STUDI REPRODUKSI BEKANTAN
(Nasalis larvatus) DI HABITAT EX-SITU
GITA NELFA AFRILIA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Studi Reproduksi Bekantan (Nasalis larvatus) di Habitat Ex-situ adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2011
Gita Nelfa Afrilia
Gita Nelfa Afrilia (B04063403) Reproductive Studies Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) in Habitat Ex-situ. Under the Guidance of Ligaya ITA Tumbelaka and Yohana Trihastuti
This study aims to explore the reproductive bekantan (Nasalis larvatus) in ex-situ habitat was held at Taman Safari Indonesia. The method is carried out observations, interviews and processing secondary data on the age of sexual maturity, mating behavior and duration of gestation and lactation and playback support, factors as feed and caging. The results is female becoming adult at an average of 6 years old, and mating behavior will be seen by herself put the sullen facial expression. Then the female will approach the dominant male in the marriage. Length 7 months of pregnancy and lactation period of 1.5 years. These data are in accordance with the literature bekantan reproduction in their natural habitat. So the maintenance TSI as ex-situ habitat has also marked by the inability of animals classified as endangered in CITES Appendix I to adapt to and breed in habitats ex-situ.
Gita Nelfa Afrilia (B04063403) Studi Reproduksi Bekantan (Nasalis larvatus) di Habitat Ex-situ. Di bawah Bimbingan Ligaya ITA Tumbelaka dan Yohana Trihastuti
Studi yang bertujuan untuk mempelajari reproduksi bekantan (Nasalis larvatus) di habitat ex-situ dilaksanakan di Taman Safari Indonesia. Metode yang dilakukan adalah pengamatan, wawancara dengan dokter hewan dan perawat satwa dan mengolah data sekunder mengenai umur dewasa kelamin, perilaku perkawinan, masa kebuntingan, masa laktasi serta faktor pendukung reproduksi berupa pakan dan perkandangan. Hasil yang diperoleh adalah betina menunjukkan umur dewasa kelamin rata-rata 6 tahun, dengan perilaku kawin seperti betina akan terlihat menyendiri dan memasang mimik muka yang cemberut. Kemudian betina akan mendekati pejantan dominan untuk dikawini. Lama kebuntingan adalah 7 bulan dan masa laktasi 1,5 tahun. Data-data ini sesuai dengan literatur reproduksi bekantan di habitat aslinya. Jadi pemeliharaan di TSI sebagai habitat ex-situ sudah baik ditandai dengan mampunya bekantan yang tergolong Appendix I yaitu satwa terancam punah dalam CITES untuk beradaptasi dan bereproduksi di habitat ex-situ.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
(Nasalis larvatus) DI HABITAT EX-SITU
GITA NELFA AFRILIA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi : Studi Reproduksi Bekantan (Nasalis larvatus) di Habitat
Ex-situ
Nama : GITA NELFA AFRILIA
NRP : B04063403
Menyetujui,
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc drh. Yohana Tri Hastuti Ketua Anggota
Diketahui
Dr. Dra. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah, rahmat
dan hidayah-Nya yang diberikan, sehingga penyusunan dan penulisan skripsi
dengan judul Studi Reproduksi Bekantan (Nasalis larvatus) di Habitat Ex-situ
dapat diselesaikan.
Skripsi ini disusun dengan metode studi pustaka atas inisiatif, kecintaaan
sekelompok mahasiswa terhadap keberadaan satwa liar dan rasa keingintahuan
penulis tentang reproduksi bekantan dan permasalahannya pada habitat ex-situ
yaitu di Taman Safari Indonesia. Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan
informasi berharga mengenai reproduksi bekantan dan permasalahannya serta
dapat bermanfaat dalam menjaga kelestarian spesiesnya.
Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis tidak dapat melupakan
jasa-jasa dari seluruh pihak yang telah membantu. Oleh karena itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
- ALLAH S.W.T atas segala rahmat dan karunia-NYA
- Kedua Orang tua tercinta Fauzi S.pd dan Nelita serta adik-adik tersayang
Danti, Tari dan Rara atas segala dukungan, nasihat dan kasih sayang.
- Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc dan drh. Yohana Trihastuti
sebagai dosen pembimbing yang memberikan bantuan dan pengarahan dalam
penulisan skripsi ini hingga selesai.
- Staf Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor ( Pak Dedi dan Mas Imam)
sebagai narasumber dalam wawancara hasil skripsi.
- Dr.Dra.Hj. Ietje Wientarsih M.sc A.pt selaku pembimbing akademik.
- Orang-orang terdekat ( Hadi, Cipo, Achie, Abhe, Mamato, Mput, ka Devis,
Ika, Tika, Putra, Melon), terima kasih atas bantuan, motivasi dan
semangatnya.
- Teman-teman “Aesculapius”, 42, dan 44, terima kasih atas pelajaran dan
membangun. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang
membutuhkannya.
Bogor, Januari 2011
Penulis dilahirkan di Lintau, Sumatera Barat pada tanggal 27 April 1988
dari ayah Fauzi S.pd dan ibu Nelita. Penulis merupakan anak pertama dari empat
bersaudara.
Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan TK Aisyiah Balai Tengah pada
tahun 1994, dan SDN 40 Balai Tengah pada tahun 2000, serta SLTPN 1 Lintau
pada tahun 2003. Pada tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan di SMU
Negeri 1 Lintau dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa IPB
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2007 penulis
diterima sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan IPB melalui seleksi mahasiswa
Mayor-Minor.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif pada berbagai kepanitiaan dan
organisasi di dalam kampus. Penulis juga aktif dalam Himpunan Profesi Satwa
Liar (SATLI) FKH IPB mulai dari tahun 2007 hingga saat ini dan Komunitas Seni
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR TABEL ... v
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan dan Manfaat ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Habitat Ex-situ ... 4
Taksonomi ... 4
Morfologi ... 5
Habitat dan Pakan ... 9
Traktus Pencernaan ... 9
Tingkah Laku ... 10
Persebaran ... 11
Reproduksi ... 12
Perilaku kawin ... 13
Kebuntingan ... 13
Plasentasi ... 14
Kelahiran ... 14
Laktasi ... 14
Perilaku Sosial ... 15
METODOLOGI ... 16
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17
RANGKUMAN DAN SARAN ... 30
Rangkuman ... 30
Saran ... 30
1 Bekantan jantan dewasa ... 7
2 (a) Bekantan betina dewasa, (b) Bayi bekantan... 8
3 Anatomi traktus pencernaan Bekantan ... 10
4 Peta persebaran Bekantan di Pulau Kalimantan ... 12
5 (a) Boky, jantan dominan di TSI; (b) Betina dewasa dan anak-anak di TSI ... 19
6 Kandang anjungan kalimantan ... 21
7 (a) Kandang tidur individu bekantan; (b) kandang jepit bekantan ... 22
8 Pakan Bekantan ... 23
9 Perilaku kawin Bekantan ... 26
10 Fetus dan plasenta Bekantan ... 27
Latar belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai keanekaragaman
hayati yang cukup tinggi baik flora maupun fauna. Sumber daya alam yang
dimiliki merupakan anugerah Tuhan yang perlu disyukuri dan dimanfaatkan
secara lestari. Pemanfaatan sumber daya yang tidak seimbang dapat
mengakibatkan pergeseran ekosistem yang mengancam keberadaan mahluk hidup
disekitarnya. Pertambahan penduduk dan kemajuan ilmu pengetahuan telah
meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan
manusia sekaligus memberikan dampak negatif terhadap kelestarian
keanekaragaman hayati.
Ordo primata dibagi ke dalam tiga subordo yaitu Prosimii, Tarsioidea dan
Anthropoidea yang masing-masing memiliki ciri-ciri tertentu. Bekantan (Nasalis
larvatus) atau Proboscis monkey merupakan primata endemik pulau Kalimantan
yang termasuk ke dalam famili Cercopithecidae, sejenis monyet berhidung
panjang dengan rambut berwarna cokelat kemerahan dan merupakan satu dari dua
spesies dalam genus tunggal monyet Nasalis (Suradijono 2004). Monyet ini
merupakan primata liar yang berhabitat di Kalimantan, Sabah, Serawak, dan
Brunei Darussalam. Bekantan tersebar luas di hutan-hutan sekitar muara atau
pinggiran sungai di Kalimantan. Di Kalimantan Selatan, bekantan dapat
ditemukan di daerah hutan rawa dan pinggiran sungai Pulau Kaget dan Pulau Laut
(Supriatna dan Edy 2000). Struktur sosial bekantan dapat terdiri dari kelompok
yang kecil, terkadang bergabung menjadi kelompok yang besar. Dalam kegiatan
hariannya mereka membentuk kelompok kecil dengan anggota 8 ekor yang terdiri
dari beberapa ekor betina dan jantan dewasa (Alikodra 1997).
Saat ini jumlah populasi bekantan terus mengalami penurunan (Soendjoto
2004). Penyebab utama penurunan populasi ini adalah akibat perbuatan manusia,
bencana alam, dan dapat diakibatkan oleh dinamika reproduksi di habitatnya
belum banyak terdata, apalagi informasi yang berkaitan dengan proses
perkembangbiakannya. Perbuatan manusia yang dapat mengurangi populasi
liar pada bekantan dan eksploitasi besar-besaran, akibat bencana alam yang terjadi
seperti kebakaran hutan, dan erosi (Shapiro 2008). Bekantan dalam CITES
(Convention of International Trade in Endangered Species of Wild Flora and
Fauna), yang merupakan daftar yang memuat seluruh spesies tumbuhan dan satwa
liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersial,
tergolong Appendix I yaitu diklasifikasikan sebagai satwa yang terancam punah.
Bekantan dilindungi peraturan perundang-undangan RI, yaitu UU No. 5/1990
tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya. Surat Keputusan
Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972, SK Menteri Kehutanan No.
301/Kpts-II/1991 (10 Juni 1991), SK Menteri Kehutanan No.882/Kpts-11/1992
(08 September 1992), serta PP No. 7/1999 tentang Jenis-jenis Tumbuhan dan
Satwa yang Dilindungi (Soendjoto 2004).
Upaya untuk mengurangi kesenjangan informasi berkaitan dengan biologi
bekantan masih perlu ditingkatkan. Salah satu cara adalah membandingkannya
dengan primata lainnya yang berdekatan familinya walaupun masih terbentur pada
keanekaragaman sistem reproduksi, sistem fisiologi seperti proses respirasi,
digesti dan sirkulasi. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mempertahankan
populasi bekantan adalah dengan mengelola satwa di habitat ex-situ. Pengelolaan
satwa di ex-situ diantaranya adalah dengan cara membangun pusat penyelamatan
satwa, kebun binatang, taman satwa, dan pusat penangkaran.
Reproduksi adalah suatu kemewahan fungsi tubuh yang secara fisiologi
tidak vital bagi kehidupan individual tetapi sangat penting bagi kelanjutan suatu
jenis atau bangsa hewan. Pada umumnya reproduksi baru dapat berlangsung
sesudah hewan mencapai masa pubertas dan diatur oleh kelenjar-kelenjar
endokrin dan hormon yang dihasilkannya. Secara normal perkembangan dan kerja
organ reproduksi mengikuti suatu siklus, umumnya dimulai dari proestrus, estrus,
metestrus, dan diestrus mengikuti kerja dari berbagai hormon-hormon reproduksi
(Toelihere 1981).
Fungsi normal sistem reproduksi tidak dipentingkan untuk homeostasis
sehingga tidak penting bagi kelangsungan hidup individu, tetapi penting bagi
kelangsungan hidup suatu spesies. Hanya melalui sistem reproduksilah cetak biru
dari setiap anggota spesies tersebut. Kemampuan reproduksi tiap hewan
bergantung pada hubungan yang kompleks antara berbagai organ terkait juga
sistem tubuh lainnya yakni: hipotalamus, hipofisis, organ reproduksi, sel sasaran
hormon seks, juga dipengaruhi kontrol saraf dan hormon (Sherwood 2001).
Peningkatan populasi dan konservasi bagi kelestarian bekantan
membutuhkan informasi mengenai reproduksi yang memadai, namun informasi
tersebut belum banyak diteliti oleh para ilmuwan. Salah satu upaya untuk
melengkapi informasi tersebut adalah dengan mengamati reproduksi bekantan di
habitat ex-situ.
Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui reproduksi bekantan (Nasalis
larvatus) pada habitat ex-situ: perilaku perkawinan, masa kebuntingan dan masa
laktasi. Manfaat yang dapat diberikan dari penulisan studi ini adalah informasi
mengenai reproduksi bekantan dan cara pemeliharaan yang baik di habitat ex-situ
Habitat ex-situ
Habitat ex-situ merupakan tempat tinggal satwa yang bukan alam
aslinya, tetapi dibuat senyaman mungkin agar satwa merasa seperti berada di
habitat aslinya. Habitat ex-situ berfungsi untuk melindungi satwa yang
hampir punah di alam, dengan melalui proses pengembangbiakan, dan juga
melakukan pendidikan. Kebun binatang, taman satwa, pusat penyelamatan
satwa, pusat pelatihan satwa, dan penangkaran satwa merupakan habitat
ex-situ.
Taman Safari Indonesia sebagai obyek wisata nasional yang diresmikan
oleh Soesilo Soedarman, Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi
merupakan salah satu habitat ex-situ bagi satwa liar. Lebih jauh, Taman Safari
Indonesia I yang berlokasi di Desa Cibeureum Kecamatan Cisarua,
Kabupaten Bogor juga telah diresmikan menjadi Pusat Penangkaran Satwa
Langka di Indonesia oleh Hasyrul Harahap, Menteri Kehutanan pada masa
itu, pada tanggal 16 Maret 1990. Taman Safari ini dibangun pada tahun 1980
pada sebuah perkebunan teh yang sudah tidak produktif. Taman ini menjadi
penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang terletak pada
ketinggian 900-1800 m diatas permukaan laut, serta mempunyai suhu
rata-rata 16oC-24oC. Sebagai pusat penangkaran satwa langka, Taman Safari Indonesia berperan dalam menangkarkan satwa endemik seperti harimau
sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan juga menunjang perkembangbiakan
berbagai spesies seperti elang jawa (Spizaetus bartelsi), macan tutul jawa
(Panthera pardus melas), orang utan (Pongo pygmaeus), dan bekantan
(Nasalis larvatus).
Taksonomi
Ordo primata dibagi ke dalam tiga subordo yaitu Prosimii, Tarsioidea dan
Anthropoidea yang masing-masing memiliki ciri-ciri tertentu. Anthropoidea
Super famili Cercopithecoidea (Old World Monkey) memiliki satu famili
Cercopithecidae (Napier dan Napier 1985).
Bekantan merupakan primata endemik pulau Kalimantan yang termasuk
ke dalam famili Cercopthecidae. Klasifikasi bekantan dalam Suradijono tahun
2000 adalah:
Bekantan dikenal juga dengan monyet belanda, bakara, paikah, rasung,
batangan, kahau atau dalam bahasa inggris disebut proboscis monkey. Bekantan
memiliki ciri-ciri morfologi bentuk hidung yang unik dan panjang dimana hidung
besarnya memiliki fungsi untuk memberikan daya tarik kepada betinanya. Muka
bekantan dewasa berwarna merah muda pucat sedangkan pada bayi berwarna biru
tua. Wajah bekantan memiliki wajah dengan sebuah profil lurus dan rahang yang
jelas. Tulang hidung panjang dan lurus dibandingkan dengan genus Presbytis
yang tulang hidungnya lebih pendek. Lekuk mata bagian dalam relatif sempit
dibandingkan dengan jenis-jenis Colobinae lainnya kecuali genus Simias. Susunan
gigi seri, taring, premolar dan molar (geraham) adalah 2/2; 1/1; 2/2; 3/3, jumlah
32 buah (Napier dan Napier 1967).
Warna bulu bekantan sangat bervariasi. Bagian bahu dan punggung atas
berwarna cokelat kemerahan, ujung-ujung bulunya berwarna merah kecokelatan
sedangkan dua pertiganya berwarna abu-abu, punggung berwarna kuning
keabuan, perut berwarna kekuningan atau abu-abu kadang ada bagian yang
berwarna kuning kecokelatan, tangan dan kaki putih kekuningan, kepala berwarna
keputih-putihan, terutama pada jantan dewasa (Payne et al. 2000). Ketika duduk di pohon
ekornya bergantung vertikal ke bawah (Yasuma dan Alikodra 1990; Payne et al.
2000).
Umumnya bekantan memiliki badan yang ramping dan ekor panjang,
ekornya lebih panjang daripada badan dan kepala. Bekantan jantan yang sudah
lewat dewasa berperut buncit, hal ini dikarenakan daun-daun yang merupakan
bahan makanan bekantan mempunyai nutrien yang rendah sehingga untuk
memenuhi kebutuhan energi dan nutriennya, bekantan harus makan daun–daunan
dalam jumlah yang banyak. Kebutuhan pakan bekantan adalah 900 g basah atau
270.252 g berat kering pakan dengan kalori 1.066,82 kcal/hari atau 120,68 kcal/kg
bobot badan (Bismark 1994). Bekantan dewasa dapat mengeluarkan suara seperti
sapi melenguh pendek.
Bekantan merupakan satwa sexually dimorphic yaitu jantan dan betina
memiliki perbedaan ukuran dan bentuk tubuh (Bismark 1994). Bobot tubuh betina
dewasa yaitu 8,650-11,790 kg, hampir setengah bobot tubuh jantan dewasa yaitu
11,700-23,806 kg (Napier dan Napier 1967), sedangkan bobot tubuh jantan
setengah dewasa hampir sama dengan tubuh betina dewasa (Bismark 1994).
Panjang kepala sampai badan pada jantan dewasa 555-723 mm dan pada betina
dewasa dengan panjang kepala sampai badan 540-605 mm. Panjang ekor jantan
dewasa 660-745 mm dan panjang ekor betina dewasa 570-620 mm (Napier dan
Napier 1967). Hidung jantan dewasa berbentuk seperti ubi menggantung dan
berukuran panjang, panjang hidungnya dapat mencapai 7,5 cm sedangkan betina
dewasa hidungnya kurang berkembang dan agak mengarah keatas (slighty
upturned).
Bekantan dewasa yang memiliki hidung paling besar berhak dinobatkan
menjadi pemimpin kelompok. Tangan bekantan bersifat prehensile yaitu dapat
memegang benda dengan jari tangannya, tangan digunakan dalam makan untuk
memetik daun-daunan, dan memasukkannya ke dalam mulut selain itu tangannya
digunakan sebagai alat lokomosi.
Yeager (1990) membagi bekantan berdasarkan parameter umur, yaitu:
1. Jantan Dewasa: Hidung besar (telah berkembang sempurna), alat kelamin
berbentuk segitiga pada bagian pinggul, lapisan lemak terlihat jelas di
bagian punggung, dan berkembang otot paha yang kuat.
Gambar 1 Bekantan jantan dewasa Sumber: Molon 2009a
2. Jantan setengah dewasa: Ukuran tubuhnya sama atau lebih besar daripada
betina dewasa, alat kelamin luar tampak jelas, otot bagian paha lebih
berkembang dibandingkan dengan betina dewasa, hidung mulai membesar,
tidak ada lapisan lemak di bagian punggungnya.
3. Betina dewasa: Bobot badan relatif lebih kecil dibandingkan bobot badan
jantan dewasa (10-12 kg), puting susu tampak jelas, hidung lebih kecil dan
Gambar 2 (a) Bekantan betina dewasa, (b) Bayi bekantan Sumber: Molon 2009b dan Molon 2009c
4. Betina setengah dewasa: Ukuran tubuh lebih dari ¾ dewasa hampir sama
dengan betina dewasa.
5. Remaja: Ukuran tubuh setengah atau dua pertiga dari ukuran tubuh betina
dewasa. Sudah dapat berdiri sendiri (dalam berjalan), tetapi masih tidur
dengan induknya.
6. Anak/Bayi: Berumur 1,5 tahun atau kurang, bayi yang baru lahir memiliki
warna yang lebih gelap dan muka berwarna gelap tetapi terus memudar,
masih dekat dan bergantung dengan induknya.
Habitat dan Pakan
Habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik
maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat
hidup serta berkembangbiaknya satwa liar (Alikodra 2002). Bekantan hidup pada
habitat yang sangat terbatas pada tipe hutan rawa gambut, hutan bakau, dan hutan
di sekitar sungai. Kehidupannya sangat tergantung pada sungai, walaupun
sebagian kecil ada yang hidup di hutan dipterocarpaceae dan hutan kerangas,
namun masih berada di sekitar sungai. Hutan bakau yang disenangi oleh bekantan
adalah tipe riverine mangroove , dengan sungai yang cukup besar (Bismark 1995).
Napier dan Napier (1967), menjelaskan bahwa bekantan memiliki habitat
berupa hutan rawa dan hutan bakau, dan mudah ditemukan di dekat sungai, atau
pada vegatasi nipah dan rawa bakau sepanjang pantai, teluk-teluk atau daerah
pasang surut. Bekantan lebih suka berteduh di vegetasi bakau pada waktu siang
hari dan beristirahat di pohon rambai pada waktu malam hari. Hutan di tepi sungai
bagi bekantan adalah untuk tempat tinggal dan tempat berkomunikasi dalam
kelompoknya, dimana pasokan makanan yang disukai bekantan terdapat di habitat
tersebut. Daerah yang cenderung dihuni oleh bekantan berada di pedalaman,
relatif tidak terganggu, dan jauh dari sungai-sungai tempat berkembangnya
permukiman.
Pakan bekantan berupa daun-daunan dari pohon rambai atau pedada
(Sonneratia alba), ketiau (genus Motleyana), beringin (Ficus sp), lenggadai
(Braguiera parviflora), dan piai (Acrostiolum aureum) (Napier dan Napier 1985).
Traktus Pencernaan
Menurut Langer (1988) dalam Nijboerand Clauss (2006), anatomi sistem
pencernaan bekantan terdiri dari saccus gastricus, dengan atau tanpa presaccus
yang dibatasi oleh cardiac glandular mucosa merupakan tempat terjadinya
fermentasi. Kompartemen ini dihubungkan oleh sebuah tubus gastricus, bagian
terakhir yang dilapisi dengan kelenjar mukosa lambung, adalah pars pylorica
sebelum menuju duodenum. Selain mempunyai rangkaian perut yang telah
tambahan terjadinya fermentasi pakan oleh bakteri. Anatomi sistem pencernaan
bekantan seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Anatomi Traktus Pencernaan Bekantan Sumber: J. Nijboer dan M. Clauss (2006)
Apabila dibandingkan dengan hewan lain yang mempunyai foregut
fermented, perut colobinae merupakan perut dengan kapasitas yang kecil sehingga
harus makan dengan frekuensi yang tinggi. Berat dari forestomach adalah 6-8%
dari berat tubuh hewan. Hewan folivorous atau hewan yang mengonsumsi
daun-daunan mempunyai forestomach yang lebih besar dibandingkan dengan hewan
frugivorous yaitu hewan yang mengonsumsi buah-buahan. Derajat keasaman
perut bekantan sekitar 5,0-7,0. Dari hasil pencatatan Nijboer dan Clauss (2006),
derajat keasaman perut pada hewan yang mengonsumsi konsentrat dapat lebih
rendah.
Tingkah Laku
Perilaku bekantan dapat terlihat dari tiga sikap kesehariannya yang
menjadi tolak ukur perilaku bekantan, diantaranya adalah perilaku makan, tidur
dan bersosialisasi. Bekantan makan di ujung-ujung cabang, duduk pada awak
cabang atau ranting. Salah satu tangannya digunakan untuk berpegang pada
cabang atau ranting pada bagian atas, sedangkan tangan yang lainnya meraih
makanan. Kalau berada pada posisi yang sulit, kedua tangan akan berfungsi untuk
berpegangan dan makanan diambil menggunakan mulut. Bekantan lebih
menyukai pohon yang berada persis disamping sungai untuk tempat tidurnya.
Dalam satu pohon bisa dihuni oleh satu kelompok yang kira-kira berjumlah 4-12
ekor. Pembentukan jumlah individu dalam kelompok tempat tidur tergantung pada
keadaan pohon, seperti bentuk percabangan, tinggi pohon, kerimbunan pohon,
serta jarak antar pohon (Alikodra 1997).
Bekantan aktif pada siang hari dan umumnya di mulai dari pagi hari untuk
mencari makanan. Siang hari bekantan menyenangi tempat yang agak gelap atau
teduh untuk beristirahat. Menjelang sore hari, kembali ke pinggiran sungai untuk
makan dan memilih tempat tidur. Bekantan pandai berenang menyeberangi sungai
dan menyelam di bawah permukaan air.
Persebaran
Ada dua sub spesies bekantan yaitu Nasalis larvatus larvatus dan Nasalis
larvatus orientalis, persebaran bekantan di hutan-hutan sekitar muara sungai atau
pinggiran sungai di Kalimantan, muara sungai Brunei dan Pulau Sebatik Sabah.
Di Kalimantan Selatan, bekantan dapat ditemui di daerah hutan rawa, atau muara
dan pinggiran sungai Pulau Kaget dan Pulau Laut. Di Kalimantan Barat satwa ini
menempati daerah hutan bakau di dalam kawasan Taman Nasional Gunung
Palung, sedangkan di Kalimantan Tengah dapat di jumpai di Taman Nasional
Tanjung Puting, atau di sekitar Sungai Mahakam. Bekantan juga dapat ditemukan
di Taman Nasional Kutai serta rawa gambut dan hutan bakau di pantai
Kalimantan Timur.
Dari kedua sub spesies bekantan Nasalis larvatus larvatus mempunyai
daerah sebaran yang relatif luas, hampir di seluruh Kalimantan, kecuali bagian
timur laut, Serawak bagian tengah dan Brunei. Sementara persebaran Nasalis
larvatus orientalis hanya terbatas di bagian timur laut Kalimantan. Gambar 4
Gambar 4 Peta Persebaran Bekantan di Pulau Kalimantan. Titik-titik pada gambar merupakan daerah ditemukannya populasi bekantan, area yang diberi garis adalah daerah yang dilindungi. Angka 1-16 adalah daerah penelitian dari pustaka yang diacu.
sumber: Meijaard dan Nijman (2000)
Reproduksi
Reproduksi adalah suatu kemewahan fungsi tubuh yang secara fisiologi
tidak vital bagi kehidupan individual tetapi sangat penting bagi kelanjutan suatu
jenis atau bangsa hewan. Bekantan merupakan hewan yang menunjukkan sexual
dimorphism yang sangat mencolok. Sexual dimorphism adalah perbedaan
sistematis dalam bentuk antara individu-individu dari jenis kelamin yang berbeda
dalam spesies yang sama, misalnya warna (khusus disebut sebagai dichromatism
sexual), ukuran, dan ada atau tidak adanya bagian tubuh yang digunakan dalam
menampilkan perilaku reproduksi atau perkelahian, seperti bulu hias, tanduk, atau
taring. Pada bekantan, hewan jantan berbeda sekali dengan betina. Bekantan
jantan berukuran lebih besar, hidung yang besar dan suara yang sengau. Alat
berkembang dengan baik. Bekantan betina tetap kecil meskipun sudah dewasa dan
mempunyai puting susu yang memanjang.
Perilaku kawin
Bekantan betina mencapai kematangan seksual di alam liar atau habitat
aslinya berumur sekitar 5 tahun (Murai 2004). Puncak seksual betina dapat dilihat
dari warna alat kelamin menjadi merah muda atau merah (Gorzitze 1996; Murai
2004; 2006). Ada beberapa indikasi musiman reproduksi pada bekantan. Dalam
satu populasi di Kalimantan Barat, ada indikasi puncak kawin dipertengahan
tahun, tapi kawin terjadi antara bulan Februari dan November. Tingkat kelahiran
sering terjadi antara bulan Maret dan Mei, mendekati akhir musim hujan
(Rajanthan dan Bennett 1990).
Kopulasi adalah tindakan menaiki betina oleh jantan yang dilakukan pada
saat kawin, pada bekantan biasanya terjadi rata-rata sekitar setengah menit
(Yeager 1990a; Boonratana 1993; Murai 2004; 2006). Proses kopulasi dilakukan
pada saat jantan menaiki betina dari belakang, dan menggenggam betina dengan
kaki atau dada (Yeager 1990a; Boonratana 1993). Pada kebanyakan primata kedua
jenis kelamin menunjukkan keinginan untuk kawin, tetapi lebih sering terjadi pada
jantan. Setiap keinginan untuk kawin tidak selalu diakhiri dengan kopulasi (Murai
2006). Keinginan untuk kawin pada bekantan didahului oleh betina diikuti dengan
wajah cemberut, mengeluarkan suara-suara agar didekati lawan jenis, dan melihat
kebagian belakangnya. (Hollihn 1973; Rajanthan & Bennett 1990; Yeager 1990a;
Boonratana 1993; Murai 2006). Betina kadang-kadang juga akan menggelengkan
kepala mereka untuk menunjukkan keinginan kawin (Yeager 1990a; Boonratana
1993). Remaja seringkali mengganggu proses kawin bekantan dewasa (Rajanthan
dan Bennett 1990; Murai 2006).
Kebuntingan
Kebuntingan adalah masa persiapan pertumbuhan yang terjadi di dalam
uterus dimana perkembangan embrio terjadi pada lingkungan yang stabil pada
saat yang sangat rentan. Faktor utama yang mempengaruhi lamanya kebuntingan
Sebagai contoh kebuntingan dari marmoset memakan waktu selama 145 hari
sementara lemur ruffed yang lebih besar hanya 102 hari, pengecualian lain terjadi
pada cercopitecin, talapoi mini yang memiliki masa kebuntingan 196 hari
sedangkan babon 177 hari. Bekantan mengalami masa kebuntingan selama
166-200 hari (Napier dan Napier 1985; Bennett dan Sebastian 1988; Ankel-Simons
2007).
Plasentasi
Saat ovum yang telah dibuahi menempel pada dinding uterus, lapis bagian
luarnya (korion), sangat kaya oleh vaskularisasi pembuluh darah, menembus
jaringan maternal. Plasenta akan berkembang dan berfungsi untuk menyalurkan
nutrisi kepada fetus dan membawa keluar kotoran dari fetus menuju sirkulasi
maternal. Pada Anthropoide (dan Tarsius), bentuk plasentanya adalah
haemochorial, yaitu kapiler dari korion berhubungan dengan pembuluh darah di
dinding uterus sehingga membuat kontak langsung dengan darah induk. Karena
penggabungan dua sirkulasi diatas membuat kondisi optimum bagi perkembangan
fetus. Jalan masuk nutrisi dan pembuangan hasil metabolisme antara kedua
sirkulasi ini sangat lamban, yang membuat distribusi nutrisi ke uterus sangat
kurang, hal ini dinamakan non-deciduate. Pada tipe plasenta haemochorial, karena
fetus bersatu dengan jaringan induk, banyak mukus mebran uterus dikeluarkan
bersama dengan plasenta yang dinamakan decidate.
Kelahiran
Pada primata non manusia terdapat beberapa tanda mendekati waktu
kelahiran. Stadium persiapan pada monyet sangat pendek sekitar 2 jam dan bayi
selalu lahir pada malam hari. Kelahiran nokturnal menguntungkan bagi induk
untuk menghindari serangan predator apabila induk tidak mampu bersama
kelompok. Kera besar melahirkan pada kapanpun karena tidak ada ancaman serius
dari serangan predator (Jolly 1972).
Pada kehidupan arboreal bayi akan lebih cepat dewasa sebelum waktunya
karena mereka diahirkan dipohon dan selalu dibawa oleh induk mereka
Kebanyakan primata melahirkan satu anak saja, pengecualian bagi marmoset
sejati yang secara alami melahirkan kembar. Perawatan bayi dilakukan oleh kedua
orangtua bekantan.
Laktasi
Secara fisiologis laktasi dimulai saat estrogen dan progesteron tertekan,
dan hormon laktogenik hipofise mengambil alih (dalam Napier dan Napier 1986).
Laktasi bisa berlangsung setelah pertumbuhan gigi susu anak. Masa laktasi pada
primata menyebabkan tidak akan terjadinya folikulogenesis dan ovulasi (Mc Nelly
1994) dan primata non manusia menjadi bunting dalam beberapa minggu setelah
melahirkan. Pada marmoset ini terjadi karena adanya siklus estrus yang cepat
setelah terjadinya kelahiran.
Perilaku Sosial
Masa remaja terjadi setelah pubertas yang ditandai dengan tingkah laku
kenakalan remaja. Keberadaan individu menuju dewasa yang matang secara
seksual akan memicu agresivitas dan perkelahian di dalam kelompok. Jarang
ditemukan mamalia yang soliter. Meskipun beberapa akan menghabiskan
waktunya untuk hidup sendirian, jantan dan betina harus bertemu untuk kawin,
serta betina dan anaknya harus terus bersama selama laktasi. Pada primata masa
pertumbuhan dari anak ke dewasa bergantung pada keterikatan hubungan anak
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Kegiatan studi ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai bulan Agustus
2010, dan bertempat di Taman Safari Indonesia.
Materi dan Metode
Pelaksanaan studi ini dilaksanakan dengan cara :
1. Wawancara dengan dokter hewan dan perawat satwa primata yang
bekerja di Taman Safari Indonesia
2. Pengumpulan data primer melalui pengamatan langsung
3. Pengolahan data sekunder dari laporan studbook yang telah dilakukan
di Taman Safari Indonesia.
Parameter yang diamati
Parameter yang dikaji dalam studi ini berupa reproduksi bekantan yang
Taman Safari Indonesia (TSI) merupakan salah satu kebun binatang yang
ada di Indonesia. Salah satu program yang di upayakan di TSI adalah agar dapat
meningkatkan populasi bekantan. Bekantan merupakan satwa endemik Indonesia
yaitu berasal dari Kalimantan yang tergolong Appendix I yaitu satwa berstatus
terancam punah dalam CITES. Jumlah bekantan di TSI sebanyak 11 ekor yang
terdiri dari 7 ekor bekantan di anjungan Kalimantan dan 4 ekor bekantan di
kandang kaca.
Kandang untuk bekantan yang terdapat di TSI terdiri dari dua jenis yaitu
kandang anjungan Kalimantan yang merupakan kesatuan dari kandang peraga dan
kandang tidur serta kandang kaca yang terletak bersamaan dengan
kandang-kandang primata lainnya. Komposisi populasi bekantan di TSI sudah sudah
menunjukkan komposisi yang seimbang karena sudah terdiri dari jantan dewasa,
betina dewasa, remaja dan bayi.
Pengamatan bekantan di TSI dilakukan pada kandang anjungan
Kalimantan yang terdiri dari 4 ekor jantan yaitu 1 ekor jantan dewasa dan 3 ekor
anak, dan 3 ekor betina. Pengamatan dilakukan dari pukul 08.00-16.30 WIB.
Data tentang bekantan di anjungan Kalimantan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Data kelompok bekantan di kandang anjungan Kalimantan TSI
Nama Jenis kelamin Umur (tahun)
Boky Jantan 15
sekitar 15 tahun yang ada di TSI, mempunyai ciri-ciri hidung besar (telah
berkembang sempurna), alat kelamin luar tampak jelas, ukuran tubuh besar
dengan berat badan sekitar 20-22 kg, dan terdapat warna putih berbentuk segitiga
pada bagian pinggul. Boky datang di TSI pada tahun 2001 dengan estimasi umur
sekitar 6 tahun. Shintia betina dewasa yang berumur sekitar 11 tahun datang pada
tahun 2002 dengan estimasi umur sekitar 5 tahun, Tiara (9 tahun), dan Gita (8
tahun) juga merupakan betina dewasa dengan ciri-ciri ukuran tubuh relatif lebih
kecil dibandingkan ukuran tubuh jantan dewasa dengan bobot badan10-12 kg,
puting susu tampak jelas, hidung lebih kecil dan runcing. Morfologi bekantan di
TSI sama dengan morfologi bekantan hasil pengamatan yang dilakukan oleh
Yeager (1990).
Anak hasil perkawinan Boky dengan shintia adalah Nakula dan Sadewa
yang merupakan bayi bekantan kembar (♂). Pada saat pengamatan hanya ada Nakula dengan estimasi umur sekitar >1,5 tahun karena Sadewa sudah mati
sekitar umur 1 bulan, Boti (♂), dan Upin (♂) dengan estimasi umur sekitar <1,5
tahun adalah hasil perkawinan Boky dengan Tiara dan Gita. Anak bekantan
mempunyai ciri-ciri warna muka lebih gelap dan masih sangat bergantung pada
induknya (Yeager 1990).
Pada habitatnya bekantan hidup berkelompok dan dipimpin oleh satu
pejantan dominan. Bekantan hidup berpoligami dan jantan dominan dapat
mengawini semua betina yang ada dalam kelompoknya (Alikodra 1997). Hal
serupa juga terlihat pada bekantan di TSI. Boky merupakan pemimpin dalam
kelompok karena satu-satunya jantan dewasa dan mengawini Shintia, Tiara dan
Gita. Boky juga merupakan ayah dari anak-anak bekantan yang ada di anjungan
Kalimantan. Jantan dominan mempunyai ciri-ciri hidung yang besar yang juga
berfungsi sebagai pengeras suara untuk memberikan tanda pada anggota
Gambar 5 (a) Boky, jantan dominan di TSI; (b) Betina dewasa dan anak-anak
di TSI
Bekantan yang terdapat di TSI berasal dari sitaan Badan Konservasi
Sumber Daya Alam (BKSDA), penyerahan langsung dari pemilik satwa (donasi),
dan tukar-menukar dengan kebun binatang lain. Hewan yang akan dikandangkan
di TSI telah mengalami proses karantina terlebih dahulu selama sekitar 40 hari di
instalasi karantina di TSI. Bekantan yang ada di TSI sudah teradaptasi terhadap
kehadiran pengunjung di TSI, hal ini terlihat dari sikap bekantan yang tidak
menunjukkan perilaku stress. Perilaku yang biasa ditunjukkan oleh hewan yang
mengalami stress adalah tidak mau makan dan terkadang mengamuk kepada
pengunjung. Bekantan jantan dan betina akan terlihat lebih galak setelah
mempunyai anak karena sifat overprotective terhadap bayinya.
Faktor-faktor penting yang menunjang keberhasilan reproduksi meliputi
perkandangan dan kecukupan pakan. Kandang anjungan Kalimantan digunakan
sebagai kandang pamer atau kandang peraga yang berfungsi untuk menampilkan
atau memperagakan bekantan serta merupakan fasilitas yang disediakan untuk
bekantan agar dapat melakukan kegiatan hariannya. Luas kandang anjungan
Kalimantan adalah 16 m x 12 m dengan suasana dibuat semirip mungkin dengan
habitat aslinya, yaitu dengan dibuatkan replika dari pohon tinggi yang mempunyai
dahan besar untuk melakukan berbagai aktivitasnya seperti makan, istitahat,
bermain dan aktivitas lainnya, terdapat kolam untuk tempat mandi bagi bekantan
yang dianalogikan sebagai sungai di habitat aslinya, terdapat gantungan tempat
bermain bagi bayi bekantan dan tanah yang ditumbuhi rumput-rumput. Hal ini
disebut sebagai enrichment untuk kandang. Disekeliling kandang tetap ditutupi
dengan pagar kawat, kecuali yang berhadapan dengan anjungan Kalimantan. Pada
bagian ini pembatasan menggunakan kaca agar pengunjung dapat melihat
bekantan secara langsung.
Tersedianya pohon-pohon buatan dikandang anjungan Kalimantan sesuai
dengan tipe pergerakan bekantan yang hidup di antara pepohonan/arboreal (dalam
Napier dan Napier 1967). Terdapatnya sungai buatan di anjungan Kalimantan
merupakan aspek penting karena menurut Bismark (1994), sungai termasuk
komponen ekologis yang mempengaruhi pemilihan habitat oleh populasi bekantan
di hutan bakau dan juga sebagai sumber air minum. Pembuatan bebatuan yang ada
di sisi lain kandang peraga dapat berfungsi sebagai tempat berteduh bagi bekantan
pada saat hujan dan juga diberi lampu sebagai penghangat tubuh bekantan.
Kandang di TSI tidak mengikuti habitat asli bekantan yang didominasi oleh tanah
rawa dan lumpur karena curah hujan yang cukup tinggi di TSI. Bebatuan ini juga
digunakan untuk meletakkan pakan untuk bekantan pada siang hari.
Thohari (1997) menyatakan bahwa bentuk dan tipe kandang berbeda
menurut jenis satwa berdasarkan perilaku satwa, pola hidup dan bentuk tubuhnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa setiap individu atau sekelompok satwa berhak
mendapatkan kandang yang berukuran cukup luas sesuai dengan kebutuhan ruang
gerak serta memiliki habitat ex-situ yang sesuai dan mendekati habitat in-situ.
Hal-hal tersebut diatas sudah dilakukan oleh TSI dalam memenuhi kebutuhan
Gambar 6 Kandang anjungan Kalimantan
Bekantan memiliki kandang tidur yang terbuat dari jeruji besi untuk tiap
individu yang berukuran 3,0 m x 2,0 m x 2,5 m, dan juga terdapat kandang jepit
yang berukuran 2,0 m x 1,0 m x 1,0 m. Kandang tidur digunakan untuk
melaksanakan kegiatan pada malam hari yaitu aktivitas makan dan tidur. Kandang
tidur terletak dibawah anjungan Kalimantan dan tidak dapat dilihat oleh
pengunjung. Bekantan dikeluarkan dari kandang tidur sekitar pukul 08.00 WIB.
Kebersihan kandang bekantan sangat dijaga dengan baik. Kandang hewan
dibersihkan setiap hari dengan menggunakan air biasa kemudian disikat dan
dilakukan desinfeksi sebanyak dua hari sekali. Desinfektan yang biasa digunakan
adalah TH4+ yang merupakan desinfektan berbentuk cairan dengan komposisi mengandung didecyldimethyl ammonium chloride. Desinfektan ini diindikasikan
untuk kandang dan peralatan kesehatan hewan. Penggunaannya dapat dengan cara
spraying atau dipping. Penggunaan TH4+ di TSI dilakukan dengan cara mencampurkan dengan air dan menyiramkan ke kandang, didiamkan 5 menit
.
Gambar 7 (a) Kandang tidur individu bekantan ; (b) kandang jepit bekantan
Pakan merupakan aspek yang sangat penting dalam pemeliharaan satwa.
Pakan bekantan sekitar 90% terdiri dari daun-daunan. Menurut Napier dan Napier
(1986), pakan bekantan merupakan daun-daunan yang berasal dari pohon rambai
atau pedada (Sonneratia alba), ketiau (genus Motleyana), beringin (Ficus sp),
lenggadai (Braguiera parviflora), dan piai (Acrostiolum aureum). Dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Purba (2005), di habitat aslinya bekantan paling
menyukai daun ketiau (genus Motleyana) yang mengandung mineral yang
dibutuhkan bekantan yaitu lateks, resin, tanin, terpenol dan fenol. Menurut
Bismark (1994) bekantan membutuhkan pakan dengan kandungan protein yang
tinggi. Menurut NRC (2003) mengenai estimasi kecukupan gizi nonhuman
primate adalah protein sebesar 15-22%, kalsium (Ca) 0,8% dan fosfor (P) 0,6%.
Pemberian pakan untuk hewan di habitat ex-situ harus memperhatikan
jenis pakan yang disukai hewan, jumlah atau komposisinya serta frekuensi
pemberian. Pemberian pakan di TSI mengikuti jenis pakan di habitat aslinya yaitu
dedaunan dalam jumlah banyak. Bekantan mengonsumsi daun-daun dalam jumlah
besar untuk memenuhi kebutuhan energi dan nutriennya karena daun-daun
merupakan pakan dengan kandungan nutrien yang rendah. Bagian daun yang yang
dikonsumsi adalah bagian pucuk daun atau daun yang masih lunak (Payne 1985).
Penentuan pakan bekantan yang akan diberikan melalui proses pengujian
terlebih dahulu. Berbagai jenis dedaunan yang dapat diperoleh dari alam seperti
daun kemang, daun benying, daun petai, daun alpukat dan daun ketapang, pada
awalnya diberikan pada kelompok bekantan. Hasil pengamatan menunjukkan
daun yang paling disukai adalah daun kemang dan daun benying. Walaupun
daun-daun tersebut tidak sama seperti habitatnya, kemungkinan bekantan menyukai
daun yang muda karena lunak dan rasa yang hampir sama dengan daun yang ada
di habitatnya serta karena kandungan proteinnya yang lebih tinggi. Selain kedua
jenis daun tersebut, jenis daun lainnya diberikan sesuai dengan musim. Proses
pengujian serupa juga dilakukan sebelum pemberian sayuran seperti kacang
panjang dan sayur sawi dan kadang-kadang di berikan buah-buahan seperti
pisang. Pemberian sayuran dan buah-buahan dilakukan dengan meletakkannya di
kandang tidur pada tempat yang disediakan dan tempat-tempat tertentu dikandang
anjungan Kalimantan. Jadi pakan bekantan dapat diperoleh dari hutan-hutan
disekitar TSI dan dari Koperasi Unit Desa (KUD) Rahayu.
Gambar 8 Pakan bekantan di Taman Safari Indonesia
Pemberian pakan di anjungan Kalimantan dilakukan langsung dengan
meletakkan makanan di dalam kandang yang dilakukan oleh keeper. Pakan
diletakkan di tempat-tempat tertentu seperti di bebatuan yang ada di kandang dan
diletakkan di atas pagar kawat. Pemberian pakan dilakukan minimal 5-7 kali
dalam sehari. Pakan diberikan pada jam 08.00, 11.00, 14.00, 16.00, dan malam
hari dengan meletakkan di kandang tidur. Dari hasil pengamatan terlihat bekantan
mendapatkan pakan yang cukup karena bentuk tubuh bekantan yang terlihat
Bekantan (umumnya pada subfamili colobinae) memiliki perut yang
buncit karena makanannya difermentasikan seperti ruminansia. Sistem
pencernaannya dikenal dengan polygastric dan bekantan memiliki “fore-stomach”
yang mempunyai banyak kamar tempat terjadinya proses fermentasi makanan
oleh bakteri.
Hasil pengamatan langsung, wawancara dan pengolahan data sekunder
tentang reproduksi bekantan yang dilakukan di TSI dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Data reproduksi bekantan di TSI
No Hal yang diamati Hasil Pengamatan 1 Umur dewasa kelamin 6 tahun
2 Menstruasi Tidak terlihat jelas seperti primata lain
3 Perilaku kawin Perkawinan juga diawali dengan keinginan kawin dari betina, betina akan terlihat menyendiri dan memasang mimik muka yang cemberut. Kemudian betina akan mendekati pejantan dominan untuk di kawini.
4 Lama kebuntingan 7 bulan 5 Masa Menyusui 1,5 tahun
Umur dewasa kelamin atau pubertas dikontrol oleh
mekanisme-mekanisme fisiologi tertentu yang melibatkan gonad dan hipotalamus maka
pubertas tidak luput dari faktor-faktor herediter dan lingkungan yang
mempengaruhi organ tersebut. Menurut Murai (2006) bekantan mengalami
pubertas dan siap untuk kawin pada umur lima tahun. Pada umur ini bekantan
mulai memperlihatkan keinginan kawin dengan lebih sering terlihat murung dan
sekali-kali menghampiri pejantan. Dewasa kelamin pada primata dapat juga
ditunjukkan dengan hewan mengalami menstruasi, tetapi menstruasi pada
bekantan tidak terlihat jelas seperti yang terjadi pada primata lain, misalnya orang
utan dan macacca. Hampir sama dengan habitat aslinya bekantan di TSI kawin
pada umur 6 tahun. Sedikit perbedaan yang terjadi dapat disebabkan karena
pengaruh dari faktor lingkungan seperti suhu dan pakan.
Pada awal dikandangkan setelah dari karantina, frekuensi kawin bekantan
bisa terjadi setiap hari, apalagi pada saat baru dikandangkan dengan jantan baru.
hewan yang mengalami polyestrus bermusim yang artinya bekantan dapat
mengalami beberapa kali estrus dalam satu musim. Musim bereproduksi pada
beberapa hewan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti kelembaban, suhu,
dan fotoperiode terutama di negara dengan empat musim.
Musim kawin bekantan pada habitat aslinya sekitar bulan Februari sampai
November (dalam Rajanthan dan Bennett 1990). Perkawinan bekantan di TSI
tidak tergantung musim, hal ini dapat disebabkan karena perbedaan suhu
lingkungan antara TSI dengan habitat aslinya. Suhu di TSI lebih rendah yaitu
sekitar 18,0o-24,0oC (dalam Luthfiani 2002) dibandingkan dengan suhu di habitat aslinya dalam Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan (2002) yaitu 18,2ºC
(Februari)-36,8ºC (April). Hal lain yang dapat menyebabkan tidak adanya musim
kawin pada bekantan di habitat ex-situ adalah ketersediaan makanan. Di habitat
aslinya ketersediaan makanan juga tergantung musim sehingga bekantan harus
berpindah-pindah untuk mencari makanan baru. Nutrisi merupakan faktor yang
sangat mempengaruhi aktivitas reproduksi sehingga bekantan tidak dapat kawin
sepanjang waktu sedangkan bekantan di TSI mendapat asupan makanan yang
cukup dan tidak tergantung musim untuk mendapatkan pakan.
Perilaku kawin bekantan menurut Yeager (1990) ditandai dengan
kesediaan betina terhadap jantan untuk memulai interaksi seksual. Hal ini
disebabkan karena betina hanya mau menerima jantan pada saat estrus saja.
Perkawinan di TSI juga menunjukkan hal yang serupa dengan bekantan di habitat
aslinya. Interaksi itu ditandai dengan sikap tubuh betina, yaitu dengan posisi
berdiri (quadrupedal), betina menggerakkan kepalanya ke arah belakang sehingga
bagian muka terdorong ke depan serta mulut dan hidung di mancungkan ke depan.
Betina akan terlihat menyendiri dan memasang mimik muka yang cemberut.
Reaksi ini akan mendapat respon dari jantan dengan melakukan gerakan yang
sama kemudian menghampiri betina. Jantan akan memegangi bagian pinggang
betina dengan kedua tangannya dan melakukan intromisi. Dalam Murai (2006),
jantan hanya satu kali menaiki betina pada saat kopulasi. Durasi jantan menaiki
betina berlangsung sekitar 27 detik. Perilaku kawin pada bekantan seperti terlihat
Gambar 9 Perilaku kawin bekantan Sumber: Jarkasih 2005
Pada saat kawin biasanya remaja atau bayi mengganggu dengan cara
menaiki jantan, memegangi hidung jantan, bersuara atau bergerak di dekat dewasa
yang sedang kawin (untuk menganggu atau mengacaukan) (Yeager 1990).
Perilaku kawin bekantan berbeda dengan perilaku kawin kebanyakan primata
lainnya, karena perkawinan pada spesies ini jarang sekali dimulai oleh
pejantannya (dalam Murai 2006). Pejantan dominan tidak bisa disatukan dengan
jantan dewasa lainnya, kecuali dengan jantan remaja karena pola hidup bekantan
yang berkelompok dan dipimpin oleh satu jantan dominan saja. Apabila dalam
satu kelompok terdapat dua jantan dewasa akan terjadi pertengkaran di antara
keduanya sehingga akan terbentuk satu kelompok lain yang dipimpin oleh jantan
yang kalah.
Kebuntingan adalah masa persiapan pertumbuhan yang terjadi di dalam
uterus dimana perkembangan embrio terjadi pada lingkungan yang stabil pada
saat yang sangat rentan (dalam Jolly 1972). Di TSI tidak terdapat perlakuan
khusus dalam pemeriksaan kebuntingan. Kebuntingan dapat diketahui dari ciri-ciri
yang terlihat seperti frekuensi kawin bekantan yang menurun dan bentuk perut
yang membesar. Apabila ciri-ciri tersebut mulai terlihat maka sangat dihindari
untuk menangkap bekantan baik secara manual maupun secara kimiawi karena
dikhawatirkan dapat membuat bekantan menjadi stress dan dapat mengakibatkan
sekaligus dilakukan pemeriksaan umum. Pada saat pemeriksaan umum juga
dilakukan palpasi untuk memeriksa kebuntingan. Apabila diketahui betina sedang
bunting maka pemberian obat cacing tidak dilakukan, melainkan hanya dilakukan
pemberian vitamin seperti haematophan dan biosalamin.
Lama kebuntingan pada bekantan adalah 166–200 hari, tapi
kadang-kadang bisa lebih dari 200 hari (dalam Napier & Napier 1985; Bennett &
Sebastian 1988; Ankel-Simons 2007). Hal ini hampir sama dengan bekantan di
TSI yang mengalami kebuntingan selama 6-7 bulan atau sekitar 180-210 hari.
Menurut Gorzitze (1996) bekantan akan mengalami estrus pasca pembuahan. Hal
ini menyebabkan akan terjadinya perkawinan walaupun bekantan dalam keadaan
awal kebuntingan sehingga sulit dilakukan perkiraan tentang waktu kelahiran.
Bekantan termasuk ke dalam subordo Anthropoidea yang plasentanya
adalah haemochorial. Dalam Soma dan Benirchke (1977) dijelaskan bahwa tipe
plasenta bekantan adalah bidiskoid bervili dalam uterus. Implantasi embrio
bekantan terjadi di superfisial uterus. Fetus dan plasenta bekantan seperti
ditunjukkan dalam Gambar 10.
Gambar 10 Fetus dan plasenta Bekantan (Nasalis larvatus) Sumber: Benirschke 2002
Dalam Jolly (1972) primata melahirkan satu anak setiap kelahiran, begitu
pula pada bekantan. Di Taman Safari Indonesia pernah terjadi kelahiran kembar.
Shintia merupakan bekantan betina yang melalui kelahiran di TSI dapat
melahirkan bayi kembar yaitu Nakula dan Sadewa. Salah satu anak dari bayi
kembar yaitu Sadewa dibuang oleh induknya. Sadewa dipelihara secara
hanya bisa bertahan 1 bulan saja karena ketidakcocokan susu formula dengan
sistem pencernaan bayi bekantan yang merupakan hewan pemakan daun-daunan.
Bekantan tidak dapat memelihara anak kembar, hal ini dapat terjadi
karena dari hasil pengamatan terlihat induknya selalu menggendong anaknya pada
bagian dadanya. Anak kembar membuat bekantan kesulitan dalam merawat
anaknya karena bekantan tidak dapat menggendong dua anak sekaligus.
Bekantan mempunyai perilaku tersendiri pada saat melahirkan.
Pengamatan terhadap proses kelahiran di TSI dilakukan dengan cara memasang
CCTV pada kandang bekantan yang akan melahirkan. Menurut literatur dari
penelitian yang dilakukan Gorzitze (1996) diketahui bahwa bekantan umumnya
melahirkan pada waktu malam hari dan dini hari, hal ini juga terjadi pada
bekantan yang ada di TSI sehingga menjadi alasan pemasangan CCTV di TSI
agar proses kelahiran dapat diamati pada malam hari. Bekantan juga
mengonsumsi plasentanya, menjilat-jilat anaknya setelah dilahirkan dan
membiarkan anggota kelompok lain untuk mengasuh anaknya (Gorzitze 1996),
hal serupa juga dilakukan oleh bekantan yang ada di TSI membiarkan anggota
kelompok lain untuk mengasuh anaknya.
Secara fisiologis laktasi dimulai saat estrogen dan progesteron tertekan,
dan hormon laktogenik hipofise mengambil alih (dalam Napier dan Napier 1986).
Laktasi akan menyebabkan ovulasi terhambat akibat dari efek penghisapan oleh
bayi. Pembuatan susu dan sekresinya oleh sel mamari ke dalam lumen alveolar
merupakan proses yang terus menerus dengan bantuan hormon prolaktin.
Pengaruh prolaktin dalam proses ini juga berubah-ubah tergantung dari
perpindahan susu dari lumen pada saat difusi dan transportasi susu keluar kelenjar
mamari. Pelepasan oksitosin dari hipofise posterior menyebabkan kontraksi sel
mioepitel pada duktus dan alveoli kelenjar mamari sehingga susu bisa keluar
melalui puting ke bayi.
Dalam Milligan et al. (2008) susu yang dihasilkan primata memiliki kadar
densitas kalori yang rendah (kadar air lebih banyak). Oleh karena itu primata
harus menyusui anaknya setiap saat mulai dari pagi sampai malam hari dan
dilaporkan juga masa sapih yang panjang bagi bayi-bayi bekantan. Selama masa
disebabkan oleh pelepasan hormon LH dari hipofise dihambat oleh pelepasan
GnRH. Pelepasan gonadotropin hormon ini lebih dipengaruhi oleh rangsang hisap
dari pada produksi susu oleh kelenjar mamari (dalam Mc Neilly 1994).
Penyapihan bisa berlangsung setelah pertumbuhan gigi susu anak. Masa
menyusui bagi bekantan yang ada di TSI selama 1,0 tahun – 1,5 tahun, pada bulan
pertama bayi bekantan selalu di gendong di bagian dada induknya, dua sampai
tiga bulan mulai dilepas dari gendongan, enam sampai sebelas bulan bayi sudah
jarang di gendong induknya,tapi bayi bekantan masih suka menyusu pada
induknya sampai umur 1,5 tahun. Perilaku menyusui bekantan seperti ditunjukkan
Gambar 11.
Rangkuman
1. Hasil pengamatan reproduksi bekantan di Taman Safari Indonesia meliputi
perilaku kawin, masa kebuntingan dan masa laktasi mengikuti pola
reproduksi di habitatnya.
2. Perbedaan habitat dan pakan mempengaruhi pola reproduksi bekantan di
Taman Safari Indonesia.
3. Pembuatan kandang pamer dan kandang tidur yang nyaman bagi bekantan
dan pemberian pakan yang cukup merupakan faktor pendukung
keberhasilan reproduksi.
Saran
1. Perlunya dilakukan penelitian dengan jangka waktu yang lebih panjang
Alikodra HS. 1997. Populasi dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus) di samboja koala, Kalimantan Timur. Media Konservasi 5(2):67-72.
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid 1. Bogor: Institut Pertanian Bogor Pr.
Ankel-Simons F. 2007. Primate Anatomy: an Introduction. Ed ke-3. San Diego:
Elsevier Acad Pr. 724 p.
Benirschke K. 2002. Proboscis monkey (Nasalis larvatus). [terhubung berkala]. http://placentation.ucsd.edu/prob.htm [21 Nov 2010].
Bennett EL, Sebastian AC. 1988. Social organization and ecology of proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in mixed coastal forest in Sarawak. Int J Primatol 9(3):233-55.
Bismark M. 1984. Biologi dan konservasi primata di Indonesia. [makalah]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Bismark M. 1994. Studi ekologi makan dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus) di hutan bakau nasional Kutai, Kalimantan Timur. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Bismark M. 1995. Analisis populasi bekantan (Nasalis larvatus) [komunikasi singkat]. Rimba Indonesia 30:14-23.
Boonratana R. 1993. The ecology and behaviour of the proboscis monkey (Nasalis larvatus) in the lower Kinabatangan, Sabah [disertasi]. Bangkok: Mahidol University.
Gorzitze AB. 1996. Birth-related behaviors in wild proboscis monkeys (Nasalis larvatus) [komunikasi singkat]. Primates 37(1):75-78.
Hollihn U. 1973. Remarks on the breeding and maintenance of colobus monkeys (Colobus guereza), proboscis monkeys (Nasalis larvatus) and douc langurs (Pygathrix nemaeus) in zoos. Int ZooYearb 13:185-8.
Jarkasih T. 2005. Studi perilaku bekantan (nasalis lavartus wurmb,1781) di dalam kandang penangkaran [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Langer P. 1988. The mammalian herbivore stomach: comparative anatomy, function and evolution. New York: Gustav Fischer Verlag.
Luthfiani D. 2002. Kajian koefisien biak-dalam Pongo pygmeus di Taman Safari Indonesia Cisarua, Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Mc Neilly AS. 1994. Suckling and the control of gonadotropin secretion. Di dalam: E. Knobil dan JD Neil, editor. The Physiology of Reproduction.
Ed ke-2. New York: Raven press.hlm 2:1179-1212.
Meijaard E, Nijman V. 2000. Distribution and conservation of the proboscis monkey (Nasalis larvatus) in Kalimantan, Indonesia. Biological conservation 92:15-24.
Milligan LA, Gibson SV, William LE, Power ML. 2008. The composition of milk from bolivian squirrel monkey (Saimiri boliviensis boliviensis). Am J
Murai T. 2006. Mating behaviors of the proboscis monkey (Nasalis larvatus). Am J Primatol 68(8):832-837.
Napier JR, Napier PH. 1967. A Hand Book of Living Primates. London: Academic Pr.
Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of The Primates. Massachusetts: The MIT Pr.
Nijboer J, Cluass M. 2006. The Digestive Physiology of Colobine Primates, dalam : Nijboer J (ed) Fibre intake and faeces quality in leaf-eating primates. Ridderkerk : the Netherlands.
Payne J, Francis CM, Phillips K. 1985. A field guide to the mammals of Borneo.
Kuala Lumpur:World Wildlife Fund Malaysia & The Sabah Society.
Payne J, Francis CM, Phillips K, Kartikasari SN. 2000. Mamalia di Kalimantan, Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam. Jakarta:WCS-Indonesia Programme.
Purba FEB. 2009. Studi keanekaragaman pakan bekantan (nasalis lavartus) di taman nasional tanjung puting Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Pusat inventarisasi dan statistik kehutanan. 2002. Data dan informasi kehutanan propinsi kalimantan selatan. Jakarta: Kementrian Kehutanan.
Rajanathan R, Bennett EL. 1990. Notes on the social behaviour of wild proboscis monkeys (Nasalis larvatus). Malay Nat J 44(1):35-44.
Shapiro G. 2008. How Many Orangutans Are There? More than Last Year...,But
What Does That Mean? [terhubung berkala].
www.orangutan.org/howmany2.php [5 Januari 2010].
Sherwood L. 2001. Human Physiology: From Cell to System. Ed ke-7. USA
Soendjoto A. 2004. Adaptasi bekantan terhadap habitat dan permasalahannya [disertasi]. Banjar Baru: Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat.
Soma H, Benirschke K. 1977. Observations on the fetus and placenta of a proboscis monkey (Nasalis larvatus). Primates 18(2):277-284.
Supriatna J, Edy HW. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Primata Indonesia.
Suradijono RD. 2004. Perilaku dan aktivitas harian bekantan (Nasalis larvatus) di hutan karet, desa Simpung Layung, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Thohari AM. 1997. Studi preferensi makanan dan pertumbuhan badan anak beo nias (Gracula riligiosa robusta) di penangkaran. Journal of Biological Resource Management 11(2)
Yasuma S, Alikodra HS. 1990. Mammals of Bukit Soeharto Protection Forest The Tropical Rain Forest Research Project. Jakarta: JICA-PUSREHUT.
Yeager CP. 1990. Proboscis monkey (Nasalis larvatus) social organization group structure Am J. of Primatol 20: 95-106
Yeager CP. 1990a. Notes on the sexual behavior of the proboscis monkey (Nasalis larvatus). Am J Primatol 21(3):233-7.
Yeager CP, Blondal TK. 1992. Conservation status of proboscis monkey (Nasalis larvatus) at Tanjung Putting Nasional Park, Kalimantan Tengah,
STUDI REPRODUKSI BEKANTAN
(Nasalis larvatus) DI HABITAT EX-SITU
GITA NELFA AFRILIA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Gita Nelfa Afrilia (B04063403) Reproductive Studies Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) in Habitat Ex-situ. Under the Guidance of Ligaya ITA Tumbelaka and Yohana Trihastuti
This study aims to explore the reproductive bekantan (Nasalis larvatus) in ex-situ habitat was held at Taman Safari Indonesia. The method is carried out observations, interviews and processing secondary data on the age of sexual maturity, mating behavior and duration of gestation and lactation and playback support, factors as feed and caging. The results is female becoming adult at an average of 6 years old, and mating behavior will be seen by herself put the sullen facial expression. Then the female will approach the dominant male in the marriage. Length 7 months of pregnancy and lactation period of 1.5 years. These data are in accordance with the literature bekantan reproduction in their natural habitat. So the maintenance TSI as ex-situ habitat has also marked by the inability of animals classified as endangered in CITES Appendix I to adapt to and breed in habitats ex-situ.
Gita Nelfa Afrilia (B04063403) Studi Reproduksi Bekantan (Nasalis larvatus) di Habitat Ex-situ. Di bawah Bimbingan Ligaya ITA Tumbelaka dan Yohana Trihastuti
Studi yang bertujuan untuk mempelajari reproduksi bekantan (Nasalis larvatus) di habitat ex-situ dilaksanakan di Taman Safari Indonesia. Metode yang dilakukan adalah pengamatan, wawancara dengan dokter hewan dan perawat satwa dan mengolah data sekunder mengenai umur dewasa kelamin, perilaku perkawinan, masa kebuntingan, masa laktasi serta faktor pendukung reproduksi berupa pakan dan perkandangan. Hasil yang diperoleh adalah betina menunjukkan umur dewasa kelamin rata-rata 6 tahun, dengan perilaku kawin seperti betina akan terlihat menyendiri dan memasang mimik muka yang cemberut. Kemudian betina akan mendekati pejantan dominan untuk dikawini. Lama kebuntingan adalah 7 bulan dan masa laktasi 1,5 tahun. Data-data ini sesuai dengan literatur reproduksi bekantan di habitat aslinya. Jadi pemeliharaan di TSI sebagai habitat ex-situ sudah baik ditandai dengan mampunya bekantan yang tergolong Appendix I yaitu satwa terancam punah dalam CITES untuk beradaptasi dan bereproduksi di habitat ex-situ.
Latar belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai keanekaragaman
hayati yang cukup tinggi baik flora maupun fauna. Sumber daya alam yang
dimiliki merupakan anugerah Tuhan yang perlu disyukuri dan dimanfaatkan
secara lestari. Pemanfaatan sumber daya yang tidak seimbang dapat
mengakibatkan pergeseran ekosistem yang mengancam keberadaan mahluk hidup
disekitarnya. Pertambahan penduduk dan kemajuan ilmu pengetahuan telah
meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan
manusia sekaligus memberikan dampak negatif terhadap kelestarian
keanekaragaman hayati.
Ordo primata dibagi ke dalam tiga subordo yaitu Prosimii, Tarsioidea dan
Anthropoidea yang masing-masing memiliki ciri-ciri tertentu. Bekantan (Nasalis
larvatus) atau Proboscis monkey merupakan primata endemik pulau Kalimantan
yang termasuk ke dalam famili Cercopithecidae, sejenis monyet berhidung
panjang dengan rambut berwarna cokelat kemerahan dan merupakan satu dari dua
spesies dalam genus tunggal monyet Nasalis (Suradijono 2004). Monyet ini
merupakan primata liar yang berhabitat di Kalimantan, Sabah, Serawak, dan
Brunei Darussalam. Bekantan tersebar luas di hutan-hutan sekitar muara atau
pinggiran sungai di Kalimantan. Di Kalimantan Selatan, bekantan dapat
ditemukan di daerah hutan rawa dan pinggiran sungai Pulau Kaget dan Pulau Laut
(Supriatna dan Edy 2000). Struktur sosial bekantan dapat terdiri dari kelompok
yang kecil, terkadang bergabung menjadi kelompok yang besar. Dalam kegiatan
hariannya mereka membentuk kelompok kecil dengan anggota 8 ekor yang terdiri
dari beberapa ekor betina dan jantan dewasa (Alikodra 1997).
Saat ini jumlah populasi bekantan terus mengalami penurunan (Soendjoto
2004). Penyebab utama penurunan populasi ini adalah akibat perbuatan manusia,
bencana alam, dan dapat diakibatkan oleh dinamika reproduksi di habitatnya
belum banyak terdata, apalagi informasi yang berkaitan dengan proses
perkembangbiakannya. Perbuatan manusia yang dapat mengurangi populasi