HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTAN TENGAH
INDAH PRASASTI
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pemanfaatan Data READY-ARL NOAA dan CMORPH untuk Pengembangan Model Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Tengah adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012
Indah Prasasti
INDAH PRASASTI. Utilization of READY-ARL NOAA Data and CMORPH for Land and Forest Fire Risk Model Development in Central Kalimantan. Under the supervision of RIZALDI BOER, M. ARDIANSYAH, AGUS BUONO, and LAILAN SYAUFINA.
Land and forest fires are one of the many causes of land degradation in Central Kalimantan. The utilization of remote sensing data, particularly READY-ARL NOAA and CMORPH data, is helpful in providing climate observation data. The objectives of this study are: 1) to analyze the relationship between the surface observation data and the READY-ARL NOAA and CMORPH (CPC Morphing) data by using Partial Least Square (PLS) Method to extract climate data from the satellite, 2) to develop the FDRS (Fire Danger Rating System) indices by using READY-ARL NOAA, CMORPH and hotspot data derived from the satellite data, 3) to develop an estimation model for burned area from hotspot, rainfall condition, and FDRS indices, and 4) to develop fire risk prediction model. The result of this study indicates that the READY-ARL NOAA and CMORPH data have the potential to make climate data estimation and are relatively good as FDRS (SPBK) data input. The use of PLS method is much better in generating a model estimation than simple regression. Precipitation accumulation for two months prior to fire occurrence and drought condition have correlation with the burned area. There is a correlation between the total number of fire hotspot and a series of days without rain around one to two months prior to fire occurrence. In addition, this study also found that the burned area in Central Kalimantan will increase if the drought code exceeds 500 point. Burned area can be estimated by using the following formulas:
Burned Area (Ha) = 5.13 – 21.7 (CH2bl – 93) (R-sq = 67.2%) and this formula:
Burned Area (Ha) = -62.9 + 5.14 (DC – 500) (R-sq = 58%)
where CH2bl = precipitation accumulation for two months prior to fire occurrence and DC = drought code. The forecasts of fire occurrence probability can be determined by using a precipitation accumulation for two months prior to fire occurrence and Monte Carlo simulation. Efforts to anticipate and address the fire risk should be carried out as early as possible, i.e. two months in advance if the probability of fire risk has exceeded the value of 40%.
Pengembangan Model Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh RIZALDI BOER, M. ARDIANSYAH, AGUS BUONO, dan LAILAN SYAUFINA.
Kalimantan Tengah merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang paling sering dan hampir setiap tahun mengalami kebakaran, terutama pada musim kemarau. Penggunaan data iklim observasi dalam model-model pengembangan risiko kebakaran hutan dan lahan seringkali terkendala oleh keterbatasan ketersediaan data yang near real-time dengan cakupan wilayah bersifat lokal (titik lokasi). Dengan demikian, untuk memantau dan memetakan area bahaya kebakaran yang luas memerlukan banyak data titik lokasi yang digunakan sebagai masukannya (input). Salah satu upaya mengatasi permasalahan ini adalah dengan menggunakan data penginderaan jauh (inderaja), seperti data READY-ARL NOAA dan CMORPH. Potensi pemanfaatan data READY-ARL NOAA sebagai penduga unsur cuaca/iklim belum pernah diteliti untuk kepentingan pengembangan model risiko kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Data curah hujan CMORPH merupakan hasil estimasi dari data satelit dengan resolusi temporal tinggi yang diharapkan dapat digunakan sebagai pengisi data hilang serta memenuhi kebutuhan ketersediaan data curah hujan observasi terutama di wilayah yang tidak memiliki stasiun pengamatan. SPBK (Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran) yang dikembangkan menggunakan masukan data iklim dari data inderaja diharapkan dapat digunakan sebagai sistem peringatan dini kebakaran dengan cakupan area pemantauan yang lebih luas dibandingkan apabila dikembangkan berdasarkan data observasi permukaan. Selanjutnya, keterkaitan antara parameter SPBK ini dengan kejadian kebakaran, keberadaan hotspot dan kondisi iklim khususnya curah hujan penting pula dianalisis untuk menilai efektifitasnya dalam memberikan peringatan dini kebakaran hutan dan lahan.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan model prediksi tingkat kebakaran di Kalimantan Tengah berdasarkan kondisi iklim. Tujuan khusus penelitian adalah: 1) Mendapatkan model estimasi data profil atmosfir (Suhu, Kelembaban Relatif, Arah Angin, dan Kecepatan Angin) dan data iklim non-hujan (Suhu, suhu maksimum, kelembaban relatif, arah angin, dan kecepatan angin) dari data READY-ARL NOAA berdasarkan metode PLS, 2) Mendapatkan model estimasi curah hujan dari data CMORPH berdasarkan metode PLS, 3) Mengembangkan indeks-indeks SPBK dengan pemanfaatan data READY-ARL NOAA dan CMORPH dan mendapatkan model hubungan antara luas kebakaran dengan masing-masing indeks risiko kebakaran dari kerapatan hotspot, indikator kondisi iklim, dan indeks-indeks SPBK (FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, dan FWI), dan 4) Mengembangkan model prediksi risiko kebakaran.
Analisis hubungan parameter suhu (T), kelembaban relatif (RH), arah angin (WD), dan kecepatan angin (WS) dengan data observasi radiosonde menggunakan analisis PLSR (Partial Least Square Regression) menunjukkan korelasi yang relatif baik, terutama arah angin dan kecepatan angin di Cengkareng dengan korelasi > 0.5. Penggunaan analisis PLSR dalam pembangunan model estimasi T, RH, WD, dan WS secara umum meningkatkan perolehan koefisien keragaman model dan menurunkan tingkat bias/galat estimasi model. Hubungan antara suhu READY-ARL NOAA pada level atmosfir permukaan (sekitar 1200mb) pada pukul 06.00 UTC dengan suhu maksimum di beberapa stasiun observasi di Pulau Jawa cukup baik, khususnya di Cilacap yang sangat baik dan konsisten dari hasil validasinya.
hutan dan lahan.
Terdapat korelasi yang relatif kuat antara luas kebakaran dengan DC (Drought Code yang merupakan salah satu code luaran SPBK) dan akumulasi curah hujan dua bulan sebelum kebakaran. DC juga memiliki korelasi yang sangat kuat dengan akumulasi curah hujan satu hingga tiga bulan sebelumnya. Semakin berkurang jumlah curah hujan 3 bulan sebelumnya, maka DC akan semakin meningkat. DC menggambarkan potensi kekeringan suatu wilayah. Dari hubungan ini luas kebakaran dapat diestimasi dari curah hujan dua bulan sebelumnya dan dari nilai DC melalui persamaan-persamaan berikut:
Luas (Ha) = 5.13 – 21.7 (CH2bl – 93) (R-sq = 67.2%) Luas (Ha) = -62.9 + 5.14 (DC – 500) (R-sq = 58%)
dengan CH2bl adalah akumulasi curah hujan 2 bulan sebelum kebakaran, dan DC adalah nilai Drought Code. Dari hasil analisis juga menunjukkan bahwa di Kalimantan Tengah umumnya luas kebakaran akan meningkat jika nilai DC melebihi poin 500.
Prediksi peluang kejadian dan luas kebakaran dapat ditentukan menggunakan informasi curah hujan dua bulan sebelumnya dengan menggunakan simulasi Monte Carlo). Sementara itu, upaya antisipasi untuk penanganan risiko kebakaran perlu dilakukan sedini mungkin yaitu dua bulan sebelumnya apabila peluang risiko terjadinya kebakaran melewati nilai 40%.
ak cipta milik Indah Prasasti, tahun 2012
Hak cipta dilindungi
HUTAN DAN LAHAN DI KALIMANTAN TENGAH
INDAH PRASASTI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Klimatologi Terapan Departemen Geofisika dan Meteorologi
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi:
Sidang Tertutup : Prof (R). Dr. Ir. Irsal Las, MS
(Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Deptan)
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS
(Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB)
Sidang Terbuka : Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Sc (Guru Besar Fahutan IPB)
Dr. Ir. Tania June, M.Sc
Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Tengah
Nama Mahasiswa : Indah Prasasti
Nomor Pokok : G26107001
Program Studi : Klimatologi Terapan
Disetujui:
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc)
Ketua
(Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah)
Anggota
(Dr. Ir. Agus Buono, M.Si, M.Kom)
Anggota
(Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc)
Anggota
Diketahui
Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi
(Dr. Ir. Rini Hidayati, M.Si)
Dekan Sekolah Pascasarjana
(Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr)
iii
1.5. Sistematika Penulisan ... 12
2. TINJAUAN PUSTAKA ... 14
2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan ... 14
2.1.1. Difinisi, Proses dan Faktor-faktor Penyebabnya ... 14
2.1.2. Kebakaran Lahan Gambut ... 16
2.1.3. Hubungan Kebakaran Hutan/Lahan dengan Faktor Iklim ... 18
2.1.4. Deteksi Hotspot Kebakaran Hutan dan Lahan ... 19
2.2. Analisis dan Pengolahan Risiko (Risk) dan Bahaya (Hazard) Kebakaran ... 24
2.2.1. Definisi Risiko dan Bahaya Kebakaran ... 24
2.2.2. Analisis dan Pengelolaan Risiko Kebakaran ... 25
2.2.3. Beberapa Hasil Penelitian Analisis Risiko dan Bahaya Kebakaran ... 27
2.3. Data READY-ARL NOAA ... 30
2.4. Data CMORPH (CPC MORPHing Technique) ... 32
2.5. Statistical Downscaling ... 33
3. ANALISIS HUBUNGAN DATA ARL-NOAA DENGAN DATA OBSERVASI PERMUKAAN MENGGUNAKAN METODE PLS (Partial Least Square) ... 37
3.1. Pendahuluan ... 37
3.2. Data dan Metode ... 40
3.3. Hasil dan Pembahasan ... 46
3.4. Simpulan ... 62
4. ANALISIS HUBUNGAN DATA CURAH HUJAN CMORPH DENGAN CURAH HUJAN OBSERVASI ... 64
4.1. Pendahuluan ... 64
4.2. Data dan Metode ... 67
4.3. Hasil dan Pembahasan ... 72
iv
5.1. Pendahuluan ... 89
5.2. Data dan Metode ... 93
5.3. Hasil dan Pembahasan ... 101
5.4. Simpulan ... 114
6. MODEL RISIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN... 116
6.1 Pendahuluan ... 116
6.2. Data dan Metode ... 117
6.3. Hasil dan Pembahasan ... 120
6.4. Simpulan ... 124
7. PEMBAHASAN UMUM ... 125
8. SIMPULAN DAN SARAN ... 131
DAFTAR PUSTAKA ... 134
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ... 143
v 2-1 Perkiraan luas dan penyebaran lahan gambut di Indonesia
berdasarkan beberapa sumber (Najiyati et al. 2005 yang diacu
Syaufina 2008) ... 17 2-2 Data hotspot berdasarkan penggunaan lahan di Kabupaten
Rokan Hilir, Propinsi Riau tahun 1997 – Maret 2005 (Sumber data: Kementrian Lingkungan Hidup 2001 – 2005 dalam
Hendriana 2006) ... 22 3-1 Jumlah PC dan besarnya keragaman X yang diwakili model
penduga untuk masing-masing parameter profil atmosfir di
Juanda dan Cengkareng ... 50 3-2 Model Pendugaan Tmax dari T06.00_UTC arl, Koefisien
Determinasi (R-sq), dan Koefisien Korelasi (r) di 9 Wilayah di
Pulau Jawa ... 59 3-3 Koefisien Korelasi (r) dan RMSE Hasil Validasi Silang Model
Pendugaan Tmax dari T06.00_UTC arl di 9 Wilayah di Pulau Jawa .. 60
4-1 Lokasi stasiun hujan yang dikaji ... 67 4-2 Nilai koefisien korelasi (r) dan determinasi (R-sq) untuk
masing-masing stasiun hujan berdasarkan analisis regresi
sederhana ... 74 4-3 Keragaman X dan koefisien determinasi (R-sq) berdasarkan
metode PLSR ... 75 4-4 Periode data untuk verifikasi model dan validasi ... 76 4-5 Hasil uji Z pada model regresi linier MK dan MH di Palangka
Raya dan Pekanbaru ... 83 5-1 Jenis data, periode, dan cara perolehannya yang digunakan
vi
1-1 Distribusi Jumlah hotspot di Provinsi Paling Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan Periode tahun 2000 – 2010 (Sumber: Direktorat
Pengendalian Kebakaran Hutan, 2011) ... 6 1-2 Penurunan jumlah hotspot tahun 2006 – 2009 di Kalimantan Tengah
(Sumber: Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah,
2010) ... 6 1-3 Bagan alir kerangka penelitian ... 10 1-4 Keterkaitan antar bab dalam penulisan disertasi ... 13 2-1 Hubungan Jumlah Hari Kering sebelum Kebakaran dengan Jumlah
Hotspot (Sumber: Boer et al. 2010) ... 23 2-2 Hubungan anomali curah hujan dengan hotspot kebakaran di
Kalimantan Tengah (Sumber: IRI dan CCROM-SEAP, IPB 2009) ...
23
2-3 Perbandingan IKKB dengan Indeks Nesterov (Sumber: Buchholz dan
Weidemann 2000) ... 29 2-4 Illustrasi Downscaling (Sumber: http://cccsn.ca/ ) ... 34 3-1 Bagan alir tahap pemrosesan dan analisis data ... 45 3-2 Koefisien korelasi hubungan antara masing-masing unsur iklim pada
setiap ketinggian lapisan atmosfir di Juanda, Surabaya ... 47 3-3 Koefisien korelasi hubungan antara masing-masing unsur iklim pada
setiap ketinggian lapisan atmosfir di Cengkareng, Tangerang ... 47 3-4 Koefisien determinasi (R-sq) model (a) dan RMSE (b) untuk Suhu
(T) di Juanda, Surabaya dan Cengkareng, Tangerang ... 51 3-5 Koefisien determinasi (R-sq) model (a) dan RMSE (b) untuk
kelembaban (RH) di Juanda, Surabaya dan Cengkareng, Tangerang ... 52 3-6 Koefisien determinasi (R-sq) model (a) dan RMSE (b) untuk arah
angin di Juanda, Surabaya dan Cengkareng, Tangerang ... 52 3-7 Koefisien determinasi (R-sq) model (a) dan RMSE (b) untuk 3-10 Perbandingan pola T06.00_UTC arl dengan Tmax observasi BMKG
Rata-rata bulanan di 9 (sembilan) wilayah di Pulau Jawa ... 58 3-11 Contoh hasil validasi antara Tmax dugaan model dengan Tmax
observasi permukaan di Serang dan Cilacap ... 60 3-12 Nilai koefisien r antara Tmax dugaan model dengan Tmax observasi
pada 1 (satu) bulan, 2 bulan, dan 3 bulan ke depan di Cilacap ... 61 4-1 Bagan alir proses analisis dan evaluasi model estimasi curah hujan
vii
wilayah kajian ... 77
4-5 Nilai RMSE antara nilai dugaan model dengan observasi hasil validasi silang pada masing-masing domain di 4 (empat) wilayah kajian ... 77
4-6 Contoh nilai koefisien model estimasi curah hujan menggunakan PLSR di Pekanbaru pada domain 3x3 dengan 4 PC ... 79
4-7 Perbandingan nilai curah hujan dugaan model dengan curah hujan observasi tahun 2003 di 4 lokasi penelitian ... 79
4-8 Perbandingan nilai koefisien keragaman (R-sq) antara analisis regresi linier dengan PLSR ... 80
4-9 Pola curah hujan di Pekanbaru dan Palangka Raya ... 82
4-10 Perbandingan pola curah hujan CMORPH-IRI dengan observasi ... 83
4-11 Bentuk hubungan CH CMORPH-IRI pada MK dan MH di Palangka Raya dan Pekanbaru ... 84
4-12 Nilai korelasi dan RMSE antara nilai dugaan model dengan observasi 85
4-13 Perbandingan antara curah hujan dugaan model dengan observasi pada musim kemarau dan musim hujan di Palangka Raya (a dan b) dan di Pekanbaru (c dan d) ... 86
5-1 Proses penentuan indeks SPBK dan data masukannya ... 94
5-2 Bagan alir proses dan analisis data hubungan parameter hotspot, SPBK, dan kondisi iklim dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan 100 5-3 Lokasi titik kejadian dan pemadaman kebakaran tahun 2009 dan 2011 di Kalimantan Tengah ... 101
5-4 Distribusi hotspot pada tahun 2009 di Kalimantan Tengah (Sumber data diolah dari FIRMS melalui situs: http://maps. geog.umd. edu/firms/shapes.html ) ... 102
5-5 Distribusi hotspot pada tahun 2011 di Kalimantan Tengah (Sumber data diolah dari FIRMS melalui situs: http://maps. geog. umd. edu/firms/shapes.html ) ... 103
5-6 Hubungan luas kebakaran dengan jumlah hotspot ... 104
5-7 Hubungan masing-masing indeks SPBK dengan luas kebakaran di Kalimantan Tengah ... 106
5-8 Hubungan anomali curah hujan dengan jumlah hotspot pada lokasi kebakaran di Kalimantan Tengah pada tahun 2009 (a) dan 2011 (b) ... 108
5-9 Hubungan antara luas kebakaran dengan peubah kondisi iklim ... 109
5-10 Korelasi antara hotspot dengan peubah kondisi iklim ... 110
5-11 Hubungan jumlah hotspot dengan peubah kondisi iklim ... 111
5-12 Hubungan indeks-indeks SPBK dengan kondisi iklim ... 111
5-13 Bentuk hubungan antara potensi kekeringan (DC) dengan peubah iklim curah hujan 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan sebelum kebakaran dengan luas kebakaran ... 112
6-1 Proses penyusunan model prediksi risiko kebakaran hutan dari data curah hujan ... 119
viii
dua bulanan di Palangka Raya (Catatan: Nilai CV = simpangan
baku/nilai rata-rata) ... 122 6-5 Perkiraan peluang terjadi kebakaran pada bulan September dan
Oktober berdasarkan informasi tinggi hujan dua bulanan pada bulan
Juli-Agustus dan Agustus-September di Palangka Raya ... 123
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Contoh Hasil Uji Korelasi antara Parameter Profil Atmosfir Suhu dari
ARL NOAA dengan Radiosonde di Juanda... 146 2 Contoh Luaran Pengolahan Menggunakan Metode PLSR pada
Analisis Hubungan T dari ARL NOAA dengan Radiosonde ... 148 3 Hasil Ekstraksi Jumlah Hotspot, Curah hujan, dan Jumlah Hari Tidak
Hujan di Masing-masing Lokasi dan Luas Kebakaran ... 154 4 Nilai FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, dan FWI di Masing-masing Lokasi
Kebakaran ... 155 5 Korelasi antara indikator kejadian kebakaran (Luas & Jumlah
i
rahmat, nikmat sehat, hidayah, serta pertolongannya-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan desertasi ini. Tema yang dipilih dalam disertasi ini adalah iklim dan kebakaran hutan dan lahan.
Desertasi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Komisi pembimbing yang terdiri atas Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, MSc (Ketua), Dr. Ir. M. Ardiansyah (anggota), Dr. Ir. Agus Buono, MSi, MKom. (anggota), dan Dr. Ir. Lailan Syaufina, MSc (anggota) atas segala arahan, bimbingan, dukungan semangat dan nasehatnya sehingga desertasi ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.
2. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB, Ketua dan Staf Pengajar pada Program Studi Klimatologi Terapan SPs-IPB yang telah memberikan kesempatan, bantuan, dan ilmu pengetahuan kepada penulis selama mengikuti pendidikan program Doktor.
3. Kepala LAPAN, Deputi Penginderaan Jauh LAPAN, Kepala PUSFATJA LAPAN, Kepala Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana atas kesempatan dan bantuan yang diberikan untuk menempuh pendidikan program Doktor hingga selesai.
4. Prof (R) Dr. Irsal Las dan Dr. Rini Hidayati sebagai penguji luar komisi pada sidang tertutup, Prof. Dr. I Nengah Surati Jaya dan Dr Tania June sebagai penguji luar komisi pada sidang terbuka atas kritik dan sarannya yang membangun untuk perbaikan desertasi ini.
5. Sahabat-sahabat saya khususnya Dr Katmoko Ari S atas program esktraksi hotspotnya, Dr Ety Parwati, Ita Carolita, Tatik Kartika, Sri Harini, Arum atas doa dan dukungan semangatnya, dan Yenny Vetrita atas pelajaran Arc View-nya dan share datanya.
6. Sahabat dan teman seperjuanganku Suciantini yang selalu memberi inspirasi saya agar tetap kuat dan selalu tetap semangat (Tak ada yang tak mungkin jika kita mau berjuang, percaya atas kemampuan diri dan tetap semangat. Sengsara membawa nikmat). Teman baik saya Bu Woro Estiningtyas (Ballitklimat, Bogor) dan Bu Adeley atas dukungan semangat dan partisipasinya pada saat seminar dan sidang terbuka.
7. Sahabat-sahabat saya di CCROM-SEAP IPB (Mbak Pipiet, Ani, Diva, Sisi, Adi, Gito, Doddy) atas kebaikan, keramahan, dan suasana kerja yang santai dan menyenangkan. 8. Almarhum Ibu dan bapak saya, Suami dan anak-anakku tercinta, Ning Yam, serta
adik-adikku terkasih atas doa, perhatian, pengertian, kasih sayang, pengorbanan, dan dukungan semangat yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan Program Doktor. Demikian disertasi ini disusun, dengan harapan semoga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang iklim, penginderaan jauh, dan teknologi mitigasi kebencanaan.
Bogor, Agustus 2012
ii
Syamsul Barry (almarhum) dan ibu Hj. Noerhajatie Bakrie (almarhum). Penulis adalah puteri pertama dari lima bersaudara. Penulis menikah dengan Imam Ghozali dan telah dikaruniai 2 orang anak yaitu Septian Imansyah Ghozali dan Rizki Novia Rahma. Saat ini penulis dan keluarga tinggal di Cibinong, Bogor.
Jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) diselesaikan di SD Islam Tompokersan di Kabupaten Lumajang pada tanggal 31 Desember 1975. Pendidikan sekolah lanjutan pertama (SLTP) diselesaikan di SMPN 1 Lumajang di Kota Lumajang pada tanggal 4 Mei 1979. Adapun jenjang pendidikan sekolah lanjutan atas (SLTA) diselesaikan di SMPP Negeri (sekarang SMAN 2) Lumajang di Kota Lumajang pada tanggal 10 Mei 1982.
Pada tanggal 1 September 1982 penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur PP II di Bogor. Tahun 1983 penulis diterima di Jurusan Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB, Bogor. Penulis lulus dan meraih gelar Sarjana Sains dari IPB, Bogor tahun 1988. Kemudian penulis melanjutkan studi pada jenjang Strata II (S2) di Program Pascasarjana (PPs) IPB, Bogor pada tahun 1999 pada Program Studi Ilmu Tanah dan lulus serta mendapatkan gelar Magister Sains (MSi) tahun 2004. Sejak tahun 2007 penulis melanjutkan studi jenjang Strata III (S3) pada Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB, Bogor pada Program Studi Klimatologi Terapan.
Salah satu penyebab degradasi hutan dan lahan adalah kebakaran.
Kebakaran hutan dan lahan merupakan fenomena yang hampir setiap tahun terjadi
di Indonesia, terutama di Kalimantan dan Sumatera. Pada kejadian kebakaran
skala besar pada tahun 1997/1998 diperkirakan sekitar 10 juta hektar lahan rusak
terbakar dengan kerugian ekonomis untuk Indonesia mencapai 9.3 milyar dolar
US (ADB/BAPPENAS 1999). Sementara kerugian akibat polusi asapnya
diperkirakan mencapai 800 juta US dolar. Bersamaan dengan itu, emisi gas rumah
kaca (GRK) yang dilepaskan ke atmosfir sebanyak 810 – 2,563 Mt C (Page et al. 2002) yang setara dengan 13 – 40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan
bahan bakar fosil per tahunnya (Cochrane 2003, Page et al. 2002). Apabila kebakaran terjadi pada lahan gambut, maka emisi karbon yang dikeluarkan tidak
hanya terbatas dari vegetasi yang tumbuh di atas permukaan tanah saja tetapi
bahan organik yang terdapat di dalam tanah juga akan terurai dan mengeluarkan
karbon ke atmosfir. Hal ini dikarenakan lahan gambut memiliki lebih banyak
karbon di bawah permukaan daripada di atasnya (CIFOR, 2009). Pada periode 1997 – 1998 tersebut, diduga lahan gambut menyumbang 60% dari produksi asap di Asia Tenggara dan mempengaruhi 35 juta orang (ADB/BAPPENAS 1999). Hal ini berarti akan memberikan kontribusi terhadap pemanasan global dan perubahan
iklim.
Hasil kajian pustaka Miettinen (2007) mendapatkan bahwa kebakaran di
wilayah tropis terjadi karena kegiatan manusia dalam mengelola lahan (seperti:
penyiapan lahan pertanian, pembersihan lahan, dan pembakaran pasca panen),
penggunaan api dalam sengketa lahan, perburuan, dan ketidaksengajaan (seperti:
api unggun dari aktivitas perkemahan, kegiatanmerokok, dan sebagainya), dan
aktivitas pengendalian hama. Menurut Saharjo (2000), dalam satu kali pembukaan
lahan sebuah perusahaan dapat melakukan penebangan seluas 10 – 20 ha, bahkan
sampai 40 ha, kemudian bekas tebangan dibiarkan mengering selama 2 – 3
minggu untuk selanjutnya dibakar.
Fuller (1995) menyatakan bahwa unsur-unsur iklim berpengaruh sangat
mempengaruhi kondisi bahan bakaran dan kemudahannya terbakar. Sementera itu,
Chandler et al. (1983) menyatakan bahwa faktor iklim mempengaruhi kebakaran melalui dua cara, yakni: menentukan panjang musim dan tingkat keparahan
kebakaran, serta berpengaruh terhadap jumlah bahan bakar hutan di suatu daerah.
Pada beberapa kejadian kebakaran seperti tahun 1982, 1987, 1991, 1994,
1997/1998, dan 2002, meluasnya bencana kebakaran diakibatkan musim kemarau
panjang yang berasosiasi dengan kejadian El Nino. Walaupun sebagian besar
kebakaran terjadi akibat ulah manusia, namun faktor iklim terutama curah hujan
tetap memegang peranan penting. Hal ini terkait dengan kebiasaan penyiapan
lahan yang dilakukan pada musim kemarau. Oleh karena itu, unsur-unsur iklim
terutama curah hujan atau tingkat kekeringan akibat menurunnya jumlah hujan
merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan tingkat risiko kebakaran
hutan dan lahan.
Kebutuhan data iklim dan cuaca dalam pengembangan model-model yang
menggunakan data iklim sebagai masukannya (input) seringkali terkendala dengan keterbatasan ketersediaan data. Kondisi ini menjadi salah satu faktor
penghambat untuk melakukan kajian lebih lanjut masalah-masalah yang
berhubungan dengan iklim dan cuaca. Pengumpulan informasi ke pusat yang
berjalan lambat, jumlah stasiun hujan dan tenaga ahli yang masih sangat kurang
menjadi faktor pendukung keterbatasan data. Permasalahan utama lainnya yang
dihadapi adalah format dan struktur data yang belum standar, sehingga sulit untuk
dapat langsung digunakan dalam penelitian (Balitklimat 2009).
Kebutuhan terhadap ketersediaan data dan informasi yang aktual dan relatif
near real-time telah mendorong berkembangnya model prediksi, baik yang berbasis statistik maupun stokastik. Dewasa ini dengan makin berkembangnya
teknologi satelit, maka pemanfaatan data satelit menjadi alternatif yang sangat
baik. Hal ini dikarenakan datanya lebih mampu mewakili wilayah yang luas,
biaya lebih murah, dan tidak membutuhkan tenaga yang banyak dalam
pengumpulan datanya.
Berbagai jenis data curah hujan estimasi dan unsur-unsur iklim lainnya dari
data satelit telah dikeluarkan oleh NOAA dengan tingkat keakuratan yang relatif
satelit geostationary menjadi alternatif utama bagi peneliti dalam dan luar negeri untuk melakukan kajian iklim, seperti data estimasi curah hujan CMORPH
(CPC-Morphing Technique). Menurut Janowiak (2007), TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) TMI (TRMM Microwave Image) yang digunakan dalam pembangkitan data curah hujan CMORPH memiliki kemampuan yang lebih baik
dalam estimasi hujan dengan tingkat kesalahan kecil. Menurut Oktavariani
(2008), kemampuan model estimasi curah hujan dari data CMORPH untuk
mengisi data yang hilang selama 2 - 3 bulan adalah cukup baik. Nilai korelasi
antara observasi dan hasil dugaannya berkisar antara 0.45 – 0.60.
Selain data CMORPH, NOAA juga telah mengeluarkan data dan informasi
meteorologi lainnya yang dapat dieksplorasi dan dimanfaatkan untuk kegiatan
pemantauan dinamika atmosfir dan cuaca serta dispersi polusi melalui
pengamatan profil atmosfer, seperti data profil atmosfer dari READY-ARL ( Real-time Environment Applications and Display System-Air Resources Laboratory) NOAA dan dari MODIS. Penggunaan data READY-ARL NOAA sebagai data
penduga parameter profil atmosfer dan unsur cuaca diharapkan dapat membantu
mengatasi keterbatasan data permukaan dan pengisi data profil atmosfer yang
hilang (missing data) yang secara operasional di permukaan diperoleh dari radiosonde. Penggunaan data READY-ARL NOAA selama ini belum banyak
dieksplorasi untuk kepentingan pendugaan unsur iklim dan cuaca, khususnya di
Indonesia. Penelitian ini mencoba menganalisis hubungannya dengan data
observasi permukaan dan memanfaatkannya sebagai masukan model Sistem
Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK). Selain itu, hasil analisis hubungannya
dengan data observasi radiosonde diharapkan menjadi alternatif untuk perolehan
data radiosonde di wilayah yang tidak mempunyai stasiun peluncuran radiosonde.
Sebagaimana diketahui bahwa, Indonesia dengan wilayah yang sangat luas hanya
memiliki 14 stasiun peluncuran radiosonde di seluruh Indonesia. Dengan
demikian, potensi pemanfaatan data READY-ARL NOAA sangat penting untuk
dikaji. Keunggulan penggunaan data READY-ARL NOAA adalah data dapat
diperoleh secara gratis, waktu pengamatan 3 jam-an (dibandingkan dengan
radiosonde yang hanya 2 kali sehari), dan data pengamatan yang lebih rapat di
proses dinamika atmosfir yang mempengaruhi cuaca adalah pada lapisan atmosfir
bawah).
Adanya kaitan yang cukup erat antara kebakaran hutan dan lahan dengan
faktor iklim memungkinkan untuk dikembangkannya model-model pemantauan
dan peringatan dini kebakaran. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geologi
(BMKG) dan LAPAN telah mengembangkan Sistem Peringkat Bahaya
Kebakaran (SPBK) yang berbasis data iklim. SPBK BMKG menggunakan data
iklim observasi permukaan, sedangkan LAPAN menggunakan data iklim yang
diturunkan dari data satelit dari berbagai sumber. Model SPBK, baik yang
dikembangkan oleh BMKG dan LAPAN mengadopsi model FDRS (Fire Danger Rating System) yang dikembangkan di Canada. Masukan (input) data dalam model ini adalah data suhu, kelembaban, kecepatan angin, dan curah hujan. Akan
tetapi, berdasarkan hasil penelitian Syaufina et al. (2004) menjelaskan bahwa dari beberapa faktor iklim yang diuji hubungannya dengan kondisi kebakaran lahan
gambut di Hutan Simpan Sungai Karang di Tanjong Karang, Selangor, Malaysia
hanya faktor curah hujan yang memiliki hubungan yang relatif baik. Faktor curah
hujan berpengaruh pada kandungan air bahan bakar organik pada lahan gambut.
Selain itu, Ceccato et al. (2007) mendapatkan bahwa faktor anomali hujan yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran. Oleh karena itu, penelitian ini juga
menganalisis efektifitas penggunaan indeks-indeks SPBK dalam menduga potensi
kebakaran hutan dan lahan.
Kondisi suhu yang panas karena kebakaran hutan dan lahan dapat terpantau
oleh satelit sebagai titik-titik panas (hotspots). Deteksi hotspot didasarkan pada deteksi radiasi inframerah termal (TIR = thermal infrared) yang diemisikan oleh kobaran api kebakaran yang terjadi di permukaan. Data hotspot tersebut dapat
diperoleh dari data satelit National Oceanic and Atmospheric Administration – Advanced Very High Resolution Radiometer (NOAA-AVHRR) dan MODIS.Hingga saat ini deteksi hotspot (titik panas) masih dipercaya sebagai
salah satu cara yang cocok dan efektif dalam menggambarkan keragaman
musiman, tahunan, dan waktu terjadinya kebakaran. Namun dari hasil penelitian
sebelumnya telah ditunjukkan bahwa banyaknya jumlah hotspot yang terdeteksi
Oleh sebab itu, penelitian ini juga menilai hubungan jumlah hotspot dengan luas
kejadian kebakaran.
Penelitian-penelitian sebelumnya tentang kebakaran hutan dan lahan pada
dasarnya telah menggunakan faktor lingkungan fisik, iklim dan infrastruktur baik
secara terpisah maupun terintegrasi untuk menilai dan mengkajikondisi kebakaran
yang terjadi, seperti yang dilakukan Hidayat (1997), Syaufina et al. (2004), Adiningsih (2005), Hadi (2006), dan Jaya et al. (2008). Akan tetapi, setiap lokasi penelitian memiliki karakter dan perbedaan faktor-faktor utama yang mendukung
terjadinya kebakaran tersebut. Kondisi yang berbeda dari setiap kejadian
kebakaran suatu daerah menyebabkan perlu dilakukan penelitian secara khusus
agar kegiatan pengendalian kebakaran yang akan dilakukan dapat berjalan dengan
efektif dan efisien sesuai dengan kondisi daerah tersebut. Pemilihan wilayah
Kalimantan Tengah sebagai studi kasus kebakaran dalam penelitian ini adalah
dikarenakan ketersediaan data kejadian kebakaran (tanggal, luas, dan posisi
lokasi) yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan lokasi lain.
Selain itu, sekitar 2 juta hektar lahan di sekitar Kota Palangka Raya,
Kalimantan Tengah berupa lahan gambut dengan tutupan vegetasi hutan rawa
gambut (Rieley et al. 1996) yang pada akhir-akhir ini telah rusak akibat konversi lahan yang berdampak pada penurunan kualitas lahan dengan makin menurunnya
tinggi muka air lahan gambut (Simbolon 2003). Kondisi ini dimulai pada tahun
1996 saat terjadi konversi hutan lahan gambut menjadi lahan pertanian melalui
program pemerintah Indonesia yang dikenal dengan Mega Proyek Lahan Sawah
Sejuta Hektar yang terkait dengan program transmigrasi (Notohadiprawiro 1998).
Hampir 1.5 juta hektar total area dibuka dan dikonversi. Sejak itu, lokasi proyek
ini menjadi lokasi utama ditemukannya hotspot kebakaran hutan akibat adanya
pembakaran sisa-sisa vegetasi untuk pembersihan lahan, khususnya pada musim
kemarau (Jaya et al. 2000, Page et al. 2000). Sementara itu menurut Badan Lingkungan Hidup (2010), hampir 19.60% (3,010,640 Ha) lahan gambut tersebut
mempunyai potensi terjadinya kebakaran.
Berdasarkan data jumlah distribusi hotspot di Indonesia dari Direktorat
Pengendalian Kebakaran Hutan periode tahun 2000 - 2010, Kalimantan Tengah
Gambar 1-1. Distribusi J
i Jumlah Hotspot di Provinsi Paling Rawan Keba riode Tahun 2000 – 2010 (Data diolahdari Dire ngendalian Kebakaran Hutan, 2011)
enurunan Jumlah Hotspot Tahun 2006 – 2009 di Kalimantan Tengah
gkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah, 2010
banyak upaya yang dilakukan oleh Pemerinta
ngah untuk menurunkan jumlah hotspot dari
hun 2006 menjadi sekitar 4600an hotspot pada ta Sumsel Jambi Kalbar Kalteng Kaltim Kalsel 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
(Gambar 1-2), namun jumlah hotspot di wilayah tersebut pada tahun 2011 juga
masih cukup tinggi, yakni sekitar 6.119 hotspot walaupun jika dibandingkan
dengan tahun 2005 – 2009 telah terjadi penurunan sebesar 43% (Vetrita et al. 2012). Kondisi ini menjadikan kebakaran di Provinsi Kalimantan Tengah cukup
menarik untuk dikaji.
Dalam pembangunan model hubungan antara data observasi permukaan
dengan data yang diturunkan dari data satelit diperlukan teknik atau metode
analisis yang memungkinkan diperolehnya model hubungan kedua data. Dalam
penelitian ini analisis hubungan antara data iklim observasi dengan data
READY-ARL NOAA dan CMORPH menggunakan teknik analisis PLS (Partial Least Square). PLSdapat digunakan untuk mengatasi masalah multikolinearitas yang mungkin terjadi antar lapisan atmosfir dari data READY-ARL NOAA dan peubah
curah hujan CMORPH yang digunakan dalam membangun model pendugaan
parameter iklim/cuaca non hujan dan hujan. PLS umumnya juga digunakan untuk
mengatasi adanya multikolinearitas yang terjadi dari persamaan yang
menggunakan peubah banyak, mereduksi dimensi kovariasi, menghindari adanya
kolinearitas antar komponen kovariasi, dan mengatasi struktur data yang tidak
linier serta mengatasi masalah dimensi peubah respon yang besar (Zhu et al. 2007). Multikolinieritas merupakan hubungan linier yang sempurna atau pasti di
antara beberapa atau semua peubah bebas dari model regresi berganda.
Multikolinieritas yang tinggi akan menyebabkan koefisien regresi yang diperoleh
tidak unik dan menghasilkan penduga model regresi yang bias, tidak stabil, dan
mungkin jauh dari nilai sasarannya. Pemanfaatan analisis PLS untuk hubungan
data READY-ARL NOAA dengan radiosonde dalam penelitian ini belum pernah
dilakukan oleh peneliti lain.
1. 2. Kerangka Pemikiran
Kebakaran hutan dan lahan merupakan fenomena yang hampir setiap tahun
terjadi pada musim kemarau, terutama di Kalimantan dan Sumatera dan telah
menyebabkan banyak kerugian baik secara ekonomi, ekologi, sosial, maupun
politik. Sebaran asapnya juga menyebar ke negara tetangga dan dapat
diduga telah memberi kontribusi yang nyata terhadap pemanasan global. Berbagai
upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, namun upaya
tersebut masih belum optimal dalam mengatasi kebakaran tersebut. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan model-model
pemantauan atau sistem peringatan dini kebakaran baik berdasarkan data
observasi maupun dengan memanfaatkan data satelit.
Pemanfaatan data satelit untuk pengembangan dan pembangunan model
sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan lebih banyak ditujukan dalam
upaya mengatasi keterbatasan data observasi permukaan dan mengisi data yang
hilang. Selain itu, cakupan wilayah yang teramati lebih luas dan data dapat
diperoleh secara lebih near real-time dibandingkan bila harus menggunakan data observasi permukaan. Dalam penelitian ini data satelit yang digunakan adalah
data READY-ARL NOAA untuk menurunkan data iklim non hujan dan
CMORPH untuk mengestimasi data curah hujan. Dalam pembangunan model
hubungan antara data READY-ARL NOAA dan CMORPH dengan data observasi
permukaan digunakan teknik analisis PLS. Pada analisis hubungan antara data
READY-ARL NOAA dengan observasi radiosonde, penggunaan analisis PLS
ditujukan untuk mereduksi multikolinearitas yang terjadi antar masing-masing
lapisan atmosfir yang digunakan sebagai data masukan model. Sementara itu,
penggunaan PLS dalam analisis hubungan curah hujan CMORPH dengan curah
hujan observasi dimaksudkan untuk mereduksi dimensi peubah curah hujan
CMORPH yang bersifat global agar lebih kompatibel digunakan dalam
mengestimasi curah hujan regional atau lokal di wilayah penelitian.
Data iklim yang diturunkan dari kedua data satelit tersebut selanjutnya
digunakan sebagai data masukan dalam model SPBK untuk model pemantauan
dan peringatan dini bahaya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan
Tengah. Kemudian berdasarkan data curah hujan CMORPH dilakukan analisis
hubungan antara kondisi curah hujan dengan kejadian kebakaran.Selanjutnya, dari
hubungan yang diperoleh dengan curah hujan ini dibangun model prediksi risiko
kebakaran hutan dan lahan sebagai sistem peringatan dini kebakaran. Dengan
adanya sistem peringatan dini terhadap bahaya kebakaran tersebut diharapkan
Data hotspot yang diturunkan dari data kanal inframerah termal (TIR =
thermal Infrared) baik dari NOAA maupun MODIS hingga saat ini masih dipercaya sebagai alat deteksi kejadian kebakaran hutan dan lahan. Meskipun dari
beberapa hasil wawancara di lapangan di beberapa instansi menyatakan bahwa
beberapa hotspot yang dicek di lapangan bukan berasal dari kejadian kebakaran,
tetapi dari objek lain seperti: atap seng, lahanpenambangan pasir, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, penelitian ini juga menilai efektifitas penggunaan informasi
hotspot dalam hubungannya dengan kejadian kebakaran dan untuk pendugaan
luas kebakaran. Selain itu, juga melihat hubungannya dengan kondisi iklim (curah
hujan) dan dengan indeks-indeks SPBK (FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, dan FWI).
Berkurangnya akumulasi curah hujan 1, 2, dan 3 bulan dan makin
panjangnya hari tanpa hujan 1, 2, dan 3 bulan sebelum kebakaran akan
menyebabkan kekeringan dan kelembaban vegetasi jauh menurun dan makin
kering. Pada lahan gambut akan menyebabkan makin menurunnya paras muka air
lahan. Kondisi ini diprediksi akan berpotensi terjadinya kebakaran. Oleh karena
itu, perlu diketahui hubungan kondisi curah hujan tersebut dengan kejadian
kebakaran di Kalimantan Tengah.
Tujuan penelitian dicapai melalui serangkaian tahapan penelitian. Tahap
pertama adalah melakukan analisis hubungan antara data READY-ARL NOAA
dengan data radiosonde dan observasi permukaan untuk mendapatkan model
estimasi data non hujan dari data satelit. Tahap kedua adalah melakukan analisis
hubungan data CMORPH dengan data curah hujan observasi untuk mendapatkan
model estimasi curah hujan dari data satelit. Tahap ketiga adalah menentukan
indeks risiko kebakaran (IRK) yang paling baik digunakan sebagai alat peringatan
dini kebakaran hutan dan lahan. Tahap ketiga dicapai melalui pembangunan
model hubungan antara luas kejadian kebakaran dengan jumlah hotspot pada
suatu domain dalam periode waktu tertentu (HS0, HS7, HS14), akumulasi jumlah
hujan (CH1Bl, CH2Bl, CH3Bl) dan hari tanpa hujan (HTH) dalam satu periode
waktu tertentu (HTH1Bl, HTH2Bl, HTH3Bl), dan indeks-indeks luaran SPBK
(FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, dan FWI) yang dihitung menggunakan data estimasi
dari satelit. Secara ringkas kerangka penelitian selengkapnya disajikan pada
Gambar 1
Kejadian kebakaran hut
adalah kejadian kebakaran
dengan kegiatan manusia pa
no 41 tahun 1999 dan PP no
suatu kesatuan ekosistem be
yang didominasi pepohona
dengan lainnya tidak dapat
daratan yang peruntukanny
bagi masyarakat (PP no 4
r 1-3. Bagan Alir Kerangka Penelitian
n hutan dan lahan yang dimaksud di dalam pene
n yang terkait secara langsung maupun tidak
pada suatu kawasan hutan atau lahan. Berdas
no 4 tahun 2001, yang dimaksud dengan hut
berupa hamparan lahan berisi sumber daya al
nan dalam persekutuan alam lingkungannya,
pat dipisahkan. Lahan adalah suatu hamparan
ya untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan a
4 tahun 2001). Kawasan hutan adalah wilaya
penelitian ini
dak langsung
dasarkan UU
hutan adalah
alam hayati
a, yang satu
n ekosistem
n atau kebun
yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap (PP no 4 tahun 2001).
1. 3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan model
prediksi tingkat kebakaran di Kalimantan Tengah berdasarkan kondisi iklim.
Tujuan khusus penelitian adalah: 1) Mendapatkan model estimasi data profil
atmosfir (Suhu, Kelembaban Relatif, Arah Angin, dan Kecepatan Angin) dan data
iklim non-hujan (Suhu, suhu maksimum, kelembaban relatif, arah angin, dan
kecepatan angin) dari data READY-ARL NOAA berdasarkan metode PLS,
2)Mendapatkan model estimasicurah hujan dari data CMORPH
berdasarkanmetode PLS,3) Mengembangkan indeks-indeks SPBK dengan
pemanfaatan data READY-ARL NOAA dan CMORPH, dan 4) Mendapatkan
model hubungan antara luas kebakaran dengan masing-masing indeks risiko
kebakaran dari kerapatan hotspot, indikator kondisi iklim, dan indeks-indeks
SPBK (FFMC, DMC, DC, ISI, BUI, dan FWI).
1. 4. Kebaruan/Novelty
Kebaruan penelitian ini terletak pada penggunaan data READY-ARL NOAA
sebagai alternatif pengganti data radio/rawinsonde, sebagai pengganti data observasi
permukaan terutama pada perolehan data suhu, kelembaban relatif, arah angin, dan
kecepatan angin. Kebaruan lainnya terletak pada penggunaan data suhu (T), kelembaban
relatif (RH), dan kecepatan angin (WS) pada level permukaan dari data READY-ARL
NOAA dalam perhitungan indeks-indeks (code)luaram SPBK. Selain itu, kebaruan
juga pada penggunaan metode PLS dalam pembangkitan model estimasi profil suhu,
kelembaban relatif, arah angin, dan kecepatan angin dari READY-ARL NOAA dan
CMORPH.
1. 5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi peringatan
bermanfaat sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan
Tengah dalam merumuskan kebijakan antisipasi dini dan strategi pengelolaan
kebakaran hutan dan lahan.
1. 6. Sistematika Penulisan
Penulisan disertasi terdiri dari 8 Bab. Bab 1membahas latar belakang, tujuan
serta kerangka pemikiran yang mendasari penelitian, sedangkan Bab 2 berisi
tinjauan pustaka tentang definisi, penyebab dan faktor-faktor yang mempengaruhi
kebakaran hutan dan lahan, kebakaran lahan gambut, hubungan iklim dengan
kebakaran hutan dan lahan, pemanfaatan data inderaja untuk pemantauan dan
deteksi kebakaran, serta potensi pemanfaatan data READY-ARL NOAA dan
CMORPHuntuk estimasiunsur iklim (khususnya suhu, kelembaban, kecepatan
angin, arah angin, dan curah hujan). Bab 2 berisi hasil studi pustaka tentang
pemanfaatan data MODIS untuk deteksi hotspot kebakaran, model-model yang
telah dikembangkan dalam analisis, deteksi dini, estimasi dan pemetaan
kerawanan kebakaran hutan dan lahan, serta pemahaman tentang analisis risiko
bencana kebakaran hutan dan lahan. Bab 3 menjelaskan hasil hubungan data
inderajaREADY-ARL NOAA dengan data radiosonde dan observasi stasiun
cuaca dari BMKG untuk mendapatkan faktor koreksi pendugaan unsur-unsur
iklim dari data READY-ARL NOAA di Indonesia. Bab 4 membahas tentang
estimasi curah hujan dari data CMORPH dengan teknik downscaling dan metode PLS (Partial Least Square) untuk mendapatkan model estimasi curah hujan CMORPH di Indonesia.Bab 5 membahas tentang hasil pembangunan model
SPBK sebagai penduga indeks risiko kebakaran (IRK) dan hubungannya dengan
luas kebakaran, kerapatan jumlah hotspot, dan parameter kondisi iklim. Bab 6
menjelaskan tentang hasil penyusuan model prediksi tingkat kebakaran
berdasarkan simulasi Monte Carlo. Bab 7 berisi pembahasan umum potensi
pemanfaatan data inderaja untuk IRK sebagai sistem peringatan dini kebakaran
hutan dan lahan. Bab 8berisi simpulan dan saran. Keterkaitan antar Bab secara
Gambar 1-4. Keterkaitan Antar Bab dalam Penulisan Disertasi
Bab 7 Pembahasan Umum
Bab 8 Simpulan dan Saran Pemodelan
Bab 3 Model estimasi T, RH, WD, dan WS Data ARL-NOAA
Bab 4 Model estimasi
CH dari data CMORPH
Bab 5 IRK dari hotspot,
CH, SPBK Bab 1
Pendahuluan
Bab 2 Tinjauan Pustaka
Bab 6 Model prediksi tingkat kebakaran
2. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Kebakaran Hutan dan Lahan
2. 1. 1. Definisi, Proses dan Faktor-faktor Penyebabnya
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kebakaran
hutan dan lahan adalah perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat
fisik dan atau hayatinya yang menyebabkan kurang berfungsinya hutan atau lahan
dalam menunjang kehidupan yang berkelanjutan sebagai akibat dari penggunaan
api yang tidak terkendali maupun faktor alam yang dapat mengakibatkan
terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan. Sementara itu menurut Syaufina
(2008), kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu kejadian di mana api
membakar bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang
menjalar secara bebas dan tidak terkendali, sementara kebakaran lahan terjadi di
kawasan non hutan. Kebakaran yang terjadi di Indonesia seringkali membakar
areal hutan dan areal non hutan dalam waktu bersamaan akibat penjalaran api
yang berasal dari kawasan hutan menuju kawasan non hutan atau sebaliknya.
Dengan demikian, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi istilah yang melekat
untuk kejadian kebakaran di Indonesia. Menurut JICA (2000), kebakaran hutan
adalah keadaan hutan yang dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan
dan hasilnya serta menimbulkan kerugian ekonomis, ekologis, dan sosial.
Proses pembakaranterjadi apabila ada tiga unsur yang bersatu, yaitu: bahan
bakar, oksigen dan panas. Jika salah satu dari ketiganya tidak ada, maka proses
pembakaran tidak akan terjadi. Proses pembakaran merupakan kebalikan dari
proses fotosintesa. Pada proses fotosintesa, energi matahari terpusat secara
perlahan-lahan, sedangkan pada proses pembakaran, energi yang berupa panas dilepaskan dengan cepat. Selain panas, proses pembakaran (combustion) juga menghasilkan beberapa jenis gas terutama karbondioksida, uap air dan partikel-partikel. Secara sederhana hubungan antara proses fotosintesa dengan pembakaran
dapat digambarkan sebagai berikut:
Fotosintesa:
Pembakaran:
C6H12O6 + O2 + suhu penyalaan CO2 + H2O + panas
Menurut BNPB, kebakaran hutan dan lahan dapat disebabkan oleh, antara
lain: 1) Aktivitas manusia yang menggunakan api di kawasan hutan dan lahan,
sehingga menyebabkan bencana kebakaran, 2) Faktor alam yang dapat memicu
terjadinya kebakaran hutan dan lahan, 3) Jenis tanaman yang sejenis dan memiliki
titik bakar yang rendah serta hutan yang terdegradasi menyebabkan semakin
rentan terhadap bahaya kebakaran, 4) Angin yang cukup besar dapat memicu dan
mempercepat menjalarnya api, dan 5) Topografi yang terjal semakin mempercepat
merembetnya api dari bawah ke atas. Sementara itu dari hasil penelitian
CIFOR/ICRAF (2001) di 10 lokasi penelitian di 6 propinsi: Lampung, Jambi,
Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur, menunjukkan
bahwa penyebab langsung kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah sebagai
berikut: a) Api digunakan dalam pembukaan lahan; b) Api digunakan sebagai
senjata dalam permasalahan konflik tanah; c) Api menyebar secara tidak sengaja;
dan d) Api yang berkaitan dengan ekstraksi sumberdaya alam. Sementara
penyebab tidak langsung kebakaran hutan dan lahan, meliputi: a) Penguasaan
lahan; b) Alokasi penggunaan lahan; c) Insentif/Dis-insentif ekonomi; d).
Degradasi hutan dan lahan; e) Dampak dari perubahan karakteristik
kependudukan; dan f) Lemahnya kapasitas kelembagaan. Hasil penelitian
Chokkalingam dan Suyanto (2004) di Sumatera, telah mengidentifikasi beberapa
penyebab kebakaran di lahan basah antara lain: penggunaan api dalam
pengelolaan lahan oleh masyarakat, pembakaran untuk pembersihan lahan oleh
perusahaan hutan dan perkebunan, pembukaan daerah transmigrasi, pembangunan
berskala besar, konversi lahan, dan konflik antara perusahaan dan masyarakat.
Pada proses konversi lahan, kegiatan penyiapan lahan sering kali diawali oleh
penebangan yang menghasilkan sisa-sisa penebangan, serasah, dan limbah kayu
yang dibiarkan menumpuk dan mengering di lapangan. Selanjutnya, agar lahan
bersih dari sisa-sisa tebangan dan limbah kayu, maka dilakukan pembakaran.
Seringkali proses pembakaran tidak terkendali sehingga menyebabkan kebakaran
Menurut Tacconi (2003), salah satu faktor penyebab kebakaran yang cukup
menonjol adalah faktor penutup lahan dan perubahannya. Pada kawasan yang
dilanda kebakaran tahun 1997/1998 di Indonesia diperoleh bahwa lahan pertanian
menempati urutan pertama dalam luas kawasan yang terbakar di Sumatera. Urutan
kedua terluas terbakar adalah hutan payau dan gambut, yang selanjutnya diikuti
oleh hutan dataran rendah, semak dan rumput, hutan tanaman, dan perkebunan.
2. 1. 2. Kebakaran Lahan Gambut
Lahan gambut merupakan ekosistem yang bersifat unik yang tidak
ditemukan pada ekosistem lain. Pada musim hujan, lahan gambut berperilaku
seperti spons yang menyerap kelebihan air hujan sehingga mencegah terjadinya
banjir. Sebaliknya pada musim kemarau, lahan gambut mengeluarkan air ke udara
dan mengalirkannya ke tempat lain sehingga tidak terjadi kekeringan. Lahan
gambut memiliki peran utama dalam siklus karbon dan hidrologi serta
proses-proses lingkungan global lainnya (Krankina et al. 2008; Syaufina 2008), konservasi biodiversiti untuk flora dan fauna yang penting, sebagai lahan budi
daya di bidang pertanian, kehutanan, dan perkebunan (Syaufina 2008).
Berdasarkan tingkat dekomposisinya gambut dapat dikelompokkan menjadi
3 (tiga) tipe, yakni: fibrik, saprik, dan Hemik. Fibrik, apabila 1/3 dari bahan asal
telah terdekomposisi dan 2/3 bagian masih dapat dilihat dan ditentukan bahan
asalnya. Saprik, apabila 2/3 dari bahan asal sudah terdekomposisi, dan hemic
adalah di antara fibrik dan saprik.
Berdasarkan hasil kajian pustaka oleh Syaufina (2008), Indonesia
menempati urutan keempat di dunia untuk negara dengan lahan rawa gambut
terluas, yakni sekitar 17,2 juta ha (Euroconsult 1984 dalam Syaufina 2008) atau
sekitar 17,0 – 27,0 juta ha (Maltby 1997 dalam Syaufina) setelah Kanada (170
juta ha), Uni Soviet (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Meskipun
lahan gambut tropika hanya sekitar 10 – 12% dari total lahan gambut dunia,
namun keberadaannya berperan sangat penting pada lingkungan global. Lahan
gambut sebagian besar tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua dengan
perkiraan luas yang cukup beragam menurut berbagai sumber (Tabel 1).
perbedaan dalam definisi dan standar klasifikasi lahan gambut yang digunakan
oleh berbagai sumber tersebut.
Tabel 2-1. Perkiraan Luas dan Penyebaran Lahan Gambut di Indonesia Berdasarkan Beberapa Sumber (Najiyati et al. 2005 dalam
Syaufina 2008)
Penulis / Sumber Penyebaran gambut (dalam juta hektar)
Sumatera Kalimantan Papua Lainnya Total
Driessen (1978) 9,7 6,3 0,1 - 16,1
Kalimantan Tengah. Umumnya terdapat di sepanjang pantai barat Provinsi
Kalimantan Barat, seperti: Mempawah, Ketapang, dan Sambas. Sementara di
Kalimantan Tengah terdapat di pantai selatan di sepanjang aliran Sungai
Sebangau, Kahayan, dan Barito. Di Kalimantan timur, lahan gambut banyak
dijumpai di wilayah danau di basin bagian tengah Sungai Mahakam, sebelah barat
laut Kota Samarinda, dan bagian barat Kota Tarakan (Syaufina 2008).
Sifat kebakaran yang terjadi di kawasan hutan lahan gambut berbeda dengan
yang terjadi di kawasan hutan lahan tanah mineral (bukan gambut). Di kawasan
bergambut, kebakaran tidak hanya menghanguskan tanaman dan vegetasi hutan
serta lantai hutan (forest floor) termasuk lapisan serasah, dedaunan dan bekas kayu yang gugur, tetapi juga membakar lapisan gambut baik di permukaan
maupun di bawah permukaan (Kurnain, 2005).
Menurut Syaufina (2008), berdasarkan pola penyebaran dan tipe bahan
bakar kebakaran hutan dan lahan digolongkan ke dalam tiga tipe, yaitu: kebakaran
gambut, yaitu tipe lapisan permukaan (surface fire) dan tipe bawah permukaan (ground fire). Tipe yang pertama dapat menghanguskan lapisan gambut hingga 10–15 cm, yang biasanya terjadi pada gambut dangkal atau pada hutan dan lahan
berketinggian muka air tanah tidak lebih dari 30 cm dari permukaan. Pada tipe
yang pertama ini, ujung api bergerak secara zigzag dan cepat, dengan panjang proyeksi sekitar 10–50 cm dan kecepatan menyebar rata-rata 3,83 cm jam-1(atau
92 cm hari-1). Tipe yang kedua adalah terbakarnya gambut di kedalaman 30–50
cm di bawah permukaan. Pada tipe dua ini ujung api bergerak dan menyebar ke
arah kubah gambut (peat dome) dan perakaran pohon dengan kecepatan rata-rata 1,29 cm jam-1(atau 29 cm hari-1). Kebakaran tipe kedua ini lebih berbahaya karena
menimbulkan kabut asap gelap dan pekat, dan melepaskan gas pencemar lainnya
ke atmosfer. Di samping itu, kebakaran tipe dua ini sangat sulit untuk
dipadamkan, bahkan oleh hujan lebat sekalipun.
Dari uraian di atas jelas bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut dapat
menimbulkan dampak/akibat buruk yang lebih besar dibandingkan dengan
kebakaran yang terjadi di kawasan tidak bergambut (tanah mineral). Oleh karena
itu, cara penanganannyapun berbeda.
2. 1. 3. Hubungan Kebakaran Hutan/Lahan dengan Faktor Iklim
Cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan melalui dua cara, yaitu:
panjang musim dan keparahan kebakaran, dan peningkatan jumlah bahan bakar
hutan di suatu daerah (Chandler et al. 1983). Lebih lanjut Chandler et al. (1983) menyatakan bahwa cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan melalui
berbagai cara yang saling berkaitan, yakni: 1. Jumlah total bahan bakar yang
tersedia, 2. Jangka waktu dan keparahan musim kebakaran, 3. Cuaca mengatur
kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar, dan 4. Cuaca
mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan. Sementara itu
menurut Pyne et al. (1996), iklim terutama curah hujan juga menentukan jumlah dan jenis vegetasi serta kadar air bahan bakaran.
Faktor iklim sangat mempengaruhi perilaku api dalam hal proses penyalaan,
1996; Saharjo 1999; Gomez-Tejedor et al. 2000). Selain itu, faktor iklim juga mempengaruhi sifat-sifat bahan bakar seperti tipe bahan bakar, kandungan bahan
bakar, sifat-sifat instrinsik, kekompakan, dan kadar air bahan bakar (Johansen
1985; van Wagtendonk dan Sydoriak 1985; Saharjo 1999). Walaupun hampir
seluruh kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh kegiatan
manusia, baik sengaja maupun tidak disengaja, namun faktor iklim tetap
memegang peranan penting. Hal ini terkait dengan kebiasaan penyiapan lahan
yang dilakukan pada musim kemarau. Fakta lain menunjukkan bahwa kemarau
panjang tahun 1982, 1987, 1991, 1994, 1997/1998, dan 2002 yang berasosiasi
dengan kejadian El Nino menyebabkan meluasnya bencana kebakaran hutan.
2. 1. 4. Deteksi Hotspot Kebakaran Hutan dan Lahan
Deteksi dini kebakaran hutan sangat penting dalam mengurangi dampak
kerusakan kebakaran. Satelit inderaja membuka peluang pilihan analisis
kehutanan dan ekosistem lainnya secara kualitatif pada skala spasial dan
geografis. Sehubungan dengan kebakaran hutan dan lahan, data satelit mempunyai
peranan yang sangat penting dalam identifikasi dan pemetaan kebakaran hutan
serta dalam perekaman frekuensi kerusakan pada wilayah atau tipe vegetasi.
Dengan demikian, pemantauan dan pendeteksian kebakaran hutan akan sangat
efektif menggunakan data inderaja. Selain itu, data inderaja juga dapat digunakan
untuk memahami perilaku kebakaran hutan, faktor-faktor lingkungan yang
berpengaruh terhadap area kebakaran, dan faktor-faktor utama yang
mempengaruhi perilaku kebakaran. Integrasi antara data inderaja dengan
faktor-faktor penyebab kebakaran secara Sistem Informasi Geografi (GIS) akan sangat
efektif untuk keperluan pemetaan wilayah risiko kebakaran hutan.
Kondisi suhu yang panas karena kebakaran hutan/lahan sering terpantau
oleh satelit sebagai hotspots (titik-titik panas). Hotspots merupakan salah satu indikator terjadinya kebakaran hutan/lahan. Deteksi kebakaran aktif menggunakan
Hotspotdidefinisikan sebagai titik-titik pada citra (pixel atau sub-pixel) yang
mempunyai suhu sangat tinggi dan berhubungan dengan active fire (Kobaran Api) di permukaan bumi. Menurut hukum pergeseran WIEN’S, suhu tersebut berkisar
antara 400 oK sampai dengan 700 oK di permukaan bumi. Suhu titik api tersebut
pada citra dapat dihasilkan berdasarkan nilai suhu kecerahannya (Temperature Brightness=Tb), yang diturunkan berdasarkan persamaan yang dikembangkan oleh D’Souza (1993). Data hotspot dari NOAA-AVHRR ditentukan dengan
memanfaatkan data kanal 3 (kanal inframerah sedang) dengan panjang gelombang
3.55 – 3.93 m dan kanal 4 (kanal inframerah panjang) dengan panjang
gelombang 10.3 – 11.3 m, sedangkan dari data MODIS ditentukan dengan
menggunakan kanal-kanal yang mempunyai panjang gelombang 4µm dan 11µm.
Dari hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa data hotspot yang diturunkan
dari data NOAA maupun MODIS dapat digunakan sebagai indikasi terjadinya
kebakaran hutan/lahan di suatu wilayah.
AVHRR pada 3.8 m, yang dapat mengurangi proporsi radiansi yang diterima dari pantulan permukaan (Fuller 2003).
Deteksi kebakaran dengan hotspot dapat dilakukan secara harian dan
dipertimbangkan sebagai cara yang relatif baik dan cukup efektif untuk
menentukan keragaman kebakaran antar musim, waktu dan tahun (Eva dan
Lambin 1998a). Kelemahan utama sistem deteksi hotspot ini antara lain: adanya
kemungkinan bias yang disebabkan oleh tidak sesuainya waktu kejadian
kebakaran regional dengan waktu lintas satelit yang relatif tetap (Eva dan Lambin
2000) dan masalah penutupan awan yang menjadi hambatan khususnya pada area
tropis lembab seperti wilayah Indonesia. Selain itu, sistem deteksi hotspot tidak
mampu untuk mengestimasi dampak kebakaran dikarenakan ketidakmampuannya
untuk mengukur/menghitung total area dari bagian permukaan yang terbakar pada
area yang terkena kebakaran. Sebuah piksel berukuran 1km2dapat dijenuhi oleh
sebuah kebakaran yang tidak lebih besar dari 0.001km2yang melebihi
ketidakpastian ukuran area terbakar yang terjadi pada daerah yang terdeteksi
terbakar. Walaupun demikian, dikarenakan perlunya informasi tentang dampak
dari kebakaran vegetasi dan ketiadaan data yang lebih baik, maka penggunaan
hotspot sering pula digunakan untuk mengestimasi area terbakar secara luas dan
telah diuji oleh beberapa peneliti dengan berbagai tingkat keberhasilan, baik pada
skala global (Giglio et al. 2006) dan regional (Eva and Lambin 1998a, Stolle et al. 2004).
Berdasarkan distribusi hotspot kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
terjadi hampir di seluruh provinsi, khususnya Pulau Sumatera dan Kalimantan
yang merupakan wilayah dengan kejadian kebakaran terbesar. Di Sumatera,
kebakaran lebih sering terjadi di wilayah Provinsi Riau, Jambi, dan Sumatera
Selatan (Gambar 2-1). Sementara itu di Provinsi Riau, wilayah yang sering
dilanda kebakaran ada di Kabupaten Pelalawan, Bengkalis, dan Rokan Hilir
(Gambar 2-2). Berdasarkan penggunaan lahan di Kabupaten Rokan Hilir pada
tahun 2001 sampai dengan 2005, hotspot rata-rata tertinggi ditemukan pada areal
perkebunan (264), diikuti pada areal HPH (259), areal penggunaan lain (157) dan
Tabel 2-2. Data hotspotberdasarkan Penggunaan Lahan di Kabupaten Rokan Hilir, Propinsi Riau tahun 1997- Maret 2005
Penggunaan Lahan Hotspot / Tahun Jumlah Rata-rata
2001 2002 2003 2004 2005
HPH 261 223 102 215 497 1.298 259
HTI 69 96 35 31 285 516 103
Perkebunan 134 264 126 241 552 1.317 264
ArealPenggunaan Lain 88 214 40 74 369 785 157
Total 552 797 303 561 1.703 3.916
Sumber data : Kementerian Lingkungan Hidup 2001-2005(dalam Hendriana 2006)
Hasil penelitian Syaufina et al. (2004b) menyatakan bahwa jumlah hotspotpada kejadian kebakarandi Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau juga
berhubungan erat dengan jumlah curah hujan. Peningkatan dan penurunan jumlah
hotspot pada bulan-bulan tertentu berkaitan dengan peningkatan dan penurunan
jumlah curah hujan. Pada saat curah hujan mengalami peningkatan, yaitu mulai
bulan Agustus-Desember,jumlahhotspot berkurang bahkan tidak dijumpai sama
sekali. Sebaliknya, pada saat curah hujan rendah atau tidak terjadi hujan, maka
terjadi hotspot dalam jumlah tinggi seperti pada bulan Maret, April, dan Juli.
Jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Juli di mana curah hujan mengalami
titik terendah. Boer et al. (2010) mendapatkan bahwa berdasarkan analisis statistik hubungan antara jumlah hotspot dengan panjang deret hari kering sebelum
kebakaran menunjukkan jumlah hotspot meningkat secara exponensial dengan
meningkatnya jumlah deret hari kering dengan tingkat keragaman 62% (Gambar
2-1). Dengan demikian, semakin panjang deret hari kering, risiko untuk terjadinya
Gambar 2-1. Hubung
ubungan Jumlah Hari Kering sebelum Kebakaran de Hotspot (Sumber: Boer et al. 2010)
hasil penelitian IRI bekerja sama dengan CCR
ukkan bahwa kejadian kebakaran di Kalimanta
dengan kerapatan hotspot berhubungan dengan
. Kondisi anomali curah hujan negatif makin m
n hotspot terlihat makin tinggi (Gambar 2-2).
ubungan anomali curah hujan dengan hotspot ke n Tengah (Sumber: IRI dan CCROM-SEAP, IP Pengelolaan Risiko (Risk) dan Bahaya (Hazar
Hubungan JHKSKb (CH<5 mm) dengan Jumlah HS (MODIS) Domain 10 KM H0 s/d H-7
2. 2. 1. Definisi Risiko dan Bahaya Kebakaran
Risk atau risiko merupakan kombinasi antara kemungkinan terjadinya suatu kejadian (hazard) yang tidak diinginkan (peluang kejadian) dan konsekuensi (besar dampak) (vulnerability) dari kejadian tersebut (Beer dan Ziolkwoski 1995 dan USPCC RARM 1997 dalam Boer 2002). Terkait dengan kebakaran, risiko
kebakaran (Fire risk) meliputi risiko penyalaan dan risiko penyebaran (penjalaran)-nya. Penilaian risiko kebakaran adalah sangat penting untuk dapat
menduga penjalarannya dari beberapa tegakan hutan tempat mulainya api yang
menimbulkan kebakaran. Hal ini dikarenakan penjalaran kebakaran hutan dapat
menimbulkan ancaman bagi tutupan lahan alam dan keselamatan makhluk hidup.
Berdasarkan definisi FAO (1986), risiko kebakaran hutan merupakan
peluang dari sebuah awal kebakaran yang ditentukan oleh keberadaan dan
aktivitas beberapa faktor penyebabnya. Sementara itu Chuvieco dan Congalton
(1989) mendefinisikan risko kebakaran sebagai gabungan dua komponen, yakni
bahaya kebakaran dan penyalaan kebakaran. Seluruh risiko tergantung pada bahan
bakaran dan kemudahannya terbakar (sebagai bahaya) dan pada adanya
penyebab-penyebab eksternal (baik oleh faktor alam atau oleh faktor antropogonik) yang
menyebabkan penyalaan kebakaran. Sumber-sumber lain yang dipertimbangkan
sebagai sumber penyalaan disebut sebagai jumlah potensi sumber penyalaan
(Canadian Forest Service 1997). Chuvieco et al. (2003a, b) menyebutkan risiko
kebakaran sebagai kombinasi dua faktor, yakni behaya kebakaran (peluang dari
penyalaan dan penyebaran) dan kerentanan kebakaran (sebagai hasil atau akibat
dari kebakaran). Bahaya kebakaran mengacu pada pendugaan faktor-faktor
lingkungan yang tetap maupun yang berubah (seperti: bahan bakar, cuaca, dan
topografi) yang menentukan kemudahan penyalaan, laju penyebaran, kesulitan
pengendalian, dan dampak dari kebakaran lahan yang tidak terkendali (Merril and
Alexander 1987; Taylor and Alexander 2006).
Bahaya (hazard) kebakaran hutan didefinisikan sebagai peluang (probability) kejadian kebakaran hutan di suatu tempat pada intensitas tertentu. Dengan demikian, bahaya kebakaran tergantung pada dua unsur, yakni: kejadian