ABSTRAK
ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA PADA TAHAP PENYIDIKAN TERHADAP PERBUATAN ASUSILA MELALUI MEDIA
SOSIAL
Oleh
LIA APRILLIANA
Kejahatan media sosial seringkali terjadi dan rasanya sudah tidak menjadi sesuatu yang tabu lagi. Salah satunya pelecehan seksual yang terjadi di jejaring media sosial yang umumnya merupakan jenis pelecehan tertulis yang bisa menyebabkan terjadinya pelecehan-pelecehan seksual lainnya. Aparat penegak hukum dalam mencari bukti-bukti dan menentukan pelakunya harus dibutuhkan pengetahuan di bidang cybercrime. Kekurangpahaman aparat penyidik dalam bidang tindak pidana media sosial cybercrime membuat proses penyidikan menjadi lama dan sulit untuk menentukan siapa pelakunya. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah penegakan hukum pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial.
Pendekatan masalah untuk membahas permasalahan tersebut penulis melakukan penelitian dengan pendekatan yuridis empiris dan pendekatan yuridis normatif. Sumber data yang digunakan adalah data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan, data sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Data tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder dengan materi penulisan yang berasal dari kamus hukum.
Lia Aprilliana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).
Berdasarkan kesimpulan tersebut, perlu adanya tindakan yang lebih konkrit dan pro aktif supaya penegakan hukum itu lebih maksimal. Perlunya peran aktif pemerintah dalam proses sosialisasi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan tujuan masyarakat dapat mengerti dan memahami undang-undang tersebut.
ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA PADA TAHAP PENYIDIKAN TERHADAP PERBUATAN ASUSILA MELALUI MEDIA SOSIAL
Oleh
Lia Aprilliana
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lampung Tengah pada tanggal 3 April
1993, penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara
dari pasangan Bapak Marwoko dan Ibu Yatini. Penulis
memulai pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Pertiwi lampung Tengah,
Seputih Banyak pada tahun 1998-1999.
Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar di SDN 1 Seputih
Banyak pada tahun 1999-2005. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah
Pertama di SMPN 1 Seputih Banyak pada tahun 2005-2008. Kemudian penulis
melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Seputih Banyak pada tahun
2008-2011.
Tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa, pada tahun 2013-2014 penulis menjadi
anggota Pusat Study Bantuan Hukum (PSBH) Unila. Penulis mengikuti Kuliah
Kerja Nyata (KKN) selama 40 hari di Desa Cimarias, Kecamatan Bangun Rejo,
PERSEMBAHAN
Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, zat
yang Maha Kuasa dan maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang ku persembahkan skripsi ini kepada:
Ayahku terhormat Bapak Marwoko yang telah mengajarkanku untuk tetap kuat dan bersyukur dalam
segala hal.
Mamaku tercinta Yatini
Yang telah memberikan dukungan dan doa serta harapan demi keberhasilanku kelak. Perempuan Tercantik yang pernah ada di dalam hidupku, wanita Terindah yang selalu
ada dihatiku selama-lamanya.
Kepada adikku yang ku kasihi
Laudrian Dwi Bayu Jhonata Marcelino yang selalu selalu ku sayang selama-lamanya
Serta Keluarga besar yang selalu berdoa dan berharap demi keberhasilanku dalam meraih cita-cita.
MOTO
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
sekedar apa yang allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan
(Qs Ath Thalaaq:7)
Bekerja keraslah seperti akan hidup selamanya dan
beribadahlah seperti akan mati besok
SANWACANA
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan
judul “Analisis Penegakan Pidana Hukum Pada Tahap Penyidikan Terhadap
Perbuatan Asusila Melalui Media Sosial” sebagai salah satu syarat mencapai gelar
sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan,
bantuan, petunjuk dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis
mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
3. Bapak, Eko Raharjo, S.H., M.H. Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan saran, nasehat, masukan, dan bantuan dalam penulisan skripsi
ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Bapak Ahmad Irzal Fardiansyah. S.H,M.H selaku Dosen Pembimbing II
yang telah memberikan saran, nasehat, masukan dan bantuan dalam proses
5. Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah
memberikan nasehat, kritikan, masukkan dan saran dalam penulisan
skripsi ini.
6. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H, M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah
memberikan nasehat, kritikan, masukkan dan saran dalam penulisan
skripsi ini.
7. Briptu Nanang Tianggono, S.H., Briptu Irene Mistiarty, S.H., dan Ibu
Nikmah Rosidah, S.H., M.H. yang telah memberikan izin penelitian, dan
membantu dalam penelitian serta penyediaan data untuk penyusunan
skripsi ini.
8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama kuliah di
Fakultas Hukum Universitas lampung, penulis ucapkan banyak terima
kasih.
9. Mbak Yanti, mbak Sri dan mbak Yani, Babeh Narto atas bantuan dan
fasilitas selama kuliah dan penyusunan skripsi.
10. Guru-guruku selama menduduki bangku Sekolah, TK Pertiwi, SDN 1
Seputih Banyak, SMPN 1 Seputih Banyak, SMAN 1 Seputih Banyak.
Penulis ucapkan terimakasih atas ilmu, doa, motivasi dan kebaikan yang
telah ditanamkan.
11. Teristimewa untuk kedua orang tuaku tersayang Bapak Marwoko dan
Mamaku Yatini untuk doa, kasih sayang, dukungan, motivasi, dan
pengajaran yang telah kalian berikan dari aku kecil hingga saat ini, yang
12. Kepada adik kandungku Laudrian dwi Bayu Jhonata Marcelino yang
selalu memberikan keceriaan buatku dan memberi dukungan moril,
semangat, serta materil yang diberikan.
13. Keluarga besarku yang selalu berdoa untukku serta dukungan dan
motivasinya.
14. Untuk temanku Natalia Khaterine S, Miranti Dwi Saputri, Bayu Andrian,
Fitri Agista, Gesta Aldila, dan untuk UGE Maharani, Nurjanah, Laras,
Prafika, Rachmi, Aulia, Desy yang telah memberikan kenangan indah di
masa kuliah.
15. Untuk teman-teman angkatan 2011, Merri, Mona, Marlina, Nova,
Ellisabet, Enaldo, M. Yayang, Rizky Arief, Kio, Destry, yang telah
memberikan kenangan yang luar biasa.
16. Teman-temanku Asrama Kemala ajo Melisa, atu Anita, Encha, Melda,
Apoy, Efi, Mei, Citra, Ressa, terima kasih untuk persahabatan serta
dukungannya selama ini.
17. Teman-temanku spesial Bayu prabu putra mangsanga, Tian Sasmita
S.Kep, Livia, Ferly, Ryan, Jenni, Nina, Tri, Mawar, Septi, Ely, Resti,
Dhian, Mba Mauli, Tri Hermansyah, Rezza Kurnia, Findo Harimurti, ,
Niko, Garnis, yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih untuk
persahabatan serta kenangan yang terindah.
18. Teman-teman Mahasiswa Fakultas Hukum yang lain Enaldo, Iis,Ines, Ayi,
Anisa, Ika, Zahra, Noni, Nico, Zaky, Gusti, Wayan, Aisyah, Syeh, Ivan
Savero, Andika, Sefti, Tria, Jessika, Maya, Hindiana, Dian, Destry, Ririn,
terimakasih untuk bantuan, kebersamaan, kekompakan, canda tawa selama
mengerjakan tugas besar atau tugas harian, semoga selepas dari
perkuliahan ini kita masih tetap jalin komunikasi yang baik, tetap
semangat Viva Justicia Hukum Jaya.
19. Teman-teman di Kuliah Kerja Nyata (KKN), untuk Abi, Linda, Irham,
Komang, Kholis, Irene, Jhoni, Ita, Jenni dan Desa Cimarias terima kasih
untuk doa, dukungan, canda tawa, dan kebersamaan selama 40 hari.
20. Untuk Almamater Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
telah menjadi saksi bisu dari perjalanan ini hingga menuntunku menjadi
orang yang lebih dewasa dalam berfikir dan bertindak. Serta semua pihak
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Tuhan memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk
menambah wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis
pada khususnya.
Bandar Lampung, April 2015
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8
E. Sistematika Penulisan ... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 16
1. Pengertian Tindak Pidana... . 16
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana... 18
B. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum ... 20
1. Penegakan Hukum dan Penegakan Hukum Pidana ... 20
2. Faktor-Faktor Penegakan Hukum ... 22
C. Pengertian Penyidikan ... 25
D. Pengertian Tindak Pidana Asusila ... 26
E. Pengertian Media Sosial... . 29
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 33
B. Sumber dan Jenis Data ... 34
C. Penentuan Narasumber ... 35
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 36
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Narasumber ... 38
B. Penegakan Hukum Pidana pada Tahap Penyidikan Terhadap Perbuatan Asusila Melalui Media Sosial ... 39
V. PENUTUP
A. Simpulan ... 59
B. Saran ... 60
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan masyarakat modern telah menyebabkan perkembangan kejahatan
yang mencakup jenis serta dimensi- dimensi yang sebelumnya tidak ada. Semakin
modern suatu masyarakat, semakin modern pula metode, teknik dan cara-cara
tindak kejahatan dilakukan oleh para pelakunya. Salah satunya adalah kejahatan
teknologi informasi yang semakin menjalar yang membuat masyarakat
menjadikannya sarana untuk melakukan tindak pidana atau pelanggaran.
Kemajuan teknologi informasi yang diciptakan pada akhir abad ke-20 adalah
internet. Teknologi internet membawa manusia pada peradaban baru, dimana
terjadi perpindahan realitas kehidupan dari aktifitas nyata ke aktivitas maya
(virtual) yang disebut dengan istilah cyberspace.1
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah melahirkan berbagai
dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif, karena di satu sisi
memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan peradaban manusia,
namun di sisi lain menjadi sarana efektif perbuatan melanggar hukum. Teknologi
informasi dan komunikasi juga telah mengubah perilaku dan pola hidup
masyarakat secara global, dan menyebabkan dunia menjadi tanpa batas
1
2
(borderless), serta menimbulkan perubahan di berbagai bidang kehidupan2.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dengan berbagai fasilitasnya,
dalam hal ini internet merupakan bagian dari kemajuan teknologi informasi
tersebut, yang memberi kemudahan dalam berinteraksi tanpa harus berhadapan
secara langsung satu sama lain.
Kejahatan media sosial kerap kali terjadi dan rasanya sudah tidak menjadi sesuatu
yang tabu lagi. Salah satunya pelecehan seksual yang terjadi di jejaring media
sosial yang umumnya merupakan jenis pelecehan tertulis yang bisa menyebabkan
terjadinya pelecehan-pelecehan seksual lainnya. Ada beberapa pelecehan seksual
lainnya yang bisa saja terjadi dari perkenalan lewat jejaring media sosial, antara
lain pelecehan fisik, pelecehan lisan, pelecehan isyarat, dan pelecehan emosional.
Seorang perempuan bisa mengalami trauma berkepanjangan ketika ia mendapat
pelecehan seksual di jejaring sosial media.
Menurut Wiryono Prodjodikoro,3 kesusilaan (zedelijkheid) pada umumnya
mengenai adat istiadat atau kebiasaan yang baik dalam hubungan antara berbagai
anggota masyarakat, tetapi khususnya yang sedikit banyak mengenai kelamin
(sexs) seorang manusia. Dengan demikian, pidana mengenai delik kesusilaan
hanya perbuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma kesusilaan seksual yang
tergolong dalam kejahatan terhadap kesusilaan. Akan tetapi, menurut Roeslan
Saleh4 pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan
2
Agus Raharjo, Cyber Crime Pemahaman Dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hlm 34
3
http://www.pengertianahli.com/2013/05/pengertian-hukum-menurut-para-ahli.html Rabu, tanggal 5 November 2014
4
3
dalam bidang seksual saja, tetapi juga meliputi hal-hal lain yang termasuk dalam
penguasaan norma-norma bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat.5
Bangsa Indonesia yang sedang tumbuh dan berkembang menuju masyarakat
industri yang berbasis teknologi informasi, dalam beberapa hal masih tertinggal.
Kondisi ini disebabkan karena masih relatif rendahnya sumber daya manusia di
Indonesia dalam mengikuti perkembangan teknlogi informasi dan komunikasi ini,
termasuk kemampuan dalam menghadapi masalah hukum yang timbul. Salah satu
dampak negatif yang timbul adalah tingginya tingkat kejahatan di berbagai bidang
dengan beragam modus operandinya.6
Berbagai macam kasus yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yang
dilakukan oleh masyarakat dari berbagai golongan usia muda maupun tua,
pekerjaan dan sebagainya. Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan seksual di
dalam KUHP tertuang dalam Bab XIV tentang Kejahatan terhadap kesusilaan
yang diatur pada Pasal 284 sampai Pasal 296 KUHP, di dalamnya diatur tentang
kejahatan seksual antara lain perbuatan zina, perkosaan dan perbuatan cabul.
Berikut ini salah satu contoh kejahatan kesusilaan melaui media sosial:
“Kasus Silvia Termiati (34) warga jln Pangeran Hidayat Irg Siswa RT.12 Kecamatan Kota baru kembali melaporkan perbuatan pencemaran nama baik melalui jejaring sosial facebook ke Mapolresta Jambi. Korban melapor atas dasar nama dan nomor Hpnya dimasukkan dalam jejaring sosial facebook oleh Wiwik yang merupakan tetangga korban dengan kata-kata porno. Saya melapor karena distatus facebook bertuliskan kata-kata-kata-kata porno jika ingin berhubungan intim hubungi no 08xxxxx yang terdapat di facebook wiwik, karena itu no Hp saya, banyak orang-orang nelpon yang mengajak chek-in, langsung saya marah, karena saya merasa tersinggung,
5
Burgin M.B. Sosiologi Media Konstruksi Sosial Teknologi Telematika Dan Perayaan Seks Di
Media Massa, Jakarta: Pernada Mendua,.2005. hlm 86
6
4
saya saja facebook tidak mengerti kalau tidak ada temen yang bantu. Ungkap silvia saat di konfirmasi wartawan, Senin (15/07) usay melapor ke Unit PPA Polresta Jambi. Dan ia menambahkan sudah 3 (tiga) kali melapor ke Mapolresta Jambi namun tidak ditangani dengan alasan sibuk pengamanan Pemilukada Kota Jambi. Masalah ini sudah (tiga) kali saya laporka, pertama Januari, kedua pertengahan Februari, ketiga bulan Juni, lalu baru sekarang bisa diproses saya ingin kasus ini tetap lanjut karena mencemarkan nama baik saya dan keluarga saya, ungkapnya. Hanya saja pelaku pencemaran nama baik tersebut enggan berkomentar saat di konfirmasi wartawan memilih untuk nyelonong pergi dengan menggunakan sepeda motor usai dipanggil penyidik PPA Polresta Jambi.7
Hal ini sangat disayangkan mengingat zaman sekarang ini kecanggihan media
sosial seperti candu bagi anak-anak, kaum remaja, sampai orang dewasa dan
dengan adanya gambar-gambar, tulisan-tulisan yang bersifat kesusilaan yang
disebarkan melalui media elektronik, maka dapat merusak moral, dan pikiran anak
yang melihat gambar maupun kata-kata senonoh tersebut.
Fenomena-fenomena saat ini, baik dari kalangan artis, pegawai, anak sekolahan
tidak mengangap tabu lagi memamerkan gambar-gambar dirinya atau kata-kata
yang tidak sewajarnya dengan sengaja diunggah di media sosial mereka untuk
menarik perhatian teman-teman di jejaring sosialnya agar mereka terlihat eksis
dan menarik bagi lawan jenis. Mereka tidak seharusnya menyebarkan dan/atau
mengungah foto-foto tersebut karena bisa menimbulkan banyak dampak
negatifnya antara lain meusak moral anak bangsa, dan dapat mengundang
kejahatan, yang mana kejahatan tersebut bisa berdampak kepada pemilik jejaring
sosial, kejahatan tersebut bisa dijadiakan pencarian uang, dengan cara pemerasan
kepada pihak pemilik akun tersebut.
7
5
R Soesilo8 dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) serta komentar- komentarnya lengkap pasal demi pasal dalam penjelasan
Pasal 310 KUHP, menerangkan bahwa, “menghina” adalah “menyerang
kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang ini biasanya merasa malu
kehormatan yang diserang disini hanya mengenai kehormatan dalam lapangan
seksual, kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota
kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Hukum yang baik adalah
hukum yang bersifat dinamis dimana hukum dapat berkembang sesuai dengan
perkembangan yang terjadi dimasyarakat.
Salah satu perkembangan yang terjadi adalah perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dalam dunia maya untuk itu dibutuhkan peraturan yang dapat
memberian kepastian hukum dunia maya di Indonesia oleh pemerintah diterbitkan
UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
Kemajuan teknologi yang canggih, para pengguna internet atau pengguna sosial
media diharapkan untuk dapat menjaga privasi akunnya, dengan tidak
menyalahgunakan akun sosial media miliknya dan menggunakan jejaring sosial
dengan sewajarnya saja, mengingat terdapat peraturan yang mengaturnya yaitu
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) yang di dalamnya mengatur berbagai
aktivitas yang dilakukan dan terjadi di dunia maya (cyberspace), termasuk
pelanggaran hukum yang terjadi. Salah satu pelanggaran hukum tersebut adalah
setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
8
6
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan,
Kejahatan terhadap kesusilaan juga diatur di dalam KUHP (Pasal 281- Pasal 299)
dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Perkembangan teknologi informasi berdampak pada revolusi bentuk kejahatan
yang konvensional menjadi lebih modern. Jenis kegiatannya mungkin sama,
namun dengan media yang berbeda yaitu dalam hal ini internet, suatu kejahatan
akan lebih sulit diusut, diproses, dan diadili. Aparat penegak hukum dalam
mencari bukti-bukti dan menentukan pelakunya harus dibutuhkan pengetahuan di
bidang cybercrime. Kekurangpahaman aparat penyidik dalam bidang tindak
pidana media sosial (cybercrime) membuat proses penyidikan menjadi lama dan
sulit untuk menentukan siapa pelakunya. Kejahatan yang sering kali berhubungan
dengan internet salah satunya adalah penyebaran gambar-gambar asusila,
pornografi, dan pencemaran nama baik melalui media sosial.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan
judul “Analisis Penegakan Hukum Pidana Pada Tahap Penyidikan Terhadap
7
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan
Berdasarkan uraian dan latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok
permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana pada tahap penyidikan terhadap
perbuatan asusila melalui media sosial?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang hukum pidana pada
umumnya dan khususnya mengenai analisis penegakan hukum pidana pada tahap
penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial. Penelitian ini akan
dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang dengan
mewawancarai sejumlah narasumber yaitu penyidik Polda Lampung pada tanggal
12 Februari 2015.
C. Tujuan dan kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang di kemukakan di atas, maka tujuan dalam
penelitian skripsi ini adalah untuk:
a. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana pada tahap penyidikan terhadap
perbuatan asusila melalui media sosial.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan
8
a. Secara Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi kontribusi pemikiran
dan dapat memberikan manfaat untuk memperkaya ilmu hukum, dan tata cara
memahami penegakan hukum pada tahap penyidikan sebagai sarana
penanggulangan kejahatan terkhusus hukum pidana, yang berkaitan dengan
penegakan hukum pidana itu sendiri.
b. Secara Praktis
Penulisan ini diharapkan meningkatkan kemampuan meneliti serta sebagai
sumbangan pemikiran dalam proses pengetahuan hukum baik secara akademis
serta dalam proses penegakan hukum pidana pada tahap penyidikan terhadap
perbuatan asusila melalui media sosial.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis
Kerangka Teoritis digunakan dalam penelitian mengenai penegakan hukum
pidana pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial,
penulis mengutip penegakan hukum yang dikemukakan oleh para pakar hukum
sebagai berikut:
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief9 pengertian penegakan hukum pidana
dapat dikatakan fungsional hukum sebagai upaya untuk membuat hukum pidana
itu dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara konkrit.
Berlandaskan dari pengertian tersebut maka fungsionalisasi atau proses penegakan
9
9
hukum pidana pada umumnya melibatkan minimal tiga faktor yang saling terkait
yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat atau penegak hukum dan faktor
kesadaran hukum. Pembagian ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan pembagian
tiga komponen sistem komponen sistem hukum, yaitu aspek substansi (legal),
aspek struktur (legal actor), aspek budaya hukum (legal culture) maka suatu
penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut.
Sedangkan menurut Muladi10 penegakan hukum dapat diartikan dalam 3 (tiga)
konsep yakni, konsep penegakan yang bersifat total (total enforcement concept)
yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut
ditegakkan tanpa terkecuali. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full
enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan
hukum acara dan sebagainya demi perlindungan individu. Konsep penegakan
hukum aktual (actual nenforment concept) yang muncul setelah diyakini adanya
deskripsi dalam penegakan hukum, kualitas SDM, kualitas perundang-undangan
dan kurangnya partisipasi masyarakat.
Menurut M. Friedman,11 aparatur penegak hukum dalam proses menegakkan
hukum terdapat tiga element penting yang mempengaruhi, yaitu
1. Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya.
2. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya.
10
Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponogoro. Semarang. 1995, hlm 73.
11
10
3. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya.
Menurut Andi Hamzah12 tujuan hukum acara pidana ialah menemukan kebenaran
materil. Selain pengetahuan tentang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana,
perlu pula penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan penasehat hukum
mempunyai bekal pengetahuan lain yang dapat membantu dalam menemukan
kebenaran materil. Masalah penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto13
terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut
mempunyai arti netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada sisi
faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor perundang-undangan (substansi hukum); 2. Faktor aparat penegak hukum;
3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung; 4. Faktor masyarakat;
5. Faktor kebudayaan.
Penegak hukum dalam tingkat penyidikannya sebenarnya diatur dalam Pasal 1
Angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Sedangkan penyidik diatur
dalam Pasal 1 Angka 1 KUHAP yang mengatur bahwa penyidik adalah pejabat
polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
12
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu Di Dalam KUHP, Jakarta:, Sinar Grafika, 2009, Hlm 196
13
11
Penyelidikan berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 5 KUHAP adalah serangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan
penyelidik berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 4 KUHAP adalah pejabat polisi
negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penyelidikan.
Menurut de Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh
pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah
mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada
terjadi suatu pelanggaran hukum14. Kemudian terhadap penyidikan tindak pidana
media sosial (cybercrime) selain berlaku ketentuan dalam KUHAP juga berlaku
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang diatur dalam Pasal
42 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin
atau akan di teliti.15
14
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hlm, 19.
15
12
Definisi yang berkaitan dengan judul penulisan ini dapat diartikan sebagai berikut:
a. Analisis adalah sebuah proses menguraikan sebuah pokok masalah atas
berbagai bagiannya, penelaahan juga dilakukan pada bagian tersebut dan
hubungan antar bagian guna mendapatkan pemahaman yang benar serta
pemahaman masalah secara menyeluruh.16
b. Penegakan Hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.17
c. Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang
yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.18
d. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna
menemukan tersangkanya.19
e. Perbuatan adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang
diancam dengan pidana. Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila
orang tersebut melanggar undang-undang yang ditetapkan oleh hukum. Tidak
semua tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum karena ada alasan
pembenar, berdasarkan Pasal 50, Pasal 51 KUHP.20
16
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1987, Hlm, 40
17
http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf, Selasa 17 Januari 2015, Pukul 19:30 WIB
18
Tri Andrisman. Hukum Pidana. Unila Bandar lampung. 2009. Hlm 8
19
Tri Adrisman, Hukum Acara Pidana, Unila Bandar Lampung, 2010, Hlm 19
20
13
f. Asusila adalah perbuatan atau tingkah laku yang menyimpang dari
norma-norma atau kaidah kesopanan yang saat ini cenderung banyak terjadi kalangan
masyarakat, terutama remaja. Menurut pandangan agama (religious) tindakan
asusila adalah perbuatan yang fatal yang mengakibatkan dosa dan rendahnya
harga diri secara rohani (spiritualitas). Simons mengatakan perbuatan
mengenai kehidupan seksual dan oleh sifatnya yang tidak senonoh dapat
menyinggung rasa malu atau kesusilaan orang lain. Kesusilaan (zedelijkheid)
adalah mengenai adat kebiasaan yang baik dalam hubungan antar berbagai
anggota masyarakat, tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin
(seks) seorang manusia, sedangkan kesopanan (zeden) pada umumnya
mengenai adat kebiasaan yang baik.21
Ketentuan tindak pidana kesusilaan dalam KUHP dapat dikelompokkan
menjadi 22:
1. Tindak pidana kesusilaan (berkaitan dengan seks) bentuk kejahatan diatur
dalam Pasal 281-289 KUHP dan dalam bentuk pelanggaran diatur dalam
Pasal 532-535 KUHAP.
2. Tindak pidana kesopanan, bentuk kejahatan diatur dalam Pasal 300-303
KUHP, dan bentuk pelanggaran diatur dalam Pasal 536-547 KUHAP.
g. Media Sosial adalah saluran atau sarana pergaulan sosial secara online di dunia
maya (internet). Para pengguna (user) media sosial berkomunikasi,
22
14
berinteraksi, saling kirim pesan, dan saling berbagi (sharing), dan membangun
jaringan (networking).23
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam pemahaman dalam skripsi ini secara keseluruhan dan
mudah dipahami, maka disajikan sistematika penulisan penelitian ini sebagai
berikut:
I. PENDAHULUAN
Pada bab ini berisikan tentang latar belakang penegakan hukum pidana pada tahap
penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial, permasalahan dan
ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual
serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini menguraikan tentang pengertian unsur-unsur tindak pidana, tinjauan
umum mengenai penegakan hukum pidana, pengertian penyidikan, pengertian
tindak pidana asusila, dan pengertian media sosial.
III. METODE PENELITIAN
Pada bab ini menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam
pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan narasumber, prosedur
pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.24
23
15
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan tentang hasil-hasil penelitian dan pembahasan mengenai
analisis penegakan hukum pidana pada tahap penyidikan terhadap perbuatan
asusila melalui media sosial
V. PENUTUP
Pada bab ini merupakan bab penutup dari penulisan penelitian yang berisikan
simpulan dari hasil penelitian dan pembahasan, serta beberapa saran dan penulis
sehubungan dengan masalah yang dibahas.
24
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana berasal dari suatu istilah dalam hukum Belanda yaitu strafbaar feit.
Ada pula yang mengistilahkan menjadi delict yang berasal dari bahasa latin
delictum. Hukum pidana negara anglo saxon memakai istilah offense atau criminal
act. KUHP Indonesia bersumber pada wetbook van strafreht Belanda, maka
memakai istilah aslinya pun sama yaitu strafbaar feit. Tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang mempunyai dua unsur dan dua sifat yang berkaitan, unsur-unsur
yang ada pada dasarnya dapat dibagi dua macam, yaitu unsur-unsur subyektif dan
unsur-unsur objektif:
1. Subyektif, yaitu berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya
yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya;
2. Objektif, yaitu unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan keadaan-keadaan yaitu dalam keadaan-keadaan mana
tindakan dari si pelaku dilakukan.
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis
normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau
kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah
17
dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang
hidup dimasyarakat secara konkret.1 Moeljatno mengatakan “perbuatan pidana
(tindak pidana) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa
melanggar larangan tersebut”.
Pompe mengatakan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu:
1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar yang diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatanyang dapat dihukum.
Berdasarkan pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar diatas,
dapat diketahui bahwa pada tataran teoritis tidak ada kesatuan pendapat di antara
para pakar hukum dalam memberikan definisi tentang tindak pidana para pakar
hukum terbagi dalam 2 (dua) pandangan/aliran yang saling bertolak belakang,
yaitu:
1. Pandangan/Aliran Monistis, yaitu:
Pandangan/aliran yang tidak memisahkan antara pengertian perbuatan pidana
dengan pertangungjawaban pidana.
2. Pandangan/Aliran Dualisme, yaitu:
Pandangan/aliran yang memisahkan antara dilarangnya suatu perbuatan pidana
(criminal act atau actus retus) dan dapat dipertanggujawabkan si pembuat
1
18
(criminal responsibility atau mens rea). Dengan kata lain pandangan dualistis
memisahkan pengertian perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana.
Dalam praktiknya peradilan pandangan dualistis yang sering diikuti dalam
mengungkap suatu perkara pidana (tindak pidana), karena lebih memudahkan
penegak hukum dalam menyusun suatu pembuktian perkara pidana.2
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Pandangan ini membawa konsekuensi dalam memberikan pengertian tindak
pidana. Aliran Monistis dalam merumuskan pengertian tindak pidana dilakukan
dengan melihat “keseluruhan syarat adanya pidana itu kesemuanya merupakan
sifat dari pembuat”, sehingga dalam merumuskan pengertian tindak pidana ia
tidak memisahkan unsur-unsur tindak pidana, mana yang merupakan unsur
perbuatan pidana dan mana yang unsur pertanggungjawaban pidana. Aliran
dualistis dalam memberikan pengertian tindak pidana memisahkan antara
perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Menurut Simons unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:
1. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
2. Diancam dengan pidana; 3. Melawan hukum;
4. Dilakukan dengan kesalahan;
5. Orang yang mampu yang bertanggungjawaban.
Moeljatno merumuskan unsur-unsur perbuatan pidana/tindak pidana sebagai
berikut:
2
19
1. Perbuatan (manusia);
2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil);dan
3. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materil)3.
Orang yang melakukan tindak pidana (yang memenuhi unsur-unsur tersebut tidak
diatas) harus dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana agar dapat
dipidana. Jadi unsur pertanggungjawaban pidana ini melekat pada
orangnya/pelaku tindak pidana. Adapun unsur-unsur pertannggungjawaban pidana
meliputi :
1. Kesalahan;
2. Kemampuan bertanggungjawab.
Kedua aliran/pandangan tersebut tidak terdapat perbedaan yang
mendasar/prinsipil. Perlu diperhatikan adalah bagi mereka yang menganut aliran
yang satu, hendaknya memegang pendirian itu secara konsekuen, agar tidak ada
kekacauan pengertian. Dengan demikian dalam mempergunakan istilah “Tindak
Pidana” haruslah pasti bagi orang lain. Apakah istilah yang dianut menurut
aliran/pandangan Monistis aturan Dualistis. Bagi orang yang menganut aliran
monistis, seseorang yang melakukan tindak pidana itu sudah dapat dipidana,
sedangkan bagi orang yang menganut pandangan dualistis, sama sekali belum
mencukupi syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang
berbuat.
Aliran/pandangan Dualistis lebih mudah untuk diterapkan, karena secara
sistematis membedakan antara perbuatan pidana (tindak pidana) dengan
pertanggungjawaban pidana. Sehingga memudahkan dalam penuntutan dan
3Ibid
20
pembuktian tindak pidana yang dilakukan.4 Dalam konsep KUHP 2008 pengertian
tindak pidana telah dirumuskan dalam Pasal 11 Ayat (1) sebagai berikut: “Tindak
pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu oleh peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana.
B. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana 1. Penegakan Hukum dan Penegakan Hukum Pidana
Penegakan hukum adalah badan yang berwenang dan berhubungan dengan
masalah peradilan yang tugasnya menyelasaikan konflik atau perkara hukum.
Hukum dapat tercipta bila masyarakat sadar akan hukum tanpa membuat kerugian
pada orang lain. Penegakan hukum di Indonesia tidak terlepas dari peran para
aparat penegak hukum. Menurut Pasal 1 Bab 1 KUHAP, yang dimaksud aparat
penegak hukum oleh undang-undang ini sebagai berikut:
1. Penyidik ialah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
Negeri Sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang
untuk melakukan penyelidikan.
2. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh hukum tetap.
3. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan ketetapan hakim.
4
21
4. Hakim yaitu pejabat peradilan negara yang diberi kewengan oleh
undang-undang untuk mengadili.
5. Penasehat hukum ialah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh
undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak
hukum dan aparat penegak hukum. Secara arti sempit, aparatur penegak hukum
yang terlibat dalam proses tegaknya hukum, dimulai dari aksi, polisi, penasehat
hukum, jaksa, hakim dan petugas sipil pemasyrakatan. Dalam proses bekerjanya
aparatur penegak hukum, terdapat tiga element penting yang mempengaruhi,
yaitu:
a. Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana prasarana
pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya.
b. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya termasuk mengenai kesejahteraan
aparatnya.
c. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun
yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum
materinya maupun hukum acaranya.
Penegakan hukum adalah usaha yang untuk mewujudkan ide-ide keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi, penegakan
hukum pada hakikatnya adalah proses mewujudkan ide-ide. Penegakan hukum
adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma
hubungan-22
hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan
hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Ditinjau dari sudut subyeknya:
a. Dalam arti luas, proses penegakan hukum melibatkan semua subjek hukum
dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan antara normatif
atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan
diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau
menegakakan anturan hukum.
b. Dalam arti sempit, penegakan hukum hanya diartikan sebagai upaya
aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa
sesuatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.
2. Ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya:
a. Dalam arti luas, penegakan hukum yang mencakup pada nilai-nilai keadilan
yang di dalamnya terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai
keadilan yang ada dalam bermasyarakat.
b. Dalam arti sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut pengakan
peraturan yang formal dan tertulis.
2. Faktor-Faktor Penegakan Hukum
Penegakan hukum di Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan,
karena banyak sekali faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum di
Indonesia. Berikut ini menurut Soerjono Soekanto faktor-faktor yang
23
1. Faktor Undang-Undang
Semakin baik suatu peraturan hukum akan semakin baik memungkinkan
penegakannya. Sebaliknya, semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan
semakin sukarlah menegakkan. Secara umum, peraturan hukum yang baik adalah
peraturan hukum yang berlaku secara yuridis, sosiologis, dan filosofis.
2. Faktor Penegak Hukum
Secara sosiologis setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status)
atau peranan (role). Kedudukan sosial merupakan posisi tertentu dalam struktur
masyarakat yang isinya adalah hak dan kewajiban. Penegakan hukum dalam
mengambil keputusan diperlukan penilaian pribadi yang memegang peranan
karena:
a. Tidak ada perundingan undang-undang yang sedemikian lengkap, sehingga
dapat mengatur perilaku manusia.
b. Adanya hambatan untuk menyelesaikan perundang-undanagan perkembangan
masyarakat sehingga menimbulkan ketidakpastian.
c. Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan.
d. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan khusus.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Sarana atau fasilitas antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan
dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang
cukup dan seterusnya. Kalau hal-hal iti tidak terpenuhi maka mustahil penegak
24
penegak hukum tidak akan dapat berjalan lancar, dan penegak hukum tidak bisa
berjalan dengan sempurna.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untik mencapai
kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu
maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Apabila warga
masyarakat telah mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka maka
mereka juga akan mengetahui aktifitas-aktifitas pengunaan upaya-upaya hukum
untuk melindungi, memenuhi dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan mereka
dengan aturan yang ada. Hal itu semuanya biasanya disamakan kompetensi
hukum yang tidak mungkin ada apabila warga masyarakat:
a. Tidak mengetahui atau tidak menyadari apabila hak-hak mereka dilanggar atau
ditunggu.
b. Tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi
kepentingan-kepentingannya.
c. Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor
keuangan, psikis, sosial atau politik.
d. Tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi yang
memperjuangkan kepentingan-kepentingannya.
e. Mempunyai pengalaman-pengalaman kurang baik di dalam proses interaksi
25
5. Faktor Kebudayaaan
Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi yang abstrak
mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap
buruk (sehingga dihindari). Maka, kebudayaan Indonesia merupakan dasar atau
mendasari hukum adat yang berlaku, disamping itu berlaku pula hukum tertulis
(perundang-undang), yang dibentuk oleh golongan tertentu dalam masyarakat
yang mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk itu.
Pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law
enforcement saja, akan tetapi juga peace maintenance, karena penyelenggaraan
hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai,
kaidah-kaidah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
Dengan demikian tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat
diselesaikan oleh hukum yang tertulis karena tidak mungkin ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya
jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan
untuk mencapai peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.
C. Pengertian Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
26
menemukan tersangkanya.5 Sesungguhnya tujuan dalam melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana diharapkan dapat diperoleh keterangan–keterangan berupa:
a. Jenis dan kualitas tindak pidana yang terjadi b. Waktu tindak pidana dilakukan
c. Tempat terjadinya tindak pidana d. Dengan apa tindak pidana dilakukan e. Alasan dilakukannya tindak pidana f. Pelaku tindak pidana
Penyidikan terhadap tindak pidana media sosial (cybercrime) selain dilaksanakan
berdasarkan ketentuan yang diatur mengenai penyidikan yang terdapat dalam
KUHAP juga dilaksanakan berdasarkan ketentuan khusus mengenai penyidikan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, hal ini dilakukan agar penyidikan dan hasilnya dapat
diterima secara hukum.
D. Pengertian Tindak Pidana Asusila
Delik-delik pelanggaran kesusilaan diatur dalam Pasal 281-283 KUHP sekarang.
Ketentuan ini mengatur persoalan pelanggaran kesusilaan yang berkaitan dengan
tilisan, gambar, atau benda yang melanggar kesusilaan. Selain itu delik
pelanggaran kesusilaan diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang ITE
(Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik). Ketentuan ini mengartur
persoalan dengan sengaja dan tanpa mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
yang memiliki muatan yang melanngar kesusilaan.
5
27
Delik asusila berarti tindak pidana berupa pelanggaran asusila. Pelanggaran
asusila dalam pengertian disini adalah suatu tindakan yang melanggar kesusilaan
yang jenis dan bentuk-bentuk pelanggaran juga sanksinya telah diatur dalam
KUHP. Ketentuan-Ketentuan pidana yang diatur dalam KUHP tersebut dengan
sengaja telah dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk
memberikan perlindungan terhadap tindakan-tindakan asusila atau ontruchte
handelingen dan terhadap perilaku-perilaku baik dalam bentuk kata-kata maupun
dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang menyinggung rasa susila karena
bertentangan dengan pandangan orang tentang keputusan-keputusan dibidang
kehidupan seksual, baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat dimana
kata-kata itu telah diucapkan atau dimana perbuatan itu telah dilakukan, maupun
ditinjau dari segi kebiasaan masyarakat setempat dalam menjalankan kehidupan
seksual mereka.6
Roeslan Saleh mengatakan pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada
pengertian kesusilaan dalam bidang seksual, tetapi juga meliputi hal-hal yang
termasuk dalam penguasaan norma-norma keputusan bertingkahlaku dalam
pergaulan masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa delik
kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan (masalah) kesusilaan.
Sedangkan pengertian dan batas-batas kesusilaan itu cukup luas dan dapat,
berbeda-beda menurut pandanngan dengan nila-nilai yang berlaku di masyarakat.
Pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana mengandung pelanggaran terhadap
nilai-nilai kesusilaan, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu sendiri
6
28
merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal (das recht ist das ethische
minimum).7
Masyarakat secara umum menilai kesusilaan sebagai bentuk penyimpangan/
kejahatan, karena bertentangan dengan hukum dan norma-norma yang hidup
dimasyarakat. Perkataan, tulisan, gambar, dan perilaku serta produk atau
media-media yang bermuatan asusila dipandang bertentangan dengan nilai moral dan
rasa kesusilaan masyarakat. Sifat asusila yang hanya menampilkan sensualitas,
seks dan eksploitasi tubuh manusia ini dinilai masih sangat tabu oleh masyarakat
yang masih menjujung tinggi nilai moral. Menurut Simons kriterium eer
boarheid (kesusilaan) menuntut bahwa isi dan pertunjukan mengenai kehidupan
seksual dan oleh sifatnya yang tidak senonoh dapat menyinggung rasa malu
kesusilaan orang lain.
Kejahatan terhadap kesusilaan meskipun jumlahnya relatif tidak banyak yang jika
dibandingkan dengan kejahatan terhadap harta benda (kekayaan) namun sejak
dahulu sampai sekarang sering menimbulkan kekhawatiran, khusunya para orang
tua. Delik kesusilaan menutut D. Simons orang yang telah kawin yang melakukan
perzinahan dengan orang yang telah kawin pula, tidak dapat dihukum sebagai
turut melakukan dalam perzinahan yang dilakukan oleh orang yang tersebut
terakhir. Delik kesusilaan diatur dalam bab XIV buku II KUHP dengan judul
“kejahatan terhadap kesusilaan” yang dimulai dengan Pasal 281 KUHP sampai
dengan Pasal 297 KUHP.
7
29
Merusak kesusilaan di depan umum, menurut Mr. J.M Van Bemmelen,
mengatakan “pelanggaran kehormatan kesusilaan di muka umum adalah
terjemahan dari “outtrange public a la pudeur” dalam Pasal 330 Code Penal. Hal
ini dapat ditafsirkan sebagai “ tidak ada kesopanan di bidang seksual”. Jadi sopan
ialah tindakan atau tingkah laku untuk apa seseorang tidak usah malu apabila
orang lain melihatntya atau sampai mengetahuinya dan juga oleh karenanya
orang lain umumnya tidak akan terperanjat apabila melihat atau sampai
mengetahuinya.8
E. Pengertian Media Sosial
Pesatnya perkembangan media sosial kini dikarenakan semua orang biasa
memiliki media sendiri. Jika untuk memiliki media tradisioanal seperti televisi,
radio, atau koran dibutuhkan modal yang besar dan tenaga kerja yang banyak,
maka hal lainya dengan media. Seorang pengguna media sosial bisa mengakses
menggunakan media sosial dengan jaringan internet bahkan yang aksesnya
lambat sekalipun, tanpa biaya besar, tanpa alat mahal, dan dilakukan sendiri tanpa
karyawan. pengguan media sosial dengan bebas mengedit, menambahkan,
memodifikasikan, baik tulisan maupun gambar, video, grafis, dan berbagai model
content lainya.9
Istilah lain media sosial adalah “jejaring sosial” (social network), yakni jaringan
dan jalinan hubungan secara online di internet karenanya menurut wikipedia,
media sosial adalah sebuah media online, dengan mudah berpartisipasi, berbagi
8
Laden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan, dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta:2008.hlm 32
9
30
(sharing), dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum, dan
dunia virtual. Blog, jejaring sosial, dan wiki merupakan bentuk media sosial yang
paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.
Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, Informasi Elektronik adalah satu atau
sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, electronik data inetrachange (EDI), surat
electronik (electronik mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenis huruf, tanda,
angka, kode akses, simbol, atau profesi yang telah diolah yang memiliki arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya dan menurut Pasal 1 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/ atau media elektronik lainnya.
Barda Nawawi Arief menunjuk pada kerangka (sistematik) Draft Convention on
Cyber Crime dari Dewan Eropa (Draft No. 25, Desember 2000). Beliau
menyamakan peristilahan antara keduanya dengan memberikan definisi
cybercrime sebagai “crime related to technology, computers, and the internet”
atau secara sederhana berarti kejahatan yang berhubungan dengan teknologi,
komputer dan internet.10
Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang berbasis
komputer dan jaringan telekomunikasi dalam beberapa literatur dan praktiknya
dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain:
10
31
1. Unauthorized access to computer system and service, yaitu kejahatan yang
dilakukan kedalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa
izin, atau tanpa pengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang
dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker) melakukannya dengan
maksud sabotase atau pun mencuri informasi penting dan rahasia. Namun
begitu, ada juga yang melakukannya hanya karena merasa tertantang untuk
mencoba keahliannya menembus suatu sistem yang memiliki tingkat proteksi
tinggi. Kejahatan ini semakin marak dengan berkembangnya teknologi
internet.
2. Infringements of privacy, yaitu kejahtan yang ditujukan terhadap informasi
seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini
biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan
pada formulir data pribadi yang tersimpan secara komputerisasi, yang apabila
diketahui oleh orang lain, maka dapat merugikan orang secara material
maupun immaterial, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, keterangan
tentang cacat atau penyakit tersembunyi, dan sebagainya.
3. Illegal contens, yaitu kejahatan dengan memasukan data atau informasi ke
internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dianggap
melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Sebagai contohnya
adalah:
a. Pemuatan suatu berita bohong atau fitnah yang akan menghancurkan
martabat atau harga diri pihak lain.
32
c. Pemuatan suatu informasi yang merupakan rahasia negara, agitasi, dan
propaganda untuk melawan pemerintah yang sah dan sebagainya.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (selanjutnya disebut Undang-Undang ITE) yang di dalamnya mengatur
berbagai aktivitas yang dilakukan dan terjadi di dunia maya (cyberspace),
termasuk pelanggaran hukum yang terjadi. Salah satu pelanggaran hukum tersebut
adalah setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
menstramisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi eletronik dan/atau
dokumen eletronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan Pasal 27
Ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentramisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Pasal 27 Ayat (3) Undang-
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.1
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris guna
memperoleh hasil penelitian yang benar dan objektif.
Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara melihat, menelaah, dan
mengkaji bahan-bahan sekunder berupa hal-hal yang bersifat teoritis yang
menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, dan doktrin-doktrin hukum,
peraturan hukum, dan sistem hukum yang berkaiatan dengan pokok bahasan yang
diteliti. Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan cara penelitian lapangan,
yaitu dengan mempelajari hukum dalam kenyataan melihat fakta-fakta yang ada
dengan yang berkaitan dengan analisis penegakkan hukum pidana pada tahap
penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial.
1
34
B. Sumber dan Jenis Data
Jenis data dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh
langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka. Data
tersebut yaitu:
1. Data primer
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitian
yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini. Data
tersebut penulis diharapkan dapat diperoleh dari masyarakat atau instansi
terkait langsung dengan permasalahan dalam skripsi, dalam analisis penegakan
hukum pidana pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media
sosial.
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh langsung dilapangan, tetapi
data yang diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat meliputi:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
35
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti buku, internet, hasil penelitian, serta hasil
wawancara kepada dosen, jaksa dan hakim mengenai analisis penegakkan
hukum pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media
sosial.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa pendapat
para sarjana, literatur-literatur, kliping-kliping, koran, artikel-artikel di
internet dan hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang akan
dibahas dan diteliti dalam skripsi ini.
C. Penentuan Narasumber
Penentuan narasumber penelitian ini adalah para aparat penegak hukum seperti
polisi, kemudian dosen bagian hukum pidana yang mengerti mengenai masalah
kriminalisasi terhadap perbuatan asusila melalui media sosial.
Adapun responden dalam penelitian ini sebanyak 3 (empat orang) :
1. Penyidik Direktorat Reskrimsus Polda Lampung = 2 orang
2. Akademisi Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung = 1 orang +
36
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan
Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan
mengunakan dua cara sebagai berikut:
a. Studi lapangan (Field Research)
Sumber data lapangan yang dilakukan dengan wawancara (Interview) dengan
mengajukan pertanyaan lisan atau tertulis sebagai salah satu pertimbangan
hukum dari penegak hukum yang berkaitan dengan penegakkan hukum pada
tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial.
b. Studi kepustakaan (Library Research)
Sumber data yang diperoleh dari hasil penelaahan beberapa literatur dan
sumber bacaan lainnya mendukung penulisan ini dengan cara membaca,
mencatat, dan mengutip dari berbagai litelatur, perundang-undangan dan bahan
tertulis yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.
2. Pengolahan Data
Setelah data terkumpul baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data
diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Editing, yaitu memeriksa lagi kelengkapan, kejelasan, dan relevensi dengan
penelitian.
b. Klasifikasi data, yaitu mengklasifikasikan mengelompokan data yang diperoleh
37
c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada
setiap pokok secara sistematis mempermudah interprestasi data dan tercipta
keteraturan dalam menjawab permasalahan.
E. Analisis Data
Data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder dianalisis dengan
analisis secara kualitatif artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk
penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk
diinterpretasikan dan ditarik simpulan mengenai penegakan hukum pada tahap
penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial. Dari hasil analisis
dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif, yaitu cara berfikir dalam
mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai analisis penegakan
hukum pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial
maka dapat diambil kesimpulan:
Penegakan hukum pidana terhadap perbuatan asusila melalui media sosial
melanggar rumusan hukum pidana diatur dalam ketentuan Pasal 27 Ayat (1), (3)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
dan Pasal 15 Ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Tindak pidana asusila melalui media sosial adalah perbuatan dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki
muatan melanggar kesusilaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). Terhadap perbuatan tersebut berdasarkan Pasal 45 ayat (1)
UU ITE dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
60
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis mengemukakan saran-saran sebagai
alternatif pemecahan masalah di masa yang akan datang yaitu agar aparat penegak
hukum pidana perlu adanya tindakan yang lebih konkrit dan pro aktif supaya
penegakan hukum itu lebih maksimal. Jika nilainya baik, maka akan baik pula
penegakan hukum pidana demikian sebaliknya. Hal ini menujukkan betapa
pentingnya kedudukan nilai dalam mewujudkan dalam penegakan hukum pidana
yang baik. Pemerintah dalam hal ini juga berperan penting terutama dalam
kebijakan kriminalisasi yang dirumuskan dalam Undang-Undang harus
memperhatikan aspek-aspek lain diluar aspek hukum agar Undang-Undang
tersebut berjalan dengan efektif untuk mendukung pembangunan manusia