• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Perilaku Simakobu (Simias concolor Miller, 1903) dan Pola Penggunaan Habitat di Area Siberut Conservation Programme, Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Perilaku Simakobu (Simias concolor Miller, 1903) dan Pola Penggunaan Habitat di Area Siberut Conservation Programme, Sumatera Barat"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PERILAKU SIMAKOBU (

Simias concolor

Miller, 1903)

DAN POLA PENGGUNAAN HABITAT DI AREA

SIBERUT

CONSERVATION PROGRAMME,

SUMATERA BARAT

NIKU KHOIRU GRAITO UTOMO

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Perilaku Simakobu (Simias concolor Miller, 1903) dan Pola Penggunaan Habitat di Area

Siberut Conservation Programme, Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Niku Khoiru Graito Utomo

(3)

ABSTRAK

NIKU KHOIRU GRAITO UTOMO. Studi Perilaku Simakobu (Simias concolor

Miller, 1903) dan Pola Penggunaan Habitat di Area Siberut Conservation Programme, Sumatera Barat. Dibimbing oleh HADI S ALIKODRA dan DONES RINALDI.

Simakobu adalah salah satu primata endemik di Pulau Siberut yang menjadi perhatian Siberut Conservation Programme karena keberadaan simakobu cukup mengkhawatirkan. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan perilaku simakobu dan pola penggunaan habitat. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2011 sampai Januari 2012 di area SCP. Pengamatan pola perilaku dilakukan dengan metode Scan Sampling. Hasil yang didapat menunjukkan simakobu dalam mengeksploitasi makanannya lebih banyak menggunakan sikap duduk dibandingkan sikap menggantung. Dalam melakukan perpindahan, jantan dewasa lebih dominan memimpin pergerakan. Aktivitas menelisik aktif paling sering dilakukan oleh individu betina dewasa kepada anakan dan menelisik pasif lebih sering dilakukan oleh jantan dewasa. Perilaku bersuara paling sering dilakukan pada pukul 07.00-08.00 WIB dengan durasi loud call sekitar 20-30 detik. Simakobu paling sering melakukan aktivitas harian di posisi antara cabang pertama hingga sebelum bagian tajuk atas pada rentang ketinggian 21-25 meter. Kata kunci: habitat, perilaku, Siberut Conservation Programme, simakobu

ABSTRACT

attention of Siberut Conservation Programme. This species was threatened mainly by heavy hunting and commercial logging by local people. This study aims to determine the behavior of simakobu and habitat use. This research was conducted from July 2011 until January 2012 in SCP. Pattern of behavior data collected via Scan Sampling. The results found that simakobu in exploiting their food used more sitting posture than hanging posture. Actively grooming often existed between female and juvenile and passively grooming existed on male. The highest percentage calls of simakobu was occurred at 07.00-08.00 am with loud call duration in 20-30 second. Simakobu often used space between the first branch of the tree to the canopy at 21-25 meter in height.

(4)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

STUDI PERILAKU SIMAKOBU (

Simias concolor

Miller, 1903)

DAN POLA PENGGUNAAN HABITAT DI AREA

SIBERUT

CONSERVATION PROGRAMME,

SUMATERA BARAT

NIKU KHOIRU GRAITO UTOMO

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Studi Perilaku Simakobu (Simias concolor Miller, 1903) dan Pola Penggunaan Habitat di Area Siberut Conservation Programme,

Sumatera Barat

Nama : Niku Khoiru Graito Utomo NIM : E34070101

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Hadi S Alikodra, MS Pembimbing I

Ir Dones Rinaldi, MSc. F Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya tulis ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah ekologi satwa liar dengan judul “Studi Perilaku Simakobu (Simias concolor Miller, 1903) dan Pola Penggunaan Habitat di Area Siberut Conservation Programme, Sumatera Barat”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Hadi S Alikodra dan Bapak Ir Dones Rinaldi selaku pembimbing. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir Iwan Hilwan selaku penguji sidang dan Ibu Ir Lin Nuriah Ginoga selaku ketua sidang.

Semoga karya tulis ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

METODE 1

Waktu dan Lokasi Penelitian 1

Alat dan Bahan 2

Metode Pengumpulan Data 2

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 6

Ukuran Kelompok Simakobu 7

Aktivitas Harian Simakobu 8

Pola Perilaku Simakobu 12

Komposisi Vegetasi pada Habitat Simakobu 18

Jenis Pakan Simakobu 20

Wilayah Jelajah Simakobu 23

Pola Penggunaan Ruang Tajuk bagi Simakobu 24

SIMPULAN DAN SARAN 27

Simpulan 27

Saran 28

(8)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi kelas umur dan jenis kelamin pada kelompok simakobu 7

2 Proporsi individu simakobu dalam menelisik 16

3 Indeks Nilai Penting tingkat vegetasi pada kelompok simakobu 19 4 Persentase jenis pohon pakan yang sering dikonsumsi simakobu 21

5 Parameter pergerakan harian kelompok simakobu 24

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian di area SCP 2

2 Bentuk metode petak tunggal untuk analisis vegetasi 3 3 Pembagian ruang pohon secara vertikal dan horizontal 4 4 Persentase aktivitas harian simakobu pada jantan dewasa 8 5 Alokasi waktu aktivitas harian simakobu pada jantan dewasa 8 6 Persentase aktivitas harian simakobu pada betina dewasa 9 7 Alokasi waktu aktivitas harian simakobu pada betina dewasa 9 8 Persentase aktivitas harian simakobu pada remaja 10 9 Alokasi waktu aktivitas harian simakobu pada remaja 10 10 Persentase aktivitas harian simakobu pada anakan 11 11 Alokasi waktu aktivitas harian simakobu pada anakan 11

12 Persentase preferensi sikap makan simakobu 13

13 Posisi simakobu saat makan 13

14 Posisi simakobu saat minum 13

15 Posisi simakobu saat istirahat 14

16 Cara berpindah simakobu a) berjalan b) memanjat c) melompat 15

17 Perilaku menelisik pada simakobu 16

18 Distribusi ketinggian pohon pada jalur simakobu 19 19 Profil pohon di jalur wilayah jelajah simakobu 20 20 Daun kalibangbak salah satu pakan utama simakobu 21 21 Persentase bagian yang dikonsumsi oleh simakobu 22 22 Peta wilayah jelajah kelompok simakobu yang diamati 23

23 Pemanfaatan ketinggian pohon oleh simakobu 25

(9)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pulau Siberut merupakan pulau terbesar di antara gugusan Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat. Pulau Siberut telah terpisah lebih dari setengah juta tahun yang lalu oleh air laut dari daratan Asia. Akibat proses pemisahan yang lama menjadikan timbulnya sifat endemik bagi flora dan fauna di dalamnya. Beberapa satwa endemik di Pulau Siberut adalah joja (Presbytis potenziani), bilou (Hylobates klossii), bokkoi (Macaca pagensis), bokkoi (Macaca siberu) dan simakobu (Simias concolor).

Simakobu telah dilindungi berdasarkan UU No. 5 tahun 1990, Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 No. 266, serta SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/KPTs-II/1991. Adapun menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), satwa ini sangat genting akan bahaya kepunahan dan simakobu juga telah masuk ke dalam daftar Appendix I pada Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), yang berarti bahwa simakobu dilindungi dari segala bentuk perdagangan nasional maupun internasional secara komersial (Supriatna dan Wahyono 2000). Whittaker et al. (2006) menyebutkan bahwa ukuran populasi simakobu di Pulau Siberut dari tahun 1980-2000 ternyata menurun drastis, yaitu sekitar 33-75%. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sebagai bahan acuan pelestarian simakobu.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan: 1. Aktivitas harian dan pola perilaku simakobu.

2. Komposisi vegetasi pada habitat dan jenis pakan simakobu. 3. Wilayah jelajah dan pola penggunaan ruang tajuk bagi simakobu.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi tambahan sebagai bahan acuan dan pertimbangan dalam program pengelolaan dan upaya pelestarian simakobu serta mewujudkan ekowisata di Pulau Siberut, khususnya SCP sebagai pusat penelitian dan konservasi.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2011 sampai Januari 2012 di area

(10)

Sumber: SCP Gambar 1 Peta lokasi penelitian di area SCP

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah binokuler Nikon, Global Positioning System (GPS) Garmin 60 csx, kamera digital Nikon D200, pita penanda, meteran jahit, phi-band, walking stick, trash bag, tali tambang, software ArcGis9.3, software MapSource 6163 dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah kelompok simakobu.

Metode Pengumpulan Data

Ukuran Kelompok

Ukuran kelompok diperoleh dengan menghitung seluruh anggota kelompok secara regular setiap hari. Perhitungan dilakukan pada kelompok yang dijumpai selama melakukan pengamatan. Ukuran kelompok meliputi jumlah individu, kelas umur dan rasio jenis kelamin.

Aktivitas Harian dan Pola Perilaku

(11)

3 Aktivitas harian dan pola perilaku yang diamati adalah:

1. Makan dan minum, yaitu aktivitas yang meliputi pencarian makanan, pemilihan makanan, memasukkan makanan ke mulut dan menelan makanan. 2. Bergerak, yaitu semua pergerakan satwa dari satu tempat ke tempat lain. 3. Istirahat, aktivitas ini ditandai apabila dalam suatu periode waktu tertentu

individu simakobu tidak aktif bergerak, diam di tempat dan tidur. 4. Aktivitas sosial, meliputi:

a. Bermain, yaitu aktivitas yang biasa terjadi pada anak-anak sampai remaja yang meliputi berkejar-kejaran, berguling dan berayun.

b. Menelisik, yaitu aktivitas mencari kotoran atau ektoparasit dari tubuh sendiri atau individu lain yang dilakukan pada saat istirahat. Biasanya dilakukan oleh individu remaja sampai dewasa.

c. Kawin, hubungan seksual yang dimulai dengan pengejaran terhadap betina sampai dengan turunnya jantan dari betina setelah terjadinya kopulasi.

d. Berkelahi, aktivitas yang ditandai dengan ancaman gerakan badan, menyerang, memburu serta baku hantam dan diakhiri dengan kekalahan lawannya.

Komposisi Vegetasi

Pengumpulan data vegetasi menggunakan metode petak tunggal (Soerianegara dan Indrawan 2008). Petak contoh ini harus menggambarkan keadaan tegakan yang dipelajari. Berikut adalah bentuk metode petak tunggal untuk analisis vegetasi (Gambar 2).

Keterangan :

A : Petak tingkat semai dan tumbuhan bawah (2 m x 2m) B : Petak tingkat pancang (5 m x 5m)

C : Petak tingkat tiang (10 m x 10 m) D : Petak tingkat pohon (20 m x 20 m)

Gambar 2 Bentuk metode petak tunggal untuk analisis vegetasi

Gambar 2 menjelaskan bahwa ukuran petak contoh yang digunakan pada penelitian ini seluas 40 x 160 meter. Data yang dikumpulkan meliputi nama spesies, jumlah individu setiap spesies untuk tingkat pertumbuhan tumbuhan bawah, semai dan pancang. Untuk tingkat tiang dan pohon dicatat nama spesies, jumlah individu dan diameter batang. Untuk melihat tingkat stratifikasi hutan dilakukan pembuatan profil vegetasi dengan cara pengukuran pada plot berukuran

160 m

40 m

A B C

(12)

20 x 40 meter. Parameter yang diamati adalah jenis vegetasi, tinggi total dan tinggi bebas cabang pohon dan tiang, diameter tiang dan pohon serta lebar kanopi. Jenis Pakan

Pengumpulan data jenis pakan dilakukan bersamaan dengan pengamatan aktivitas makan. Data yang dikumpulkan adalah jenis pohon dan bagian tumbuhan yang menjadi sumber pakan bagi simakobu.

Pola Penggunaan Ruang Tajuk

Untuk mengetahui posisi simakobu dalam tajuk pohon dapat diamati berdasarkan pola penggunaan ruang tajuk pohon oleh simakobu secara vertikal dan horizontal. Berikut adalah pembagian ruang pohon secara vertikal dan horizontal (Gambar 3).

Keterangan:

1: permukaan tanah

2: batang sebelum cabang pertama 3: ruang cabang pertama

4: ruang diatas cabang pertama hingga sebelum bagian puncak 5: ruang di puncak pohon

A: ruang di dekat bagian batang B: bagian di tengah ruang tajuk C: ruang di tepi tajuk

Gambar 3 Pembagian ruang pohon secara vertikal dan horizontal

Gambar 3 menjelaskan bahwa pada ruang vertikal absolut, ketinggian pola penggunaan ruang oleh simakobu dikategorikan menurut interval 5 meter. Pada ruang vertikal relatif, ketinggian pola penggunaan ruang oleh simakobu dikategorikan menjadi lima bagian yaitu bagian 1, 2, 3, 4 dan 5. Adapun penggunaan ruang horizontal, kategori bagian proyeksi tajuk yang digunakan oleh simakobu digolongkan menjadi tiga bagian yaitu bagian A, B dan C.

Wilayah Jelajah

(13)

5

System (GPS). Jika dalam 15 menit posisi simakobu tidak berpindah, maka tidak diambil titik koordinatnya. Luas wilayah jelajah diperoleh dari gabungan beberapa parameter pergerakan harian, yaitu:

1. Jarak jelajah harian (Daily Range/DR)

Jelajah harian ditentukan berdasarkan jauhnya jarak yang ditempuh dalam satu hari.

2. Jarak radius maksimum (Maximum Radius/MR)

Jarak radius maksimum adalah jarak terjauh yang ditempuh satwa dari posisi tempat tidur dalam satu hari.

3. Jarak antar pohon tidur (Night Position Shift/NPS)

Jarak antar pohon tidur ditentukan berdasarkan jarak pohon tidur saat bangun pagi dan malam hari dalam satu hari.

4. Daerah teritori (Territory)

Teritori adalah suatu daerah yang dipertahankan terhadap serangan dari luar. 5. Daerah inti (Core Area)

Daerah inti adalah daerah yang paling sering dikunjungi dalam melakukan aktivitas harian.

Analisis Data

Ukuran Kelompok

Data dianalisis secara kuantitatif untuk mengetahui nisbah kelamin jantan dan betina.

Aktivitas Harian dan Pola Perilaku

Persentase aktivitas yang paling sering dilakukan dari seluruh aktivitas harian yang dilakukan dengan menggunakan rumus:

Persentase aktivitas harian (%) = % Keterangan:

x: Jumlah aktivitas harian yang terjadi y: Jumlah total aktivitas harian yang terjadi Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan dominansi suatu jenis vegetasi pada suatu komunitas. Dominansi dapat dilihat dari nilai Indeks Nilai Penting (INP) yang diperoleh dari penjumlahan nilai kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR) untuk tingkat semai dan pancang, serta ditambah nilai dominansi relatif (DR) untuk tingkat tiang dan pohon (Soerianegara dan Indrawan 2008). Persamaan yang digunakan adalah:

(14)

Frekuensi Relatif (FR) =

Persentase jenis atau bagian pakan yang paling sering dikonsumsi menggunakan rumus:

Persentase jenis tertentu (%) = Persentase bagian tertentu (%) = Keterangan:

x: Frekuensi jenis/bagian tertentu yang dikonsumsi y: Frekuensi seluruh jenis/bagian yang dikonsumsi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Letak dan Luas

Pulau Siberut terletak di sebelah selatan khatulistiwa diantara koordinat 00 80‟ sampai 20 00‟ Lintang Selatan dan 980 60‟ sampai 990 40‟ Bujur Timur. Stasiun lapang SCP secara administratif termasuk dalam wilayah Desa Sigapokna, Kecamatan Siberut Utara, Kabupaten Mentawai. Letak stasiun lapang SCP berada di dekat Sungai Pungut dengan luas 4000 hektar yang merupakan area hutan hujan primer dataran rendah, dimana pembangunannya telah selesai pada Oktober 2003. Flora dan Fauna

Hutan Paleonan merupakan hutan primer di Pulau Siberut. Hutan tersebut didominasi oleh jenis vegetasi dari famili Myristicaceae, Euphorbiaceae dan Dipterocarpaceae. Terdapat sekitar 180 spesies pohon yang ditemukan di kawasan hutan tersebut. Pohon tertinggi yang ditemukan di kawasan hutan tersebut adalah

Dipterocarpus sp dengan ketinggian 56 meter. Adapun pohon dengan diameter ≤ 40 cm lebih banyak ditemukan di kawasan tersebut. Pohon terbesar yang ditemukan adalah Shorea pauciflora dengan diameter 235 cm (Waltert et al. 2008; Susilo et al. 2009).

(15)

7 endemik di pulau ini adalah Celepuk Mentawai (Otus mentawi), selain itu juga terdapat burung kangkareng perut putih (Anthracoceros albirostris). Terdapat 21 jenis reptil dan salah satunya merupakan jenis endemik yaitu dari jenis katak (Rana signata siberut), selain itu ada ular (Trimeresurus sp) dan kadal terbang (Draco volans) (Setiawan 2008).

Sejarah Pengelolaan Kawasan

Hutan Paleonan di Siberut termasuk ke dalam wilayah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT Salaki Suma Sejahtera. Luas hutan tersebut mencapai 48 000 hektar. Seluas 4000 hektar dari Hutan Paleonan dikelola oleh SCP dan dimanfaatkan sebagai pusat penelitian dan konservasi untuk mempelajari dan melindungi flora dan fauna pada ekosistem di Siberut Utara (Wibisono 2009).

SCP merupakan sebuah program hasil kerjasama antara Deutschen Primaten Zentrums (DPZ) atau German Primate Centre dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terbentuk pada tahun 2002. SCP menggabungkan penelitian lapangan dengan konservasi berbasis masyarakat dalam upaya melestarikan ekosistem hutan yang tersisa di Siberut Utara dan berkontribusi untuk konservasi jangka panjang di kawasan Mentawai secara keseluruhan (SCP 2009).

Ukuran Kelompok Simakobu

Pengamatan simakobu difokuskan pada kelompok Hock yang terdiri dari 9 individu dan sudah terhabituasi dengan baik sehingga memungkinkan bias data akibat perubahan perilaku satwa atas kehadiran pengamat relatif kecil. Berikut adalah data komposisi kelas umur dan jenis kelamin kelompok simakobu yang diamati (Tabel 1).

Tabel 1Komposisi kelas umur dan jenis kelamin pada kelompok simakobu

Kelas Umur Jumlah (ekor) Persentase (%)

Jantan Dewasa (Hock) 1 11

Betina Dewasa (Halize, Heni, Hyoina) 3 33

Betina Remaja (Lucia, Gadis) 2 22

Jantan Anak (Idel, Joshua) 2 22

Betina Anak (Abeth) 1 11

Total 9 100

Tabel 1 menunjukkan bahwa rasio jantan dewasa dan betina dewasa yaitu (1:3). Tipe kelompok simakobu ini adalah satu jantan (banyak betina), yaitu dalam satu kelompok memiliki satu jantan dewasa. Simakobu juga bisa hidup secara soliter yang berupa individu jantan tua yang terisolasi atau individu yang memisahkan diri.

(16)

Aktivitas Harian Simakobu

Aktivitas harian merupakan sejumlah kegiatan sejak bangun tidur hingga kembali tidur. Simakobu mulai beraktivitas sekitar pukul 06.00 WIB. Waktu mulai beraktivitas ini tidak tetap, mengikuti pergeseran waktu terbit matahari. Aktivitas harian berakhir dengan aktivitas berpindah memasuki pohon tidur sekitar pukul 18.00 WIB.

Aktivitas harian simakobu biasanya ditandai dengan aktivitas bersuara oleh simakobu jantan dewasa. Persentase aktivitas bersuara pada simakobu jantan dewasa sebesar 7% dari total aktivitas harian. Berikut adalah persentase aktivitas harian simakobu pada jantan dewasa (Gambar 4).

Gambar 4 Persentase aktivitas harian simakobu pada jantan dewasa

Persentase aktivitas bersuara pada simakobu jantan dewasa adalah yang tertinggi dibandingkan individu lainnya. Aktivitas bersuara pada simakobu jantan dewasa merupakan salah satu cara berkomunikasi untuk menyatakan keberadaannya kepada kelompok lain. Berikut adalah alokasi waktu aktifitas harian simakobu pada jantan dewasa (Gambar 5).

Gambar 5 Alokasi waktu aktivitas harian simakobu pada jantan dewasa

(17)

9 Simakobu jantan dewasa juga memiliki puncak aktivitas tertinggi yang merata di setiap waktunya pada aktivitas istirahat. Frekuensi aktivitas istirahat tertinggi terjadi pada pagi hari (09.00-10.00 WIB) dan siang hari (14.00-15.00 WIB) (Gambar 5). Gambar 4 juga memperlihatkan bahwa frekuensi tertinggi aktivitas harian simakobu adalah aktivitas istirahat sebesar 45%. Nilai ini adalah yang terbesar dibandingkan individu lainnya. Frekuensi aktivitas istirahat yang tinggi dikarenakan simakobu jantan dewasa adalah ketua dalam kelompok simakobu sehingga individu ini cenderung diam dan berjaga-jaga apabila ada gangguan.

Setelah terdengar suara loud call oleh simakobu jantan dewasa, aktivitas harian simakobu diawali dengan aktivitas makan. Aktivitas makan dilakukan karena simakobu biasanya bermalam pada pohon pakan atau berada dekat dengan pohon pakan. Persentase aktivitas makan tertinggi terjadi pada simakobu betina dewasa dibandingkan individu lainnya yaitu sebesar 35%. Berikut adalah persentase aktivitas harian simakobu pada betina dewasa (Gambar 6).

Gambar 6 Persentase aktivitas harian simakobu pada betina dewasa

Frekuensi aktivitas makan individu betina dewasa tinggi karena individu ini memerlukan masukan energi yang banyak untuk mengimbangi banyaknya energi yang keluar dalam rangka melakukan aktivitas berpindah, menyusui dan memelihara anaknya. Hal tersebut juga terlihat pada alokasi waktu aktivitas harian simakobu pada betina dewasa (Gambar 7).

Gambar 7 Alokasi waktu aktivitas harian simakobu pada betina dewasa

Gambar 7 menunjukkan bahwa simakobu betina dewasa memiliki puncak aktivitas makan tertinggi terjadi pada pagi hari (07.00-08.00 WIB), siang hari (11.00–12.00 WIB), dan sore hari (17.00–18.00 WIB). Bekantan yang merupakan

35%

28% 18%

6% 13%

(18)

kerabat dekat simakobu juga memiliki alokasi waktu makan tertinggi pada pagi hari (08.30 WIB), siang hari (12.30 WIB) dan sore hari (15.30 WIB) (Bismark 1994). Aktivitas makan pada pagi hari bertujuan untuk mengisi energi yang hilang setelah tidur agar dapat melakukan sejumlah aktivitas sepanjang hari dan meningkatkan kalori untuk mengembalikan suhu tubuhnya, sedangkan pada sore hari bertujuan untuk menjaga metabolisme tubuh selama istirahat panjang (tidur malam).

Setelah aktivitas makan, simakobu biasanya mulai melakukan pergerakan untuk mencari sumber makanan yang lain. Pada individu remaja, persentase aktivitas berpindah memiliki nilai tertinggi dibandingkan individu lainnya yaitu sebesar 25% dari total aktivitas hariannya. Berikut adalah persentase aktivitas harian simakobu pada remaja (Gambar 8).

Gambar 8 Persentase aktivitas harian simakobu pada remaja

Akivitas berpindah yang tinggi pada individu remaja kemungkinan dikarenakan faktor fisik yaitu massa tubuh yang kecil yang memungkinkan individu remaja aktif bergerak dan berpindah. Faktor lain adalah kebutuhan nutrisi yang tinggi dalam masa pertumbuhannya mengakibatkan individu remaja aktif berpindah untuk mencari pakan (Garber 2007). Alokasi waktu aktivitas harian simakobu pada remaja disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Alokasi waktu aktivitas harian simakobu pada remaja

(19)

11 phenologi jenis pohon pakan. Hal serupa juga terjadi pada pergerakan kelompok rekrekan (Presbytis fredericae) yang dipimpin oleh betina dewasa dan individu jantan dewasa berada di belakang kelompok (Suryana 2010).

Menjelang siang hari, simakobu akan beristirahat setelah melakukan perjalanan dari satu pohon ke pohon yang lain. Pada waktu tersebut, suhu lingkungan akan meningkat sehingga simakobu akan menghemat energi dengan berteduh di bawah tajuk yang lebat. Menurut Koesmaryono dan Handoko (1988), aktivitas istirahat merupakan respon yang paling tepat untuk menjaga keseimbangan panas dan air di dalam tubuh simakobu.

Aktivitas sosial teramati ketika aktivitas bermain, menelisik, kawin dan agonistik. Aktivitas sosial memiliki frekuensi tertinggi pada individu anak. Berikut adalah persentase aktivitas harian simakobu pada anakan (Gambar 10).

Gambar 10 Persentase aktivitas harian simakobu pada anakan

Gambar 10 menjelaskan bahwa frekuensi aktivitas sosial pada anak sebesar 17% dari total aktivitas hariannya. Aktivitas sosial yang teramati ketika aktivitas makan, bergerak dan saat atau setelah beristirahat. Aktivitas sosial yang dilakukan individu anak adalah bermain. Hal tersebut bertujuan agar individu anak dapat belajar menyesuaikan diri dengan temannya dan menjadi anggota masyarakat yang penuh. Frekuensi aktivitas sosial yang tinggi terlihat pula pada alokasi waktu aktivitas harian simakobu pada anakan (Gambar 11).

Gambar 11 Alokasi waktu aktivitas harian simakobu pada anakan

(20)

aktivitas sosial tertinggi terjadi pada pukul (10.00-11.00 WIB) yaitu ketika setelah makan dan mulai memasuki waktu istirahat. Waktu tersebut sangat efektif bagi simakobu untuk menjalin keakraban satu sama lain karena jam istirahat siang yang cukup lama. Aktivitas simakobu anak juga disibukkan dengan aktivitas menelisik dengan frekuensi tertinggi terjadi pada siang hari (10.00-11.00 WIB). Aktivitas menelisik membuat hubungan individu dewasa dan anak menjadi lebih dekat.

Pada sore hari, simakobu bersiap-siap untuk melakukan aktivitas tidur yang dilakukan ketika hari mulai gelap sekitar pukul 18.00 WIB tergantung kondisi hari dimulai. Aktivitas ini dilakukan dengan bergerak menuju pohon tidur yang terletak tidak jauh dari pohon pakan terakhir yang dikunjungi. Hal ini dilakukan dengan tujuan pada keesokan harinya mudah dalam mengunjungi pohon pakannya.

Hasil pengamatan aktivitas harian menunjukkan bahwa simakobu menggunakan waktunya dari pagi hingga sore hari untuk melakukan berbagai tipe aktivitas. Masing-masing kelas umur memiliki pola aktivitas harian yang sedikit berbeda. Habitat dan lingkungan juga memengaruhi aktivitas harian. Rinaldi (1985) menjelaskan bahwa aktivitas harian dipengaruhi oleh kondisi cuaca pada pagi dan sore hari. Jika kondisi cuaca pada pagi hari berkabut dan dingin, maka aktivitas harian akan dimulai lebih lambat dan sebaliknya. Jika cuaca mendung pada sore hari maka aktivitas harian akan berakhir lebih cepat dan juga sebaliknya.

Pola Perilaku Simakobu

Perilaku adalah respon terhadap rangsangan yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon dapat bersifat pasif (bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan) (Notoatmodjo 2007 dalam Sinaga 2012). Perilaku simakobu dalam penelitian ini dibagi ke dalam lima perilaku utama meliputi perilaku makan, berpindah, istirahat, menelisik dan perilaku sosial.

Perilaku Makan dan Minum

Makan adalah aktivitas yang meliputi pencarian makanan, memilih, mengambil makanan, memasukkan makanan ke dalam mulut, menggigit, mengunyah dan menelan makanan. Menurut Chivers et al.(1975) dalam Rahman (2011), sikap tubuh dalam kegiatan makan primata berhubungan dengan posisi bagian yang dimakan di pohon, dukungan cabang tempat makan dan tipe percabangan (kelenturan).

Sikap yang dilakukan simakobu dalam melakukan aktivitas makan adalah duduk dan menggantung yang dapat dilihat dari nilai persentase kedua sikap tersebut. Sikap duduk dilakukan pada penyangga tubuh yang berukuran besar, seperti pada batang yang besar serta percabangan sumber pakan yang kurang lentur, sedangkan sikap tubuh menggantung dilakukan pada penyangga tubuh yang berukuran kecil (ranting).

(21)

13

Gambar 12 Persentase preferensi sikap makan simakobu

Gambar 12 menunjukkan bahwa simakobu dalam mengeksploitasi makanan lebih banyak menggunakan sikap duduk dibandingkan sikap menggantung dan tidak ditemukan simakobu melakukan aktivitas makan sambil berdiri. Simakobu menggunakan sikap duduk sebesar 86%, sedangkan sikap menggantung hanya 14% dari total aktivitas makan. Berikut adalah posisi simakobu saat makan (Gambar 13).

Gambar 13 Posisi simakobu saat makan

Simakobu dalam melakukan aktivitas minum biasanya akan turun ke sungai untuk minum. Selain itu, simakobu juga minum dari genangan air dan air yang ada di lubang-lubang pohon. Posisi simakobu saat minum dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Posisi simakobu saat minum

(22)

lidahnya. Ujung lidahnya digerak-gerakkan sehingga air dapat masuk ke dalam mulutnya.

Perilaku Istirahat

Istirahat pada kelompok simakobu merupakan aktivitas yang meliputi tidur, diam, dan mengawasi keadaan sekitar untuk menjaga kelompok lain untuk tidak masuk ke wilayah jelajahnya serta untuk menghindari predator. Tujuan istirahat setelah berpindah adalah untuk merenggangkan otot dan mengembalikan energi yang hilang setelah berpindah, sedangkan istirahat setelah makan adalah untuk mencerna nutrisi makanan di dalam tubuh.

Beberapa sikap yang digunakan simakobu dalam aktivitas istirahat, di antaranya duduk, telentang atau telungkup dan menggantung. Sikap duduk merupakan sikap istirahat dengan proporsi paling tinggi sebesar 93%. Menurut Reichard (1998), posisi duduk diduga melindungi diri dari udara dingin. Adapun sebesar 6%, simakobu memilih istirahat dengan posisi telentang atau telungkup dengan perut atau punggung menempel pada dahan. Simakobu beristirahat dengan posisi menggantung hanya sebesar 1%. Berikut adalah sikap simakobu saat istirahat (Gambar 15).

Gambar 15 Posisi simakobu saat istirahat

Gambar 15 menunjukan bahwa sikap duduk simakobu saat istirahat adalah kaki diangkat di batang pohon dan tangan melipat kakinya serta pantat simakobu menempel di batang pohon. Biasanya saat duduk, simakobu selalu memegang batang pohon jika batang pohon yang didudukinya kecil, hal ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan.

(23)

15 seringkali mendapati primata di dalam tubuh ular sanca yang mereka bunuh (Tenaza dan Tilson 1985).

Perilaku Berpindah

Aktivitas berpindah berkaitan dengan aktivitas pencarian dan pemilihan pohon pakan dan pohon tidur serta pengontrolan wilayah. Aktivitas berpindah pada simakobu memiliki frekuensi tertinggi pada pukul 12.00-13.00 WIB. Frekuensi aktivitas berpindah yang tinggi pada waktu tersebut terjadi karena simakobu ingin mencari makan dan tempat istirahat di siang hari. Pergerakan yang dilakukan oleh simakobu terdiri dari berjalan (pelan, agak cepat dan cepat) sebesar 46%, melompat secara quadrupedal (pendek, jauh dan sangat jauh) sebesar 48% dan memanjat akar, batang pohon maupun liana sebesar 4%. Cara ini dilakukan karena simakobu memiliki keempat tungkai yang sama panjang. Berikut adalah beberapa cara berpindah simakobu (Gambar 16).

(a) (b)

(c)

(24)

Pada kelas umur anakan, terkadang perpindahan antar satu pohon ke pohon yang lainnya dibantu oleh induknya dengan cara digendong sambil anak memeluk erat tubuh induknya. Hal ini biasanya dilakukan ketika melewati tajuk antar pohon yang cukup jauh sehingga dapat menghindari resiko anak jatuh dari pohon dan tertinggal oleh kelompoknya. Pengamatan menjelaskan bahwa tercatat satu kali individu anak terjatuh dari pohon ketika melakukan perpindahan antar pohon. Perilaku Menelisik

Menelisik merupakan salah satu aktivitas yang sering dilakukan sebagai salah satu komunikasi melalui sentuhan antar anggota kelompoknya untuk memelihara keterikatan sosial antar individu dalam kelompok. Di sisi lain, juga sebagai sarana membersihkan diri dari kotoran atau parasit yang melekat di permukaan tubuh (Perez danVea 2000). Perilaku menelisik pada kelompok simakobu dilakukan dengan berpasangan dan seluruh individu dapat terlibat dalam kegiatan tersebut, tanpa terkecuali jantan dewasa dan anak. Proporsi individu simakobu dalam melakukan aktivitas menelisik dan ditelisik dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Proporsi individu simakobu dalam menelisik Ditelisik

Jantan Dewasa Betina Dewasa Remaja Anakan Menelisik

Jantan Dewasa 0 1 0 0

Betina Dewasa 4 13 4 27

Remaja 14 13 7 16

Anakan 0 5 0 0

Tabel 2 menunjukkan bahwa aktivitas menelisik aktif paling sering dilakukan oleh simakobu betina dewasa kepada anakan dikarenakan anak masih butuh perawatan dari induknya, sedangkan menelisik pasif lebih sering dilakukan oleh jantan dewasa karena individu jantan dewasa malas menelisik anggotanya dan menunjukkan sifat dominasinya. Namun, jika salah satu anggota individu terpisah dari kelompoknya maka individu tersebut akan menelisik sendiri meskipun hanya sebagian tubuh saja yang bisa digapai dengan tangannya. Perilaku menelisik pada simakobu dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17 Perilaku menelisik pada simakobu

(25)

17 menjulurkan lengan atau berbaring sambil menjulurkan lengan, membuka kedua paha, duduk mengangkat lengan. Sikap duduk dalam melakukan aktivitas menelisik memiliki persentase terbesar yaitu sebesar 83%. Aktivitas menelisik pada simakobu memiliki frekuensi tertinggi pada pukul 10.00-12.00 WIB, yang dilakukan pada saat aktivitas istirahat. Bagian tubuh yang ditelisik antara lain punggung, ekor, paha, pangkal paha, sekitar kemaluan, pangkal lengan dan lain-lain.

Perilaku Sosial

Perilaku sosial terdiri dari kawin, bermain, menyusui dan agonistik. Perilaku kawin pada simakobu lebih sering terjadi pada pukul 07.00-13.00 WIB. Hal ini dikarenakan pada waktu tersebut, simakobu sedang aktif mencari makan dan menelisik, sehingga memiliki banyak kesempatan untuk melakukan pendekatan (courtship) dan kawin (mounting). Suprihandini (1993) menyatakan bahwa aktivitas kawin mempunyai periode aktif yang tidak teratur, terjadi pada waktu tertentu saja.

Jantan dewasa aktif mendekati, mengikuti atau mengejar betina untuk dikawini atau sekedar memeriksa kelamin betina. Biasanya sebelum kawin, individu simakobu jantan dewasa memanggil individu betina dewasa dengan suara”kwek-kwek”. Pemeriksaan kelamin dapat dilakukan dengan menggunakan jari (tactile communication) atau dengan mencium bagian alat kelamin betina (olfactory communication) (Napier dan Napier 1985).

Proses pengejaran jantan dewasa terhadap betina dewasa yang masih liar dan belum tergabung secara penuh dalam kelompok ini membutuhkan waktu yang cukup lama dikarenakan betina dewasa tersebut belum terhabituasi sehingga takut terhadap kehadiran pengamat. Saat pengejaran, jantan dewasa memisahkan diri dari kelompoknya. Waktu yang dibutuhkan selama proses kawin ± 42 detik.

Perilaku menyusui dilakukan oleh simakobu betina dewasa terhadap anaknya. Perilaku menyusui sangat penting untuk meningkatkan kesempatan hidup bagi sang anak dan berpengaruh terhadap keberhasilan reproduksi induk betina (Trivers 1972 dalam Zhao et al. 2008). Anak primata sangat bergantung pada sang ibu dalam waktu yang sangat lama dibandingkan anak mamalia lainnya dengan ukuran tubuh yang sama (Kappeler et al. 2003 dalam Zhao et al. 2008).

Perilaku bermain biasanya dilakukan pada saat istirahat. Individu simakobu yang biasanya melakukan aktivitas bermain adalah remaja dan anakan, terkadang betina dewasa juga ikut serta bermain dengan anak. Dalam bermain, remaja dan anakan saling berkejaran, saling dorong dan saling menarik rambut. Aktivitas ini hampir terlihat seperti aktivitas agonistik namun pada dasarnya bukanlah suatu perilaku agonistik karena ditujukan bukan untuk menyakiti individu lainnya melainkan merupakan sarana mempererat hubungan individu. Menurut Poole (1985), perilaku bermain bermanfaat untuk melatih kemampuan fisik dan koordinasi serta kemampuan berkompetisi, sehingga individu anak dan remaja tersebut lebih siap menghadapi lingkungannya.

(26)

mengeluarkan alarm call adalah untuk mendapatkan perhatian dari individu simakobu lain dalam satu kelompok. Tercatat selama pengamatan terjadi dua kali perkelahian dengan kelompok lain pada tepi wilayah jelajah ketika kedua jantan dewasa tersebut saling mencari makan.

Perilaku Bersuara

Perilaku bersuara khususnya loud call berfungsi sebagai fungsi spasial antar kelompok dan koordinasi sosial. Dalam kaitannya dengan fungsi spasial antar kelompok, Mitani dan Stuht (1999) dalam Suryana (2010) menyatakan bahwa

loud call merupakan adaptasi suara untuk meningkatkan pengakuan wilayah dalam jarak yang jauh. Suara simakobu biasanya terdengar bersahut-sahutan antara satu kelompok dengan kelompok lain, karena suara yang dikeluarkan oleh satu kelompok akan menstimulasi kelompok lain untuk ikut bersuara. Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku bersuara adalah ukuran kelompok, keberadaan kelompok lain di sekitar wilayah jelajahnya, faktor cuaca, ketersediaan sumberdaya, adanya gangguan dan ancaman serta kerusakan habitat (Oktaviani 2009).

Aktivitas bersuara berlangsung sepanjang hari dalam waktu aktifnya dengan frekuensi tertinggi terjadi pada pukul 07.00-08.00 WIB yaitu sebesar 18% dengan durasi sekitar 20-30 detik. Panjang pendeknya durasi waktu bersuara simakobu dipengaruhi oleh suara yang dikeluarkan oleh kelompok lain dan seberapa besar bahaya atau gangguan yang diterimanya. Pohon dominan yang digunakan untuk melakukan aktivitas bersuara memiliki ketinggian tajuk rata-rata 23 meter. Pohon yang digunakan sebagai lokasi simakobu untuk bersuara biasanya terletak tidak jauh dari pohon pakannya. Hal ini diperkirakan berkaitan dengan fungsi aktivitas bersuara sebagai tanda kepemilikan sumber daya yang ada seperti pohon pakan. Simakobu lebih memilih duduk dan tidak banyak bergerak dalam satu pohon selama bersuara dengan persentase terbesar yaitu 43%.

Penelitian ini menjelaskan bahwa aktivitasbersuara dilakukan oleh individu jantan dewasa (Hock) dan anakan (Idel dan Joshua). Jantan dewasa bersuara pada saat kelompok simakobu yang lain melakukan loud call. Hal ini menunjukan teritori dan keberadaan masing-masing kelompok dan selanjutnya diikuti oleh

loud call dari kelompok lain. Loud call juga terjadi ketika simakobu mendengar suara pesawat yang dekat dari wilayahnya dan ketika mendengar pohon jatuh di dekat daerahnya. Hal ini merupakan respon simakobu karena merasa terganggu oleh kehadiran suara tersebut. Loud call dapat terdengar hingga 500 meter (Tenaza dan Fuentes 1995). Adapun individu anak bersuara karena merasa terancam dan berada dalam posisi yang cukup jauh dari induk, maka individu anak akan mengeluarkan suara yang menyatakan diri untuk meminta perlindungan.

Komposisi Vegetasi pada Habitat Simakobu

(27)

19 wilayah jelajah kelompok simakobu memiliki ketinggian pohon yang bervariasi. Berikut adalah distribusi ketinggian pohon pada jalur simakobu (Gambar 18).

Gambar 18 Distribusi ketinggian pohon pada jalur simakobu

Hasil analisis vegetasi di wilayah jelajah kelompok simakobu tercatat 42 jenis tumbuhan tingkat pohon, 28 jenis tumbuhan tingkat tiang, 60 jenis tumbuhan tingkat pancang, dan 42 jenis tumbuhan tingkat semai. Berikut adalah Indeks Nilai Penting tingkat vegetasi pada kelompok simakobu (Tabel 3).

Tabel 3 Indeks Nilai Penting tingkat vegetasi pada kelompok simakobu

Tingkat Nama Lokal Nama Spesies INP (%)

Pohon

Katatairek Bhesa paniculata Arn. 19.59

Posa Baccaurea deflexa 18.37

Logauna Knema sumatrana (Blume) W.J.de wilde 17.19

Sibeumuntei Syzigium palembanicum Miq 13.34

Renggeu Palaquim sumatranum Burck. 12.57

Tiang

Sumbeili Actephila javanica Miq. 18.11

Aren Arenga pinnata 14.09

Alosit Baccaurea parviflora (Mull.Arg.) 13.21

Renggeu Palaquim sumatranum Burck 12.97

Boiko Alangium ridleyi 12.69

Pancang

Sikurut Polyalthia rumphii Blume 12.77

Putcaiguat Shorea sp. 11.96

Alosit Baccaurea parviflora Mull.Arg 11.15

Patakup Oldenlandia rigida 10.91

Loingat tetesirauma Symplocos costata (Blume) Choisy 7.96

Semai

Patakup Oldenlandia rigida 17.89

Putcaiguat Shorea sp. 15.27

Utut pilot - 13.42

Posa Baccaurea deflexa 9.73

Logiwiba - 9.04

Tabel 3 menjelaskan bahwa tumbuhan tingkat pohon didominasi oleh katatairek (Bhesa paniculata Arn.) dengan nilai INP sebesar 19.59%. Hal tersebut serupa dengan penelitian Rahayuni (2007) yang menunjukkan bahwa katatairek (Bhesa paniculata Arn.) dan sibeumuntei (Syzygium palembanicum Miq) mendominasi vegetasi pada tingkat pohon. Pada tingkat tiang, salah satu vegetasi yang mendominasi adalah alosit (Baccaurea parviflora Mull.Arg) dengan INP

(28)

11.21%. Vegetasi tersebut memiliki persamaan dengan penelitian Handayani (2008) dengan INP 18.80%.

Gambar 18 menunjukkan bahwa sebagian besar pohon di jalur analisis vegetasi memiliki selang ketinggian 21-25 meter dengan tajuk pohon terendah memiliki ketinggian 8 meter dan tajuk pohon emergent mencapai 30 meter.

Struktur vegetasi pada wilayah jelajah kelompok simakobu tersusun atas stratum A, B, C, D dan E dengan vegetasi yang mendominasi yaitu pada stratum B (tinggi lebih dari 20 meter). Berikut adalah bentuk profil pohon kelompok simakobu yang digambarkan pada satu jalur (Gambar 19).

Gambar 19 Profil pohon di jalur wilayah jelajah simakobu

Gambar 19 memperlihatkan bahwa bentuk sebaran jenis tumbuhan pakannya cenderung mengelompok dengan jumlah jenis pakan yang banyak. Hal tersebut memengaruhi pendeknya perjalanan harian simakobu, sehingga luasan wilayah jelajahnya cenderung lebih sempit. Selain itu, pada Gambar 19 terlihat pula tajuk pohon yang cenderung kontinu (bersentuhan), sehingga memudahkan perjalanan kelompok simakobu untuk mencari makanan.

Kondisi habitat dan vegetasi dalam ruang jelajah simakobu harus mampu mendukung seluruh aktivitas hidup simakobu seperti pohon yang tinggi dengan kanopi yang kontinu untuk mendukung pola hidup simakobu yang arboreal,

keanekaragaman sumber pakan dan ketersediaan pohon-pohon yang memadai sebagai pohon tidur. Radespiel et al. (2003) menyatakan bahwa lokasi tidur dapat menyediakan perlindungan yang baik dari gangguan predator jika lokasi tersebut sulit untuk diakses (seperti memilih tajuk yang rapat atau terletak tinggi di atas tanah).

Jenis Pakan Simakobu

(29)

21 akan berpengaruh besar terhadap sumber pakan dan keadaan populasi satwa (Rahayu 2002). Jumlah jenis vegetasi sumber pakan simakobu adalah 50 jenis dari 172 jenis vegetasi dan satu jenis pakan berupa larva. Sebanyak 50 jenis pohon pakan diantaranya merupakan famili Burseraceae, Tiliaceae, Alangiaceae, Sapotaceae, Moraceae, Sapidaceae, Myristicaceae, Lauraceae, Dipterocarpaceae, Dilleniaceae, Rubiaceae, Euphorbiaceae. Kalibangbak (Endospermum malaccense) adalah jenis dari famili Euphorbiaceae yang merupakan jenis yang paling sering dimanfaatkan sebagai pakan simakobu. Berikut adalah persentase jenis pohon pakan yang sering dikonsumsi simakobu (Tabel 4).

Tabel 4 Persentase jenis pohon pakan yang sering dikonsumsi simakobu

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Jumlah %

1 Kalibangbak Endospermum malaccense Euphorbiaceae 116 37%

2 Toktuk Durio zibethinus Murr. Bombaceae 32 10%

3 Puput - - 29 9%

4 Posa Baccaurea deflexa Euphorbiaceae 27 9%

5 Peiki Artocarpus dadah Miq Moraceae 21 7%

6 Pakatoktuk Durio graveolens Becc. Bombaceae 20 6%

7 Magrit Sijokjok Milletia atropurpurea Bth. Papilionaceae 19 6%

8 Katateirek Bhesa paniculata Arn. Celastraceae 15 5%

9 Sibuluk tolobok Blumeodendron tokbrai Euphorbiaceae 13 4%

10 Alosit Baccaurea parviflora Euphorbiaceae 11 4%

Simakobu lebih sering mengkonsumsi kalibangbak (Endospermum malaccense) dengan persentase sebesar 37%. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan pada saat penelitian, kalibangbak mengalami musim bunga dan buah sehingga simakobu banyak melakukan aktivitas makan pada jenis pohon ini. Roosmalen (1980) dalam Bismark (1991) mengemukakan bahwa keanekaragaman pakan primata dipengaruhi oleh musim. Selain itu, kemungkinan lain adalah daun dan buah kalibangbak mengandung kadar air yang tinggi sehingga mudah dicerna oleh simakobu. Pada umumnya satwa lebih suka memakan tumbuhan yang mudah dicerna daripada makan jenis pakan yang bernutrisi (Morrison 1959 dalam Surono 2012). Berikut adalah daun kalibangbak salah satu pakan utama simakobu (Gambar 20).

Sumber: SCP Gambar 20 Daun kalibangbak salah satu pakan utama simakobu

(30)

Gambar 21 Persentase bagian yang dikonsumsi oleh simakobu

Gambar 21 menjelaskan bahwa simakobu dalam memilih makanan lebih menyukai bagian daun dibandingkan bagian pakan lainnya, dengan nilai 53% dari total bagian yang dikonsumsi dalam aktivitas makan. Bunga memiliki nilai 21% dari total bagian yang dikonsumsi, buah memiliki nilai 14% dari total bagian yang dikonsumsi, biji memiliki proporsi sebesar 11% dari total bagian yang dikonsumsi, serta pakan lainnya yaitu larva sebesar 1%. Simakobu mengkonsumsi larva insekta untuk mendapatkan asupan protein. Hal tersebut terjadi pula pada bekantan yang mengkonsumsi serangga atau rayap (Coptotermes) dan kepiting untuk mencukupi kebutuhan asam amino esensial (Bismark 2009).

Daun, baik dari daun muda maupun daun tua memiliki peranan penting pada makanan simakobu. Akan tetapi yang jadi masalah adalah daun mengandung senyawa fitokimia yang bersifat toksin, disamping selulosa dan lignin (Oates 1977, Hoshino 1985). Senyawa sekunder tersebut dapat berupa asam amino non protein, alkaloid dan fenol yang kesemuanya berpengaruh pada perilaku makan satwa. Tanin dapat mengkoagulasikan protein dan enzim pencernaan. Pada beberapa primata terlihat tidak ada korelasi yang sangat nyata antara intensitas makan dengan senyawa sekunder tersebut, namun satwa tetap berupaya menghindarkan efek keracunan makanan seminimal mungkin (Oates 1977). Sehingga simakobu lebih memilih daun muda untuk dikonsumsi karena kandungan senyawa fitokimia yang rendah (Bennet 1983).

Menurut Davies (1991), buah yang matang mengandung asam yang tinggi, apabila dikonsumsi dalam jumlah besar dapat menurunkan dan menetralkan pH lambung akibat meningkatnya produksi Volatile Fatty Acid sehingga dapat menyebabkan acidosis dan kematian. Untuk mengatasi pengaruh asam yang tinggi pada buah, simakobu mengkonsumsi daun.

Menurut Milton (1981) perilaku memilih pakan pada primata berkaitan dengan anatomi pencernaan. Sub famili Colobinae memiliki sistem pencernaan yang dikenal dengan polygastric, diantaranya terdapat organ forestomach, tempat terjadinya proses fermentasi makanan oleh bakteri mikroflora sehingga karakteristik ini menguntungkan bagi Colobinae dalam mencerna makanan berupa daun yang banyak mengandung serat (Bauchop, 1978; Hladik, 1978 dalam

Bismark 1994). Selain itu, Colobinae memiliki saluran pencernaan yang panjang dengan ditandai perluasan perut dan usus untuk mencerna daun (Janis 1976 dalam

Cowlingshaw dan Dunbar 2000).

Biji memiliki proporsi sebesar 11% dari total bagian yang dikonsumsi oleh simakobu. Menurut Waterman dan Kool (1994), biji mengandung nutrisi berupa karbohidrat dan lemak yang tinggi serta biji juga lebih mudah dicerna bila dibandingkan dengan daun muda. Selain itu, sub famili Colobinae juga memiliki

(31)

23 morfologi gigi dan lambung serta sistem pencernaan yang sesuai untuk mencerna biji (Lucas dan Teaford 1994; Chivers 1994 dalam Bismark 1994). Ketersediaan biji yang lebih bersifat temporal dan spasial menjadi faktor pembatas simakobu dalam mengkonsumsi biji.

Wilayah Jelajah Simakobu

Wilayah jelajah simakobu merupakan batas terluar dari akumulasi jalur jelajah harian selama pengamatan. Daerah jelajah yang cenderung dipertahankan secara ketat dari gangguan atau intervensi kelompok lainnya dikenal sebagai daerah teritori kelompok tersebut (Suratmo 1979 dalam Hadi 2002). Daerah inti merupakan daerah yang paling sering dikunjungi dalam melakukan aktivitas hariannya dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Gambar 22 memperlihatkan luas wilayah jelajah, daerah teritori, daerah intiserta pohon tidur simakobu.

Gambar 22 Peta wilayah jelajah kelompok simakobu yang diamati

Analisis spasial menjelaskan bahwa wilayah jelajah simakobu seluas 5.2 hektar. Daerah teritori atau daerah yang dipertahankan oleh simakobu seluas 2.1 hektar, sedangkan daerah inti seluas 2.9 hektar. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Handayani (2008) yang menyatakan bahwa simakobu hidup berkelompok dengan wilayah jelajah seluas 2-4 hektar.

(32)

daya lingkungannya, semakin baik kondisi lingkungannya maka semakin sempit ukuran wilayah jelajahnya.

Pergerakan yang dilakukan oleh kelompok simakobu dalam melakukan aktivitas hariannya meliputi beberapa parameter, diantaranya jelajah harian (DR), radius maksimum (MR) dan jarak antara pohon tidur semula dengan malam berikutnya (NPS). Arah pergerakan diinisiasi oleh jantan dewasa sebagai pemimpin kelompok. Berdasarkan hasil pengamatan, parameter pergerakan harian simakobu disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Parameter pergerakan harian kelompok simakobu

Max (m) Min (m) Rata-rata (m)

DR 1428 589 988

MR 259 135 182

NPS 175 81 114

Tabel 5 menjelaskan bahwa jarak jelajah harian berkisar antara 589-1428 meter. Jelajah harian dilakukan secara rutin setiap hari dengan rute pergerakan dari pohon tidur menuju sumber pakan. Jelajah harian dipengaruhi oleh cuaca, kualitas habitat dan kelimpahan pakan. Apabila sumber pakan melimpah maka jarak perpindahan yang dilakukan simakobu akan semakin pendek.

Radius maksimum dalam kelompok simakobu dalam satu hari mencapai rata-rata 182 meter yang berkisar antara 135-259 meter. Radius maksimum dipengaruhi oleh keberadaan kelompok simakobu lainnya yang berada di wilayahnya, topografi dan keragaman jenis sumber pakan. Pada musim kawin, radius maksimum akan menjauh dikarenakan jantan dewasa akan mencari dan berusaha mengejar betina dewasa yang belum terhabituasi untuk dikawinkan.

Jarak antara perpindahan lokasi tidur semula dengan malam berikutnya berkisar antara 81-175 meter dengan jarak rata-rata 114 meter. Pemilihan lokasi tempat tidur dipengaruhi oleh sumber pohon pakan terdekat sehingga pada hari berikutnya simakobu tidak melakukan perpindahan yang terlalu jauh serta pohon yang tinggi dan berdiameter besar juga disukai simakobu sebagai lokasi tidurnya. Menurut Bismark (1994), pemilihan lokasi tempat tidur bagi primata berfungsi dalam menghindari predator dan parasit.

Pola Penggunaan Ruang Tajuk bagi Simakobu

Posisi simakobu dalam melakukan aktivitas hariannya menunjukkan mekanisme pemanfaatan ruang yang ada. Pemanfaatan ketinggian pohon oleh simakobu berdasarkan pengamatan terjadi mulai selang ketinggian 1-5 meter hingga 26-30 meter.

(33)

25 Berikut adalah grafik pemanfaatan ketinggian pohon oleh simakobu (Gambar 23).

Gambar 23 Pemanfaatan ketinggian pohon oleh simakobu

Pemanfaatan ruang pada pohon oleh simakobu selain diamati berdasarkan ketinggian absolut (dalam interval 5 meter), juga diamati berdasarkan ketinggian relatif yaitu penggunaan ruang tajuk pohon berdasarkan proyeksi horizontal dan vertikal untuk aktivitas harian simakobu (makan, istirahat, menelisik dan bersuara). Berikut adalah preferensi pemilihan ruang tajuk oleh simakobu saat makan (Gambar 24).

Gambar 24 Preferensi pemilihan ruang tajuk oleh simakobu saat makan

Simakobu lebih sering melakukan aktivitas makan pada posisi 4 dengan proporsi terbesar yaitu 68%. Hal ini dikarenakan posisi tersebut kaya akan sumber pakan bagi simakobu. Menurut Houle et al. (2007), bagian atas tajuk memperoleh cahaya matahari yang lebih tinggi untuk fotosintesis sehingga memiliki daun yang kaya nitrogen dan protein serta buah yang melimpah, ukuran lebih besar.

Simakobu lebih sering menempati ruang tajuk bagian 4C jika dilihat dari proyeksi horizontal maupun vertikal yaitu sebesar 67% dari total seluruh pemanfaatan tajuk pada pohon pakan di posisi 4. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh posisi daun yang disukai oleh simakobu berada pada ujung tajuk pohon.

Saat istirahat, simakobu akan memilih vegetasi dengan tajuk tertutup. Hal ini bertujuan untuk melindungi diri dari sengatan matahari. Berikut adalah preferensi pemilihan ruang tajuk oleh simakobu saat istirahat (Gambar 25).

(34)

Gambar 25 Preferensi pemilihan ruang tajuk oleh simakobu saat istirahat

Simakobu lebih sering menempati ruang tajuk pohon pada posisi 4B sebesar 49% dari total frekuensi pemanfaatan ruang tajuk pada saat istirahat di posisi 4. Adapun sebesar 39% di posisi 4C dan 12% di posisi 4A. Ruang tajuk bagian 4B memiliki tajuk yang rimbun dengan percabangan yang relatif besar dan kuat sehingga dapat menopang tubuh simakobu untuk istirahat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Soendjoto (2005) bahwa kelompok primata Colobinae yang hidup di hutan karet sebagian besar melakukan aktivitas istirahat pada strata tajuk bagian tengah karena pada strata tersebut percabangan pohon banyak terbentuk dan tajuk yang rimbun. Tajuk yang rimbun akan melindungi simakobu dalam menghindari predator.

Simakobu ketika melakukan aktivitas menelisik akan menempati ruang tajuk pada posisi 4B sebesar 65% dari total frekuensi pemanfaatan tajuk pada saat menelisik di posisi 4. Adapun sebesar 24% di posisi 4C dan 11% di posisi 4A. Berikut adalah preferensi pemilihan ruang tajuk oleh simakobu saat menelisik (Gambar 26).

(35)

27 dipengaruhi oleh faktor suhu. Pada saat hari terik, suhu pada strata tajuk tengah sangat memadai untuk simakobu melakukan aktivitas menelisik. Bismark (1994) menyatakan bahwa primata Colobinae pada siang hari menggunakan strata tengah untuk istirahat, sedangkan strata atas berfungsi sebagai pelindung dari panas, hal itu dikarenakan perbedaan suhu pada ketinggian di atas 20 meter dengan di bawah 17 meter adalah 1.5o

C.

Simakobu lebih memilih pohon dengan ruang tajuk bagian tengah untuk melakukan aktivitas bersuara. Posisi tajuk yang lebih sering digunakan yaitu pada posisi 4C sebesar 57%. Adapun posisi 4B sebesar 32% dan posisi 4C sebesar 11%. Berikut adalah preferensi pemilihan ruang tajuk oleh simakobu saat bersuara (Gambar 27).

Gambar 27 Preferensi pemilihan ruang tajuk oleh simakobu saat bersuara

Schneider et al. (2008) menjelaskan bahwa simakobu melakukan loud call

pada tajuk atas dengan ketinggian 18-58 meter. Hal tersebut dilakukan agar suara yang dikeluarkan dapat terdengar pada jarak yang lebih jauh.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Simakobu lebih suka mengeksploitasi makanan dengan sikap duduk dibandingkan sikap menggantung. Perilaku menelisik aktif paling sering dilakukan oleh simakobu betina dewasa kepada individu anak, sedangkan menelisik pasif lebih sering dilakukan oleh simakobu jantan dewasa. Simakobu jantan dewasa sering bersuara pada pagi hari untuk mengawali aktivitas harian.

2. Vegetasi yang bertahan mendominasi habitat adalah vegetasi pada tingkat tiang dan tingkat pohon yaitu alosit (Baccaurea parviflora Mull Arg), katatairek (Bhesa paniculta Arn) dan sibeumuntei (Syzygium palembanicum

(36)

3. Jelajah harian yang ditempuh simakobu sepanjang 589-1428 meter dengan wilayah jelajah simakobu seluas 5.2 hektar. Simakobu lebih sering memanfaatkan ruang pohon diantara cabang pertama hingga tajuk pohon pada rentang 21-25 meter.

Saran

1. Perlu dilakukan penyuluhan tentang pentingnya simakobu dan pemberian sanksi yang tegas kepada masyarakat Siberut yang masih berburu simakobu. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang studi perilaku dan populasi simakobu diarea yang sama agar diketahui ada tidaknya perubahan perilaku dan populasi akibat faktor lingkungan sehingga dapat dilakukan langkah konservasi yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwa liar Ed ke-1. Bogor (ID): IPB Press. Altmann J. 1974. Observational study of behaviour: sampling methods.

Behaviour. 69: 227-267.

Bennett EL. 1983. The banded langur ecology of a Colobinae in West Malaysian rain forest [disertation]. Cambridge (GB): Cambridge University.

Bismark M. 1991. Ekologi Makan Primata. Bogor (ID): IPB Press.

Bismark M. 1994. Ekologi makan dan perilaku bekantan (Nasalis lavatus Wurmb

1781) di Hutan Bakau Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Bismark M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.

Cowlingshaw G, Dunbar R. 2000. Primate Conservation Biology. London (GB): The University of Chicago Press.

Davies G. 1991. Seed eating by red leaf monkeys (Presbytis rubicunda) in dipterocarp forest of Northern Borneo. International Journal of Primatology. 12 (2):119-144.

Garber PA. 2007. Primate locomotor behavior and ecology. Ecology. 33: 543-560. Hadi AN. 2002. Studi karakteristik wilayah jelajah owa jawa (Hylobates moloch

Audebert, 1978) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Handayani YD. 2008. Struktur vegetasi habitat simakobu (Simias concolor) di area Siberut Conservation Programme(SCP), Pulau Siberut Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hoshino J. 1985. Feeding ecology of madrilla (Madrillus spinx) in Campo Animal

Reserve, Comeron. Primates. 26 (3): 248-273.

Houle A, Chapman CA, Vickery WL. 2007. Intratree variation in fruit production and implications for primate foraging. International Journal of Primatology.

28: 1197-1217.

(37)

29 Kwarnas I. 2005. Ukuran populasi dan aktivitas harian Fonti (Macaca togeanus) di Pulau Malenge, Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Primate Ecology. London (GB): Academic Press, pp. 276-313.

Oktaviani R. 2009. Studi perilaku bersuara owa jawa (Hylobates moloch

Audebert, 1978) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Perez AP, Vea JJ. 2000. Allogrooming behavior in Cercocebus torquatus: the case for the hygienic functional hypothesis. Primates. 41 (20): 199-207. Poole TB. 1985. Social Behaviour in Mammals. London (GB): Blackie & Son

Ltd.

Rahayuni DR. 2007. Studi ko-habitasi antara simakobu (Simias concolor) dan joja (Presbytis potenziani) di Area Siberut Conservation Programme (SCP), Pulau Siberut Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rahayu N. 2002. Variasi perilaku makan dan pemilihan jenis pakan owa jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) berdasarkan beberapa parameter struktur populasinya di Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Radespiel U, Ehresmann P, Zimmermann E. 2003. Species-specific usage of sleeping site in two sympatric mouse lemur species (Microcebus murinus and M. ravelobensis) in Northwestern Madagascar. American Journal of Primatology. 59: 139-151.

Rahman DA. 2011. Studi perilaku dan pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) di Pusat Studi Satwa Primata IPB dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Reichard U. 1998. Sleeping sites, sleeping places, and presleep behavior of Gibbons (Hylobates lar). American Journal of Primatology. 46: 35-62. Rinaldi D. 1985. Studi perilaku siamang (Hylobates syndactylus Raffles, 1821) di

Taman Nasional Way Kambas, Lampung [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertaniaan Bogor.

Schneider C, Hodges K, Fischer J, Hammerschmidt K. 2008. Acoustic niches of siberut primates. International Journal of Primatology. 29: 601-613.

Setiawan DH. 2008. Karakteristik habitat dan pola penyebaran musang mentawai (Paradoxurus lignicolor Miller 1903) di Area Siberut Conservation Programme (SCP). Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[SCP] Siberut Conservation Programme. 2009. Overview [internet]. [Diunduh 2013 Maret 04]. Tersedia pada http://www.siberut-island.org/html/scp general overview.html.

Sinaga WDM. 2012. Pengaruh pola pemanfaatan internet terhadap perilaku sehari-hari remaja [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(38)

Management). Bogor (ID).

Soendjoto MA. 2005. Adaptasi bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) terhadap Hutan Karet: Studi Kasus di Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Soerianegara I, Indrawan A. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): IPB Press.

Supriatna J, Wahyono EW. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.

Suprihandini W. 1993. Studi variasi ritme aktivitas populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) menurut jenis kelamin dan kelas umur

Suryana D. 2010. Studi perilaku makan dan palatabilitas rekrekan (Presbytis fredericae Sody, 1930) di Kawasan Hutan dan Perkebunan Karet Desa Gutomo Kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Tenaza RR, Tilson RL. 1985. Human predation and Kloss‟s gibbon (Hylobates klosii) sleeping trees in Siberut Island, Indonesia. American Journal of Pimatology. 8: 299-308.

Tenaza RR, Fuentes A. 1995. Monoandrus social organization of pigtailed langurs (simias concolor) in The Pagai Islands, Indonesia. International Journal of Primatology. 16 (2): 295-310.

Susilo H, Ziegler T, Waaltert M, Hodges JK. 2009. Tree diversity and forest structure in Northern Siberut, Mentawai Islands, Indonesia. Tropical Ecology. 50(2): 315-327.

Waltert M, Abegg C, Ziegler T, Hadi S, Priata D, Hodges K. 2008. Abundance and community stucture of mentawai primates in The Paleonan Forest North Siberut Indonesia. Onyx. 42 (3): 1-5.

Waterman PG, Kool KM. 1994. Colobinae food selection and plant chemistry. Di dalam: Davies AG, Oates JF, Editor. Colobine Monkeys: Their Ecology, Behaviour and Evolution. USA (US): Cambridge University Press, pp. 251-284.

Whittaker DJ, Ting N, Melnick DJ. 2006. Molecular phylogenetic affinities of the simakobu monkey (Simias concolor) molecular phylogenetics and evolution. Primata Conservation. 20: 95-105.

Wibisono Y. 2009. Perilaku pengasuhan anak pada joja (Presbytis potenziani siberu Chasen dan Kloss 1927) [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada.

(39)

31

RIWAYATHIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 29 September 1989 dari Ibu Sri Budiarti dan Bapak Kasdi. Penulis merupakan putra kedua dari dua bersaudara.

Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 24 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa pada Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Gambar

Gambar 1 Peta lokasi penelitian di area SCP
Gambar 5 Alokasi waktu aktivitas harian simakobu pada jantan dewasa
Gambar 7 Alokasi waktu aktivitas harian simakobu pada betina dewasa
Gambar 9 Alokasi waktu aktivitas harian simakobu pada remaja
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keputusan yang diambil oleh Uni Eropa dalam mengatasi krisis ekonomi Yunani adalah dengan memberikan bantuan dana talangan..

Niktinasi (nyktos = malam) merupakan gerak nasti yang disebabkan oleh suasana gelap, sehingga disebut juga gerak tidur. Selain disebabkan oleh suasana gelap, gerak

Wawancara merupakan suatu teknik pencarian data/informasi mendalam yang diajukan kepada informan dalam bentuk pertanyaan (Hikmat, 2011: 79). Teknik pengumpulan data yang

Walaupun hanya menjadi salah satu bagian proses resolusi kon fl ik, tanpa adanya komunikasi yang efektif, kata damai akan semakin sulit dicapai (Nicholson, 1991). Upaya FKUB

Berdasarkan hasil pengujian yang mengacu pada perumusan serta tujuan dari penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa secara parsial variabel pengalaman,

Softball merupakan olahraga bola beregu yang terdiri atas dua tim. Permainan ini berasal dari Amerika Serikat, diciptakan oleh George Hancock di kota Chicago pada tahun 1887.

JALANAN MENUJU MASJID Umar berjalan menuju masjid bersama pendampingnya, bertemu dengan seorang wanita non muslim yang ingin menceritakan keluhannya kepada Umar

Masyarakat dan Perubahan Sosial (Study Tentang Pergeseran Nilai Di Desa Paciran Kabupaten Lamongan Pasca Pembangunan Hotel Tanjung Kodok Beach Resort (TKBR) Dan Wisata Bahari