ABSTRAK
PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA
PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) TAHUN KE 2
Oleh
MONNES HENDRI BATUBARA
Tebu (Saccharum officinarum L) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang penting di Indonesia. Pada umumnya tebu digunakan sebagai bahan baku
produksi gula. Gula merupakan salah satu bahan pangan yang memegang peranan penting bagi rakyat. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan masyarakat terhadap gula semakin meningkat pula. Salah satu industri perkebunan gula yang masih terus mengusahakan peningkatan produksi gula adalah PT Gunung Madu Plantations (GMP). Teknik pengolahan tanah yang telah dilakukan di PT GMP adalah pengolahan tanah secara intensif.
Meskipun pekerjaan mengolah tanah secara teratur dianggap penting, tetapi pengolahan tanah secara intensif dapat menyebabkan terjadinya degradasi. Oleh karena itu, usaha untuk merehabilitasi tanah perkebunan gula PT GMP perlu diusahakan antara lain dengan memanfaatkan mulsa berbasis limbah tebu dan sistem pengolahan tanah konservasi (OTM). Dalam usaha rehabilitasi tanah tersebut, perubahan tanah seperti sifat fisik, kimia, dan biologi tanah akan terjadi. Salah satu indikator yang dapat digunakan adalah keberadaan cacing tanah. Keberadaan cacing tanah juga merupakan salah satu indikator untuk menentukan tingkat kesuburan tanah di suatu lahan.
Monnes Hendri Batubara
Penelitian ini dirancang menggunakan RAK dan disusun secara split plot dengan 5 kali ulangan. Petak utama yaitu sistem olah tanah, yang terdiri dari olah tanah minimum (T0) dan olah tanah intensif (T1). Anak petak adalah aplikasi mulsa
bagas, yang terdiri dari tanpa mulsa bagas (M0) dan mulsa bagas 80 tha-1 (M1).
Adapun kombinasi perlakuan yang diterapkan adalah sebagai berikut: T0M0 =
olah tanah minimum + tanpa mulsa bagas, T0M1 = olah tanah minimum + mulsa
bagas 80 t ha-1, T1M0 = olah tanah intensif + tanpa mulsa bagas, dan T1M1 = olah
tanah intensif + mulsa bagas 80 t ha-1. Semua perlakuan diaplikasikan pupuk Urea dengan dosis 300 kg ha-1, pupuk TSP 200 kg ha-1, pupuk KCl 300 kg ha-1, dan aplikasi bagas, blotong, dan abu (BBA) segar (5:3:1) 80 t ha-1. Data yang diperoleh diuji homogenitasnya dengan Uji Bartlet dan aditivitasnya dengan Uji Tukey, serta uji lanjut dengan Uji BNT.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa belum adanya pengaruh perlakuan sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap populasi dan biomassa cacing tanah pada pengambilan sampel 9 BSP dan 12 BSP. Tidak semua cacing tanah yang didapatkan pada lahan penelitian dapat dianalisis, hanya cacing tanah yang sudah memiliki klitelum yang dapat dianalisis. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sistem olah tanah dan aplikasi mulsa tidak berpengaruh terhadap populasi dan biomassa cacing tanah. Terdapat 2 genus cacing tanah yang didapat dari hasil identifikasi, yaitu Pheretima dan Pontoscolex.
Monnes Hendri Batubara
ABSTRACT
THE EFFECT OF TILLAGE SYSTEM AND BAGASSE MULCH APPLICATION TO THE POPULATION AND BIOMASS OF
EARTHWORM IN THE SUGAR CANE PLANTATION IN SECOND YEAR
MONNES HENDRI BATUBARA
Sugarcane (Saccharum officinarum L) is one of the the important plantation crops in Indonesia. In general, sugar cane use as a raw material production. Sugar is one food that have an important role for the people. With the increasing number of residents, the community needs to increase the sugar as well. One of the sugar plantation industry who continues to seek an increase in sugar production is PT Gunung Madu Plantations (GMP). Tillage techniques that have been done in PT GMP is an intensive tillage.
Although the tillage of the land on a regular basis is important, but the intensive tillage of land can cause degradation. Therefore, efforts to rehabilitate the land of the sugar plantations of PT GMP need to be cultivated among others, by making use of waste-based sugar cane mulch and conservation tillage systems (minimum tillage). In an effort to rehabilitate the land, such as changes in soil physical properties, chemical, and biological soil will occur. One indicator that can be used is the presence of earthworms. The presence of earthworms is also one of the indicators to determine the level of soil fertility in a field.
This research aimed to study the effect of tillage systems and application of bagasse mulch on planting sugar cane (Saccharum officinarum L.) against the number and biomass of earthworms in the PT Gunung Madu Plantations, Central Lampung.
This research was designed as RAK and arranged by split plot with 5 replication. The main plot of tillage system, which consists of minimum tillage (T0) and
Monnes Hendri Batubara
bagasse without mulch (M0) and with bagasse mulch 80 tha-1 (M1). The
combination treatment was applied as follows: T0M0 = minimum tillage + no
mulch bagasse, T0M1 = minimum tillage + bagasse mulch 80 t ha-1, T1M0 =
intensive tillage + no mulch bagasse, and T1M1 = intensive tillage + bagasse
mulch 80 t ha-1. All treatments applied urea with a dose of 300 kg ha-1, TSP 200 kg ha-1, KCl 300 kg ha-1, and the application of bagasse, blotong, and ash (BBA) fresh (5:3:1) 80 t ha-1. The data obtained were tested with the homogenity with Bartlet Test and additivity with Tukey's test, and continued by LSD Test.
The results showed that treatment of tillage systems and bagasse mulch
application did not increase the population of earthworms in samples 9 month and 12 month. The results showed that treatment of tillage systems and bagasse mulch application did not increase the biomass of earthworms in sampling 9 BSP and 12 month. Not all of the earthworms found in the study area can be analyzed, only earthworms have klitelum that can be analyzed The results showed that tillage systems and application of bagasse mulch had no effect to the population and biomass of earthworms. There are two genera of earthworms obtained from the results of identification, namely Pheretima and Pontoscolex.
PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA
PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) TAHUN KE 2
Oleh
MONNES HENDRI BATUBARA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN
Pada
Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA
PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) TAHUN KE 2 (Skripsi)
Oleh
MONNES HENDRI BATUBARA
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Bagan Solusi Perbaikan Tanah Terdegradasi di PT GMP ... 5 2. Perlakuan sistem olah tanah dan pemberian mulsa pada pertanaman
tebu ... 23 3. Teknik pengamatan cacing tanah pada pertanaman tebu ... 25
4. Tata letak metode Monolith pada pertanaman tebu ... 26 5. Pengaruh pengolahan tanah dan pemberian mulsa terhadap populasi
cacing tanah pada pengambilan sampel 9 BSP dan 12 BSP ... 29 6. Pengaruh pengolahan tanah dan pemberian mulsa terhadap biomassa
cacing tanah (g m-2) pada pengambilan sampel 9 BSP dan
DAFTAR ISI IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengamatan ... ... 28
4.1.1. Populasi Cacing Tanah ... ... 28
ii
4.1.3. Identifikasi Cacing Tanah ... ... 30
4.1.4. Hubungan Antara Populasi dan Biomassa Cacing Tanah dengan Beberapa Sifat Kimia Tanah ... ... 32
4.2. Pembahasan ... ... 33
V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ... ... 38
5.2. Saran ... ... .... 38
DAFTAR PUSTAKA ... ... 39
LAMPIRAN ... ... 44
39
DAFTAR PUSTAKA
Agrika, D.P. 2006. Kajian Terhadap Kandungan Bahan Organik Tanah dan Indeks Kemantapan Agregat pada Beberapa Aplikasi Limbah Padat Pabrik Gula di Lahan Perkebunan Tebu PT Gunung Madu Plantations Lampung Tengah. Skripsi. Universitas Lampung. Bandarlampung. 58 hlm.
Agustina. 2008. Isolasi dan Uji Aktivitas Selulose Mikroba Termofilik Dari Pengomposan Ampas Tebu (Bagasse). Skripsi. Unila. Bandar Lampung. 64 hlm.
Agustinus, M. D. 2009. Tingkah Laku Cacing Tanah. www. Kompas.com. Diakses tanggal 5 Januari 2012 .
Anas, I. 1990. Biologi Tanah dalam Praktek. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. 161 hlm
Ansyori. 2004. Potensi Cacing Tanah Sebagai Alternatif Bio-Indikator Pertanian Berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor. Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702). Bogor.
Arioen, R. 2009. Kajian Ratio Bagas dan Blotong Pada Pengomposan Bagas. Skripsi. Unila. Bandar Lampung. 63 hal.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor. 277 hlm.
Budiarti, A. dan R. Palungkun. 1992. Cacing Tanah : Aneka Cara Budidaya, Penanganan Lepas Panen, Peluang Campuran Ransum Ternak dan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Brown, G.G., N.P. Benito, A. Pasini, K.D. Sautter, M.F. Guimaraes, and E.Tores, 2002. No-Tillage Greatly Increases Earthworm Population in Parana State, Brazil. The 7th International Symposium on Earthworm Ecology, Cardiff, Wales.
40
Chan, K.Y. 2001. An Overview of Some Tillage Impact on Earthworm Population Abudance and Diversity-Implications for Functioning in Soil. Soil Till. Res. 57 : 547-554.
Diky, N. 2011. Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Aplikasi Mulsa Bagas pada Lahan Pertanaman Tebu Terhadap Populasi dan Biomassa Cacing Tanah. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 83 hlm.
Edwards, C.A. 1998. Earthworm Ecology. St. Lucie Press. Washington, DC. 389. Edwards, C.A. and J.R. Lofty. 1977. Biology of Earthworms. A Halsted Press
Boo, John Wiley & Sons, New York. 333 hlm.
Fraser, T. 1999. The effect of soil management practice on earthworm populations. Diakses tanggal 5 Januari 2012.
Franzluebbers, A.J., F.M. Hons, and D.A Zuberrer. 1995. Soil organic carbon, microbial biomass, and mineralizable carbon and nitrogen in sorgum.
59. 460-466
Hairiah, K., Purnomosidhi, N. Khasanah, N. Nasution, B. Lusiana, dan M.V. Noordwijk. 2003. Pemanfaatan Bagas dan Daduk Tebu untuk Perbaikan Status Bahan Organik Tanah dan Produksi Tebu di Lampung Utara: Pengukuran dan Estimasi Simulasi WANULCAS. Agrivita 25: 30 - 40.
Hanafiah, K.A., I. Anas, A. Napoleon dan N. Ghoffar. 2005. Biologi Tanah: Ekologi & Makrobiologi tanah. Ed. 1, cet. 1. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 165 hlm.
Hakim, N., Y. Nyakpa, A.M Lubis, S.G Nugroho, M.R Saul, M.A Diha, B.H Go dan H.H Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 490 hlm.
Hubbard, V.C., D. Jordan, and J.A. Stecker. 1999. Earthworm response rotation and tillage in a Missouri claypan soil. Biol. Fertil. Soils 29 : 343-347.
Liong, N.N. 2011. Penaruh Sistem Olah Tanah Terhadap Populasi, Biomassa dan Keanekaragaman Cacing Tanah pada Bekas Lahan Alang-Alang (Imperata cylindrica L. ) Berusia lebih dari 10 Tahun. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 64 hlm.
Madjid, A. 2007. Bahan Organik Tanah. Universitas Sriwijaya. Palembang. Makalew, A.D.N. 2001. Keanekaragaman Biota Tanah pada Agroekosistem
41
Manik, K. E. S., Afandi, dan S. B. Yuwono. 1996. Studi Pemadatan Tanah Pada Beberapa Penggunaan Lahan di Lereng Tengah Gunung Betung. J. Tanah Trop. 2 (2) : 1-6.
Merlita. 2005. Struktur komunitas cacing tanah pada berbagai tipe penggunaan lahan di Kecamatan Sumber Jaya Lampung Barat. (Skripsi). Unila. Bandarlampung. 63 hlm.
Mashur. 2001. Kajian Perbaikan Teknologi Budidaya Cacing Tanah Eisenia foetida savigny untuk Meningkatkan Biomassa dan Kualitas Eksmecat dengan Memanfaatkan Limbah Organik Sebagai Media. Disertasi, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 148 hlm.
Palungkun, R. 2006. Sukses Beternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Penebar Swadaya. Jakarta. 88 hlm.
Paoletti, M.G. 1999. The role of earthworms for assessment of sustainability and as bioindicators. J Agric Eco and Environ 74: 137- 155.
PT. GMP. 2009. Pengolahan Tanah. www. Gunungmadu.co.id. Diakses tanggal 5 Januari 2012.
Rukmana, R. 1999. Budidaya Cacing Tanah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sanjaya, I. 2000. Aktivitas Enzim Selama Proses Pengomposan Beberapa Jenis
Limbah Organik. Skripsi. Unila. Bandarlampung. 58 hlm.
Sartono. 1995. Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Mulsa Terhadap Produksi Tebu (Saccharum officinarum L.) Lahan Kering Pada Ultisol Gunung Madu. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. 54 hlm.
Simanjuntak, A. K., dan D. Waluyo. 1982. Cacing Tanah, Budidaya dan Pemanfaatannya. Penebar Swadaya. Jakarta.
Slamet. 2007. Tebu (Saccharum officinarum, L). http: //warintek.progressio. or.id/perkebunan/tebu.htm. Diakses tanggal 5 Januari 2012.
Subroto. 1997. Efek Populasi Cacing Tanah (Lumricus terristis) terhadap Sifat Kimia Tanah Ultisol, dan Kedelai (Glycine max L. Mer.) sebagai Tanaman Uji. Frontir No 21.
42
Sugiarto, Y. 2000. Dasar-Dasar Cara Kerja di Processing PT Gunung Madu Plantations. Lampung. Diakses tanggal 5 Januari 2012.
Sugiyarto. 2003. Konservasi Makrofauna Tanah dalam Sistem Agroforestri. Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas LPPM UNS. Surakarta.
Susilo, F.X. dan A. Karyanto. 2005. Methods for Assessment of Below-Ground Biodiversity In Indonesia. Unila. Bandar Lampung. 58 hlm.
Suwardjo, H., dan A. Dariah. 1995. Teknik Olah Tanah Konservasi untuk Menunjang Pengembangan Pertanian Lahan Kering yang Berkelanjutan. Hlm. 8-13. Utomo, M. Prosiding Seminar Nasional V BDP-OTK 1995. Bandar Lampung.
Tim Penulis Penebar Swadaya. 1994. Pembudidayaan Tebu di Lahan Sawah dan Tegalan. Penebar Swadaya. Jakarta. 112 hlm.
Umar. 2004. Pengolahan Tanah Sebagai Suatu Ilmu: Data, Teori. dan Prinsip-Prinsip. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Makalah Falsafah Sains (PPS 702).
Utomo, M. 1991. Budidaya pertanian tanpa olah tanah tekhnologi untuk pertanian berkelanjutan. Universitas Lampung. 22 hlm.
Utomo, M. 1995. Reorientasi Kebijakan Sistem Olah Tanah. Prosid. Sem. Nas-V BDP-OTK. Bandar Lampung. Hal 1-7.
Widiantoko, R.K. 2010. Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Pabrik Gula dalam Rangka Zero Emission. www.sirossiris.com. Diakses tanggal 5 Januari 2012.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tebu (Saccharum officinarum) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang penting di Indonesia. Pada umumnya tebu digunakan sebagai bahan baku
produksi gula. Gula merupakan salah satu bahan pangan yang memegang peranan
penting bagi rakyat. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan masyarakat terhadap gula semakin meningkat pula. Indonesia
merupakan salah satu negara penghasil gula di dunia. Akan tetapi, Indonesia sendiri masih mengalami kekurangan gula akibat konsumsi gula yang tinggi dibandingkan dengan produksinya.
Salah satu industri perkebunan gula yang masih terus mengusahakan peningkatan
produksi gula adalah PT Gunung Madu Plantations (GMP). Pengolahan tanah yang diterapkan dalam perkebunan tebu ini adalah sistem olah tanah intensif terus
menerus selama 25 tahun. Pengolahan tanah secara intensif dapat menyebabkan kerusakan struktur tanah, mempercepat terjadinya erosi tanah, dan penurunan kadar bahan organik tanah yang berpengaruh juga terhadap keberadaan biota
2
Menurut Ansyori (2004), cacing tanah merupakan komponen utama biomass
makrofauna di dalam tanah. Cacing tanah hidup kontak langsung dengan tanah dan memiliki kontribusi penting terhadap proses siklus unsur hara di dalam
lapisan tanah, tempat akar tanaman terkonsentrasi. Selain itu lubang yang dibuat cacing tanah sering merupakan proporsi utama ruang pori makro di dalam tanah, sehingga cacing tanah dapat secara nyata mempengaruhi kondisi tanah yang
berhubungan dengan hasil tanaman.
Produksi gula di PT. GMP dapat ditingkatkan dengan dilakukan pembenahan media tanam (tanah) tebu sehingga dapat tumbuh dengan baik. Perbaikan itu
dapat dilakukan dengan merubah sistem pengolahan tanahnya dan juga memberikan bahan organik ke dalam tanah. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan menggunakan sistem Tanpa Olah Tanah (TOT) dan pengaplikasian BBA (bagas, blotong, abu) tebu yang dihasilkan dari sisa produksi PT. GMP itu sendiri.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh sistem olah tanah (TOT) dan aplikasi mulsa bagas (BBA) pada lahan pertanaman tebu (Saccharum officinarum
3
1.3 Kerangka Pemikiran
Pengolahan tanah merupakan setiap manipulasi mekanik terhadap tanah untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman agar dapat berproduksi dengan baik, oleh karena itu diperlukan upaya untuk menciptakan
keadaan yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman (Manik, Afandi, dan Yuwono, 1996). Selain itu, pengolahan tanah juga ditujukan untuk memperbaiki kondisi
tanah sehingga memudahkan penetrasi akar, infiltrasi air, dan peredaran udara (aerasi). Arsyad (1989) menyatakan bahwa pengolahan tanah yang baik merupakan salah satu syarat dalam setiap tindakan budidaya tanaman, walaupun
demikian pengolahan tanah yang berat dan tidak tepat dapat menyebabkan menurunnya kesuburan tanah dengan cepat dan tanah lebih mudah terdegradasi.
Pengaruh buruk dari pengolahan tanah yang berlebihan antara lain rusaknya
struktur tanah dan menurunkan kandungan bahan organik secara cepat. Umar (2004) mengungkapkan bahwa pengolahan tanah intensif dapat meningkatkan produksi tanaman, meningkatkan kekasaran permukaan, memecah kerak tanah,
meningkatkan infiltrasi, tetapi pengaruh tersebut bersifat jangka pendek. Pada jangka panjang, pengolahan tanah cenderung mempercepat kerusakan tanah.
Beberapa dampak buruk dan pengolahan tanah jangka panjang yakni dapat mengurangi kandungan bahan organik tanah, infiltrasi, dan erosi, memadatkan tanah, dan mengurangi biota tanah.
4
intensif karena adanya perubahan lingkungan tanah yang tidak diinginkan sebagai
dampak pengolahan tanah yang berlebihan (Chan, 2001).
Menurut Ansyori (2004), TOT cenderung memiliki biomassa cacing tanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan OTI pada permukaan tanah. Pemberian mulsa
serasah segar atau kering dapat memberikan kelembaban tanah yang cukup, sehingga dapat meningkatkan biomassa cacing tanah. Pencampuran bahan
tanaman seperti residu tanaman atau cover crop dengan tidak terlalu dalam ke dalam tanah dapat mengubah aktivitas dan biomassa cacing tanah khususnya spesies endogeis. Hal tersebut disebabkan pemberian residu tanaman pada
permukaan tanah dan tidak mengolah tanah dapat mencegah cacing tanah dari kekeringan dan predasi selama periode kering, sehingga lahan TOT selalu
menunjukkan biomassa cacing tanah lebih tinggi daripada OTI (Hubbard, Jordan, dan Syecker 1999 dalam Ansyori 2004).
Pengaruh persiapan lahan menunjukkan bahwa TOT cenderung memiliki lebih banyak efek positif terhadap keanekaragaman beberapa biota tanah dibanding
dengan pengolahan tanah (Makalew, 2001), hal ini sejalan dengan penelitian Brown dkk. (2002), yang menyimpulkan bahwa populasi cacing tanah TOT 5
kali lebih tinggi dibandingkan pada OTI.
Pengolahan tanah secara intensif tanpa adanya suatu usaha untuk memperbaikan kondisi suatu tanah dapat menjadikan tanah tersebut terdegradasi. Ansyori
5
satu upaya yang dapat diterapkan dalam meningkatkan produksi tebu yaitu dengan
merubah sistem olah tanah dan memanfaatkan limbah padat pabrik gula, yaitu bagas, blotong, dan abu (BBA) (Gambar 1).
Gambar 1. Bagan solusi perbaikan tanah terdegradasi di PT GMP.
Seperti yang terlihat dari Gambar 1, perubahan sistem olah tanah menjadi tanpa olah tanah dan ditambah dengan pengaplikasian limbah padat pabrik gula berupa bagas, blotong, dan abu (BBA) di lahan pertanaman tebu diharapkan dapat
Degradasi Tanah
Sistem Olah Tanah Bahan Organik
Limbah Padat Pabrik Gula Tanpa Olah Tanah
Cacing Tanah Sifat Biologi
Tanah Sifat Fisik
Tanah
Sifat Kimia Tanah Tebu
6
memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah yang selanjutnya dapat
meningkatkan produksi gula. Kegiatan ini diharapkan juga dapat meningkatkan jumlah dan biomassa cacing tanah yang dapat dijadikan indikator kesuburan
tanah.
Bahan organik yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas tanah di PT GMP adalah limbah padat pabrik gula yang dihasilkan selama produksi di PT
GMP tersebut. Produk utama yang dihasilkan di perkebunan tebu adalah batang tebu yang dapat diproses menjadi 6-9% gula dan 91-94% limbah. Limbah padat yang dihasilkan selama proses produksi, antara lain : ampas tebu (bagasse) yang
merupakan hasil dari proses ekstraksi cairan tebu pada batang tebu, blotong (filter cake) yang merupakan hasil samping proses penjernihan nira gula, dan abu ketel
(ash) yang merupakan sisa pembakaran atau kerak ketel pabrik gula (Slamet, 2007).
Produksi limbah padat pabrik gula berupa bagas, blotong, dan abu (BBA) dengan perbandingan 5:3:1 berpotensi digunakan sebagai bahan organik yang dapat
dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas tanah di PT GMP. Hasil penelitian Arioen (2009) menunjukan bahwa formulasi bagas : blotong : abu dengan
perbandingan 5:3:1 setelah dikomposkan selama 40 hari menghasilkan C/N akhir terkecil yaitu 36, dibandingkan dengan formulasi 5:1:1 dan 6:1:1 masing-masing menghasilkan C/N ratio 39 dan 41.
7
untuk meningkatkan produktivitas pertanian melalui ketersediaan unsur hara yang
cukup bagi tanaman dan meningkatkan populasi biota tanah (PT GMP, 2009).
1.4 Hipotesis
1. Populasi dan biomassa cacing tanah lebih tinggi pada lahan dengan sistem olah tanah minimum (OTM).
2. Populasi dan biomassa cacing tanah lebih tinggi pada lahan yang diaplikasikan mulsa bagas.
3. Terdapat interaksi antara sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Tebu
Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil gula dan lebih dari setengah produksi gula berasal dari tanaman tebu (Humbert, 1968 dalam Sartono, 1995). Tanaman tebu tidak asing lagi di Indonesia, tebu
termasuk dalam famili Graminae atau lebih terkenal dengan kelompok rumput-rumputan. Secara morfologi, tanaman tebu terdiri atas beberapa bagian yaitu
batang, daun, akar dan bunga (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1994).
Seperti tanaman lain, tebu juga memerlukan syarat-syarat tertentu untuk
pertumbuhannya, salah satunya adalah iklim. Iklim terdiri dari beberapa faktor yaitu curah hujan, sinar matahari, suhu, angin, dan kelembaban. Tebu termasuk
tanaman tropik yang membutuhkan radiasi sinar matahari yang cukup dan sangat efisien dalam penggunannya untuk dapat membentuk bahan makanan. Suhu yang
baik untuk pertumbuhan tebu adalah 20o-30o C.
Pertumbuhan tebu yang normal membutuhkan masa vegetatif selama 6-7 bulan. Dalam masa itu jumlah air yang diperlukan untuk evapotranspirasi adalah 3-5 mm
9
kemasakan tebu terlambat dan kadar gula rendah (Kuntohartono, 1982 dalam
Sartono, 1995).
Sifat dan keadaan tanah berpengaruh pada pertumbuhan tanaman dan kadar gula dalam tebu. Tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah tanah yang
dapat menjamin ketersediaan air secara optimal. Derajat kemasaman yang sesuai berkisar antara 5, 5-7, apabila tebu ditanam pada tanah dengan pH dibawah 5,5
maka perakarannya tidak dapat menyerap air ataupun unsur hara dengan baik.
2.2 Bahan Organik Berbasis Tebu
Bahan organik adalah kumpulan beragam senyawa-senyawa organiks komplek yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi, baik berupa humus hasil humifikasi maupun senyawa-senyawa anorganik hasil mineralisasi dan termasuk
juga mikrobia heterotropik dan ototropik yang terlibat didalamnya (Madjid, 2007). Penambahan bahan organik kedalam tanah berperan penting dalam upaya
peningkatan kesuburan tanah karena bahan organik dapat mempengaruhi
ketersediaan N-total, P tersedia dan asam humik yang berpengaruh pada KTK serta dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme dalam tanah (Agrika, 2006).
Salah satu bahan organik yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi tanaman tebu yaitu limbah padat pabrik gula berupa bagas, blotong, dan abu yang berasal dari proses produksi di pabrik gula.
10
limbah cair, dan limbah padat. Limbah padat yang dihasilkan selama proses
produksi, antara lain : ampas tebu (bagasse) yang merupakan hasil dari proses ekstraksi cairan tebu pada batang tebu, blotong (filter cake) yang merupakan hasil
samping proses penjernihan nira gula, dan abu ketel (ash) yang merupakan sisa pembakaran atau kerak ketel pabrik gula (Slamet, 2007). Potensi limbah padat
pabrik gula di Indonesia menurut Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) (2008) dalam Widiantoko (2010), cukup besar dengan komposisi rata-rata hasil samping industri gula di Indonesia terdiri dari 32,0 % bagas; 3,5 % blotong;
dan 0,1 % abu.
Menurut Agustina (2008), bagas merupakan limbah pertama yang dihasilkan dari proses pengolahan industri gula tebu, volumenya mencapai 30-34% dari tebu
giling. Bagas terdiri dari air, serat, dan padatan terlarut dalam jumlah relatif kecil. Serat bagas tidak dapat larut dalam air dan sebagian besar terdiri dari selulosa, pentosan, dan lignin. Bagas tidak dapat langsung diaplikasikan ke lahan
pertanaman karena nisbah C/N bagas yang tinggi. Apabila diaplikasikan langsung maka akan terjadi imobilisasi unsur hara dalam tanah. Penelitian Hairiah et al.
(2003) menunjukkan bahwa penambahan bagas dan serasah daun tebu
menyebabkan immobilisasi N pada lapisan tanah 0-5 cm, pada hampir seluruh waktu pengamatan hingga 7 bulan. Oleh karena itu, sebelum diaplikasikan ke
lahan sebaiknya dilakukan pengomposan atau dicampur dengan bahan organik yang memiliki nisbah C/N rendah. Pengomposan sendiri merupakan penguraian
11
Selain dapat dimanfaatkan sebagai bahan organik tanah, bagas dimanfaatkan juga
sebagai bahan bakar boiller di pabrik gula. Sedangkan abu merupakan hasil perubahan secara kimiawi dari pembakaran bagas tersebut. Abu ini dapat
dimanfaatkan sebagai bahan organik tanah dengan cara dicampurkan dengan bahan organik lain, seperti bagas dan blotong.
Blotong merupakan hasil tapisan mud yang telah diambil filtratnya. Blotong
berupa cake yang masih mengandung gula antara 0,5 - 3%, rata-ratanya 1 - 2%, mengandung air antara 70 - 80%, dengan total berat antara 3 - 5% berat tebu yang digiling. Filter cake masih banyak mengandung mineral dan zat-zat lain yang
diperlukan oleh tumbuhan. Blotong mempunyai sifat padat dan berwarna hitam. Di pabrik gula, blotong yang sebagian besar tersusun dari bahan organik, memiliki
jumlah cukup banyak. Blotong dapat langsung diaplikasikan karena memiliki C/N ratio kurang dari 20 (Sugiarto, 2000).
2.3 Cacing Tanah
Cacing tanah merupakan organisme tanah heterotrof, bersifat hermaprodit biparental dari Filum Annelida, Kelas Clitellatta, Ordo Oligochaeta, dengan
Famili Lumbricidae dan Megascolecidae yang banyak dijumpai di lahan pertanian (Ansyori, 2004). Cacing tanah termasuk biota tanah yang aktif melakukan
dekomposisi secara sempurna antara bahan organik tanah dengan tanah mineral yang berwarna gelap dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Bahan
12
Menurut Subowo (2008), cacing tanah mampu hidup 1−10 tahun dan dalam
proses hidupnya dapat hidup melalui fragmentasi ataupun reproduksi dengan melakukan kopulasi membentuk kokon. Ukuran cacing tanah yang relatif besar,
berkisar 1-8 cm atau lebih, dengan kecepatan berpindah di dalam tanah yang relatif terbatas dan lambat berkoloni kembali membuat cacing tanah mudah
ditangkap dan dipilih, sehingga dapat dijadikan bioindikator kesuburan tanah (Ansyori, 2004).
Cacing tanah memiliki segmen di bagian luar dan dalam tubuhnya. Antara satu
segmen dengan segmen lainya terdapat sekat yang disebut septa. Pembuluh darah, sistem ekskresi, dan sistem saraf di antara satu segmen dengan segmen lainnya saling berhubungan menembus septa. Rongga tubuh berisi cairan yang berperan
dalam pergerakkan annelida dan sekaligus melibatkan kontraksi otot. Ototnya terdiri dari otot melingkar (sirkuler) dan otot memanjang (longitudinal) (Rukmana
dalam Merlita, 2005).
Cacing tanah mempunyai otot yang kuat untuk mencampur material - material
dan melewatkannya ke saluran pencernaan sebagai cairan untuk dicampur dengan enzim. Zat cerna tersebut akan melepaskan asam- asam amino, gula, dan molekul organik kecil lainnya dari residu bahan organik (termasuk
protozoa, nematoda, bakteri, fungi, dan mikroorganisme lain sebagai bagian dari dekomposisi hewan). Hasil penguraian bahan organik tersebut akan
13
mengandung berbagai bahan atau komponen yang bersifat biologis maupun
kimiawi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Komponen biologis yang terkandung di dalamnya salah satunya
adalah auksin (Palungkun, 1999).
Cacing tanah dapat mencerna senyawa organik tersebut menjadi molekul yang sederhana yang dapat diserap oleh tubuhnya. Setelah melalui pencernaan, sisa-sisa bahan yang termakan dilepaskan kembali sebagai buangan padat (kotoran)
dikeluarkan melalui anus. Edwards dan Lofty (1977) menyatakan bahwa sebagian besar bahan tanah mineral yang dicerna cacing tanah dikembalikan ke dalam
tanah dalam bentuk kotoran yang lebih tersedia bagi tanaman.
Cacing tanah membuat lubang dengan cara mendesak massa tanah atau dengan
memakan langsung massa tanah. Cacing tanah dengan kemampuannya membuat lubang akan menurunkan kepadatan tanah, meningkatkan kapasitas infiltrasi, mengurangi aliran permukaan dan erosi, serta melalui kotoran yang dihasilkan
dapat menambah unsur hara bagi tanaman (Subowo, 2008).
Cacing tanah secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan tempat hidupnya, kotorannya, kenampakan warna, dan makanan kesukaannya (Edwards, 1998;
Paoletti, 1999) sebagai berikut :
(1) Epigaesis; cacing yang aktif dipermukaan, warna gelap, penyamaran efektif,
14
(2) Anazesis; berukuran besar, membuat lubang terbuka permanen ke permukaan
tanah; pemakan serah di permukaan tanah dan membawanya ke dalam tanah, mencerna sebagian tanah, warna sedang bagian punggung, dengan
penyamaran rendah, kotoran di permukaan tanah atau terselip di antara tanah. Contohnya Pontoscolex curetrus, Lumbricus terrestris, dan Allolobophora longa.
(3) Endogaesis; hidup di dalam tanah dekat permukaan tanah, sering dalam dan meluas, kotoran di dalam lubang, tidak berwarna, tanpa penyamaran,
pemakan tanah dan bahan organik, serta akar-akar mati. Contohnya Allolobophora chlorotica, Allolobophora caliginosa, dan Allolobophora
rosea.
(4) Coprophagic; hidup pada pupuk kandang, seperti Eisenia foetida, Dendrobaena veneta, dan Metaphire schmardae.
(5) Arboricolous; hidup di dalam suspensi tanah pada hutan tropik basah, seperti Androrrhinus spp.
Berdasarkan jenis makanan, cacing tanah dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1)
geofagus (pemakan tanah), 2) limifagus (pemakan tanah subur atau tanah basah), dan 3) litter feeder (pemakan bahan organik) ( Coleman dan Crossley, 1996).
2.4 Pengaruh Lingkungan terhadap Cacing Tanah
15
A. pH Tanah
Mashur (2001) menyatakan bahwa cacing tanah sangat sensitif terhadap
perubahan konsentrasi ion hidrogen, sehingga pH tanah menjadi faktor pembatas
penyebaran dan populasinya. Menurut Budiarti dan Palungkun (1999), cacing tanah memerlukan pakan atau media dengan pH antara 6,0 sampai 7,2 yaitu pH dimana bakteri bekerja optimal. Cacing tanah memiliki sistem pencernaan yang
kurang sempurna, karena sedikitnya enzim pencernaan sehingga cacing tanah memerlukan bantuan bakteri untuk meruba/memecahkan bahan makanan.
Aktivitas bakteri yang kurang dalam makanannya menyebabkan cacing tanah kekurangan makanan dan akhirnya mati karena tidak ada yang membantu mencerna senyawa karbohidrat dan protein. Namun bila makanan terlalu asam
sehingga aktivitas bakteri berlebihan maka akan menyebabkan terjadinya pembengkakan tembolok cacing tanah dan berakhir dengan kematian pula.
Keadaan makanan atau lingkungan yang terlalu basah, mengakibatkan cacing tanah kelihatan pucat dan kemudian mati. Pengaruh pH terhadap cacing tanah juga dijelaskan dalam penelitian Syarif (2003), yang menyatakan bahwa jumlah
cacing tanah dapat menurun karena adanya perubahan ekstrim pH tanah.
B. Kelembaban Tanah
Menurut Simanjuntak dan Waluyo (1982), kelembaban sangat diperlukan untuk menjaga agar kulit cacing tanah berfungsi normal. Bila udara terlalu kering, akan merusak keadaan kulit. Untuk menghindarinya cacing tanah segera masuk
16
untuk mencari tempat yang pertukaran udaranya (aerasinya) baik. Hal ini terjadi
karena cacing tanah mengambil oksigen dari udara bebas untuk pernafasannya melalui kulit. Kelembaban yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan
cacing tanah adalah antara 15% sampai 30%.
Sebanyak 75-90 % dari berat tubuh cacing tanah berupa air, sehingga sangatlah penting untuk menjaga media pemeliharaan tetap lembab (kelembaban optimum
berkisar antara 15-30 %) (Anas, 1990). Tubuh cacing mempunyai mekanisme untuk menjaga keseimbangan air dengan mempertahankan kelembaban di
permukan tubuh dan mencegah kehilangan air yang berlebihan. Edwards dan Lofty (1977), menyatakan bahwa cacing yang terdehidrasi akan kehilangan sebagian besar berat tubuhnya dan tetap hidup walaupun kehilangan 70-75 %
kandungan air tubuh. Kekeringan yang berkepanjangan memaksa cacing tanah untuk bermigrasi ke lingkungan yang lebih cocok.
C. Suhu Tanah
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap produksi kokon dan reproduksi cacing tanah. Simanjuntak dan Waluyo (1982),
menyatakan bahwa suhu yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi akan mempengaruhi proses-proses fisiologis seperti pernafasan, pertumbuhan,
perkembangbiakan dan metabolisme. Suhu rendah menyebabkan kokon sulit menetas. Suhu yang hangat (sedang) menyebabkan cepat menetas dan
pertumbuhan cacing tanah setra perkembangbiakannya akan berjalan sempurna.
17
D. Bahan Organik Tanah
Bahan organik berfungsi sebagai pakan cacing tanah, bahan organik tersebut berasal dari seresah daun, feses ternak dan tanaman atau hewan yang mati
(Budiarti dan Palungkun, 1992). Menurut Catalan (1981), cacing tanah menyukai bahan yang mudah membusuk karena lebih mudah dicerna oleh tubuhnya. Cacing tanah tidak menyukai serasah daun yang mengandung tanin atau minyak seperti
daun cengkeh, pinus dan jeruk. Tanin bersifat toksik bagi cacing tanah. Hal ini terlihat dari pengamatan peneliti bahwa tanah di bawah tumpukan serasah daun
cengkeh sama sekali tidak dijumpai adanya cacing tanah. Bahkan peneliti juga mencoba menggali tanah samapi 30 cm namun cacing tanah tetap tidak berhasil dijumpai. Catalan (1981), mengemukakan bahwa pertumbuhan dan laju
reproduksi cacing tanah sangat bergantung pada jenis dan jumlah pakan yang dikonsumsinya.
2.5 Sistem Olah Tanah
Sistem olah tanah berperan penting dalam mempengaruhi populasi cacing tanah. Perbedaan sistem olah tanah akan mempengaruhi tinggi rendahnya populasi
cacing tanah. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan lingkungan habitat cacing tanah akibat sitem olah tanah yang diterapkan.
A. Olah Tanah Intensif (OTI)
Sistem olah tanah intensif (OTI) dilakukan dengan cara membajak atau
18
tanah, tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerusakan tanah.
Penyebabnya adalah stuktur tanah yang terbentuk secara alami oleh penetrasi akar dan aktifitas fauna tanah menjadi rusak akibat pengolahan tanah yang terlalu
sering dilakukan, mempercepat menurunnya kandungan bahan organik akibat aerasi terlalu berlebihan, pengolahan tanah pada waktu penyiangan banyak
memutuskan akar tanaman yang dangkal dan meningkatnya kepadatan tanah pada kedalaman 15-25 cm akibat penggunaan alat berat saat pengolahan tanah (Hakim, dkk., 1986).
B. Olah Tanah Minimum (OTM)
Sistem olah tanah minimum (OTM) dilakukan dengan tidak mengolah tanah secara mekanis, kecuali alur kecil atau lubang tugalan untuk menempatkan benih agar cukup kontak dengan tanah. Prasyarat utama budidaya pertanian tanpa olah
tanah yaitu adanya mulsa yang berasal dari sisa-sisa tanaman musim sebelumnya. Mulsa dibiarkan menutupi permukaan tanah untuk melindungi tanah dari benturan langsung butiran hujan, disamping untuk menciptakan mikroklimat yang
mendukung pertumbuhan tanaman. Gulma dikendalikan dengan cara kimia (herbisida) dan bersama-sama dengan sisa-sisa tanaman musiman sebelumnya,
19
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April 2012 – Juli 2012 pada lahan
pertanaman tebu di PT Gunung Madu Plantations (GMP), Lampung Tengah. Analisis cacing tanah dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Pertanian dan
analisis contoh tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Unversitas Lampung.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu limbah padat pabrik gula yaitu
bagas, blotong, dan abu (BBA) dan perbandingannya dalam percobaan ini adalah 5:3:1, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCl, mustard, formalin, air, contoh tanah,
dan bahan-bahan lain untuk analisis C-organik dan pH tanah.
Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, sekop, label, plastik, botol plastik, tali plastik, bambu, nampan, ember, gayung, meteran, patok kayu, karung, pinset, tisu, timbangan elektrik, soil moisture tester (alat pengukur
20
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dirancang menggunakan RAK dan disusun split plot dengan 5 kali
ulangan. Petak utama yaitu sistem olah tanah, yang terdiri dari olah tanah minimum (T0) dan olah tanah intensif (T1). Anak petak adalah aplikasi mulsa
bagas, yang terdiri dari tanpa mulsa bagas (M0) dan mulsa bagas 80 tha-1 (M1).
Dengan demikian terbentuk 4 kombinasi perlakuan, yaitu: T0M0 = olah tanah minimum + tanpa mulsa bagas
T0M1 = olah tanah minimum + mulsa bagas 80 t ha-1
T1M0 = olah tanah intensif + tanpa mulsa bagas
T1M1 = olah tanah intensif + mulsa bagas 80 t ha-1
Semua perlakuan diaplikasikan pupuk Urea dengan dosis 300 kg ha-1, pupuk TSP 200 kg ha-1, pupuk KCl 300 kg ha-1, dan aplikasi bagas, blotong, dan abu (BBA)
segar (5:3:1) 80 t ha-1.
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam pada taraf 1% dan 5%, yang sebelumnya telah diuji homogenitas ragamnya dengan Uji Bartlett dan
aditivitasnya dengan Uji Tukey. Rata-rata nilai tengah diuji dengan uji BNT pada taraf 1% dan 5%. Untuk mengetahui hubungan antara populasi dan biomassa cacing tanah dengan C-organik, pH, kelembaban, dan suhu tanah
21
3.4 Sejarah Pengelolaan Lahan di Plot Percobaan
Lahan yang digunakan pada penelitian ini merupakan lahan pertanaman tebu yang
telah digunakan selama 35 tahun dan menggunakan sistem pengelolaan lahan yang biasa diterapkan di PT GMP. Percobaan dilakukan dengan penggunaan dua
sistem olah tanah, yaitu olah tanah intensif dan olah tanah intensif, serta aplikasi limbah padat pabrik gula jangka panjang dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2020. Penelitian ini merupakan penelitian pada musim tanam kedua.
3.5 Pelaksanaan Penelitian
3.5.1 Pengelolaan Lahan
Lahan dibersihkan dan dibagi menjadi 20 petak percobaan berukuran masing-masing 25 m x 40 m dengan menandainya dengan tali, dan tidak memiliki jarak
pemisah antar petak percobaan.
Pada petak olah tanah intensif (OTI), tanah diolah sesuai dengan sistem
pengolahan tanah yang diterapkan di PT GMP yaitu sebanyak 3 kali pengolahan,
yaitu yang pertama menggunakan bajak piringan yang berfungsi mencacah tunggul tebu, memecah dan membalikkan tanah. Pengolahan tanah kedua tetap menggunakan bajak piringan, tetapi arah kerjanya tegak lurus dengan pengolahan
tanah pertama, berfungsi untuk menghaluskan tanah dan sekaligus untuk
mencacah ulang tunggul tebu. Pengolahan tanah yang ketiga menggunakan bajak singkal yang berfungsi untuk membalikkan tanah bawahan ke atas dan sekaligus
22
dilakukan pada saat pengolahan tanah II, yaitu dicampur atau diaduk dengan tanah
menggunaan traktor. Mulsa bagas diaplikasikan setelah penanaman tebu dengan dosis 80 t/ha-1 untuk petak yang diperlakukan dengan mulsa bagas yang
diaplikasikan secara manual. Pada petak OTI, gulma dikendalikan secara manual
dan sisa tumbuhan gulma dikembalikan ke lahan sebagai mulsa untuk petak yang menggunakan mulsa bagas. Sedangkan untuk petak yang tidak menggunakan
mulsa bagas, sisa tumbuhan gulma dibuang dari petak percobaan.
Pada petak olah tanah minimum (OTM), tanah tidak diolah sama sekali. Campuran bagas, blotong, dan abu (BBA) diaplikasikan dengan cara ditebar di
permukaan tanah dengan dosis 80 tha-1 bersamaan pada saat aplikasi BBA pada petak OTI. Untuk plot yang diaplikasikan mulsa, mulsa bagas diaplikasikan setelah tebu ditanam dengan dosis 80 t ha-1. Sama seperti petak OTI, gulma pada
petak OTM dikendalikan secara manual dan sisa tumbuhan gulma dikembalikan ke lahan sebagai mulsa untuk petak yang menggunakan mulsa bagas. Sedangkan
untuk petak yang tidak menggunakan mulsa bagas, sisa tumbuhan gulma dibuang dari petak percobaan.
Seluruh plot percobaan diaplikasikan pupuk sesuai dengan dosis yang biasa
24
3.5.2 Pengambilan Sampel Cacing Tanah
Sampel cacing tanah diambil dengan membuat Monolith yang terletak tepat
ditengah-tengah disetiap plot percobaan (Susilo dan Karyanto, 2005). Sebelum cacing dihitung, tanah seluas 50 cm x 50 cm ditandai dengan tali plastik kemudian
digali dengan kedalaman 20 cm. Secara hati-hati cacing tanah diamati dan dihitung jumlahnya dengan menggunakan metode penghitungan dengan tangan (hand sorting), yaitu dengan memisahkan cacing dari tanah satu persatu.
Selanjutnya setelah dicapai kedalaman 20 cm, lubang Monolith tadi disiram dengan larutan mustard 0,175% sebanyak 1 L secara perlahan ke seluruh bagian
lubang. Selanjutnya ditunggu selama 5 menit dan dilihat kedalam lubang, apakah ada cacing yang keluar dari dalam lubang Monolith. Setiap cacing tanah yang didapat, dimasukkan ke dalam botol yang sudah diberi larutan formalin 4% dan
diberi label sesuai perlakuan. Setelah dibawa ke laboratorium, cacing tanah dicuci dengan air bersih dan dimasukkan kembali ke dalam botol kecil tadi yang
26
Jenis-jenis cacing tanah yang diperoleh diidentifikasi berdasarkan letak klitelum,
bentuk prostomium dan bentuk setae pada cacing tanah sesuai dengan metode dari Blakemore (2002).
Gambar 4. Tata letak metode Monolith pada pertanaman tebu
Keterangan :
= Monolith berukuran 50 cm x 50 cm = Mesofauna
= Mikroba dan Nematoda = Fisika dan kimia tanah
3.5.3 Analisis Tanah
Analisis C-organik dan pH tanah dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah
27
3.6 Variabel Pengamatan
Variabel utama yang diamati adalah:
1. Jumlah cacing tanah (ekor m-2) 2. Biomassa cacing tanah (g m-2)
3. Keanekaragaman cacing tanah atau jenis-jenis cacing tanah
Variabel pendukung yang diamati adalah: 1. Kadar C-organik tanah
2. pH tanah
Kupersembahakan Karya Sederhana ini Sebagai
Tanda Bakti, Hormat dan Kasih Sayang Kepada
Bapak dan Mama
Atas kerja keras, air mata, kasih sayang tiada henti, serta doa yang tulus hingga mengantarkan aku ke jenjang Perguruan Tinggi
Abang ku Tulus B. P. Batubara S.Pi. dan Adik ku Elsa Yunita Batubara atas nasehat, dorongan, dan semangat kepada ku
dan juga buat sahabat-sahabat ku atas semua kebersamaan dan dukungan selama penulis menyelesaikan skripsi
“WITH GOD ALL THINGS ARE POSSIBLE”
AMSAL 23 : 18
“Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.”
“Jangan pernah menyerah sebelum mencoba, lakukan dengan sungguh-sungguh
Judul Skripsi : PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) TAHUN KE 2 Nama Mahasiswa : Monnes Hendri Batubara
No. Pokok Mahasiswa : 0814013174
Program Studi : Agroteknologi
Jurusan : Agroteknologi
Fakultas : Pertanian
MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ainin Niswati, M.Agr.Sc. Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si. NIP 196305091987032001 NIP 196305081988112001
2. Ketua Jurusan Agroteknologi
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Prof. Dr. Ir. Ainin Niswati, M.Agr.Sc.
Sekertaris : Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si.
Penguji
Bukan Pembimbing : Ir. M. A. Syamsul Arif, M.Sc., Ph.D.
2. Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP 196108261987021001
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 18 September 1989 sebagai anak kedua dari pasangan Saudin Batubara dan Elvina Nainggolan.
Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di SD Xaverius 4 Way Halim Bandar
Lampung pada Tahun 2002, Sekolah Menengah Pertama di SMP Xaverius 4 Way Halim Bandar Lampung pada Tahun 2005, dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 12 Bandar Lampung pada tahun 2008. Pada Tahun 2008 penulis terdaftar
sebagai mahasiswa Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN).
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif di Persekutuan Mahasiswa
Oikumene Pertanian (POMPERTA) pada tahun 2009-2010 sebagai Anggota Seksi Persekutuan Umum POMPERTA dan pada tahun 2010-2011 sebagai Koordinator
Seksi Persekutuan Umum POMPERTA. Di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada tahun 2009-2010 sebagai Staff
Departemen Pengabdian Pada Masyarakat dan pada tahun 2010-2011 sebagai Kepala Departemen Komunikasi dan Informasi. Di Persatuan Mahasiswa Agroteknologi (PERMA AGT) pada tahun 2011-2012 sebagai Anggota Bidang
IV (Pengabdian Masyarakat). Penulis melaksanakan Praktik Umum pada Tahun 2012 di PT. Great Giant Pineapple, Terbanggi Besar Lampung Tengah dengan
Disk Plow dan Mold Board Plow di PT. Great Giant Pineapple (GGP) Terbanggi
SANWACANA
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah
memberikan segala berkat, anugerah, dan perlindungan-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Dengan selesainya penulisan skripsi ini, Penulis mengucapkan rasa terima kasih
yang setulus-tulusnya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Ir. Ainin Niswati, M.S., M.Agr.Sc., selaku pembimbing
pertama, yang telah memberikan bimbingan, motivasi, ide-ide cemerlang, dan pengorbanan baik moril maupun materil selama penulis menjalankan kuliah, melaksanakan penelitian hingga penulisan skripsi ini.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si., selaku pembimbing kedua, atas segala motivasi, ide-ide cemerlang, dan bimbingan yang tiada tara selama penulis menjalankan kuliah, penelitian hingga penulisan skripsi ini
berakhir.
3. Bapak Ir. M. A. Syamsul Arif, M. Sc., Ph. D selaku pembahas atas segala
petunjuk, saran, serta pengarahan dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Bapak Ir. Sunyoto, M.Agr, selaku pembimbing akademik yang telah
5. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
6. Bapak Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P., selaku Ketua Jurusan
Agroteknologi.
7. Seluruh dosen-dosen Program Studi Agroteknologi dan Fakultas Pertanian pada umumnya yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis
selama menempuh pendidikan di Universitas Lampung.
8. Ayah Penulis S. Batubara, Ibu E. Nainggolan, abangku Tulus B.P.
Batubara S.Pi. dan Adikku Elsa Yunita Batubara atas semangat, dorongan, doa, dan nasehat hingga aku dapat menyelesaikan pendidikan ini.
9. Tim GMP : Pak Alman, Pak Gusmat, Pak Budi, Pak Broto, Pak Yandri, Pak Achmad, Pak Solikhin dan Ibu Cici atas kerja sama dan bantuannya. 10.Tim Kelompok Penelitian : Budi Cahyono, Alexander Sibuea, Trisina Dwi
Pratiwi, Nyang Vania, Mastutik, dan Dewi atas suka duka selama ini. 11.Keluarga besar POMPERTA atas doa dan dukungan yang telah diberikan. 12.Teman-teman Agroteknologi : Daniel Simatupang S.P., Gimtar P.
Aritonang, Yurres dan yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis mendoakan, semoga Tuhan Yesus memberikan balasan dan anugerah
yang terindah kepada semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amin.
Bandar Lampung, 28 November 2012
Penulis,
V. KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas tidak berpengaruh terhadap populasi dan biomassa cacing tanah pada pertanaman tebu.
2. Tidak ada interaksi antara sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas pada
pertanaman tebu.
3. Terdapat 2 famili cacing tanah yang didapat dari hasil identifikasi, yaitu famili Megascolecidae dan famili Glossoscolecidae.
5.2 Saran
Dari hasil penelitian disarankan untuk melakukan pengamatan lanjut dalam jangka