1.
LAMPIRAN:
DATA BASE
NO UMUR
PENDID
IKAN REHAB FREKUENSI DURASI CARA
LAMA
2. LAMPIRAN: KUESIONER
DEPARTEMEN BIOLOGI ORAL
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
NO. SAMPEL :
KUESIONER
A. IDENTITAS PASIEN
Nama :………
Umur : ………
Pendidikan Terakhir : ………
Masa Rehabilitasi : ……… Bulan
B. KEADAAN UMUM PASIEN
1). Gangguan mental : A. Ada B. Tidak ada
2). Apakah Saudara/Bapak memiliki penyakit umum?
(penyakit ginjal, diabetes mielitus, hipertensi)
a. Ya b. Tidak
3). Bila Ya, apakah Saudara/Bapak rutin menjalani pemeriksaan dan
pengobatan penyakit tersebut?
a. Ya b. Tidak
1). Sebelum masuk panti rehabilitasi, apakah Saudara/Bapak sering
mengkonsumsi shabu ?
a. Ya b. Tidak
2). Berapa kali Saudara/Bapak menggunakan shabu dalam seminggu?
. . .
3). Sudah berapa lama Saudara/Bapak telah mengkonsumsi shabu-shabu ?
. . . tahun.
4). Bagaimana cara Saudara/Bapak mengkonsumsi shabu-shabu?
a. Dihisap (Dirokok/ Bong) b. Oral (dimakan) e. Lainnya
c. Injeksi d. Nasal (dihirup)
5). Sudah berapa lama Saudara/Bapak berhenti mengonsumsi shabu ?
……… Bulan.
6). Apakah Saudara/Bapak pernah mengonsumsi jenis narkotika lainnya?
a. Ya, yaitu ……….. b. Tidak
C.
KEADAAN RONGGA MULUT1) Sewaktu dulu
a. Ya b. Tidak
mengonsumsi shabu, apakah Saudara/Bapak pernah merasa
mulut kering?
2) Bila Ya, apakah sekarang
a. Ya b. Tidak
Saudara/Bapak tetap merasakan mulut
2) Selain air putih, pada saat ini, minuman apa yang sering Saudara/Bapak
konsumsi?
a. Air putih b. Jus c. Minuman soda
d. Teh manis e. Susu e. Lainnya
3) Berapa banyak saudara konsumsi minuman tersebut?
a. 1-3x sehari b. 4-6x sehari c. > 7x sehari
4) Berapa kali Saudara/Bapak menyikat gigi dalam sehari?
a. 1x b. 2-3x c. >3x
d. Kadang-kadang
D. PENGUKURAN VOLUME SALIVA
Volume saliva yang terkumpul = ……… mL
E. PENGUKURAN pH SALIVA
pH saliva = ……… pH
D. KADAR ION KALSIUM
3.LAMPIRAN: GLOSSARY
GLOSSARY
5-HT : 5-hydroxytryptamine
ADHD : Attention deficit hyperactivity disorder
a.m.u : Atomic mass unit
BNN : Badan Narkotika Nasional
CYP2D6 : Cytochrome P450 2D6
DAT : Dopamine transporter
DMFT : Decay, Missing, Filling Teeth
Kepmensos : Keputusan menteri sosial
L-DOPA : L-3,4-dihydroxylphenylalanine
OHIS : Oral Hygiene Index Score
MAO : Enzim monoamine oksidasi
MDMA : 3,4-Methylenedioxy-N- Methamphetamine
Meth : Methamphetamine
NAPZA : Narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
NET : Norephineprin transporter
P2P : Phenyl-2-propanone
PET : Positron emission tomography
ROS : reactive oxygen species
SERT : Serotonin transporter
SPECT : Single photon emission computed tomography
TMJ : Temporo mandibular joint
UNODC : United Nation Office of Drug and Crime
4.LAMPIRAN
LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN
Selamat pagi,
Dalam rangka menyelesaikan studi Kedokteran Gigi, saya akan melakukan
penelitian yang berjudul “PENGARUH SHABU TERHADAP VOLUME, PH
DAN KADAR ION KALSIUM SALIVA PADA MANTAN PECANDU SHABU DI PSPP INSYAF MEDAN TAHUN 2015 ”.
Tujuandari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan
ukuran kamar pulpapada penderita diabetes melitus (kencing manis) dan non-diabetes
melitus (sehat). Kamar pulpa adalah rongga yang berisi pembuluh darah dan saraf
pada gigi.
Manfaat penelitian ini untuk melihat perubahan yang terjadi pada kamar pulpa
pasien diabetes melitus (kencing manis), apabila terjadi perubahan yang besar pada
kamar pulpa, dapat berpengaruh dalam perawatan gigi yang ingin dilakukan. Dokter
gigi akan lebih berhati-hati dalam melakukan perawatan gigi seperti penambalan dan
perawatan saluran akar. Untuk mengetahui perubahan ukuran kamar pulpa ini, akan
dilakukan rontgen foto pada gigi.
Pembuatan rontgen foto tidak berbahaya, tetapi apabila ada keluhan karena
tindakan ini, seperti bercak merah pada kulit, maka silahkan menghubungi saya (Enni
Mulianingsih, 085276310420).
Bapak/Ibu Yth, saya mengharapkan kesediaan Bapak/Ibu untuk menjadi
subjek penelitian, dimana Bapak/Ibu berperan sebagai responden. Responden diminta
untuk mengisi kuesioner sesuai petunjuk yang diberikan. Pada penelitian ini
Bapak/Ibu tidak akan dikenakan biaya (gratis), dan mendapatkan souvenir sebagai
keterangan diatas, mohon untuk menandatangani persetujuan pada lembaran
berikutnya.
Demikian surat penjelasan penelitian, mudah-mudahan penjelasan ini dapat
dimengerti, dan atas bantuan, partisipasi, serta kesediaan atas waktu yang telah
berikan dalam penelitian saya, saya ucapkan terima kasih.
Peneliti,
LAMPIRAN3
LEMBAR PERSETUJUAN SUBJEK PENELITIAN (INFORMED CONSENT)
Kepada Yth.
Bapak/Ibu di RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN.
Bapak/Ibu di Lingkungan FKG USU.
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama :
Alamat :
Dengan ini, menyatakan bersedia ikut berpartisipasi menjadi salah satu responden dan
subjek penelitian dalam penelitian “Perbedaan ukuran kamar pulpa molar 1 rahang
bawah pada pasien diabetes melitus dan non-diabetes melitus ditinjau dari radiografi
periapikal”, dan bersedia mengisi kuesioner serta dilakukan foto rontgen terhadap
Bapak/Ibu dengan sebaik-baiknya.
Medan, September 2014
4. ALUR PIKIR
1. Pada tahun 2012, ganja dan shabu merupakan jenis narkotika yang paling banyak disalahgunakan di dunia. (UNODC. World drug report 2012. Vienna : United Nation Publication, 2012: 1-10.)
2. Di Indonesia pada tahun 2007 – 2011 kasus penyalahgunaan shabu menempai urutan pertama yaitu 40.612 kasus. (Badan Narkotika Nasional. Data Tindak Pidana Narkoba Indonesia dan Sumatera Utara 2007-2011. <
3. Temuan Lineberry menunujukan bahwa penyalahgunaan shabu berdampak negatif terhadap kesehatan rongga mulut. (Lineberry TW, Bostwick JM. Methamphetamine Abuse: A Perfect Storm of Complication. Mayo Clin Proc 2006; 81: 77-82).
4. Mc Grath dan Chan tahun 2005 menemukan tingginya prevalensi penyakit rongga mulut pada pecandu shabu. Penyakit tersebut diantaranya 95% mengalami xerostomia, 52% mengalami clenching, 56% nyeri pada TMJ, 40% mengalami pati rasa pada mukosa 37% kesulitan mengunyah 31% pasien mengalami karies, dan 29% diantaranya mengalami gangguan penampilan gigi. (Mc Grath C, Chan B. Oral Health Sensation Associated with Illcit Drug Abuse. British Dent J 2005; 198(3): 159-83).
5. Saini dkk menduga tingginya prevalensi penyakit tersebut disebabkan oleh menurunnya volume saliva. (Saini TS, dkk. Etiology of Xerostomia and Dental Caries Among Methamphetamine Abusers. Oral Health Prev Dent 2005; 3: 189-95).
6. Hasil laporan Ravenel dkk tahun 2012 menunjukan volume saliva stimulasi pada 36 % pasien tergolong rendah dengan konsistensi saliva lebih kental dibandingkan normal. (Ravenel MC, dkk. Methamphetamine Abuse and Oral Health: A Pilot Study of Meth Mouth. Quintessence International Pubh 2012; 43(3): 229-37).
7. Penelitian Brown dkk tahun 2012 menunjukan 30% pasien merasa mulutnya kering , 24% pasien mengeluhkan kesulitan menelan makanan dan 35% pasien memerlukan bantuan air untuk proses penelanan. (Brown C, dkk. Dental Disease Prevalence Among Methamphetamine and Heroin Users in an Urban Setting. JADA 2012; 143(9): 992-81).
8. Ravenel dkk mengemukakan bahwa penyalahgunaan shabu berpengaruh terhadap penurunan pH saliva, yaitu 57,1% pecandu memiliki pH saliva di bawah normal. . (Ravenel MC, dkk. Methamphetamine Abuse and Oral Health: A Pilot Study of Meth Mouth. Quintessence International Pubh 2012; 43(3): 229-37).
1-Perumusan masalah
Dari uraian di atas timbul pemikiran untuk mengetahui volume, pH dan kadar ion kalsium saliva yang distimulasi pada pecandu shabu di Pusat Rehabilitasi PSPP
Tujuan penelitian
Adapun tujuan umum dari penelitian ini : Untuk mengetahui pengaruh
penyalahgunaan shabu terhadap volume, pH dan kadar ion kalsium saliva yang
distimulasi pada pecandu shabu di Pusat Rehabilitasi PSPP Insyaf Medan tahun
2014.
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
1. Untuk mengukur volume saliva yang distimulasi pada pecandu berdasarkan
frekuensi, durasi, waktu terakhir kali mengonsumsi shabu, dan cara
mengonsumsinya.
2. Untuk mengukur pH saliva yang distimulasi pada pecandu shabu berdasarkan
frekuensi, durasi, waktu terakhir kali mengonsumsi shabu, dan cara
mengonsumsinya.
3. Untuk mengukur kadar ion kalsium saliva yang distimulasi pada pecandu shabu
berdasarkan frekuensi, durasi, waktu terakhir kali mengonsumsi shabu, dan cara
mengonsumsinya.
Manfaat Penelitian
1. untuk pengembangan ilmu biologi oral khususnya kajian tentang pengaruh penyalahgunaan shabu terhadap rongga mulut
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak medis
terutama dokter gigi tentang pengaruh shabu terhadap rongga mulut, sehingga
5. DATA UJI STATISTIK DAN SSA
Tabel 1. Hasil Uji Normalitas Volume, pH dan Kadar Ion Kalsium Saliva Terhadap Frekuensi Penyalahgunaan Shabu.
*. Distribusi normal p< .05
Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Volume, pH dan Kadar Ion Kalsium Saliva Terhadap Durasi Penyalahgunaan Shabu.
*distribusi normal p > .05
Tests of Normalityb,c,d
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
b. VOL_SALIVA is constant when CARA_GUNA = NASAL. It has been omitted. c. PH_SALIVA is constant when CARA_GUNA = NASAL. It has been omitted. d. CALCIUM_SALIVA is constant when CARA_GUNA = NASAL. It has been omitted.
Tabel 4. Hasil Uji Normalitas Volume, pH dan Kadar Ion Kalsium Saliva Terhadap Lama Henti Meyalahgunakan Shabu.
Tests of Normality
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance. ( distribusi norlmal p> .05)
> 9 TAHUN 2 23.00
Total 24
CALCIUM_SALIVA 1-4 TAHUN 12 14.71
5-9 TAHUN 10 12.05
> 9 TAHUN 2 1.50
Total 24
Test Statisticsa,b
VOL_SALIVA PH_SALIVA CALCIUM_SALIVA
Chi-Square 14.181 10.358 6.054
df 2 2 2
Asymp. Sig. .001 .060 .007
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: KEL_DURASI
Median Test
Frequencies
KEL_DURASI
1-4 TAHUN 5-9 TAHUN > 9 TAHUN
VOL_SALIVA > Median 10 2 0
<= Median 2 8 2
PH_SALIVA > Median 2 7 2
<= Median 10 3 0
CALCIUM_SALIVA > Median 7 5 0
<= Median 5 5 2
Test Statisticsc
VOL_SALIVA PH_SALIVA CALCIUM_SALIVA
N 24 24 24
Median 3.2500 7.8000 .9387
Chi-Square 10.933a 8.828b 2.333a
Asymp. Sig. .004 .060 .048
a. 2 cells (33.3%) have expected frequencies less than 5. The minimum
expected cell frequency is 1.0.
b. 3 cells (50.0%) have expected frequencies less than 5. The minimum
expected cell frequency is .9.
c. Grouping Variable: KEL_DURASI
U J I K ORELASI PEARSON
Tabel 6. Hasil Uji Korelasi antara Volume,pH dan Kadar Kalsium Saliva Pecandu
Shabu
Correlations
VOL_SALIVA PH_SALIVA CALCIUM_SALIVA
VOL_SALIVA Pearson Correlation 1 -.722** .413*
Sig. (2-tailed) .000 .045
N 24 24 24
PH_SALIVA Pearson Correlation -.722** 1 -.423*
Sig. (2-tailed) .000 .040
N 24 24 24
CALCIUM_SALIVA Pearson Correlation .413* -.423* 1
Sig. (2-tailed) .045 .040
N 24 24 24
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
LAMPIRAN 6
DATA PERSONALIA PENELITI
Riwayat Peneliti
Nama : EKA GANDARA PUTRA
Tempat dan Tanggal Lahir : SUMEDANG, 2 MEI 1992 Jenis Kelamin : LAKI-LAKI
Agama : ISLAM
Anak ke : 1
Alamat : JL. HARMONIKA KOMP. AMBASADOR NO.46
MEDAN
No. Telepon : 0853 5 9191 333
Alamat e-mail : ekagandaraputra@yahoo.com
Riwayat Pendidikan
1998-2004 : SDN CIPAGERAN II CIMAHI
2004-2007 : SMPN 1 CIMAHI
2007-2010 : SMAN 9 BANDUNG
DAFTAR PUSTAKA
1. UNODC. World drug report 2012. Vienna : United Nation Publication, 2012:
1-10.
2. Lineberry TW, Bostwick JM. Methamphetamine Abuse: A Perfect Storm of
Complication. Mayo Clin Proc 2006; 81: 77-82.
3. Gettig JP, Grady SE, Nowosadzka I. Methamphetamine: Putting the Brakes
on Speed. The School of School Nursing 2006; 22: 66-73.
4. Saini TS, dkk. Etiology of Xerostomia and Dental Caries Among
Methamphetamine Abusers. Oral Health Prev Dent 2005; 3: 189-95.
5. Badan Narkotika Nasional. Data Tindak Pidana Narkoba Indonesia dan
Sumatera Utara
6. Logan BK. Methamphetamine: Effects on Human Performance and Behavior.
Forensic Science Review 2002; 14: 134-50.
7. Shetty V, dkk. The Relationship between Methamphetamine Use and
Increased Dental Disease. JADA 2010; 141(3): 307-81.
8. Kelsch NB. Methamphetamine Abuse: Oral Implication and Care. RDH 2010:
71-6.
9. Klasser GD, Epstein J. Methamphetamine and Its Impact on Dental Care.
JCDA 2005; 71: 759-83.
10.Mc Grath C, Chan B. Oral Health Sensation Associated with Illcit Drug
Abuse. British Dent J 2005; 198(3): 159-83.
11.Brown C, dkk. Dental Disease Prevalence Among Methamphetamine and
Heroin Users in an Urban Setting. JADA 2012; 143(9): 992-81.
12.Donaldson M, Goodchild JH. Oral Health of The Methamphetamine Abuser.
Am J Health Syst Pharm 2006; 63: 2078-82.
14.Amarongen AVN. Ludah dan Kelenjar Ludah: Arti Bagi Kesehatan Gigi. 2nd.
Yogyakarta: Gajah Mada Iniversity Press, 1992; 5-20.
15.Hamamoto DT, Rhodus NL. Methamphetamine Abuse and Dentistry. Oral
Diseases J 2009; 15: 27-37.
16.Flanigan J. Effects of Methamphetamine on Salivary Characteristics: Pilot
Study. IADR 2009; 3: 21-2.
17.Ravenel MC, dkk. Methamphetamine Abuse and Oral Health: A Pilot Study
of Meth Mouth. Quintessence International Pubh 2012; 43(3): 229-37.
18.Sceutz F. Secretion Rate in A Group of Drug Addicts (Short Communication).
Scand J Dent Res 1984; 92: 496-504.
19.Goodchild JH, Donaldson. Methamphetamine Abuse and Dentistry: A
Revuew of the Literature and Presentation of a Clinical Case. Quintessence
International Pubh 2007; 38(7): 583-90.
20.Multazam A. Analysis of Calcium Content in Saliva drug Abusers. Karya
Ilmiah. Makasar: Jurusan Kedokteran Gigi Universitas Hasanudin, 2012:
1-35.
21.Toolaney GH. New Research on Methamphetamine Abuse. New York: Nova
Science Publisher, 2007: 1-30.
22.Jenner J, Lee N.Treatment Approaches for Users of Methamphetamine.
Canberra: Aus Gov Dept of Health and Ageing 2008:1-40.
23.Schep LJ, Slaughter RJ, Beasley DM. The Clinical Toxicology of
Methamphetamine. InformaHealthCare 2010; 48: 675-95.
24.Cruickshank CC, Dyer KR. A Review of The Clinical Pharmacology of
Methamphetamine. Jounal Compilation 2009; 104:1085-95.
25.Syarif A, dkk. Farmakologi dan Terapi.5th. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2009; 65-75.
26.Japardi I. Efek Neurologis Dari Ecstasay dan Shabu-Shabu. USU Digital
27.Frese P, , Kunselman B, McClure E, Schierling J. Methamphetamine:
Implications for the Dental Team. 19 Februari 2009.
28.Rees TD. Oral Effects of Drug Abuse. Oral Biology and Medicine 1992; 3(3):
163-81.
29.Lubis S, Tarigan RN, Lubis N. Penyakit-Penyakit Kelenjar Ludah. Medan:
USU Press, 2011: 84-90.
30.Pedersen AML. Saliva. University of Copenhagen Digital Library. 2007.
31.Almeida PDV, dkk. Saliva Composition and Functions: A Comprehensive
Review. J Contemp Dent Pract 2008; (9)3: 72-80.
32.Wong D. Salivary Diagnosis. New Delhi: Aptara Inc, 2008; 32-42.
33.Lumikari ML, Loimaranata V. Saliva and Dental Caries. Adv Dent Res 2000;
14:40-7.
34.Garett JR, Ekstrom J, Anderson LC. Neural Mechanisms of Salivary Gland
Secretion. Basel: Karger, 1999; 35-47.
35.Ekstrom J, dkk. Saliva and the Control of Its Secretion. Berlin: Springer
Verlag, 2012; 20-42.
36.Emmelin N. Nerve Interactions in Salivary Glands. J Dent Res 1987: 66(2);
509-17.
37.Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika. Lembaran Negara RI Tahun 2009, No. 143. Sekretariat Negara.
Jakarta.
38.Shaner JW. Caries Associated with Methamphetamine Abuse. New York
State Dent J 2002: 68(10); 20-4.
39.Bamise CT, Kolawol KA, Oloyede EO. The determinants and control of soft
drinks-incited dental erosion. Rev Clin Pesq Odontol 2009; 5(2); 141-54.
40.Cornelius TB, Eyitope OO, Adeyemi OO, Temitope AE. Erosive potential of
41.Grobler SR, Chikte U, Westraat. The pH Levels on Different
Methamphetamine Drug Sample on The Street Market in Cape Town. ISRN
Dentistry 2011:1-4.
42.Obikoya G. Calcium.<http://en.wikipedia.org/wiki/Calcium>.(26 Januari
2014).
43.Medsfacts. Analysis covering adverse side effect reports of methamphetamine
hydrochloride patients who developed blood calcium decreased.< http://
www.medsfacts.com/study-METHAMPHETAMINE%20HYDROCHLORIE-causingBLOODCALCIUM%20DECREASED.php >. (20 Februari 2014).
44.Asmin LO. Spektrofotometri serapan atom (SSA).Karya ilmiah. Kendari:
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Haluoleo, 2010: 1-5.
45.Departemen Sosial.Profile dan tugas pokok PSPP Insyaf Medan 2014
<http://insyaf.depsos.go.id>. (17 Agustus 2014).
46.BNN Indonesia. Ringkasan Eksekutif:Survei Nasional Perkembangan
Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia 2011.<http://bnn.go.id/portal/
survei2011>.(17 Agustus 2014).
47.Saragih N. Karakteristik Penyalahguna Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif (NAPZA) di Sibolangit Center Rehabilitation. Karya Ilmiah. Medan:
Jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, 2009: 30-53.
48.Departemen Kesehatan RI. Kategori Usia.<http://depkes.go.id /kategoriusia
2009>.(17 Agustus 2014).
49.National Drug Alcohol Research Centre. Illcit Drug In Australia:
Epidemiology, Use Patterns and Associated Harm. 2nd. Australia:
Commonwealth, 2007; 24-35.
50.Johnston LD, Omalley PM, Bachman JG, Schulenberg JE. Monitoring The
Future National Results On Drug Use: 2012 Overview Key Findings On
Adolescent Drug Use. Michigan, 2012; 1-30.
51.Brown RE, Morisky DE, Steven J. Severity Of Meth Mouth In Respone To
Drug-Use Patterns And Dental Care Access In Methamphetamine Users.
52.Mehrjerdi ZA, dkk. Attention Deficit in Chronic Meth Users as a Potential
Target for Enhanching Treatment Effcacy. Basic and Clinical Neuroscience
2012; 3(4): 5-11.
53.Holley M. How Reversible is Methamphetamine Related Brain Damage.
North Dakota Law Review 2005; 82:1135-48.
54.Yudko E, Hall HV, McPherson SB. Methamphetamine Use: Clinical and
Forensic Aspect. Florida: CRC Press LLC, 2003:1-50.
55.Itzhak Y, Achatmendes C. Methamphetamine and MDMA Neurotoxicity : of
Mice and Men. TF Healthscience 2004; 36(3): 249-55.
56.Karch SB. Karchs Pathology of Drug Abuse. 4th. New York: CRC Press,
2009: 284-93.
57.Harris DS, dkk. The Bioavaibility of Intranasal and Smoked
Methamphetamine. J CLPT, 2003; 10(101): 475-86.
58.Schepers RJ, dkk. Methamphetamine and Amphetamine Pharmacokinetic in
Oral Fluid and Plasma After Controlled Oral Methamphetamine
Administration to Human Volunteers.Clinical Chemistri, 2003; 49(1): 121-32.
59.Worthley LI, Clinical Toxicology: Part I Diagnosis and Management of
Common Drug Overdosage. Critical Care and Resuscitation, 2002;4 :192-215.
60.Coco TJ, Klasner AE. Drug Induced Rhabdomyolisis. Current Opinion in
Pediatrics, 2004; 16: 206-10.
61.Threkel DE. Nutritional Attitudes of Methamphetamine Addicted. Tesis.
California, 2010: 1-35.
62.Sediaoetama AD. Ilmu Gizi: Untuk Mahasiswa dan Profesi. 1st. Dian Rakyat,
2009; 135-36.
63.Koriem KM, Soliman RE. Chlorogenic and Caftaric Acids in Liver Toxicity
and Oxidative Stress Induced by Methamphetamine. Journal of Toxicology,
2014; 10: 1-10.
64.Murray RK, Granner DK, Rodwell VW.Biokimia Harper.Trans. Brahm U.
65.Krier M, Ahmed A. The Asymptomatic Outpatient with Abnormal Liver
Function Test. Clin Liver Dis, 2009; 13: 167-77.
66.Mata ADS. Influence of Magnesium on Salivary Gland Secretion:
Physiological and Pathophysiological Studies. Tesis. Preston, 2003,44-50.
67.Whelton H. Introduction The Anatomy and Physiology of Salivary Glands.
<http://www.shancocksltd.co.uk/wrigleywrigley/ohp>.(20 Agustus 2014).
68.Prasetyo EA. Keasaman Minuman Ringan Menurunkan Kekerasan
Permukaan Gigi. Maj Ked Gigi, 2005; 38: 60-3.
69.Palomares CF, dkk. Unstimulated Salivary Flow Rate, pH And Buffer
Capacity Of Saliva In Healthy Volumteers. Rev Esp Enferm Dig, 2004; 96:
773-83.
70.Ehrlich H, Koutsoukos PG, Demadis KD, Pokrovsky OS. Principles of
Demineralization: Modern Strategies for The Isolation of Organic
Frameworks Part II Decalcification. Journal Micron, 2008; 06(004): 163-93.
71.Magalhaes AC, Wiegand A, Rios D, Honorio HM, Buzalaf MA. Insight Into
Preventive Measures For Dental Erosion. J App Oral Sci, 2009; 17(2): 75-86.
72.Rodriguez CT, Lopez SG, Navarro AR, Lloret PA, Sanchez P. Acid Induced
Demineralization of Bovine Enamel and Its Effects at Molecular Level.
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian analitik dengan pendekatan cross
sectional, yaitu peneliti melakukan pengukuran variabel untuk mencari ada atau
tidaknya hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung pada waktu
bersamaan lalu kemudian dilakukan analisis.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di
1. Pusat Rehabilitasi Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) Insyaf yang berlokasi
di Jalan Berdikari No.37 Desa Lau Bakeri kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
2. Laboratorium Penelitian Farmasi USU.
3.2.2 Waktu Penelitian
Rangkaian penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai bulan Juli 2014.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah pecandu narkotika yang dalam masa rehabilitasi
sosial di Pusat Rehabilitasi Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) Insyaf.
3.3.2 Sampel
Sampel penelitian ini adalah stimulated whole saliva dari mantan pecandu
narkotika jenis shabu dalam masa rehabilitasi sosial di Pusat Rehabilitasi Panti Sosial
3.3.2.1 Besar Sampel
Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling, yaitu teknik
penentuan sampel dengan mengambil seluruh anggota populasi sebagai responden
atau sampel (Sugiyono, 2009). Dengan demikian, maka peneliti mengambil sampel
dari seluruh subjek yang memiliki riwayat penyalahgunaan narkotika jenis shabu di
Pusat Rehabilitasi PSPP Insyaf pada bulan Juli 2014.
3.4 Kriteria Sampel
3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Mantan pecandu shabu berjenis kelamin laki-laki
2. Kooperatif dan bersedia mengisi lembar informed consent.
3.4.2 Kriteria Eksklusi
1. Memiliki penyakit sistemik yang tidak terkontrol.
2. Memiliki riwayat gangguan mental.
3.5 Variabel Penelitian
Variabel bebas
Mantan pecandu shabu laki-laki
Variabel tergantung
1. Volume saliva 2. pH saliva
3.Kadar ion kalsium
Variabel terkendali
1. Teknik pengambilan saliva. 2. Waktu pengumpulan saliva.
3. Lama pengambilan saliva selama 5 menit.
Variabel tidak terkendali
1. Kebersihan rongga mulut. 2. Diet.
3.6 Definisi Operasional
1.Shabu
Shabu (metamfetamin) adalah obat narkotika jenis stimulan yang bekerja
pada sistem saraf pusat. 2
2. Pecandu Shabu
Pecandu shabu adalah orang yang menggunakan dan menyalahgunakan shabu
dan dalam keadaan ketergantungan pada shabu, baik secara fisik maupun psikis. 37
3. Mantan Pecandu Shabu
Pecandu shabu yang sudah berhenti menyalahgunakan shabu.
4. Penyalahgunaan Shabu
Penyalahgunaan shabu adalah pemakaian shabu bukan untuk pengobatan dan
digunakan tanpa mengikuti dosis yang benar sehingga pada tingkat ketergantungan. 37
Status penyalahgunaan shabu adalah :
A.Frekuensi penyalahgunaan adalah seberapa seringnya penggunaan shabu
dalam seminggu.
B. Durasi penyalahgunaan adalah jangka waktu pasien telah menggunakan
shabu sampai pasien terakhir kali menggunakannya.
C.Lama berhenti menyalahgunakan shabu adalah jangka waktu terakhir kali
penggunaan shabu sampai pada saat penelitian.
D.Cara menyalahgunakan adalah bagaimana metode yang paling dominan
atau paling sering digunakan pada saat menyalahgunakan shabu.
5. Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik
fisik, mental maupun sosial agar pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan
fungsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. 37
6. Penyakit Sistemik yang Tidak Terkontrol
Penyakit sistemik yang dimaksud adalah penyakit yang dapat mempengaruhi
terhadap kuantitas dan kualitas saliva seperti diabetes meilitus, penyakit ginjal,
infeksi HIV dan lain-lain. 14 Penyakit tersebut dikatakan terkontrol apabila pasien
7. Riwayat Gangguan Mental
Gangguan mental adalah kondisi yang menimpa seseorang berupa
gejala-gejala gangguan dan penyakit kejiwaan seperti psikosis, depresi dan ansietas sehingga
tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan secara normal.
8. Kelainan Rongga Mulut
Kelainan rongga mulut yang dimaksud adalah berbagai kelainan rongga mulut
yang berpengaruh terhadap variabel tergantung penelitian ini seperti, karies, penyakit
periodontal, kelainan kelenjar saliva dan atrisi.
9. Volume Saliva
Volume saliva yang dimaksud adalah stimulated whole saliva.
8. Teknik Pengambilan Saliva
Teknik pengambilan saliva adalah dengan menggunakan metode spitting,
yaitu pengambilan saliva dimana subjek membiarkan saliva tergenang dalam mulut
tanpa ditelan lalu meludahkan saliva ke dalam tabung beberapa kali. (Moritsuka et
al.)
9. Pengukuran Saliva
Saliva yang terkumpul diukur volumenya dengan menimbang massa saliva
yang, lalu dinyatakan dalam milliliter. Kriteria volume saliva : 17
Normal : > 5 mL/5 menit
Rendah : 3,5-5 mL/5 menit
Hiposalivasi : < 3,5 mL/menit
10. Waktu Pengumpulan Saliva
Waktu pengumpulan saliva dilakukan pada pukul 9.00 – 12.00 WIB yaitu dua
jam setelah sarapan pagi dan sebelum makan siang.
11. pH Saliva
pH saliva adalah derajat keasaman dan kebasaan saliva yang diukur dengan
pH meter digital. Kriteria pH saliva :17
Sehat : 6,8-7,8
Asam : 6,0-6,6
12. Kadar Ion Kalsium Saliva
Kadar ion kalsium pada saliva adalah jumlah kadar ion kalsium yang terdapat
pada saliva yang diukur dalam satuan mMol/L dengan alat Spektofotometer Serapan
Atom. 44 (normal = 1-1,4 mmol/L)
3.7 Alat dan bahan penelitian
3.7.1 Alat
1. Pot saliva
2. Timbangan digital
3. pH meter digital merek Hanna®
4. Spektofotometer Serapan Atom
5. Termos es
6. Labu ukur
7. Corong
8. Pipet tetes
9. Spuit 5 cc
3.7.2 Bahan
1. Saliva sebagai bahan pemeriksaan
2. Ortho wax
3. Dry ice
4. Handscone
5. Masker
6. Kertas tisu
7. Lembar penelitian dan informed consent
3.8 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam tujuh tahap :
Pengumpulan data subjek penelitian didapatkan dari buku induk PSPP Insyaf
dan rekam medis, yaitu berupa nama, umur, kasus penyalahgunaan, pendidikan, lama
penyalahgunaan, tanggal masuk, dan riwayat medis.
2. Pengisian Kuesioner
Sampel penelitian sebagai naracoba diberi penjelasan terlebih dahulu tentang
tujuan, manfaat, dan prosedur penelitian, lalu diminta kesedian menjadi subjek
penelitian dengan mengisi dan menandatangani informed consent.
3. Pengumpulan Saliva
Setelah sampel memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi maka sampel
dipersiapkan untuk mengikuti prosedur penelitian. Pengambilan saliva dilakukan
pada pukul 9.00-12.00 yaitu dua jam setelah sarapan pagi, dan selama dua jam
tersebut pasien tidak diperkenankan untuk makan, minum, menyikat gigi dan
merokok.
Pasien diinstruksikan untuk duduk dengan tenang dan diinstruksikan untuk
mengunyah aktif ortho wax total selama 5 menit, 3 menit pertama pasien
mengunyah lalu selama 30 detik meludahkan saliva ke dalam pot penampung, dan
dilanjutkan mengunyah aktif ortho wax kembali 2 menit terakhir lalu selama 30 detik
meludahkan saliva ke dalam pot penampung.
4. Pengukuran Volume Saliva
Pengukuran volume saliva dilakukan dengan cara menyalakan timbangan
digital dan timbangan menunjukkan angka 0. Berat pot saliva ditimbang terlebih
dahulu. Saliva yang sudah dikumpulkan kemudian di timbang dan dikurangkan
dengan hasil timbangan pot saliva kemudian hasil yang diperoleh dinyatakan dalam
ml karena berat jenis untuk saliva adalah 1,0 maka 1 gr saliva sama dengan 1 ml
saliva.
5. Pengukuran pH Saliva
pH saliva diukur dengan cara memasukan alat pHmeter digital ke dalam pot
saliva hingga bagian sensor elektroda terendam dalam saliva, lalu dibiarkan beberapa
dibersihkan dan dikalibrasi dalam larutan buffer setiap kali setelah digunakan
mengukur saliva. Lalu sampel di beri label dan disusun dalam termos berisi es batu.
6. Analisa Kuantitatif Kalsium dengan Spektofotometer Serapan Atom (SSA)
Pertama, larutan saliva dilakukan penentuan lineritas kurva kalibrasi larutan
baku kalsium. Larutan baku kalsium (1000 µ g/mL) dipipet sebanyak 1 mL dan
dimasukan ke dalam labu takar 100 mL lalu diencerkan dengan aquades. Dari larutan
tersebut (10 µg/mL) dipipet 1;2;3;4;5 mL hingga diperoleh larutan berkonsentrasi
1,2,3,4,5 µg/mL. Larutan tersebut diukur dengan SSA pada panjang gelombang
absorbansi maksimum 422,7 nm. Lalu dibuat kurva kalibrasi untuk larutan standar
kalsium.
Larutan sampel saliva dimasukan 1 mL dengan spuit ke dalam labu takar 25
mL, diencerkan dengan aquades sampai garis tanda dan larutan dihomogenkan.
Larutan sampel disaring dengan kertas saring ke dalam labu takar 10 mL dan larutan
dihomogenkan. Dari labu 10 mL larutan sampel dipipet 4 mL ke labu 25 mL dan
diencerkan. Larutan diukur absorbansinya dengan SSA.
7. Analisis Statistik
Pengolahan data dilakukan dengan sistem komputerisasi dan disajikan dalam
bentuk tabel. Uji statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah uji oneway
anova dan uji korelasi pearson. Uji oneway anova digunakan untuk melakukan
inferensi terhadap populasi dan mengetahui apakah terdapat perbedaan yang
signifikan antara tiga kelompok sampel atau lebih. Uji korelasi pearson digunakan
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Panti Rehabilitasi PSPP Insyaf pada bulan Juli
2014. Subjek penelitian ini berjumlah 24 orang mantan pencandu shabu yang sedang
dalam masa rehabilitasi. Seluruh subjek penelitian berjenis kelamin laki-laki dan telah
memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.Hasil penelitian kemudian ditabulasi dan diolah
menggunakan program SPSS 17 Windows dan ditampilkan dalam beberapa tabel.
4.1 Karakteristik Umum Subjek yang Diteliti
Hasil penelitian diperoleh beberapa karakteristik umum subjek yang diteliti
yang tercantum pada Tabel 4.
Tabel 4. Gambaran karakteristik umum subjek yang diteliti
Tidak ada penyakit Sistemik
24 100
Berdasarkan Tabel 4, maka dapat dideskripsikan beberapa karakteristik umum
sebagai berikut, jenis kelamin penelitian ini adalah laki-laki 100%. Umur mantan
pecandu shabu dengan frekuensi terbanyak adalah kelompok umur 17-25 tahun
sebanyak 17 orang (59%) dan frekuensi paling sedikit adalah kelompok umur 12-16
tahun sebanyak 2 orang (8%) dengan usia paling muda yaitu 16 tahun, usia yang
paling tua yaitu 31 tahun. Sementara itu, tingkat pendidikan terakhir yang paling
umum adalah SMA (71%)dan yang paling jarang Diploma dan Sarjana (4%). Pada
umumnya subjek pada penelitian ini sedang mengalami rehabilitasi selama 4-6 bulan
(46%). Seluruh subjek dalam penelitian tidak memiliki gangguan mental (100%) dan
riwayat penyakit sistemik (100%).
Tabel 5. Gambaran riwayat menyalahgunakan shabu
Karakteristik N % Lama berhenti menyalahgunakan shabu
1-3 bulan Pernah mencoba narkoba jenis lainnya
Ya Jenis narkoba yang pernah dikonsumsi
Ganja
Pada Tabel 5 seluruh subjek penelitian memiliki ketergantungan terhadap
shabu (100%). Frekuensi menyalahgunakan shabu terbesar adalah 15-21 kali per
minggu yaitu sebanyak 8 orang (33%) dan frekuensi terkecil adalah 8-14 kali per
minggu sebanyak 3 orang (13%). Durasi menyalahgunakan shabu terbesar adalah 1-4
tahun yaitu sebanyak 14 orang (58%) sedangkan durasi terkecil pada kelompok >8
tahun yaitu sebanyak 3 orang (13%).
Pada penelitian ini hampir seluruh mantan pecandu shabu mengunakan bong
(23 orang) dan hanya 1 orang yang menyalahgunakan shabu secara nasal. Lama
berhenti menyalahgunakan shabu terbanyak adalah 4-6 bulan yaitu sebanyak 11
orang (46%) dan paling sedikit pada kelompok 7-9 bulan yaitu 4 orang (17%). Pada
penelitian ini, sebanyak 11 subjek (45%) menyatakan pernah mencoba jenis narkoba
lainnya, terutama ganja (64%) dan ectacy (27%).
4.2 Volume Saliva yang Distimulasi pada Mantan Pecandu Shabu
Berdasarkan Frekuensi, Durasi, dan Lama Berhenti Menyalahgunakan Shabu
Setelah tabulasi data deskriptif maka dilakukan uji normalitas, hasilnya data
kelompok frekuensi dan lama henti menyalahgunakan shabu terdistribusi normal
sehingga untuk melihat perbedaan rerata antar kelompok (>2 kelompok) dilakukan
uji statistik oneway anova. Sedangkan data kelompok durasi penyalahgunaan shabu
tidak terdistribusi normal sehingga untuk melihat perbedaan rerata antar kelompok
(>2 kelompok) dilakukan uji statistik kruskal-wallis yang analog dengan oneway
anova. Untuk melihat hubungan atau korelasi antara volume saliva, pH saliva dan
kadar ion kalsium saliva yang distimulasi menggunakan uji Korelasi Pearson.
Dimana untuk semua uji statistik yang dilakukan, tingkat signifikan yang diinginkan
uji statistik dikarenakan data yang didapat tidak memungkinkan untuk diuji secara
Tabel 6. Rerata volume saliva yang distimulasi pada mantan pecandu shabu di PSPP Insyaf Medan tahun 2014 berdasarkan frekuensi dan lama berhenti menyalahgunakan shabu
Karakteristik n Rerata volume ± SD
(ml/5menit) P
Frekuensi shabu (per minggu) 1-7 kali
*. Hasil uji Oneway Anova, signifikan p < 0,05
Pada Tabel 6 berdasarkan frekuensi penyalahgunaan shabu didapati kelompok
mantan pecandu shabu yang memiliki riwayat menyalahgunakan shabu sebanyak 1-7
kali per minggu menunjukkan rerata volume saliva yang masih normal (>5
ml/5menit). Sedangkan mantan pecandu shabu yang memiliki riwayat
menyalahgunakan shabu sebanyak 8-14 kali per minggu, 15-21 kali per minggu dan
lebih besar dari 21 kali per minggu menunjukkan penurunan rerata volume saliva
yang sangat rendah sehingga termasuk kriteria hiposalivasi (<3,5 ml/menit). Hasil
penelitian yang diuji dengan Oneway Anova (Tabel 6) menunjukkan perbedaan yang
signifikan (p<0,05) antara kelompok-kelompok frekuensi menyalahgunakan shabu
dengan penurunan rerata volume saliva.
Pada Tabel 6 rerata volume saliva pada kelompok mantan pecandu shabu
yang telah berhenti menyalahgunakan shabu selama 1-3 bulan dan 4-6 bulan
menunjukkan hiposalivasi (<3,5 ml/5menit). Sedangkan volume saliva menjadi
normal pada kelompok mantan pecandu shabu yang telah berhenti menyalahgunakan
terdapat pengaruh yang signifikan antara lama berhenti menyalahgunakan shabu
dengan peningkatan rerata volume saliva mantan pecandu shabu.
Tabel 7. Rerata volume saliva yang distimulasi pada mantan pecandu shabu di PSPP Insyaf Medan tahun 2014 berdasarkan durasi menyalahgunakan shabu
*. Hasil uji Kruskal-Wallis, signifikan p < 0,05
Pada Tabel 7 berdasarkan lama durasi penyalahgunaan shabu didapati
kelompok durasi 1-4 tahun dan 5-8 tahun menunjukkan rerata volume saliva yang
rendah (< 3,5-5 ml/5menit), sedangkan rerata volume saliva kelompok durasi lebih
dari 8 tahun tergolong hiposalivasi (<3,5 ml/5menit). Hasil uji Oneway Anova
diperoleh perbedaan yang signifikan antara kelompok-kelompok durasi
menyalahgunakan shabu dengan penurunan volume saliva mantan pecandu shabu.
4.3 pH Saliva yang Distimulasi Pada Mantan Pecandu Shabu Berdasarkan
Frekuensi, Durasi, dan Lama Berhenti Menyalahgunakan Shabu.
Tabel 8. Rerata pH saliva yang distimulasi pada mantan pecandu shabu di PSPP Insyaf Medan tahun 2014 berdasarkan frekuensi dan lama berhenti menyalahgunakan shabu
Karakteristik n Rerata pH ± SD P
7-9 bulan *. Hasil uji Oneway Anova, signifikan p < 0,05
Pada Tabel 8 didapati rerata pH saliva yang normal (pH 6,8-7,8) pada setiap
kelompok mantan pecandu shabu berdasarkan frekuensi menyalahgunakan shabu.
Hasil uji Oneway Anova menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan
(p>0,05) antara kelompok subjek yang meyalahgunakan shabu sebanyak 1-7 kali per
menit, 8-14 kali per menit, 15-21 kali per menit dan lebih dari 21 kali per menit.
Hasil penelitian diperoleh bahwa (Tabel 8) seluruh kelompok mantan
pecandu shabu berdasarkan lama berhenti menyalahgunakan shabu memiliki nilai
rerata pH saliva yang normal dan terjadi peningkatan nilai pH seiring lama berhenti
menyalahgunakan shabu. Hasil uji Oneway Anova didapati tidak ada perbedaan
rerata pH yang signifikan (p<0,05) antara kelompok mantan pecandu shabu yang
telah menghentikan shabu selama 1-3 bulan, 4-6 bulan dan 7-9 bulan.
Tabel 9. Rerata pH saliva yang distimulasi pada mantan pecandu shabu di PSPP Insyaf Medan tahun 2014 berdasarkan durasi menyalahgunakan shabu Durasi menyalahgunakan
*. Hasil uji Kruskal-Wallis, signifikan p < 0,05
Pada Tabel 9 berdasarkan lama durasi menyalahgunakan shabu didapati
rerata pH saliva yang normal pada kelompok durasi 1-4 tahun, 5-8 tahun dan lebih
dari 8 tahun. Hasil uji Kruskal-Wallis (Tabel 9) diperoleh tidak ada pengaruh yang
signifikan antara durasi menyalahgunakan shabu terhadap penurunan rerata pH
saliva.
4.4 Ion Kalsium Saliva yang Distimulasi Pada Mantan Pecandu Shabu
Tabel 10. Rerata kadar ion kalsium saliva yang distimulasi pada mantan pecandu shabu di PSPP Insyaf Medan tahun 2014 berdasarkan frekuensi dan lama berhenti menyalahgunakan shabu
Karakteristik n Rerata Kadar Ion
Kalsium ± SD (mmol/L) P
Frekuensi shabu (per minggu) 1-7 kali
*. Hasil uji Oneway Anova, signifikan p < 0,05
Hasil rerata kadar ion kalsium (Tabel 10) berdasarkan frekuensi
menyalahgunakan shabu pada kelompok frekuensi 8-14 kali per minggu, 15-21 kali
per minggu dan lebih dari 21 kali per minggu menunjukkan angka di bawah normal
(<1 mmol/L), sedangkan rerata kadar ion kalsium kelompok frekuensi 1-7 kali per
minggu tergolong normal (1-1,4 mmol/L). Hasil analisis uji Oneway Anova (Tabel
10) antara kelompok-kelompok frekuensi menyalahgunakan shabu dengan kadar ion
kalsium saliva pada penelitian ini menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,05).
Pada Tabel 10 berdasarkan lama berhenti menyalahgunakan shabu maka
didapati kelompok mantan pecandu shabu yang telah berhenti menyalahgunakan
selama 7-9 bulan memiliki kadar ion kalsium saliva yang normal (1-1,4 mmol/L),
sedangkan kelompok mantan pecandu shabu yang telah berhenti meyalahgunakan
shabu selama 1-3 bulan dan 4-6 menunjukkan rerata dibawah normal ( < 1 mmol/L).
Hasil uji Oneway Anova menunjukkan terdapat perbedaan rerata ion kalsium saliva
yang signifikan (p<0,05) antara mantan pecandu shabu yang telah berhenti
Tabel 11. Rerata kadar ion kalsium saliva yang distimulasi pada mantan pecandu shabu di PSPP Insyaf Medan tahun 2014 berdasarkan lama durasi menyalahgunakan shabu
*. Hasil uji Kruskal-Wallis, signifikan p < 0,05
Pada Tabel 11 diperoleh rerata kadar ion kalsium yang normal (1-1,4
mmol/L) pada kelompok mantan pecandu shabu dengan durasi lama
menyalahgunakan selama 1-4 tahun dan 5-8 tahun, berbeda dengan kelompok
mantan pecandu shabu dengan durasi lebih dari 8 tahun yang menunjukkan rerata
dibawah normal (<1 mmol/L). Hasil uji Kruskal-Wallis didapati perbedaan rerata
ion kalsium saliva yang signifikan (p<0,05) antara mantan pecandu shabu yang
menyalahgunakan shabu selama 1-4 tahun, 5-8 tahun dan lebih dari 8 tahun.
4.5 Hubungan Antara Volume, pH dan Kadar Ion Kalsium Saliva Yang
Distumulasi.
Tabel 12. Hubungan korelasi antara rerata volume, ph dan kadar ion klasium pada saliva mantan pecandu shabu di PSPP Insyaf tahun 2014
Korelasi Pearson
Hasil penelitian (Tabel 9) diperoleh bahwa terdapat hubungan korelasi antara
volume, pH dan kadar ion kalsium. Hubungan antara volume dan pH saliva pada
mantan pecandu shabu tersebut menunjukkan hubungan yang terbalik yang ditandai
dengan tanda negatif (-0,722) dan memiliki korelasi yang kuat. pH dan ion kalsium
saliva pada penelitian (Tabel 9) menunjukkan hubungan yang terbalik (-0,423) dan
korelasi yang sedang. Sedangkan hubungan volume saliva dan pH saliva
menunjukkan hubungan yang searah tetapi memiliki korelasi yang sedang (0,413).
Gambar 8 menunjukkan grafik regresi linear antara nilai rerata volum saliva
dengan pH saliva pada mantan pecandu shabu, dimana grafik tersebut menunjukkan
hubungan yang berbanding terbalik dikarenakan semakin tinggi volume saliva maka
nilai pH semakin rendah. Sedangkan Gambar 9 menunjukkan hubungan yang
berbanding lurus antara volume saliva dan kadar ion kalsium, dimana semakin tinggi
volume saliva maka semakin tinggi pula kadar ion kalsium saliva.
Gambar 8. Grafik hubungan linear antara nilai rerata volume saliva dengan nilai rerata pH saliva pada mantan pecandu shabu di PSPP Medan.
pH Saliva Vol
Gambar 9. Grafik hubungan linear antara nilai rerata volume saliva dengan nilai rerata kadar ion kalsium saliva pada
mantan pecandu shabu di PSPP Medan.
Gambar 10. Grafik hubungan linear antara nilai rerata pH saliva dengan nilai rerata kadar ion kalsium saliva pada mantan pecandu shabu di PSPP Medan.
Ion Kalsium Saliva Ion Kalsium Saliva Vo
lu me Sal iva
Regresi linear antara pH saliva dan kadar ion kalsium (Gambar 10) pada
saliva mantan pecandu shabu menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik,
semakin tinggi pH saliva maka semakin rendah kadar ion kalsium saliva.
BAB 5
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penyalahgunaan shabu
terhadap volume, pH dan kadar ion kalsium saliva yang distimulasi pada mantan
pecandu shabu berdasarkan frekuensi, durasi, cara dan lama berhenti
menyalahgunakan shabu di Pusat Rehabilitasi PSPP Insyaf tahun 2014. Seluruh
subjek dalam penelitian ini merupakan pecandu shabu yang sedang dalam masa
rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi PSPP Insyaf Medan sebagai salah satu Unit
Pelaksana Teknis (UPT) dari Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
RI. Berdasarkan KEPMENSOS RI No. 59/HUK/2003, PSPP Insyaf mempunyai tugas
melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan NAPZA
laki-laki yang datang berdasarkan laporan masyarakat ataupun dari pihak Kepolisian.
Di PSPP Insyaf terdapat korban penyalahgunaan dari berbagai jenis NAPZA seperti
shabu, ganja, ekstasi, kokain, heroin dan zat adiktif lainnya.37,45 Program pokok
PSPP Insyaf terdiri dari 6 tahapan yaitu pendekatan awal, penerimaan, assesment,
bimbingan sosial mental psikologis, resosialisasi, dan bimbingan lanjut. Program
rehabilitasi ini dilaksanakan selama 9 bulan dan korban penyalahgunaan NAPZA
tersebut tidak diperkenankan lagi mengkonsumsi NAPZA.45
Subjek penelitian adalah mantan pecandu shabu kelompok reguler atau teratur
pakai, yang memiliki kebiasaan menyalahgunakan shabu secara teratur minimal 3 kali
per minggu.46 Hasil total sampling diperoleh sebanyak 24 orang laki-laki yang
termasuk kelompok teratur pakai shabu dan telah memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Seluruh subjek mengakui bahwa jenis NAPZA yang paling dominan
Insyaf. Sampel yang digunakan adalah whole stimulated saliva karena metode ini
lebih sering digunakan disebabkan oleh prosedurnya yang cukup mudah dilakukan
dan umumnya dilakukan pada pasien dengan keluhan mulut kering.
5.1 Karakteristik Umum Subjek Yang Diteliti
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 4) maka dapat dilihat beberapa
karakteristik umum mantan pecandu shabu, seperti jenis kelamin, umur, pendidikan
terakhir, masa rehabilitasi, status mental, dan penyakit sistemik. Semua subjek
penelitian berjenis kelamin laki-laki (100%). Hal tersebut dikarenakan PSPP Insyaf
hanya dikhususkan menerima korban penyalahguna NAPZA laki-laki. Pecandu shabu
laki-laki menjadi fokus dunia dikarenakan sesuai penelitian United Nation Office on
Drugs and Crime (UNODC) pada tahun 2012 yang menyebutkan bahwa pecandu
NAPZA berjenis kelamin laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan pecandu
shabu perempuan. Hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2011
menyebutkan bahwa rasio pecandu NAPZA laki-laki terhadap perempuan adalah 4
berbanding 1.1,46 Selain itu berdasarkan penelitian BNN pada anak SMU, diketahui
bahwa siswa laki-laki berpeluang 29,77 kali lebih besar untuk menyalahgunakan
NAPZA dibandingkan siswa perempuan. Salah satu teori penyebab ketergantungan
zat menyatakan bahwa ada kecenderungan anak laki-laki memiliki pandangan harus
berprestasi, berkerja keras, bertanggung jawab kepada keluarga, sehingga mereka
cenderung melakukan pelarian kepada NAPZA untuk mengurangi beban tanggung
jawab tersebut. Selain itu, pergaulan anak laki-laki lebih luas dibandingkan anak
perempuan, menyebabkan anak laki-laki lebih rentan menjadi korban penyalahgunaan
NAPZA. Faktor-faktor tersebut diduga menjadi penyebab prevalensi korban
penyalahguna NAPZA lebih banyak pada laki-laki dibandingkan pada
perempuan.1,46,47
Departemen Kesehatan (Depkes) RI tahun 2009 membagi menjadi 9 kategori
usia, tiga kategori diantaranya yaitu masa remaja awal (12-16 tahun), masa remaja
akhir (17-25 tahun), dan masa dewasa awal (26-35 tahun). Pada Tabel 4, kategori
umur terbanyak yang menjadi korban penyalahgunaan shabu adalah pada kelompok
tahun (8%). Rentang usia subjek penelitian dimulai dari 16-31 tahun, dimana tidak
terdapat pembatasan usia pada penelitian ini dikarenakan sesuai hasil survei UNODC
pada tahun 2012 yang mendapati usia rentan korban penyalahgunaan NAPZA adalah
16-64 tahun dan memuncak pada kelompok usia 18-25 tahun.1,48 Kelompok usia
17-25 tahun termasuk ke dalam kategori remaja akhir yang pada umumnya masih
berstatus sebagai pelajar. Usia remaja merupakan sasaran strategis peredaran gelap
NAPZA di seluruh dunia termasuk di Indonesia.46,47 Masa remaja ditandai dengan
perobahan yang pesat baik fisik, psikologis dan sosialnya. Perobahan psikologis
remaja yang sedang mengalami masa transisi menuju dewasa, menimbulkan karakter
yang labil sehingga mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Pergejolakan antara
keinginan dan kenyataan menyebabkan masa remaja lebih mudah mengalami
depresi, stres, dan apatis sehingga mudah terjerumus ke dalam penyalahgunaan
NAPZA sebagai bentuk pelarian dari masalah. Selain faktor individu tersebut, hasil
survei UNODC menyebutkan bahwa shabu yang memiliki image yang baik yaitu,
sebagai vitamin, doping, moodbooster dan penambah tenaga, menyebabkan banyak
pelajar dan pekerja muda menyalahgunakan shabu dengan tujuan untuk
mempermudah mereka dalam menyelesaikan tugas pekerjaan.45,46,47
Tingkat pendidikan pecandu shabu sangat bervariasi dan ada dalam setiap
tingkatan pendidikan dimulai dari tingkat sekolah dasar hingga sarjana. Pendidikan
terakhir yang paling umum pada mantan pecandu shabu adalah tingkat pendidikan
menengah (SMA/SMK) sebesar 71%. Hal tersebut sesuai dengan data dari Pusat
Data dan Informasi (Pusdatin) pada tahun 2001 yang menunjukkan tingkat
pendidikan terakhir pecandu narkoba adalah SMA/SMK. Tingginya prevalensi pada
tingkat pendidikan menengah ini menunjukkan bahwa masa SMA/SMK sangat
rentan menyalahgunakan shabu dan menyebabkan ketergantungan. Setelah
ketergantungan pada shabu maka orang tersebut akan sulit menjalani aktivitas seperti
normal sehingga cenderung putus sekolah.49,50 Hal tersebut koherens dengan hasil
penelitian ini (Tabel 4) bahwa tingkat pendidikan mantan pecandu shabu di atas
Setiap mantan pecandu narkoba di PSPP Insyaf akan menjalani proses
rehabilitasi selama 9 bulan. Untuk melihat perkembangan proses rehabilitasi
terhadap pemulihan kesehatan rongga mulut, khususnya volume, pH dan kadar ion
kalsium saliva pada pecandu shabu maka subjek penelitian dibagi menjadi 3
kelompok berdasarkan masa rehabilitasi yaitu 1-3 bulan, 4-6 bulan dan 7-9 bulan.
Dalam penelitian ini seluruh subjek harus bebas dari riwayat gangguan
mental. Gangguan mental yang dimaksud adalah kondisi yang menimpa seseorang
berupa gejala-gejala gangguan dan penyakit kejiwaan seperti psikosis, depresi dan
ansietas sehingga tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan secara normal.37
Hal tersebut bertujuan agar subjek penelitian dapat kooperatif dan mengikuti
prosedur penelitian sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan pengisian
kuesioner dan pengumpulan saliva. Pada Tabel 4 didapati seluruh subjek penelitian
(100%) tidak memiliki riwayat gangguan mental. Selain riwayat gangguan mental,
seluruh subjek tidak boleh memiliki riwayat penyakit sistemik tertentu. Penyakit
sistemik yang dimaksud adalah penyakit yang dapat mempengaruhi terhadap
kuantitas dan kualitas saliva seperti diabetes meilitus, penyakit ginjal, infeksi HIV
dan lain-lain.14 Selain itu dikhawatirkan terjadi induksi obat-obatan penyakit sistemik
yang dapat menghambat sekresi saliva seperti antihipertensi dan antidepresan.14,16
Oleh karena itu, untuk menghindari hasil yang bias maka riwayat gangguan mental
dan penyakit sistemik menjadi kriteria eksklusi penelitian ini.
5.2 Gambaran Riwayat Menyalahgunakan Shabu
Hingga saat ini belum ada definisi yang disepakati oleh para ahli terkait
pengklasifikasian untuk menentukan batas seseorang sebagai pecandu ringan dan
pecandu berat. Ada yang menggunakan pendekatan medis, psikologi, frekuensi pakai
atau kombinasinya.46,47 Dalam penelitian ini peneliti mengklasifikasikan pengguna
narkoba menurut frekuensi penyalahgunaan. Menurut Mizner dan Johnson, kategori
terbagi menjadi tiga yaitu kategori eksperimental (coba pakai) yaitu pernah mencoba
1-2 kali dalam seumur hidup, kategori occasional 3-9 kali, dan kategori reguler
dalam 1 tahun.46 Dalam Tabel 5 didapati seluruh subjek penelitian ini (100%)
termasuk ke dalam kategori reguler (teratur pakai). Hal tersebut telah sesuai dengan
ekspektasi atau tujuan penelitian yang hanya fokus terhadap penyalaguna narkoba
kelompok reguler saja.
Hasil penelitian diperoleh mantan pecandu shabu ke dalam beberapa
kelompok frekuensi penyalahgunaan. Frekuensi terbanyak terjadi pada kelompok
penyalahgunaan 15-21 kali per minggu dan terendah pada kelompok penyalahgunaan
lebih dari 21 kali per minggu. Kelompok penyalahgunaan 15-21 kali ini
menunjukkan mereka menyalahgunakan shabu setiap hari (daily consumption),
dengan rerata penggunaan 2-3 kali per harinya. Hasil tersebut relevan dengan
penelitian Brown dkk di California pada tahun 2012 yang menunjukkan sebanyak
45,8% pecandu shabu cenderung akan menyalahgunakan secara reguler setiap
harinya, minimal satu kali dalam sehari.51 Pada tahap ketergantungan pada shabu
maka pecandu shabu akan meningkatkan dosis atau frekuensi penggunaannya.1,34,46
Dalam penelitian ini mantan pecandu shabu terbagi menjadi 3 kelompok
berdasarkan durasi pemakaiannya, yaitu kelompok dengan durasi penyalahgunaan 1-4
tahun, 5-8 tahun dan lebih dari 8 tahun. Pada Tabel 5 diperoleh lebih dari separuh
pecandu shabu telah menyalahgunakan shabu selama 1-4 tahun (58%) dan terendah
kelompok penyalahgunaan lebih dari 8 tahun. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian
Brown dkk tahun 2012 dan Saragih tahun 2009.47,51 Penelitian Brown dkk di
California pada tahun 2012 menunjukkan durasi menyalahgunakan shabu dengan
frekuensi terbesar adalah pada kelompok dibawah lima tahun (<5 tahun) yaitu
sebanyak 47%. Saragih tahun 2009 meneliti pada mantan pecandu NAPZA di Pusat
Rehabilitasi Sibolangit memperoleh proporsi tertinggi penyalahgunaan NAPZA
berdasarkan lama pemakaian adalah kurang dari 5 tahun (1-4 tahun) yaitu 60,4% dan
terendah adalah kelompok lebih dari 10 tahun.47,51 Hasil penelitian didapati rerata
durasi penyalahgunaan shabu selama 5,04 tahun dengan standar deviasi 2,76 dengan
coefisien of variation > 7 % artinya durasi lama penyalahgunaan rata-rata mantan
hasil penelitian Ravenel pada tahun 2012 pada pecandu shabu di Carolina, yaitu
dengan rerata 5,67 tahun standar deviasi 1,83.17
Pada penelitian ini (Tabel 5) didapati hampir seluruh mantan pecandu (23
orang) shabu menyalahgunakan shabu dengan cara dihisap dan hanya satu orang
yang menyalahgunakan shabu secara intranasal. Proporsi yang tidak seimbang
tersebut menyebabkan nilai rerata volume saliva berdasarkan cara menyalahgunakan
shabu tidak dapat terlihat kemaknaannya secara statistik maupun secara klinis,
sehingga pada penelitian ini efek penyalahgunaan shabu terhadap volume, pH dan
kadar ion kalsium yang distimulasi pada mantan pecandu shabu berdasarkan cara
menyalahgunakan tidak dapat dibahas lebih lanjut. Penyalahgunaan shabu dengan
alat bong (dihisap) sangat marak digunakan karena mudah dibuat dan
bahan-bahannya sangat sederhana. Selain itu para pecandu shabu meyakini bahwa bong
merupakan cara yang paling aman digunakan untuk kesehatan. Hal tersebut hampir
benar, dikarenakan zat-zat psikoaktif dalam shabu yang masuk ke dalam saluran
pernafasan dapat tersaring melalui molekul-molekul yang ada dalam air, sehingga
asap yang keluar dari pipa lebih lembut dibandingkan yang dibakar langsung
menggunakan kertas tapir. Tetapi, hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan
para pecandu narkoba yang menggunakan bong cenderung meningkatkan dosis atau
frekuensi agar mencapai efek high atau binge.21,43 Hasil penelitian tersebut relevan
dengan temuan BNN (Badan Narkotika Nasional) tahun 2002 yang menyatakan
pecandu narkoba dengan cara dihisap (bong) cenderung akan terus meningkat, seperti
jumlah pada tahun 2001 hanya 26,7% dan meningkat menjadi 42,3% pada tahun
2002. Ravenel tahun 2012 di California juga mendapati cara penyalahgunaan shabu
dengan prevalensi terbesar adalah dengan cara dihisap yaitu sebesar 62,5%. Pada
penelitian ini tidak dijumpai pecandu shabu suntik, dikarenakan jumlah pecandu
shabu suntik telah menurun tajam , disebabkan oleh penurunan suplai shabu jenis
fluid dan ketakutan akan bahaya HIV/AIDS serta overdosis.46,47
Lama berhenti menyalahgunakan shabu atau waktu terakhir kali
menyalahgunakan shabu diinterpretasikan dari masa rehabilitasi subjek penelitian,
menyalahgunakan narkoba jenis apapun. Pihak panti rehabilitasi menggantikan
ketergantungan shabu dengan cara memberikan rokok dengan jumlah tertentu setiap
harinya. Subjek penelitian berdasarkan lama berhenti menyalahgunakan shabu dibagi
dalam tiga kategori untuk melihat perkembangan pemulihan setelah proses
rehabilitasi. Berdasarkan Tabel 5 didapati 46% subjek penelitian telah menjalani
masa rehabilitasi selama 4-6 bulan dan selebihnya telah menjalani masa rehabilitasi
selama 1-3 bulan (37%) dan 7-9 bulan (17%).
Pada Tabel 5 diperoleh hampir separuh mantan pecandu shabu di PSPP
Insyaf pernah mengonsumsi narkoba jenis lainnya (poly drugs). Hal ini sulit
dihindari, dikarenakan pecandu narkoba jenis apapun akan cenderung mencoba-coba
jenis narkoba lainnya untuk memenuhi hasrat keingintahuannya
(eksperimental).13,21,47 Ganja merupakan jenis narkoba yang paling banyak dicoba
oleh mantan pecandu shabu dalam penelitian ini (64%) dikuti oleh ekstasi (27%) dan
putau (9%). Hal tersebut tidak mengherankan mengingat ganja, ekstasi dan putau
merupakan narkoba yang sangat marak digunakan di Indonesia selain shabu.20,47
Penelitian BNN pada tahun 2011 menunjukkan 4 jenis narkoba yang paling sering
disalahgunakan di Indonesia adalah ganja (40%), shabu (35%), ekstasi (12%) dan
putau (3%).46 Meskipun pada penelitian ini beberapa subjek pernah mengonsumsi
narkoba jenis lainnya, tetapi tetap shabu adalah jenis narkoba yang paling dominan
dikonsumsi oleh seluruh subjek penelitian.
5.3 Pengaruh Frekuensi, Durasi, dan Lama Berhenti Menyalahgunakan Shabu
terhadap Volume Saliva Mantan Pecandu Shabu
Hasil uji Oneway Anova (Tabel 6) menunjukkan hubungan yang signifikan
(p<0,05) antara frekuensi menyalahgunakan shabu dengan penurunan rerata volume
saliva. Ini berarti hipotesis penelitian diterima, artinya rerata volume saliva mantan
pecandu shabu dipengaruhi oleh frekuensi menyalahgunakan shabu. Semakin tinggi
frekuensi menyalahgunakan shabu maka semakin rendah volume saliva. Temuan ini
sesuai dengan hasil penelitian Rau dkk pada tahun 2006 di Salt Lake City yang
intensitas menyalahgunakan shabu.52 Hasil penelitian diperoleh bahwa mantan
pecandu shabu yang menggunakan shabu lebih dari satu kali per harinya (daily
consumption) akan menunjukan rerata volume saliva yang rendah. Hasil tersebut
terlihat dari uji post hoc test antara kelompok 1-7 dengan kelompok 15-21 kali per
minggu. Motif para pecandu menyalahgunakan shabu secara terus-menerus
dikarenakan sifat adiktif shabu, sehingga ketika efek shabu hilang maka pecandu
shabu akan merasakan kelelahan dan kegelisahan.24,45,52 Penyalahgunaan
terus-menerus berakibat terhadap kerusakan dan penyusutan akson dopaminergik dan
serotonergik serta berkurangnya jumlah transporter dopamin (DAT atau dopamine
transporter), norepineprin (NET atau norephineprin transporter) dan transporter
serotonin (SERT atau serotonin transporter) di bagian otak yang mengatur sekresi
saliva, seperti di medula spinalis dan amigdala.21,23,55 Penurunan kadar DAT dan
SERT di amigdala (pusat emosi), menyebabkan mantan pecandu shabu mudah
mengalami stres dan cemas.21,23,53 Hal tersebut dapat menghambat proses sekresi
saliva dikarenakan keadaan emosionil tersebut merangsang terjadinya pengaruh
simpatik dari sistem saraf otonom dan menginhibisi sistem parasimpatik yang
menyebabkan volume sekresi menurun tetapi kaya protein. 23,34-36
Hasil uji Oneway Anova (Tabel 7) menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara durasi menyalahgunakan shabu dengan penurunan volume
saliva mantan pecandu shabu (p<0,05). Ini berarti hipotesis penelitian diterima,
artinya rerata volume saliva mantan pecandu shabu dipengaruhi oleh durasi
menyalahgunakan shabu. Semakin lama durasi menyalahgunakan shabu maka
semakin rendah volume saliva. Penyalahgunaan shabu jangka panjang menyebabkan
kerusakan-kerusakan pembuluh darah kelenjar saliva yang disebabkan oleh stimulasi
terus-menerus pada α-1 adrenoreceptor, sehingga menyebabkan vaskulitis nekrosis
yaitu berupa peradangan pada dinding pembuluh darah yang disebabkan oleh
nekrosis jaringan fibrin dan infiltrasi leukosit pada dinding pembuluh darah. 21-24,53,54
Akibatnya kelenjar saliva kekurangan suplai cairan, menyebabkan hipoksia jaringan
terlihat efek shabu begitu kuat pada penyalahgunaan shabu lebih dari 8 tahun
dikarenakan nilai rerata saliva yang sangat rendah (1,7 mL/5menit).4
Hasil uji Oneway Anova (Tabel 6) menunjukkan pengaruh yang signifikan
antara lama berhenti menyalahgunakan shabu dengan peningkatan rerata volume
saliva mantan pecandu shabu. Dengan kata lain hipotesis diterima, yaitu lama
berhenti meyalahgunakan shabu mempengaruhi rerata volume saliva mantan pecandu
shabu. Sesuai Tabel 6, maka terjadi peningkatan rerata volume saliva seiring semakin
lamanya berhenti menyalahgunakan shabu. Pada penelitian terlihat pengaruh shabu
terhadap penurunan volume sekresi saliva terjadi pada kelompok pecandu shabu
yang baru berhenti menyalahgunakan shabu selama 1-3 bulan 4-6 bulan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pengaruh shabu masih terjadi meskipun subjek telah berhenti
mengonsumsi shabu. Hasil klinis tersebut diperkuat oleh data kuesioner penelitian
yang menemukan hampir separuh mantan pecandu shabu (46%) masih merasakan
mulut kering meski telah direhabilitasi. Penelitian Buffenstein dkk tahun 1997 di
Hawai, menemukan bahwa pengaruh penyalahgunaan shabu terus berlanjut selama
berbulan-bulan meskipun pecandu telah berhenti menyalahgunakan shabu. 22 Tetapi
meskipun demikian banyak peneliti sepakat bahwa seiring waktu maka pemulihan
akan terjadi.21,53 Penelitian Wang dkk pada tahun 2004 menunjukkan bahwa
pemulihan parsial dapat terjadi pada mantan pecandu shabu yang telah berhenti di
atas 6 bulan. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan
volume sekresi kembali normal pada kelompok mantan pecandu shabu dengan lama
berhenti 7-9 bulan. Hasil uji post hoc test terlihat perbedaan rerata volume saliva
yang signifikan (p<0,000) antara kelompok 1-3 bulan dengan 7-9 bulan, hal tersebut
menunjukan bahwa pengaruh shabu sangat kuat pada kelenjar saliva mantan pecandu
shabu yang baru saja berhenti mengonsumsi shabu, tetapi efek tersebut akan
berkurang seiring lama berhentinya shabu dan normal kembali pada kurun waktu 7-9
bulan kemudian.
Dalam waktu berbulan-bulan maka zat toksis shabu telah banyak dieksresikan
sehingga dampak terhadap tubuh semakin berkurang. Pemulihan ini terjadi seiring
menyebabkan regulasi sekresi saliva kembali normal. Kondisi psikis mantan pecandu
shabu yang telah lama menjalani rehabilitasi semakin pulih dan normal, tidak mudah
cemas, emosi, dan paranoid, sehingga kondisi psikologis tersebut tidak lagi
menyebabkan gangguan regulasi sekresi saliva. Akhirnya volume saliva yang
distimulasi pada mantan pecandu shabu kembali normal. 6,24,52
5.4 Pengaruh Frekuensi, Durasi, dan Lama Berhenti Menyalahgunakan Shabu
terhadap pH Saliva yang Distimulasi pada Mantan Pecandu Shabu
Shabu merupakan senyawa kimia yang berbahaya bagi tubuh. Bahan dasar
shabu berasal dari zat-zat toksik seperti P2P (phenyl-2-propanone), metilamin
(derivat amonia), asam hidroklorid, asam formik dan merkuri.15,19 Penelitian Grobler
dkk tahun 2011 di Cape Town terhadap 29 sampel shabu yang tersebar di pasar bebas
menemukan bahwa shabu memiliki derajat keasaman yang rendah dan di bawah pH
kritis saliva (pH <5,6). Hal tersebut tentunya dapat mempengaruhi derajat keasaman
rongga mulut pecandu shabu dikarenakan asam klorida akan terakumulasi dalam
cairan rongga mulut dan menyebabkan penurunan pH saliva. Selain itu, shabu dapat
menurunkan pH saliva akibat asap hasil pembakaran shabu. Asap pembakaran shabu
yang terdiri dari karbondioksida juga dapat menurunkan pH saliva dengan cara
berikatan dengan kandungan air pada saliva, mengeluarkan ion hidrogen dan
membentuk asam.41,57 Penelitian terbaru, shabu dapat dideteksi di dalam cairan
rongga mulut, dikarenakan siklus perjalanan shabu dalam tubuh mulai dari plasma,
melintasi membran kapiler, lalu basal membran, lalu menuju sel epitel kelenjar saliva
hingga pada akhirnya diekskresikan ke dalam cairan rongga mulut. Hal tersebut turut
merobah keadaan pH saliva.55,58 Penelitian Schepers dkk tahun 2003 terhadap 130
orang yang masih menyalahgunakan shabu, menemukan rerata pH saliva pecandu
shabu yaitu pH 6 dengan standar deviasi sebesar 0,6.58 Tetapi pada penelitian ini
seluruh subjek (100%) menunjukkan pH saliva yang normal dengan rerata pH saliva
yaitu 7,754. Hasil ini sesuai dengan penelitian Ravenel MC., dkk tahun 2012
terhadap pecandu shabu di Amerika dimana 12 orang mantan pecandu shabu dari
6,8-7,8.12 Penelitian tersebut diperkuat oleh temuan Woyceichoski dkk pada tahun 2011
bahwa pH pada pecandu kokain dalam masa rehabilitasi yaitu 7,11 dengan standar
deviasi sebesar 0,212.12,23
Pada hasil penelitian (Tabel 8 dan Tabel 9) tidak terdapat pengaruh yang
signifikan (p>0,05) antara frekuensi, durasi dan lama berhenti menyalahgunakan
shabu terhadap penurunan rerata pH saliva. Ini berarti hipotesis penelitian ditolak,
artinya rerata pH saliva mantan pecandu shabu tidak dipengaruhi oleh frekuensi,
durasi dan lama berhenti menyalahgunakan shabu. Hal ini diduga karena subjek
penelitian sudah tidak lagi menyalahgunakan shabu sehingga efek penurunan pH
saliva tidak terlihat. Dugaan tersebut diperkuat oleh penelitian Schepers dkk pada
tahun 2003 yang menemukan bahwa penurunan pH saliva ini bersifat akut
dikarenakan shabu hanya bertahan selama 24 jam dalam plasma sehingga sudah tidak
terdapat di dalam cairan rongga mulut.Selain itu mantan pecandu shabu sudah tidak
lagi terpapar oleh asap pembakaran shabu yang bersifat asam sehingga pH saliva
kembali normal.58
Setiap harinya cairan saliva diproduksi baru oleh kelenjar saliva, sehingga pH
saliva akan kembali normal dan pada prinsipnya banyak hal yang mempengaruhi
derajat keasaman pH saliva seperti irama circadian, diet dan kebersihan rongga
mulut. Hasil wawancara dengan pihak panti bahwa mantan pecandu shabu dalam
masa rehabilitasi tidak lagi memiliki kebiasaan mengonsumsi makanan bersifat asam
dan lebih sering mengonsumsi makanan berserat dan berprotein. Selain itu data
kuesioner menunjukkan hampir seluruh subjek (79%) memiliki kebiasaan menyikat
gigi yang baik (2-3kali sehari) sehingga dapat mencegah penumpukan plak dan debris
yang dapat mempengaruhi pH lokal rongga mulut mantan pecandu shabu.
5.5 Pengaruh Frekuensi, Durasi, Cara dan Lama Berhenti Menyalahgunakan
Shabu terhadap Kadar Ion Kalsium Saliva yang Distimulasi pada Mantan Pecandu
Shabu
Hasil uji Oneway Anova (Tabel 10) menunjukkan pengaruh yang signifikan