• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Mengenai Pembatalan Perkawinan (Putusan No.435/Pdt.G/2013/PA.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Hukum Mengenai Pembatalan Perkawinan (Putusan No.435/Pdt.G/2013/PA.Mdn)"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

AZRI MULIA REZEKI MARGOLANG NIM : 110200389

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas ridho, rahmat, dam anugerah-Nya penulis mampu untuk menjalani perkuliahan sampai pada tahap penyelesaian skripsi pada jurusan Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulisan skripsi yang diberi judul “Analisis Hukum Mengenai

Pembatalan Perkawinan (Putusan No.435/Pdt.G/2013/PA.Mdn)”. ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis akan sangat berterima kasih jika ada kritik dan saran membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah membantu sebelum, selama, dan setelah penulisan mengerjakan skripsi ini. Melalui kesempatan ini, penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung SH, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

4. Bapak Dr. OK Saidin, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya di dalam memberikan bimbingan dan arahan-arahan kepada penulis di dalam proses penulisan skripsi ini.

7. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Yefrizawati, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya di dalam memberikan bimbingan dan arahan-arahan kepada penulis di dalam proses penulisan skripsi ini.

8. Bapak Malem Ginting, SH, M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik penulis.

(5)

11.Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada abang, kakak dan adik penulis tersayang H.Sangkot Margolang, Fifiani Margolang, Khairani Margolang, Indra Utama Margolang dan Bella Rosiva Margolang atas dukungan mereka untuk menyelesaiakan skripsi ini.

12.Terima kasih juga penulis ucapkan kepada para sahabat-sahabat penulis Mayonaise Girls, Cinthia Ramadhani,SH, Wanfitri Marissa,SH, Ria Angelina,SH, Dewi Sartika lubis,SH, Desti Hernisya,SH yang sama -sama berjuang untuk menjadi Sarjana dan juga Daud Geraldi Siahaan yang sudah memberi banyak ceramah dan bantuan serta dan menemani saya selama penulisan skripsi ini.

13.Terima kasih juga penulis ucapkan kepada para sahabat seperjuangan stambuk 2011 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Dan juga teman-teman di grup A serta teman-teman dari departemen BW yang saling sharing pengalaman dan bantuan selama penulisan skripsi.

14.Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara moril maupun materil yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT.

Medan, Agustus 2015 Penulis

(6)

ABSTRAK

Azri Mulia Rezeki Margolang*

Ramlan Yusuf Rangkuti** Yefrizawati**

Melangsungkan perkawinan haruslah memenuhi syarat maupun rukun di dalam perkawinan. Syarat maupun rukun perkawinan yang sudah ditentukan terkadang diabaikan, hingga akhirnya tidak tertutup kemungkinan perkawinannya batal atau dibatalkan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah faktor-faktor apakah yang menjadi penyebab terjadinya pembatalan dalam perkawinan, bagaimana pertimbangan hakim dalam pembatalan perkawinan, bagaimana akibat hukum pembatalan perkawinan.

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dan metode pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemecahan permasalahan yang dikemukakan. Data yang dipergunakan adalah data sekunder dan metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian kepustakaan (Library Research). Analisis data yang digunakan adalah kualitatif.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya pembatalan dalam perkawinan disebabkan adanya pemalsuan identitas. Tergugat II mengaku gadis, sedangkan sebenarnya adalah seorang janda. Selain itu juga terdapat pemalsuan data berkaitan dengan domisili yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Faktor lainnya sehingga perkawinan tersebut dibatalkan adalah tidak dipenuhi rukun perkawinan yaitu yang bertindak sebagai wali nikah Tergugat II pada saat menikah dengan Tergugat I tersebut adalah wali hakim (P3N) yang berada di wilayah Kecamatan Medan Kota bukan ayah kandung Tergugat II. Pertimbangan hakim dalam perkara pembatalan perkawinan sesuai dengan putusan Nomor: 435/Pdt.G/2013/PA.Mdn adalaj pernikahan Tergugat I dengan Tergugat II terbukti telah dilaksanakan tanpa memenuhi ketentuan hukum yang berlaku, oleh karenanya berdasarkan Pasal 23 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 73 huruf c dan d Kompilasi Hukum Islam dan kaidah fiqh bahwa seseorang yang malaksanakan akad nikah tetapi kurang atau tidak terpenuhinya sebagian syarat-syaratnya, maka fasidlah nikahnya itu. Dengan pembatalan perkawinan tersebut, maka perkawinan tersebut tidak pernah ada. Akibat hukum pembatalan perkawinan mempunyai dampak hukum terhadap suami isteri yaitu diantara keduanya dianggap tidak pernah terjadi perkawinan.

Kata Kunci : Perkawinan, Pembatalan Perkawinan, Pemalsuan.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI. ... vi

BAB I : P E N D A H U L U A N ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 5

D.Manfaat Penulisan ... 5

E. Metode Penelitian ... 6

F. Keaslian Penulisan ... 7

G.Sistematika Penulisan ... 8

BAB II : TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA ... 10

A. Pengertian Perkawinan... 10

B. Syarat-Syarat Perkawinan ... 12

C. Akibat Hukum Perkawinan ... 30

D. Pemalsuan Identitas dalam Perkawinan ... 44

BAB III : TINJAUAN TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN ... 51

A. Pengertian Pembatalan Perkawinan ... 51

B. Penyebab Pembatalan Perkawinan ... 53

(8)

D. Prosedur Pembatalan Perkawinan ... 58 E. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan ... 62 BAB IV : ANALISIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN

(Studi Putusan No. 435/Pdt.G/2013/PA.Mdn) ... 67

A. Kasus Posisi ... 67 B. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan dalam Putusan No.

435/Pdt.G/2013/PA.Mdn ... 68 1. Faktor-faktor penyebab pembatalan perkawinan karena

memalsukan identitas ... 68 2. Pertimbangan hakim ... 70 3. Akibat pembatalan perkawinan... 74 B A B V : K ES I M P U L A N D A N S A R A N ... 7 6

A. Kesimpulan ... 76 B. Saran... 77 DAFTAR PUSTAKA ... 82

LAMPIRAN

(9)

ABSTRAK

Azri Mulia Rezeki Margolang*

Ramlan Yusuf Rangkuti** Yefrizawati**

Melangsungkan perkawinan haruslah memenuhi syarat maupun rukun di dalam perkawinan. Syarat maupun rukun perkawinan yang sudah ditentukan terkadang diabaikan, hingga akhirnya tidak tertutup kemungkinan perkawinannya batal atau dibatalkan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah faktor-faktor apakah yang menjadi penyebab terjadinya pembatalan dalam perkawinan, bagaimana pertimbangan hakim dalam pembatalan perkawinan, bagaimana akibat hukum pembatalan perkawinan.

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dan metode pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemecahan permasalahan yang dikemukakan. Data yang dipergunakan adalah data sekunder dan metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian kepustakaan (Library Research). Analisis data yang digunakan adalah kualitatif.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya pembatalan dalam perkawinan disebabkan adanya pemalsuan identitas. Tergugat II mengaku gadis, sedangkan sebenarnya adalah seorang janda. Selain itu juga terdapat pemalsuan data berkaitan dengan domisili yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Faktor lainnya sehingga perkawinan tersebut dibatalkan adalah tidak dipenuhi rukun perkawinan yaitu yang bertindak sebagai wali nikah Tergugat II pada saat menikah dengan Tergugat I tersebut adalah wali hakim (P3N) yang berada di wilayah Kecamatan Medan Kota bukan ayah kandung Tergugat II. Pertimbangan hakim dalam perkara pembatalan perkawinan sesuai dengan putusan Nomor: 435/Pdt.G/2013/PA.Mdn adalaj pernikahan Tergugat I dengan Tergugat II terbukti telah dilaksanakan tanpa memenuhi ketentuan hukum yang berlaku, oleh karenanya berdasarkan Pasal 23 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 73 huruf c dan d Kompilasi Hukum Islam dan kaidah fiqh bahwa seseorang yang malaksanakan akad nikah tetapi kurang atau tidak terpenuhinya sebagian syarat-syaratnya, maka fasidlah nikahnya itu. Dengan pembatalan perkawinan tersebut, maka perkawinan tersebut tidak pernah ada. Akibat hukum pembatalan perkawinan mempunyai dampak hukum terhadap suami isteri yaitu diantara keduanya dianggap tidak pernah terjadi perkawinan.

Kata Kunci : Perkawinan, Pembatalan Perkawinan, Pemalsuan.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(10)

Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan seorang wanita dan seorang laki-laki, ada rasa saling tertarik antara satu sama lain untuk hidup bersama. Hidup bersama ini sangat penting di dalam kehidupan bermasyarakat, bahwa dengan hidup bersama antara dua orang manusia itu, mereka tidak dapat memisahkan diri dari anggota-anggota lain dari masyarakat.1 Namun keputusan untuk hidup bersama ini harus berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Indonesia mengatur tentang hidup bersama yang disebut dengan lembaga perkawinan.

Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-semata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah. Maka amatlah tepat jika Kompilasi Hukum Islam menegaskannya sebagai akad yang sangat kuat (mitsaqon gholiidan) dan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam).2

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya, karena dengan perkawinan dapat mengurangi maksiat penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina.3 Oleh karena itu, bagi mereka yang berkeinginan untuk menikah, sementara perbekalan untuk memasuki perkawinan belum siap, dianjurkan berpuasa. Dengan berpuasa, diharapkan dapat

1

Arso Sastroatmojo, Hukum Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 2008, hal.2. 2

Achmad Ichsan, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, hal.7.

3

(11)

membentengi diri dari perbuatan tercela yang sangat keji yaitu perzinahan. Dinyatakan dalam hadis riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW, bersabda yang artinya :

“Hai pemuda, barangsiapa di antara kamu berkeinginan hendak nikah (kawin) hendaklah ia kawin (nikah), karena sesungguhnya perkawinan itu akan menjauhkan mata terhadap orang yang tidak halal dilihatnya dan akan

memeliharanya dari godaan syahwat”.4

Perkawinan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia yang wajar, dan dalam ajaran Nabi, perkawinan ditradisikan menjadi sunnah beliau. Hadits riwayat Anas ibnu Malik, bahwa sayalah yang paling bertaqwa kepada Tuhan, namun saya ini shalat, tidur, puasa, berbuka, dan aku menikah, itulah sunnahku barangsiapa yang tidak mengikuti sunnahku bukanlah umatku”.5

Berdasarkan hal di atas tampak bahwa perkawinan merupakan hal yang memang disunnahkan oleh Rasul dan disenangi Allah. Namun dari ikatan perkawinan tidak menjamin bahwa sebuah keluarga akan mendapatkan kebahagiaan, adakalanya perkawinan memicu pertengkaran antara suami isteri dan karena berbagai sebab.

Indonesia merupakan negara yang heterogen dalam arti memiliki aneka suku bangsa dan agama. Untuk peraturan yang dipakai dalam hal perkawinan secara keseluruhan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa untuk

4

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari UU No. 1 Tahun1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2006, hal.11

5

(12)

sahnya suatu perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga menggariskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan ditentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai. Syarat-syarat tersebut diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Selanjutnya jika hal-hal yang menyebabkan suatu perkawinan dapat dibatalkan dan dihubungkan dengan soal keabsahan perkawinan yang menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing, maka sudah jelas hal-hal yang menyebabkan dapat dibatalkannya suatu perkawinan.

Pembatalan perkawinan dapat terjadi karena disebabkan oleh berbagai alasan, salah satunya pemalsuan identitas. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menjelaskan secara rinci tentang pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas. Pemalsuan idenstitas tidak akan terjadi apabila pernikahan dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang berlaku. Motif memalsukan identitas itu tidak hanya dalam proses mengganti dari sudah menikah menjadi lajang atau janda menjadi gadis, adapula kasus yang mengganti agama Kristen menjadi agama Islam terkait tujuan yang ingin dipermudah.

(13)

dilaksanakan di bawah ancaman yang melanggar hukum atau apabila ketika terjadinya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. Tapi dengan syarat bahwa dalam jangka waktu enam bulan setelah tidak adanya ancaman lagi atau yang bersalah sangka itu menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami istri dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya itu gugur.

Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan Agama

atau Mahkamah Syari’ah mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak berlaku

surut sejak saat berlangsungnya perkawinan.6 Untuk memperoleh putusan pengadilan yang membatalkan suatu perkawinan seseorang harus beracara di muka pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri.

Apabila perkawinan telah dilangsungkan, sedangkan calon mempelai atau salah satu calon mempelai tidak memenuhi syarat perkawinan, maka orang tua, keluarga, Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan jaksa dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada Pengadilan Agama.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengadakan penelitian

dengan judul : “Analisis Hukum Mengenai Pembatalan Perkawinan (Putusan No.

435/Pdt.G/2013/PA.Mdn)”.

B. Perumusan Masalah

Adapun permasalahan dalam penelitian skripsi ini adalah:

6

(14)

1. Faktor-faktor apakah yang menjadi penyebab terjadinya pembatalan dalam perkawinan ?

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam pembatalan perkawinan ? 3. Bagaimana akibat hukum pembatalan perkawinan ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya pembatalan dalam perkawinan.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam pembatalan perkawinan. 3. Untuk mengetahui akibat hukum pembatalan perkawinan.

D. Manfaat Penulisan.

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Secara teoretis penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan untuk pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut bagi teoretis yang ingin mengetahui dan memperdalam tentang masalah pembatalan perkawinan. 2. Secara Praktis :

(15)

b. Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi penegak hukum dalam menyelesaikan masalah pembatalan perkawinan.

E. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif yaitu sebuah penelitian yang bertujuan untuk memberikan atau menjabarkan suatu keadaan atau fenomena yang terjadi saat ini dengan menggunakan prosedur ilmiah untuk menjawab masalah secara aktual.7

2. Metode pendekatan

Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemecahan permasalahan yang dikemukakan.

3. Data yang digunakan

Penelitian ini membahas mengenai putusan pengadilan, maka dalam hal ini data yang dikumpulkan atau dibutuhkan adalah data sekunder. Data sekunder ialah data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara berupa menelaah buku-buku literatur, undang-undang, brosur atau tulisan, yang ada kaitannya dengan masalah yang akan diteliti.

Data sekunder dibedakan dalam:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

7

(16)

b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya hasil penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah) dari kalangan hukum, dan sebagainya.

c. Bahan hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya: kamus kamus (hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya. Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannya. 4. Metode pengumpulan data.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu dengan mencari dan mengumpulkan data yang berasal dari sejumlah undang-undang, peraturan-peraturan, literatur-literatur, pendapat para ahli dan tulisan lainnya yang berhubungan dengan penulisan..

5. Analisis Data.

Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat tanpa menggunakan rumus-rumus statistik sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas.

F. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Analisis Hukum Mengenai Pembatalan Perkawinan

(17)

elektronik. Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Bila di kemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini saya buat, maka hal itu menjadi tanggung jawab saya sendiri.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah:

BAB I : Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, yaitu latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan tentang perkawinan meliputi : pengertian perkawinan, unsur-unsur dan syarat sahnya perkawinan, akibat hukum perkawinan menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pemalsuan identitas dalam perkawinan.

BAB III pembatalan perkawinan meliputi : pengertian pembatalan perkawinan, menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974, menurut Kompilasi Hukum Islam, penyebab pembatalan perkawinan, prosedur pembatalan perkawinan.

(18)

hakim dalam pembatalan perkawinan, akibat hukum pembatalan perkawinan dalam studi Putusan No. 435/Pdt.G/2013/PA.Mdn.

(19)

A. Pengertian Perkawinan.

1. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang

kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah yang sama

dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran

“an” menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai

perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami isteri.8 Dari sudut ilmu bahasa perkataan perkawinan berasal dari kata “kawin” yang merupakan terjemahan dari

bahasa Arab, yaitu “nikah”.9

Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 disebutkan bahwa :

“Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan rumusan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 di atas jelaslah bahwa perkawinan itu tidak hanya merupakan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja, akan tetapi ikatan kedua-duanya.

Dengan demikian jelaslah bahwa pengertian perkawinan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, jika diperinci maka terdapatlah unsur di dalamnya yaitu :

8

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2004, hala 453.

9

(20)

a. Adanya seorang pria dan wanita. b. Ikatan lahir dan batin.

c. Adanya tujuan tertentu yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal. d. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.10

Dari rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tercantum tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Dalam rumusan perkawinan itu dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan. Dalam agama Islam, perintah religius merupakan sunnah Rasulullah. Keberadaan unsur Ketuhanan dalam sebuah perkawinan bukan saja peristiwa itu merupakan perjanjian yang sakral melainkan sifat pertanggungjawaban hukumnya jauh lebih penting yaitu pertanggungjawaban kepada tuhan sang pencipta (Allah SWT). Dengan adanya unsur Ketuhanan, maka hilanglah pandangan yang mengatakan bahwa perkawinan adalah urusan manusia semata-mata.11

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Menurut Kompilasi Hukum Islam pengertian perkawinan seperti yang terdapat pada Pasal 2 dinyatakan bahwa :

10

Tan Kamello, Hukum Perdata: Hukum Orang Dan Keluarga, USU Press, Medan, 2011, hal. 42.

11

(21)

“Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan, bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Artinya tujuan perkawinan itu adalah :

a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.

b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan.12 Sebagai satu tali yang amat teguh, guna memperoleh tali persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (isteri), yang mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada bertolong tolongan antara satu kaum (golongan) dengan yang lain.

B. Syarat-Syarat Perkawinan.

1. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebelum melaksanakan perkawinan seorang pria dengan seorang wanita, maka harus dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, meliputi syarat-syarat materil maupun formil. Syarat-syarat materil yaitu syarat-syarat yang mengenai calon mempelai, sedangkan syarat

12

(22)

formil menyangkut fasilitas-fasilitas atau tatacara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan.13

a. Syarat Materil.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, syarat-syarat yang termasuk dalam kelompok syarat materil adalah:

1) Harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Syarat ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. Adanya persetujuan kedua calon mempelai sebagai salah satu syarat perkawinan dimaksudkan agar supaya setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam perkawinan. Munculnya syarat persetujuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dapat dihubungkan dengan sistem perkawinan pada zaman dulu, di mana seorang anak harus patuh pada orang tuanya untuk bersedia dijodohkan dengan orang yang dianggap tepat oleh orang tuanya. Sebagai anak harus mau dan tidak dapat menolak kehendak orang tuanya walaupun kehendak anak tidak demikian. Untuk menanggulangi kawin paksa, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah memberikan jalan keluarnya yaitu suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan merujuk pada Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, apabila paksaan untuk itu di bawah ancaman yang melanggar hukum

13

(23)

2) Usia calon mempelai pria harus sudah mencapai 19 tahun dan wanita sudah mencapai 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa perkawinan hanya dibenarkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan tentang kemungkinan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut di atas dengan jalan meminta terlebih dahulu pengecualian kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukan oleh kedua orang tua meninggal dunia, maka pengecualian dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukan oleh orang tua yang masih hidup atau wali/orang yang memelihara/datuk (kakek dan nenek) dari pihak-pihak yang akan melakukan perkawinan dengan ketentuan bahwa segala sesuatunya sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang bersangkutan tidak menentukan lain.14

Izin kedua orang tua mereka yang belum mencapai umur 21 tahun. Bila salah satu orang tua telah meninggal dunia, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup. Bila itupun tidak ada, dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau bisa juga izin dari pengadilan, bila orang-orang tersebut juga tidak ada atau tidak mungkin diminta izinnya (Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5).

14

(24)

Mengenai syarat-syarat persetujuan kedua calon mempelai dan syarat harus adanya izin kedua orang tua bagi mereka yang belum berusia 21 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 6 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.15

3) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 melarang seseorang yang masih terikat perkawinan lain untuk kawin lagi kecuali hal tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa :

“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan :

(a) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka dia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (b) Pengadilan yang dimaksud ayat (1) Pasal ini hanya memberikan izin pada

seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : (1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

(2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

15

(25)

(3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dalam hal ini R. Wirjono Prodjodikoro menyatakan pendapat sebagai berikut :

Adanya Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan sesungguhnya merupakan akibat dari azas perkawinan yang dianut oleh Undang-Undang ini, yaitu azas monogami. Azas ini dianggap pada masa sekarang sebagai pencerminan dari kehendak masyarakat terutama di kalangan wanita bahwa dimadu itu dirasakan lebih banyak melahirkan penderitaan daripada kebahagiaan.16

Walaupun demikian, pengecualian terhadap azas itu masih dimungkinkan dengan persyaratan seperti yang terurai dalam Pasal 3, 4, 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengharuskan seseorang yang hendak mengajukan permohonan kepada pengadilan harus memenuhi syarat-syarat :

a) Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri

b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

c) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Selanjutnya ditentukan dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a di atas tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 20 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.

16

(26)

4) Mengenai waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya diatur dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun1975, yaitu :

a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh hari).

b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih datang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh hari).

c) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

d) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.

e) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

Penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang menjadi kekuatan hukum bagi suatu perceraian dan sejak hari kematian bila perkawinan itu putus karena kematian. Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut berakibat batalnya suatu perkawinan.

(27)

a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas. b) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping.

c) Berhubungan semenda d) Berhubungan sesusuan

e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.

f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

g) Telah bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya tidak menentukan lain (Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

h) Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

6) Izin kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai umur 21 tahun. Bila salah salah satu orang tua telah meninggal dunia, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup. Bila itupun tidak ada, dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau bisa juga izin dari pengadilan, bila orang-orang tersebut juga tidak ada atau tidak mungkin diminta izinnya (Pasal 6 ayat 2,3,4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

(28)

berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

b. Syarat Formil

Syarat-syarat formil yaitu syarat-syarat yang menyangkut fasilitas atau tatacara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan meliputi :

1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan.

Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan, dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya dan memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama isteri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin (Pasal 3 sampai dengan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).

2) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan.

(29)

dan tempat akan dilaksanakan perkawinan (Pasal 8 jo. Pasal 6,7 dan 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975)

3) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing.

Pelaksanaan perkawinan dilangsungkan setelah pengumuman kehendak perkawinan dilakukan. Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, yaitu pada saat akta perkawinan selesai ditandatangani oleh kedua mempelai, kedua saksi dan pegawai pencatat perkawinan yang menghadiri perkawinan (wali bagi yang beragama Islam). Dengan menandatangani akta perkawinan maka perkawinan telah tercatat secara resmi (Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).

4) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.

Perkawinan dianggap sah apabila perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 17

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) beserta penjelasannya itu, Hazairin menafsirkan bahwa :

Dengan demikian hukum yang berlaku menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pertama-tama adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaannya bagi masing-masing-masing-masing pemeluk-pemeluknya. Jadi bagi agama Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar agamanya sendiri.18

17

M. Yahya Harahap., Op.Cit, halaman 31. 18

(30)

Jadi perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan antara agama adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Islam kemudian dilaksanakan menurut hukum Kristen dan atau hukum Hindu/Budha, maka perkawinan itu menjadi tidak sah, demikian sebaliknya.

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam a. Syarat materil.

Untuk melangsungkan perkawinan calon mempelai harus memenuhi syarat-syarat perkawinan dan rukun perkawinan. Antara rukun dan syarat perkawinan itu ada perbedaan dalam pengertiannya. Rukun dari perkawinan ialah hakekat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tidak termasuk hakekat perkawinan. Kalau salah satu syarat-syarat perkawinan itu tidak dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah.19

Berbeda dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam ketika membahas rukun perkawinan mengikuti sistematika fikih yang mengaitkan rukun dan syarat. Ini dimuat dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam.

19

(31)

Meskipun Kompilasi Hukum Islam menjelaskan lima rukun perkawinan sebagaimana fikih, ternyata dalam uraian persyaratannya Kompilasi Hukum Islam mengikuti Undang-Undang Perkawinan yang melihat syarat hanya berkenaan dengan persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur.

a. Syarat materil.

Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada :

1) Calon Suami. 2) Calon Isteri. 3) Wali nikah. 4) Dua orang saksi. 5) Ijab dan Kabul.

Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa syarat-syarat perkawinan adalah :

(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5) UU No. 1 Tahun 1974.

(32)

(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

Pasal 17 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa :

(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.

(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.

(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.

Suatu perkawinan yang akan dilangsungkan harus terlebih dahulu melihat kepada calon suami atau isteri, apakah mereka bersedia untuk dikawinkan, dan harus dilihat apakah mereka telah pantas untuk kawin. Setelah melihat dan menyimpulkan bahwa mereka bersedia untuk dikawinkan dan telah pantas untuk kawin, barulah mereka bisa dikawinkan. Hal ini perlu diperhatikan karena untuk menjaga agar tidak terjadi suatu penyesalan dikemudian hari, baik dari kedua mempelai maupun dari kedua orang tua mereka sendiri.

(33)

hakim baru dapat bertindak apabila sudah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam.

Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

a. Yang bertindak sebagai wali nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim dan akil baliq. (Pasal 20 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam).

b. Wali nikah terdiri dari : 1) Wali nasab

2) Wali hakim. (Pasal 20 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam).

c. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita

(1) Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

(2) Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

(3) Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

(34)

d. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang berhak menjadi wali adalah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. (Pasal 21 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam).

e. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah adalah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah. (Pasal 21 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam).

f. Apabila dalam satu kelomok derajat kekerabatannya sama, yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka bersama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. (Pasal 21 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam).

Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tunarungu atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya. (Pasal 22 Kompilasi Hukum Islam).

Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah jika wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. (Pasal 23 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam). Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut. (Pasal 23 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam).

(35)

sehingga persaksian dapat menghindari kemungkinan mungkirnya salah seorang di antara suami istri atau sebagai suami atau sebagai istri, karena hal itu mempunyai kaitan dengan soal anak, soal nafkah keluarga, harta pusaka dan sebagainya.20

Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi dan yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah adalah seorang laki-laki muslim, adil, akil baliq, tidak terganggu ingatan dan tidak tunarungu atau tuli. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.21

Syarat atau rukun kelima dari perkawinan adalah adanya ijab dan qabul. Ijab adalah perkataan yang menunjukkan kehendak pihak pertama sedangkan qabul adalah persetujuan pihak kedua terhadap isi kehendak pihak pertama itu untuk diri yang mengucapkannya.22

Ijab kabul ialah serah terima dari wali mempelai perempuan atau wakilnya kepada mempelai laki-laki atau wakilnya, dan yang diserah terimakan ialah mempelai perempuan. Setelah wali mengucakan ikrar ijab dan mempelai laki-laki mengucapkan lafaz kabul hubungan keduanya resmi sebagai suami istri.23

(36)

1. Kedua belah pihak sudah tamyiz (dewasa)

Bila salah satu pihak ada yang gila atau masih kecil dan belum tamyiz, maka pernikahan itu tidak syah.

Ijab qabulnya dalam satu majelis, yaitu ketika mengucapkan ijab qabul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab qabul. Tetapi di dalam ijab dan qabul tidak ada syarat harus langsung. Bilamana majlisnya lama dan antara ijab qabul ada tenggang waktu, tetapi tanpa menghalangi upacara ijab qabul, maka tetap dianggap satu majlis.25

2. Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuannya lebih tegas.

Pihak-pihak yang melakukan qabul harus dapat mendengarkan pertanyaan masing-masing dengan kalimat yang maksudnya menyatakan terjadinya pelaksanaan akad nikah, sekalipun kata-katanya ada yang tidak dapat dipahami, karena yang dipertimbangkan disini ialah maksud dari niat, bukan mengerti setiap kata-kata yang dinyatakan dalam ijab qabul.

Bagi umat Islam ada beberapa hal yang berkenaan dengan akad nikah untuk mencapai sahnya perkawinan yaitu harus memenuhi syarat dan rukun nikah. b. Syarat formil.

Syarat formil perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah:

25

(37)

1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam).

2) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat (Pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam)

3) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954 (Pasal 5 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam).

4) Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (Pasal 6 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam).

5) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum (Pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam). 6) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh

Pegawai Pencatat Nikah (Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam).

7) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama (Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam).

8) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

(38)

(c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian. (d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang

No.1 Tahun 1974

(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974. (Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam).

9) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu (Pasal 7 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam).

10)Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak (Pasal 8 Kompilasi Hukum Islam).

11)Apabila bukti sebagaimana pada Pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama (Pasal 9 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam).

12)Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama (Pasal 9 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam)

(39)

C. Akibat Hukum Perkawinan

1. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Adanya suatu perkawinan yang sah menurut agama, kepercayaan dan hukum, maka perkawinan itu akan membawa pada akibat-akibat hukum tertentu. Akibat-akibat hukum itu adalah timbulnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum tertentu baik di pihak suami maupun di pihak istri dalam hal sebagai berikut :

a. Hubungan suami-isteri.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat ketentuan yang mengatur mengenai hubungan suami-istri di dalam suatu ikatan perkawinan, yaitu dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34.

Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (Pasal 30 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Hal ini berarti suami-istri harus berusaha untuk sedapat mungkin mempertahankan keutuhan kehidupan perkawinan dan rumah tangga mereka. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup perkawinan, suami-istri berkewajiban untuk saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan saling memberi bantuan lahir batin. Selain itu suami-istri juga harus tinggal bersama dalam suatu rumah kediaman yang ditentukan bersama-sama.

(40)

perbuatan hukum. Suami maupun istri mempunyai kesempatan yang sama untuk mengajukan gugatan kepada Pengadilan apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya.

Hak dan kewajiban suami-isteri dalam hubungan rumah tangga sebagai suami isteri (marital relationship). Jika dihubungkan dengan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan Pasal 34 Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hubungan kekeluargaan suami isteri dalam hidup berumah tangga dapat dipisahkan dalam 3 pemisahan sekalipun pemisahan hak dan kewajiban antara yang satu dengan yang lain saling berhubungan dalam kaitan kehidupan suami-isteri dalam kesatuan arti yang semestinya. Sebab setiap kewajiban suami akan membawa hak kepada isteri, dan kewajiban isteri juga dengan sendirinya akan menerbitkan hak kepada suami. Akan tetapi demikianpun memperhatikan Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dipisahkan hak dan kewajiban marital relationship itu dalam:

(41)

perkawinan itu adalah hubungan dua jenis kelamin yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Tapi dari segi yang lain hubungan itu sekaligus hubungan kejiwaan (psychological relationship), yang mengharuskan mereka harga menghargai dan hormat menghormati serta cinta mencintai.

2) Harus saling hormat-menghormati.

Hal ini sudah sepantasnya. Apalagi suami isteri baik alam kehidupan rumah tangga dan di luar kehidupan rumah tangga mempunyai kedudukan yang sama. Sama-sama manusia yang dilahirkan tanpa perbedaan derajat. Baik suami maupun isteri adalah manusia yang dianugerahi budi murni. Tidak ada perbedaan kualitas baik dari segi jasmani maupun rohaniah. Yang ada hanyalah perbedaan fungsional yang akan menjalin mereka dalam suatu kehidupan bersama yang harmonis.

3) Wajib setia di antara suami-isteri.

Penafsiran setia dari segi hukum erat sekali hubungannya dengan pengertian amanah yang bersumber dari kesucian hati untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan yang berupa penghianatan apa sajapun terhadap kesucian rumah tangga. Saling percaya mempercayai yang menjadikan pasangan itu merasa tenang dan puas pada yang lain. Merasa senang seperti seorang yang tinggal ditempat kediaman yang aman.26

Berdasarkan kodrat dan untuk pembagian kerja, maka antara suami dan istri diberikan perbedaan. Suami merupakan kepala keluarga yang berkewajiban untuk melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup

26

(42)

berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Istri merupakan ibu rumah tangga yang berkewajiban untuk mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik -baiknya. b. Harta benda dalam perkawinan.

Di samping soal hak dan kewajiban, persoalan harta benda juga merupakan pokok pangkal yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan atau ketegangan dalam hidup perkawinan, sehingga mungkin akan menghilangkan kerukunan hidup rumah tangga.27 Oleh karena itu, Undang-undang Perkawinan dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan ketentuan-ketentuan mengenai harta benda perkawinan.

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, berbunyi:

(1)Harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan menjadi harta bersama.

(2)Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing si penerima para pihak tidak menentukan lain.

Dari bunyi Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut maka harta benda dalam perkawinan dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu harta bersama dan harta bawaan.

Harta bersama merupakan salah satu macam dari sekian banyak harta yang dimiliki oleh seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari, harta mempunyai arti penting bagi seseorang karena dengan memiliki harta dia dapat memenuhi kebutuhan hidup secara wajar dan memperoleh status sosial yang baik dalam masyarakat. Arti penting tersebut tidak hanya dari segi kegunaannya (aspek

27

(43)

ekonomi) melainkan juga dari segi keteraturannya (segi hukum). Secara ekonomi orang sudah biasa bergelut dengan dengan harta yang dimilikinya, tetapi secara hukum orang mungkin belum banyak memahami aturan hukum yang mengatur tentang harta, apalagi harta yang di dapat suami-istri selama masa perkawinan.28

Harta tersebut akan menjadi harta bersama jika tidak ada perjanjian mengenai status harta tersebut sebelum ada pada saat dilangsungkan pernikahan, (seperti yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974), kecuali harta yang di dapat itu diperoleh dari hadiah atau warisan atau bawaan masing-masing suami-istri yang dimiliki sebelum dilangsungkannya perkawinan sebagaimana dijelaskan di atas yang tercantum dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Membahas masalah harta bersama sangat penting dalam kehidupan rumah tangga. Masalah ini bisa menyangkut pengurusan, penggunaan, dan pembagian harta bersama jika ternyata hubungan perkawinan pasangan suami-istri “bubar”, baik karena perceraian maupun kematian.29 Pasangan suami-istri yang bercerai biasanya disibukkan dengan urusan pembagian harta bersama. Bahkan, sering terjadi di masyarakat, masalah ini kerap menyebabkan proses perceraian menjadi berbelit-belit. Perceraian yang hanya tinggal selangkah lagi justru malah semakin runyam. Mereka berdebat dan mempersoalkan masalah harta yang menjadi bagiannya.

28

A. Damanhuri HR, Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Mandar Maju, Bandung, 2007, halaman 27.

29

(44)

Selain harta bersama juga diatur tentang harta bawaan. Harta bawaan adalah harta benda milik masing-masing suami dan istri yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai warisan dan hadiah.30

Undang-undang Perkawinan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 mengatur, “Harta bawaan masing-masing suami dan istri serta dan

harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.” Berdasarkan ketentuan ini, suami dan istri berhak memiliki sepenuhnya harta bawaannya masing-masing, asalkan tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Dalam hal ini, yang termasuk harta milik pribadi masing-masing suami-istri tersebut adalah :

1) Harta yang dibawa masing-masing kedalam perkawinan termasuk di dalamnya hutang-hutang yang belum dilunasi.

2) Harta benda yang diperoleh sebagai hadiah/pemberian kecuali ditentukan lain.

3) Warisan yang diperoleh masing-masing, kecuali ditentukan lain.

4) Hasil-hasil dari milik pribadi masing-masing sepanjang perkawinan berlangsung, termasuk hutang-hutang yang ditimbulkan dalam melakukan pengurusan harta milik pribadi tersebut.31

Harta bawaan bukan termasuk dalam klasifikasi harta bersama. Suami/istri berhak mempergunakan harta bawaannya masing-masing dan juga dapat melakukan perbuatan hukum terhadapnya. Dasarnya adalah Undang-undang Perkawinan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, “Mengenai

30

Ibid, halaman 10. 31

(45)

harta bawaan masing-masing, suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.”

Harta bawaan bisa saja menjadi harta bersama jika pasangan calon pengantin menentukan hal demikian dalam perjanjian perkawinan yang mereka buat. Atau dengan kata lain, perjanjian perkawinan yang mereka sepakati menentukan adanya peleburan (persatuan) antara harta bawaan dan harta bersama.32

c. Anak.

Dalam hal suatu perkawinan itu akan melahirkan seorang anak, maka kedudukan anak serta bagaimana hubungan antara orang tua dengan anak akan menjadi persoalan. Anak-anak yang lahir sebagai suatu hasil dari ikatan perkawinan yang sah merupakan anak sah bagi orang tuanya, maka antara anak dengan orang tuanya tersebut mempunyai hubungan hukum, yaitu mengenai hak dan kewajiban, seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri atau sampai mencapai umur 18 tahun. Kewajiban orang tua itu berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus karena perceraian atau kematian. Kekuasaan orang tua juga meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Kewajiban orang tua memelihara anak meliputi pengawasan atau

32

(46)

menjaga keselamatan jasmani dan rohani, pelayanan dalam arti yang luas yaitu kebutuhan primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan anak dan tingkat sosial ekonomi orang tua anak itu.

Kemudian kewajiban anak itu merupakan hak bagi orang tua, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 46, menyatakan (1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. (2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan bantuannya.

Di samping kewajiban untuk memelihara dan mendidik tersebut, orang tua juga menguasai anaknya yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pemah melangsungkan perkawinan. Kekuasaan orang tua ini meliputi juga untuk mewakili anak yang belum dewasa ini dalam melakukan perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan (Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

Meskipun demikian kekuasaan orang tua ada batasnya yaitu tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya (Pasal 48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua terhadap anaknya dapat dicabut untuk waktu tertentu, apabila ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya atau berkelakuan buruk sekali.33 Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap seorang anaknya ini dilakukan dengan keputusan pengadilan atas

33

(47)

permintaan orang tua yang lain keluarga dalam garis turns keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau penjabat yang berwenang. Kekuasaan orang tua yang dicabut ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali nikah. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, namun mereka masih tetap kewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan anaknya tersebut (Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Sebaliknya, anak tidak hanya mempunyai hak terhadap orang tuanya, akan tetapi juga mempunyai kewajiban. Kewajiban anak yang utama terhadap orang tuanya adalah menghormati dan mentaati kehendak yang baik dari orang tuanya. Dan bila mana anak telah dewasa ia wajib memelihara orang tuanya dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya. Bahkan anak juga berkewajiban untuk memelihara keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka ini memerlukan bantuannya (Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam. a. Hubungan suami-isteri.

Pernikahan yang dilangsungkan dengan persyaratan dan dengan rukunnya yang sempurna menjadi sah berikutnya mempunyai akibat hukum yang mengikat berupa hak dan kewajiban baik yang ada pada suami saja, isteri saja maupun yang ada pada keduanya, dua pihak secara bersama.

(48)

Dalam Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam ditentukan mengenai hak dan kedudukan suami bersama isteri yaitu sebagai berikut :

(1) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

(3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani kecerdasannya dan pendidikan agamanya.

(4) Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.

(5) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.

Syari'at Islam di dalam mengatur hak dan kedudukan suami bersama isteri yang seimbang demikian tersimpul dan tercermin dari perkenaan syari'at kepada kedua belah pihak untuk mengambil ketetapan melalui permusyawaratan di antara mereka. Dengan demikian sebagai suatu perikatan, akad nikah menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban di antara kedua pihak yang berakad. Apa yang menjadi hak pihak pertama akan menjadi kewajiban pihak kedua dan sebaliknya. Jadi apa yang menjadi hak isteri semuanya adalah menjadi kewajiban suami. Nafkah berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal menjadi hak isteri maka hal ini menjadi kewajiban suami.

Menurut Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa :

(1) Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangga, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting diputuskan oleh suami isteri bersama.

(2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu kebutuhan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(3) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberikan kesempatan mempelajari pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.

(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :

(49)

(b) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak

(c) Biaya pendidikan bagi anak.

Selanjutnya yang menjadi kewajiban isteri adalah harus taat kepada suami. Pasal 83 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa kewajiban utama isteri adalah :

(1) Berbakti lahir dan bathin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.

(2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

b. Harta benda dalam perkawinan.

Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Pasal 86 menyebutkan :

(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.

(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.

(50)

Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama (Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam). Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri (Pasal 89 Kompilasi Hukum Islam). Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.

Pasal 91 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan :

(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat

(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama (Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam). Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan :

1) Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.

2) Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.

3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami. 4) Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta

isteri.

Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan :

1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang,masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.

(51)

Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan :

1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.

2) Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.

Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama (Pasal 96 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam). Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama (Pasal 96 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam). Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan (Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam).

c. Anak.

Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan tentang kriteria anak sah (anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah), sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi : “bahwa anak yang sah adalah :

1) Anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah.

2) Hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri

tersebut”.

Juga dikenal anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, seperti yang

(52)

luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga

ibunya”.

Di samping itu dijelaskan juga tentang kedudukan anak dari perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang dihamilinya sebelum pernikahan sebagaimana yang tercantum pada Pasal 53 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam,

yang berbunyi: “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,

tidak diperlukan perkawinan setelah anak yang dikandung lahir”.

Masalah pemeliharaan dan perwalian anak diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 108 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan :

(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa anak yang sah adalah :

(1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.

(2) Hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam sejarah perkembangan modern ilmu falak di Indonesia pada awal abad ke-20, ditandai dengan penulisan kitab-kitab ilmu falak oleh para ulama ahli falak

25 Karyawan Bengkel Sentosa Motor bersikap kurang ramah dan sopan dalam memberikan layanan kepada konsumen. 26 Karyawan Bengkel Sentosa Motor tidak memiliki keahilan

Kebijakan Tata Kelola Perusahaan yang baik ini dipergunakan sebagai pedoman bagi perusahaan dan seluruh pekerja PT Catur Sentosa Adiprana Tbk dalam menjalankan

Subsequent authors discuss the available evidence about farmland conversion, legal aspects of land use, economics of farmland conversion, relationships between industrialization

Bahwa dalam rangka harmonisasi etika usaha dan etika kerja dengan visi dan misi perusahaan serta Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) di PT Catur

Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah

Salah satunya adalah penyediaan jasa transportasi bagi masyarakat luas agar tercapainya kemudahan dan kepuasan masyarakat luas sebagai konsumen dalam menggunakan jasa

Pertemuan yang diwakili oleh ketua kelompok tani Cijurey dengan Kapalindo melalui Bank Indonesia (BI) dimana kelompok.. tani Cijurey bekerjasama dengan kapalindo dalam