• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnalisme AIDS Dalam Surat Kabar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Jurnalisme AIDS Dalam Surat Kabar"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnalisme AIDS Dalam Surat Kabar

Kinkoto Rohadi

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

1.1. Ciri Suratkabar

Effendy (1986) menyatakan Ciri-ciri suratkabar adalah sebagai berikut :

a) Publisitas

Pengertian publisitas, ialah suratkabar tersebut diterbitkan untuk umum tanpa memihak sesuatu golongan (Sjafzudin, 1982: 188). Dilihat dari segi halamannya yang banyak, maka isi dari tiap halaman dengan sendirinya harus memenuhi kebutuhan dari khalayak pembacanya. Ciri publisitas suratkabar ini yang membedakan dengan berbagai bentuk penerbitan yang tidak diperuntukkan kepada umum walaupun bentuk fisik dan kualitas kertas sama dengan suratkabar.

b) Periodesitas

Periodesitas, ialah suratkabar itu diterbitkan secara berkala atau teratur. Keteraturan terbitnya bervariasi seperti satu kali sehari, dua kali sehari dan dapat pula satu kali seminggu, dan sebagainya. Untuk kondisi Indonesia yang biasa terjadi ialah satu kali sehari. Ciri periodesitas ini yang membedakan dengan penerbitan buku dan lain bentuk yang sejenis adalah penerbitannya tidak secara berkala walaupun disebarkan kepada umum dan isinya menyangkut kepentingan umum.

c) Universalitas

Setiap suratkabar berciri universalitas dimana isinya beraneka ragam mengenai berbagai kejadian diseluruh dunia dan segala aspek kehidupan. Oleh karenanya apabila ada penerbitan berkala yang diperuntukan kepada umum dan terbit secara berkala tetapi hanya menyangkut sesuatu yang khusus seperti pengkhususan pada bidang kedokteran, lingkungan dan sebagainya tidak dapat dikatakan berciri universalitas. Agar suratkabar mempunyai ciri ini, maka ia harus memiliki wartawan yang menangani bidang-bidang tertentu. Penempatan koresponden di berbagai tempat baik di dalam maupun di luar negeri mutlak diperlukan agar dapat meliput berbagai peristiwa penting yang spesifik.

d) Aktualitas

(2)

1.2. Sifat Suratkabar

Dalam menyampaikan berbagai informasi kepada pembacanya ada beberapa sifat dari surat kabar yang berbeda dengan media massa lainnya seperti radio dan televisi. Effendy (1990) mengemukakan ada beberapa sifat suratkabar, yaitu:

a. Terekam

Pada dasarnya berbagai informasi yang disampaikan dapat diulang berkali-kali oleh pembacanya sehingga dapat dijadikan dokumentasi yang dapat dibuka kembali pada saat diperlukan. Hal ini berbeda dengan radio dan televisi yang hanya dapat didengar atau dilihat sesaat.

b. Menimbulkan perangkat mental secara aktif

Informasi yang disampaikan hanya dapat diterima dengan dibaca sehingga dalam memahaminya dibutuhkan perangkat mental secara aktif Untuk itu bahasa dan susunan kata-katanya hendaknya mudah dipahami karena pembaca suratkabar bersifat heterogen dengan tingkat pendidikan dan pemahaman yang berbeda-beda.

1.3. Fungsi Suratkabar

Sejalan dengan berjalannya waktu maka suratkabar tidak hanya berfungsi sebagai alat informasi saja. Tetapi banyak fungsi yang dapat diberikan oleh suratkabar. Effendy (1986) menjelaskan fungsi-fungsi dari suratkabar adalah sebagai berikut:

a. Fungsi menyiarkan informasi

Berbagai informasi dengan cepat dan akurat dapat disampaikan oleh suratkabar. Khalayak pembaca menjadi pembeli ataupun berlangganan suratkabar karena ingin mengetahui informasi apa yang terjadi di berbagai tempat di dunia.

b. Fungsi mendidik

Suratkabar secara tidak langsung memberikan fungsi pendidikan pada pembacanya. Ini bisa dilihat dari materi isi seperti artikel, feature dan juga tajuk. Materi isi tersebut disamping memberikan informasi juga menambah perbendaharaan pengetahuan pembacanya walaupun bobot pemahaman tiap pembaca berbeda-beda.

c. Fungsi menghibur

Hiburan yang ditampilkan suratkabar berguna untuk melemaskan ketegangan para pembacanya. Hiburan ini dapat berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok, karikatur dan juga berbagai feature. Isinya dibuat seringan mungkin sehingga tidak menimbulkan pemikiran serius bagi pembacanya.

d. Fungsi mempengaruhi

Berita pada suratkabar secara tidak langsung mempengaruhi para pembacanya sedangkan tajuk rencana dan artikel dapat memberikan pengaruh langsung kepada pembacanya. Pengaruh ini pada mulanya timbul dari persepsi pembaca terhadap suatu masalah yang kemudian membentuk opini pada pembacanya.

(3)

Kesemua komponen ini diramu sedemikian rupa agar pembaca tertarik dan menjadi pelanggan setia dari suratkabar tersebut. Tetapi yang paling utama sebelumnya adalah pihak dari perusahaan suratkabar harus tabu siapa yang akan menjadi pangsa pasar dari suratkabar yang dikelolanya.

1.3.1. Definisi dan Pengertian Berita

Definisi berita dapat dijumpai di beberapa literatur yang berbeda satu sama lainnya, diantaranya seperti berita adalah kenyataan-kenyataan yang perlu tentang apa saja yang terjadi, kejadian-kejadian yang mampu menyentuh perasaan manusia (human interest) dan yang dapat mempengaruhi kehidupan dan kebahagiaan manusia (Ngafuan, 1995: 21).

Di kalangan para wartawan, berita yang dalam bahasa Inggrisnya "news" merupakan singkatan dari "North, East, West, South" atau "Utara, Timur, Barat,Selatan". Besar kemungkinan diasumsikan bahwa berita itu bisa diperoleh dan disebarkan/dikabarkan ke segala penjuru mata angin. (Koesworo, et al., 1994: 74).

Seorang pendiri industri pers di Inggris bernama Lord Northeliffe menyatakan bahwa berita itu adalah sesuatu yang di luar kebiasaan. Northeliffe kemudian menyebut ungkapan "if a dog bites a man it is not a news, but if a man bites a dog it is a news".

Definisi Northeliffe tersebut banyak dikritik para ahli komunikasi karena seolah-olah menganggap bahwa yang disebut berita itu hanyalah apa yang nyata terjadi padahal berita bisa juga mengenai hal yang akan terjadi atau apa yang menjadi pemikiran orang (Effendy, 1986: 151).

Mitchel V. Charnley (1965) dalam bukunya "Reporting" mendefinisikan berita adalah laporan tercepat tentang fakta atau opini yang mengandung sesuatu yang menarik minat atau penting ataupun keduanya kepada sejumlah besar penduduk.

Ada beberapa kriteria yang harus dipahami dalam membuat suatu berita yang sempurna. Yurnaldi (1995) menjelaskan kriteria tersebut sebagai berikut :

1. Menguasai bahasa.

Bahasa yang dipakai dalam membuat berita mengacu kepada pedoman penulisan yang berlaku.

2. Kalimat-kalimatnya sederhana.

Disebabkan pembaca suratkabar bersifat heterogen maka kalimat yang ditampilkan harus mudah dipahami.

3. Faktual dan aktual.

Peristiwa yang ditampilkan berisi laporan tentang fakta sebenarnya (realitas empiris) dan juga aktual. Aktual yaitu tidak hanya baru tetapi juga relevan dengan kebutuhan dan keinginan pembaca.

4. Obyektif dan lengkap.

lni dimaksudkan agar permasalahan yang akan disampaikan menjadi jelas dan dimengerti pembacanya. Suatu berita yang ditampilkan harus bersifat obyektif yaitu ia harus memuat keterangan atau pendapat semua pihak yang berkepentingan dengan suatu peristiwa.

5. Mengandung unsur 5W+ 1H+ 1S, yaitu:

Formula 5 W + 1 H adalah suatu formula yang diketemukan oleh kantor berita Associated Press (AP) pada tahun 1930 yang berisikan :

(4)

b) Who, yaitu siapa yang dijadikan bahan berita. c) Where, yaitu dimana peristiwa itu terjadi. d) When, yaitu kapan peristiwa itu terjadi. e) Why, yaitu mengapa peristiwa itu terjadi. f) How, yaitu bagaimana jalannya peristiwa itu.

Pada akhirnya suatu berita yang disajikan oleh suatu suratkabar perlu memperhatikan banyak hal yang menyangkut pada masalah Security atau keamanan. Keamanan yang dimaksud berkaitan dengan masalah intern, yaitu kelangsungan hidup suatu suratkabar dasalah ekstern, yaitu hubungan suatu suratkabar dengan pihak luar seperti negara, pemerintah dan masyarakat.

Penempatan berita di berbagai halaman suratkabar juga menunjukkan kepentingan dari suatu berita menurut suratkabar itu sendiri. Apabila suatu berita diletakkan pada halaman depan maka berita itu merupakan sesuatu yang dianggap sangat penting oleh suratkabar tersebut sehingga menjadi berita utama. Sedangkan berita di halaman berikutnya dianggap sebagai berita biasa.

Di dalam menganalisis suatu berita dapat dilihat kearah mana orientasi realitas dari informasi berita tersebut. Siregar (1987) dan Mallarangeng (1992) menyatakan orientasi realitas suatu informasi berita ada dua, yaitu :

1. Realitas Sosiologis.

Sesuatu informasi yang disampaikan dengan mengacu kepada apa yang dilakukan/ diperbuat oleh individu, kelompok atau lembaga dalam melakukan interaksi sosial. Ringkasnya adalah apa yang benar-benar terjadi dalam realitas (empiris). Informasi ini umumnya didapat secara langsung oleh wartawan suatu suratkabar dari lokasi pengamatan, seperti : berita tentang diskriminasi seorang dokter perawat penderita HIV/AIDS di suatu rumah sakit atau pelaksanaan immunisasi folio di daerah X, dan lain-lain.

2. Realitas Psikologis.

Sesuatu informasi yang disampaikan dengan mengacu kepada apa yang menjadi pemikiran ataupun ucapan oleh individu atau kelompok dalam suatu masyarakat. Informasi ini biasanya bersifat subyektif karena tidak sepenuhnya berpijak pada dunia empiris, seperti . berita tentang kondom tidak efektif terhadap penanggulangan HIV/ AIDS, dan lain-lain.

Suatu suratkabar dituntut memiliki "penyensoran sendiri" (self cencorship). Penyensoran sendiri lebih didasarkan atas kepentingan umum, artinya apakah suatu berita yang akan disiarkan dapat merusak atau merugikan nama baik seseorang atau tidak (Suwardi, 1993: 36). Apabila ada berita yang bemada menyerang atau mendiskreditkan individu, kelompok, pemerintah ataupun yang mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan), maka sebaiknya tidak dimuat.

(5)

1.3.2. Pengertian Rubrik Opini

Rubrik Opini dapat dikatakan sebagai tulisan dalam media cetak yang memasukkan pendapat penulis yang mengandung sesuatu fakta dan bersifat subyektif Dalam membuat suatu berita di suratkabar tidak boleh mencampur adukkan antara fakta dan opini (pendapat pribadi suratkabar). Sebagai cara untuk menampung misi dan karakter suratkabar, disediakan tempat khusus untuk menyalurkan opini, yaitu rubrik opini. Opini yang termuat dalam rubrik opini ini dapat berasal dari pihak suratkabar maupun pihak luar suratkabar. Halaman opini disediakan pers sebagai bagian dari pelaksanaan peran, fungsi serta tanggungjawabnya pada masyarakat, dalam, arti pers ikut menjalankan tugas demokratisasinya dengan menyediakan suatu forum untuk dialog (Hutabarat dan Susanto, 1995: 31).

Pada awalnya rubrik opini di suratkabar ditempatkan pada halaman khusus. Pada halaman yang disebut halaman opini ini dimuat tajuk rencana, artikel dan kolom, surat pembaca dan karikatur serta pojok. Pada konsep ini halaman opini harus terbebas dari berita maupun foto dan juga iklan. Akan tetapi ada yang mulai meninggalkan konsep halaman opini. Sering didapatkan tajuk rencana (editorial), komentar dan ulasan berada di halaman depan suatu suratkabar. Malahan ada suratkabar yang menempatkan tajuk rencana berada berdampingan dengan iklan disatu halaman suratkabar. Yang termasuk dalam rubrik opini adalah tajuk rencana atau editorial, artikel dan kolom, surat pembaca, pojok, karikatur dan resensi/kritik.

1.3.2.1. Tajuk Rencana

Tajuk rencana adalah rubrik yang membawakan visi atau opini sebuah suratkabar tentang sesuatu atau beberapa hal (Mallarangeng, 1992: 6). Bentuk penulisan tajuk mirip dengan artikel tetapi materi yang diulas lebih disempitkan lagi dan berhubungan dengan hal-hal yang kontemporer.

Tajuk rencana cenderung mengajak pembacanya merenung dan berpikir dan berusaha mempengaruhi dan meyakinkan para pembacanya. Untuk itu bahasa yang dipakai sebaiknya tidak menggurui atau berkhotbah karena pembaca bisa merasa dianggap bodoh (Hutabarat dan Susanto, 1995: 40).

Tajuk rencana ditulis oleh redaksi suratkabar untuk menyatakan pendapat suratkabar tersebut mengenai masalah yang terjadi. Dalam tajuk rencana ditawarkan suatu jalan keluar terhadap suatu permasalahan yang terjadi. Dengan kata lain, melalui tajuk rencana, suatu suratkabar menunjukkan sikapnya. Arpan (1970) menyatakan fungsi tajuk rencana adalah untuk mendorong daya pikir pembaca dan mengajaknya berbincang-bincang tentang sesuatu sebelum pendapat umum (public opinion) mengenai sesuatu itu terbentuk. Tajuk rencana di suratkabar manapun termasuk jenis tulisan yang tidak populer dan hanya memiliki sedikit pembaca.

Tetapi tulisan jenis ini tetap harus ada dan dibuat (Koesworo, et al, 1994: 111). Walaupun begitu halaman tajuk merupakan daerah penerbitan-penerbitan suratkabar yang paling banyak dikritik oleh pemerintah dan masyarakat (Naina, 1989: 122).

(6)

1.3.2.2. Artikel dan Kolom

Artikel adalah karangan prosa dalam suratkabar yang membahas suatu permasalahan secara lugas dan panjangnya bervariasi yang bertujuan meyakinkan, membujuk/menghibur pembaca (Koesworo, etal., 1994: 103). Artikel bersifat subyektif dan mengandung unsur aktualitas serta ditulis baik oleh orang dalam media suratkabar ataupun orang luar media suatu suratkabar. Pada artikel terdapat informasi, faktor-faktor dan dilengkapi opini, ide, konsep serta gagasan si penulis.

Kolom merupakan suatu tulisan ringkas (umumnya sekitar 4000-6000 karakter) dan memfokuskan mengenai suatu permasalahan serta ditulis dengan gaya bahasa yang populer. Isi kolom beraneka ragam, bersifat subyektif biasanya satiris dan komis mengenai beraneka ragam permasalahan. Pada kolom unsur analisis dan argumentasi juga harus jelas dan terfokus.

1.3.2.3. Surat Pembaca

Pada awalnya surat pembaca merupakan forum bagi pembaca suratkabar yang dibacanya. Kemudian berkembang menjadi pernyataan ataupun ungkapan pembaca terhadap berbagai hal.

lriantara (1995) menyatakan pada umumnya ada empat hal yang biasanya diungkapkan melalui surat pembaca, yaitu: (i) pengalaman pembaca yang dipandang bisa menjadi pelajaran bagi pembaca lainnya; (ii) pandangan pembaca terhadap sesuatu hal dan peristiwa; (iii) forum kontak sosial antara pembaca; dan (iv) tempat untuk menyampaikan pengaduan dan kritik terhadap layanan yang diberikan oleh lembaga pemerintah atau swasta.

Apabila dalam penulisan suatu artikel atau kolom ada diberikan honorarium kepada penulisan yang tulisannya berhasil dimuat, tetapi penulis surat pembaca tidak diberikan honorarium. Akan tetapi ada juga penerbit suratkabar yang memberikan hadiah kepada penulis surat pembaca.

1.3.2.4. Resensi/Kritik

Resensi berasal dari bahasa Belanda, "recensie" atau bahasa latin "recenseo" yang artinya memeriksa kembali. Resensi merupakan kegiatan meringkas sesuatu seperti: buku, cerita film, kegiatan drama, teater, musik dan lain-lain, dengan mencatat sesuatu yang penting dari sesuatu itu. Akan tetapi apabila dalam tulisan itu diungkapkan penilaian, pandangan dan komentar, maka kegiatan ini disebut kritik. Ada anggapan semua orang bisa membuat suatu resensi tapi untuk menjadi seorang kritikus dibutuhkan suatu keahlian. Walaupun begitu perbedaan antara resensi dan kritik dewasa ini sering tidak jelas. Koesworo, et.al, (1994) mengemukakan pembaca resensi pada umumnya terbagi atas tiga bagian, seperti :

1. Ingin mendapatkan bimbingan dalam memilih buku, menonton film, teater, drama atau menyaksikan pergelaran musik dan sebagainya.

2. Mengandalkan resensi sebagai bahan informasi karena tidak ada waktu dalam membaca buku atau hal lainnya.

(7)

1.3.3. Feature

Feature adalah sejenis tulisan ringan berbentuk informatif yang kreatif dan mengandung unsur subyektif dan ditujukan agar pembaca merasa terhibur. Walaupun feature sebagai bacaan hiburan tetapi tetap memberikan fakta yang ada.

Ngafuan (1995) menjelaskan feature dapat dibagi menjadi : 1. Feature berita.

Suatu tulisan tentang infonnasi yang menonjolkan unsur lucu, unik, aneh dan sangat menarik.

2. Feature rasa manusia.

Tulisan yang mengutamakan rasa manusia sehingga menimbulkan rasa haru, benci, simpati, dan lain-lain.

3. Feature sejarah.

Tulisan yang menyangkut suatu peristiwa sejarah tentang sesuatu kejadian. 4. Feature orang-orang dan sejarah hidup.

Tulisan yang memaparkan kisah hidup atau kepribadian seseorang yang penuh liku-liku dan tantangan untuk mencapai keberhasilan.

5. Feature perjalanan.

Tulisan yang menuturkan suatu perjalanan ke suatu tempat. 6. Feature yang menjelaskan.

Tulisan yang menjelaskan sesuatu atau memberikan petunjuk tentang terjadinya sesuatu.

7. Feature ilmu pengetahuan.

Tulisan yang menyangkut perkembangan suatu ilmu pengetahuan.

1.3.4. Reportase

Reportase adalah suatu laporan secara menyeluruh mengenai suatu kejadian atau peristiwa yang dilengkapi dengan keterangan dan latar belakang serta berbagai kesimpulan. Penulisan suatu reportage berbeda dengan penulisan suatu berita. Apabila berita dalam pengungkapannya berkarakter singkat dan padat, maka penulisan reportage dalam pengungkapannya lebih mendalam lagi.

Koesworo, etal., (1994) membagi reportage atas dua bagian, yaitu :

1. Straight reporting, adalah reportage yang sederhana, seperti: tulisan reportage jalannya pekan imunisasi nasional atau reportage hasil perjalanan mengikuti konferensi AIDS di Chiang Mai, dan sebagainya.

2. Indepth reporting, adalah reportage yang mendalam dan terbagi atas beberapa jenis diantaranya :

a. Interpretative reporting.

Reportase yang mengumpulkan suatu analisis, kajian atau interpretasi dari beberapa narasumber, seperti pandangan beberapa pakar mengenai terjadinya seks bebas di kalangan remaja dewasa ini.

b. Participle reporting.

(8)

masalah yang benar-benar valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Contoh dari participle reporting seperti kehidupan anak-anak jalanan di sekitar lapangan Banteng, dan lain-lain.

c. Investigative reporting.

Reportase yang menggali suatu kasus yang mencuat dipermukaan dikupas secara berbobot, tuntas, gamblang dan mendalam. Sering kali data yang dilaporkan tidak sesuai dengan kejadian sehingga diperlukan kejelian dan keuletan untuk mencari masukan yang sesuai dan data yang sahib.

1.3.5. Wawancara

Wawancara adalah suatu bentuk tanya jawab yang dilakukan oleh wartawan suatu suratkabar dengan nara sumber untuk mendapatkan informasi dan jawaban yang bernilai penting, menarik perhatian masyarakat terhadap suatu masalah yang hangat dan juga sekedar untuk hiburan (Yurnaldi, 1992: 69).

Ngafuan (1994) menjelaskan dalam prakteknya wawancara dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :

1) Wawancara untuk meminta keterangan.

Wawancara yang dilakukan untuk meminta keterangan atau informasi mengenai suatu peristiwa. Informasi ini didapat dari orang-orang yang melihat peristiwa ataupun yang mengalami peristiwa itu sendiri.

2) Wawancara untuk meminta pendapat

Wawancara yang dilakukan untuk mendapatkan suatu pandangan, pendapat ataupun opini dari satu atau lebih narasumber. Dari berbagai pandangan narasumber ini sering didapatkan pandangan yang berbeda satu dengan yang lainnya.

3) Wawancara untuk membuat cerita.

Wawancara yang dilakukan untuk mengorek kehidupan seseorang terutama seseorang yang telah dikenal banyak orang.

1.4. Manajemen Redaksional Suratkabar

Penyajian suatu informasi di suratkabar tidak akan terjadi tanpa melalui gatekeeper (pentapis informasi) sebagai pintu terakhir yang melakukan seleksi (Suwardi, 1993: 35). Severin dan Tankard, Jr. (1979), menyatakan para pentapis informasi pada umumnya adalah para pemimpin redaksi atau redaktur pelaksana dari suratkabar masing-masing.

Redaksi merupakan jantung seluruh aktivitas persuratkabaran karena tugas wartawan, editor serta bagian percetakan. Untuk itu dibutuhkan adanya manajemen yang berkaitan dengan bidang redaksi suratkabar atau yang disebut dengan manajemen redaksional. Koesworo, etal., (1994) mengemukakan, fungsi dan peran utama dari manajemen redaksional ini adalah mengkonsep dan merencanakan isi suratkabar dengan perencanaan penugasan.

(9)

Gambar 1.

Struktur Organisasi Institusi Suratkabar

Reporter Koresponden Pembantu Tetap/Lepas Wartawan Foto Reporter

Redaktur Pelaksana

Redaktur Halaman Wakil Pimpinan Redaksi

Pemimpin redaksi

Proses penyiaran suatu informasi di suratkabar diawali dengan rapat redaksi pada pagi hari, yang membahas isu apa yang aktual pada hari itu dan apa yang akan diliputi pada hari itu. Pada rapat ini juga, pemimpin redaksi memerintahkan redaktur pelaksana mencari informasi tambahan dari informasi yang disiarkan pada hari sebelumnya. Disamping itu tema artikel opini telah ditentukan pada rapat pagi. Sesudah rapat pagi selesai, maka redaktur pelaksana memerintahkan para wartawan menyebar untuk mencari berbagai informasi.

Pada sore hari diadakan lagi rapat redaksi yang membahas informasi apa saja yang sudah didapatkan. Pada rapat sore tersebut, redaksi telah menerima segala informasi yang akan diterbitkan keesokan harinya (Mallarangeng, 1992: 15). Keseluruhan informasi yang dikumpulkan diseleksi oleh pemimpin redaksi ataupun redaktur pelaksana. Informasi yang telah diseleksi kemudian diserahkan kepada redaktur halaman untuk ditentukan penempatan halamannya sesuai format pada suratkabar tersebut.

1.5. Profesionalisme Wartawan Suratkabar

(10)

timbul pendapat yang meragukan kemampuan profesionalisme wartawan yang meliputi suatu informasi.

Abrar (1992: 47) mengutip dari Siregar (1991) menyatakan profesionalisme seorang wartawan menyangkut : (i) teknik, yaitu ketrampilan memformat realitas sosial empirik yang memenuhi newsworthy dan bermanfaat pada masyarakat menjadi informasi ; (ii) etika, yaitu standar tindakan yang dipandang baik untuk membimbing ketrampilan wartawan. Dengan begitu, keberadaan profesionalisme wartawan berangkat dari etika seorang wartawan

Klaidman dan Beauchamp (1992 : 47), menyebutkan kemampuan profesionalisme wartawan dapat dilakukan dengan : (i) mengenali sebuah peristiwa secara menyeluruh ; (ii) menggunakan bahasa secara baik dan benar ; (iii) menulis dan menyunting berita dengan cepat dan sistematis ; (iv) mengecek fakta dengan cepat dan akurat ; dan ( v) menghadirkan fakta yang berasal dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda. Apabila wartawan belum dapat menyampaikan informasi dengan check dan re-check dengan baik dan benar maka ia belum dapat dikatakan profesional. Keadaan inilah yang bisa melahirkan vonis bahwa si wartawan belum memiliki moralitas wartawan yang tinggi (Abrar, 1995: 54).

Tetapi tidak dapat dipungkiri, dunia kerja persuratkabaran di Indonesia belum seperti yang diharapkan. Seorang wartawan sering terjebak dengan kewajiban etisnya sendiri seperti informasi yang sudah ditulisnya dianggap tidak layak oleh redaktur suratkabar dan kadangkala oleh pemilik media tersebut. Akibatnya wartawan beranggapan yang sangat menentukan sebuah informasi layak cetak adalah sistem yang berlaku di media itu (Abrar, 1992: 47). Disamping itu moralitas wartawan tidak,hanya menyangkut dirinya dan sistem yang berlaku di tempat kerjanya tetapi juga menyangkut keberadaan masyarakat ditempat wartawan tersebut berinteraksi sosial. Dengan kata lain bila tingkat moralitas wartawan rendah, maka masyarakat tempat wartawan itu berinteraksi sosial dapat juga disalahkan (Abrar, 1995: 53).

1.6. Etika Penulisan Informasi HIV/AIDS

Wartawan diharapkan tidak terjebak dalam sensasi karena informasi yang sensasional dapat menimbulkan kekhawatiran, ketakutan dan reaksi yang berlebihan dari masyarakat terhadap penderita HIV/ AIDS. Liputan yang cenderung sensasional dengan mudah menimbulkan kepanikan sosial dan berkembang pengetahuan yang keliru serta mitos yang salah kaprah sehingga menimbulkan diskriminasi dalam struktur masyarakat (Kompas, 14 Maret 1996: 3).

Dalam Seminar Nasional Masalah Etika HIV/AIDS yang diadakan pada tanggal 12-13 Maret 1996 di Surabaya, N. Riantiarno, pimpinan redaksi majalah Matra menyebutkan mental wartawan yang mengejar-ngejar penderita HIV/AIDS dan mengeksplotasinya untuk tulisan serial berhari-hari sebagai mental serigala. Sedangkan Hotman M. Siahaan mengkritik pers Indonesia mengalami skizoprenia atau kepribadian terbelah karena di satu sisi melakukan self-cencorship yang ketat pada berita politik tetapi di sisi lain sangat bebas untuk berita kriminalitas dan seks, termasuk masalah HIV/AIDS.

(11)

seperti kebijaksanaan dan reaksi masyarakat Sabrawi (1994) juga mengatakan agar para wartawan terhindar dari berbagai kesalahan dalam menulis informasi HIV/AIDS maka ia harus:

1. Tepat dalam memaparkan fakta dan akurat dalam menuliskan data. 2. Relevan dengan permasalahan yang ditengahkan.

3. Menghormati privasi orang lain. 4. Menghindari sensasi

5. Mengambil pendekatan rang positif.

Peliputan HIV/AIDS perlu dipergunakan terminologi HIV/AIDS yang tepat seperti pada matriks dibawah ini :

MATRIK 1

Terminologi Penulisan Informasi HIV/AIDS

NO. Kata yang tidak tepat Kata yang tepat 1. Tertular AIDS, trekena AIDS Wanita tuna Susila (WTS) Orang yang beresiko tinggi Virus HIV

AIDS

Pengidap HIV, HIV positif, seropositif HIV, Virus penyebab AIDS

AIDS

Tes HIV, tes antibodi HIV

Kelompok yang berperilaku resiko tinggi Terinfeksi/tertular HIV

Pekerja seks, pelacur

Perilaku yang beresiko tinggi HIV

Sumber : Sabrawi, et.al , 11 Langkah Memahami ADIS, 1994 : 76

Para ahli AIDS berpendapat bahwa sebaiknya wartawan menulis masalah HIV/AIDS dengan empati. Penanggung jawab Pusat Media/Pelatihan AIDS untuk Wartawan, Ashadi Siregar, berpendapat jumalisme AIDS harus bisa merintis jurnalisme yang berempati pada penderitaan sehingga fenomena epidemi HIV/ AIDS baik di dunia maupun yang telah melanda masyarakat Indonesia bisa menjadi pintu masuk untuk menciptakan masyarakat yang menyayang (Kompas, 29 April 1995: 3).

Empati dapat tumbuh bila ada sikap peduli dan sikap peduli wartawan berkembang karena mengetahui dan memahami beban psikologis dan sosiologis yang ditanggung seorang pengidap HIV/AIDS (Sabrawi, et.al, 1994: 76). Untuk itu, para wartawan diharapkan tidak membesarkan masalah (blow-up) dan memberi nama serta alamat pengidap HIV/AIDS karena dapat membuat penderita HIV/AIDS, keluarga dan orang-orang terdekatnya menjadi hilang hak sosialnya karena dikucilkan masyarakat.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Abrar, Ana Nadya., 1982. Pers Indonesia berjuang menghadapi perkembangan masa. Yogyakarta : Liberty.viii + 126 hIm.

______________,[s.a].Panduan buat pers Indonesia. Yogyakarta :Pustaka Pelajar, : xv + 135 hlm.

Arifin MK, Zainal., 1996 .Memberdayakan khalayak Media Massa. Suara Hidayatullah, Maret 1996: 82

Effendy, Onong u., 1986. Dimensi-dimensi komunikasi. Bandung : Penerbit Alumni, : xii + 356 hlm.

_______________,[s.a].Ilmu komunikasi, teori dan praktek. Bandung:Remaja Rosda Karya. ix + 181 hIm.

Fletcher, Frederick J., & Stahlbrand, Lori., 1992. Mirror or participant? Dalam: Canadian Environmental Policy: Ecosystem, Politics and Process, 1993.0xford University Press, Toronto: 179-199.

Flournoy, Don Michael., (ed.). 1989. Analisa isi suratkabar-suratkabar Indonesia. Gadjah Mada University Press: ix + 270 him.

Hutabarat, Saur., & Pudjomartono, Susanto., 1995. Menukik ke dalam artikel opini. Dalam: Ashadi Siregar & I Made Suarjana (eds). 1995. Bagaimana Mempertimbangkan Artikel Opini Untuk Media Massa. Penerbit Kanisius, Jakarta: 30-42.

Iriantara, Yosal., 1995. Surat pembaca dan layanan pos. Kompas, 3 Januari 1995 : 4.

Juyoto, Djudjuk., 1985. Jurnalistik praktis sarana penggerak lapangan kerja raksasa. Penerbit Nurcahaya, Yogyakarta: 88 hlm.

Klaidman, Stephen., & Beauchamp, Tom L., 1992. The virtous journalist: morality in journalism. Dalam: EIIiot D. Cohen. 1992. Philosophical Issues in Journalism. Oxford University Press, Oxford, New York: 39 -49.

Koeswara, FX, (etal.). 1994. Dibalik tugas kuli tinta. Sebelas Maret University, Solo dan Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta: X + 223 hlm.

Kompas 29 April 1995. Jurnalisme AIDS diharapkan berempati pada penderitaan. Jakarta: 20 hlm.

(13)

Krippendorff, Klaus., 1993. Analisis isi, pengantar teori dan metodologi. Rajawali Press, Jakarta: xvi + 308 hlm.

Malarangeng, Rizal., 1995. Persorde baru. tinjauan isi harian Kompas dan Suara Karya. FISIP UGM, Yogyakarta & Rajawali Pers, Jakarta: vii + 68 hlm.

Moleong, Lexi J., 1995. Metodologi penelitian kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung: xvii + 253 hIm.

Naina, Akmadsyah., 1992. Analisa isi tajuk rencana. Dalam: Don MichaeI Flournoy (ed). 1992. Analisa Isi Suratkabar-Suratkabar Indonesia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta: 120-150.

Ngafuan, Muh., 1995. Memburu uang dengan jurnalistik. petunjuk praktis menjadi wartawan top. Cv. Aneka, Solo: 116 hlm.

Prisma. Maret 1995. Sebuah citra dari drama sosial politik. Jakarta: 92-96.

Pujihastuti, Umi., (etal.). 1992. Studi pengetahuan dan sikap wartawan kesehatan tentang HIV/AIDS (suatu studi tentang media cetak di Jakarta). PPK, LP-UI, Jakarta: 41 hlm. [tidak dipublikasikan]

Rakhmat, Jalaluddin.,1991.Psikologi komunikasi. Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung: xiii + 332 hlm.

Sabrawi, Slamet Riyadi, et.al (ed). 1994. 11 Langkah memahami AIDS LP3Y, The ford Foundation, Yogyakarta: 94 hlm.

Siyaranamual, Julius R., 1994.Penyuluhan AIDS Iewat suratkabar. Dalam: 10 Pakar Bicara AIDS. LP3Y, Lentera PKBI DIY, The Ford Foundation, Yogyakarta: 65-72.

Sjazudin, Djudju., 1992. Bahasa dalam suratkabar. Dalam: Riyono Praktikto (ed). 1992. Lingkaran-Lingkaran Komunikasi. Penerbit Alumni, Bandung. 182-193.

Suara Pembaruan. 9 Mei 1995. Pusat media pelatihan AIDS untuk wartawan dibentuk. Jakarta: 16 hlm.

_________________12 Oktober 1995. Kesalahan dalam penulisan AIDS masih sering terjadi. Jakarta: 16 hlm.

(14)

Susanto, Astrid S., 1982. Komunikasi kontemporer. Penerbit Binacipta, Bandung: viii + 190 hlm.

__________________1986. Filsafat komunikasi. Penerbit Binacipta, Bandung: vi + 218 hlm.

Wright, Charles Republika., 1988. Sosiologi komunikasi massa. Penerbit Remaja Karya Cv., Bandung: xiii + 208 hlm.

Gambar

Gambar 1. Struktur Organisasi Institusi Suratkabar

Referensi

Dokumen terkait