of the soluble transferring receptor and comparison with

serum feritin in several population. Clinchem,44:1,1998,45-51.

15. Kern WF. Iron deficiency anemia, anemia of chronic disease,

sideroblastic anemias , and megaloblastic anemia in PDQ

Gambar

Gambar 2.1. Skema reaksi imunoturbidimetri (dikutip dari  kepustakaan 42)
Grafik 1. Kalibrator dengan preciset sTfR
Tabel 3.1. Pemantapan kualitas menggunakan sTfR control set level 1
Table 4.1.Data-data laboratorium subjek penelitian
+4

Referensi

Dokumen terkait