• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Emosi Pada Syair Imam Ghazali Dalam Kitab إحياء علوم الدين “ “ /ῚḤYĀU U̕lŪMI AL-DĪNI/ (Pendekatan Psikologi Sastra)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Emosi Pada Syair Imam Ghazali Dalam Kitab إحياء علوم الدين “ “ /ῚḤYĀU U̕lŪMI AL-DĪNI/ (Pendekatan Psikologi Sastra)"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EMOSI PADA SYAIR IMAM GHAZALI DALAM KITAB “

ﻦ ﺪ ا

مﻮ ﻋ

ءﺎ ﺣإ

“ /Ὶ Y U ̕Ul MI AL-D NI/

(Pendekatan Psikologi Sastra)

SKRIPSI SARJANA

O L E H

SARAH DINYATI 060704011

PROGRAM STUDI SASTRA ARAB

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, tak henti-hentinya rasa syukur mengalir dalam benak penulis atas segala rahmat dan karunia Allah SWT yang telah menganugerahkan segala yang terbaik sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Tak lupa pula shalawat beriring salam penulis hadiahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, yang menegakkan ajaran Islam sehingga menjadi rahmat bagi semesta alam.

Skripsi yang berjudul “Analisis Emosi Pada Syair Imam Ghazali Dalam Kitab “

ﻦ ﺪ ا

مﻮ ﻋ

ءﺎ ﺣإ

“ /Ὶ Y U ̕Ul MI AL-D NI/ ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Program Studi Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Skripsi yang menggunakan objek syair Imam Al-Ghazali ini tentunya selesai berkat, bantuan, dorongan, dan semangat yang diberikan oleh banyak pihak. Untuk itu, penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada orang tua dan keluarga penulis atas segala dukungan moril dan materil yang tiada henti. Terima kasih juga penulis haturkan kepada sahabat, seluruh dosen serta staf Departemen Sastra Arab Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, hal ini tidak lain karena keterbatasan pengetahuan, kemampuan, serta pengalaman penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik, saran, maupun masukan lainnya demi perbaikan dan proses pembelajaran di masa yang akan datang. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin ya rabba al-‘alamin.

Medan, Maret 2010

(3)

I would like to thanks this people for

every lil thing they did,

that make my life

sparkling and shining with joy….

 Sembah sujud kepada yang paling berjasa kedua orang tua yang mencintai penulis sepanjang masa. Allāhummagfirlī wa liwālidayya wa-irham humā kamā rabbayānī sagīran. Abah tercinta,

Alimuddin Usman

, kekhawatiran,

pertengkaran, canda tawa yang membuatku selalu merindukanmu. Mama tercinta,

Nurhayati Usrah

, wanita luar biasa yang telah mengajari

segala-galanya, perjuangan hidup, keikhlasan, tanggung jawab yang menjadi inspirasi bagi penulis.

 Keluarga besar penulis, teristimewa kepada Abangda tersayang

Mansur

Oka Usman

“Bg Anchoy” yang dengan sabar membaca, mengkoreksi, serta

memberikan masukan positif dalam penyelesaian skripsi ini hingga akhir. Abangda

Ahmad Hafizuddin

serta kakak ipar tersayang

Natalia

.

AbangdaBobby Firmansyah & istri kakanda Ria Hesti Hapsari juga kedua buah hati mereka Haris Ryan Firmansyah & Hisyam Firmansyah yang menggemaskan. KakandaAfiatul Layalli & suami BgRahman Isnainiserta kedua “jagoannya” Abdillah Syauqie Ahmad Anshaari & Rafli Sadiq Shihab. Ke-4 ponakanku yang lucu dan pintar (semoga kalian menjadi anak yang sholeh), amin. Abangda Israr & istri kakanda Nazlah Aini, Abangda Benny Nurdiansyah (semoga sesegera mungkin menemukan partner hidupmu ya bang  ). Sisca Octavia & suami Francesco Mascolo “Bg Franci”. Thanks for everything. Walaupun kalian berada jauh, tetapi akan selalu dekat di hati ini.

 Teristimewa untuk Ibu

Dr. Rahimah M, Ag

selaku Dosen

Pembimbing I yang dengan ikhlas meluangkan waktunya kepada penulis untuk berdiskusi, memberikan dorongan semangat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Bapak

Drs. Bahrum Saleh M, Ag

selaku Dosen Pembimbing
(4)

(Andong Salmah, Andak Murlan, Wak Yong

Zah

yang jago bikin kue

, Atam Zainab, Acit Dadah

& Andak Somad, Om Hans, Pak Alam, Bu’

May

tersayang,

Kak Nana

untuk risolesnya yang enak , Sepupu2ku

tersayang:

Bg Ipan Subkhandi

yang bersedia direpotin 

,

Fiqah, Wanah, Azman & Sidik)

. Keluarga besar

alm. H. Ahmad Muslim

yang tak dapat penulis sebutkan satu

persatu, bukan karena tak ingin, bersyukur menjadi bagian dari kalian.

Fery Irawan,

maksih buat pinjaman flashdishnya yang udah dpake

selama 4 tahun 

 Sahabat2 terbaikku di SMA Negeri 2 Binjai: Yuni Yanti

Syahfitri

,

Tahri Jannah

,

Ari Malinda,

Sundari,

Milhud (I miz u all, pengen ketemu kalian)…

Ibnu Jarot Jauhari, Yapidzham, Zulfikar

Hasibuan

(jazakumullah khairan untuk persahabatan selama ini, maaf karena

sering kakak repotkan, ikhlas khan? hehehe).

Arfansyah,

sahabat terbaik sepanjang sejarah.

Harismuda P. Lubis

(my best friend, untuk kebaikan serta

pengorbanan selama ini).

Bg Zubeir

(syukran katsir ya akhi untuk doa & supportnya). Terima kasih

karena sudah mengusahakan yang terbaik.

Muhammad Arif

(syukran ya rif, sering membantu dalam menyelesaikan

tugas selama perkuliahan ).

 Sahabatku Chalimatun Sa’diah & Cut Novita Srikandi (aku menyayangi kalian).

(5)

Kalian lebih dari sekedar teman. Empat tahun masa perkuliahan yang penuh perjuangan telah kita lewati bersama, namun persaudaraan ini gak akan berakhir sampaii kapanpun.

Bg Murdep

(abang yang baik dan penuh perhatian, makasih buat

supportnya ya bg)..

 Ticka ‘Perempuan’ (si item yang introvert, temen curhat yang menyenangkan).

 Bg Febry Ichwan Butsi, Bg Vinsensius, Bg Liston(menarik diskusi dengan mereka).

 Huda Perdana Sitepu(udah jadi temen yang baik&menyenangkan belakangan ini).

Bg Surya Kelana,

thanks for your attention .

 Imaniuri Silaban, kenapa gak dari dulu aja bisa dekat sama kamu.

 Bg Try Yuwono (untuk curhatan & traktiran makan siangnya bg, sukses y bg ).

Ahmad Hidayat bin Arman

(‘keisengannya’ bisa membuatku

tersenyum).

 Last but not least untuk sahabat-sahabatku tersayang

Rodhiah,

Desfa Maulani

,

Sierra Putri Ardani

,

Fanny Yulia,

Nur Azizah..

Kalian bagaikan pelangi, tidak selalu ada setiap waktu, namun dunia terasa indah penuh warna di saat kalian ada. Terima kasih untuk kasih sayang serta perjuangan yang telah kita lalui bersama…
(6)

Terima kasih Ya Rabb,

Engkau telah memberikan kami ‘emosi’ melalui jalanMu yang unik.

Orang tua tercinta yang telah mendedikasikan waktu

untuk mendidik dan membesarkan penulis dengan

penuh kasih sayang.

Keluarga yang senantiasa memberikan kehangatan

tersendiri bagi penulis

Seluruh dosen yang telah mendidik dan membimbing

penulis layaknya lentera dalam gulita

Para sahabat yang telah meberi warna dan

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Rasa syukur tak terkira karena penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Berkat rahmat dan ridha Allah SWT, penulis banyak mendapat bantuan, dorongan, dan semangat yang diberikan oleh banyak pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Syaifuddin, M.A. Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Bapak Drs. Aminullah. M.A. Ph.D selaku Pembantu Dekan I. Bapak Drs. Samsul Tarigan selaku Pembantu Dekan II dan Bapak Drs. Parlaungan Ritonga. M,Hum. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Khairawati, M.A, Ph.D selaku Ketua Program Studi Sastra Arab dan Bapak Drs. Mahmud Khudri M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

3. Panitia ujian: Ibu Dra. Khairawati, M.A, PhD, Bapak Drs. Mahmud Khudri M.Hum, Bapak Syauri Syam, Lc, Ibu Dr. Rahimah, M.Ag serta Bapak Bahrum Saleh M.Ag, yang telah memberikan kritik serta masukan positif kepada penulis.

4. Dra. Nursukma Suri, M.Ag yang telah meminjamkan bukunya kepada penulis, seluruh Staf Pengajar Program Studi Sastra Arab khususnya dan staf pengajar Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara pada umumnya yang telah mendidik dan mencurahkan ilmunya kepada penulis selama masa perkuliahan.

5. Untuk Bang Andika selaku Staf Administrasi Departemen Sastra Arab yang sering direpotkan oleh penulis, serta membantu penulis dalam hal keadministrasian.

(8)

7. Untuk Bembenk (Ketua Teater ‘O’) makasih untuk akses peminjaman bukunya yah. K’ Eka Riyantika & Dek Moyang yang udah minjemin buku psikologinya. Tak lupa untuk Siti di IAIN, Tiwi yang udah meminjamkan laptopnya.

8. Abang dan Kakakanda stambuk ’05 Bg Dawie, Bg Faisal, Bg Fauzi (ex Sastra Arab ), Bg Hafizh, Bg Izala, Bg Lubis, Mukhlis (flashdishnya menyusul ya Bg), Bg Putra, Bg Surya, K’ Amah, K’ Ape, K’ Linda, K’ Puteri, K’ Qie2, K’ Reje, K’ Yunita.

9. Adik-adikku stambuk ’07-‘09 (Kia, Devi, Ucal, Darso Ok (makasih ya adikku untuk pinjaman laptopnya), Fateh, Dini, Ibnu, Yusuf (semoga studinya lancar) Zuhri, Aman, Sutan, Riski, Nurul (yang udah minjemin kk buku perpustakaan), Ummi, Bulan, Ana, Yati, Nisa, Desi, Rimta, Riska, Dina, Chiput, Fitri, Walimah, Nurul, Rouza, Budi, Ali, Agung, Aan, Halim.

10. Seluruh Mahasiswa Jurusan Sastra Arab yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Bahasa Arab (IMBA) tanpa terkecuali (Jazakumullahu khairan katsiran yach…).

11. Terkhusus untuk Ikatan Mahasiswa Bahasa Arab (IMBA) dan Pers Mahasiswa SUARA USU (para pendahulu serta generasi penerus) yang telah banyak mengajarkan penulis arti loyalitas, tanggung jawab, totalitas, serta dedikasi yang tinggi. Terima kasih, kiniku lebih siap menghadapi hidup.

12. Serta seluruh pihak yang telah memberikan bantuan yang tidak terhingga kapada penulis yang tak dapat penulis ucapkan satu-persatu, namun akan tetap diingat dan menempati ruang tersendiri di hati penulis.

Kiranya hanya Allah SWT yang dapat membalas semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Semoga diberikan balasan kebaikan yang berlipat ganda. Amin...

Medan, 2010

(9)

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN

Pedoman transliterasi yang digunakan adalah Sistem Transliterasi Arab - Latin Berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987 tertanggal 22 Januari 1988.

I. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan

ا

Alif - Tidak dilambangkan

ب

bā` b -

ت

tā` t -

śā` ṡ s dengan titik di atasnya

Jīm j -

hā` h dengan titik di bawahnya

خ

khā` kh -

Dāl d

-ﺛ

Żāl z z dengan titik di atasnya

rā` r -

ز

Zai z -

س

Sīn s -

Syīn sy -

șād ṣ s dengan titik di bawahnya

ض

ḍad ḍ d dengan titik di bawahnya

ط

țā` ț t dengan titik di bawahnya

zā` z z dengan titik di bawahnya

`ain ‘ Koma terbalik
(10)

fā` f -

Qāf q -

ك

Kāf k -

ل

Lām l -

م

Mīm m -

ن

Nūn n -

و

Wāwu w -

ه

hā` h -

Hamzah ` Apostrop, tetapi lambang

ini tidak di pergunakan untuk hamzah di awal kata

ي

yā` y -

II. Konsonan Rangkap

Konsonan rangkap, termasuk tanda syaddah, ditulis rangkap.

ﺔ ﺪﲪأ

ditulis Ahmadiyyah

III. Tā`marbutah di akhir kata

1. Bila dimatikan ditulis h, kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah terserap menjadi bahasa Indonesia, seperti salat, zakat, dan sebagainya.

ﺔ ﺎﲨ

ditulis jamā’ah

2. Bila dihidupkan ditulis t

ﺌﺎ وﻷﺒ

ﺔ ﺒﺮ

ditulis karāmatul-aliyā`

IV. Vokal Pendek

Fathah ditulis a, kasrah ditulis i, dan dammah ditulis u.

V. Vokal Panjang

A panjang ditulis ā, i pajang ditulis , dan u panjang ditulis ū, masing-masing dengan tanda hubung (-) di atasnya.

(11)

Fathah + yā` tanpa dua titik yang dimatikan ditulis ai, dan fathah + wāwu mati ditulis au.

VII. Vokal-vokal pendek yang berurutan dalam satu kata Dipisah dengan apostrof (`)

أأ

ditulis a`antum

ditulis mu`annas

VIII. Kata Sandang Alif + Lām

1. Bila diikuti huruf qamariyah ditulis al-

نآﺮ ﺒ

ditulis Al-Qur`an

2. Bila diikuti huruf syamsiah, huruf l diganti dengan huruf syamsiah yang mengikutinya.

ﺔ ﺒ

ditulis as-sy ’ah

IX. Huruf Besar

Penulisan huruf besar disesuaikan dengan EYD. X. Kata dalam Rangkaian Frasa atau Kalimat

1. Ditulis kata per kata, atau

(12)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...

UCAPAN TERIMA KASIH ...

DAFTAR ISI ...

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN ...

ABSTRAKSI ...

BAB I PENDAHULUAN ……… 1.1 Latar Belakang ………. 1.2 Perumusan Masalah ………. 1.3 Tujuan Penelitian ………. 1.4 Manfaat Penelitian ... 1.5 Metode Penelitian ...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 3.1 Gambaran Umum Emosi ... 3.1.1 Fungsi Emosi ... 3.2Biografi Al-Ghazali ... 3.3Tinjauan tentang Psikologi Sastra ... 3.4Analisis Emosi Pada Kitab

ﺪ ﺒ

مﻮ

ﺌﺎ ﺐ

”/`I y `u ‘Ul mi al-dīni/

dalam bab amal ma’ruf dan nahi munkar ... 3.4.1 Fungsi Syair...

BAB IV PENUTUP ………. 4.1 Kesimpulan ………... 4.2 Saran ………...

(13)

DAFTAR SINGKATAN

SWT : Subhanahu WaTa’ala SAW : Salallahu Waalaihiwasallam

Menteri P & K : Menteri Pendidikan dan Kebudayaan SKB : Surat Keputusan Bersama

RI : Republik Indonesia t.t : tanpa tahun

(14)

ABSTRAKSI

Sarah Dinyati, 2010. Analisis Emosi Pada Syair Imam Ghazali Dalam Kitab

ﺪ ﺒ

مﻮ

ﺌﺎ ﺐ

”/`I y `u ‘Ul mi al-dīni /. Medan: Program StudiSastra Arab Kakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Emosi diartikan sebagai sebuah ungkapan perasaan dan pikiran khas seseorang terhadap sesuatu yang sedang terjadi di dalam kehidupannya. Sedangkan para pakar psikologi cenderung tidak memberi definisi pada emosi karena khawatir memunculkan perdebatan yang tak berujung.

Penelitian ini mengkaji tentang emosi yang terdapat pada syair Al-Ghazali dalam kitab “

ﺪ ﺒ

مﻮ

ﺌﺎ

”/`I y `u ‘Ul mi al-dīni/.

Penelitian ini menggunakan teori M. Darwis Hude.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode analisis deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa emosi dasar manusia terbagi menjadi 7 yaitu: (1) emosi senang, (2) emosi marah, (3) emosi sedih, (4) emosi takut, (5) emosi benci, (6) emosi heran dan (7) emosi kaget. Adapun emosi yang terdapat pada syair Al-Ghazali dalam kitab “

ﺪ ﺒ

مﻮ

ﺌﺎ ﺐ

”/`I y `u ‘Ul mi al-dīni/ ditemukan sebanyak 4 bentuk yaitu: (1) Emosi senang yang masuk ke dalam kategori emosi senang terhadap kesulitan orang lain, emosi senang terhadap harta, emosi senang mencintai dan dicintai Allah dan emosi senang berlebihan.

(2) Emosi marah yang masuk dalam kategori emosi marah menumpas kebatilan.

(3) Emosi takut yang masuk ke dalam kategori emosi takut pada hubungan metapersonal.

(15)

ABSTRAKSI

Sarah Dinyati, 2010. Analisis Emosi Pada Syair Imam Ghazali Dalam Kitab

ﺪ ﺒ

مﻮ

ﺌﺎ ﺐ

”/`I y `u ‘Ul mi al-dīni /. Medan: Program StudiSastra Arab Kakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Emosi diartikan sebagai sebuah ungkapan perasaan dan pikiran khas seseorang terhadap sesuatu yang sedang terjadi di dalam kehidupannya. Sedangkan para pakar psikologi cenderung tidak memberi definisi pada emosi karena khawatir memunculkan perdebatan yang tak berujung.

Penelitian ini mengkaji tentang emosi yang terdapat pada syair Al-Ghazali dalam kitab “

ﺪ ﺒ

مﻮ

ﺌﺎ

”/`I y `u ‘Ul mi al-dīni/.

Penelitian ini menggunakan teori M. Darwis Hude.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode analisis deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa emosi dasar manusia terbagi menjadi 7 yaitu: (1) emosi senang, (2) emosi marah, (3) emosi sedih, (4) emosi takut, (5) emosi benci, (6) emosi heran dan (7) emosi kaget. Adapun emosi yang terdapat pada syair Al-Ghazali dalam kitab “

ﺪ ﺒ

مﻮ

ﺌﺎ ﺐ

”/`I y `u ‘Ul mi al-dīni/ ditemukan sebanyak 4 bentuk yaitu: (1) Emosi senang yang masuk ke dalam kategori emosi senang terhadap kesulitan orang lain, emosi senang terhadap harta, emosi senang mencintai dan dicintai Allah dan emosi senang berlebihan.

(2) Emosi marah yang masuk dalam kategori emosi marah menumpas kebatilan.

(3) Emosi takut yang masuk ke dalam kategori emosi takut pada hubungan metapersonal.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Dalam karyanya Emotional Intelegence, psikolog dan pemerhati perilaku manusia Daniel Goleman memaparkan secara garis besar bahwa, kecerdasan emosional memberi pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan keberhasilan seseorang di dalam kehidupannya (Lihat: Daniel Goleman. 2006. Emotional Intelegence. Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama).

Manusia dikenal sebagai makhluk dengan emosi yang beragam. Mengapa emosi perlu dikaji, dan apa manfaat dari pengetahuan itu? untuk menjawab pertanyaan ini, maka Goleman menawarkan sebuah teori yang ia sebut Emotional Quotient (EQ), yang mana menurut teori ini, keberhasilan seseorang dalam hidupnya tidak hanya ditentukan oleh kemampuan intelegensi, melainkan didukung oleh kemampuan penguasaan emosi yang baik. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir. Hal senada juga diungkapkan oleh Steven Covey dalam karyanya “The Seven Habit Effective People”.

Meskipun istilah emosi sangat dekat dengan kehidupan manusia, namun kata “emosi” masih menjadi istilah yang maknanya diperdebatkan oleh para ahli psikologi maupun ahli filsafat. Sementara pengertian yang terlanjur berkembang di tengah masyarakat pun tak luput pula dari kekeliruan definitif di mana emosi seringkali diidentifikasi dengan “marah”, padahal, marah adalah salah satu ekspresi perasaan manusia ketika menghadapi sebuah realitas tertentu yang ada di hadapannya.

Menurut etimology bahasa, kata emosi berasal dari akar kata movere (Latin), berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e” untuk memberi arti “bergerak menjauh”. Sedangkan makna harfiah tentang emosi (emotion), dalam

(17)

Masih dalam kerangka pengertian emosi, lebih jauh lagi Goleman memaparkan bahwa, emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecendrungan untuk bertindak (Goleman, 2006: 411). Penulis cenderung menyepakati pemaparan Goleman tersebut untuk mendeskripsikan emosi secara lebih spesifik sebagai sebuah ungkapan perasaan dan pikiran khas seseorang, terlebih jika makna tersebut disejajarkan dengan pemaparan Rakhmat (1994) dalam (Sobur, 2003: 400). Dengan ungkapan dan penuturan yang cukup khas, Rakhmat menyatakan bahwa emosi memberikan bumbu kepada kehidupan, tanpa emosi, hidup ini kering dan gersang. Emosi dapat merupakan kecendrungan yang membuat seseorang menjadi frustasi, tetapi emosi juga bisa menjadi modal untuk meraih kebahagian dan keberhasilan hidup. Semua itu bergantung pada emosi mana yang dipilih dalam reaksi seseorang terhadap orang lain.

Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa wilayah kajian emosi berada dalam aspek kejiwaan dan perilaku manusia. Kesimpulan ini semakin dikukuhkan oleh Darwis Hude (2006) yang membagi ekspresi emosi ke dalam dua bagian, yaitu ekspresi emosi positif dan negatif. Landasan teologis (Al-Qur’an) yang dijadikan rujukan utama oleh Hude dalam membangun teori-teorinya tersebut menunjukkan ekspresi emosi positif merupakan emosi yang menyenangkan dan diinginkan oleh setiap orang seperti:

(1) Cinta “

” /al-hubbu/.

Pada umumnya, cinta tertuju kepada Allah, keluarga, harta (dalam berbagai bentuknya), lawan jenis, hasil karya (budaya), kesucian, idola. Sementara itu, psikologi membahas cinta dalam kaitan antarsesama manusia.

(2) Gembira dan Bahagia “

و

ﺘﺮ

”/fari a wa sa̒idun/.

Emosi gembira dan bahagia umumnya dipahami sebagai segala sesuatu yang melahirkan kesenangan dalam kehidupan. Kesenangan itu pada tataran praktis bisa berwujud material atau immaterial, bergantung pada persepsi masing-masing.

(3) Euforia (Euphoria).

(18)

Sedangkan ekspresi emosi negatif merupakan emosi yang sejatinya tidak dikehendaki oleh manusia, sehingga selalu diusahakan untuk dihindari. Emosi negatif yang kerap menghantui manusia seperti:

(1) Kecemasan “ ” /qalaqun/.

Kecemasan merupakan warna dalam kehidupan seseorang, karena memiliki banyak reaksi seperti kegelisahan, berkeringat dingin, bahkan berjalan mondar-mandir akibat khawatir akan terjadi hal-hal negatif dalam diri seseorang. Pada dasarnya, kecemasan membawa akibat yang tidak baik bagi kesehatan mental seseorang. Orang yang selalu dihinggapi kecemasan dipastikan akan terus-menerus tertekan dan jauh dari ketenangan.

(2) Fobia“

ﺎ ﻮ ﺒ

بﺎ ﺮ ﺒ

/al-ruh b al-f biy /

Ketakutan merupakan salah satu instrumen penting yang diperlukan manusia untuk mempertahankan kehidupan. Dengan emosi takut yang muncul, manusia dapat mengambil sikap dan tindakan untuk mempertahankan diri. Namun, ketakutan itu akan menjadi fobia manakala terjadi dalam waktu yang panjang.

Menurut Kartini Kartono (1989: 112) fobia adalah ketakutan atau kecemasan yang abnormal, tidak rasional, dan tidak bisa dikontrol oleh situasi atau obyek tertentu. Rasa takut itu tidak masuk akal dan disadari oleh pengidapnya, namun ia tak dapat menjelaskan atau mengatasinya.

(3) Marah dan Benci “

و

/gaḍiba wa abgaḍa/.

Emosi marah adalah emosi yang paling sering muncul dalam pembicaraan sehari-hari karena masyarakat umumnya mengidentikkan istilah emosi dengan marah. Dalam perspektif psikologi, memendam amarah bsa menimbulkan kegoncangan mental.

Menarik untuk disimak bahwa ketika membahas emosi, para ahli tidak memulainya dengan definisi yang lazim, pembahasan tentang emosi biasanya diawali dengan contoh-contoh konkrit dalam kehidupan sehari-hari yang nyata dirasakan, baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian (Hude, 2006: 18).

(19)

muncul pada diri seseorang bergaris-lurus dengan pengalaman atau realitas kehidupan yang ia hadapi.

Aspek emosi ini juga dijumpai dalam karya sastra yang memerlukan daya nalar yang tinggi dari penulis atau pembaca. Emosi ini disebabkan adanya pertautan rasa (hati) dari dua sisi yakni penulis dan pembaca tersebut. Ada sebuah adagium yang mengatakan bahwa, “Hati hanya dapat disentuh dengan hati” ungkapan ini penulis fahami maksudnya adalah, hati manusia dapat tersentuh sisi-sisi emosionalitasnya ketika ia menangkap sebuah informasi yang datangnya bersumber dari dalam (hati) juga.

Sastra, sebagaimana yang mafhum diketahui adalah suatu kegiatan kreatif atau sebuah karya seni yang terwujud dalam bentuk bahasa. Istilah ‘sastra’ kemudian diadaptasi untuk menyebut sebuah gejala budaya yang dapat dijumpai di tengah-tengah masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan keberadaannya tidaklah merupakan keharusan, namun sastra dapat menjadi tolok ukur serta cerminan peradaban sebuah masyarakat. Karena pada umumnya sebuah karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Kehadiran sastra senantiasa dilatar-belakangi oleh sebuah keinginan untuk menaruh kepedulian terhadap masalah-masalah kemanusian.

Para penggiat dan pemerhati sastra semacam Fannanie menyatakan bahwa sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu menggunakan aspek estetik, baik yang didasarkan pada aspek kebahasaan maupun makna (Fananie, 2000: 6).

Sementara Abdul Azis dalam (Muzakki, 2006: 32) secara lebih spesifik menyebutkan sastra dalam bahasa Arab sebagai :

ﺔ ﺛﺮ ﺒ

ﺪ و

ﻮ ﺪو

بﺬﻬو

ﺮﺆ

وﺒﺮ

بﺚ ﺒ

بﻮ ﺎ

(20)

menjauhkan perbuatan yang tercela dengan menggunakan gaya bahasa yang indah’.

Adapun syair yang diadaptasi dari bahasa Arab “syi’ir” ( perasaan) menurut Husein dalam (Muzakki, 2006:45) adalah:

يﺬ ﺒ

م ﺒ

ﺮ ﺒ

ﺎﻬ

ﺌﺒﺰ ﺒ

نزﻮ ﺒو

ﻮ ﺒ

ﺔ ﺮ ﺒو

ﺮ ﺒو

لﻮ ﺒ

/al-syi’ru huwa al-kal mu al-lażīya‘tamidu lafzuhu ‘ala al-m sīqīwa al-wazni fayata’allafu min ajz `ayusyibihu ba’ḍuhāba’ḍan fi aṭ-uli wa al-qaṣriwa al-harakati/. ‘syair adalah susunan beberapa kata-kata yang pengucapannya terkait dengan irama dan pola, karena itu syair tersusun dari beberapa bagian bunyi harkat yang satu sama lain mempunyai kesamaan bunyi, baik bunyi harkat panjang maupun pendek.’

Secara masyhur diketahui bahwa bangsa Arab memiliki apresiasi yang cukup tinggi terhadap syair. Mereka memiliki pandangan bahwa syair adalah puncak keindahan dalam sastra, sebab syair adalah suatu bentuk gubahan yang dihasilkan dari kehalusan perasaan dan keindahan daya khayal, sehingga tidaklah begitu mengherankan jika bangsa Arab lebih menyenangi syair dibandingkan dengan hasil sastra lainnya.

Dalam disiplin ilmu sastra, syair-syair yang ditulis oleh para ulama sufi seperti Al-Ghazali, Jalaluddin Rumi, Rabi’ah Al-Adawiyah dan yang lainnya, masuk dalam kategori sastra murni. Tokoh pemerhati sastra sufi seperti Abdul Hadi WM menyatakan bahwa sastra sufi adalah misal (simbolisasi) dari ide-ide, penglihatan dan pengalaman kerohanian (Hadi, 2010: 75).

Dengan mengutip Braginsky, Hadi mengemukakan bahwa, sastra sufi adalah karangan-karangan mengenai perjalanan seorang ahli suluk dalam mencapai kesempurnaan rohani. Tujuannya ialah musyahadah, penyaksian bahwa Allah itu Esa. Argumentasi tersebut diperkuat Hadi dengan mengutip Nasr bahwa, sastra sufi tidak lain adalah karangan ahli-ahli tasawuf berkenaan dengan peringkat-peringkat (maqamat) dan keadaan-keadaan rohani (ahwal) yang mereka capai. Setiap pengarang sufi memberi gambaran dan tanggapan berbeda tentang kedua hal yang mereka alami. Salah satu contoh terbaik karya penyair sufi yang dapat menjelaskan apa hakikat sastra sufi itu, serta bagaimana pengarangnya mengolah bahan verbal karyanya menjadi penuturan simbolik sastra, ialah Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-`Attar (Hadi, 2010: 76).

(21)

mereka rasakan. Dimana aspek-aspek tersebut berada di dalam wilayah kejiwaan/psikologi manusia. Senada dengan hal ini, Rene Wellek dan Austin Warren (1962: 92-93) dalam (Ratna, 2004: 350) menyatakan bahwa dalam sebuah karya sastra yang berhasil, psikologi sudah menyatu menjadi karya seni. Oleh karena itu, tugas peneliti adalah menguraikannya kembali sehingga menjadi jelas dan nyata apa yang dilakukan oleh karya tersebut. Karena di dalam menelaah karya sastra, perlu dibantu melalui pendekatan dari luar karya tersebut, salah satunya adalah pendekatan psikologi yang berguna untuk melengkapi penelaahan terhadap suatu karya.

Wellek dan Warren adalah orang yang pertama kali mengaitkan sastra pada psikologi. Dengan mengusung teori psikoanalisa Sigmund Freud (1939-1956) dalam pengaruhnya kepada ilmu sastra. Mereka berusaha memahami sastra melalui pendekatan secara psikologi pada setiap karya sastra, baik secara pendekatan pengarang sastra, karya-karya sastra yang dihasilkannya, maupun para pembaca karya sastra itu sendiri. Pada tataran ini, psikologi sastra merupakan gabungan dari dua disiplin ilmu terapan yang berbeda, yakni ilmu psikologi dan ilmu sastra.

Sehubungan dengan adanya pendekatan psikologi sastra dalam memahami karya sastra, baik melalui pendekatan pengarang sastra, karya-karya sastra yang dihasilkan maupun para pembaca karya sastra itu sendiri, maka kata kunci yang melandasi penelitian ini adalah emosi Al-Ghazali yang ada di dalam syairnya yang terdapat dalam kitab “

ﺪ ﺒ

مﻮ

ﺌﺎ ﺐ

”/`I y `u ‘Ul mi al-dīni/.Penulis menjadikan syair-syair Imam Ghazali dalam karya monumentalnya khususnya bab amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai pusat orientasi kajian dan penulisan.
(22)

1.2Batasan Masalah

Berangkat dari latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas, maka penulis memberikan batasan agar penelitian ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari pokok bahasan yang diinginkan. Adapun yang menjadi batasan masalah yakni :

1. Bagaimanakah emosi yang terdapat pada syair Imam Ghazali dalam kitab “

ﺪ ﺒ

مﻮ

ﺌﺎ ﺐ

”/`I y `u ‘Ul mi al-dīni/(buku asli jilid 2 hal 333 – 385) khususnya tentang syair amar ma’ruf dan nahi munkar?

1.3Tujuan Penelitian

Secara teoritis, tujuan utama yang hendak dicapai penulis dalam penelitian ini, yaitu :

1. Mengungkapkan emosi yang terdapat pada syair Imam Ghazali dalam kitab “

ﺪ ﺒ

مﻮ

ﺌﺎ ﺐ

”/`I y `u ‘Ul mi al-dīni/ khususnya tentang syair amar ma’ruf dan nahi munkar.

1.4Manfaat Penelitian

Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam memperkaya penelitian kesusasteraan antara lain :

1. Untuk memperluas wawasan dan pemahaman penulis tentang emosi yang didapati pada syair Imam Ghazali dalam kitab “

ﺪ ﺒ

مﻮ

ﺌﺎ ﺐ

”/`I y `u ‘Ul mi al-dīni/ khususnya tentang syair amar ma’ruf dan nahi munkar. 2. Untuk memaparkan relasi antara sebuah karya sastra dengan emosi

pengarangnya, yakni syair amar ma’ruf dan nahi munkar karya Imam Ghazali dalam kitab “

ﺪ ﺒ

مﻮ

ﺌﺎ ﺐ

”/`I y `u ‘Ul mi al-dīni/.

3. Untuk memahami makna terdalam yang terkandung dalam syair Imam Al-Ghazali melalui pendekatan ilmu psikologi terapan.

(23)

1.5Metode Penelitian

Adapun penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode Analisis Deskriptif, yaitu suatu metode dengan jalan mengumpulkan data, menyususun atau mengklasifikasi, menganalisis data dan menginterpretasikannya.

Sumber data yang diambil dalam penelitian ini adalah berupa ragam bahasa tulis yang berbentuk syair Imam Ghazali dalam kitab “

ﺪ ﺒ

مﻮ

ﺌﺎ ﺐ

”/`I y `u ‘Ul mi al-dīni/ khususnya tentang syair amar ma’ruf dan nahi munkar. Adapun data berupa data representatif, yakni data sebagaimana adanya. Selain itu, penulis juga menggunakan metode Telaah Wacana dengan upaya mencermati tulisan Imam Al-Ghazali yang berbentuk syair kemudian menguraikannya secara narasi.

Dalam memindahkan tulisan Arab ke dalam tulisan latin, penulis memakai sistem transliterasi Arab-Latin berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987 tanggal 22 Januari 1988.

Adapun tahap-tahap yang dilakukan oleh peneliti dalam hal ini adalah :

1. Mengumpulkan referensi yang berhubungan dengan bahasan penelitian. Kemudian mempelajari dengan cermat dan menganalisis data yang telah diperoleh dari referensi yang ada.

2. Mengklasifikasi data.

3. Data-data yang telah dipelajari, dianalisis dengan mengacu kepada teori M. Darwis Hude (2006) sebagai rujukan primer, serta Atar Semi (1988) dan Siswantoro (2005) sebagai rujukan skunder.

4. Kemudian disusun menjadi suatu laporan penelitian berupa skripsi.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sepanjang penelusuran penulis, penelitian tentang analisis emosi pada syair, khususnya syair ulama sufi yang saat ini sedang penulis lakukan, merupakan penelitian pertama yang dilakukan oleh mahasiswa untuk meraih gelar kesarjanaan di Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Disamping asosiasi, emosi merupakan faktor yang amat penting dalam sebuah puisi/syair, bahkan kedua instrumen inilah yang menjadi pembeda antara sebuah puisi dengan karya sastra lainnya. Emosi memberi pengaruh terhadap cara berbuat dan berpikir seseorang. Ia dapat memberi semangat kepada seseorang untuk berkembang dan sebaliknya ia dapat membuat frustasi bila tidak dikendalikan dengan baik.

Penulis berusaha membahas tentang emosi pada syair Imam Ghazali dalam kitab “

ﺪ ﺒ

مﻮ

ﺌﺎ ﺐ

”/`I y `u ‘Ul mi al-dīni/ khususnya bab yang memuat syair amar ma’ruf dan nahi munkar. Pilihan terhadap Imam Ghazali dan syair-syair amar ma’ruf dan nahi munkar ini, tidak hanya berangkat dari kekaguman subjective penulis terhadap karya-karya beliau. Tetapi berlandaskan pula dari sebuah pandangan teologis bahwa setiap muslim memiliki kewajiban untuk menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar. Sebagaimana yang dinyatakan dalam firman Allah SWT surat An-Nahl: 90 yang berbunyi:

ﻰ ﺒو

ﺮ ﺒو

ﺌﺎ

ﻰﻬ و

ﺮ ﺒ

ىﺛ

ﺌﺎ ﺒو

نﺎ

ﺒو

لﺪ ﺎﺮ ﺄ

ﷲﺒ

نﺒ

:

)

(

/inna allaha ya`muru bil’adli wa al-i s ni wa īt `i żi al-qurba wayanha ‘ani al-fa sy `i wa al-munkari wa al-bagi/. ‘sesungguhnya Allah memerintahkan menjalankan keadilan, berbuat kebaikan dan memberi kepada kerabat-kerabat dan Ia melarang perbuatan keji, pelanggaran dan kedurhakaan’

(Qs. An-Nahl: 90).

(25)

memahami kedudukan amar ma’ruf dan nahi munkar, baik sebagaimana yang diulas oleh Imam Al-Ghazali maupun yang dipaparkan oleh ulama-ulama lain melalui aktivitas dakwah mereka.

Sebagai seorang sufi, pemikir, dan ulama, perjalanan rohani Al-Ghazali mampu membawa karya-karyanya menembus ruang dan waktu, sehingga tetap terasa segar hingga saat ini. Pendapat-pendapatnya, sering dijadikan rujukan sekaligus pada saat yang sama menimbulkan berbagai perdebatan dan diskusi serius dikalangan cendikiawan. Apa yang beliau tuangkan dalam karyanya ini secara tegas menggambarkan situasi emosi Al-Ghazali ketika menghadapi realitas masyarakat pada zamannya. Berkenaan dengan hal ini, Semi (1988: 111) menuturkan bahwa emosi seseorang dapat membuat sebuah karya sastra jadi memukau. Ia juga menambahkan bahwa emosi yang ada dalam syair harus sesuai dengan tujuan serta situasi dan kondisi. Karena kesesuaian dan keharmonisan sangat menentukan keberhasilan seorang penyair. Sensitivitas seorang penyair dapat menyebabkan ia mampu menangkap momen estetis yang merupakan dasar penciptaan karyanya.

Faktor emosi memberi pengaruh yang sedemikian kuat dalam sebuah karya seni. Peristiwa-peristiwa yang memiliki muatan emosional hadir silih berganti, sejatinya turut memperkaya pengalaman hidup. Dengan emosi, manusia bisa melakukan tindakan yang dianggap perlu untuk stabilisasi kehidupannya dan mengkomunikasikan apa yang dialami saat itu kepada orang lain. Karena emosi manusia sangat beragam, sehingga bahasa yang dimiliki amat terbatas dalam mendeskripsikan dan mendiferensiasikannya secara akurat.

(26)

misalnya gambaran dalam kondisi bahagia, marah, takut, benci, kaget, atau dalam keadaan yang lain.

Adapun yang menjadi emosi dasar manusia menurut Hude (2006: 137) meliputi: emosi senang, marah, sedih, takut, benci, heran dan kaget.

Hampir semua pakar psikologi berpendapat bahwa emosi manusia bersifat dwirasa, dalam arti tidak ada emosi yang berdiri secara tunggal. Benci dan sayang saling bercampur. Seorang laki-laki mungkin membenci seseorang wanita tetapi sekaligus dia juga tertarik kepadanya. Konflik emosi, pada dasarnya adalah konflik antara perasaan bawah sadar dengan keinginan-keinginan yang muncul dari luar (Semi, 1989: 47).

Peninjauan emosi juga terdapat dalam karya sastra. Semi menyebutkan bahwa pemanfaatan emosi dalam suatu karya sastra akan tergantung kepada pembentukan asosiasi mental. Asosiasi mental ini pada dasarnya merupakan kesadaran diri dalam menghubung-hubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kenyataannya, asosiasi mental sangat penting dan menentukan dalam penciptaan karya sastra dan menentukan pula dalam berespon terhadap puisi. Asosiasi mental adalah ide-ide, imajinasi, dan perasaan yang dihubungkan dengan objek yang real dengan memanfaatkan kata (Semi, 1988: 111).

Asosiasi mempunyai kekuatan yang besar untuk membangkitkan emosi. Misalnya dalam syair yang menceritakan tentang wajib amar ma’ruf dan nahi munkar dalam kitab “

ﺪ ﺒ

مﻮ

ﺌﺎ ﺐ

”/`I y `u ‘Ul mi al-dīni/ (Al-Ghazali, t.t : 344)

ﺎ ﻮﳘ

ت

ﺎ ﺪ ﺒ

ىﺜأ

ﲔ ﺮ ﺒ

مﺮ و

ﺒﺛﺐ

ﺗﺎ

ﺒﺎ

ﺬ و

/ara al-duny liman hiyafi yadaihi/ /hum m nkullum kaṡuratladaihi/

/tuhīnual-mukramīnalah biṣugrin/ /watukrimu kullu man h nat̒alaihi/ /iz ż stagnaita̒an syaiinfada̒hu/ /wakhużm anta mukht jun ilaihi/ (Ghazali, t.t: 344).

‘aku melihat dunia,

bagi orang yang mempunyainya, merupakan duka-cita,

setiap kali bertambah banyak padanya. dan itu menghinakan orang,

(27)

dan memuliakan tiap-tiap orang, yang menghinakan kepadanya. apabila engkau tidak memerlukan, akan sesuatu, maka tinggalkanlah’. dan apa yang engkau perlukan,

maka ambilkanlah!’ (Yakub, 1978: 486).

Dalam kitab aslinya, syair di atas berjumlah 3 baris. Syair ini terdapat di halaman 344 buku “

ﺪ ﺒ

مﻮ

ﺌﺎ ﺐ

”/`I y `u ‘Ul mi al-dīni/ jilid 2 Penerbit: Darul Kutub Ilmiah.

Pada umumnya, seseorang yang membaca sebuah syair sudah barang tentu mempunyai kemampuan berasosiasi. Kemampuan ini tentu tidak timbul begitu saja, melainkan harus dibina dan dikembangkan melalui banyak membaca serta memikirkan tentang makna kehidupan yang dialami.

Secara sepintas, tema utama yang diusung dalam syair tersebut dapat dengan mudah diinterpretasikan. Hal tersebut dapat ditelusuri dengan menelaah struktur bahasa penyair. Pendekatan kebahasaan yang dilakukan oleh Al-Ghazali pada syair tersebut secara tidak langsung menunjuk pada sebuah ajaran dalam tasawuf yaitu zuhud. Zuhud adalah sebuah ajaran yang mendorong manusia agar membebaskan hatinya dari hal-hal yang bersifat materi (dunia). Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, akan tetapi tidak meletakkan dunia di dalam hati. Para ulama sufi menegaskan bahwa hakikat zuhud adalah menyingkirkan semua kenikmatan dunia dari kalbu (Al-Kharaz, 2003: 45).

(28)

Tahapan inilah yang ingin dilukiskan Al-Ghazali melalui syairnya tersebut. Orang-orang yang mengikuti petunjuk Allah SWT dalam segala perbuatannya adalah orang-orang yang memiliki visi jauh ke depan dan derajat mereka di sisi Allah adalah yang paling tinggi. Dengan demikian, bagi orang-orang yang bersikap zuhud, tindakan menjaga jarak dari dunia serta tidak meletakkannya dalam hati adalah suatu keharusan dengan tanpa perlu mengharapkan balasan dari Allah SWT. Semua yang dilakukan, murni karena mengikuti petunjuk Allah demi memuliakan keagungan-Nya serta meyakini bahwasanya Allah tidak akan menyia-nyiakan kebajikan dari orang-orang yang berbuat baik.

Syair tersebut memiliki relevansi dengan perintah Allah SWT kepada umat manusia untuk bersikap zuhud berkenaan dengan pemerolehan kekayaan, melalui firmanNya dalam potongan ayat berikut ini :

ﻰ ﺒ

ةﺮ ﺒو

ﺎ ﺪ ﺒ

ﺤﺎ

/qul matu al-duny qalilun, wa al- khiratu khairun liman attaqa/.

’katakanlah, kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa’ (Qs. An-Nisa’: 77).

Dalam Al-Quran, ada banyak terdapat ayat-ayat lain yang menekankan betapa kehidupan dunia dan segala keindahannya hanyalah kesenangan temporal. Tak jarang ayat tersebut dibarengi dengan penekanan bahwa kehidupan akhirat adalah kehidupan abadi yang harus dipersiapkan bekalnya sejak dini. Seruan untuk bersikap zuhud terhadap dunia bukanlah berarti meninggalkan kehidupan dunia secara total. Dunia adalah alat dan bukan tujuan hidup manusia. Syair ini merupakan cerminan diri dari Al-Ghazali, bisa pula dikatakan kritik terhadap dirinya sendiri dalam mencari hakikat kebenaran. Syair tersebut termasuk ke dalam kategori sastra sufi, yakni sastra keagamaan yang menghubungkan kebenaran hakiki ajaran agama itu sendiri dengan menyatukan dimensi sosial yang menunjuk pada kehidupan manusia serta transdental (keindahan Ilahi) yang menunjuk pada kehidupan yang lebih tinggi, yang berpuncak pada Yang Gaib (Allah). Dimensi yang kedua ini memberikan kedalaman pada suatu karya, menopangnya dengan nilai-nilai kerohanian, membuat suatu karya seni bersifat vertikal atau meninggi (Hadi, 2004: 1).

(29)

kehidupan seseorang di dunia, sehingga diharapkan dapat membuat kita menjadi pribadi yang utuh.

Allah Ta’ala menyifatkan orang-orang mukmin untuk mengerjakan yang baik (amar ma’ruf) dan melarang mengerjakan yang salah (nahi munkar) yang dapat kita mulai dari hal-hal yang kecil seperti menghormati orang tua, memuliakan tamu, bertutur kata yang santun dan sebagainya. Dalam syair tersebut, jelas terungkap bahwasanya untuk urusan ibadah dan ketaatan terhadap Allah SWT wajib dilakukan oleh setiap manusia. Seperti contoh bahwa tiap-tiap orang awam yang mengetahui syarat-syarat shalat, maka haruslah ia mengajarkan orang lain. Karena kalau tidak, maka ia bersekutu pada dosa (Yakub, 1978: 558).

Syair ini mengandung aspek psikologis yang menjelaskan tentang upaya meraih kecintaan terhadap Allah dengan jalan berbuat kebajikan dengan lebih mengedepankan aspek-aspek ukhrawi tanpa mengesampingkan masalah duniawi. Aspek psikologi pada gilirannya masuk ke dalam wilayah sastra yang menurut Hardjana melalui empat jalan utama: (1) pembahasan tentang proses penciptaan sastra, (2) pembahasan psikologi terhadap pengarangnya (baik sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi), (3) pembicaraan tentang ajaran dan kaidah psikologi yang dapat ditimba dari karya sastra, dan (4) pengaruh karya sastra terhadap pembacanya (Hardjana, 1991: 60).

Di tempat lain Endraswara (2003: 96) menyatakan psikologi sastra adalah yang memandang karya sebagai aktifitas kejiwaan, pengarang akan menggunakan cipta, rasa dan karsa dalam berkarya, begitu pula para pembaca dan menanggapi karya sastra juga tidak akan lepas dari kejiwaan masing-masing.

Karya Al-Ghazali dalam penelitian ini masuk ke dalam psikologi sastra, sehingga aspek-aspek kejiwaan tokoh Al-Ghazali dalam karyanya ini, harus dilihat pula dari sudut pandang psikologi dengan memanfaatkan pertolongan pengetahuan ilmu psikologi modern.

(30)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Umum Emosi

Term emosi dalam gambaran hidup sehari-hari sangat berbeda dengan pengertian emosi dalam psikologi. Emosi adalah reaksi terhadap suatu perubahan pada sesuatu yang sedang terjadi di dalam kehidupan. Para penulis Introduction to Psychology juga cenderung tidak memberi definisi pada emosi karena khawatir memunculkan perdebatan yang tak berujung. Sebagai gantinya, mereka memberi semacam tajuk atau panduan yang mengarah pada makna emosi itu. Pertama, bahwa emosi adalah sesuatu yang kita rasakan pada saat terjadinya; kedua, dikenal bersifat fisiologis dan berbasis pada perasaan emosional; ketiga, timbulnya efek pada persepsi, pemikiran dan prilaku; keempat, menimbulkan dorongan atau motivasi; dan kelima, mengacu pada cara pengekspresian yang diejawantahkan dalam bentuk bahasa, ekspresi wajah, isyarat, dan sebagainya (Hude, 2006: 17).

Emosi manusia merupakan energi potensial yang sangat berharga. Hanya saja selama ini energi ini sering diabaikan. Menurut Martin (2003: 262) hal ini dipicu karena seseorang tidak mau dicap ‘terlalu emosional’, dibilang ‘cengeng’ atau ‘terlalu sensitif’ jika mengandalkan emosinya. Karena sejak kecil pun, kita dididik dalam lingkungan yang selalu mengandalkan rasio. Akibatnya, faktor emosi pun senantiasa dikesampingkan.

(31)

Dengan emosi, manusia mengomunikasikan apa yang dirasakannya untuk ditanggapi secara serius agar mendekat pada sikap dan tindakan cinta dan kasih sayang atau menjauh pada sikap dan tindakan benci agresif atau bahkan sekedar memberi sinyal-sinyal tertentu pada dirinya dan orang lain yang ada disekelilingnya. Dengan emosi pula seseorang mampu memilih tindakan yang sesuai dengan kondisi lingkungan sosial dimana ia berada, berperilaku bijaksana dalam berkomunikasi dengan orang lain. Bahkan mungkin menularkan emosi kepada orang lain secara tidak sadar (emotional contagions) pada peristiwa tertentu.

Apabila seseorang tidak memiliki emosi, maka ia tidak dapat menunjukkan empati pada orang lain, tidak peka terhadap lingkungan yang pada akhirnya dalam beberapa hal ia mengalami kemunduran dalam beberapa hal.

3.1.1 Fungsi Emosi

Varian-varian emosi memiliki beberapa fungsi bagi kehidupan. Menurut Coleman dan Hammen dalam (Jalaluddin, 1989: 46-47), setidaknya ada empat fungsi emosi dalam kehidupan manusia:

1. Emosi berfungsi sebagai pembangkit energi (energizer). Tanpa emosi, manusia tidak sadar atau mati. Karena hidup berarti merasai, mengalami, bereaksi, dan bertindak. Dengan emosi, manusia membangkitkan dan memobilisasi energi yang dimilikinya. Marah menggerakkan seseorang untuk menyerang, takut menggerakkan untuk lari, dan cinta mendorong untuk mendekat dan bermesraan.

2. Emosi berfungsi sebagai pembawa informasi (messenger). Bagaimana keadaan diri sendiri dapat diketahui dari emosi yang dialami. Misalnya, jika marah, berarti sedang dihambat atau diserang orang lain, sedih berarti hilangnya sesuatu yang disenangi atau dikasihi, bahagia berarti memperoleh sesuatu yang disenangi, atau berhasil menghindari hal yang tak disukai.

3. Emosi berfungsi sebagai komunikasi intrapersonal dan interpersonal sekaligus. Misalnya pembicara (mubaligh) yang menyertakan seluruh emosinya dalam berpidato dipandang lebih hidup, dinamis, bahkan dianggap lebih menyakinkan.

(32)

badan yang sehat menandakan bahwa apa yang ia dambakan berhasil. Seseorang yang mencari keindahan dan mengetahui bahwa ia memperolehnya ketika ia merasakan kenikmatan estetis dalam dirinya.

Adanya fungsi emosi yang bervariasi tersebut, menunjukkan dengan jelas bahwa emosi sangat dibutuhkan dalam kehidupan, sepanjang tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru yang dapat merusak tatanan kehidupan itu sendiri. Emosi merupakan penyeimbang dalam kehidupan manusia.

Demikian juga dari aspek psikis, emosi harus dikontrol dari kemungkinan-kemungkinannya merangsang ketegangan-ketegangan kejiwaan. Emosi dapat diibaratkan sebuah pisau bermata dua, sisi yang satu memberi manfaat dalam kehidupan agar bergairah dan bermakna, sedang sisi yang lain berpotensi menimbulkan ketegangan-ketegangan dalam diri pribadi maupun kehidupan sosial. 3.2Biografi Al-Ghazali

Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali lahir pada tahun 1059 M di Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di Khorasan bernama Toos, yang pada waktu itu merupakan pusat pengetahuan di dunia Islam (Nasution, 1973: 41).

Al-Ghazali kita kenal bukan saja seorang intelektual, ahli fiqih, ahli tasawuf, tetapi juga seorang sufi. Ia tak hanya menguasai dan paham betul disiplin filsafat, juga ilmu-ilmu keagamaan. Tidak kalah pula, bahkan inilah arus utama kapasitas keilmuannya, Ghazali menguasai wacana-wacana mistik Islam (sufisme) yang hingga zaman sekarang masih menjadi warisan abadi kaum Muslim di berbagai belahan dunia.

”Siapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah hidayah (bagi) nya, maka ia (sebenarnya) tidak mendapat apa-apa dari Allah kecuali kejauhan,” sabda Nabi SAW suatu kali. Dalam menafsirkan hadis ini, Al-Ghazali menjelaskan, bahwa hidayah adalah buah (efek) ilmu. Orang yang tidak berilmu, tidak tekun menuntut pengetahuan, jangan harap bisa menggapai hidayah Allah (Al-Ghazali, 2003).

(33)

sebenarnya dengan cara yang ditempuhnya sendiri, bagaimana ia melewati masa-masa kritis ketika ‘cahaya Allah’ masuk ke dalam hatinya.

Dalam tasawuf beliau memperoleh keyakinan yang dicari-carinya. Tasawuflah yang dapat menghilangkan rasa syak yang lama mengganggu dirinya. Al-Ghazali menggambarkan hakekat dengan cara yang berlainan menurut situasi yang dihadapinya.

Sebagai filosuf, Al-Ghazali membagi manusia ke dalam dua golongan besar yakni awam dan khawas, yang daya tangkapnya tidak sama, oleh karena itu apa yang dapat diberikan kepada golongan khawas tidak selamanya dapat diberikan dengan kaum awam. Dan sebaliknya pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acap kali berbeda, dan berbeda menurut daya berfikir masing-masing. Kaum awam membaca apa yang tersurat dan kaum khawas sebaliknya, membaca apa yang tersirat

(Nasution, 1973: 46).

Dr.‘Abd ar-Rahman Badawi mencatat, bahwa karya (kitab) yang telah dikarang oleh Ghazali setidaknya mencapai 457 buah, dan berisi kajian dengan ragam pendekatan; ringan ataupun tajam, mendalam atas berbagai tema (topik) yang penting. Teks-teks akhir Al-Ghazali dihasilkan setelah melakukan perjalanan soliter menuju ranah kesadaran diri yang sempurna, beberapa diantaranya yang monumental adalah /Penyelamat Dari Kesesatan/ “

ل ﺒ

ﺬ ﺒ

/al-munqiż min al-ḍal l/, /Menghidupkan Ilmu Agama/ “

ﺪ ﺒ

مﻮ

ﺌﺎ ﺐ

”/`I y `u ‘Ul mi al-dīni/, /Kekacauan Pemikiran Filosof-filosof/ “

” /tah fut al-fal sifah/.

Karya-karya Al-Ghazali sangat berbeda dengan karya ulama lain, perbedaan tersebut terletak pada kesempurnaan, kejelasan dan kelembutan karya Beliau. Beliau selalu mendahulukan realitas kehidupan. Selain itu, karya beliau juga terkenal dengan pembagian dan pemberian bab yang sempurna, ia selalu menjadikan karya menjadi beberapa juz dengan susunan yang rapi.

(34)

3.3 Tinjauan tentang Psikologi Sastra

Melalui teori perenialnya Comaraswamy membagi seni, termasuk sastra, ke dalam tiga kategori. Yang pertama, seni murni/tulen, yang dicipta sebagai symbol (missal) atas pengalaman dan penglihatan batin. Yang kedua, seni dinamik, karya-karya yang memaparkan pergulatan manusia menghadapi persoalan-persoalan dunia. Yang ketiga, seni apatetik, yang bersifat ketukangan dan tidak memberi inspirasi (Livingston, 1962: 73) dalam Hadi (2010).

Seni murni dihasilkan melalui proses perenungan mendalam. Sarana rohani yang digunakan seniman ialah intuisi intelektual, yaitu kecerdasan melihat sesuatu dengan mata kalbu (prasyatibuddhi), yang dicapai melalui kontemplasi dan meditasi.

Psikologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang. Tidak dapat dipungkiri, pembahasan terhadap pribadi pengarang maupun proses penciptaan sastra itu sangat menarik dan menunjukkan manfaat dari sisi

pedagogic (ilmu pendidikan) dalam studi sastra. Perlu diingat bahwa nilai karya sastra bebas dan tidak tergantung pada proses penciptaan maupun penciptanya sendiri.

Harus diakui, khususnya di Indonesia, analisis psikologi sastra lebih lambat perkembangannya dibandingkan dengan sosiologi sastra. Ada beberapa indikator yang diduga merupakan penyebabnya, di antaranya: a) psikologi sastra seolah-olah hanya berkaitan dengan manusia sebagai individu, kurang memberi peranan terhadap subjek transindividual, sehingga analisis dianggap sempit, b) dikaikan dengan transisi intelektual, teori-teori psikologi sangat terbatas, sehingga para sarjana kurang memiliki pemahaman terhadap bidang psikologi sastra, c) berkaitan dengan masalah pertama dan kedua, relevansi analisis psikologis pada gilirannya kurang menarik minat, khususnya di kalangan mahasiswa, yang dibuktikan dengan sedikitnya skripsi dan karya tulis yang lain yang memanfaatkan pendekatan psikologi sastra

(Ratna, 2004: 341).

Menurut Ratna (2004: 342) ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, antara lain:

1.Memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis.

2. Memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra. 3. Memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.

(35)

bisa menyarankan. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman dengan harapan akan terjadi perubahan perilaku masyarakat secara tidak langsung. Psikologi sastra dilakukan dengan menempatkan karya sastra sebagai objek yang dinamis.

Dalam melahirkan karyanya, seorang penyair berbicara pada manusia lain misalnya, tentang semangat, keTuhanan, keresahan jiwa, dan lain-lain. Mereka mengungkapkan hal tersebut melalui bahasa dengan benar-benar memiliki rasa tanggap yang lebih peka, kegairahan dan kelembutan jiwa yang lebih besar.

Dalam hal ini, penulis ingin mengaitkan sebuah sajak yang ditulis oleh Chairil Anwar. Dalam sajaknya yang diberi judul “Doa”, Chairil Anwar mentransformasikan sifat Tuhan sebagai “kerdip lilin di kelam sunyi”. Beliau mengekspresikan sajaknya dengan mempergunakan gaya semacam imagisme, yaitu gaya yang mengemukakan pengertian dengan citra-citra, gambaran-gambaran, atau imaji-imaji. Dengan demikian, kata-kata dan kalimatnya bermakna ambigu, bertafsir ganda (Pradopo, 1995: 175).

(36)

3.4 Analisis Emosi Pada Kitab “

ﺪ ﺒ

مﻮ

ﺌﺎ ﺐ

”/`Iyā`u ‘Ulūmi al-dīni/ dalam bab amal ma’ruf dan nahi munkar

Ungkapan ”emosi manusia” di dalam Al-Qur’an terkait langsung dengan perilaku manusia, baik sebagai makhluk inividual ”

يﺚﺮ

/fardiyyun/ maupun sosial ”

ﺎ ﺐ

/̒ijtim i/. Al-Qur’an memudahkan kita untuk melihat manusia dari berbagai dimensi, karena terkait langsung dengan realitas kehidupan sehari-hari yang tak lepas dari hubungan intrapersonal, interpersonal, dan metapersonal.

Penyebaran penuturan emosi manusia diterangkan dalam banyak surat selalu sejalan dengan pokok persoalan yang dijelaskan. Secara garis besar, di dalamnya memuat gambaran ekspresi emosi yang menyenangkan yang menjadi dambaan manusia, serta ekspresi emosi tak menyenangkan yang tak diinginkan manusia karena berdampak negatif bagi kelangsungan hidup. Sebagian ungkapan tersebut merupakan gambaran tentang kehidupan di akhirat yang bisa menjadi stimulus untuk melakukan kebaikan di dunia (Hude, 2006: 136).

Sama halnya dengan Al-Ghazali yang merangkaikan syair-syair indah di dalam tulisannya. Dimana syair tersebut merupakan bentuk otokritik terhadap penguasa di zamannya. Adapun maksud dan tujuan yang hendak dicapai oleh Al-Ghazali yaitu untuk mencegah kemungkaran di dunia yang dapat merusakkan keimanan dan ketakwaan manusia kepada Allah SWT. Oleh karena itu, syair-syair tersebut serta merta mengandung muatan emosi. Dalam hal ini, peneliti berusaha mengungkapkan emosi apa saja yang melandasi terciptanya syair-syair yang terangkum dalam tulisan Al-Ghazali khususnya bab amar ma’ruf dan nahi munkar yang di dalamnya terdapat dua buah syair.

(1) Syair pertama terdapat pada halaman 334 yang berbunyi:

ﺎ ﻮﳘ

ت

ﺎ ﺪ ﺒ

ىﺜأ

ﲔ ﺮ ﺒ

مﺮ و

ﺒﺛﺐ

ﺗﺎ

ﺒﺎ

ﺬ و

/ara al-duny liman hiyafi yadaihi/ /hum m nkullum kaṡuratladaihi/

/tuhīnual-mukramīnalah biṣugrin/ /watukrimu kullu man h nat̒alaihi/ /iz astagnaita ‘an syai`infadahu/ /wakhużm antamukht jun ilaihi/ (Ghazali, t.t: 344).

‘aku melihat dunia,

(37)

setiap kali bertambah banyak padanya. dan itu menghinakan orang,

yang memuliakannya dengan yang kecil saja. dan memuliakan tiap-tiap orang,

yang menghinakan kepadanya. apabila engkau tidak memerlukan, akan sesuatu, maka tinggalkanlah’. dan apa yang engkau perlukan,

maka ambilkanlah!’ (Yakub, 1978: 486).

(2) Syair kedua terdapat pada halaman 362 yang berbunyi:

بﻮ

ﺒو

ﺌﺮ ﺒ

ىﺜﺰ

ﺎﳕﺌﺎ

ﻰ أو

مﺛ

/l talumi al-mar`a ala fi’lihi/ /wanta mans bun ila misylihi/ /man żamma syaian waata misylahu/ /f nnam yuzra ̒ala aqlihi/

(Al-Ghazali, t.t : 362).

‘janganlah engkau mencaci orang, atas perbuatan yang dilakukannya, sedang engkau sendiri melakukan, berbuat seperti perbuatannya. orang yang mencela sesuatu

dan melakukan seperti perbuatan itu, sesengguhnya mendatangkan malu, kepada akalnya itu’ (Yakub, 1978: 534).

Kedua kelompok syair di atas dianalisis dengan menggunakan teori Hude (2006: 137) yang membagi emosi dasar manusia menjadi: (1) emosi senang, (2) emosi marah, (3) emosi sedih, (4) emosi takut, (5) emosi benci, (6) emosi heran dan (7) emosi kaget.

(1) Emosi Senang.

(38)

sebagainya. Oleh karena itu, ukuran kesenangan seseorang tidak bisa digeneralisasi untuk semua orang.

Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia umumnya memiliki kecendrungan (predisposisi) tertarik pada lawan jenis, senang pada keturunan, harta yang melimpah, kendaraan mewah, dan kekayaan lainnya. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua orang sejalan dengan predisposisi ini. Tercatat dalam sejarah bahwa para sufi dan orang-orang zuhud lebih menikmati kehidupan dengan mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhi urusan duniawi. Misalnya, Rabi’ah al-Adawiyah, beliau bersedia melepaskan semua atribut keduniawiannya dan menukarnya dengan menumpahkan seluruh emosi cintanya kepada Allah, sehingga tiada tempat lagi dalam dirinya untuk menerima sesuatu selain cinta Allah.

Dalam bentuk syair Rabi’ah mengatakan:

أ

و

ىﻮ ﺒ

ﺎ ﺒﺬ

أ

ﻷﺎ

ﺎ ﺒﻮ

كﺮ ﺬ

ىﻮ ﺒ

يﺬ ﺒﺎ ﺄ

أ

ىﺬ ﺒﺎ أو

ﺎ ﺒﺜأ

كﺒﺛوﺒﺛ

ﺪ ﺒ

و

كﺒﺛوأﺒﺛ

ﺪ ﺒ

/`u ibbuka ubbaini ubbu al-haw / /wa ubban li`annaka `ahlun liż k / /fa`amm al-lażī huwa ubu al-haw / /fasyuglī biżikrika ‘aman siw k / /wa`amm al-lażī anta `ahlun lahu/ /fakasyfuka li al- a ba hatta `ar k / /fal al-hamdu fi ż `aw żakali/ /walakin laka al-hamdu fi ż waż k /

‘aku mencintaiMu dengan dua cinta cinta karena dirku dan cinta karena diriMu cinta karena diriku

adalah keadaanku senantiasa mengingatMu cinta karena dirimu

adalah keadaanMu mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah bagku

bagiMulah pujian untuk kesemuanya’ (Nasution, 1995: 73).

Rabi’ah banyak beribadah, bertaubat, dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan dalam doanya ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Allah. Ia benar-benar hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Allah (Nasution, 1995: 73).

Ungkapan emosi senang manusia menurut Hude (2006) dapat dilihat dalam beberapa kategori seperti:

(39)

Terdapat beberapa ayat yang dengan jelas menyatakan adanya perubahan-perubahan wajah akibat kemunculan rasa senang. Emosi senang tersebut diperlihatkan oleh air muka yang berseri-seri yang dapat diamati oleh orang lain yang melihatnya. Salah satu ayat tersebut terdapat pada surat Al-Insan ayat 11

ﺒﺜوﺮ و

ةﺮ

ﺎ و

مﻮ ﺒ

ﷲﺒ

:

نﺎ ﻹﺒ

)

ﺺﺺ

(

/fawaq humullahu syarra ẕalika al-yaumi walaqq hum naḍratan wasururan/. ’maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati’ (Qs. Al-Insan: 11). Perubahan yang terjadi pada raut muka merupakan ekspresi emosi yang paling sering muncul seiring keterbangkitan emosi. Pengalaman emosi manusia, baik yang positif maupun negatif, digambarkan oleh Al-Qur’an lewat banyak ekspresi wajah.

(b) Senang Meraih Kenikmatan atau Lepas dari Kesulitan.

Ukuran kenikmatan dan kesulitan bersifat subjektive. Ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah ini memang tidak secara langsung menyebut faktor kenikmatan dan kesulitan tersebut. Namun, pemaparan Al-Qur’an tentang emosi senang terhadap kenikmatan yang diraih, atau karena terbebas dari kesulitan dapat dilihat pada ayat berikut:

ﺜوﺮ

ﺘﺮ

تﺎ ﺒ

ﺌﺒﺮ

ﺌﺎ

ﺎ ﺛأ

و

:

ﺚﻮ

)

(

/walain ażaqn hu na̒m u ba̒da ḍarr a massathu layaq lanna żahaba al-sayyi tu anni innahu lafari un fakhurun/.dan jika Kami rasakan kepadanya sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: ‘Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku’; sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga’ (Qs. Hud: 10).

(c) Emosi Senang terhadap Kesulitan Orang Lain

Lazimnya, manusia akan merasa gembira setelah terbebas dari berbagai problematika yang menjeratnya. Al-Qur’an sempat mensinyalir adanya orang-orang tertentu yang bangga melihat kesulitan orang lain. Setiap kali melihat musibah, seketika itu pula ia merasakan kegembiraan dan kepuasan pada dirinya, meskipun dalam banyak kasus tidak ditampakkan. Sebaliknya, jika orang lain sukses, ia sedih dan iri hati.

(40)

مﺮ و

/watukrimu kullu man h nat̒alaihi/

‘dan memuliakan tiap-tiap orang, yang menghinakan kepadanya’.

Potongan syair di atas termasuk ke dalam kategori emosi senang yang dapat dikelompokkan ke dalam emosi senang terhadap kesulitan orang lain. Adapun makna yang tersirat dari potongan ini menerangkan bahwasanya orang mukmin yang berbuat kebajikan, dibenci oleh orang-orang yang kafir atau yang mendustakan Allah, dan sebaliknya mereka bergembira atas apa yang mereka perbuat.

Di dalam sastra ungkapan potongan syair di atas masuk ke dalam majas pertentangan yang dikenal dengan majas paradok, yakni mengungkapkan sesuatu dengan pernyataan yang seolah-olah berlawanan dengan kebenaran tetapi kenyataannya mengandung kebenaran.

Kesenangan akan harta seperti ini juga diterangkan dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 50 yang berbuyi:

Al-Qur’an menyinggung masalah ini dalam ayat berikut:

نﺐ

ﺒﻮﻮ و

ﺎﺮ أ

ﺎ ﺬ أ

ﺒﻮﻮ

نﺐو

:

ﺔﻮ ﺒ

)

نﻮ ﺮ

و

(

/‘in tuṣibka asanatun tasuhum wain tuṣibka muṣībatun yaq l qad akhażn

amran min qablu wayatawallau wahum fari una/. ‘jika kamu mendapat sesuatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh sesuatu bencana, mereka berkata; ‘Sesungguhnya kami sebelumnya telah memperhatikan urusan kami’ dan mereka berpaling dengan rasa gembira’

(Qs. At-Taubah: 50).

Adanya unsur emosi ketika melihat orang lain mendapat kesulitan, pada hakikatnya merupakan suatu penyimpangan dari fitrah kemanusiaan. Pada umumnya hal itu didasari oleh faktor iri hati dan dendam. Ajaran Islam datang untuk menghilangkan sifat-sifat tersebut dengan mendorong manusia untuk memberi manfaat kepada sesamanya.

(d) Senang terhadap Lawan Jenis

(41)

pada manusia, muncul sangat kuat ketika alat-alat reproduksi mencapai kematangannya (sexual maturation).

ز

:

نﺒﺮ

لﺒ

) ...

ﺌﺎ ﺒ

تﺒﻮﻬ ﺒ

سﺎ

(

/zuyyina linn si ubbun al-syahaw ti mina al-nas i/. ‘dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita,..’ (Qs. Ali Imran: 14).

(e) Senang terhadap Harta

Kesenangan terhadap harta kekayaan merupakan bentuk kesenangan lain yang didambakan manusia pada umumnya, kecuali mereka yang mempraktekkan zuhud (membatasi diri terhadap kenikmatan duniawi).

Hal ini dijumpai dalam syair Al-Ghazali pada qafiyah pertama kelompok syair pertama yang berbunyi sebagai berikut:

ﺎ ﺪ ﺒ

ىﺜأ

/ara al-duny liman hiyafi yadaihi/ ‘aku melihat dunia,

bagi orang yang mempunyainya’.

Potongan syair di atas termasuk ke dalam kategori emosi senang yang dapat dikelompokkan ke dalam emosi senang terhadap harta. Adapun makna yang tersirat dari potongan syair ini menerangkan bahwasanya salah satu bentuk kesenangan duniawi yang paling diminati manusia adalah pada harta benda, dimana bagi orang yang mempunyai harta benda cenderung merasa bangga yang berlebihan pada akhirnya dapat menjerumuskan dirinya ke dalam perbuatan maksiat yang dilarang oleh Allah SWT.

Di dalam sastra ungkapan potongan syair di atas masuk ke dalam majas pertentangan yang dikenal dengan majas hiperbola, yakni mengungkapkan sesuatu dengan cara melebih-lebihkan.

Kesenangan akan harta seperti ini juga diterangkan dalam Qur’an surat Al-Fajr ayat 20:

لﺎ ﺒ

نﻮ و

:

ﺮ ﺒ

)

ﺎﲨ

(

/watu ibb na al-m la ubban jamman/. ‘dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan’ (Qs. Al-Fajr: 20).

(f) Senang Memberi atau Menerima

(42)

sesorang mampu mengulurkan bantuan untuk menolong orang yang sedang tertimpa kesulitan, meskipun hal itu akan mengurangi apa yang ia miliki.

و

)

ﺒﲑ أو

ﺎ و

مﺎ ﺒ

نﻮ

ﺪﺮ

ﷲﺒ

ﺎﳕﺐ

(

:

نﺎ ﻹﺒ

)

ﺒﺜﻮ

و

ﺌﺒﺰ

-(

/wayuṭ̒muna al-ṭma ̒la ubbi i miskīnan wayatīman wa̒sīran/. /innam nuṭ

̒

imukum liwaj i allahi nurī du minkum jaz n wala syukuran/. ‘dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengkhendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih’ (Qs. Al-Insan: 8-9 ). (g) Senang Pada Hasil Usaha (Prestasi)

Prestasi merupakan suatu hal yang diupayakan untuk dicapai oleh manusia. Selalu ada prestasi yang diperjuangkan dalam segala aspek kehidupan ini. Karena itu, orang akan merasa gembira apabila prestasi yang diharapkannya menjadi kenyataan.

ﺮ أ

ﻬ ﺰ و

ةﺎ

ﻮ و

ﻰ أ

وأ

ﺮ ﺛ

ﺎ ﺎ

:

)

نﻮ

ﺒﻮ ﺎ

(

/man ̒amila ṣ li an min żakarin aw unṡa wahuwa muminun falanu yiyannahu ayatan ṭayyibatan walanajzi yannahum ajrahum bia sani m k n ya̒mal na/. ‘barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan’ (Qs. An-Nahl: 97 ).

(i) Senang Mencintai dan Dicintai Allah

Mencintai Allah merupakan wujud cinta tertinggi. Cinta Allah kepada manusia adalah hasil dari respon cinta manusia kepada Allah. Jika manusia berusaha mencintai Allah, maka Allah akan membalasnya lebih dari apa yang dilakukannya.

Hal ini dijumpai dalam syair Al-Ghazali pada qafiyah kelima dan keenam kelompok syair pertama yang berbunyi sebagai berikut:

ﺒﺛﺐ

/`iz stagnaita ̒an syaiin fada’hu/

‘apabila engkau tidak memerlukan, akan sesuatu, maka tinggalkanlah’.

ﺗﺎ

ﺒﺎ

ﺬ و

/wakhużm antamukht jun ilaihi/
(43)

Potongan dua qafiyah syair di atas termasuk ke dalam kategori emosi senang yang dapat dikelompokkan ke dalam emosi senang mencintai dan dicintai Allah. Adapun makna yang tersirat dari potongan dua qafiyah syair ini menerangkan bahwasanya janganlah mencurahkan seluruh emosi cinta kepada sesuatu selain Allah, entah kepada materi, hawa nafsu atau yang lainnya, karena hal tersebut dapat membawa banyak penyakit yang dapat menimbulkan perasaan bangga dan sombong. Oleh karena itu, hendaklah manusia berlaku ikhlas dan jangan mencintai dunia serta senantiasa mempercayakan diri kepada Allah SWT, bergantung dan berlapang dada kepada-Nya. Dengan begitu, dapat membebaskan hati dari kesulitan yang berkaitan dengan segala urusan dunia, seperti masalah rezeki dan yang lainnya diserahkan kepada Allah SWT

Kesenangan mencintai dan dicintai Allah seperti yang diterangkan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 31 yang berbunyi:

ﺜﻮ

ﷲﺒو

ﻮ ﺛ

ﺮ و

ﷲﺒ

ﻮ ﺎ

ﷲﺒ

نﻮ

نﺐ

:

نﺒﺮ

لﺒ

)

(

/qul in kuntum tuhibb na allaha f ttabi nī ya bibkumu allahu wayagfirlakum żun bakum wa allahu gaf run ra īmun/. ‘katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampun

Referensi

Dokumen terkait