• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan nasionalisme minyak dan gas serta legalisasi koka di Bolivia dalam menghadapi hegemoni Amerika Serikat periode 2005-2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan nasionalisme minyak dan gas serta legalisasi koka di Bolivia dalam menghadapi hegemoni Amerika Serikat periode 2005-2009"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

A. Pernyataan Masalah

Penelitian ini menjelaskan kebijakan Bolivia dalam menghadapi hegemoni Amerika Serikat (AS), tujuannya adalah merestrukturisasi sendi perekonomian Bolivia akibat privatisasi aset-aset negara dan pemberantasan ladang koka di Bolivia yang dilakukan oleh pemerintah AS. Kemudian analisa penelitian ini difokuskan pada faktor-faktor yang memengaruhi Bolivia dalam membuat kebijakan menghadapi hegemoni AS.

AS ingin menyatukan benua Amerika melalui Doktrin Monroe yang merupakan pidato tahunan Presiden James Monroe kepada kongres guna menyampaikan penolakan untuk mentoleransi perluasan lebih lanjut dominasi Eropa di Amerika. Dia menyatakan “Tanah Amerika, mulai sekarang tidak boleh

lagi dijadikan ajang kolonialisasi oleh bangsa Eropa. “Kita Harus menganggap setiap usaha mereka untuk memperluas sistem politik di bagian manapun di benua

ini sebagai bahaya bagi kedamaian, dan keselamatan kita”. ( http:/www.ushistory.org/documents/monroe.html,)

(12)

1890. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari Doktrin Monroe. (Meiertones, 2010:30)

Meskipun Doktrin Monroe ini berorientasi untuk membatasi intervensi negara-negara Eropa di benua Amerika (Meiertones, 2010: 30), di sisi lain, AS juga memiliki hak intervensi terhadap negara-negara Amerika Latin dengan cara yang bervariasi sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20. Artinya, AS melindungi wilayah Amerika Latin secara ketat untuk mencegah pengaruh lain yang merugikan kepentingan AS. (Renehan, 2007:108)

Dasar lain kebijakan intervensi AS adalah Roosevelt Corollary yang merupakan Pidato Tahunan Presiden Roosevelt pada Desember 1904. Roosevelt Corollary ini memperkuat Doktrin Monroe. Presiden Roosevelt mendefinisikan

Amerika Latin, terutama Kepulauan Karibia, sebagai kawasan yang dilindungi oleh AS. (Rabe, 2011:275)

Esensinya, AS mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai polisi internasional melalui justifikasi unilateral untuk meningkatkan intervensinya ke negara-negara Amerika Latin. Doktrin Monroe berikut Roosevelt Corollary ini juga menjadi landasan kebijakan intervensionis AS di Dunia Ketiga.Dalam perkembangan selanjutnya, doktrin-doktrin seperti Reagan yang menyatakan akan mengintervensi Nikaragua untuk melawan pemerintahan Sandinista, sehingga intervensi menjadi tindakan legal bagi AS. (Meiertones, 2010:156)

(13)

bipolaritas Perang Dingin, keterlibatan AS dalam proses perubahan rezim di negara lain dapat dijelaskan dalam kerangka politik pembendungan (containment), yaitu sebagai usaha AS untuk menangkal penyebaran pengaruh ideologi dan kepentingan Uni Soviet. (Akhtar, 2003:94)

Salah satu negara Amerika Latin yang kini menjadi perhatian AS adalah Bolivia. Pada tahun 1985 AS mulai mendominasi Bolivia melalui perusahaan asing dan beberapa perusahaan AS disektor ekonomi, yaitu, melalui penguasaan AS terhadap perusahaan telekomunikasi, perusahaan, penerbangan, perusahaan listrik negara, perusahaan kereta api,serta yang paling utama di sektor minyak dan gas (migas) akibat privatisasi. (Kohl, 2006:109)

Pada masa periode pertama pemerintah Gonzalo Sanchez de Lozada pada tahun 1993-1997, AS berupaya mereformasikan perekonomian Bolivia melalui privatisasi. Yakni, dengan menerapkan kebijakan ekonomi dan struktural politik yang salah satunya melalui implementasi Undang-Undang Kapitalisasi. (Sachs, 2005:90-108)

Kebijakan ini lahir atas tekanan dari Bank Dunia dan International Monetary Found (IMF) dengan dukungan AS (Kohl, 2006:107). Undang-Undang

tersebut menetapkan otorisasi penjualan minyak dan gas (migas) negara, perusahaan telekomunikasi, perusahaan penerbangan, perusahaan listrik negara, perusahaan kereta api, serta perusahaan peleburan biji besi (Kohl, 2006:109).

(14)

militer AS, Bolivia menerapkan kebijakan penghapusan penanaman koka. (Gordon,2006:16) Selain itu, pemerintah Hugo Banzer juga melakukan privatisasi terhadap perusahaan air minum negara. (Chan,2007:5)

Sebelum kebijakan privatisasi aset-aset nasional, perekonomian Bolivia diwarnai dengan kemajuan di sektor pertambangan timah. Namun, sejak awal 1980-an, perekonomian Bolivia mengalami kemunduran dengan jatuhnya harga timah yang berdampak pada sumber pemasukan Bolivia dan di sektor pertambangan timah. (Kohl, 2006:54)

Tingkat Gross Domestic Product (GDP) menurun 9,2% antara tahun 1981-1986, yaitu dari 5,99 miliar Dollar AS menjadi 4,79 miliar Dollar AS. Hal ini juga diiringi dengan tingkat hutang yang besar, yaitu mencapai 3,8 miliar Dollar AS pada tahun 1982. (Kohl, 2006:55)

Dengan tingkat hutang yang demikian besar dan terjadinya kemunduran di sektor perekonomian, maka pemerintah Bolivia mencoba mengambil jalan keluar dengan memotong pembayaran hutang sebesar 25%. Pemotongan pembayaran hutang ini mengakibatkan kekhawatiran di pihak kreditor sehingga membekukan aset-aset Bolivia yang berada diluar negeri. (Kohl, 2006:55)

(15)

Hal ini tentu saja mendapatkan dukungan dari IMF, Bank Dunia,serta Bank Pembangunan antar-Amerika (IADB/Inter-American Development Bank) serta AS sehingga menjadikan sebagai Bolivia model pembangunan ekonomi neoliberal di Amerika Latin. (Kohl 2006:66)

Dampak dari ekonomi neoliberal tersebut menimbulkan perlawanan dan kritik dari negara-negara Amerika Latin sebelum 1998, keadaan Amerika Latin dibawah kontrol AS. Namun sejak 1998, sejumlah negara seperti Venezuela, Kuba, terus melancarkan kritik terhadap dominasi AS akibat kegagalan neoliberalisme dalam mewujudkan janji-janji kemakmuran dan kesejahteraan kepada rakyat Amerika Latin. Ribuan aksi masyarakat terus terjadi menuntut terwujudnya keadilan sosial (Suyatna, 2007:52).

Kebijakan ekonomi pemerintah Bolivia/Neoliberal menyebabkan terjadinya gerakan sosial. Hal ini ditunjukkan dengan adanya demonstrasi, baik itu dalam skala kecil maupun besar. Pada tahun 2000, pecah protes dari rakyat yang berakhir dengan kekerasan dengan jumlah korban enam orang dan 170 lainya luka parah. Mereka menuntut untuk penghapusan kebijakan privatisasi air. (Kohl, 2006:165)

Gerakan sosial tersebut berhasil membuat perubahan dalam pemerintah dan kebijakan Bolivia adalah gerakan protes rakyat terhadap kebijakan minyak dan gas alam dan awal dari perubahan sosial yang ada di negara tersebut. (Kohl, 2006:173)

(16)

kepada suksesi, yaitu naiknya Juan Evo Morales Ayma menjadi Presiden Bolivia pada Pemilu 2005. Evo Morales adalah tokoh beraliran “kiri” yang bersifat kritis terhadap kebijakan pemerintah AS dikarenakan Morales ingin melakukan perlawanan terhadap kapitalisme yang dikembangkan AS di Bolivia yang selama ini membawa masyarakat Bolivia kepada kemiskinan. (Suyatna, 2007:116)

Evo Morales merupakan pemimpin dari Partai Movimiento Al Socialismo (MAS) merupakan partai berbasis gerakan penduduk asli (indigenous) yang didirikan pada tahun 1998 yang memenangi pemilihan umum pada tahun 2005 dan menjabat sebagai Presiden pada tahun 2006 setelah unggul dari Jorge Quiroga dengan perolehan suara 53.740%. (Tapia, 2008:220)

Setelah menjadi Presiden Bolivia, Evo Morales memperlihatkan sikapnya yang anti-AS, dengan menunjukan daun koka dan secara demonstratif dan memperlihatkan kepada seluruh hadirin yang sebagian besar terdiri dari Kepala Negara dan Perdana Menteri negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ketika ia berpidato di depan Sidang Umum Majelis Umum PBB. (Lesmana,2007:614)

Selain itu, Evo Morales juga bersikap menolak AS dengan menolak perjanjian multilateral maupun regional. Di antaranya Free Trade Area of The Americas (FTAA) yang dinilai lebih banyak merugikan rakyat. Pada akhirnya,

(17)

tanggal 29 April 2006. Ketiga tokoh ini menandatangani Tratado Comercio de los Pueblos (TCP). (Lesmana, 2007:616)

ALBA merupakan kerjasama regional di kawasan Amerika Latin dan Karibia. Kerjasama yang diajukan pada bulan Desember 2001 merupakan suatu alternatif terhadap FTAA. Pada bulan Desember 2004, Venezuela dan Kuba mendatangani perjanjinan kerjasama dalam kerangka ALBA melalui Association of Caribbean States Summit dengan bertujuan untuk menyeimbangi perdagangan

bebas yang didominasi oleh AS. (

http://www.globalresearch.ca/latin-americas-social-movements-and-the-alba-alliance/5336550)

Naiknya Evo Morales semakin menguatkan barisan “kiri” di Amerika Latin. Morales menjalin hubungan erat dengan Presiden Venezuela Hugo Chavez dan Presiden Brazil Luiz Ignazio Lula da Silva, serta secara terang-terangan memberi dukungan terhadap Pemimpin Kuba, Fidel Castro, hal ini yang menyebabkan AS memandang Morales sebagai tokoh berbahaya yang mengancam kepentingannya di Amerika Latin. (Shoelhi, 2007:87)

Mengingat La Paz sangat menjaga jarak dengan Washington, Sikap bermusuhan dengan Washington bisa dijelaskan dari program ekonomi Partai MAS. Partai tersebut menolak kebijakan ekonomi-politik AS serta mendesak nasionalisasi perusahaan minyak dan gas alam. (Shoelhi ,2007:87)

(18)

anti-revolusi. Maksudnya, agar sosialisme tidak terjatuh menjadi sistem otoritarian, maka Sosialisme juga mengacu pada perubahan tatanan baru (sosial, ekonomi, dan politik) dari tatanan sebelumnya dan sosialisme yang bersifat demokratis sehingga dapat diterima oleh masyarakat. (Giddens, 2002: 100)

Dalam hal ini, penyebab utama kecenderungan kembalinya “politik kiri” ke wilayah Amerika Latin khususnya Bolivia adalah akibat kinerja ekonomi yang menyengsarakan sehingga menggagalkan upaya reformasi ekonomi hasil Washington Consensus. Konsensus ini mengutamakan pembangunan yang

didukung oleh modal asing, privatisasi di sektor industri dan sumber daya alam, liberalisasi impor, tingkat suku bunga yang tinggi, deregulasi, pengetatan fiscal, serta pematokan mata uang (Subono, 2010: 103).

Setelah berjalan lebih dari 20 tahun, konsensus ini ternyata mengecewakan masyarakat Amerika Latin. Faktanya, kinerja neoliberalisme ternyata tidak sesuai dengan janji yang dicanangkan dalam Washington Consensus. (Subono 2010)

Kegagalan dalam memperoleh keuntungan besar dari projek Washington Consensus tersebut (Subono, 2010:103) menimbulkan kekecewaan politik di

kalangan masyarakat Bolivia. Hal ini telah mendasari bangkitnya kekuatan politik dan gerakan sosial baru sehingga menimbulkan gelombang demonstrasi yang memengaruhi masyarakat pribumi di Bolivia. (Barret. at all, 2008:2)

(19)

Analisa penelitian ini difokuskan pada tahun 2005 sampai 2009. Sebab periode tersebut merupakan periode pertama pemerintah Presiden Bolivia Evo Morales. Hanya dalam beberapa bulan sejak kepemimpinannya, Morales mulai merestrukturisasi sendi perekonomian Bolivia.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka muncul suatu pertanyaan penelitian yang nantinya akan dibahas yaitu :

“Mengapa Bolivia merestrukturisasi perekonomiannya melalui kebijakan nasionalisasi minyak dan legalisasi koka dalam menghadapi hegemoni Amerika Serikat P

eriode 2005-2009?”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan menghadapi pengaruh mengetahui implementasi kebijakan Bolivia dalam menghadapi pengaruh AS setelah Evo Morales menjabat sebagai presiden terpilih di Bolivia. Kajian terhadap implementasi kebijakan Bolivia ini dimulai dari upayanya dalam merekstrukturisasi perekonomian pada periode pertama pemerintahya tahun 2005-2009.

Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah untuk mempelajari keberhasilan bagaimana negara berkembang dalam upayanya menentang negara super power seperti AS yang selalu memperluas pengaruhnya di negara-negara

(20)

D. Tinjauan Pustaka

Beberapa tulisan tentang perlawanan negara-negara Amerika Latin terhadap AS lebih banyak melihat Amerika Latin khususnya Bolivia yang mayoritas berada dibawah hegemoni AS.

Salah satunya dengan tesis Emil Radhiansyah memaparkan tentang penderitaan dan kemiskinan rakyat Bolivia sehingga menimbulkan aksi-aksi perlawanan berbentuk Gerakan Sosial yang dihimpun dari kekuatan rakyat Bolivia yang tertindas, seperti kaum buruh dan petani koka yang banyak dirugikan dengan adanya pembasmian ladang koka seluas 50.000 hingga 60.000 oleh pemerintah Bolivia sehingga melahirkan jumlah pengangguran yang semakin bertambah. (Radhiansyah, 2008:10)

Evo Morales memimpin suatu gerakan sosial dengan Partai Movimiento Al Socialismo (MAS) dan mendapatkan dukungan yang kuat dari rakyat Bolivia.

Pada tesis, Emil Radhiansyah menekankan analisanya pada seputar masalah gerakan massa yang mengalami penindasan akibat praktek Neoliberal AS itu sendiri.

(21)

Morales sebagai tokoh yang berbahaya yang mengancam kepentingannya di Amerika Latin. (Shoelhi 2007:87)

Buku tersebut merupakan pemaparan singkat yang ditulis oleh Mohammad Shoelhi. Dari pemaparan Mohammad Soelhi tersebut penelitian, ini memberikan informasi lebih lengkap mengenai peran Evo Morales dalam menghadapi hegemoni AS.

Dengan demikian, berdasarkan pemaparan Tinjauan Pustaka diatas terdapat perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dengan lebih mengalisis kebijakan yang dilakukan Bolivia dalam menghadapi hegemoni AS berikut faktor eksternal dan internal apa yang memengaruhi kebijakan tersebut.

E. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran dengan beberapa konsep yang digunakan dalam menganalisa permasalahan. Konsep-konsep yang digunakan ini adalah konsep kepentingan nasional, kebijakan luar negeri, hegemoni dan counter hegemony.

1. Kepentingan Nasional

(22)

Kemudian Papp (1997:143) juga menambahkan mengenai konsep kepentingan nasional, menurutnya kepentingan nasional merupakan kepentingan sebuah negara yang harus dicapai dengan sebuah metode yang disebut kebijakan.

Dari paparan diatas, dapat diartikan bahwa kepentingan nasional merupakan tujuan utama yang menjadi dasar bagi sebuah negara dalam membuat kebijakan sebagai upaya dalam mencapai pemenuhan terhadap hal-hal yang signifikan yang harus dicapai oleh suatu negara .

Dalam operasionalisasi konsepnya, penjelasan mengenai kepentingan nasional sebagaimana yang telah dipaparkan di atas digunakan untuk menganalisa kepentingan yang melandasi kebijakan Bolivia dalam menasionalisasi minyak dan melegalisasi koka.

2. Kebijakan Luar Negeri

K.J. Holsti di dalam bukunya yang berjudul International Politics: A Framework for Analysis, mengatakan bahwa kebijakan luar negeri merupakan

(23)

Holsti juga menambahkan bahwa tujuan implementasi dari sebuah kebijakan luar negeri suatu negara mendapat pengaruh dari dua macam faktor, yaitu faktor eksternal/sistemik dan faktor internal/domestik.

A. Faktor Internal

Holsti (1992:272-287) mengatakan faktor internal yang memengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara terdiri dari beberapa macam, antara lain: kebutuhan keamanan, sosial dan ekonomi. Kedua, karakteristik geografi yang berkaitan dengan sumber daya alam. Elemen pertama dan kedua ini menurut Holsti menentukan kesejahteraan nasional dan lingkungan strategis sebuah. Kemudian, yang ketiga adalah atribut nasional, atribut nasional ini didefinisikan sebagai karakter sebuah negara yang terdiri dari besar wilayah, jumlah penduduk, sistem ekonomi, dan citra di mata internasional.

Kelima adalah opini publik, opini publik ini menurut Holsti turut menjadi sumber yang memengaruhi kebijakan luar negeri karena publik dapat mengakses informasi secara bebas, dan yang keenam adalah birokrasi, menurut Holsti karakteristik ini merupakan sumber yang memengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri.

B. Faktor Eksternal

(24)

negara adi daya sampai negara kecil yang memengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara.

Kedua, kata Holsti adalah karakteristik atau struktur ekonomi dunia, menurutnya karakteristik atau struktur ekonomi dunia ini menunjukan adanya perbedaaan ekonomi antara negara kecil, negara berkembang, dan negara maju yang dapat memengaruhi kebijakan suatu negara. Ketiga, kata Holsti adalah tujuan dan tindakan dari aktor lain, ini menurut Holsti maksudnya adalah sebuah negara akan merespon atau berinisiatif menjalankan kebijakan luar negerinya terkait adanya tindakan dari negara lain.

Kemudian yang keempat adalah masalah regional atau global, menurut Holsti ini merupakan masalah yang terjadi disuatu negara yang akan berdampak ke negara lain bahkan ke kawasan sehingga akan menjadi masalah bersama, karena masalah ini saling berhubungan dan melewati batas-batas nasional sehingga dapat memengaruhi kebijakan yang diambil oleh suatu negara.

Berdasarkan faktor internal dan faktor eksternal yang turut menentukan dan memengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara, menurut Breuning (2007:9) banyaknya elemen pada faktor-faktor yang memengaruhi dan turut menentukan kebijakan luar negeri tersebut, tidak harus mempertimbangkan atau menjelaskan semua elemen di dalam faktor-faktor tersebut. Hal itu menurut Breuning dapat disederhanakan dengan fokus terhadap satu atau beberapa elemen pada faktor-faktor yang turut menentukan tersebut.

(25)

kemukakan Holsti, maka dalam menganalisa permasalahan dalam penelitian ini di gunakan elemen yang menentukan kesejahteraan nasional sebuah negara yaitu karakteristik geografi yang berkaitan dengan sumber daya alam pada faktor internal, dan tindakan-tindakan dari negara lain yang terkait dalam merespon atau berinisiatif untuk menjalankan kebijakan yang diarahkan untuk kepentingan domestik dan sistem internasional.

Dalam operasionalisasi konsepnya, penjelasan mengenai faktor-faktor kebijakan luar negeri di atas digunakan untuk menganalisa apa saja yang menjadi faktor yang melandasi Bolivia membuat kebijakan nasionalisasi minyak dan legalisai koka dalam menghadapi hegemoni Amerika Serikat periode 2005-2009. .

3. Hegemoni

Titik awal konsep hegemoni Gramsci adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan dua cara yaitu kekerasan dan persuasi. Cara kekerasan (represif) yang dilakukan kelas atas terhadap kelas bawah disebut dengan tindakan dominasi, sedangkan cara persuasinya dengan cara hegemoni. Perantara tindakan dominasi ini dilakukan oleh aparatur negara seperti polisi, tentara, dan hakim, sedangkan hegemoni dilakukan dalam bentuk menanamkan ideologi untuk menguasai kelas atau lapisan dibawahnya (Simon, 2004:85).

(26)

ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar dan bersifat moral, intelektual, dan budaya. (Strinati, 1995:153)

Gramsci membedakan dua tipe intelektual dalam masyarakat, pertama, intelektual tradisional yang terlihat independen, otonom, serta menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Mereka hanya mengamati serta mempelajari kehidupan masyarakat dari kejauhan yang seringkali bersifat konservatif (antiperubahan), seperti, penulis sejarah, filsuf, dan para professor. Sedangkan yang kedua adalah kalangan intelektual organik yang menanamkan ide menjadi bagian penyebaran ide-ide yang ada di masyarakat dari kelas yang berkuasa, serta turut aktif dalam pembentukan masyarakat yang diinginkan. (Gramsci, 1971:15)

Di sini, penguasaan tidak dengan kekerasan. Melainkan dengan bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai baik sadar maupun secara tidak sadar. Hegemoni bekerja dengan dua tahap, yaitu, tahap dominasi dan tahap direction atau pengarahan. (Gramsci, 1971:20)

Dominasi yang paling sering dilakukan adalah oleh alat-alat kekuasaan, seperti sekolah, media, modal, dan lembaga-lembaga negara. Ideologi yang disusupkan lewat alat-alat tadi merupakan kesadaran yang bertujuan agar ide-ide yang diinginkan negara (dalam hal ini sistem kapitalisme) menjadi norma yang disepakati oleh masyarakat. (Gramsci, 1971)

(27)

sebagai orang yang tidak taat kepada moral serta dianggap tindak kebodohan di masyarakat. Bahkan ada kalanya diredam dengan kekerasan. (Gramsci, 1971)

Dalam bahasan teorinya, Gramsci juga memberikan solusi untuk melawan hegemoni (counter hegemony) dengan menitikberatkan pada sektor pendidikan. Kaum intelektual memegang peranan penting di masyarakat karena setiap orang sebenarnya adalah seorang intelektual, namun tidak semua orang menjalankan fungsi intelektualnya di masyarakat. (Chalcraft, 2007:11)

Joshua S. Goldstein menambahkan bahwa hegemoni dipegang oleh suatu negara yang memiliki kekuasaan yang dominan dalam sistem internasional, sehingga kekuasaan tersebut menjadi tunggal dan dapat mendominasi aturan sendiri sehingga dapat mengatur hubungan politik dan ekonomi internasional. Negara yang melakukan hal seperti ini disebut hegemon. (Goldstein, 1996:81)

Goldstein menyatakan bahwa pada umumnya hegemoni berarti dominasi dunia akan tetapi lebih mengacu kepada dominasi regional, terkadang istilah tersebut digunakan untuk merujuk kepada ide bahwa penguasa gunakan untuk mendapatkan persetujuan untuk legitimasi mereka. Dengan mengacu kepada hubungan internasional, hegemoni merupakan ide-ide seperti demokrasi dan kapitalisme, dan dominasi budaya global AS. (Goldstein, 1996:81)

4. Counter Hegemony

(28)

menyingkap kerusakan sistem lama yang dapat mengorganisir masyarakat. (Gramsci, 1971:14)

Dengan begitu, ide tentang pemberontakan serta merta dapat diterima oleh masyarakat hingga tercapainya revolusi. Counter hegemony bisa dilakukan oleh kalangan intelektual dari berbagai kelompok yang tertindas oleh sistem kapitalisme. Setiap pihak yang berkontribusi dalam perjuangan melawan hegemoni harus saling menghormati otonomi kelompok yang lain dan mereka harus bekerjasama agar menjadi kekuatan kolektif yang tidak mudah dipatahkan ketika melakukan counter hegemony. (Carnoy, 1984:73-75)

Perlawanan tersebut menurut Gramsci disebut sebagai konsep perang posisi (the war of position) yaitu perjuangan yang lebih di arahkan kepada usaha-usaha untuk membongkar atau bahkan melenyapkan ideologi, norma-norma, politik dan kebudayaan dari kelompok yang berkuasa dan menjadikan suatu tatanan baru. (Carnoy, 1984:78)

(29)

Antonio Gramsci berpandangan bahwa budaya barat sangat mendominasi budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya barat tersebut.

Dengan demikian, pemahaman mengenai counter hegemony yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci sesuai untuk menggambarkan kondisi Bolivia yang anti-Amerika di bawah kepemimpinan Evo Morales.

F. Metode Penelitian

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Bogdam dan Taylor (dalam Bangin, 2003:35), metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis dari berbagai sumber yang diamati. Sejalan yang dikemukakan oleh Moleong (1989:3), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat deskriptif atau pemaparan fenomena yang terjadi. Dalam penelitian kulitatif metode yang digunakan adalah penngumpulan data dan analisa data.

1. Pengumpulan Data

(30)

Research Center FISIP UI, Perpustakaan, dan Perpustakaan Information Resource Center (IRC) kedutaan besar Amerika Serikat di Indonesia.

2. Analisa Data

Menurut Mas’oed (1990:43) dalam melakukan studi hubungan internasional

perlu ditetapkan tingkat analisa sebagai petunjuk untuk menentukan unit analisanya sehingga suatu studi dapat lebih fokus. Dalam tulisan ini tingkat analisis yang diambil adalah negara. Dalam teknik analisa data, penulis membaca serta mengolah data penelitian, dengan cara menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis agar lebih mudah difahami dan disimpulkan. Teknik tersebut dapat membantu dalam memaparkan kebijakan Bolivia dalam mengadapi hegemoni AS tahun 2005-2009.

G. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah B. Pertanyaan Penelitian

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. Tinjauan Pustaka

E. Kerangka Pemikiran F. Metode Penelitian

BAB II DINAMIKA KEBIJAKAN EKONOMI BOLIVIA A. Sejarah Kebijakan Ekonomi Bolivia

B. Penerapan Ekonomi Neoliberal di Amerika latin C. Perkembangan Ekonomi Neoliberal di Bolivia D. Dampak Kebijakan Ekonomi Neoliberal di Bolivia E. Penerapan Ekonomi neoliberal di Bolivia

(31)

BAB III HEGEMONI AMERIKA SERIKAT DI BOLIVIA SEBELUM 2005 A. Latar Belakang Hegemoni Amerika Serikat di Amerika Latin A.1 Doktrin

Monroe.

B. Hegemoni Amerika Serikat di Amerika Latin sebelum Tahun 2005 C. Hegemoni AS di Bolivia sebelum Tahun 2005

C.1 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Victor Paz Estenssoro Periode 1985-1989

C.2 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Jamie Paz Zamora Periode 1989-1993

C.3 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Gonzalo Sanchez de Lozada Periode 1993-1997

C.4 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Hugo Banzer Periode 1997-2001

C.5 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Jorge Quiroga Ramirez Periode 2001-2002

C.6 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Gonzalo Sanchez de Lozada Periode 2002-2003

C.7 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Carlos Mesa Periode 2003-2005

BAB IV KEBIJAKAN BOLIVIA DALAM MENGHADAPI HEGEMONI AMERIKA SERIKAT 2005-2009

A. Faktor Internal

A.1 Kesenjangan Sosial

A.2 Gerakan Sosial Menuju Perubahan

A.3 Suksesi Naiknya Evo Morales ke Puncak Kekuasaan A.4 Kebijakan Bolivia dalam Nasionalisasi Minyak A.5 Kebijakan Bolivia dalam Melegalisasikan Koka B. Faktor Eksternal

B.1 Dampak Kebijakan Ekonomi Neoliberal di Amerika Latin B.2 Pembentukan Lembaga-lembaga Regional di Amerika Latin C. Dampak Kebijakan Nasionalisasi Bolivia Bagi Pertumbuhan

Ekonomi Domestik BAB V PENUTUP

(32)

Dalam bab ini menjelaskan sejarah dan perkembangan kebijakan Ekonomi Bolivia, yakni mulai dari kebijakanan Neoliberal AS di Amerika Latin, yang melatarbelakangi hegemoni AS di Amerika Latin sejak tahun 1823 melalui Doktrin Monroe hingga perkembangannya menjelang berkurangnya pengaruh hegemoni AS. Bab ini terdiri dari lima bagian.

Bagian pertama menjelaskan mengenai latar belakang hegemoni AS di Amerika Latin yang dimulai dari doktrin Monroe pada tahun 1823 dan memiliki pembahasan Doktrin Monroe ini digunakan untuk menekankan awal mula intervensi AS di kawasan Amerika Latin.

Penerapan Doktrin Monroe hingga tahun 1825 sejalan dengan kemerdekaan Bolivia menjadi republik. Hal ini berlangsung terus sampai pertengahan tahun 1985. Pada kurun waktu 1825 hingga 1985 sebanyak 178 pemerintahan jatuh bangun dan sebagian besar diperintah oleh rezim militer. Pemerintah Hugo Banzer tercatat paling lama berkuasa selama tujuh tahun, yakni 1971-1978.

(33)

keempat membahas penerapaan Ekonomi Neoliberal di Bolivia dan bagian Kelima membahas kebijkana Privatisasi Ekonomi di Bolivia.

A.Sejarah Perekonomian Bolivia

Semasa penjajahan Spanyol, Bolivia dibentuk dengan nama Upper Peru atau Characas yang saat ini menjadi nama Negara Bolivia, dan sampai ke Lower Peru yang saat ini menjadi Negara Peru. Kedua daerah tersebut merupakan

bentukan Spanyol sebagai kesatuan dareah jajahan sekaligus wilayah administratif politik. Pada tahun 1545, daerah Upper Peru tercatat memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar seperti memiliki cadangan perak yang melimpah ditambah dengan wilayah luas, hal ini menjadikan Upper peru menjadi daerah yang kaya akan tambang. (Black, 1984:403)

Hingga pada perkembanganya pada tahun 1825 daerah Upper Peru mendapatkan kemerdekaannya secara resmi melalui perjuangan panjang pejuang-pejuang asli Bolivia atau masyarakat indigenous dikarenakan adanya penindasan dan praktik diskriminasi terhadap masyarakat indigenous seperti adanya pemeberlakuan kerja paksa, kewajiban membayar upeti terhadap pemerintah Kolonial Spanyol dan perampasan Sumber daya alam dan barang-barang berharga yang dimiliki oleh masyarakat indigenous (reparto de mercancias). (Albo, 1987:381)

(34)

pemberontakan ini dimulai pada tahun 1770 hingga tahun 1772 (Serulnikov, 2003:126). Hingga perjuangan panjang sampai tahun 1825, Simon Bolivar menjadi tokoh pembebasan masyarakat Bolivia dari pengaruh Kolonialisme Spanyol. (Gott, 2005:91)

Pada awal berdirinya Bolivia menjadi suatu negara, Bolivia memiliki daerah tetitorial yang sangat luas. Tercatat bagian selatan Chili, daerah perbatasan Brasil, dan daerah perbatasan Paraguay yang disebut sebagai daerah Chaco yang merupakan bagian dari Bolivia. Banyaknya peperangan dan perlawanan membuat Bolivia sebagai negara yang kehilangan daerah teritorialnya. (Farcau, 1996:9)

Perang tersebut terjadi pada 7 Juni 1879 terjadi peristiwa perang antara Peru, Chili dan Bolivia yang lebih dikenal War of Pasific. Perang yang berlangsung selama lima tahun tersebut terjadi akibat pelanggaran perjanjian yang pernah dilakukan Bolivia dengan Chili tahun 1874. Dalam perjanjian tersebut Chili mengakui hak Bolivia atas Gurun Pasir Atacama dan perusahaan Chili di kawasan tersebut dibebaskan pajak selama 25 tahun. (http://lcweb2.loc.gov/cgi-bin/query/r?frd/cstdy:@field%28DOCID+bo0020%29)

Bolivia meninta pajak pada tahun1878, sehingga Chili menduduki pelabuhan Antofagata. Sebagai reaksi Bolivia menyatakan perang dengan dukungan Peru. Bolivia mengalami kekalahan pada tahun 1880 dan secara resmi menyerahkan pantai tersebut kepada Chili dengan menandatangani Treaty of

Peace and Frienship.

(35)

Pada perkembanganya Bolivia dihadapkan pada situasi ekonomi yang tidak menentu dalam suatu pencapaian stabilitas negara. Berbagai aksi pemberontakan dan perlawanan rakyat dan kudeta militer menjadikan Bolivia dihadapkan kepada situasi yang sulit. Pada tahun 1945 aksi pemberontakan terjadi di daerah Catavi, perlawanan yang terjadi ini mendapat dukungan penuh dari pihak Movimiento Nacionalista Revolucionario (MNR). Dua tahun setelah gerakan perlawanan Catavi pemilu kembali diberlakukan dan mengantarkan Paz Estensorro menjadi pemenang dari partai MNR. (http://lcweb2.loc.gov/cgi-bin/query/r?frd/cstdy:@field%28DOCID+bo0020%29)

Kemenangan ini tidak terlepas dari program kebijakannya menasionalisasi dan reformasi kepemilikan tanah bagi masyarakat indigenous, akan tetapi hasil pemilu ini membuat pihak militer mengambil peran dengan menghapuskan pemilu yang dicapai. Disisi lain, kesatuan militer mengalami krisis kepemimpinan dengan tidak bisa menyatukan seluruh angkatan bersenjata Bolivia. Pada sisi yang berbeda MNR mengambil kesempatan untuk melakukan pemberontakan, keadaan ini memaksa militer mundur dan menyerah. (Kohl, 2006:48)

(36)

dan program land reform yaitu program yang menyangkut distribusi lahan di pedesaan. (http://www.latinamericanstudies.org/bolivian-revolution.htm)

Pada bulan Agustus 1953, pemerintah memberlakukan Undang-Undang Reformasi Agraria 1953, pemerintah memberlakukan Undang-Undang tersebut bertujuan untuk menghapus eksploitasi kerja terhadap kelas buruh dan pendistribusian lahan-lahan di wilayah pedesaan dari kelompok oligarki tuan tanah.(

http://www.mongabay.com/history/bolivia/bolivia-petroleum_and_natural_gas.html).

Meskipun serangkaian kebijakan reformasi radikal yang dilakukan pemerintahan MNR telah berjalan, akan tetapi dampak yang dirasakan masyarakat indigeneous di Bolivia tetap tidak memperoleh perubahan yang signifikan dari kebijakan ini. Justru sebaliknya, pada masa pemerintahan MNR lewat kebijakan tersebut. Dampak yang terjadi dari kebijakan reformasi agrarian tahun 1953. Redistribusi tanah yang dilakukan MNR, namun yang perlu ditekankan disisni adalah aturan reformasi agrarian yang ada hanya Undang-Undang yang sifatnya formalitas. (http://www.latinamericanstudies.org/bolivian-revolution.htm)

(37)

kelompok elit yang mengendalikan masyarkat indigenous untuk tujuan mereka semata. (Cott, 2000:164)

Periode pmerintahan revolusioner MNR berakhir pada tahu 1964, setelah rezim junta miter melakukan kudeta yang menandai dimulainya era ketidakstabilan politik Bolivia. Semenjak saat itu hingga rentan waktu 18 tahun berikutnya Bolivia dikendalikan oleh rezim junta militer yang bersifat otoriter, korup, dan brutal yang didukung oleh AS untuk menjadi pembendung paham “kiri” di kawasan Amerika Latin. (Farah, 2009:3)

Pemerintahan pertama rezim junta militer Bolivia berada di bawah kepemimpinan Jendral Barrientos yang berkuasa dari tahun 1964 hingga 1969. Dalam era kepemimpinan Jendral Barrientos, peranan negara yang kuat dalam mengontrol perekonomian sejak masa revolusi MNR kembali dilanjutkan. Rezim junta militer tersebut mendapat dukungan dari AS. Hal ini dibuktikan dengan diberangkatkanya 1200 orang perwira militer Bolivia ke seekolah-sekolah militer AS. (Kohl, 2006:50)

Dinas intelejen AS Central intelegence Agency (CIA) dan pasukan khusus AS juga ikut pula memberikan pelatihan teknis kepada rezim junta militer Bolivia yang pada akhirnya memainkan peranan penting seperti dalam kasus penangkapan dan eksekusi terhadap tokoh sosialis asal Kuba Che Guevarra dalam pelariannya ke Bolivia pada tahun 1967 (Kohl, 2006:50).

(38)

ini antara pemerintah junta militer dengan petani tersebut ditunujan dengan pembentukan pakta militer-kelompok petani (The Military-Campesino Pact) (Kohl, 2006:50).

Dengan dibentuknya pakta tersebut, Jenderal Barrientos mendapat dukungan yang kuat dari masyarakat pedesaan Bolivia. Buktinya dengan memenangi pemilu pada tahun 1966 dengan perolehan suara 63% yang berasal dari mayoritas masyarakat pedesaan Bolivia (Kohl, 2006). Akan tetapi hubungan harmonis tersebut tidak bertahan lama setelah meninggalnya Jenderal Barrientos akibat kecelakaan helikopter dalam kunjungan kerjanya ke wilayah pedesaan Bolivia pada tahun 1969. (Albo, 2002:76)

Setelah ditinggal oleh Jenderal Barriientos, dingantikan oleh, Luis Adolfo Siles Salinas dan kemudian digulingkan oleh Jenderal Alfredo Ovando Candia. Jenderal Alfredo Ovando Candia sempat menasionalisasi minyak dari Perusahaan Gulf milik AS di Bolivia. Pada tahun 1970 Jenderal Alfredo Ovando Candia digulingkan oleh Jenderal Juan Jose Torres (

http://www.washingtonpost.com/wp-srv/world/countries/bolivia.html).

Setelah Jenderal Jose Torres menjadi pemipin Bolivia, Jenderal Jose Torres melanjutkan hubungan dengan Uni Soviet yang sebelumnya telah dibangun oleh Jenderal Alfredo Ovando Candia , menjadi lebih dekat. Hal ini sangat merugikan hubungan dengan AS. Jenderal Jose Torres digulingkan pada tahun 1971 oleh Jenderal Hugo Banzer dan mengembalikan hubungan dengan AS.

(39)

Setelah ditinggal Jenderal Barrientos, hubungan militer dengan petani mengalami keretakan mulai terjadi. Keretakan hubungan militer dengan kelompok petani semakin mencapai puncaknya di masa kepemimpinan Jenderal Hugo Banzer yang perkuasa dari tahun 1971 hingga tahun 1978. Sebagai catatan penting pemerintah Hugo Banzer, perekonomi Bolivia mengalami perkembangan yang pesat dengan meningkatnya harga mineral di pasaran internasional serta penemuan cadangan gas baru. (Salt, 2006:38)

Sektor pertanian di wilayah timur Bolivia dan pembangunan pabrik-pabrik di wilayah La Paz juga semakin berkembang pesat. Namun ditengah-tengah perkembangan pesat di sektor pertanian tersebut pemerintah Bolivia mengambil langkah yang tidak popular di masyarakat dengan menaikan harga hasil pertanian secara tinggi yang mengakibatkan protes di kalangan petani. (Salt, 2006:38)

Pemerintah Bolivia tidak merespon aksi protes yang terjadi di kalangan petani. Pemerintah menggunakan tindakan represif yang terjadi pada tahun 1974 saat Jenderal Hugo Banzer mengerahkan kekuatan bersenjata untuk menghadapi aksi protes tersebut di wilayah Tolata di Provinsi Cochamba. Pergerakan kekuatan bersenjata tersebut berakhir tragis dengan pembantainan yang menewaskan 200 orang petani Bolivia. (Kohl, 2006:52)

(40)

mendesak dipromosikannya nilai-nilai hak asasi secara universal serta diakhirinya kepemimpinan rezim militer di Amerika Latin. (Mayorga, 2005:151)

Desakan yang kuat untuk menerapkan proses demokratisasi di Bolivia tersebut berujung kepada tumbangnya rezim junta militer Jenderal Hugo Banzer melalui kudeta pada tahun 1978 oleh Jenderal Guido Vildoso Calderon, berakhirnya rezim militer Jendral Hugo Banzer malah membuat ketidakstabilan ekonomi dan politik di Bolivia.

Pada tahun 1980 Hernan Siles Zuazo dan partai yang dipimpinya Unidad Democratica Popular (UDP) memenangkan pemilu, akan tetapi kemenangan

tersebut diambil alih oleh Jenderal Luis Garcia Meza, pemerintahan junta militer tersebut hanya bertahan 1 tahun. kebijkan yang dilakukan pemerintah tersebut adalah ekspor kokain yang mencapai 850 juta Dolar AS. Pada tahun 1980-1981 menbuat pemerintahan tersebut berada dalam ancaman dunia internasional ditambah dengan korupsi dan kekejaman militer yang menyudutkan pemerintahan tersebut.

Pada tahun 1982 Kongres Bolivia melantik Hernan Siles Suazo sebagai presiden terpilih pada tanggal 10 Oktober 1982 yang sekaligus menandai dimulainya era transisi domokrasi di Bolivia setelah 18 tahun berada di bawah kekuasaan junta militer. (

http://lcweb2.loc.gov/cgi-bin/query/r?frd/cstdy:@field%28DOCID+bo0033%29)

(41)

bernilai. Tingkat inflasi yang terus meningkat dari tahun 1982 sebesar 296% tahun 1984 sebesar 2. 175% dan pada tahun 1985 mencapai lebih dari 8.168%. yang tertera pada grafik inflasi. (Roca, 1996:162-164)

[image:41.595.149.448.241.578.2]

Grafik inflasi

Grafik diperbesar pada tahun 1980-1990

Sumber:http://www.pbs.org/wgbh/commandingheights/lo/countries/bo/bo_inf.html

(42)

ditujukan untuk menanta ulang perekonomian Bolivia. Perencanaan program tersebut diperkuat dengan Dekrit Presiden 21060 (Kohl, 2006:83).

Pada bulan Agustus 1985, Pemerintah Bolivia secara resmi mengumumkan program penyesuaian struktural (SAP) yang diberi nama New Economic Policy (NEP) isi dan butir yang termaksud kedalam NEP diantaranya:

Menghapuskan pembatasan-pembatasan impor dan ekspor (liberalisasi kebijakan impor dan ekspor), menetapkan tingkat perdagangan tunggal dan fleksibel, membekukan upah sektor publik selama empat bulan (kemudian dikurangi sampai tiga bulan), memberikan kesempatan kepada perusahaan-perusahaan negara satu bulan untuk mengemukakan program-program rasionalisasi (yaitu pemutusan hubungan kerja) staf, memperkenalkan kontak bebas pada semua firma. (Avirgan, 2003:82)

B. Penerapan Ekonomi Neoliberal di Amerika Latin

(43)

Gagasan perlindungan hak milik intelektual, good governace, penghapusan subsidi, program proteksi kepada rakyat, deregulasi, pembangunan civil society, program antikorupsi dianggap sebagai proram yang akan mendorong

pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu diperlukan suatu tatanan perdagangan global dan sejak saat itulah gagasan globalisasi dimunculkan. (Fakih, 2001:218)

Era globalisasi ini ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang dipaksakan melalui kebijakan Structural Adjustment Programme (SAP) merupakan kebijakan yang ditetapknan di negara-negara berkembang oleh lembaga finansial global yang didukung oleh AS, seperti IMF dan World Bank yang telah disepakati oleh lembaga dunia. Fase globalisasi ini ditandai dengan proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia berdasarkan kepada keyakinan perdagangan bebas. (Suyatna, 2007:36)

AS melalui IMF lalu menolong negara-negara berkembang melalui program restrukturisasi IMF berdasarkan sejumlah prasyarat hutang yang akan diberikan, yaitu, program privatisasi perusahaan-perusahaan negara, pengurangan belanja publik melalui pengurangan subsidi adalah strategi kebijakan yang menjadi prinsip utama gagasan-gagasan neoliberal. (Winarno, 2005:25)

(44)

Neoliberalisme merubah wilayah yang diterima wilayah oleh aktifitas negara dan mengurangi pengeluaran sosial sebagai negara yang turun tahta. Hal tersebut merupakan tanggung jawab untuk menjaga sektor yang diprivatisasi. (Kohl, 15:2006)

Gagasan neoliberal ini mengacu kepada Washington Consensus yang mencangkup beberapa hal. Pertama pengeluaran pengeluaran publik, khususnya militer dan administrasi publik, kedua liberalisasi keuangan dengan suku bunga yang ditentukan pasar, ketiga liberalisasi perdagangan disertai penghapusan iain impor dan pengurangan tarif, keempat mendorong investor asing, kelima privatisasi perusahaan-perusahaan negara, keenam deregurasi ekonomi, ketujuh nilai tukar yang kompetitif untuk pertumbuhan berbasis ekspor, kedelapan menjamin disiplin dan pengendalian defisit anggaran, kesembilan reformasi pajak, kesepuluh perlindungan hak cipta. (Suyatna, 2007:39)

Dalam realitasnya, penerapan program restrukturisasi yang dilakukan oleh IMF ini menimbulkan penderitaan rakyat. Program ini telah mempertajam kesenjangan antara masyarkat Bolivia (indigenous) dengan investor asing. Laporan PBB tahun 1999 menujukan bahwa 1/5 dari penduduk dunia dengan penghasilan menguasai 86% GDP dunia. 82% pasar ekspor dunia dan Foreign Direct Investment (FDI) dan 74% pengguna telepon. Sebaliknya.1/5 penduduk

termiskin dari negara miskin menguasai hanya 1% dari semua sektor tersebut. (Suryohadiprojo, 2003)

(45)

memasukkan agenda neoliberalisme dalam kebijakan perekonomian di negara-negara tersebut. Kondisi krisis ekonomi yang parah menyebabkan tidak adanya pilihan lain bagi kebanyakan negara-negara yang terkena krisis untuk meminta pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan global seperti IMF dan World Bank. (Suyatna, 2007:42)

Dalam kaitanya dengan perdagangan bebas, World Bank dan IMF adalah dua organisasi internasional yang paling berkuasa, IMF memiliki misi untuk mengupayakan stabilitas keuangan dan ekonomi melalui pemberian hutang. Sedangkan World Bank juga merupakan aktor penting pemberi hutang dengan upaya mengurangi kemiskinan dan membiayai investasi untuk pertumbuhan ekonomi. Program SAP merupakan program World Bank dalam membentuk perdagangan bebas dan juga bagian dari program neoliberal. (Fauzi, 2005:157-160)

Bantuan keuangan tersebut akan diberikan dengan prasyarat yaitu negara penghutang harus menurut resep yang diberikan dalam program penyesuaian yaitu SAP. Negara yang menerima pinjaman harus melakukan tiga hal diantaranya: liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Dengan demikian kebijakan ekonomi diformulasikan oleh pemerintah dalam rangka mengikuti alur pedagangan global yang mengarah kepada perdangangan bebas. (Suyatna, 2007:43)

(46)

kerugian besar dan kemiskinan karena tidak semua masyarakat dapat menikmati keuntungan dari privatisasi tersebut.

C. Kebijakan Ekonomi Neoliberal di Amerika Latin

Kepentingan yang dicapai oleh Neoliberalisme adalah kesamaan antara individu, distribusi sumber daya yang seimbang dan maksimalisasi keuntungan. Inti dari Neoliberalisme adalah melihat kehidupan sebagai sumber laba korporasi (perusahaan). Neoliberalisme melalui ekonomi pasar bebas pada dasarnya berupaya untuk menekan intervensi pemerintah sampai titik minimum (Suyatna, 2007:37).

AS mendukung pembangunan-pembangunan di negara-negara berkembang dengan tujuan melakukan dominasi dan penyebaran gagasan neoliberal yang pemikiran utamanya adalah pasar bebas dan mencegah peran aktif negara dalam perekonomian. Implikasi yang kemudian muncul adalah hampir semua negara di dunia mengambil jalan kearah neoliberal dan pasar bebas, hal tersebut menimbulkan deregulasi pasar dan memprivatisasi perusahaan-perusahaan negara (Suyatna, 2007:38).

(47)

AS juga mendorong adanya Pemilu prosedural untuk membentuk rezim representatif untuk mendukung neoliberalisme, kapitalisme pasar bebas ( free-market-led-capitalism) menggantikan kapitalisme negara (state-led-capitalism)

dibawah diktator militer (Suyatna, 2007).Mengingat Bolivia pernah mengalami pemerintah militer (Lesmana, 2007: 602).

Amerika Latin dibawah sistem kapitalisme global melalui restrukturisasi neoliberal secara misalnya dengan deregulasi, privatisasi, pengetatan belanja, dan fleksibilitas kerja. Pada akhirnya neoliberal semakin berkuasa untuk memaksakan resturisasi ekonomi domestik yang semula berusaha mencari cara pembangunan alternatif. (Suyatna, 2007:44)

Banyaknya produk-produk impor memasuki kawasan Amerika Latin mengalahkan produk-produk lokal yang mematikan ekonomi rakyat yang pada akhirnya para petinggi di negara-negara Amerika Latin menerima program SAP yang dipaksakan oleh pemberi pinjaman. (Suyatna, 2007)

AS juga mengawasi dengan ketat melalui aparat negara dan lembaga finansial global yang bertujuan untuk menekan pemerintah yang menentang keterbukaan, keuangan internasional dan organisasi perdagangan internasional yang telah didesain ulang untuk menyesuaikan dengan aturan globalisasi yang baru. (Tabb, 2001:81)

(48)

Kebijakan neoliberalisme yang ditetapkan di Amerika Latin telah menyebabkan berbagai dampak negatif dikarenakan program-program World Bank di tingkat pertanahan melalui Land Policy Research Report dan Land Policies For Growth Poverty Reduction telah membuat ketimpangan Struktur

tanah semakin membesar. Struktur kepemilikan tanah secara feodal yang diwariskan pada zaman kolonial direproduksi dan menghasilkan struktur neofeodal yang didominasi pengusaha, perseorangan, dan penngusaha transnasional. (Suyatna, 2007:44-45)

Globalisasi yang berdampak pada pembentukan tanah ini membuat petani kehilangan tanahnya, diambil oleh pemilik modal yang lebih besar yang pada akhirnya membuat petani kehilangan pekerjaannya. Program IMF mengakibatkan pengangguran merupakan proses pengetatan anggaran di berbagai negara. (Saragih, 2006: 15)

Sementara, aturan perdagangan yang dibuat oleh World Trade Organization (WTO) membuat proteksi pasar dalam negeri hancur

berantakan.Pasar pertanian, jasa, dan Industri dalam negeri di kawasan Amerika Latin yang belum mapan pada akhirnya dilanda produk AS dan Uni Eropa. Usaha dalam negeri runtuh dan rakyat kehilangan pekerjaannya. (Saragih, 2006)

(49)

menigkatkan efisiensi perusahaan dan menciptakan lingkungan bisnis yang kompetitif. (Suyatna, 2007:46-47)

Penerapan kebijakan tersebut telah menyebabkan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal terhadap buruh akibat ketidakmampuan perusahaan-perusahaan domestik untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan multinasional. Pada saat yang sama hiperinflasi merajalela dan pertumbuhan keseluruhnya negatif. Tingkat korupsi juga merajalela di pemerintah. Dampak lebih lanjut dari kebijakan tersebut memburuknya kondisi sosial ekonomi masyarakat. (Suyatna, 2007:47)

Dampak kebijakan neoliberal di kawasan Amerika Latin menimbulkan perlawanan dan kritik dari negara-negara Amerika Latin. Sebelum tahun 1998, keadaan kawasan Amerika Latin relatif dapat dikontrol AS, namun sejak 1998, sejumlah negara seperti Venezuela dan Kuba terus melancarkan kritik terhadap dominasi pengaruh AS di negaranya sebagai akibat kegagalan kebijakan neoliberal dalam mewujudkan janji-janji kemakmuran dan kesejahteraan pada rakyat Amerika Latin. Ribuan aksi dari masyarakat terus terjadi untuk menuntut terwujudnya keadilan sosial. (Suyatna, 2007:52)

(50)

Bolivia untuk memprotes terhadap pemerintah Gonzalo Sanchez de Lozada. ( Suyatna, 2007:64)

Pada awal penerapan kebijakan ini berjalan secara efektif dimana peran pemerintah lokal menggunakan striktur kekuasaan global untuk mengorganisasi kelembagaan yang sangat memudahkan bagi pelaksanaan program struktural ini, hingga pada perkembangannya kawasan Amerika Latin dibawah kebijakan ekonomi neoliberal dengan adanya deregulasi, privatisasi, penghematan belanja hal ini yang menjadikan pasar bebas di Amerika Latin hingga pada akhirnya negara-negara Amerika Latin menerima program SAP yang dipaksakan oleh pemberi pinjaman.

D. Penerapan Ekonomi Neoliberal di Bolivia

AS sering kali turut campur tangan dalam proses pergantian presiden di Bolivia. AS akan mendukung presiden yang dipandang mampu memberikan keuntungan bagi kepentingannya dan melakukan berbagai upaya untuk mengisolasi gerakan rakyat yang menetang kepentingan AS. (Suyatna, 2007:64)

(51)

Hal yang mendasari dengan menerapkan kebijakan neoliberal ialah mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperkuat demokrasi yang di inspirasi oleh Washington Consesnsus. Gonzalo Sanchez de Lozada memperkirakan dengan adanya kebijakan neoliberal di Bolivia akan mendatangkan modal melalui investor asing, teknologi, dan sistem manajemen baru untuk mendorong perekonomian Bolivia dan menciptakan ratusan ribu lapangan pekerjaan. (Kohl, 2004:894)

Akan tetapi dengan adanya kebijakan neoliberalis di Bolivia, tidak sejalan dengan gagasan neoliberal, dikarenakan dengan adanya tingkat investasi asing yang meningkat terutama dalam sektor minyak dan gas menyusul dengan diprivatisasinya perusahaan minyak dan gas milik negara Yacimientos Petrolõ Âferos Fiscales de Bolivia (YPFB) investasi ini memberikan stimulus untuk

perluasan ekonomi, akan tetapi di sektor informal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), banyak tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan dikarenakan adanya privatisasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi lamban. (Kohl, 2004)

Meskipun pemerintah memberlakukan peningkatan yang signifikan dalam pajak konsumsi energi hal tersebut memicu kerusuhan sosial yang cukup besar, pemerintah Bolivia hanya mampu menggantikan sebagian 60% dari pendapatan yang berasal dari YPFB. (Kohl, 2004)

(52)

juta Dollar AS dari pajak hidrokarbon tambahan dan 90 juta Dollar AS dari pajak penghasilan yang disektor lain. (Kohl, 2004)

Dengan adanya campur tangan AS kedalam urusan politik dama negeri Bolivia dengan mudah AS dapat menerapkan kebijakan ekonomi neoliberal di Bolivia dengan cara memberikan pengaruh pada berbagai kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan pemerintah Bolivia.

E. Kebijakan Privatisasi Ekonomi di Bolivia

Dalam gagasan neoliberal berpendapat bahwa liberalisasi ekonomi dan privatisasi menghasilkan peningkatan prosuktivitas disektor swasta dan diertasi dengan desentralisasi dengan reformasi administrasi menyebabkan demokrasi yang lebih baik, investasi sektor publik yang lebih efisien, dan pembangunan daerah yang lebih cepat (Kohl, 2002:449).

Dalam masalah yang terjadi di Bolivia yang telah diterapkan sebagai model ekonomi neoliberal sebagai restrukturisasi perekonomian di Bolivia, dengan adanya model ekonomi tersebut menyebebkan terjadinya privatisasi yang menyebabkan penurunan pendapatan pemerintah dan terjadi krisis ekonomi.Privatisasi perusahaan negara telah menyebangkan kenaikan suku bunga yang nantinya menimbulkan gerakan sosial besar-besaran. (Kohl, 2002)

(53)

untuk privatisasi parsial dari lima negara industri milik yang menyumbang12,5% dari Produk Domestik Bruto menggambarkan proses liberalisasi ekonomi. (Kohl, 2002:450)

Kedua, Hukum Partisipasi Populer yang ditransfer 20% dari pendapatan nasional untuk pemerintah kota bersama dengan tanggung jawab untuk investasi dan pemeliharaan di depan umum lokal infrastruktur memberikan contoh restrukturisasi politik yang demokratis. (Kohl, 2002)

Pada 1994 telah diprivatisasi lima industri strategis yaitu migas, telekomunikasi, penerbangan, listrik, dan rel kereta api. Sebelum Kapitalisasi perusahaan negara menyumbang sekitar 60% dari pendapatan pemerintah 48% dari minyak dan gas. Gonzalo Sanchez de Lozada membenarkan untuk menjual industri milik negara inti mengklaim bahwa investasi masuk ke dalam negeri akan menciptakan 500.000 lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan GDP tahunan 4-10%. (Kohl, 2002:465)

Dengan demikian Bolivia melakukan reformasi ekonomi dengan serangkaian kebijakan baru meliputi pengembangan administrasi didefinisan dengan oleh penekanan pada desentralisasi, pengembangan masyarakat, deregulasi, dan privatisasi hal tersebut membuat peran pemerintah menjadi terbatas dan selalu mengandalkan bantuan asing. (Werlin, 1992:223)

(54)

Pada saat Pemerintah Gonzalo Sanchez de Lozada memiliki rencana pembangunan yang dikenal dengan Plan de Todos rencana ini menjadikan Bolivia sebagai pasar bebas dengan mendatangkan investor asing guna meningkatkan perekonomian Bolivia dengan adanya kebijakan tersebut Bolivia dapat keuntungan modal melalui investor asing, teknologi, dan sistem manajemen baru untuk mendorong perekonomian Bolivia dan menciptakan ratusan ribu lapangan pekerjaan.

(55)

Dalam bab III membahas hegemoni AS di Bolivia sebelum tahun 2005. Bab ini terdiri atas dua bagian.Bagian pertama memaparkan hegemoni AS di Amerika Latin sebelum tahun 2005 dan beberapa negara yang mengalami dampak dari kebijakan neoliberal.Bagian kedua memaparkan hegemoni AS di Bolivia beserta kebijakan enam presiden yang menerapkan kebijakan neoliberal di Bolivia.

A. Latar Belakang Hegemoni Amerika Serikat di Amerika Latin

Masuknya AS dalam kawasan Amerika Latin mempunyai sejarah yang sangat panjang, semenjak dikeluarkan Doktrin Monroe dalam pidato tahunannya 1823 yang intinya adalah menegaskan tidak adanya intervensi yang dilakukan oleh bangsa Eropa di Amerika Latin. (Meiertons, 2010:26)

Pada tahun 1823 merupakan awal mula AS memiliki hasrat untuk melakukan hegemoni dikawasan Amerika Latin yang menjadi pertimbangan pertama melalui kebijakan Isolasionisyang merupakan tahap dari Doktrin Monroe dengan adanya merupakan awal dari manifestasi hegemoni AS di Amerika Latin (Meiertones, 2010:30).

(56)

bantuan dari negara lain. Sejarah perkembangan paradigma internasionalisme dimulai setelah isolasionis berkembang. AS menyadari perlu adanya peran negara lain dalam kehidupan bernegara (Hook, 2000:268).

Internasionalisme merupakan gagasan bahwa AS harus secara aktif terlibat dalam urusan dunia luar hal ini meliputi tugas seperti menjaga perdamaian, menengahi perselisihan antar bangsa, membantu negara menjaga independensi, dan menjaga integritas dan teritorial. Ide dari internasionalis ini lahir pada saat akhir perang dunia II (1939-1945), sebelumnya kebijakan luar negeri AS ini dikenal dengan Isolasionis (Durante, 2010:1).

Pada saat Dokrin Monroe runtuh, AS terlibat dalam dalam Perang Dunia II. Pasca Perang Dunia II muncul dua blok yang sama-sama kuat yaitu AS dengan ideologi liberalnya dan Uni Soviet dengan ideologi komunisnya. Pada masa tersebut AS dan Uni Soviet terlibat dalam pertikaian ideologi, dan pertikaian ini dimenangkan AS. Perkembangan selanjutnya muncul intitusi penunjang pasar bebas seperti WTO, IMF, dan World Bank. (Kohl, 2006:12)

(57)

Dengan dimulainya Doktrin Monroe di kawasan Amerika Latin menbuat AS ingin menjadikan Amerika Latin sebagi halaman belakangnya dan melindungi kawasan tersebut dari luar terutama negara-negara Eropa yang ingin menguasai kawasan tersebut. Selama perkembangannya kawasan tersebut mendapatkan bantuan luar negeri dari AS, akan tetapi bantuan tersebut membuat Amerika Latin bergantung kepada AS.

A.1 Doktrin Monroe

Intervensi pertama AS dimulai dengan adanya Doktrin Monroe. Pada tanggal 2 Desember 1823 presiden kelima AS James Monroe mengunakan kesempatan pidato tahunanya kepada kongres, Monroe menjelaskan prinsip-prinsip dari kebijakan luar negeri AS, yang pada periode berikutnya telah dianggap sebagai acuan untuk orientasi jangka panjang kebijakan luar negeri AS (Meiertones, 2010:25).

Prinsip dasar yanag merupakan ide asli dari Doktrin Monroe yaitu pembatasan kebebasan politik tindakan non-Amerika di negara bagian Amerika yaitu prinsip pembatasan kebebasan politik terhadap aktifitas bangsa Eropa terhadap AS. Prinsip tersebut menjadi menjadi dua sub-prinsip. Pertama berkaitan dengan akuisisi wilayah dan yang kedua berkiatan dengan legalitas penggunaan kekerasan (Meiertones, 2010,26).

(58)

satunya dengan alasan menegakan stabilitas politik di negara-negara Amerika Latin membuat AS harus melakukan intervensi langsung ke Amerika Latin termaksud Bolivia.

B. Hegemoni Amerika Serikat di Amerika Latin sebelum Tahun 2005 Hegemoni AS di Amerika Latin pertama kali bermula dari Doktrin Monroe pada Desember 1823, Presiden Monroe menggunakan kesempatan pidato tahunannya ke kongres guna menyampaikan penolakan untuk mentolerir perluasan lebih lanjut dominasi Eropa di benua Amerika: “Tanah Amerika….

Mulai sekarang tidak boleh lagi dijadikan ajang kolonialisasi oleh negara-negara Eropa…. Kita harus menganggap setiap usaha mereka untuk memperluas sistem

politik di bagian manapun di benua ini sebagai bahaya bagi kedamaian dan keselamatan kita” (Monroe, “Seventh Annual Massage to Congress, December 2, 1823).

(59)

Pada era pasar bebas pada tahun 1985 sampai akhir 1990an berbagai macam reformasi ekonomi neoliberal, AS berupaya membangun sebuah tatanan baru secara menyeluruh seperti masyarakat berbasis pasar dan kesejahteraan sosial dengan kebutuhan ekonomi yang dibangun diatas logika pasar bebas, karena reformasi neoliberal secara stimulan memengaruhi bidang ekonomi, politik, dan sosial (Silva, 2009:3).

Pada awal penerapanya reformasi neoliberal di Amerika latin, keadaan Amerika Latin dapat dikontrol oleh AS. Namun sejak tahun 1998, sejumlah negara seperti Venezuela dan Kuba terus melancarkan kritik terhadap Hegemoni AS di Amerika Latin.Sebagai kegagalan neoliberalisme dalam mewujudkan janji-janji kemakmuran dan kesejahteraan kepada rakyat Amerika Latin (Suyatna, 2006:52).

Adanya tuntutan reformasi ekonomi neoliberalisme difokuskan kepada kebijakan untuk melindungi individu atau kelompok dari kekuatan penuh terhadap pasar bebas menyebabakan meluasnya pengangguran. Hal tersebut memicu adanya protes untuk menentang privatisasi dan pengurangan subsidi,dan pembongkaran lembaga negara pembangunan ekonomi (Silva, 2009:43).

(60)

Di Venezuela, untuk pertama kalinya muncul tokoh militer kiri, Presiden Hugo Chavez Friaz, yang begitu populer di kalangan rakyat bawah. Hugo Chavez memimpin rakyat dengan program populis yang menentang hegemoni AS seperti World Bank dan IMF. Hugo Chavez dikenal sangat anti AS, dia merasa bahwa

dengan bernaung di bawah IMF membawa dapak negatif bagi ekonomi negaranya (Suyatna, 2006:52).

Hugo Chavez menjadikan pemimpin Kuba Fidel Castro yang anti AS, sebagai panutan. Berawal dari kepopuleran Castro dan Chavez ini, aliran kiri kini telah menular ke sejumlah negara di Amerika Latin.Seperti yang terjadi di Argentina oleh Nestor Kirchner, Rafael Correa Delgado di Ekuador, dan Daniel Ortega di Nikaragua yang memiliki aliran kiri yang jelas-jelas bertentangan dengan kebijakan AS (Suyatna, 2006:53).

Di Argentina Presiden Nestor Kirchner mengambil kebijakan ekonomi dan politik nasionalisasi untuk menghadapi hegemoni AS di Argentina dengan mengambil sikap nasionalis untuk melakukan negosiasi dengan IMF (Silva, 2009:99). Argentina merupakan negara pertama memiliki hutang yang sangat besar yang jumlahnya 2,9 dolar AS atau mencapai seperempat dari cadangan devisanya. Argentina berani menolak pembayaran hutang tersebut ketika telah jatuh tempo (Suyatna, 2006:53).

(61)

bebas dengan AS dan mendukung kerjasama Ekonomi kawasan Amerika Latin. (Silva, 2009:191)

Correa juga mengusulkan untuk renegoisasi kontrak perusahaan migas negara dan perusahaan migas asing untuk dapat berinvestasi peningkatan pendapatan devisa. Platform ini jelas tercermin dari dari kebijakan Venezuela dan Bolivia. (Silva, 2009:191)

Kembalinya Daniel Ortega sebagai presiden Nikaragua pada tahun 2006 membawa dampak yang menguntungkan bagi pihak Sandinista merupakan gerakan untuk melawan penjajahan dan penindasan yang dilakukan AS. Pertama-tama, terjadi perpecahan di kalangan liberal berkaitan dengan persepsi partai-partai liberal tentang intervensi terhadap mereka. Faksi-faksi di kubu liberal awalnya saling berebutan pengaruh AS, lalu faksi yang kalah dalam rebutan justru balik menyerang intervensi AS itu sendiri (Soyomukti, 2008:170).

Kemenangan Daniel Ortega dan Sandinista tak dapat dipisahkan dari menguatnya efek domino di kawasan Amerika Latin yang semakin mengarah secara kuat kepada jalan ekonomi-politik anti-neoliberalisme. Manifestasi politiknya dapat diwujudkan dengan menjadikan AS sebagai musuh bersama di kawasan tersebut (Soyomukti, 2008:186).

(62)

Pada awalnya penerapan tersebut berjalan lancar keadaaan ekonomi di Amerika Latin dapat dikontrol sepenuhnya oleh AS. Namun penerapan ekonomi neoliberal difokuskan untuk melindungi kepentingan individu atau kelompok tertentu dari kekuatan penuh terhadap pasar bebas menyebabkan meluasanya pengguran di berbagai negara-negara Amerika Latin. Hal ini yang memicu adanya protes untuk menentang hegemoni AS.

C. Hegemoni AS di Bolivia sebelum Tahun 2005

Sejak dekade 1970an Bolivia mengalami krisis yang sudah terbangun lama yang diakibatkan oleh masalah yang kompleks yang melibatkan intervensi luas dan kesalahan dalam mengurus negara dalam perekonomian, korupsi meluas, dan ketidakstabilan politik (Grindle, 2003:323).

Hingga pada saat Bolivia mengalami ketidakstabilan disektor ekonomi dan politik. Di mulai pada tahun 1964, ketika rezim junta militer melakukan kudeta terhadap terhadap pemerintah revolusioner MNR yang menandai dimulainya era ketidakstabilan dinamika politik di Bolivia (Farah:2010).

(63)

terjadi kesalahan pengelolaan ekonomi yang sangat parah di Bolivia

(http://www.usip.org/publications/truth-commission-bolivia).

Pada awalnya Jenderal Hugo Banzer memimpin, keadaan ekonomi Bolivia mengalami pertumbuhan dengan cukup baik, hasil ekspor meningkat tiga kali lipat antara tahun 1970-1974, hal ini didorong melalui produksi hasil

pertambangan migas dan sumber mentah lainya.

(http://countrystudies.us/bolivia/23.htm)

Keadaan ekonomi yang membaik tidak diimbangi dengan situasi politik yang terjadi di Bolivia, dan ketika keadaan politik ini memburuk mata uang Bolivia (peso) mengalami devaluasi mata uang. Pemerintah junta militer mengambil peran dengan melakukan aksi brutal, di sisi lain masyarakat dan para petani pribumi melakukan aksi pemblokiran jalan sebagi protes mereka ketika harga-harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan di tahun 1974. (http://countrystudies.us/bolivia/23.htm)

Dimasa pemerintah Hugo Banzer peta politik di Bolivia mengalami krisis ekonomi yang cukup tajam dari 500 juta Dolar Amerika ditahun 1971 meningkat menjadi 2,5 Milyar di tahun 1978 (Kohl, 2006:51).

(64)

Pada perkembangannya Jendral Luis García Meza Tejada mundur secara paksa dari kekuasaanya melalui pemberontakan militer pada tahun 1981. Selama pemerintah junta militer di Bolivia dalam 14 bulan, menemui kegagalan untuk mempertahankan kontrol atas ketidakstabilan politik dan ekonomi yang parah. Militer akhirnya mengadakan Kongres untuk menunjuk Hernan Siles Zuazo sebagai Presiden pada tanggal 10 Oktober 1982 yang sekaligus menandai dimulainya era transisi demokrasi di Bolivia setelah 18 tahun lamanya berada dalam kepemimpinan rezim militer. (

http://www.usip.org/publications/truth-commission-bolivia).

Setelah transisi demokrasi bergulir di Bolivia, pemerintah sipil pimpinan Hernan Siles Suazo segera dihadapkan oleh tantangan sosial-ekonomi yang tidak mudah untuk diselesaikan. Tantangan tersebut adalah jatuhnya perekonomian Bolivia akibat krisis fiskal dan meningkatnya hutang luar negeri hingga mencapai lima triliun Dolar Amerika yang merupakan warisan dari hasil korupsi dan salah urus penyelenggaraan pemerintahaan pada masa rezim militer Jenderal Hugo Banzer dan Luis Garcia Mezza (Morales, 2003:203).

Pada pertengahan tahun 1985, Bolivia mencapai laju inflasi paling tinggi berkisar antara 14,000 hingga 25,000% (Morales:2003). Krisis ekonomi yang mengguncang Bolivia tersebut menyebabakan deranya tuntutan agar Hernan Siles Suazo mundur dari jabatannya sebagai presiden serta mempercepat pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 1985 (Cantellas, 1999:8).

(65)

perekonomian untuk membuat suatu fondasi dasar perekonomian dengan menerapkan ekonomi internasional terbuka untuk menjadikan Bolivia sebagai pasar bebas (Grindle, 2003:323).

Pada perkembangannya pada tahun 1985 presiden Paz Estenssoro memberikan kebijakan inovasi yang bisa memperbaiki perekonomian dalam negeri dengan membuka pasar dengan menerapkan SAP dalam perekonomian Bolivia. Di tahun yang sama kebijakan tersebut memecahkan masalah dari perbaikan negara khususnya perekonomian (Grindle, 2003:323).

Penerapan neoliberal di Bolivia merupakan rekstrukturisasi perekonomian Bolivia telah mencangkup tiga periode yang berbeda dimulai dengan 1985 yang merupakan invasi pertama kali oleh AS melalui SAP yang berupaya untuk menghentikan hiperinflasi. (Kohl, 2006:305)

Tahap kedua konsolidasi neoliberalisme dimulai dengan adopsi dari Plan de Todos (rencana untuk semua) yang digagas oleh Gonzalo Sanchez de Lozada

(1993-1997) yang digunakan untuk menciptakan kembali negara melalui privatisasi perusahaan terbesar milik negara dan desentralisasi 20% dari pendapatan nasional untuk pemerintah kota. Tahap ketiga dimulai dengan Cochabamba peristiwa perang air pada tahun 2000, titik balik dalam kemampuan pemerintah untuk mengontrol penolakan publik neoliberalisme. (Kohl, 2006:305).

(66)

Hingga pada pemerintahan sipil yang menerapkan kebijakan ekonomi neoliberal di Bolivia , kebijakan tersebut memecahkan masalah perekonomian di Bolivia. Yang sebelumnya dipimpin oleh Junta Militer.

C.1 Hegemoni Amerika Serikat Era Presiden Victor Paz Estenssoro periode 1985-1989

Presiden Victor Paz Estenssoro terpilih menjadi presiden pada tanggal 29 Agustus 1985 melalui partai Moviemiento Nacional Revolucionario (MNR), hanya berselang 25 hari setelah terpilih, Paz Estenssoro mengeluerkan Dekrit Presiden 21060 yang berisikan kebijakan Nueva Politica Economica (NPE) yang memperkenalkan program untuk mengahiri hiperinflasi dan mengambil pasar bebas sebagai fondasi ekonomi seperti adanya devaluasi, liberalisasi, pembekuan upah dan pengurangan sektor publik menjadi inti dari reformasi ini. (Grindle, 2003:323)

Tujuan jangka panjang dari adanya reformasi ini adalah untuk membuka ekonomi dan perdaganan internasional.Pada fondasi dari paket kebijakan ini, pemerintah memperkenalkan salah satu program darurat sosial awal yang diinstrumentasi inisiatif yang inovatif dan cepat yang mencapai sekitar 1,2 juta orang memikirkan penciptaan lapangan kerja. (Grindle, 2003)

(67)

sektor publik, termasuk pengurangan beban di sektor perusahaan negara dan serangkaian tindakan penghematan. (Grindle, 2003:323-324)

Pada tahun 1985 dan 1986, lapangan kerja di sektor publik turun 24.600 orang kehilangan pekerjaannya pada tahun 1987 lebih 8.550 orang telah diberhentikan dan 1988 tenaga kerja sektor

Gambar

Grafik diperbesar pada tahun 1980-1990

Referensi

Dokumen terkait