PENDUGAAN CADANGAN KARBON
Above Ground Biomass
(AGB) PADA TEGAKAN
AGROFORESTRI DI KABUPATEN LANGKAT
SKRIPSI
Oleh :
Yusrani Dwi Paulina Malau 081201059
Manajeman Hutan
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENDUGAAN CADANGAN KARBON
Above Ground Biomass
(AGB) PADA TEGAKAN
AGROFORESTRI DI KABUPATEN LANGKAT
SKRIPSI
Oleh :
Yusrani Dwi Paulina Malau 081201059
Manajeman Hutan
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarajana di Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Pendugaan Cadangan Karbon Above Ground Biomass (AGB) pada Tegakan Agroforestri di Kabupaten Langkat
Nama : Yusrani Dwi Paulina Malau
NIM : 081201059
Program Studi : Manajemen Hutan
Disetjui Oleh
Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
Rahmawaty, S.Hut, MSi, Ph.D Riswan S.Hut
Mengetahui,
Ketua Program Studi Kehutanan
ABSTRAK
Yusrani Dwi Paulina Malau. Pendugaan Cadangan Karbon Above Ground Biomass (AGB) pada Tegakan Agroforestri di Kabupaten Langkat. Dibimbing oleh Rahmawaty dan Riswan.
Perubahan tata guna lahan dan perubahan penutupan lahan melalui konversi hutan merupakan penyebab dalam pemanasan global. Sehubungan dengan perubahan iklim, sistem agroforestri diperkirakan memiliki potensi yang tinggi dalam penyerapan karbon di atmosfer. Sistem agroforestri berkontribusi mengurangi peningkatan CO2 atmosfer dan gas rumah kaca lainnya dengan cara meningkatkan karbon dalam tanah dan mengurangi tekanan untuk pembukaan lahan hutan, dimana karbon yang berasal dari CO2 tersebut diambil oleh tanaman dan disimpan dalam bentuk biomassa. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung C-stock dan untuk memetakan sebaran karbon pada tegakan agroforestri di Kabupaten Langkat dengan menggunakan data penginderaan jarak jauh. Perhitungan kandungan karbon dilakukan tanpa melakukan pengrusakan dengan menggunakan metode allometrik dan metode lanskap (NDVI).
Jenis-jenis vegetasi yang ada di lahan sebaran agroforestri di Kabupaten Langkat yaitu sengon, mindi, sungkai, coklat, mangga, mahoni, nangka, durian, karet, kemiri, jati, jengkol, petai, dan duku. Jumlah cadangan karbon pada tegakan agroforestri di Kecamatan Sei Bingai, Kecamatan Bahorok, dan Kecamatan Wampu yaitu 58,438 ton/ha, 63,005 ton/ha, dan 56,76 ton/ha. Perbedaan perolehan kandungan karbon dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi, keragaman ukuran diameter dan sebaran berat jenis vegetasi.
Hasil analisis indeks vegetasi NDVI dengan data lapangan (karbon) menghasilkan persamaan regresi linier sederhana yaitu Y = 33,62+43,53x dengan nilai koefisien korelasi yaitu 0,807. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan adanya hubungan linier yang sangat baik sehingga dapat dikatakan hasil estimasi cadangan karbon yang dilakukan dapat menjelaskan keadaan yang ada di lapangan.
ABSTRACT
Yusrani Dwi Paulina Malau. The Estimate of Carbon Stocks Above Ground Biomass (AGB) on Agroforestry Stands in Langkat District. Guided by Rahmawaty and Riswan.
Changes in landuse and land cover change through forest conversion is the caused of global warming. Due to the climate change, agroforestry systems is estimated to have a high potential for carbon sequestration in the atmosphere. Agroforestry systems contribute to reducing the increase in atmospheric CO2 and other greenhouse gases by increasing carbon in the soil and reduce the pressure for forest clearing, where the carbon comes from CO2 is taken up by plants and stored in the form of biomass. This study aims to quantify the carbon content and to map the distribution of carbon in agroforestry stands in Langkat District using data of remote sensing. Calculation of carbon stocks doing with non-destructive by using allometric method and landskap (NDVI) method.
Vegetation types that exist in distribution of land agroforestry in Langkat District are sengon, mindi, sungkai, coklat, mangga, mahoni, nangka, durian, karet, kemiri, jati, jengkol, petai, and duku. The amount of carbon stocks in agroforestry stands in Sei Bingai subdistrict, Bahorok subdistrict, and Wampu subdistrict are 58,438 ton/ha, 63,005 ton/ha, and 56,76 ton/ha. Differences in carbon content acquistion is influenced by vegetation density, diversity of size, and distribution of vegetation density.
NDVI vegetation index analysis with field data (carbon content) results in a simple linear regression equation is Y = 33,62+43,53x with a correlation coefficient is 0,807. The results obtained showed a good liniear relationship that can be said on the estimation of carbon stocks that can be done to explain the circumstances that exist in the field.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pematang Siantar pada tanggal 24 Nopember 1989
dari bapak J. Malau dan ibu D. Rajagukguk. Penulis merupakan anak kedua dari
lima bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN 091713
Amborokan, Sindar Raya pada tahun 2002, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di
SLTPN 2 Pematang Raya pada tahun 2005, dan Sekolah Menengah Atas di SMA
RK Bintang Timur Pematang Siantar pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis
lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara (USU) melalui jalur Seleksi
Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis memilih
program studi Manajemen Hutan, Departemen Kehutanan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten untuk
Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) dibawah bimbingan
Irawaty Azhar, S.Hut., M.Si.
Penulis mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan di
Kawasan Danau Lau Kawar dan TWA Deleng Lancuk, Kabupaten Karo selama
10 hari. Penulis juga melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Perum
Perhutani Unit II KPH Banyuwangi Utara pada 1 Februari-1 Maret 2012. Penulis
melakukan penelitian di lahan sebaran agrofoestri di Kabupaten Langkat pada
bulan Juli-Nopember 2012 dengan judul “Pendugaan Cadangan Karbon Above
Ground Biomass (AGB) pada Tegakan Agroforestri di Kabupaten Langkat”
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas
kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul Pendugaan Cadangan Karbon Above Ground Biomass (AGB) pada
Tegakan Agroforestri di Kabupaten Langkat tepat pada waktunya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang
telah membesarkan dan mendidik penulis selama ini. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada Rahmawaty S.Hut., M.Si., Ph.D dan Riswan, S.Hut selaku ketua dan
anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai
masukan yang membangun dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari dalam penulisan dan penyajian dalam tulisan ini masih
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis akan
menerima kritikan dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata penulis
berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkan.
Medan, Januari 2013
DAFTAR ISI
Biomassa dan Pemanasan Global ... 4Potensi Agroforestri dalam Menyerap Karbon ... 9
Metode Allometrik untuk Menduga Cadangan Karbon ... 12
Estimasi Cadangan Karbon Menggunakan Data Penginderaan Jauh ... ... 14
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 18
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 19
Alat dan Bahan ... 19
Metode Penelitian ... 20
Pelaksanaan Penelitian ... 20
Pembuatan Plot pada Areal Sebaran ... 21
Pendugaan C-Stock dalam Tingkat Landskap ... 24
Hubungan antara Karbon dan NDVI ... 26
Tahapan Pendugaan Cadangan Karbon ... 27
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Agroforestri ... 28
Biomassa Tegakan ... 31
Potensi Agroforestri dalam Menyerap Karbon ... 34
Hubungan Nilai NDVI dengan Karbon ... 37
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 45 Saran ... 45
DAFTAR TABEL
1. Rumus-rumus allometrik untuk menduga biomassa beberapa jenis
tanaman yang umum ditanam pada lahan agroforestri ... 13
2. Data primer dan sekunder yang digunakan ... 21
3. Jenis-jenis pohon pada plot sebaran agroforestri ... 29
4. Kandungan biomassa berdasarkan kelas diameter (ton/ha) ... 32
5. Kandungan karbon total agroforestri ... 36
6. Rata-rata cadangan karbon di atas permukaan tanah pada berbagai sistem penggunaan lahan di Kabupaten Nunukan ... 37
7. Hubungan nilai NDVI dengan data lapangan (biomassa) ... 38
DAFTAR GAMBAR
1. Peta lokasi penelitian ... 18
2. Pembuatan plot ... 23
3. Diagram alir penelitian ... 27
4. Peta sebaran agroforestri di Kabupaten Langkat ... 30
5. Biomassa tegakan agroforestri berdasarkan diameter ... 34
6. Perbandingan Kandungan Karbon ... 35
7. Hubungan nilai NDVI dengan karbon ... 39
8. Kenampakan citra indeks vegetasi dan penyebaran titik sampel ... 40
9. Sebaran nilai NDVI ... 41
10.Peta sebaran cadangan karbon agroforestri Kabupaten langkat ... 42
DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil perhitungan biomassa total tegakan Kecamatan Sei Bingai ... 50
2. Hasil perhitungan biomassa total tegakan Kecamatan Bahorok ... 58
3. Hasil perhitungan biomassa total tegakan Kecamatan Wampu ... 65
ABSTRAK
Yusrani Dwi Paulina Malau. Pendugaan Cadangan Karbon Above Ground Biomass (AGB) pada Tegakan Agroforestri di Kabupaten Langkat. Dibimbing oleh Rahmawaty dan Riswan.
Perubahan tata guna lahan dan perubahan penutupan lahan melalui konversi hutan merupakan penyebab dalam pemanasan global. Sehubungan dengan perubahan iklim, sistem agroforestri diperkirakan memiliki potensi yang tinggi dalam penyerapan karbon di atmosfer. Sistem agroforestri berkontribusi mengurangi peningkatan CO2 atmosfer dan gas rumah kaca lainnya dengan cara meningkatkan karbon dalam tanah dan mengurangi tekanan untuk pembukaan lahan hutan, dimana karbon yang berasal dari CO2 tersebut diambil oleh tanaman dan disimpan dalam bentuk biomassa. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung C-stock dan untuk memetakan sebaran karbon pada tegakan agroforestri di Kabupaten Langkat dengan menggunakan data penginderaan jarak jauh. Perhitungan kandungan karbon dilakukan tanpa melakukan pengrusakan dengan menggunakan metode allometrik dan metode lanskap (NDVI).
Jenis-jenis vegetasi yang ada di lahan sebaran agroforestri di Kabupaten Langkat yaitu sengon, mindi, sungkai, coklat, mangga, mahoni, nangka, durian, karet, kemiri, jati, jengkol, petai, dan duku. Jumlah cadangan karbon pada tegakan agroforestri di Kecamatan Sei Bingai, Kecamatan Bahorok, dan Kecamatan Wampu yaitu 58,438 ton/ha, 63,005 ton/ha, dan 56,76 ton/ha. Perbedaan perolehan kandungan karbon dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi, keragaman ukuran diameter dan sebaran berat jenis vegetasi.
Hasil analisis indeks vegetasi NDVI dengan data lapangan (karbon) menghasilkan persamaan regresi linier sederhana yaitu Y = 33,62+43,53x dengan nilai koefisien korelasi yaitu 0,807. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan adanya hubungan linier yang sangat baik sehingga dapat dikatakan hasil estimasi cadangan karbon yang dilakukan dapat menjelaskan keadaan yang ada di lapangan.
ABSTRACT
Yusrani Dwi Paulina Malau. The Estimate of Carbon Stocks Above Ground Biomass (AGB) on Agroforestry Stands in Langkat District. Guided by Rahmawaty and Riswan.
Changes in landuse and land cover change through forest conversion is the caused of global warming. Due to the climate change, agroforestry systems is estimated to have a high potential for carbon sequestration in the atmosphere. Agroforestry systems contribute to reducing the increase in atmospheric CO2 and other greenhouse gases by increasing carbon in the soil and reduce the pressure for forest clearing, where the carbon comes from CO2 is taken up by plants and stored in the form of biomass. This study aims to quantify the carbon content and to map the distribution of carbon in agroforestry stands in Langkat District using data of remote sensing. Calculation of carbon stocks doing with non-destructive by using allometric method and landskap (NDVI) method.
Vegetation types that exist in distribution of land agroforestry in Langkat District are sengon, mindi, sungkai, coklat, mangga, mahoni, nangka, durian, karet, kemiri, jati, jengkol, petai, and duku. The amount of carbon stocks in agroforestry stands in Sei Bingai subdistrict, Bahorok subdistrict, and Wampu subdistrict are 58,438 ton/ha, 63,005 ton/ha, and 56,76 ton/ha. Differences in carbon content acquistion is influenced by vegetation density, diversity of size, and distribution of vegetation density.
NDVI vegetation index analysis with field data (carbon content) results in a simple linear regression equation is Y = 33,62+43,53x with a correlation coefficient is 0,807. The results obtained showed a good liniear relationship that can be said on the estimation of carbon stocks that can be done to explain the circumstances that exist in the field.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan tata guna lahan dan perubahan penutupan lahan melalui
konversi hutan merupakan penyebab dalam pemanasan global. Pemanasan global
akibat meningkatnya gas rumah kaca telah mempengaruhi ekosistem bumi yang
terjadinya perubahan suhu, ketersediaan air, dan meningkatnya akumulasi karbon
(C) yang disebabkan oleh konsentrasi CO2 meningkat (Murdiyarso et al., 1994).
Dampak konversi hutan ini baru terasa apabila diikuti dengan degradasi
tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis. Untuk
menurunkan dampak dari pemanasan global ini adalah dengan upaya
mitigasiyaitu berupa upaya untuk menstabilkan konsentrasi CO2 di atmosfer yang
salah satunya dengan cara melakukan penanaman jenis tanaman berkayu pada
areal-areal hutan dan lahan yang terdegradasi.
Sehubungan dengan perubahan iklim, sistem agroforestri diperkirakan
memiliki potensi yang tinggi dalam penyerapan karbon di atmosfer. Menurut
Utami et. al. (2003) agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang
berfungsi produktif dan protektif. Sistem agroforestri berkontribusi mengurangi
peningkatan CO2 atmosfer dan gas rumah kaca lainnya dengan cara meningkatkan
karbon dalam tanah dan mengurangi tekanan untuk pembukaan lahan hutan,
dimana karbon yang berasal dari CO2 tersebut diambil oleh tanaman dan disimpan
dalam bentuk biomassa.
Sistem agroforestri lebih menguntungkan daripada sistem pertanian
bermacam-macam kualitasnya serta terjadi secara terus menerus. Walaupun peran
agroforestri dalam mempertahankan cadangan karbon di daratan masih lebih
rendah dibandingkan dengan hutan alam, tetapi sistem ini dapat merupakan suatau
tawaran yang dapat memberikan harapan besar dalam meningkatkan cadangan
karbon pada lahan-lahan terdegradasi (Widianto et al., 2003).
Sejauh ini praktek agroforestri telah banyak ditemukan di berbagai tempat
di Indonesia terutama di Kabupaten Langkat. Sampai saat ini data dan potensi
agroforestri khususnya di Kabupaten Langkat belum banyak diketahui dan belum
dianggap sebagai salah satu sumber daya yang mampu mengatasi masalah yang
timbul akibat adanya alih fungsi lahan. Melalui penelitian ini akan dilakukan
pendugaan karbon tersimpan pada tegakan agroforestri (kebun campuran) dengan
mengambil studi kasus pada Kecamatan Sei Bingei, Kecamatan Bahorok, dan
Kecamatan Wampu yang ada di Kabupaten Langkat. Pada tahun 2009, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan kabupaten Langkat mencatat luas kebun campuran
sekitar 112.912,79 ha dan tiga kecamatan yang telah disebutkan memiliki potensi
yang cukup besar. Untuk mengetahui seberapa besar karbon tersimpan maka
digunakan metode yang sudah ada sebelumnya (allometrik) dan menggunakan
informasi dari data penginderaan jarak jauh serta pengukuran di lapangan.
Tujuan Penelitian
1. Untuk menghitung C-stock pada permukaan tegakan agroforestri di
Kabupaten Langkat.
2. Untuk memetakan sebaran karbon pada tegakan agroforestri di Kabupaten
Manfaat Penelitian
1. Sebagai informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan khususnya bagi
peneliti terkait dengan biomassa karbon tersimpan pada lahan agroforestri
2. Sebagai informasi bagi dunia pendidikan, penelitian, masyarakat umum, dan
TINJAUAN PUSTAKA
Biomassa dan Pemanasan Global
Biomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme
(tumbuhan) per satuan unit area pada suatu saat. Biomassa bisa dinyatakan dalam
ukuran berat, seperti berat kering dalam satuan gram, atau dalam kalori. Oleh
karena kandungan air yang berbeda setiap tumbuhan, maka biomassa diukur
berdasarkan berat kering. Unit satuan biomassa adalah gr per m2 atau ton per ha
(Brown, 1997).
Pada ekosistem daratan, cadangan karbon disimpan dalam 3 komponen
pokok yaitu:
1. Bagian hidup (biomassa): massa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu
batang, ranting dan tajuk pohon (berikut akar atau estimasinya), tumbuhan
bawah atau gulma dan tanaman semusim.
2. Bagian mati (nekromassa): masa dari bagian pohon yang telah mati baik
yang masih tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), kayu
tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan
daun-daun gugur (serasah) yang belum terlapuk.
3. Tanah (bahan organik tanah): sisa makhluk hidup (tanaman, hewan, dan
manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun
seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya
Ketiga komponen karbon berdasarkan keberadaannya di alam dapat dibedakan
menjadi 2 kelompok yaitu:
a. Karbon di atas permukaan tanah, meliputi:
• Biomassa pohon. Proporsi terbesar cadangan karbon di daratan umumnya
terdapat pada komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan
perusakan selama pengukuran, biomassa pohon dapat diestimasi dengan
menggunakan persamaan allometrik yang didasarkan pada pengukuran
diameter batang (dan tinggi pohon, jika ada).
• Biomassa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar
yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan
atau gulma. Estimasi biomassa tumbuhan bawah dilakukan dengan
mengambil bagian tanaman (melibatkan perusakan).
• Nekromassa. Batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah
tumbang dan tergeletak di permukaan tanah, yang merupakan komponen
penting dari C dan harus diukur pula agar diperoleh estimasi cadangan
karbon yang akurat.
• Seresah. Seresah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun
dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah.
b. Karbon di dalam tanah, meliputi:
• Biomassa akar. Akar mentransfer karbon dalamjumlah besarlangsung ke
dalam tanah, dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama. Pada tanah
hutan biomasa akar lebih didominasi oleh akar-akar besar (diameter
> 2 mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih didominasi oleh akar-akar
diestimasi berdasarkan diameter akar (akar utama), sama dengan cara
untuk mengestimasi biomasa pohon yang didasarkan pada diameter batang
• Bahan organik tanah. Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada
dipermukaan dan di dalam tanah, sebagian atau seluruhnya dirombak oleh
organisme tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan
bahan organik tanah.
Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di
kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan
karbon (rosot karbon = karbon sink) yang jauh lebih besar daripada tanaman
semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan
berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan
karbon tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan
CO2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi (pelapukan) serasah, namun
pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang
melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila hutan diubah fungsinya
menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang pengembalaan maka
jumlah karbon tersimpan akan merosot. Berkenaan dengan upaya pengembangan
lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di udara harus dikendalikan dengan jalan
meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan
pelepasan (emisi) CO2 ke udara serendah mungkin. Jumlah karbon tersimpan
dalam setiap penggunaan lahan tanaman, serasah dan tanah, biasanya disebut juga
sebagai cadangan karbon (Hairiah et al., 2007).
Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomassa yang terdapat
(serasah), hewan dan jasad renik. Biomassa ini merupakan hasil fotosintesis
berupa selulosa, lignin, gula, bersama dengan lemak, pati, protein, damar, fenol,
dan senyawa lainnya (Arief, 1994).
Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan ini mengikat
karbondioksida (CO2) dari udara dan mengubahnya menjadi bahan organik
melalui proses fotosintesis. Proses fotosintesis ini diawali dengan pengambilan
karbondioksida dari udara dan air dari tanah oleh tumbuh-tumbuhan berklofil
hijau. Dengan bantuan klorofil a dan b dan dibawah pengaruh sinar matahari
sebagai energi, tumbuh-tumbuhan mampu mengubah karbondioksida dan air
menjadi gula, air dan oksigen atau zat asam. Energi cahaya matahari yang
tertangkap dalam proses fotosintesis itu akhirnya diubah menjadi energi kimia
yang tersimpan dalam zat-zat organik seperti gula, tepung, lemak dan sebagainya
disimpanan dalam akar, batang, buah, cabang dan, daun. Energi matahari yang
diubah menjadi energi kimia oleh tumbuh-tumbuhan hijau ini digunakan untuk
membentuk bahan-bahan organik, yang semakin lama semakin tinggi kadar
energinya (Zebua, 2008).
Perubahan iklim global pada dekade terakhir ini terjadi karena
terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer akibat
meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), terutama karbondioksida
(CO2). Indonesia sebagai negara penyumbang CO2 terbesar ketiga di dunia,
dengan emisi CO2 rata-rata per tahun 3000 Mt atau berarti telah menyumbangkan
sekitar 10% dari total emisi CO2 di dunia. Meningkatnya konsentrasi CO2
hutan dalam skala luas secara bersamaan dan pengeringan lahan gambut untuk
pembukaan lahan-lahan pertanian (Hairiah, K. et.al., 2007).
Indonesia memiliki berbagai macam penggunaan lahan, mulai dari yang
paling ekstensif misalnya agroforestri kompleks yang menyerupai hutan hingga
paling intensif seperti sistem pertanian semusim monokultur. Pengukuran secara
kuantitatif C tersimpan dalam berbagai macam penggunaan lahan perlu dilakukan.
Untuk itu diperlukan metoda pengukuran standar yang baku dan telah
dipergunakan secara luas, agar hasilnya dapat dibandingkan antar lahan dan antar
lokasi.
Tumbuhan akan mengurangi karbon di atmosfer (CO2) melalui proses
fotosintesis dan menyimpannya dalam jaringan tumbuhan. Sampai waktunya
karbon tersebut tersikluskan kembali ke atmosfer, karbon tersebut akan
menempati salah satu dari sejumlah kantong karbon. Semua komponen penyusun
vegetasi baik pohon, semak, liana dan, epifit merupakan bagian dari biomassa atas
permukaan. Di bawah permukaan tanah, akar tumbuhan juga merupakan
penyimpan karbon selain tanah itu sendiri. Pada tanah gambut, jumlah simpanan
karbon mungkin lebih besar dibandingkan dengan simpanan karbon yang ada di
atas permukaan. Karbon juga masih tersimpan pada bahan organik mati dan
produk-produk berbasis biomassa seperti produk kayu baik ketika masih
dipergunakan maupun sudah berada di tempat penimbunan. Karbon dapat
tersimpan dalam kantong karbon dalam periode yang lama atau hanya sebentar.
Peningkatan jumlah karbon yang tersimpan dalam karbon pool ini mewakili
Potensi Agroforestri dalam Menyerap Karbon
Pembiayaaan pembangunan di negara berkembang seperti Indonesia
umumnya berasal dari hasil ekploitasi sumberdaya alam, industri dengan
teknologi yang kurang bersahabat dengan lingkungan. Eksploitasi yang berlebihan
terhadap sumber daya alam mengakibatkan terjadinya deforestsi, konversi lahan
pertanian, dan pencemaran lingkungan. Keadaan ini diperparah oleh lemahnya
pemahaman etika lingkungan dan cenderung antroposentris dan eksploitatif. Jika
deforestasi dan konversi lahan semakin tidak terkendali dikhawatirkan berdampak
luas diantaranya pada peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang
menyebabkan terjadinya hujan asam, peningkatan suhu bumi, dan perubahan
iklim global.
Terkait dengan upaya menekan efek gas rumah kaca yaitu mengurangi
kadar gas CO2 di atmosfer, skema perdagangan karbon merupakan peluang yang
perlu mendapat perhatian. Clean Development Mechanism (CDM) yang
merupakan sebuah rekomendasi Protokol Kyoto, dalam pelaksanaannya mengacu
kepada tiga aspek pembangunan berkelanjutan yaitu pertumbuhan ekonomi
(economic growth), kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress),
serta berkelanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang
(ecological balance) (Riyadi, 2005).
Konsep agroforestri yaitu suatu sistem pertanian berbasis pepohonan yang
bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dan mempertahankan
kelestarian alam merupakan suatu alternatif yang paling sesuai dalam menjawab
tantangan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Sistem agroforestri
beragam baik kayu maupun non-kayu. Kandungan biomassanya juga tinggi
sehingga pembangunan sistem agroforestri pada lahan-lahan kritis dan terlantar
selain dapat memperlambat terjadinya pemanasan global juga memberikan
dampak yang positif terhadap lingkungan dan sosio-ekonomi masyarakat
(Roshetko et al., 2002).
Agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan dengan
mengkombinasikan beberapa macam pohon baik dengan atau tanpa tanaman
semusim atau ternak, pada lahan yang sama untuk mendapatkan berbagai macam
keuntungan. Pada dasarnya agroforestri mempunyai beberapa komponen
penyusun utama yaitu pohon (tanaman berkayu), tanaman non -pohon, ternak, dan
manusia (Suprayogo et al., 2003).
Pemilihan pohon yang akan ditanam pada suatu lahan memiliki dua alasan
yaitu untuk produksi dan pelayanan. Untuk produksi artinya untuk bahan
bangunan, kayu bakar, obat-obatan dan lain-lain. Sedangkan yang bersifat
pelayanan adalah untuk pengendalian erosi, meningkatkan kesuburan yanah,
konservasi biodiversitas dan untuk penyimpanan karbon serta mengurangi efek
rumah kaca. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis untuk
ditanam yaitu tujuan penanaman, jenis potensi, dan jenis yang bisa tumbuh di
lokasi yang bersangkutan. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam,
bisa yang bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao
(coklat), nangka, melinjo, sengon, petai, jati, dan mahoni atau yang bernilai
ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro, dan kaliandra (Suryanto et al., 2005).
Potensi penyerapan karbon dari sistem agroforestri didasarkan kepada
menentukan rosot karbon di atmosfer secara signifikan melalui kecepatan
pertumbuhan dan produktifitas. Dengan memperhitungkan pohon dalam produksi
pertanian, agroforestri dapat meningkatkan penyimpanan karbon pada lahan untuk
kebutuhan tanaman pertanian. Konsep agroforestri dinilai mempunyai nilai lebih
pada komponen-komponen kesuburan tanah, variasi spesies, dan konsepnya yang
menyeluruh. Alasan utama yang mendasari potensi agroforestri dalam
mengurangi emisi karbon yaitu banyaknya lahan di daerah tropis yang digunakan
untuk kegiatan pertanian dan meningkatnya penerapan sistem agroforestri dalam
waktu yang panjang akan menghasilkan peningkatan potensi yang nyata sebagai
sumber biotik karbon dan meskipun jumlah karbon yang diserap per satuan luas
relatif lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam dan hutan tanaman, kayu
yang diproduksi sering dipakai sebagai kayu bakar menggantikan bahan bakar
fosil. Penggunaan kayu hasil agroforestri yang tidak untuk kayu bakar akan
mengurangi tekanan terhadap penebangan hutan alam dan kebutuhan bahan bakar
dari sumber yang tidak diperbaharui.
Widianto et al. (2003) menyatakan bahwa bila ditinjau dari cadangan
karbon, sistem agroforestri lebih menguntungkan daripada sistem pertanian
berbasis tanaman musiman. Hal ini disebabkan oleh adanya pepohonan yang
memiliki biomassa tinggi dan masukan serasah yang bermacam-macam
kualitasnya serta terjadi secara terus-menerus. Walaupun peran agroforestri dalam
mempertahankan cadangan karbon di daratan masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan hutan alam, tetapi sistem ini dapat merupakan suatu tawaran
yang dapat memberikan harapan besar dalam meningkatkan cadangan karbon
Kawasan penyangga yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung
Leuser cukup banyak menerapkan agroforestri dalam pemanfaatan lahan
masyarakat seperti Bahorok. Vegetasi asli daerah penelitian menurut Dirjen
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (1995) adalah hutan hujan tropis. Pada
daerah-daerah yang relatif datar terdapat berbagi jenis komoditi pertanian baik
tanaman perkebunan dan industri (kemiri, kulit manis, kopi, karet, dan kelapa
sawit) maupun tanaman pangan, palawija, dan hortikultura. Komoditi tanaman
hutan asli daerah yang banyak dibudidayakan adalah sungkai dan jenis yang
banyak diintroduksikan yaitu mahoni, sengon, mindi, dan jati.
Metode Allometrik untuk Menduga Cadangan Karbon
Cadangan karbon pada ekosistem teresterial (daratan) terbagi menjadi
karbon diatas permukaan dan karbon di bawah permukaan atau dalam tanah.
Karbon di atas permukaan tanah meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan
bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan gulma),
nekromassa (bagian pohon atau tanaman yang sudah mati) dan serasah (bagian
tanaman yang gugur berupa daun dan ranting). Karbon bawah permukaan
meliputi biomassa akar dan bahan organik tanah (sisa tanaman, hewan dan
manusia yang mengalami dekomposisi) serta hamparan lahan gambut
(Hairiah et al., 2007).
Biomassa tanaman digunakan sebagai dasar untuk menduga karbon atas
permukaan. Teknik untuk mengukur biomassa bisa dilakukan dengan metode
destruktif dan menggunakan persamaan allometrik. Penggunaan metode destruktif
sangat memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang panjang terutama jika
pemecahannya dapat digunakan persamaan allometrik yang telah disusun dari
tanaman yang sejenis. Persamaan ini menghubungkan biomassa tanaman dengan
diameter dan tinggi tanaman. Pada Tabel 1 disajikan rumus-rumus allometrik
untuk menduga biomassa tanaman. Karbon atas permukaaan dapat diduga jika
biomassa telah diketahui. Persamaan allometrik merupakan persamaan yang
menghubungkan dimensi-dimensi dari pohon dengan nilai biomassa pohon. Setiap
tanaman yang berbeda akan memiliki pola yang berbeda untuk membentuk
persamaan allometrik ini (Pearson et al., 2007).
Tabel 1. Rumus-rumus allometrik untuk menduga biomassa beberapa jenis tanaman yang umum ditanam pada lahan agroforestri
No. Jenis Tanaman Rumus Allometrik Sumber
1. Sengon AGBest = 0.0272 D2.831 Sugiharto, 2002
Metode pendugaan cadangan karbon atas permukaan dengan pendekatan
biomassa merupakan salah satu metode yang bisa diterapkan (Gibbs et al., 2007).
Biomassa dapat diduga melalui pengukuran lapangan yang intensif atau
dikembangkan dengan persamaan allometrik yang telah disusun sebelumnya
(Brown, 1997). Model pendugaan biomassa dapat disusun berdasarkan parameter
Bentuk percabangan dan produksi biomassa pohon dalam sistem
agroforestri dipengaruhi oleh pengelolaannya seperti pemangkasan, pengaturan
jarak tanam, pemupukan, dan penyiangan. Dengan demikian, persamaan
allometrik yang digunakan untuk menaksir biomassa pohon berbeda dengan yang
digunakan untuk pohon yang tumbuh di hutan.
Estimasi Cadangan Karbon Menggunakan Data Penginderaan Jauh
Adanya perubahan tutupan lahan di suatu wilayah dapat mengindikasikan
dinamika cadangan karbon di wilayah tersebut. Misalnya, aktivitas konversi hutan
menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya menyebabkan terjadinya penurunan
jumlah cadangan karbon. Kuantifikasi perubahan lahan yang terjadi dalam satu
rentang waktu, dapat dilakukan dengan menganalisa citra satelit (misalnya
Landsat) dari waktu pengambilan yang berbeda yang didukung oleh peta tutupan
lahan, topografi, tanah dan sebagainya (Hairiah et al., 2011).
Saat ini terdapat tiga pendekatan untuk menduga atau memonitor
biomassa, yaitu modeling, pengukuran lapangan, dan penginderaan jauh. Diantara
tiga pendekatan, pengukuran langsung di lapangan dipertimbangkan lebih dapat
dipercaya dan lebih teliti dibandingkan dengan dua pendekatan lainnya. Meskipun
demikian, pendekatan ini mahal dan resolusi spasial data dalam studi di lapangan
terbatas. Dengan memadukan data spasial dan atribut kedalam SIG, maka
integrasinya (Penginderaan Jauh dan SIG) akan menawarkan suatu metoda untuk
menduga biomassa pada skala wilayah yang sangat besar, dimana ketersediaan
data kehutanan terbatas.
Fungsi hutan sebagai penyerap karbon membuat informasi mengenai
penting. Salah satu cara menghitung kuantitas kandungan karbon tersimpan dalam
biomassa hutan diatas permukaan tanah didasarkan pada pengukuran lapangan di
tingkat plot kemudian nilai biomassa ini dikonversi menjadi kandungan karbon.
Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh, misalnya citra Landsat, SPOT
maupun Aster bersama dengan data lapangan memiliki potensi yang baik dalam
pengembangan model estimasi cadangan karbon hutan. Penggunaan teknik
penginderaan jauh dimaksudkan untuk memberikan penilaian umum tentang
penutupan vegetasi, tidak hanya tentang lokasi proyek tetapi juga daerah di
sekitarnya.
Data sinar tampak (visible) dan infra merah (infrared) dari satelit
penginderaan jauh optis secara umum digunakan untuk klasifikasi tutupan lahan
sedangkan data pankromatik dapat menyediakan informasi tekstur yang sangat
berguna untuk menentukan jenis kanopi hutan dan batas tegakan (stand
boundaries) (Roswiniarti, 2008).
Kelas-kelas vegetasi yang telah ditentukan kemudian dirubah menjadi
informasi distribusi biomassa dengan mengkonversi nilai spektralnya menjadi
biomassa berdasarkan pengukuran contoh/sampel plot di lapangan untuk tipe
vegetasi tertentu serta menghubungkannya dengan nilai NDVI. Tahap berikutnya
adalah membuat peta distribusi/penyebaran biomassa berdasarkan peta
penyebaran tipe vegetasi hasil interpretasi citra satelit dan cek lapangan, kemudian
mengkonversi peta biomassa menjadi peta sebaran cadangan karbon dengan
mengalikan nilai biomassa dengan faktor 0,5 (Murdiyarso, 2002).
1. Pengolahan awal data satelit; mencakup koreksi atmosfer, koreksi
radiometrik, dan koreksi geometri.
2. Klasifikasi data satelit berdasarkan tutupan lahannya; memilih sistem
klasifikasi tutupan lahan yang sesuai dengan kondisi studi area. Kelas
tutupan lahan yang umum digunakan adalah hutan primer, hutan sekunder,
perkebunan/semak/ belukar, dan lahan terbuka.
3. Perhitungan indeks vegetasi dari citra untuk menganalisa kondisi vegetasi,
misalnya NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan EVI
(Enhanced Vegetation Index).
4. Survei vegetasi untuk mengetahui jumlah biomasa di lapangan berdasarkan
kelas hasil klasifikasi tutupan lahan. Inventarisasi biasanya dilakukan pada
plot-plot pengukuran lapangan untuk mendapatkan jumlah biomassa diatas
dan dibawah permukaan tanah.
Umumnya pendugaan biomassa di lapangan dilakukan dengan menggunakan
persamaan allometrik. Biomassa yang diukur umumnya berupa biomassa pohon
tegakan (diatas permukaan tanah) yang dihitung berdasarkan penjumlahan
biomassa batang, cabang, dan daun.
5. Analisa data surveivegetasi untuk mendapatkan rata-rata biomasa berbagai
jenis tutupan lahan
6. Penghitungan karbon untuk seluruh jenis tutupan lahan (berdasarkan hasil
klasifikasi data satelit) dan analisa potensi biomasa.
7. Korelasi antara NDVI dan data survei vegetasi.
Hasil pengideraan jauh dengan resolusi sedang mungkin sangat bermanfaat untuk
pembagian kelas ini menjadi panduan untuk proses survey dan pengambilan data
lapangan. Untuk mendapatkan estimasi biomassa dengan tingkat keakuratan yang
baik memerlukan hasil pengideraan jauh dengan resolusi yang tinggi, tetapi hal ini
akan menjadi metode alternatif dengan biaya yang besar (Roswiniarti, 2008).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November 2012. Penelitian ini
dilaksanakan di lahan sebaran agroforestri yaitu di Kecamatan Sei Bingai,
Kecamatan Bahorok, dan Kecamatan Wampu yang dapat dilihat pada Gambar 1
dan analisis data dilaksanakan di Laboratorium Manajemen Hutan, Departemen
Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terletak pada kecamatan Sei Bingai, kecamatan Bahorok
dan kecamatan Wampu. Pada kecamatan Sei Bingai berada pada desa Telaga,
pada kecamatan Bahorok berada pada desa Timbang Lawan dan desa Lau Damak,
dan pada kecamatan Wampu berada di desa Gohor Lama dan Stabat Lama.
Secara geografis, desa Telaga terletak pada 3,3120167 LU dan 98,3965833
BT. Menurut data BPS Kabupaten Langkat 2012, luas kecamatan Sei Bingai
sekitar 33,317 km2 dan desa Telaga memiliki luas 53,38 km2 atau sekitar 16,02 %
dari total keseluruhan kecamatan Sei Bingai. Luas lahan pertanian pada desa ini
sekitar 38 km2 untuk lahan sawah dan sekitar 2.583 km2 untuk lahan bukan sawah
termasuk di dalamnya sekitar 230 km2 untuk tanaman keras perkebunan rakyat.
Desa Timbang Lawan terletak pada 3,5065833 LU dan 98,1662667 BT
serta memiliki luas 100,85 km2 (9,15%). Desa Lau Damak terletak 3,4770167 LU
dan 98,1804500 BT serta memiliki luas 110,19 km2 (10%). Luas tanam tanaman
keras perkebunan rakyat di desa Lau Damak sekitar 90 km2 dan di desa Timbang
Lawan sekitar 69 km2.
Desa Gohor Lama terletak pada 3,7698333 LU dan 98,3835667 BT
dengan luas wilayahnya sekitar 6,37 km2. Desa Stabat Lama terletak pada
3,7719167 LU dan 98,4370333 BT dengan luas wilayahnya sekitar 33,10 km2.
Sirait (2009) menyatakan bahwa luasan lahan agroforestri di desa Gohor Lama
sekitar 810,762 ha dan di desa Stabat Lama sekitar 96,487 ha.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Global Position System
3.3, dan ERDAS Image 8.5. Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu
tegakan-tegakan yang ada pada lahan agroforestri yang tersebar di Kecamatan Sei
Bingei, Kecamatan Bahorok, Kecamatan Wampu dan citra satelit Landsat.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode non-destructive
dengan menggunakan metode allometrik dan metode lanskap (NDVI). Metode
non-destructive adalah metode perhitungan biomassa tanpa melakukan perusakan
pada tegakan-tegakan yang ada dengan menggunakan rumus-rumus allometrik
yang ada pada Tabel 1. Jika di lapangan dijumpai tanaman yang tidak memiliki
rumus allometrik maka diklasifikasikan ke dalam pohon yang bercabang seperti
duku, durian, jengkol, mangga, limus, cempedak, petai, mindi, nangka, kemiri dan
pohtidak bercabang seperti sungkai dengan mengetahui berat jenis pohon tersebut.
Metode skala lanskap (NDVI) adalah metode yang memperhitungkan
besaran nilai kehijauan vegetasi yang diperoleh dari pengolahan sinyal digital data
nilai kecerahan (brightness) beberapa kanal data sensor satelit dari citra satelit.
Metode NDVI didasarkan pada besarnya nilai digital number pada sebaran
agroforestri yang disesuaikan dengan nilai biomassa hasil pengukuran di lapangan
sehingga diperoleh peta sebaran cadangan karbon.
Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini meliputi kegiatan pengumpulan data dan
1. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini ada dua yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dengan survey
langsung ke lahan sebaran agroforestri di Kabupaten Langkat. Data ini diperoleh
dengan mengambil koordinat titik di lapangan menggunakan GPS serta
pengukuran tinggi dan diameter tegakan.
Data sekunder dikumpulkan dari data yang telah ada sebelumnya baik data
yang dikeluarkan oleh instansi terkait maupun literatur pendukung lainnya.
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data primer dan sekunder yang digunakan
No Nama Data Jenis Data Sumber Tahun
1. Titik sampel (training area) Primer GPS 2012 2. Titik sampel uji lapangan Primer GPS 2012
3. Tinggi Tegakan Primer Clinometer 2012
4. Diameter tegakan Primer Pita ukur 2012
5. Citra Landsat 7 ETM+ Sekunder 2011
6. Peta Administrasi Kabupaten
Langkat Sekunder
Dishut Sumatera
Utara 2011
7. Peta Kawasan Agroforestri
Kabupaten Sekunder
Dishut Sumatera
Utara 2011
2. Analisis Data
Analisis data dilakukan agar diperoleh hasil nilai cadangan karbon dan
peta sebaran cadangan karbon pada tegakan agroforestri. Analisis data dilakukan
dengan menghitung biomassa pohon dengan menggunakan rumus allometrik
pada Tabel 1. Setelah diketahui biomassanya, maka akan dapat diketahui
kandungan karbon dengan menggunakan rumus (5).
Pembuatan Plot pada Areal Sebaran
Pengambilan plot contoh dibuat agar dapat mewakili tipe penggunaaan
pertimbangan keterwakilan penutupan lahan dan kualitas citra serta aksesibilitas
di lapangan. Plot dibuat sebanyak 12 dengan 4 plot pada setiap kecamatan.
Maretnowati (2004) dalam penelitiannya membuat plot sampel pada lahan
agoforestri dengan ukuran 5 m× 40 m dengan metode systematic plot sampling
with random start. Sedangkan Yudisthira (2006) menggunakan plot dengan
ukuran 10 m × 10 m dengan luasan 0,01 ha sebagai unit contoh terkecil.
Pengukuran pohon dilakukan dengan cara mengukur dimensi tegakan berupa
diameter setinggi dada ≥ 5 cm.
Menurut Hairiah et al. (2011) pengukuran cadangan karbon menggunakan
petak contoh (plot) dibuat dengan ukuran 100 m × 20 m jika dalam plot tersebut
terdapat pohon dengan diameter ≥ 30 cm. Selain itu dibuat petak contoh (sub plot
utama) dengan ukuran 40 m × 5 m untuk pengukuran pohon dengan diameter
5 cm hingga 30 cm. Metode ini merupakan RaCSA (Rapid Carbon Stock
Appraisal) telah mencakup cara untuk mengekstrapolasi cadangan karbon dari
tingkat lahan ke tingkat bentang alam. RaCSA telah diuji pada berbagai jenis
penggunaan lahan di berbagai daerah dengan kondisi iklim yang berbeda melalui
kegiatan TUL-SEA (Trees in multi-Use Landscapes in Southeast Asia) dan dan
ALLREDDI (The Accountability and Local Level Initiative to Reduce Emission
from Deforestation and Degradation in Indonesia) yang dikoordinir oleh World
Agroforestry Centre (ICRAF Southeast Asia). Pemilihan plot contoh juga
didasarkan pada keanekaragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada. Adapun
a. Dibuat plot dengan ukuran 20 m × 100 m bila dalam lahan yang diamati
terdapat pohon besar (diameter batang lebih dari 30 cm atau lingkar batang
lebih dari 95 cm)
b. Dibuat sub plot utama dengan ukuran 40 m × 5 m untuk pengukuran
cadangan karbon pada lahan agroforestri dengan tingkat kerapatan pohon
tinggi. Pohon yang diukur adalah pohon dengan diameter 5 cm hingga 30
cm
40 m 60 m
Keterangan:
= Pohon besar DBH > 30 cm (keliling 95 cm) di dalam atau di luar sub-plot utama
= Pohon dengan DBH antara 5 - 30 cm di dalam atau di luar sub-plot utama Gambar 2. Pembuatan plot
d. Dicatat nama lokal dan/atau nama latin (jika dapat diketahui) dari tanaman
yang akan diukur
e. Diukur tinggi tegakan-tegakan dan diameter yang ada di dalam plot dan sub
plot utama
Utara
Timur
15 m
f. Dihitung biomassa pohon dengan rumus–rumus yang ada pada Tabel 1
sehingga diperoleh biomasa per pohon (kg/tanaman).
g. Dijumlahkan data biomassa semua pohon yang diperoleh pada satu lahan,
baik yang ukuran besar maupun yang kecil, sehingga diperoleh total
biomasa tanaman per lahan (kg/luasan lahan)
h. Biomassa per hektar dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
∑
� �=1���
�
× 10.000
... (1)Keterangan :
W : Total biomassa (ton/ha) Wpi : Biomassa pohon (ton) A : Luas plot (m2) n : Jumlah pohon
Pendugaan C-Stock dalam Tingkat Landskap
Kandungan karbon dalam vegetasi dapat diduga dari biomassa dengan persamaan:
Y = W × 0,5 ... ...(2)
Keterangan :
Y : Kandungan karbon diatas permukaan tanah (ton/ha) W : Total biomassa per hektar (ton/ha)
(Brown et al., 1996).
Hubungan antara NDVI dan data hasil pengukuran lapangan mampu
memberikan informasi tentang biomassa vegetasi dan merupakan salah satu
metode pendekatan untuk menduga kandungan karbon yaitu ekstraksi nilai NDVI
pada tiap lokasi plot pengukuran cadangan karbon. Metode skala lanskap (NDVI)
yaitu besaran nilai kehijauan vegetasi yang diperoleh dari pengolahan sinyal
Adapun prosedur analisis data selanjutnya yaitu:
1. Pengolahan awal citra
2. Data dari citra selanjutnya akan diolah ke dalam software ERDAS Image
8.5 untuk dilakukan pengklasifikasian terhadap citra tersebut (Metode
NDVI)
3. Perhitungan indeks vegetasi dari citra Landsat
NDVI = Band NIR - Band R
• NDVI = -1 berarti air (makin negatif makin dalam) • NDVI = 0 berarti tanah gundul
• NDVI = 1 berarti hijau (lebat)
• Band NIR = TM4, TM 5 (Landsat-TM), Xs3 (SPOT)
• Band R = TM1, TM2, TM3 (Landsat-TM), Xs1, Xs2 (SPOT)
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) adalah salah satu produk data
penginderaan jauh yang umum dalam menganalisa kondisi vegetasi. Indeks
vegetasi berbasis NDVI yang ditunjukkan pada persamaan mempunyai nilai yang
hanya berkisar antara -1 (non-vegetasi) hingga 1 (vegetasi).
4. Diambil beberapa titik dengan menggunakan GPS pada lahan agroforestri
untuk pengambilan sampel
5. Data dari GPS tersebut diolah kedalam software Arcview 3.3 untuk
diketahui penyebarannya dan didukung dengan citra landsat yang bertujuan
untuk melihat perubahan tutupan lahan pada lahan agroforestri
6. Ditentukan korelasi antara nilai kandungan karbon dengan nilai NDVI
dengan menggunakan rumus (7)
Hubungan antara Karbon dan NDVI
Regresi linier sederhana digunakan untuk melihat hubungan antara
kandungan karbon dan NDVI. Jika diberikan data contoh ((xi, yi); i = 1, 2, ..., n),
maka nilai dugaan kuadrat terkecil bagi parameter dalam regresi, y = a + bx dapat
diperoleh dari rumus (Walpole, 1992):
� = (∑ �)(∑ �
2)−(∑ �)(∑ ��)
� ∑ �2−(∑ �)2 ... (4)
� = � ∑ ��−(∑ �)(∑ �)
� ∑ �2−(∑ �)2 ... (5)
Korelasinya dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
� = � ∑ ��−(∑ �)(∑ �)
�{� ∑ 2−(∑ )2}{(� ∑�2−(∑ �)2)}
�
� .... (6)
Estimasi biomassa atas permukaan dicari melalui hubungan matematis
antara biomassa pengukuran lapangan dengan indeks vegetasi pada
masing-masing parameter rata-rata dan median dengan menggunakan analisis
regresi. Analisis regresi yang diperoleh dengan model persamaan:
Y = a + bx ... . ... (7)
dimana:
Y = kandungan karbon di atas permukaan a,b = Parameter
Tahapan Pendugaan Cadangan Karbon
Pendugaan cadangan karbon pada sebaran agroforestri dilakukan
berdasarkan langah-langkah yang ada pada Gambar 3. Tahap demi tahap
dilaksanakan agar diperoleh hasil berupa nilai kandungan karbon dan peta sebaran
cadangan karbon di lokasi penelitian.
adalah memotong objek pada citra untuk mendapatkan daerah yang diteliti.
Gambar 3. Diagram alir penelitian Citra Satelit Landsat
Kabupaten Langkat
Subset Image
Peta Tutupan Lahan
Pengecekan di Lapangan
dari Hasil Interpretasi Citra Satelit
Pengambilan Sampel Skala Plot di Lapangan dengan Ukuran 20 × 100 m
Metode Allometrik untuk menghitung biomassa pohon
Perhitungan Karbon Agroforestri
Perhitungan indeks vegetasi citra dengan NDVI
Korelasi antata Nilai Karbon dengan nilai NDVI
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Agroforestri
Sistem pemanfaatan lahan agroforestri banyak diterapkan pada desa yang
ada pada tiga kecamatan. Pada Gambar 4 dapat dilihat sebaran agroforestri yang
ada di kabupaten Langkat. Kondisi agroforestri yang ada pada tiga kecamatan
memiliki tegakan dengan variasi umur dan jenis yang cukup beragam. Komponen
penyusun agroforestri dapat dikelompokkan ke dalam komoditi tanaman
perkebunan, tanaman kehutanan, dan tanaman buah-buahan. Tanaman perkebunan
yang dominan dibudidayakan yaitu karet yang umumya berumur 15-20 tahun,
tanaman buah-buahan berumur sekitar 10-25 tahun. Adapun jenis-jenis
tanamannya yaitu sengon, mindi, sungkai, coklat, mangga, mahoni, nangka,
durian, karet, kemiri, jati, jengkol, petai dan duku yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 menjelaskan bahwa jenis pohon yang mendominasi sistem
agroforestri di desa Telaga yaitu durian, jati dan mahoni. Pada Kecamatan
Bahorok, pohon yang mendominasi yaitu karet, mahoni dan jati. Tanaman-
tanaman ini dipilih karena tanaman ini tidak hanya menghasilkan kayu namun
juga menghasilkan getah dan buah. Martial (2010) menyatakan dengan luas lahan
kering hampir 3000 ha, Lau Damak (di Kecamatan Bahorok) didominasi oleh
agroforestri karet dibanding dengan sistem pemanfaatan lahan lainnya. Kecamatan
Tabel 3. Jenis-jenis pohon pada plot sebaran agroforestri
No. Nama lokasi Nama pohon Jumlah
Nama lokal Nama latin
1. Kecamatan Sei Bingai Coklat Theobrema cacao 35
Duku Lansium domesticum 5
Durian Durio ziberthinus 24
Jati Tectona grandis 33
Jengkol Pithecellobium jiringa 7
Mahoni Swietenia mahagoni 16
Mangga Mangifera indica 3
Mindi Melia azedarach 13
Sungkai Peronema canescens 9
Kopi Coffea arabica 9
Sengon Paraserianthes falcataria 16
Cempedak Artocharpus indica 5
Petai Parkia speciosa 2
2. Kecamatan Bahorok Coklat Theobrema cacao 45
Karet Hevea brasiliensis 29
Mahoni Swietenia mahagoni 19
Limus (Bacang) Mangifera foetida 6 Jengkol Pithecellobium jiringa 6
Petai Parkia speciosa 5
Durian Durio ziberthinus 9
Duku Lansium domesticum 3
Mangga Mangifera indica 3
Jati Tectona grandis 15
Sengon Paraserianthes falcataria 13
Cempedak Artocharpus indica 3
Sungkai Peronema canescens 6
Mindi Melia azedarach 6
Kemiri Aleurites moluccana 3
Kopi Coffea arabica 8
Sengon Paraserianthes falcataria 13
3. Kecamatan Wampu Sungkai Peronema canescens 10
Mindi Melia azedarach 9
Mahoni Swietenia mahagoni 11
Nangka Anthocarpus integra 3
Kopi Coffea arabica 22
Durian Durio ziberthinus 15
Kemiri Aleurites moluccana 8
Coklat Theobrema cacao 19
Jati Tectona grandis 24
Karet Hevea brasiliensis 25
Tanaman pertanian yang dipilih ditanam yaitu kopi karena kopi tahan
terhadap naungan, mudah dipelihara dan berbuah setiap saat. Selain buahnya,
kayu pada tanaman kopi juga dapat dimanfaatkan, terutama jika produksi tanaman
kopi mengalami penurunan sehingga kayu tanaman kopi dapat dijual per kubik
atau dimanfaatkan untuk kayu bakar. Jenis tanaman yang ditanam oleh petani
didasarkan pada tujuan untuk menghasilkan buah dan kayu. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Suryanto (2005) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang perlu
diperhatikan dalam pemilihan jenis untuk ditanam yaitu tujuan penanaman, jenis
potensi dan jenis yang bisa tumbuh di lokasi yang bersangkutan.
Pemilihan tanaman seperti sengon, mahoni, karet, durian, coklat, kopi,
mindi, dan5 sungkai dinilai merupakan pilihan yang tepat karena nilai
ekonominya yang cukup tinggi. Berkaitan dengan jenis tanaman yang dapat
tumbuh di lokasi bersangkutan, menurut Dirjen Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam (1995) menyatakan bahwa komoditi tanaman hutan asli di
daerah kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yaitu sungkai dan jenis yang
banyak diintroduksikan yaitu mahoni, sengon, mindi, dan jati.
Biomassa Tegakan
Salah satu cara untuk mengendalikan perubahan iklim adalah dengan
mengurangi emisi gas rumah kaca yaitu dengan mempertahankan keutuhan hutan
alami dan meningkatkan kerapatan populasi pepohonan di luar hutan. Tumbuhan
baik di dalam maupun di luar kawasan hutan menyerap gas asam arang (CO2) dari
udara melalui proses fotosintesis, yang selanjutnya diubah menjadi karbohidrat
kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam
jumlah karbon yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomassa) pada suatu
lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh
tanaman. Pengukuran biomassavpada tegakan agroforestri mempertimbangkan
diameter batang dan tinggi batang yang datanya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan biomassa berdasarkan kelas diameter (ton/ha)
Lokasi Kelas Diameter
5-10 11-15 16-20 21-25 26-30 31-35 >36 Sei Bingai 0,140 0,043 6,397 14,191 12,954 15,722 42,104 Bahorok 0,131 0,422 4,796 7,076 10,312 21,247 50,974 Wampu 3,572 3,310 1,089 6,231 21,949 18,430 24,483
Struktur tegakan adalah sebaran individu tumbuhan dalam lapisan tajuk
dapat diartikan sebagai sebaran pohon per satuan luas dalam berbagai kelas
diameternya. Secara keseluruhan struktur tegakan pohon adalah hubungan antara
banyaknya pohon dengan kelas diameter dalam plot penelitian. Pada penelitian
ini, pohon-pohon dengan diameter lebih kecil dari 5 cm tidak didata karena
pertumbuhan tersebut masih belum stabil dan masih termasuk dalam kategori
tumbuhan bawah. Keberadaan pohon dengan diameter > 30 cm pada suatu
penggunaan lahan memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap total
cadangan karbon. Dari Tabel 3 dapat dinyatakan bahwa pada tegakan agroforestri
yang ada di kecamatan Sei Bingai, kecamatan Bahorok, kecamatan Wampu
memberikan sumbangan biomassa secara berurutan sekitar 63,16%, 76,04%,
54,27% dari total biomassa berasal dari pohon yang berdiameter >30 cm. Pada
penelitian Rahayu et al. (2007) di Kabupaten Nunukan menyatakan bahwa
keragaman ukuran diameter, keberadaan pohon dengan diameter > 30 cm pada
suatu sistem penggunaan lahan, memberikan sumbangan biomassa yang cukup
total biomassa berasal dari pohon yang berdiameter > 30 cm sedangkan pohon
yang berdiameter antara 5-30 hanya sekitar 30%.
Biomassa pohon terbesar pada pohon yang memiliki diameter paling
tinggi. Hal ini disebabkan biomassa berkaitan erat dengan fotosintesis, biomassa
bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari usra dan mengubahnya menjadi
senyawa organik dari proses fotosintesis. Biomassa pada tiap bagian pohon
tersebut meningkat secara proporsional dengan semakin besarnya diameter pohon
sehingga biomassa pada tiap bagian pohon mempunyai hubungan dengan
diameter pohon.
Pertambahan diameter akan menentukan jumlah karbon yang dikandung
suatu vegetasi. Pertambahan diameter merupakan dari hasil fotosintesis untuk
pertumbuhan ke arah horisontal. Haygreen dan Bowyer (1996) menyatakan bahwa
seiring bertambahnya umur melalui pembentukan dan pembesaran sel-sel yang
membelah berulang-ulang membentuk sel-sel baru yang meristematik. Selama
pohon tumbuh, pohon menambah kayu baru sehingga memperbesar diameter
batang, cabang serta memperbanyak jumlah bagian-bagian pohon lainnya dimana
karbon yang berasal dari CO2 tersebut diambil oleh tanaman dan disimpan dalam
bentuk biomassa. Dengan bertambahnya diameter pohon, maka kemampuan
pohon menyimpan karbon bebas dari udara semakin tinggi.
Pohon dengan diameter yang masih kecil terjadi peningkatan karbon biomassa
yang relatif lambat yang selanjutnya akan semakin cepat seiring bertambahnya
diameter seperti yang disajikan pada Gambar 5. Namun pada gambar juga terlihat
Wampu, hal ini terjadi karena jumlah pohon pada kelas diameter tersebut sedikit
yang mengakibatkan akumulasi kandungan karbon menurut diameter menurun.
Gambar 5. Biomassa tegakan agroforestri berdasarkan diameter
Rahayu et al. ( 2007) menyatakan bahwa perbedaan perolehan biomassa
dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi, keragaman ukuran diameternya dan sebaran
berat jenis vegetasinya, dimana penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan
spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomassanya akan lebih
tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai
kerapatan kayu rendah. Tipe hutan dengan komposisi jenis pohon dengan berat
jenis yang tinggi akan mempunyai potensi simpanan yang cenderung lebih tinggi
daripada tipe hutan dengan kerapatan tinggi tetapi jenis pohon dengan berat jenis
yang rendah.
Potensi Agroforestri dalam Menyerap Karbon
Dalam kaitan dengan upaya menekan efek gas rumah kaca yaitu
mengurangi kadar gas CO2 di atmosfer, meningkatkan kerapatan populasi
pepohonan di luar hutan merupakan salah satu peluang yang perlu mendapat
perhatian. Agroforestri merupakan suatu sistem pemanfaatan lahan yang dapat
menghasilkan karbon yang cukup tinggi. Roshetko et al. (2002) menyatakan
bahwa kandungan biomassa pada agroforestri tinggi sehingga pembangunan
sistem agroforestri pada lahan-lahan kritis dan terlantar selain dapat
memperlambat terjadinya pemanasan global juga memberikan dampak yang
positif terhadap lingkungan dan sosio-ekonomi masyarakat.
Tabel 5 menjelaskan jumlah kandungan karbon total pada tiga
kecamatan. Kandungan karbon di Kecamatan Bahorok lebih tinggi dibandingkan
di Kecamatan Sei Bingai dan Kecamatan Wampu. Hal ini terjadi karena keadaan
agroforestri di kecamatan Bahorok lebih rapat dan kondisi pohon dengan diameter
yang besar dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya. Pada Gambar 6
ditampilkan persentase perbandingan kandungan karbon pada setiap kecamatan.
Gambar 6. Perbandingan Kandungan Karbon
Widianto et al. (2003) menyatakan bahwa bila ditinjau dari cadangan
karbon, sistem agroforestri lebih menguntungkan daripada sistem pertanian
berbasis tanaman musiman maupun hutan tanaman karena adanya pepohonan
yang memiliki biomassa tinggi dan masukan serasah yang bermacam-macam
Sei Bingai 33%
Bahorok 35% Wampu
kualitasnya serta terjadi secara terus-menerus. Walaupun peran agroforestri dalam
mempertahankan cadangan karbon di daratan masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan hutan alam. Tabel 6 menjelaskan hasil penelitian yang
dilakukan mengenai pendugaan cadangan karbon pada berbagai sistem
penggunaan lahan di Kabupaten Nunukan oleh Rahayu et al. (2007). Dari tabel
tersebut dikatakan jumlah cadangan karbon pada lahan agroforestri di kabupaten
Nunukan berkisar 37,7-72,6 Mg/ha sedangkan pada hutan >184. Selain itu,
Yuli (2003) menyebutkan hasil penelitiannya di desa Kracak, Kabupaten Bogor,
penyimpanan karbon pada lahan agroforestri yang terdiri oleh jenis buah-buahan
dan tanaman berkayu berkisar antara 21,31-80,78 ton/ha dan penelitian yang
dilakukan di hutan jati Madiun pada kelas umur 5-40 tahun berkisar
24,48-64,39 ton/ha. Dari hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya mengenai
pendugaan cadangan karbon pada lahan agroforestri, hasil penelitian yang
diperoleh tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian yang
sudah ada. Cadangan karbon pada agroforestri lebih tinggi bila dibandingkan
dengan hutan tanaman, dan juga dapat dikatakan kemampuan menyimpan karbon
total meningkat sejalan dengan pertambahan umur tegakan.
Tabel 5. Kandungan karbon total agroforestri
No. Nama Plot Karbon (ton/ha)
Sei Bingai Bahorok Wampu 1. Plot 1 55,031 57,334 48,217 2. Plot 2 58,549 63,221 53,004 3. Plot 3 59,272 64,799 66,43 4. Plot 4 60,899 66,666 59,388
Tabel 6. Rata-rata cadangan karbon di atas permukaan tanah pada berbagai sistem
penggunaan lahan di Kabupaten Nunukan.
Jenis Penggunaan Lahan Cadangan Karbon (Mg/ha) Persentase (%)
Hutan primer 230,1 100
Hutan bekas tebangan 0-10 tahun 206,8 90 Hutan bekas tebangan 11-30 tahun 212,9 92 Hutan bekas tebangan 31-50 tahun 184,2 80
Jakaw 0-10 tahun 19,4 8
Jakaw >10 tahun 58 25
Agroforestri 0-10 tahun 37,7 16
Agroforestri 11-30 tahun 72,6 31
Kandungan karbon yang ada di hutan alam berada pada posisi paling
tinggi dari biomassa di atas permukaan tanah pada berbagai sistem penggunaan
lahan yang dikarenakan keragaman jenis yang tinggi dan kerapatan kayu yang
cukup beragam. Perkiraan cadangan karbon pada agroforestri berbasis buah dan
kayu lebih rendah bila dibandingkan dengan sistem agroforestri lainnya, seperti
agroforestri berbasis kopi dan karet. Hal ini terjadi karena jenis pohon yang ada
pada agroforestri berbasis buah dan kayu merupakan jenis-jenisndengan nilai
kerapatan kayu yang rendah. Dibandingkan dengan sistem jakaw, kandungan
cadangan karbon pada agroforestri lebih tinggi. Hal ini terjadi karena pada
agroforestri masih terdapat sisa-sisa pohon bekas tebangan sedangkan pada jakaw
petani melakukan menebang dan membakar semua vegetasi yang ada.
Hubungan Nilai NDVI dengan Karbon
Kriteria kelas kerapatan pembagian kelas kerapatan tutupan lahan
dilakukan berdasarkan nilai NDVI (Normal Difference Vegetation Index). Nilai
NDVI berkisar antara -1 hingga 1, nilai -1 berarti air (makin negatif makin
dalam), nilai 0 berarti tanah gundul, dan nilai 1 berarti tutupan lebat/rapat.
Perolehan nilai indeks vegetasi dapat dilihat pada Tabel 7 dan grafik hubungan
akan terlihat adanya perbedaan kecerahan berdasarkan nilai NDVI seperti yang
terlihat pada Gambar 8.
Tabel 7. Hubungan nilai NDVI dengan data lapangan (biomassa)
Lokasi NDVI (x) Data Lapangan (Y)
Kecamatan Sei Bingai 0,378 55,031
0,578 58,549
0,632 59,272
0,645 60,899
Kecamatan Bahorok 0,557 57,334
0,652 63,221
0,696 64,799
0,712 66,666
Kecamatan Wampu 0,375 48,22
0,54 53,04
0,7 66,43
0,639 59,388
Maulana (2009) dalam penelitiannya membagi kelas tutupan dengan nilai
NDVI ≥0,75–1 digolongkan dalam kondisi vegetasi rapat, dan kelas tutupan
dengan nilai NDVI ≥0,5 -<0,75 digolongkan dalam kondisi vegetasi sedang.
Berdasarkan klasifikasi Maulana, hanya terdapat 2 plot sampel saja termasuk
dalam klasifikasi jarang sehingga dapat dikatakan secara keseluruhan keadaan
agroforestri di Kabupaten Langkat termasuk dalam kategori sedang. Adapun peta
sebaran nilai NDVI dapat dilihat pada Gambar 9.
Indeks vegetasi merupakan persentase pemantulan radiasi matahari oleh
permukaan daun yang berkolerasi dengan konsentrasi klorofil. Besarnya
konsentrasi klorofil yang dikandung oleh suatu permukaan vegetasi, khususnya
daun menunjukkan tingkat kehijauan vegetasi tersebut. Indeks vegetasi yang
tinggi mengindikasikan bahwa vegetasi berumur tua, lebat, dan kondisi tanaman
yang sehat sehingga perolehan nilai reflektannya besar karena tingginya
bahwa semakin gelap warnanya maka semakin tinggi kandungan karbonnya.
Howard (1996) menyatakan perbedaan nilai reflektan yang bervariasi dipengaruhi
karakteristik vegetasi, seperti umur dan jenis pohon, struktur daun dan tutupan
kanopi, karakter tanah dan kondisi atmosfer.
Gambar 7. Hubungan nilai NDVI dengan karbon
Hasil dari proses klasifikasi NDVI yang didasarkan atas biomassa
menunjukkan bahwa antara NDVI dan biomassa pohon mempunyai hubungan
yang erat, dimana semakin tinggi biomassa pohon maka nilai NDVI juga akan
semakin tinggi. Arhatin (2007) menyatakan bahwa nilai indeks vegetasi yang
tinggi memberikan gambaran bahwa di areal tersebut terdapat vegetasi dengan
tingkat kehijauan yang tinggi dengan kerapatan vegetasi yang relatif jarang. Hal
yang dikemukakan oleh Arhatin sama dengan yang ditemukan di lapangan bahwa
nilai-nilai indeks vegetasi tertinggi berada pada Kecamatan Bahorok yang
memang memiliki karbon tertinggi dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya.
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
0.8 NDVI
Uji Statistik Koefisien Korelasi
Analisi regresi digunakan umtuk mengetahui hubungan antara nilai NDVI
dengan biomassa. Analisis regresi dihitung dengan menggunakan model linear.
Berdasarkan analisis data pengukuran biomassa lapang dan nilai NDVI pada
Tabel 8, diturunkan persamaan regresi yang menggambarkan hubungan antara
parameter-parameter tersebut. Persamaan yang diperoleh dari hubungan
kandungan karbon dengan NDVI dengan model regresi linier sederhana yaitu
Y= 33,62 + 43,53x.
Persamaan regresi yang diperoleh menunjukkan bahewa nilai koefisien
regresi bernilai positif. Hal ini berarti kandungan karbon dan NDVI berbanding
lurus atau semakin meningkat karbon maka akan semakin meningkat pula nilai
NDVI dan demikian sebaliknya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11.
Tabel 8. Hasil perhitungan NDVI berdasarkan biomassa
No. x (NDVI) Y (Karbon) x.Y x2 Y2 1. 0,378 55,031 20,802 0,143 3.028,411 2. 0,578 58,549 33,841 0,334 3.427,985 3. 0,632 59,272 37,46 0,399 3.513,170 4. 0,645 60,899 39,28 0,416 3.708,688 5. 0,557 57,334 31,935 0,31 3.287,188 6. 0,652 63,221 41,22 0,425 3.996,895 7. 0,696 64,799 45,1 0,484 4.198,910 8. 0,712 66,666 47,466 0,507 4.444,356 9. 0,375 48,220 18,083 0,141 2.325,168 10. 0,54 53,04 28,642 0,292 2.813,242
11. 0,7 66,43 46,501 0,49 4.412,945
12. 0,639 59,388 37,949 0,408 3.526,935
∑