• Tidak ada hasil yang ditemukan

Automatic Dependent Surveillance – Broadcast (ADS-B) dan Prospek Pengaplikasiannya di TNI-AU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Automatic Dependent Surveillance – Broadcast (ADS-B) dan Prospek Pengaplikasiannya di TNI-AU"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Automatic Dependent Surveillance – Broadcast (ADS-B) dan

Prospek Pengaplikasiannya di TNI-AU

Arya Putra Kurniawan

1)

, Arwin Datumaya Wahyudi Sumari

2)

1) Pangkalan TNI AU Husein Sastranegara, Bandung

Email : aryavionics@yahoo.co.id

2) Departemen Elektronika, Akademi Angkatan Udara Jl. Laksda Adisutjipto, Yogyakarta 55002 – INDONESIA

Telp. 0274 486922 ext 6101 Fax 0274 488918

Email : arwin91@aau.ac.id

ABSTRAK

Dalam makalah ini akan disampaikan mengenai Automatic Dependent Surveillance–Broadcast (ADS-B) sebagai alternatif dari Secondary Surveillance Radar (SSR) untuk kepentingan. ADS-B merupakan sebuah teknik pengintaian (surveillance) untuk menunjukkan lokasi pesawat dengan menggunakan navigasi satelit-satelit Global Positioning System (GPS) dan memungkinkan pesawat untuk mengirimkan lokasi akuratnya serta data penerbangan seperti ketinggian dan kecepatan, kepada pesawat terdekat dan Air Traffic Controller (ATC). TNI Angkatan Udara (TNI AU) sebagai penegak kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di dirgantara dengan beragam alat utama sistem persenjataaan (alutsista) seperti pesawat tempur, angkut dan helikopter harus mempersiapkan diri menghadapi perkembangan standar teknologi penerbangan tersebut. ADS-B dapat diaplikasikan untuk meningkatkan zero accident, pemantauan posisi pesawat dan lain-lain.

Kata kunci : ADS-B, GPS, SSR, TNI-AU

1. PENDAHULUAN

Teknologi telekomunikasi berkembang sangat pesat dan melingkupi banyak bidang termasuk bidang

penerbangan. Teknologi Communication Navigation

Surveillance/Air Traffic Management (CNS/ATM) yang berbasis satelit telah disepakati dan menjadi standar internasional dalam pengelolaan ruang udara

di setiap negara dalam 10th Air Navigation Conference

yang diselenggarakan di Montreal pada tahun 1991 untuk mengantisipasi pertumbuhan penerbangan yang tinggi tanpa mengorbankan aspek keselamatan dan pengoperasiannya [1].

Automated Dependent Surveillance-Broadcast

(ADS-B) merupakan bagian dari teknologi CNS/ATM yang mampu menunjukkan lokasi pesawat

menggunakan navigasi satelit Global Positioning

System (GPS) dan memungkinkan pesawat untuk mengirimkan lokasi akurat pesawat dan data penerbangan (seperti ketinggian dan kecepatan) ke

pesawat terdekat dan Air Traffic Controller (ATC).

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) sebagai penegak kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di dirgantara dengan alat utama sistem persenjataan (alutsista) pesawat, baik angkut maupun tempur harus

mempersiapkan diri menghadapi perkembangan standar teknologi penerbangan tersebut [2]. ADS-B

merupakan salah satu teknologi Next Generation Air

Transportaion System (NextGen ATS) di bidang penerbangan. ADS-B memiliki aplikasi untuk menghindari terjadinya kecelakaan di bandara dengan lalu lintas padat.

Mayoritas Pangkalan Angkatan Udara (Lanud) seperti Lanud Halim Perdanakusumah, Lanud Husein Sastranegara, Lanud Supadio dan Lanud Adi Sutjipto, memiliki landasan pacu yang digunakan bersama dengan bandara sipil, sehingga dalam beberapa tahun ke depan memungkinkan untuk memiliki lalu lintas yang sangat padat, mengingat pertumbuhan industri penerbangan yang pesat. Sehingga ADS-B menjadi

sebuah solusi dalam peningkatan pencapaian zero

accident .

Selain aplikasi untuk meningkatkan pencapaian

zero accident ADS-B dapat dimanfaatkan sebagai

informasi awal dalam operasi Search And Rescue

(3)

2. LANDASAN TEORI

2.1. Secondary Surveillance Radar (SSR)

SSR merupakan sebuah sistem komunikasi dua

arah antara penginterogasi (interrogator) di darat dan

pemancar (transponder) yang terpasang pada pesawat

dan memancarkan sinyal balasan secara otomatis.

Keberadaan SSR dimulai dari sistem Identification

Friend or Foe (IFF) pada Perang Dunia ke-2. Sebuah sinyal ditransmisikan dari darat ke pesawat yang dicurigai, pesawat tersebut harus memberikan sinyal balasan yang sesuai agar tidak dianggap sebagai

musuh(foe).

SSR bekerja dengan prinsip yang sama, sinyal

interogasi ditransmisikan pada frekuensi uplink satu

arah 1030 MHz dan pesawat memberikan jawaban

pada frekuensi downlink satu arah 1090 MHz.

Jawaban diberikan ke plot extractor yang akan

melaksanakan decoding sehingga didapat identitas,

ketinggian, jarak dan arah pesawat yang kemudian dilewatkan ke ATC. Tidak seperti Radar primer yang mendeteksi jarak dan arah dengan memanfaatkan

pantulan sinyal radio yang ditransmisikan [3]. Mode

yang digunakan pada SSR :

1) Mode A merupakan mode SSR yang memberikan

jawaban berupa identitas sasaran (target).

2) Mode C merupakan mode SSR yang memberikan jawaban berupa ketinggian barometrik.

Gambar 1. Mode A/C SSR

2.1.1. Mode S SSR

Mode S SSR merupakan sebuah protokol paket data yang dapat meningkatkan perlengkapan

penentuan posisi dari Air Traffic Control Radar

Beacon System (ATCRBS) pemancar. Mode ini

didesain backward compatible sehingga dapat

digunakan dengan teknologi ATCRBS. Sinyal Mode S SSR terdiri dari :

1) Interogasi Mode S

Frekuensi uplink : 1030 MHz

Data Rate : 4 Mbps

Modulasi : Differential Phase Shift Keying

(DPSK)

2) Balasan Mode S

Frekuensi downlink : 1090 MHz

Data Rate : 1 Mbps

Modulasi : Binary Pulse Position Modulation

(BPPM)

Gambar 2. Interogasi Mode S

Gambar 3. Balasan Mode S

Dimulai dengan sebuah preamble yang terdiri

dari empat pulsa. Keempat pulsa pertama memiliki durasi 0.5 µs dan terletak pada 0 µs, 0.5 µs, 3.5 µs dan 4.5 µs setelah awal sinyal balasan. 8 µs setelah sinyal awal, sinyal balasan dimulai 56 atau 112 bit pesan biner. Dalam makalah ini dibahas 1090 MHz

Extended Squitter (112 bit pesan biner). Setiap bit memiliki durasi 1 µs yang terbagi menjadi dua periode 0.5 µs yang mengandung pulsa dan non-pulsa (ketiadaan pulsa).

Sebuah bit 1 diwakili oleh sebuah pulsa diikuti dengan non-pulsa dan sebuah bit 0 diwakili oleh sebuah non-pulsa diikuti dengan sebuah pulsa. Cara

coding tersebut disebut Manchester encoding dan dapat meningkatkan penerimaan pada situasi sulit

dengan Signal to Noise Ratio (SNR) rendah. Deteksi

sebuah bit dapat dilakukan dengan membandingkan

power pada awal dan akhir dari bit time slot.

Terdapat tiga link yang dapat digunakan sebagai

physical layer, yaitu 1090 MHz Mode S Extended Squitter (1090 MHz ES), Universal Access Transceiver (UAT) dan VHL Data Link (VDL) Mode

4. Dalam makalah ini digunakan link 1090 MHz ES.

(4)

terjadi interogasi. 1090 MHz ES termasuk 56 bit data field yang membawa informasi ADS-B yang didapat dari sistem navigasi avionik pada pesawat.

Gambar 4. Mode S Extended Squitter (112 bits)

Mode S Extended Squitter memiliki format yang

terdiri dari :

Preamble,mensinkronkan penerimaan.

Downlink Format (DF), menunjukkan tipe pesan.

11 = Acquisition Squitter

17 = ADS-B

18 = TIS – B

19 = Military

Capability (CA), menunjukkan subtipe pesan.

Aircraft Address (AA), menunjukkan alamat pesawat.

Message (ME), menunjukkan data ADS-B.

Parity Check (PE), menunjukkan kode deteksi

kesalahan.

Gambar 5 Bentuk Mode S Extended Squitter

2.1.2. Pemancar Mode S

Pemancar Mode S menyimpan data avionik di

Binary Data Store (BDS) Register (56 bits). Register BDS merupakan register yang dispesifikasikan oleh manual ICAO dari pelayanan spesifik Mode S dan

Mode S SARP. Register ini dapat di-downlink melalui

transaksi Ground Initiated Comm B (GIC-B). Setiap

register mengandung data payload dari balasan Mode

S atau extended squitter tertentu. Register yang dalam

periode tertentu tidak diperbarui akan dihapus oleh pemancar. Register diidentifikasikan oleh dua dijit heksadesimal. Register yang digunakan oleh transmisi ADS-B 1090 MHz sebanyak 16 register.

Tabel 1. Tabel BDS Register

Register Keterangan 05h Extended Squitter Airborne Position

06h Extended Squitter Surface Position

07h Extended Squitter Status Hanya ditransmisikan sebagai jawaban dari sinyal interogasi.

08h Extended Squitter A/C ID and Categories

09h Extended Squitter Airborne Velocity

0Ah Extended Squitter Event Report

61h

Extended Squitter Emergency/Priority Status

Ditransmisikan setiap satu detik sekali dalam keadaan darurat 62h Target State and Status (DO-260A)

65h Aircraft Operational Status

Pemancar Mode S terdiri dari :

Encoder, merupakan bagian yang berfungsi

merubah data masukan menjadi encoded data

biner.

Binary Data Store (BDS), merupakan bagian yang berfungsi menyimpan bit informasi sebelum dimodulasi.

Modulator, merupakan bagian yang berfungsi memodulasi bit informasi dengan metode BPPM.

Gambar 6. Diagram Blok Pemancar Mode S

2.2. Automatic Dependent Surveillance Broadcast (ADS-B).

ADS-B merupakan sebuah sistem yang menggunakan 1090 MHz ES sebagai protokol penyampaian data. Ditelaah dari nama maka ADS-B juga berarti sebagai sebuah sistem yang menyiarkan pengintaian yang otomatis dan bergantung. Disebut

otomatis (automatic) karena tidak diperlukan

interogasi untuk memulai data atau squitter dari

transponder. Disebut bergantung (dependent) karena

dalam pengintaiannya data bergantung dari sistem navigasi dan kemampuan pesawat.

Penerima ADS-B merupakan bagian Mode S SSR yang berfungsi menerima dan menerjemahkan sinyal balasan Mode S SSR, sehingga terdiri dari :

Demodulator, bagian yang berfungsi

melaksanakan demodulasi sinyal balasan.

Decoder, bagian yang berfungsi melaksanakan

(5)

Gambar 7. Diagram Blok Penerima ADS-B

Penerimaan sinyal balasan Mode S dilaksanakan dalam beberapa tahap :

Pendeteksian preamble, preamble harus sesuai

dengan preamble ADS-B.

Demodulasi sinyal balasan Mode S, demodulasi dilakukan untuk mendapatkan nilai biner dari sinyal yang diterima atau pendeklarasian bit.

Decoding data, data biner yang diterima kemudian di-decode untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan.

ADS-B Decoder pertama kali akan membaca bit

1 sampai bit 5 untuk mengetahui Downlink Format

yang digunakan, jika sesuai dengan DF ADS-B

(DF=17) maka akan dilanjutkan ke proses decoding

selanjutnya, jika tidak sesuai dengan DF ADS-B maka

prosesdecoding dihentikan [4].

Gambar 8. Diagram Alir Penerima ADS-B

Setelah DF sinyal yang diterima sesuai dengan DF ADS-B maka akan dilanjutkan dengan membaca bit 6 sampai bit 8, pembacaan ini dilakukan untuk

menentukan Capabilities (CA). Setelah membaca CA

kemudian akan membaca bit 9 sampai bit 32, Aircraft

Address (AA) sesuai dengan yang telah ditentukan oleh ICAO. Kemudian membaca bit 33 sampai bit 37 untuk menentukan format yang digunakan.

Tabel 2. Tipe Format

Tipe Format Keterangan

1-4 Aircraft Identification and Category

5-8 Surface Position

9-18 Airborne Position

19 Airborne Velocity

Saat tipe format sesuai dengan identitas dan kategori pesawat maka akan dilanjutkan dengan

decoding identitas dan kategori pesawat. Decoder

kemudian akan membaca bit 38 sampai bit 40, kategori pesawat akan ditunjukkan sesuai dengan tabel kategori. Setelah pembacaan kategori selesai maka

dilanjutkan dengan proses decoding bit ke karakter,

dengan membaca tiap 5 bit. Pembacaan bit ke karakter dapat dilakukan dengan menggunakan Tabel 4.

Start

Read Bit 1 – Bit 5

DF 17 ?

Read Bit 6 – Bit 8

Declare CA

Read Bit 9 – Bit 32

Declare ICAO Address

Read Bit 33 – Bit 37

1 – 4 ? 5 – 8 ? 9 – 18 ? 19 ?

Decode

A/C ID & Cat Surface PositionDecode Airborne PositionDecode Airborne VelocityDecode

End

else

else else else else

Display

A/C ID & Cat Surface PositionDisplay Airborne PositionDisplay Airborne VelocityDisplay

Gambar 9. Diagram Alir Decoder

Tabel 3. Tabel Kategori Pesawat

(6)

2 Kategori C 3 Kategori B 4 Kategori A

Tabel 4. Tabel Character Coding

Saat tipe format sesuai dengan penentuan posisi

pesawat maka sebelum melaksanakan decoding posisi

di permukaan dan posisi di udara perlu ditentukan

Globally Unambiguous Airborne Position (GUAP) Decoding untuk mengetahui lats dan lons sebagai

referensi. Untuk mendapatkan nilai referensi

dibutuhkan kedua encoding even dan odd. Penentuan

tipe encoding dengan membaca bit 54, jika bit 54

bernilai 0 menggunakan even encoding dan jika

bernilai 1 menggunakan odd encoding.

Penentuan posisi menggunakan algoritma

Compact Position Report (CPR). YZ0 adalah bentuk

desimal dari bit 55 sampai bit 71 dengan even

encoding sedangkan YZ1 dengan odd encoding. XZ0 adalah bentuk desimal dari bit 72 sampai bit 88

dengan even encoding sedangkan XZ1 dengan odd

encoding.

Setelah lats dan lons diketahui dapat dilakukan

proses penentuan posisi di permukaan atau udara.

Proses decoding posisi di permukaan dapat

menggunakan even (i=0) atau odd (i=1) encoding.

Jumlah bit (Number of bits, Nb)yang digunakan untuk

meng-encode koordinat posisi adalah 19 (Nb=19).

Jumlah zona latitude geografis antara equator dan

kutub (NZ) adalah 15 (NZ=15). Penentuan encoding

(even atau odd) dilakukan pertama kali untuk

menentukan proses encoding selanjutnya.

Proses decoding posisi di udara juga dapat

menggunakan even (i=0) atau odd (i=1) encoding

dengan NZ=15 dan Nb=17. Sama seperti decoding

pada posisi di permukaan penentuan encoding (even

atau odd) dilakukan pertama kali untuk menentukan

proses decoding selanjutnya. Proses decoding posisi di

permukaan dan udara dengan menggunakan algoritma

Compact Position Reporting (CPR).

17

(7)

Decoding kecepatan di udara terdapat dalam beberapa subtipe yang ditunjukkan oleh bit 6 sampai bit 8. Subtipe 1 dan 2 digunakan saat pesawat yang mentransmisikan kecepatan di udara terhadap darat diketahui sedangkan sebaliknya untuk subtipe 3 dan 4. Subtipe 1 dan 3 digunakan saat pesawat dalam kecepatan normal atau subsonik (dibawah 1000 knot) sedangkan subtipe 2 dan 4 digunakan saat pesawat dalam kecepatan supersonik (di atas 1022 knot).

Tabel 5. Tabel Kecepatan Kode Kecepatan Tipe

1

Ground Speed Subsonic

2 Supersonic

3

Airspeed dan Heading Subsonic

4 Supersonic

Bit 14 memberikan informasi bit direction untuk

E-W yang bernilai 0 untuk arah Timur dan bernilai 1

untuk arah Barat. Sedangkan bit 25 memberikan

informasi bit direction N-S yang bernilai 0 untuk arah

Utara dan bernilai 1 untuk arah Selatan.

Bit 15 sampai bit 24 memberikan informasi kecepatan sesuai arah yang ditentukan oleh bit 14, sedangkan bit 26 sampai bit 35 memberikan informasi kecepatan sesuai arah yang ditentukan oleh bit 25. Untuk kecepatan subsonik nilai LSB = 1 knot sedangkan untuk kecepatan supersonik nilai LSB = 4 knot.

Tabel 6. Tabel Nilai Kecepatan

Nilai Desimal Kecepatan Subsonic Kecepatan

Supersonic

1 0 knot 0 knot 2 1 knot 4 knot 3 2 knot 8 knot 1022 1021 knot 4084 knot 1023 >1021.5 knot >4086 knot

3. PROSPEK PENGAPLIKASIAN ADS-B DI TNI AU

ADS-B merupakan memiliki beberapa aplikasi yang dapat dimanfaatkan oleh TNI-AU, antara lain :

Traffic Alert and Collision Avoidance System

(TCAS), yang berfungsi memberikan informasi lalu lintas dan menghindari terjadinya kecelakaan.

Airborne Collision Avoidance System (ACAS), yang berfungsi menghindari terjadinya kecelakan di udara.

Dengan memanfaatkan keakuratan posisi dapat

mempermudah Search and Resque (SAR) untuk

mencari lokasi pesawat jika terjadi kecelakaan sehingga meningkatkan harapan hidup korban kecelakaan.

Melalui protokol ini pesawat juga dapat mengirimkan data penerbangan, sehingga dapat

berfungsi sebagai monitoring system.

4. KESIMPULAN

Dari pembahasan sistem ADSB diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :

1. TNI AU harus siap menghadapi teknologi penerbangan yang berkembang.

2. ADSB merupakan sebuah aplikasi dari Mode S SSR yang dapat digunakan oleh TNI AU untuk

meningkatkan zero accident.

3. ADSB dapat diaplikasikan untuk mengirimkan data penting pesawat lain.

4. Untuk pengiriman data penting pesawat diperlukan kriptografi.

5. DAFTAR REFERENSI

[1] 10th Air Navigation Conference, Montreal.

[2] Mabes TNI AU, “Doktrin TNI AU Swa Bhuwana Paksa”, 2007, Jakarta.

[3] European Organisation for the Safety of Air Navigation, 1090 MHz Extended Squitter. [4] International Civil Aviation Organitation (ICAO),

Aeronautical Telecommunications, Annex 10 Volume IV – Surveillance Radar and Collision Avoidance System, Third Edition 2002

Gambar

Gambar 3. Balasan Mode S
Gambar 4. Mode Sterdiri dari : Mode S Preamble Extended Squitter (112 bits) Extended Squitter memiliki format yang , mensinkronkan penerimaan
Gambar 9. Diagram Alir Decoder
Tabel 4. Tabel Character Coding
+2

Referensi

Dokumen terkait

Limfosit asal mencit yang memproduksi antibodi terhadap antigen C.cellulosae, difusikan dengan sel mieloma (NS1). Hasil fusi antara kedua sel ini menghasilkan hibridoma yang

Revolusi kebijakan, khususnya kebijakan terhadap KTA, akan menemui banyak tantangan seperti kondisi alam (curah hujan dan intensitas hujan tinggi, lahan berlereng, dan

27 Lomba MTQ Dekan Cup 2010 Lokal (UMM) Juara I an Ali Sasole 28 Lomba Solo Vokal Kajur Cup 2009 Lokal (UMM) Juara II an Ali Sasole 29 Lomba Tenis Meja Dekan Cup 2010 Lokal (UMM)

Pada sisi kanan Tebing Hanyawong terdapat Gua terbuka dengan aliran Sungai Cibitung yang mengalir di dasar penampangnya.. Jika anda menyusuri gua ini emnuju ke arah hulu, anda

Penulis melihat selama melakukan on the job training di hotel sintesa peninsula manado, bahwa peran order taker sangat penting untuk menunjang kelancaran yang ada

dengan perhitungan dan jenis plat, serta tombol bersihkan layar untuk membersihkan output apabila user ingin mengubah input data yang berbeda dari input data sebelumnya.

Sesuai dengan Program Seksi Bapa GKPS Cikoko Tahun 2015, yaitu untuk meningkatkan pertumbuhan rohani Anggota Seksi Bapa GKPS Cikoko melalui Pembelajaran Firman Tuhan, maka

Berdasarkan data primer yang diperoleh melalui pengamatan lapangan dan data-data sekunder yang didapatkan dari literatur dan instansi terkait maka dilakukan