• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Effect of Tin Mining on the Diversity of River Fish and Indigenous Knowledge of Local Community in Bangka Island.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Effect of Tin Mining on the Diversity of River Fish and Indigenous Knowledge of Local Community in Bangka Island."

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENAMBANGAN TIMAH TERHADAP

KEANEKARAGAMAN IKAN SUNGAI DAN KEARIFAN LOKAL

MASYARAKAT DI KABUPATEN BANGKA

KHOIRUL MUSLIH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Penambangan

Timah terhadap Keanekaragaman Ikan Sungai dan Kearifan Lokal Masyarakat di

Kabupaten Bangka adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Khoirul Muslih

(3)

RINGKASAN

KHOIRUL MUSLIH. Pengaruh Penambangan Timah terhadap Keanekaragaman Ikan Sungai dan Kearifan Lokal Masyarakat di Kabupaten Bangka. Dibimbing oleh ENAN M ADIWILAGA dan SOERYO ADIWIBOWO.

Penambangan timah di Kabupaten Bangka telah menimbulkan kerusakan lingkungan perairan terutama sungai yang menjadi habitat sumberdaya ikan. Aktivitas penambangan yang terus berlangsung dikhawatirkan akan mempengaruhi kualitas dan kondisi habitat perairan serta mengancam keanekaragaman sumberdaya ikan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menganalisis pengaruh aktivitas penambangan timah terhadap kualitas air dan keanekaragaman jenis ikan di perairan sungai Kabupaten Bangka serta mengetahui pengaruhnya terhadap kearifan lokal dan adat masyarakat setempat terkait dengan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya perairan.

Penelitian dilaksanakan pada Februari sampai dengan Mei 2013 di dua sungai yaitu Sungai Menduk (mewakili lokasi yang mendapat pengaruh penambangan timah) dan Sungai Jeruk sebagai pembanding (tanpa penambangan timah). Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan menggunakan jaring insang dengan ukuran mata jaring ¾ inci, 1 inci dan 1½ inci dan untuk melengkapi data secara kualitatif dilakukan penangkapan spesimen ikan menggunakan serok,

tangkul dan bubu. Parameter kualitas air yang diukur yaitu arus, suhu air, kecerahan, kekeruhan, TDS (Total Dissolved Solids), TSS (Total Suspended Solids), pH, alkalinitas, oksigen terlarut, Biological Oxygen Demand (BOD5), dan

logam berat (Pb, Zn, Cu, Sn). Data hasil pengukuran kualitas air kemudian dianalisis menggunakan Indeks Pencemaran (IP) untuk mengetahui tingkat pencemarannya dan indeks habitat untuk menganalisis gangguan yang terjadi pada habitat. Data sosial terkait kearifan lokal masyarakat dikumpulkan melalui observasi langsung dan wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat dan para pemangku adat.

Aktivitas penambangan timah berpengaruh terhadap kualitas air Sungai Menduk terutama kecerahan, kekeruhan dan TSS. Limbah tailing penambangan menyebabkan tingginya nilai TSS dan kekeruhan sehingga berpengaruh pada kecerahan. Tingkat pencemaran Sungai Menduk akibat penambangan timah masuk ke dalam kondisi tercemar ringan. Tingkat gangguan habitat berdasarkan indeks habitat menunjukkan bahwa Sungai Menduk bagian hulu akibat penambangan masuk dalam kondisi gangguan berat sedangkan Sungai Jeruk masih dalam kategori optimal/minim gangguan. Komposisi jenis ikan yang ditemukan di Sungai Jeruk lebih banyak dan beragam dibandingkan dengan Sungai Menduk. Jumlah ikan yang ditemukan di Sungai Jeruk terdiri dari 36 jenis ikan dari 16 famili. Sedangkan Sungai Menduk yang keruh akibat sedimentasi tailing penambangan timah hanya ditemukan 21 jenis ikan dari 10 famili. Sungai Menduk memiliki besaran nilai indeks keanekaragaman yang lebih kecil bila dibandingkan dengan Sungai Jeruk.

(4)

ditaati dalam melakukan penangkapan ikan. Segala aktivitas pemanfaatan sungai harus dilakukan secara arif tanpa merusak habitat perairan dan mengancam kelestarian sumberdaya ikan. Pelanggaran atas aturan yang berlaku akan dikenakan sangsi berupa denda atau kewajiban melakukan ritual khusus. Walaupun kondisi Sungai Menduk tercemar sedimentasi akibat penambangan timah namun secara umum tidak memberi pengaruh berarti pada kearifan lokal yang telah ada. Masyarakat masih kuat dan taat menjaga norma adat. Norma dan aturan adat ternyata hanya dikuti dan ditaati oleh masyarakat lokal saja, sementara para penambang timah yang merusak ekosistem kebanyakan merupakan masyarakat pendatang terutama dari luar Pulau Bangka.

(5)

SUMMARY

KHOIRUL MUSLIH. The Effect of Tin Mining on the Diversity of River Fish and Indigenous Knowledge of Local Community in Bangka Island. Supervised by ENAN M ADIWILAGA and SOERYO ADIWIBOWO.

Tin mining operation in Bangka significantly damages the aquatic environment, especially the water quality, river fish habitat, and diversity of fish resources. The objective of the research is to analyze the effects of tin mining operations on water quality, fish species diversity, and indigenous knowledge related to the protection and use of river ecosystem. The research was conducted from February to May 2013 in two rivers, the Menduk River - represent river under influenced of tin mining operation - and the Jeruk River represent without tin mining operation.

Water quality parameters that measured among others were stream velocity, temperature, brightness, turbidity, TDS (Total Dissolved Solids), TSS (Total Suspended Solids), pH, alkalinity, Dissolved Oxygen (DO), Biological Oxygen Demand (BOD5), and heavy metals (Pb, Zn, Cu, Sn). Fish sampling was

carried out by using gill nets with mesh sizes ¾ inch, 1 inch and 1½ inch. Further, a ladle, tangkul and traps are also applied for enriching the fish biodiversity data. Based on water quality data, a Pollution Index (PI) was calculated. Furthermore, a habitat index was analyzed to measure the disturbances of the river habitat. Social aspects are measured through interviews and observations to community leaders and relevant stakeholders.

The result shows that, first, the tin mining operations affects is significantly the water quality of the upstream of Menduk River where the mining site are located. The quality of brightness, turbidity and TSS of the upstream river are lower compare to the downstream areas. Furthermore, the water quality along the upstream to downstream of Menduk River is significantly lower than the Jeruk

River as shown in the Menduk’s PI that reach 4.2 meanwhile the Jeruk’s PI 1.2.

Second, those mentioned habitat changing of the Menduk River, more over

affect to the fish diversity. Under disturbed habitat, the fish diversity of Menduk’s

river comprise only of 21 species from 10 families. It is different significantly with the relatively undisturbed habitat of Jeruk River where the fish diversity reached 36 species from 16 families.

Third, the local community surround both rivers are still maintaining the indigenous knowledge and rules for protecting and sustainable use of rivers and its fish aquatic resource. The elder (dukun) has authority to enforce rules and sanctions and the community members complies the rules. However, since most of the illegal tin mining operated by migrants from outside Bangka Island, the local knowledge, wisdom and local rules are not obey by the migrants.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

PENGARUH PENAMBANGAN TIMAH TERHADAP

KEANEKARAGAMAN IKAN SUNGAI DAN KEARIFAN LOKAL

MASYARAKAT DI KABUPATEN BANGKA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)

Judul Tesis : Pengaruh Penambangan Timah terhadap Keanekaragaman Ikan Sungai dan Kearifan Lokal Masyarakat di Kabupaten Bangka Nama : Khoirul Muslih

NRP : C251110021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Enan M Adiwilaga Ketua

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

(10)

Judul Tesis : Pengaruh Penambangan Timah terhadap Keanekaragaman Ikan Sungai dan Kearifan Lokal Masyarakat di Kabupaten Bangka Nama : Khoirul Muslih

NRP : C251110021

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

セO@

Dr Ir Enan M Adiwilaga Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Perairan

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih pada penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini adalah Pengaruh Penambangan Timah terhadap Keanekaragaman Ikan Sungai dan Kearifan Lokal Masyarakat di Kabupaten Bangka. Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Dr Ir Enan M Adiwilaga dan Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS selaku komisi pembimbing, atas bimbingan serta nasihat selama penyusunan tesis ini. 2. Dr Ir H Ridwan Affandi, DEA sebagai dosen penguji luar komisi yang telah

memberikan banyak saran serta masukan demi penyempurnaan penulisan tesis ini.

3. Seluruh dosen dan staf pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

4. DIKTI yang telah memberikan bantuan dana pendidikan melalui Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS).

5. Segenap rekan di Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung serta masyarakat Desa Menduk dan Desa Tanah Bawah Kabupaten Bangka yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini.

6. Segenap rekan di Sekolah Pascasarjana IPB, khususnya di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan IPB.

7. Ayahanda Sutono, Ibunda Siti Fathonah, Mbak Umi, Mas Ali, Dek Heri, dan Dek Mukhlas, serta istri tercinta Vina Ayuningtyas atas segala doa, kasih sayang, serta perhatian yang diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

3 METODE PENELITIAN 9

Waktu dan lokasi penelitian 9

Metode Pengambilan dan Penanganan Sampel 11

Analisis Data 12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 17

5 KESIMPULAN DAN SARAN 48

Kesimpulan 48

Saran 48

DAFTAR PUSTAKA 48

LAMPIRAN 55

(13)

DAFTAR TABEL

Lokasi stasiun pengambilan sampel air dan ikan 10 Parameter dan metode pengukuran fisika kimia air 11

Kriteria penilaian terhadap habitat 14

Klasifikasi kriteria indeks pencemaran kualitas air 15 Nilai korelasi Pearson antara parameter kecerahan, kekeruhan dan TSS 18 Vegetasi riparian dan tanaman air di Sungai Jeruk dan Sungai Menduk 24 Komposisi Jenis Ikan antar stasiun di Sungai Jeruk dan Sungai Menduk 27 Frekuensi Keterdapatan (Fi) Ikan antar Stasiun 29 Nilai koefisien korelasi Pearson hubungan antara kelimpahan ikan

dengan parameter kualitas air 34

Matriks perbandingan antara Sungai Jeruk dan Sungai Menduk 47

DAFTAR GAMBAR

Skema alur kerangka perumusan masalah 2

Peta lokasi penelitian 9

Denah lokasi pengambilan sampel penelitian 10

Sebaran suhu perairan pada stasiun pengamatan 17

Sebaran nilai kecerahan, kekeruhan, dan TSS pada tiap stasiun

pengamatan 18

Sebaran nilai TDS pada stasiun pengamatan 20

Sebaran nilai DO dan BOD pada stasiun pengamatan 20

Sebaran nilai pH stasiun pengamatan 22

Sebaran nilai kadar Sn pada setiap stasiun pengamatan 23 Kelimpahan Relatif (Kr) Ikan (a) Sungai Menduk, (b) Sungai Jeruk 28

Nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) 30 Grafik Nilai Indeks Habitat pada Stasiun Pengamatan 31 Grafik Nilai Indeks Pencemaran pada Stasiun Pengamatan 32 Dendogram pengelompokan habitat berdasarkan kesamaan ciri fisik

kimia air 33

Ordinasi Parameter Lingkungan dengan Menggunakan PCA 34

DAFTAR LAMPIRAN

Hasil rekapitulasi pengukuran parameter kualitas air 55

Pengukuran Indeks Habitat 56

Perhitungan Indeks Pencemaran (IP) 60

Daftar jenis ikan yang ditemukan di Sungai Jeruk 62 Daftar jenis ikan yang ditemukan di Sungai Menduk 63 Gambar jenis-jenis ikan yang tertangkap di lokasi penelitian 64 Perhitungan Indeks H', E, dan C ikan Sungai Jeruk 68 Perhitungan Indeks H', E, dan C ikan Sungai Menduk 69 Perhitungan kelimpahan relatif dan frekuensi keterdapatan ikan 70

(14)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penambangan timah di Kabupaten Bangka telah menimbulkan kerusakan lingkungan perairan terutama sungai yang menjadi habitat sumberdaya ikan. Bahkan hampir sebagian besar sungai di Bangka dalam kondisi rusak dan kritis. Hal ini cukup memprihatinkan karena sungai bagi sebagian besar masyarakat berperan penting dalam kehidupan dan menjadi sumber penghidupan. Kebutuhan air bersih terpenuhi dari aliran sungai, baik untuk air minum sampai aktivitas mandi dan cuci. Sungai juga menyimpan potensi sumberdaya ikan yang besar sehingga menjadi lahan bagi nelayan untuk melakukan aktivitas penangkapan.

Aktivitas penambangan timah di sekitar aliran sungai diduga akan berdampak pada ekosistem dan mengancam keanekaragaman hayati perairan seperti ikan, apalagi ikan merupakan organisme yang sensitif dan rentan terhadap perubahan lingkungan (Alonso et al. 2011). Perubahan lingkungan sangat mempengaruhi komposisi dan distribusi ikan (Humpl dan Pivnicka 2006) seperti faktor fisika (Jackson et al. 2001), kimia, dan biologi (Grossman et al. 1998) perairan. Diduga akan terdapat perbedaan jenis dan keanekaragaman ikan di tiap lokasi yang berbeda, terlebih di lokasi yang terkena dampak sedimentasi akibat penambangan timah (Vila-Gispert et al. 2002).

Rusaknya ekosistem sungai juga dikhawatirkan akan berpengaruh pada hilangnya tradisi dan adat masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan. Apalagi masih banyak kearifan lokal masyarakat yang belum diketahui, terutama dalam konteks ilmiah dikarenakan sifatnya yang normatif atau tidak tertulis. Bahkan dikhawatrikan kearifan lokal yang dulu pernah ada, sudah mulai menghilang atau tidak dijalankan lagi oleh masyarakat lokal terutama karena adanya perubahan lingkungan seperti rusaknya ekosistem sungai akibat penambangan timah.

Perlu segera adanya solusi untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan menentukan rencana pengelolaan yang tepat. Strategi pengelolaan membutuhkan data dan informasi yang memadai mengenai kondisi ekologi dan habitat dari sumberdaya perairan yang akan dikelola. Selain itu pelibatan masyarakat lokal terutama lembaga adat dalam pengelolaan menjadi hal yang penting khususnya untuk pengelolaan terpadu (co-management). Berdasarkan pertimbangan tersebut maka penelitian ini perlu dilakukan sebagai langkah awal dan sebagai dasar bagi pengelolaan sumberdaya perairan yang tepat.

Perumusan Masalah

(15)

2

memiliki struktur komunitas ikan yang berbeda dibandingkan dengan perairan yang rusak akibat pengaruh penambangan timah.

Habitat perairan yang terjaga tidak lepas dari sistem lembaga masyarakat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan perairan. Lembaga masyarakat ini dapat berupa lembaga adat maupun sistem norma, aturan dan kearifan lokal masyarakat. Wilayah yang masih kuat dalam memegang norma, aturan, adat dan kearifan lokal diduga akan memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan wilayah yang telah mengalami perubahan dan kerusakan lingkungan. Selain itu kerusakan lingkungan yang diakibatkan bukan oleh masyarakat lokal tentunya juga akan mempengaruhi lembaga adat yang ada dan sistem kearifan lokal yang sedang berjalan. Penelitian ini mencoba untuk meneliti pengaruh penambangan timah terhadap kondisi habitat dan keanekaragaman ikan serta dampaknya terhadap kearifan lokal masyarakat yang ada.

Gambar 1. Skema alur kerangka perumusan masalah

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis pengaruh aktivitas penambangan timah terhadap kualitas air sungai.

2. Menganalisis pengaruh aktivitas penambangan timah terhadap keanekaragaman ikan sungai.

3. Menganalisis pengaruh aktivitas penambangan timah terhadap kearifan lokal dan adat masyarakat setempat serta pengaruhnya terhadap pranata/lembaga lokal terkait dengan pemanfaatan sumberdaya perairan.

Manfaat Penelitian

1. Mendapatkan informasi mengenai karakteristik serta kondisi kualitas air perairan sungai yang terkena pengaruh penambangan timah.

input proses output

Sungai Penambangan

Timah

Kondisi Habitat Perairan

Kualitas Air

Fisika

Kimia

Biologi

Keanekaragaman Jenis Ikan Kearifan Lokal

dan Adat

Status Perairan Analisis

Kualitas Air Analisis Struktur Komunit

Sungai Tanpa Penambangan

(16)

3 2. Mengetahui potensi sumber daya ikan yang ada di perairan sungai Kabupaten

Bangka.

3. Mengetahui dinamika sosial dan kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan perairan sungai di Kabupaten Bangka.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Sungai

Sungai merupakan badan air yang memiliki karakteristik khas yaitu: (1) ekosistem terbuka, (2) aliran yang linier dan mengarah pada satu arah

(unidirectional) berdasarkan prinsip gravitasi dari hulu ke hilir, (3) arus relatif kencang dengan kecepatan berkisar antara 0,1–1,0 m/detik (Effendi 2003), (4) laju aliran yang selalu berfluktuasi tergantung pada musim dan curah hujan, (5) dasar perairan dan garis tepian yang relatif tidak stabil akibat aliran yang fluktuatif (Giller dan Malmqvist 1998), (6) memiliki tingkat heterogenitas fisika, kimia, dan biologi yang tinggi baik secara spasial dan temporal serta, (7) memiliki hierarki organisasi ekosistem yang jelas, dan umumnya memiliki biota khas yang terspesialisasi untuk hidup pada perairan mengalir. Sungai akan melewati berbagai macam penggunaan lahan di sepanjang daerah tangkapan air (catchment area) sehingga masukan nutrien ke dalam sungai akan berbeda sesuai dengan tata guna lahan di sekitarnya. Sungai juga turut menyumbang nutrien bagi daratan di tepian sungai terutama daratan yang tadinya tergenang pada saat fluktuasi air meningkat di musim hujan (Cummins dan Wilzbach 2008).

Ikan sebagai Organisme Akuatik Perairan Sungai

Sungai memiliki bentuk ekosistem kompleks yang tersusun dari biota akuatik dan komponen fisika-kimia perairan. Ikan adalah salah satu di antara biota akuatik penting yang mendiami habitat sungai. Ikan merupakan kelompok utama vertebrata air yang memiliki nilai komersial bagi manusia sebagai bahan konsumsi untuk pemenuhan protein hewani. Terdapat sekitar 41% (sekitar 8500 spesies) ikan dunia hidup di perairan tawar (Wilzbach dan Cummins 2008). Ikan adalah kelompok organisme air yang termasuk dalam kelas Pisces (ichthyes) dikenal dengan finfish, bertulang belakang (vertebrae), bergerak dengan sirip-sirip, bernafas terutama dengan insang, mempunyai suhu tubuh relatif sama dengan suhu habitatnya (air)/(poikilotermal).

Ikan air tawar (freshwater fish) secara umum dapat dibagi ke dalam tiga golongan; (1) blackfishes, yaitu ikan yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi di seluruh habitat perairan tawar, tahan terhadap perubahan lingkungan dan umumnya menjadi ikan yang residen di daerah tertentu serta dilengkapi organ pernafasan tambahan, (2) whitefishes, yaitu ikan yang selama daur hidupnya aktif bermigrasi dan sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, (3) ikan moderat

(greyfishes), yaitu ikan dengan kemampuan adapatasi yang lebih baik dari

whitefishes, dapat ditemukan di berbagai tipe habitat, dan apabila terjadi perubahan habitat, maka ikan jenis ini akan cenderung memisah dan membetuk komunitas tersendiri (Welcomme 1985; Hoggarth dan Halls 1997).

(17)

4

faktor ketersediaan makanan di perairan, serta tingkat kompetisi dan predasi. Distribusi ikan ditandai dengan adanya perubahan komposisi di tiap-tiap lokasi sebagai akibat faktor lingkungan tersebut (Bhukaswan 1980). Perbedaan gradien longitudinal pada aliran sungai juga akan mempengaruhi struktur komunitas ikan di perairan sungai. Beberapa spesies ikan dominan akan ditemukan dengan komposisi berbeda di daerah hulu, tengah, maupun hilir sebagai bentuk adaptasi terhadap tipe dan volume habitat serta ketersediaan makanan di sepanjang aliran sungai. Ikan yang umumnya hidup di hulu dengan tipe habitat khas berarus deras dan kandungan oksigen yang tinggi adalah ikan-ikan perenang aktif yang memiliki tingkat metabolisme dan konsumsi oksigen tinggi seperti Tor soro. Ikan jenis ini umumnya memiliki bentuk tubuh yang efisien dan mampu bergerak mempertahankan posisinya pada arus deras untuk mendapatkan makanan berupa larva insekta yang menempel di bebatuan serta invertebrata yang hanyut bersama air (Wilzbach dan Cummins 2008). Ikan beradaptasi terhadap variasi arus sungai dengan bentuk tubuh yang ramping memanjang, sebagai upaya untuk mengurangi gesekan akibat arus yang deras. Beberapa spesies lain mengembangkan anggota tubuhnya untuk mempertahankan posisi agar tidak terbawa oleh arus yang deras. Ikan Glyplothorax platypogon, Gobidaae misalnya mengembangkan sirip ventral agar mampu menempel pada bagian keras substrat bebatuan (Rahardjo et al.

2011). Ikan yang hidup di daerah hulu umumnya bersifat soliter sehingga dapat menjadi petunjuk tentang wilayah teritorial sebaran spasial pada relung yang ada (Wilzbach dan Cummins 2008).

Kekayaan spesies ikan umumnya semakin melimpah pada daerah pertengahan sungai, seiring dengan arus yang relatif menjadi lebih lambat dan debit yang lebih besar karena melebarnya sungai. Secara umum alur badan sungai menjadi lebih kompleks dan habitat secara keseluruhan menjadi lebih heterogen (Wilzbach dan Cummins 2008). Beragamnya mikrohabitat sungai akan menyebabkan ditemukan ikan yang khas untuk masing-masing habitat. Spesies ikan yang menghabiskan seluruh atau sebagian waktu hidupnya di sungai utama mempunyai bentuk yang memanjang seperti wader (Puntius binotatus), dan sebaliknya pada area yang arusnya tertahan (melemah) dan sering berasosiasi dengan tumbuhan (makrofita), dihuni oleh spesies ikan dengan bentuk tubuh yang memungkinkan untuk mudah bergerak dan berakselerasi secara cepat pada jarak pendek misalnya lalawak (Barbonymus balleroides) (Rahardjo et al. 2011).

Daerah hilir sungai yang memiliki ciri perairan dengan fluktuasi salinitas yang dinamis umumnya menjadi habitat bagi ikan-ikan yang bersifat euryhaline,

atau mampu hidup pada kisaran salinitas yang cukup luas. Moyle dan Cech (2004) membedakan ikan-ikan yang hidup di perairan hilir sungai menjadi lima tipe, yaitu: (1) ikan air tawar yang secara temporer berasal dari hulu sungai (umumnya mampu mentolerir salinitas dalam waktu singkat) seperti ikan-ikan dari famili Aplocheillidae, Cichlidae dan Poeciliidae; (2) ikan diadromus atau kelompok ikan yang secara reguler beruaya antara perairan tawar dan perairan laut, seperti sidat (Anguilla sp); (3) ikan estuari sejati yang menyelesaikan seluruh siklus hidupnya di perairan esuaria, seperti ikan-ikan dari famili Ambassidae, Clupeidae, Engraulidae dan Gobiidae; (4) ikan-ikan laut bebas yang umumnya ditemukan di daerah sekitar muara tetapi tidak tergantung pada daerah tersebut untuk melengkapi sikus hidupnya, seperti Cymatogaster aggregata, Leptocottus armatus

(18)

5 dalam siklus hidupnya berada di daerah estuaria, misalnya untuk memijah (Clupea

spp, Brevoortia spp dan Sciaenidae), mengasuh anak-anaknya (Totoaba macdonaldi), atau sebagai daerah untuk mencari makan bagi ikan dewasa.

Ikan Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan

Sungai sebagai ekosistem perairan yang rentan mengalami degradasi akibat aktivitas penambangan menuntut kajian dan penelitian dengan pendekatan metodologi yang komprehensif untuk mengevaluasi kondisi yang sebenarnya dan memantau laju perubahan yang terjadi (Rosenberg dan Resh 1993 diacu dalam Li

et al. 2010). Informasi mengenai kondisi fisik, kimia, dan biologi perairan sangat dibutuhkan sebagai dasar bagi pengelolaan ekosistem perairan yang tepat. Biomonitoring dengan menggunakan bioindikator telah terbukti menjadi metode yang diperlukan dalam teknik pemantauan yang sederhana untuk mengetahui informasi tersebut secara cepat dan tepat. Bioindikator juga digunakan untuk memperoleh gambaran umum status ekologi sungai dengan menggunakan organisme air, seperti aquaflora (makrofita dan diatom) (Feio et al. 2012; Luis et al. 2011) dan makroinvertebrata bentik (Li et al. 2010).

Sejarah penggunaan sistem bioindikator pada penilaian kualitas perairan telah dimulai oleh Kolenati pada tahun 1848 dan Cohn pada tahun 1853 (Liebmann 1962 diacu dalam Iliopoulou-Georgudaki et al. 2003). Hasil observasi menunjukkan bahwa organisme di perairan tercemar ternyata berbeda dengan organisme di perairan yang bersih/tidak tercemar. Bioindikator menggambarkan kualitas air dan perubahannya dalam skala waktu yang lama yang lebih dapat dipercaya dibanding beberapa analisa fisika kimia air secara terpisah. Ikan adalah salah satu komponen biologi yang sering digunakan sebagai indikator terjadinya perubahan kualitas perairan sungai dan dapat digunakan secara terpisah ataupun secara bersamaan (Dudgeon 2008; Li et al. 2010).

Komunitas ikan sebagai bagian komponen penyusun ekosistem sungai telah sejak lama digunakan sebagai bioindikator untuk memantau kesehatan ekosistem sungai (Alonso et al. 2011). Dalam jejaring makanan di perairan, ikan menempati bagian atas rantai makanan, serta dimanfaatkan juga untuk konsumsi manusia, sehingga dianggap penting untuk menilai kondisi ikan yang terkontaminasi bahan pencemar (Barbour et al. 1999). Ikan dapat menjadi indikator yang baik dalam jangka panjang (beberapa tahun) untuk melihat efek dan kondisi habitat yang luas (Barbour et al. 1999) karena siklus hidup yang relatif panjang dan mobilitas yang aktif. Selain itu, dengan berbagai trofik level, termasuk tingkat tertinggi yang ditempati oleh top predator, struktur komunitas ikan dapat mencerminkan kesehatan lingkungan perairan secara terpadu (Li et al. 2010).

Kepekaan ikan terhadap kualitas lingkungan perairan menjadi dasar untuk menjadikannya sebagai bioindikator dan biomonitoring untuk memantau kerusakan lingkungan (Li et al. 2010). Komunitas ikan mampu merespon secara signifikan hampir semua jenis gangguan antropogenik, termasuk eutrofikasi,

acidifition, pencemaran kimia, arus, perubahan fisik habitat akibat eksploitasi, aktivitas antropogenik, dan introduksi spesies baru ke perairan. Dengan demikian ikan dapat digunakan untuk memprediksi perubahan lingkungan perairan (Barbour et al. 1999).

(19)

6

digunakan salah satunya adalah meliputi indeks keanekaragaman. Indeks keanekaragaman merupakan pendekatan biomonitoring yang paling sederhana, yang sering dikembangkan untuk menggambarkan tanggapan komunitas organisme terhadap variasi lingkungan, dengan menggabungkan ketiga komponen struktur komunitas, yaitu kekayaan richness (jumlah spesies sekarang), kemerataan evenness (keseragaman dalam distribusi individu di antara spesies) dan kelimpahan abundance (jumlah total individu hadir) (misalnya Indeks Shannon-Wiener). Asumsinya adalah bahwa suatu lingkungan yang masih alami (tidak terganggu) indeks keragaman atau kekayaan yang tinggi dan indeks kemerataan individu di antara spesies memiliki nilai sedang sampai tinggi (Li et al. 2010).

Penambangan Timah di Bangka

Pulau Bangka merupakan salah satu daerah dengan deposit timah terbesar di dunia. Menjadi bagian wilayah dari zona sabuk timah Asia Tenggara (Southeast Asian Tin Belt) yang memanjang dari utara ke selatan sepanjang 2800 km dan lebar 400 km, membentang dari Burma (Myanmar), Thailand ke Semenanjung Malaysia dan Kepulauan Indonesia. Secara keseluruhan 9.6 juta ton timah atau setara 54% produksi timah dunia berasal dari daerah ini (Schwartz et al. 1995).

Kegiatan penambangan timah di Pulau Bangka tidak hanya melibatkan perusahaan skala besar seperti PT Timah Tbk dan PT Koba Tin, tetapi juga melibatkan masyarakat yang lebih dikenal dengan Tambang Inkonvensional (TI) atau tambang rakyat. TI mulai muncul sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997. Selanjutnya pertambangan rakyat menjadi semakin marak setelah diterbitkannya SK Bupati Bangka No. 540.K/271/Tamben/2001 tentang pemberian izin usaha pertambangan untuk pengolahan dan penjualan (ekspor). Secara ekonomi aktivitas TI memberi kontribusi terhadap peningkatan ekonomi masyarakat, karena tingginya pendapatan masyarakat pelaku usaha TI dibandingkan dengan masyarakat yang mempunyai jenis pekerjaan lainnya (Elfida 2007). Tetapi aktivitas tersebut juga mempunyai pengaruh buruk bagi lingkungan seperti kerusakan lahan dan ekosistem perairan serta pengaruh buruk terhadap budaya dan adat istiadat setempat.

Dampak Penambangan Timah terhadap Ekosistem Perairan Sungai

Aktivitas antropogenik di sepanjang aliran sungai dapat mengakibatkan perubahan geometri aliran sungai, dinamika air dan gerakan sedimen, serta dapat menimbulkan pencemaran yang akan menganggu komunitas biota akuatik dan ekosistem perairan dan riparian (Wohl 2006). Secara umum aktivitas penambangan timah dapat menyebabkan beberapa hal, di antaranya:

1. Sedimentasi

Praktek penambangan timah umumnya akan selalu menghilangkan tanah permukaan dan batuan pada lapisan atas (overburden), untuk mengekspos bahan mineral yang terkandung di dalamnya (US-EPA 2005). Aktivitas ini selanjutnya akan menghasilkan limbah buangan (tailing) yang dapat menyebabkan sedimentasi pada aliran sungai (Griffith et al. 2012) sehingga dapat merubah bentuk atau bahkan memutus aliran sungai (Hilmes dan Wohl 1995). Sedimentasi juga dapat mengurangi kapasitas sungai serta menurunkan kualitas air.

2. Timbulnya habitat akuatik baru

(20)

7 selesai. Danau bekas tambang timah di Pulau Bangka disebut kolong. Kolong menjadi habitat yang unik dengan ciri luasan yang sempit dan dalam tanpa zona litoral yang dikelilingi oleh dinding batuan yang terjal/curam serta tidak terdapat aliran masuk atau keluar. Debit air dan kondisi air secara fisik kimia sangat dipengaruhi oleh proses evapokonsentrasi. Debit air cukup berfluktuasi pada musim kering yang mengakibatkan terkonsentrasinya kandungan-kandungan secara kimia (Henny dan Susanti 2009).

3. Air asam tambang (acid mine drainage/AMD)

Permasalahan utama akibat dampak penambangan timah adalah timbulnya air asam tambang (acid mine drainage/AMD) (Protano dan Riccobono 2002; Concas et al. 2006; Luis et al. 2011). Air asam tambang terjadi akibat proses oksidasi batuan/mineral sulfida seperti pirit (FeS2) dari mine tailing, batuan

buangan tambang (overburden) atau batuan dinding kolong yang diikuti oleh oksidasi besi ferous [Fe(II)] yang melepaskan ion hidrogen dan sulfat sehingga bereaksi membentuk asam sulfat. Adapun reaksi oksidasi dari mineral sulfida sekaligus oksidasi besi ferous adalah:

2FeS2(s) + 7O2 + 2H2O  4SO42- + 2Fe2+ + 4H+

4Fe2+ + O2 + 10H2O  4Fe(OH)3(s) + 8H+

Untuk area tambang yang didominasi oleh batuan mineral sulfida dan besi akan menghasilkan AMD yang pH-nya rendah dan mengandung sulfat dan logam yang tinggi seperti Fe. Penelitian Henny dan Susanti (2009) pada beberapa perairan bekas penambangan timah di Bangka menunjukkan kualitas air yang buruk dengan pH berkisar 2.9-4.5 (Brahmana et al. 2004; Subardja et al. 2004). 4. Kandungan logam berat

Aktivitas penambangan akan selalu meninggalkan bekas berupa tailing yang banyak mengandung logam (Luis et al. 2011). Logam berat tersebut merupakan hasil oksidasi dari mineral sulfida yang banyak terkandung dalam tanah bekas penambangan timah sehingga melepaskan logam berat seperti As, Cd, Cu, Pb, Al, dan Zn (Blodau 2006; Mlayah et al. 2009). Potensi kandungan logam berat yang cukup tinggi dikhawatirkan akan mengontaminasi lingkungan di sekitarnya baik air permukaan, air tanah, sedimen maupun biota perairan (Concas et al. 2006; Protano dan Riccobono 2002; Luis et al. 2011). Aktivitas penambangan juga berpotensi menghasilkan logam berat dari hasil rembesan hujan dan erosi pada limbah tailing yang kemudian terbawa ke sungai (Reis et al. 2007 diacu dalam Luis et al. 2011). Kandungan logam berat pada perairan bekas penambangan timah di Bangka sangat tinggi mencapai 5-8 mg/l (Brahmana et al. 2004; Henny dan Susanti 2009).

5. Perubahan debit sungai

(21)

8

Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan istilah yang sering dipakai kalangan ilmuwan untuk mewakili sistem nilai dan norma yang disusun, dianut, dipahami dan diaplikasikan masyarakat lokal berdasarkan pemahaman, dan pengalaman mereka dalam berinteraksi dan berinterrelasi dengan lingkungan (Tjahjono et al. 1999). Kearifan lokal atau Indigenous Knowledge (IK) adalah kumpulan pengetahuan tentang hubungan antara makhluk hidup (termasuk manusia) dengan lingkungannya yang diciptakan dari hasil pemikiran dan tindakan manusia dalam lingkungan ekosistem tempat tinggal, yang berlangsung secara terus menerus dan diturunkan dari generasi ke generasi melalui transmisi budaya selama puluhan tahun, dalam upaya mengatasi lingkungan ekologi dan sosio-ekonomi yang selalu berubah (Kaniki dan Mphahlele 2002 diacu dalam Lwoga et al. 2010; Berkes 1999 diacu dalam Charnley et al. 2007). Kearifan lokal yang menurut Berkes (1999) diacu dalam Charnley et al. (2007) dapat diistilahkan sebagai traditional ecological knowledge meliputi pengetahuan, praktek, dan keyakinan yang terintegrasi satu sama lain dan bersifat dinamis serta selalu berkembang seiring dengan pengalaman dan pengamatan, eksperimen, pembelajaran, dan adaptasi masyarakat terhadap perubahan lingkungan dari waktu ke waktu. Kearifan lokal secara khusus berbasis pada wilayah geografis yang spesifik, dan paling sering ditemukan pada masyarakat yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya alam di suatu tempat tertentu selama jangka jangka waktu tertentu, seperti masyarakat adat (Berkes 1999 diacu dalam Charnley et al. 2007). Secara umum komponen yang menyusun suatu kearifan lokal meliputi: (1) pengetahuan mengenai beragam spesies dan klasifikasinya (etnobiologi), (2) pengetahuan mengenai proses-proses ekologis dan keterhubungan antara manusia dengan lingkungannya (human ecology), (3) pengetahuan dan praktek pertanian, perburuan, perikanan dan kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup lainnya, dan (4) persepsi masyarakat mengenai perannya di dalam ekosistem dan interaksinya dengan proses-proses ekologis.

Secara konseptual kearifan lokal menurut Berkes (1995) diacu dalam Berkes

et al. (2000) memiliki peranan penting dalam konservasi keanekaragaman hayati karena sistem ini menghendaki adanya pemanfaatan yang berkelanjutan untuk kepentingan manusia tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang. Ada tiga kekuatan utama sistem kearifan lokal, yaitu: (1) self-interest; kearifan lokal menjadi kunci penting dalam upaya konservasi, karena kekuatannya yang datang

dari ―dalam‖ bukan dari luar, (2) akumulatif; kearifan lokal merupakan akumulasi

dari pola adaptasi ekologi komunitas lokal yang telah berlangsung selama berabad-abad, (3) pengetahuan tradisional yang sangat potensial untuk membantu mendesain upaya konservasi sumber daya alam secara efektif, dikarenakan dukungan masyarakat lokal dan tingkat adaptasi serta pertimbangan practibility -nya yang tinggi (Berkes 1995 diacu dalam Berkes et al. 2000).

(22)

9 menginventarisir kerifan lokal di Kabupaten Musi Rawas juga telah dilakukan oleh Wardana et al. (2000) yang berhasil membuktikan bahwa pola-pola kearifan lokal masih berlaku dan dipatuhi masyarakat setempat dengan adanya Dewan Marga, adanya sistem pengelolaan sungai dan masih dipakainya pola pertanian yang khas seperti huma.

Perubahan Kearifan Lokal

Jika pada awalnya masyarakat memiliki kearifan yang luar biasa terhadap lingkungan sekitarnya, secara perlahan kearifan tersebut akan memudar akibat berbagai faktor seperti adanya gangguan dan kerusakan terhadap lingkungan. Kerusakan akan menyebabkan hilang atau terganggunya fungsi lingkungan bagi keberlanjutan generasi sekarang dan masa yang akan datang. Istimewanya, manusia dan kebudayaannya memiliki kelenturan ekologis yang tinggi, namun makhluk hidup lainnya akan terancam punah karena kerusakan habitat. Hasil penelitian Tjahjono et al. (2000) menunjukkan bahwa pergeseran kearifan lokal masyarakat diakibatkan berbagai faktor, antara lain rendahnya penguasaan teknologi, pertambahan penduduk, migrasi penduduk, keterbatasan wilayah, kebijakan yang mengebiri hak adat, serta kebebasan dalam mengeksploitasi hasil alam.

3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2013 di sungai yang ada di wilayah Kabupaten Bangka (Gambar 2). Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada tujuan penelitian. Adapun sungai yang dipilih pada penelitian ini adalah Sungai Menduk yang terkena pengaruh aktivitas penambangan timah dan sebagai pembanding dipilih Sungai Jeruk yang masih belum terkena pengaruh penambangan timah. Sungai Menduk terletak di Kecamatan Mendobarat, sedangkan Sungai Jeruk terletak di Kecamatan Puding Besar, keduanya masih terletak di Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kedua sungai tersebut sama-sama terletak di bagian barat Pulau Bangka yang bermuara di Selat Bangka. Penelitian ini dilakukan di beberapa titik yang mewakili aliran Sungai Menduk (lokasi 1) dan Sungai Jeruk (lokasi 2).

(23)

10

Penentuan Stasiun

Penelitian menggunakan metode ex post de facto. Metode ini dimulai dengan melukiskan keadaan sekarang, yang dianggap sebagai akibat dari faktor yang terjadi sebelumnya, kemudian mencoba menyelidiki ke belakang guna menetapkan faktor-faktor yang diduga sebagai penyebabnya. Pemilihan lokasi pengambilan sampel dilakukan di enam stasiun pengamatan yang mewakili perairan yang ingin diteliti berdasarkan tujuan penelitian. Adapun lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 3 dan Tabel 1.

Gambar 3. Denah lokasi pengambilan sampel penelitian. Tabel 1. Lokasi stasiun pengambilan sampel air dan ikan

Stasiun Lokasi Deskripsi Area I. Sungai Menduk

1 Desa Petaling Daerah hulu yang terdapat aktivitas penambangan timah

2 Desa Mendo Daerah aliran sungai yang dekat dengan pemukiman masyarakat, terkena pengaruh antropogenik

3 Desa Mendo Daerah aliran sungai yang mendapat pengaruh kegiatan perkebunan dan pertanian

II. Sungai Jeruk

1 Desa Labu Daerah hulu yang belum terkena dampak aktivitas penambangan timah

2 Desa Tanah bawah Daerah aliran sungai yang dekat dengan pemukiman masyarakat, terkena pengaruh antropogenik

3 Dusun Telang Daerah aliran sungai yang mendapat pengaruh kegiatan perkebunan dan pertanian

Gambaran kondisi lokasi penelitian di setiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 10.

Sungai Jeruk

Sungai Menduk

Stasiun 1

Stasiun 2 Stasiun 3

Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 3

Aktivitas

penambangan timah

(24)

11

Metode Pengambilan dan Penanganan Sampel

1 Pengambilan Sampel Ikan

Alat tangkap yang digunakan untuk pengambilan sampel ikan pada penelitian ini adalah jaring insang (gill net) dengan ukuran mata jaring ¾ inci, 1 inci dan 1½ inci. Panjang jaring mencapai 45 m dengan lebar 2 m. Pengambilan sampel ikan di setiap stasiun dilakukan dengan perlakuan yang sama yaitu dengan menggunakan alat tangkap yang sama dan pengulangan yang sama untuk setiap masing-masing stasiun. Untuk melengkapi data, maka secara kualitatif dilakukan penangkapan spesimen ikan pada jarak 100 m dari titik stasiun ke arah anak-anak sungai dengan menggunakan serok, tangkul dan bubu. Sampel ikan yang diperoleh di lapangan dibawa ke laboratorium untuk diawetkan dan diidentifikasi dengan mengacu pada literatur Saanin (1984) dan Kottelat et al. (1993).

2 Parameter Fisika Kimia Air

Pengambilan sampel air dilakukan empat kali yaitu pada setiap bulan selama Februari sampai dengan Mei 2013, pada waktu yang bersamaan dengan waktu pengambilan sampel ikan. Pengambilan sampel air dilakukan pada lapisan permukaan atau pada kedalaman ±30 cm di tiap stasiun. Sampel air kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel dan diberi label yang dicantumkan berupa keterangan dan informasi mengenai lokasi pengambilan, waktu (jam & tanggal) serta kondisi cuaca. Sampel air kemudian dimasukkan ke dalam coolbox untuk dibawa ke laboratorium guna analisis lanjutan. Adapun beberapa parameter diukur secara in situ (analisis langsung di lapangan) dan ex situ (analisis lanjut di laboratorium). Parameter fisika dan kimia air yang diukur pada penelitian ini tertera pada Tabel 2. Kandungan logam berat di perairan juga diukur dalam penelitian ini karena berdasarkan Henny dan Susanti (2009) perairan pasca penambangan timah memiliki kandungan logam seperti Pb, Cu dan Zn yang tinggi melebihi baku mutu dengan tingkat keasaman yang tinggi yaitu pH airnya <3. Tabel 2. Parameter dan metode pengukuran fisika kimia air

Parameter Satuan Alat/bahan/metode Keterangan Fisika Kecepatan arus m/dtk bola arus/visual in situ

Suhu air ˚C Termometer in situ

Kecerahan Cm Secchi disk in situ

Kekeruhan NTU Turbidimeter in situ

TDS mg/l metode gravimetri ex situ

TSS mg/l metode gravimetri ex situ

Kimia pH air - pH meter in situ

Alkalinitas mg/l Peralatan titrasi/titrimetri ex situ DO mg/l Peralatan titrasi/titrimetri-Winkler in situ BOD5 mg/l Peralatan titrasi/titrimetri-Winkler ex situ Logam berat

(Pb, Zn, Cu, Sn) mg/l AAS ex situ

3 Data Sosial Kearifan Lokal Masyarakat

(25)

12

dihadapi. Mengingat substansi penelitian ini terkait dengan sistem nilai dan kebudayaan, metode kualitatif lebih mudah menyesuaikan jika berhadapan dengan kenyataan ganda. Pertimbangan lain adalah penelitian kualitatif peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman-penajaman studi terhadap nilai-nilai baru yang ditemukan. Hal ini memungkinkan terjadinya pengembangan kenyataan sebagaimana adanya dalam memperoleh pemahaman tentang realitas makna kenyataan dan mengembangkannya dalam penjelasan teoritis (Moleong 2000).

Sementara itu, pendekatan studi kasus dipilih karena dianggap memadai dan paling tepat dengan tiga dasar pertimbangan: (1) pertanyaan penelitian

―mengapa dan ―bagaimana‖, (2) peluang peneliti untuk mengontrol gejala atau peristiwa sosial yang diteliti sangat kecil, dan (3) fokus penelitian adalah peristiwa atau gejala sosial masa kini dalam konteks kehidupan nyata (Yin 1996). Selain itu pendekatan studi kasus memiliki keuntungan untuk menjelaskan fenomena sosial secara lebih mendalam.

Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data dikumpulkan melalui metode triangulasi, dengan menggunakan tiga kombinasi teknik pengumpulan data, yaitu (1) wawancara mendalam (in-depth interview) kepada masyarakat, tokoh masyarakat dan para pemangku adat setempat, (2) observasi langsung dan (3) pengumpulan dan telaah dokumen-dokumen kesejarahan tentang komunitas lokal setempat. Adapun data dan informasi yang dikumpulkan meliputi; (1) kearifan lokal masyarakat setempat dalam memelihara sungai dan keanekaragaman hayati perairan sungai, (2) nilai-nilai, norma dan tradisi masyarakat dalam memelihara badan sungai termasuk keanekaragaman hayati perairan, (3) problem dan tantangan yang dihadapi dalam menjaga kearifan lokal dan norma-norma serta tradisi masyarakat setempat terkait pemeliharaan dan perlindungan sungai.

Data sekunder dikumpulkan dari instansi pemerintah dan non pemerintah yang terkait dengan topik penelitian ini. Data sekunder dikumpulkan dengan metode studi dokumen, literatur, dan publikasi.

Analisis Data

Analisis Struktur Komunitas Ikan a. Komposisi Jenis

Komposisi jenis menggambarkan jumlah jenis ikan secara keseluruhan yang diperoleh dari hasil tangkapan atau sampling selama penelitian.

b. Kelimpahan Relatif

Perhitungan kelimpahan relatif setiap jenis ikan dilakukan dengan perhitungan presentase jumlah (Brower et al. 1990).

Kr =

    

N ni

x 100

Keterangan: Kr : Kelimpahan relatif (%) ni : Jumlah individu spesies ke-i

(26)

13

c. Frekuensi Keterdapatan

Frekuensi keterdapatan dapat menunjukkan luasnya penyebaran lokal jenis tertentu yang dilihat dari frekuensi (%) ikan yang tertangkap (Brower et al. 1990).

Fi =

     T ti x 100

Keterangan: Fi : Frekuensi keterdapatan ikan spesies ke-i yang tertangkap (%) ti : Jumlah stasiun di mana spesies ke-i

T : Jumlah semua stasiun

d. Indeks Keanekaragaman

Untuk mengetahui indeks keanekaragaman digunakan indeks Shannon– Wiener (Brower et al. 1990; Dodds2002).

= -

s i pi pi 1 2 log

Keterangan : H´ : Indeks Keanekaragaman pi :

N ni

ni : Jumlah individu spesies ke-i N : Jumlah individu semua spesies

Nilai indeks Shannon-Wiener mempunyai kisaran tertentu dan berdasarkan

nilai tersebut ditentukan beberapa kriteria yaitu: H’<1 (keanekaragaman rendah); 1<H’<3 (keanekaragaman sedang); dan H’>3 (keanekaragaman tinggi).

e. Indeks Keseragaman

Keseragaman adalah komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas (Krebs 1989). Hal ini didapat dengan cara membandingkan indeks keanekaragaman dengan nilai keanekaragaman maksimalnya, yaitu:

E =

maks

H H'

dimana: Hmaks = log2 S

Keterangan: E : Indeks keseragaman

H’ : Indeks keanekaragaman

H maks : Keanekaragaman maksimum

S : Jumlah spesies

Nilai indeks keseragaman (E) berkisar antara 0-1, semakin rendah nilai E akan semakin rendah pula keseragaman populasi spesies, yang berarti penyebaran jumlah individu setiap spesies tidak merata, dan ada kencenderungan adanya satu spesies yang mendominasi. Semakin besar nilai E, maka penyebarannya cenderung lebih merata dan tidak ada spesies yang mendominasi (Krebs 1989).

f Indeks Dominansi

Untuk mengetahui ada tidaknya dominansi, digunakan indeks dominansi Simpson (Legendre & Legendre 1983 diacu dalam Setyobudiandi et al. 2009):

C =

s i 1 2       N ni

(27)

14

Nilai indeks dominansi berkisar antara 0-1; indeks 1 menunjukkan dominansi oleh satu jenis spesies sangat tinggi (hanya terdapat satu jenis pada satu stasiun), sedangkan indeks 0 menunjukkan bahwa di antara jenis-jenis yang ditemukan tidak ada yang mendominasi.

Analisis Parameter Fisika Kimia Perairan

Parameter fisika kimia perairan yang terukur dianalisa secara deskriptif yaitu dengan membandingkan parameter kualitas air dengan baku mutu air menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Adapun peruntukan yang lain dijelaskan dalam peraturan tersebut sebagai kelas air atau peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu. Analisis parameter kualitas air dikaji dengan menggunakan pola perbandingan. Data yang sudah diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk grafik dan tabel.

a. Indeks Habitat

Prediksi gangguan yang terjadi pada habitat di sekitar lokasi sampling dilakukan dengan menggunakan sistem skoring yang diadopsi dari US-EPA (1999). Tata cara penilaian dan sistem skoring indeks habitat dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil skoring kemudian akan menjadi dasar penilaian kriteria gangguan pada habitat sungai seperti dalam Tabel 3.

Tabel 3. Kriteria penilaian terhadap habitat diadopsi dari protokol US-EPA (1999)

Kriteria habitat Skor penilaian habitat pada gradien tinggi dan rendah

Optimal 160 – 200 Sub-optimal 110 – 159 Marginal 60 – 109

Buruk < 60

Daerah yang mempunyai skor habitat tertinggi atau dalam kategori optimal diharapkan dapat dijadikan sebagai kandidat situs rujukan.

b. Indeks Pencemaran (IP)

Indeks Pencemaran (IP) atau Pollution Index adalah metode untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan (Nemerow 1974). Metode IP sering diaplikasikan dalam pengukuran kualitas perairan pada studi di beberapa negara, seperti sungai Tanshui di Taiwan, sungai Xinjiang di China, Canada dan Indonesia (Sholichin et al. 2010). IP ditentukan untuk suatu peruntukan bagi sebagian atau seluruh badan air dan dapat dikembangkan untuk beberapa peruntukan (PP No. 82 tahun 2001). Pengelolaan kualitas air berdasarkan IP dapat memberi masukan kepada pengambil keputusan untuk menilai kualitas air sesuai peruntukan serta melakukan tindakan untuk memperbaikinya jika terjadi penurunan kualitas akibat kehadiran senyawa pencemar. IP mencakup berbagai kelompok parameter kualitas yang independen dan bermakna. Penggunaan metode ini membutuhkan berbagai data kualitas air (Sholichin et al. 2010) yang dapat langsung melihat tingkat ketercemaran (layak atau tidak) sungai untuk penggunaan tertentu dan dengan parameter-parameter tertentu. Perhitungan IP pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 3.

Rumus dari perhitungan IP adalah:

ij i j j j j L C L C L C L C

PI , , ,...,

(28)

15 Dimana:

ij

L = konsentrasi parameter kualitas air berdasarkan baku mutu peruntukan air (j) = baku mutu air yang digunakan (peruntukan)

Ci = konsentrasi masing-masing parameter kualitas air hasil pengukuran

j

PI = indeks pencemaran bagi baku mutu peruntukan (j)

Nilai (Ci/Lij) menunjukkan tingkat pencemaran relatif terhadap

parameter-parameter spesifik kualitas air (Ci/Lij = 1,0 berarti kondisi kritis dan Ci/Lij > 1,0

berarti kondisi buruk). Metode ini membutuhkan beberapa parameter kualitas air sebagai perbandingan sehingga memerlukan nilai rata-rata umum dari Ci/Lij yang

meniadakan pengukuran pencemaran. Jika salah satu nilai (Ci/Lij)> 1 maka tidak

signifikan. Hasil akhir PI adalah nilai rata-rata (Ci/Lij)R dan nilai maksimum

(Ci/Lij)M, yang dirumuskan menjadi:

                         M ij i R ij i j L C L C

PI , ... (2)

Keterangan: R ij i L C        

= nilai rata-rata Ci/Lij;

M ij i L C        

= nilai maksimum Ci/Lij

Nilai (Ci/Lij)R dan (Ci/Lij)M digambarkan dalam bentuk grafik dengan nilai

(Ci/Lij)M sebagai absis X dan nilai (Ci/Lij)R sebagai ordinat Y. Air permukaan

dinyatakan positif tercemar jika (Ci/Lij)R dan (Ci/Lij)M > 1,0. Nilai (Ci/Lij)R dan

(Ci/Lij)M yang meningkat mengindikasikan air permukaan semakin tercemar.

Panjang garis yang menghubungkan titik pusat (0, 0) dengan PIj menjadi

gambaran dari faktor pencemaran sungai.

2 2

jM jR

j m PI PI

PI   ... (3) m = faktor rasio, pada kondisi kritis, nilai m dinyatakan dengan PIjR = 1,0

jika PIjr= 1 dan PIjM = 1. sehingga m =

2 1

, maka rumus akhir IP menjadi:

2 2 2 R ij i M ij i j L C L C PI                 

 ... (4) Metode IP dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran sungai dan kelayakan air sungai berdasarkan kondisi sekarang. Penilaian IP dapat dilihat dari pengklasifikasian pada Tabel 4.

Tabel 4. Klasifikasi kriteria indeks pencemaran kualitas air

Tingkatan Indeks Pencemaran Hasil Penilaian 1 0 < PIj < 1.0 Bersih atau tidak tercemar

2 1.0 < PIj < 5.0 Tercemar ringan

3 5.0 < PIj < 10 Tercemar sedang

4 PIj > 10 Tercemar berat

Sumber: Nemerow (1974)

Analisis Pengelompokan Habitat

(29)

16

pada analisis komponen utama (Principle Component Analysis/PCA). PCA secara luas digunakan dalam model ekologi untuk melihat karakteristik hubungan antara variabel lingkungan yang mempengaruhi spesies dan lokasi sampling. PCA merupakan metode statistik deskriptif yang lebih mudah dibaca atau diterjemahkan dalam bentuk grafik dari informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data yang terdiri dari stasiun penelitian sebagai individu statistik (matriks baris) dan parameter fisika kimia perairan sebagai variabel kuantitatif (matriks kolom) (Bengen 2000; Setyobudiandi et al. 2009). Proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software XLSTAT 2011.

Analisis Keterkaitan Ikan dengan Parameter Kualitas Air

Untuk melihat hubungan antara ikan dengan parameter kualitas air digunakan analisis Pearson Correlation Coefficient (Koefisien Korelasi Pearson). Menurut Hasan (2008), Koefisien Korelasi Pearson (r) diinterpretasikan tidak memiliki korelasi jika r= 0, korelasi lemah jika 0.20< r < 0.40, korelasi cukup jika 0.40 < r < 0.70, korelasi kuat jika 0.70< r < 0.90, korelasi sangat lemah jika 0< r < 0.20 (korelasi sangat lemah), dan korelasi sempurna jika r= 1. Formulasi untuk menghitung koefisien korelasi Pearson adalah:

                                           

       2 1 1 2 2 1 1 2 1 1 1 n i i n i i n i i n i i n i i n i i n i i i y y n x x n y x y x n r keterangan:

r = korelasi antara ikan dengan kualitas air x = parameter ikan

y = parameter kualitas air n = jumlah data

Analisis Data Sosial Kearifan Lokal Masyarakat

Data primer maupun data sekunder yang diperoleh dari penelitian lapangan diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode analisa data kualitatif. Miles dan Huberman (1992) membagi tiga alur kegiatan dan dilakukan secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi. Tahap pertama, reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan lapangan (Miles dan Huberman 1992). Reduksi data meliputi kegiatan-kegiatan: meringkas data, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus, membuat partisi dan menulis memo (Sitorus 1998).

Analisis Perbandingan antara Kedua Lokasi

(30)

17

25 25.5 26 26.5 27 27.5 28 28.5 29

S. Jeruk 1 S. Jeruk 2 S. Jeruk 3 S. M enduk 1 S. M enduk 2 S. M enduk 3

stasiun pengamatan

su

hu

a

ir

(˚C

)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Parameter Fisika dan Kimia Perairan Suhu

Suhu berpengaruh nyata terhadap kualitas air, peningkatan suhu akan mempercepat reaksi kimia sesuai dengan hukum kinetika kimia. Secara langsung suhu mempengaruhi sintasan (kelulushidupan), pertumbuhan (khususnya pada ikan stadia muda) dan keberhasilan proses reproduksi. Secara tidak langsung suhu menentukan daya kompetisi satu jenis ikan, resistensi terhadap penyakit, predator dan parasit yang terdapat di sekitarnya. Perubahan suhu air akan mempengaruhi metabolisme ikan. Ikan mempunyai sifat yang dapat mengadaptasi perubahan suhu lingkungan, dan ikan air tawar mempunyai daya toleransi yang besar terhadap perubahan suhu (Krebs 1985; Moyle and Cech 2004). Bagi ikan yang hidup di perairan tawar, perubahan suhu perairan pada musim penghujan memberikan tanda secara alamiah untuk melakukan pemijahan, beruaya dan mencari makan.

[image:30.595.113.496.511.689.2]

Selama pengamatan, suhu perairan Sungai Menduk secara umum relatif lebih tinggi dibandingkan Sungai Jeruk (Gambar 4). Hasil pengamatan menunjukkan rerata suhu tertinggi terdapat di Sungai Menduk yaitu 28.40°C pada stasiun 1 dan suhu terendah di Sungai Jeruk yaitu 26.40°C pada stasiun 1. Perbedaan suhu tersebut disebabkan oleh perbedaan kondisi perairan terutama kedalaman air Sungai Menduk yang lebih dangkal dibandingkan Sungai Jeruk terutama di stasiun 1 akibat sedimentasi dari aktivitas penambangan. Faktor kedalaman dapat berpengaruh pada derajat penyinaran menjadi lebih nyata di lokasi tersebut. Selanjutnya Welcomme (1985) menyatakan bahwa derajat penyinaran, komposisi substrat, kekeruhan, aliran air bawah tanah dan air hujan, angin serta penutupan oleh vegetasi dapat mempengaruhi suhu air di perairan sungai. Aktivitas penambangan timah menyebabkan Sungai Menduk menjadi keruh, dan vegetasi di sekitar sungai berkurang akibat penebangan hutan untuk lahan penambangan.

Gambar 4. Sebaran suhu perairan pada stasiun pengamatan

Kecerahan, Kekeruhan, dan TSS

(31)

18

S. Jeruk 1 S. Jeruk 2 S. Jeruk 3 S. Menduk 1 S. Menduk 2 S. Menduk 3

0 100 200 300 400 500 600

20

10 5 15

Kecerahan (cm) Kekeruhan (NTU) TSS (mg/L)

yang tinggi akibat tingginya partikel tersuspensi yang bersumber dari aktivitas penambangan timah (Gambar 5). Kekeruhan ini menyebabkan rendahnya penetrasi cahaya ke dalam kolom perairan. Sungai Menduk memiliki kecerahan sangat rendah terutama di daerah hulu (stasiun 1) yang mendapat pengaruh langsung penambangan timah yaitu hanya berkisar antara 14±0.59cm

(5.78±0.10%)dengantingkatkekeruhan sebesar 457±22.03 NTU.Nilai kecerahan berangsur naik ke arah hilir di stasiun 2 dan 3 (24.75±0.99cm dan 29.25±0.55cm) serta tingkat kekeruhan menurun (297.25±15.60 NTU dan 192.00±38.16 NTU). Sedangkan di Sungai Jeruk yang belum mendapat pengaruh penambangan timah memiliki kecerahan yang relatif tinggi dan kekeruhan yang rendah. Kekeruhan berkisar 138±1.63cm (43±1.18%) di daerah hulu (stasiun 1), 133±2.23cm (28.28±1.50%) dan 136±2.68cm (26.75±0.48%) masing-masing di stasiun 2 dan 3 serta kekeruhan berkisar antara 1.99±0.38 NTU sampai 4.15±0.17 NTU.

Gambar 5. Sebaran nilai kecerahan, kekeruhan, dan TSS pada tiap stasiun pengamatan

Nilai padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid/TSS) di kedua lokasi sungai memiliki keterkaitan erat dengan nilai kecerahan dan kekeruhan. Hal ini ditunjukkan dari hasil analisis korelasi pearson antara tiga parameter tersebut (Tabel 5). Nilai TSS sangat dipengaruhi oleh nilai kekeruhan perairan dengan ditunjukkan dari nilai korelasi yang mendekati 1. Kekeruhan tinggi akan diikuti dengan nilai TSS yang juga tinggi, karena TSS menggambarkan seberapa besar (mg/l) jumlah bahan-bahan yang menyebabkan kekeruhan di perairan. Sedangkan kecerahan memiliki hubungan terbalik dengan kekeruhan dan TSS, yaitu semakin tinggi kecerahan, maka kekeruhan dan TSS akan semakin turun begitu juga sebaliknya.

Tabel 5. Nilai korelasi Pearson antara parameter kecerahan, kekeruhan dan TSS.

Parameter Kecerahan Kekeruhan TSS

Kecerahan 1 -0.908 -0.982

Kekeruhan -0.908 1 0.969

[image:31.595.86.525.94.511.2]
(32)

19 Hasil pengukuran padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid/TSS) selama pengamatan di Sungai Menduk dan Sungai Jeruk menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan. Stasiun 1 Sungai Menduk yang berdekatan langsung dengan aktivitas penambangan timah memiliki nilai TSS yang tertinggi dengan rerata 559.25±19.96 mg/l. Sedangkan TSS Sungai Jeruk memiliki nilai yang sangat rendah dibandingkan dengan Sungai Menduk, dengan rerata paling rendah ditemukan di stasiun 1 sebesar 8.00±0.82 mg/l.

Aktivitas penambangan yang terjadi di hulu Sungai Menduk berakibat pada hilangnya material bagian bawah permukaan (overburden) yang menghasilkan tailing sehingga meningkatkan sedimentasi pada aliran sungai (Tanpibal dan Sahunalu 1989; US-EPA 2005). Penurunan kualitas air pun terjadi seiring peningkatan laju sedimentasi. Selain menghambat penetrasi cahaya matahari yang masuk ke perairan sehingga mengganggu fotosintesis (fitoplankton), kekeruhan yang tinggi juga dapat mengancam kehidupan organisme akuatik seperti dapat mengganggu organ pernafasan (insang) dan organ penyaring makanan. Dampak selanjutnya akan menurunkan kualitas habitat dari berbagai spesies biota akuatik (Wohl 2006) serta merusak habitat spawning ground ikan sehingga mengganggu pemijahan ikan dan akhirnya akan berdampak pada kepunahan jenis ikan.

Kedalaman perairan (tinggi paras air) sungai di dua lokasi mengalami sedikit fluktuasi selama beberapa bulan pengamatan. Kedalaman sangat terkait dengan siklus hidrologi yaitu curah hujan. Curah hujan berkorelasi positif dengan kedalaman (Simanjuntak 2007). Semakin tinggi curah hujan menyebabkan kedalaman perairan meningkat dan semakin banyak daerah yang tergenang (Medeiros dan Arthington 2008) akan menciptakan relung yang besar bagi spesies ikan terutama dalam mendukung siklus hidup seperti reproduksi dan mencari makan. Kedalaman pada masing-masing lokasi pengamatan terdapat perbedaan, Sungai Menduk memiliki perairan yang lebih dangkal dibandingkan dengan Sungai Jeruk. Sungai Menduk memiliki rerata kedalaman 221.25±17.78cm pada stasiun 1, 394.75±11.77cm pada stasiun 2, dan 420.25±6.54cm pada stasiun 3. Sedangkan sungai Jeruk memiliki rerata kedalaman 320.50±1.83cm pada stasiun 1, 471.75±20.91cm pada stasiun 2, dan 510±16.35cm pada stasiun 3. Aktivitas penambangan timah yang menyebabkan terjadinya sedimentasi dan pendangkalan menjadi salah satu penyebab perbedaan kedalaman tersebut.

TDS

(33)

20

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

S. Jeruk 1 S. Jeruk 2 S. Jeruk 3 S. M enduk 1 S. M enduk 2 S. M enduk 3

s tas iun pengamatan

TD

S

(m

g/

l)

0 1 2 3 4 5 6

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Sungai Jeruk Sungai Menduk

[image:33.595.68.474.71.790.2]

DO (mg/l) BOD (mg/l)

Gambar 6. Sebaran nilai TDS pada stasiun pengamatan

DO dan BOD5

Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut merupakan komponen yang sangat penting bagi organisme perairan. Oksigen terlarut menjadi salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan (Moyle and Cech 2004). Selain itu DO perairan juga menjadi faktor utama yang mempengaruhi distribusi ikan pada perairan (Wootton 1992). Berdasarkan hasil pengukuran nilai DO Sungai Jeruk relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Sungai Menduk (Gambar 7). Hal ini ditunjukkan dengan rerata DO pada stasiun 1, 2 dan 3 berturut-turut sebesar 4.44±0.10 mg/l, 4.17±0.27 mg/l dan 4.68±0.19 mg/l. Kandungan DO di Sungai Menduk berturut-turut sebesar 3.66±0.23 mg/l (stasiun 1), 3.79±0.18 mg/l (stasiun 2) dan 3.86±0.27 mg/l (stasiun 3). Kisaran nilai DO di dua sungai tersebut secara umum memang terlihat rendah, namun apabila mengacu pada PP No. 82 tahun 2001 yaitu > 3 mg/l, maka kisaran nilai DO di kedua sungai masih berada pada kondisi baik dan layak bagi kehidupan ikan di perairan.

Nilai DO juga sangat dipengaruhi oleh suhu. Daya larut oksigen akan menurun pada suhu yang tinggi dan tingkat konsumsi oksigen melalui oksidasi kimiawi dan biologi juga akan meningkat (Jeffries and Mills 1996). Nilai DO Sungai Jeruk yang lebih tinggi dibandingkan Sungai Menduk juga terkait dengan perbedaan suhu perairan. Suhu perairan Sungai Menduk cenderung lebih tinggi dibandingkan Sungai Jeruk yang menyebabkan tingkat kelarutan oksigen di perairan menjadi berkurang.

[image:33.595.98.489.572.741.2]
(34)

21 Nilai DO bervariasi menurut stasiunnya, sebagai contoh di Sungai Jeruk pada stasiun 1 nilai DO terbilang cukup tinggi dibandingkan dengan stasiun 2 maupun stasiun 3. Hal ini disebabkan karena pada stasiun 1 kondisi perairan yang memiliki kecepatan arus lebih tinggi (0.18±0.01 m/dtk) daripada stasiun 2 dan 3 sehingga memungkinkan terjadinya turbulensi massa air dan proses aerasi berlangsung baik. Rendahnya bahan organik pada stasiun 1 juga memberikan pengaruh nyata terhadap tingginya oksigen terlarut. Jumlah vegetasi dan tanaman air yang lebih padat pada stasiun 2 dan 3 memungkinkan besarnya bahan organik yang masuk di perairan serta proses dekomposisi oleh tanaman air menyebabkan kebutuhan oksigen terlarut menjadi tinggi. Rendahnya kandungan oksigen terlarut juga disebabkan adanya kegiatan perkebunan dan pertanian di sekitar stasiun 3 (Perna 2003). Stasiun 3 merupakan lokasi yang berdekatan langsung dengan aktivitas pertanian dan perkebunan masyarakat.

Nilai Biological Oxygen Demand (BOD) di dua sungai pada beberapa stasiun pengamatan memiliki nilai yang bervariasi (Gambar 7). BOD secara umum menunjukkan banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik (APHA 1989). Nilai BOD yang tinggi di suatu perairan mengindikasikan bahwa di perairan tersebut memiliki bahan organik yang juga tinggi.

Nilai BOD tercatat tertinggi pada Sungai Jeruk di stasiun 2 dengan kisaran nilai antara 1.9 mg/l – 2.59 mg/l. Tingginya nilai BOD5 pada stasiun 2 disebabkan

lokasi ini terletak berdekatan dengan pemukiman masyarakat sehingga dimungkinkan adanya masukan bahan organik yang berasal dari limbah rumah tangga. Selain itu keberadaan makrofita dan vegetasi yang cukup padat di lokasi ini memberi kontribusi tingginya akumulasi serasah dan masukan bahan organik di perairan (Ghermandi et al. 2009). Namun secara umum nilai rerata BOD5 di

Sungai Jeruk masih di bawah batas ambang baku mutu yang disyaratkan berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 untuk kelas II sebesar 3 mg/l. Center dan Hill (1979) diacu dalam Effendi (2003) menjelaskan bahwa di sungai yang berarus lambat, kadar BOD sebesar 5 mg/l akan menyebabkan lingkungan perairan menjadi buruk. Sungai Menduk bagian hulu pada stasiun 1 memiliki nilai BOD yang terendah berkisar antara 1.07 mg/l – 1.9 mg/l. Secara keseluruhan nilai BOD Sungai Menduk lebih rendah dibandingkan dengan Sungai Jeruk.

Derajat Keasaman (pH)

(35)

22

4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 5 5.1 5.2 5.3

S. Jeruk 1 S. Jeruk 2 S. Jeruk 3 S. Menduk 1 S. Menduk 2 S. Menduk 3

stasiun pengamatan

[image:35.595.96.443.71.273.2]

pH

Gambar 8. Sebaran nilai pH stasiun pengamatan

Gambar 8 menunjukkan bahwa secara umum baik Sungai Menduk maupun Sungai Jeruk memiliki pH yang rendah atau asam. Kondisi perairan dengan pH rendah (asam) memang menjadi ciri perairan di sebagian besar wilayah Pulau Bangka. Namun bila dicermati Sungai Menduk memiliki nilai pH yang cenderung lebih asam dibandingkan Sungai Jeruk. Hal ini terlihat terutama pH stasiun 1 Sungai Menduk yang berkisar antara 4.72-4.82, sedangkan pH di stasiun 1 Sungai Jeruk lebih tinggi yang berkisar antara 4.79-5.03. Air yang cenderung asam ini terjadi akibat dampak penambangan timah (air asam tambang). Sifat

Gambar

Grafik Nilai Indeks Habitat pada Stasiun Pengamatan
Gambar 1. Skema alur kerangka perumusan masalah
Gambar 2.  Peta lokasi penelitian
Gambar 3. Denah lokasi pengambilan sampel penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Transit rates in the canine upper small intestine were significantly different after oral administration of hyperosmotic glucose solution (20%, 200 mL) compared to the same volume

Cost of return earning (CRE) tidak berpengaruh terhadap struktur modal pada industri farmasi periode 2008-2014, hal ini dibuktikan dengan Biaya penggunaan sumber dana yang

konsumsi rumah tangga nelayan muslim, semangkin banyak jumlah anggota. keluarga maka semangkin banyak konsumsi yang akan dikeluarkan,

Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) karena sifatnya yang terbarukan (renewable) sudah jelas akan memberikan keuntungan karena angin tidak akan habis digunakan tidak seperti

Apabila prediksi mengenai hasil komunikasi terutama didasarkan pada analisis tingkat cultural dan sosiologis maka para komunikator terlibat dalam komunikasi non- antarpribadi.

Parameter pertama (SST) dipakai karena berhubungan dengan kesesuaian kondisi fisiologi ikan dan thermoregulasi untuk ikan tuna; sedangkan parameter yang kedua karena dapat

juga menekankan pada peran dari relasi sosial yang bisa membuat sumber daya yang tidak. tersedia

Perkembangan kognitif pada anak usia 4 tahun dapat ditandai dengan kemampuan. untuk mengenali kata-kata dan suara yang serupa, sudah bisa berhitung minimal