• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keringanan pusa bagi penerbang di bulan ramadhan (analisis fatwa MUI tentang puasa bagi penerbang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keringanan pusa bagi penerbang di bulan ramadhan (analisis fatwa MUI tentang puasa bagi penerbang)"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

i

KERINGANAN PUASA BAGI PENERBANG DI BULAN RAMADHAN (Analisis Fatwa MUI Tentang Puasa Bagi Penerbang)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

AFRIZAL NURDIN NIM : 106043101280

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

ii Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh : Afrizal Nurdin NIM : 106043101280

Pembimbing

Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA NIP : 194512301967122001

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Keringanan Puasa Bagi Penerbang Di Bulan Ramadhan

(Analisis Fatwa MUI Bagi Penerbang)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (Perbandingan Mazhab Fiqh).

Jakarta, 22 Desember 2010 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA ( ) NIP. 195703121985031003

Sekretaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si ( )

NIP. 197412132003121002

Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Huzaimah T. Yanggo, MA ( ) NIP. 194512301967122001

Penguji I : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM ( ) NIP. 195505051982031012

Penguji II : Dr. Hasanudin, M.Ag ( )

(4)

iv Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S I) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 10 Muharram 1432 H 16 Desember 2010 M

(5)

v





KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah swt. Dialah sumber tempat bersandar, dan sumber kenikmatan hidup yang tanpa batas, Rahman dan Rahim tetap menghiasi asma-Nya, sehingga penulis diberikan kekuatan fisik dan psikis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: KERINGANAN PUASA BAGI PENERBANG (Analisis Fatwa MUI Tentang

Puasa Bagi Penerbang).

Salawat beserta salam tetap tercurahkan atas penghulu umat Islam Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang telah membuka pintu keimanan yang bertauhidkan kebenaran, kearipan hidup manusia dan pencerahan atas kegelapan manusia serta uswatun hasanah yang dijadikan sebuah pembelajaran bagi muslim dan muslimah hingga akhir zaman.

Dibalik terselesaikan skripsi ini, tentunya banyak kendala dan cobaan yang penulis hadapi dalam proses pembuatannya terutama cobaan mental yang terasa begitu berat ditengah ekonomi yang begitu kurang. Akan tetapi, dengan penuh keyakinan dan ketabahan penulis mampu melewati segala persoalan tersebut.

(6)

vi

persatu yang telah memberikan bimbingan serta arahan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ketua Jurusan Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., dan Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si selaku sekretaris jurusan yang telah memberikan ilmu dan arahan kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.

3. Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bantuan baik dari segi arahan, waktu, tenaga, dan pikirannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Pimpinan dan karyawan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pimpinan, staf, karyawan perpustakaan Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku-buku ataupun lainnya, sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.

(7)

vii

6. Yang tercinta dan terkasih Ayahanda Rab‟in dan Ibunda Heny Heryantini atas cinta dan kasih sayangnya kepada ananda dengan penuh kesabaran dan keikhlasan yang tak terhingga yang telah membimbing ananda selama ini menuntut ilmu dan mengajarkan arti kehidupan. Sebagai seorang anak, ananda belum bisa membalas jasa, cinta dan kasih sayang yang bapa dan mamah berikan

kepada ananda, yang bisa ananda berikan adalah Do‟a yang tulus dan ikhlas yang

ananda panjatkan kepada Allah SWT, semoga bapa dan mamah senantiasa dilindunginya, diberikan kesehatan dan kesabaraan serta balasan yang terbaik atas semua kasih dan sayang yang bapa dan mamah berikan, dan selalu dilimpahkan Rahmat dan Inayah-nya. Amiin.

7. Kakak tercinta, Deni Saefudin dan Melia Sapta serta adikku Rany Novianty dan Oki Herdiman dan keponakanku Fauzan Adli Habibi yang tidak pernah bosan selalu memberikan nasehatnya serta memotivasi penulis untuk dapat dengan segera menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal, dimudahkan rizkinya dan diberikan kesehatan selalu. Amiin.

8. Kepada yang terkasih Husnul Khotimah yang telah sabar manunggu, menemani penulis dalam pembuatan karya ilmiah ini dan membantu dalam penulisannya. 9. Sahabat Penulis Bang Ilham, Bang Alex, Bang Jae, Bang Abdi, Bang Mamet,

Ripal, Dillah, Anis, Evi, Kucay dan abang-abangan yang lain yang tidak bisa dsebutkan satu persatu Dan kawan-kawan PMF dan PMH 2006. Terima kasih

(8)

viii

semoga skripsi ini dapat berguna bagi wacana keilmuan dan ke-Islaman. Akhirnya kepada-Nyalah segala urusan akan kembali dan kepada-Nyalah kita memohon hidayah dan taufiq serta ampunan.

Jakarta : 10Muharram 1432 H 16 Desember 2010 M

(9)

ix DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka ... 8

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II : KETENTUAN UMUM TENTANG PUASA RAMADHAN ... 13

A. Pengertian Puasa ... 13

B. Hukum dan Hikmah Puasa ... 16

C. Rukun dan Syarat Puasa ... 24

BAB III : TINJAUAN MUI TENTANG PUASA BAGI PENERBANG . 34 A. Pengertian Fatwa ... 34

B. Kedudukan Fatwa ... 38

(10)

x

A. Problematika Penerbang Dalam Menjalankan Tugas Pada

Saat Berpuasa di Bulan Ramadhan ... 48

B. Fatwa MUI Tentang Puasa Bagi Penerbang ... 51

C. Analisa Fatwa MUI Tentang Puasa Bagi Penerbang ... 56

BAB V : PENUTUP ... 65

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran-Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama adalah hak setiap warga negara Indonesia. Setiap warga negara diperbolehkan untuk memeluk suatu agama yang diyakininya dan negara menjamin kebebasan memeluk agama tersebut. Hal ini tercantum dalam UUD 1945 pasal 29.

Agama merupakan anugerah Tuhan bagi manusia sebagai pedoman untuk menjalani hidup di dunia. Dengan adanya agama, manusia mempunyai pegangan dalam setiap tindakannya di dunia ini. Begitu besar peran agama dalam kehidupan, sehingga manusia tidak bisa hidup tanpa agama. Karena agama sudah menjadi kebutuhan.

Seseorang yang memeluk suatu agama dituntut untuk melaksanakan kewajiban yang ada dalam agama tersebut. Setiap agama mempunyai ritual yang disebut ibadah. Ini adalah sarana manusia berhubungan dengan Tuhan.

(12)

Kadang-kadang perilaku tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Norma-norma dan nilai-nilai agama diduga sangat berpengaruh terhadap perilaku sosial.1 Salah satu fungsi agama adalah sebagai penyelemat. Keselematan yang meliputi bidang yang luas adalah keselematan yang diajarkan oleh agama. keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu agama mengajarkan para penganutnya melalui: pengenalan kepada masalah sakral, berupa keimanan kepada Tuhan.2

Salah satu bentuk ibadah dalam agama adalah berpuasa. Berpuasa berarti tidak makan dan minum untuk waktu tertentu. Puasa juga berarti tidak melakukan hal-hal yang dilarang agama dalam batas waktu yang ditentukan.

Puasa atau siyam dalam istilah Islam, adalah menahan diri dari segala perbuatan yang membatalkan, seperti makan, minum dan senggama, sejak terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan niat dan persyaratan tertentu.3

Hal tersebut dijelaskan di dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 183





























1

Mastuhu, Metode Penelitian Agama; Teori Dan Praktik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),h. 127

2

Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Rajagafindo Persada, 2005), h. 261 3

(13)

3

Artinya: “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.(QS. Al Baqarah (2): 183)

Puasa dalam Islam, terbagi atas dua bagian: wajib dan sunnah. Adapun yang wajib adalah: (1) puasa Ramadhan. (2) puasa kafarat, sebagai mengganti pelanggaran tertentu pada waktu berpuasa Ramadhan atau ketika sedang melaksanakan ibadah haji. (3) puasa nadzar. Namun Ulama Hanafi berbeda pendapat tentang puasa nadzar, baik nadzar, untuk berpuasa pada hari tertentu, seperti kamis, maupun nadzar untuk berpuasa pada suatu hari atau bulan tanpa menentukannya (hari apa atau bulan apa).4

Sedangkan puasa sunnah, misalnya puasa enam hari bulan syawal, puasa hari senin dan kamis dan sebagainya.

Dalam Ihya „Ulumuddin, sebagaimana yang dikutip oleh Sukardi, Imam Ghazali menyebutkan enam cara menahan diri pada waktu puasa. Pertama,

menahan pandangan dan tidak mengumbarnya pada hal-hal yang menyibukan hati, sehingga lupa kepada Allah. Kedua, menjaga lidah dari ucapan yang sia-sia, berbohong, mengumpat, memfitnah, bertengkar dan membiasakan diam, serta menyibukan lidah dengan zikir kepada Allah. Ketiga, menahan pendengaran dari hal-hal yang dibenci agama. Keempat, menahan seluruh anggota tubuh yang lain dari dosa – perut dari makanan haram, tangan dari menganiaya orang lain atau mengambil yang bukan hak, kaki dari menginjak-injak hak orang lain. Kelima,

4

(14)

menahan diri untuk tidak makan berlebih-lebihan, walaupun dengan makanan halal. Keenam, sesudah berbuka, hendaklah hatinya selalu berada di antara cemas dan harap; ia tidak boleh terlalu takut bahwa puasanya tidak diterima Allah, dan juga tidak terlalu yakin bahwa puasanya sudah sempurna.5

Puasa Ramadhan termasuk rukun Islam yang keempat, dari lima rukun Islam yang ada. Rukun Islam yang pertama ialah membaca kalimat syahadat, yakni ikrar tentang keesaan Tuhan dan kerasulan Nabi Muhammad SAW. Yang kedua, melaksanakan salat lima waktu sehari semalam. Ketiga, membayar zakat kepada fakir miskin dan orang-orang yang berhak. Kemudian, yang terakhir, menunaikan ibadah haji bila mampu.

Karena termasuk rukun Islam, maka puasa Ramadhan sifatnya wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam yang sudah dewasa. Patokan dewasa ini biasanya sama dengan akil balig atau matang secara seksual. Kondisi akil balig secara alamiah ditandai peristiwa datang bulan bagi perempuan atau mimpi basah pada laki-laki.

Dengan demikian, anak-anak yang belum akil balig tidak wajib menjalankan puasa Ramadhan. Kalaupun ada anak-anak yang berpuasa, sifatnya baru sebatas latihan. Karena latihan, boleh saja tidak dilakukan sehari penuh. Misalnya puasa sampai jam 12 siang atau saat adzan zuhur tiba. Ini biasa disebut

5

(15)

5

puasa mbedug di kalangan masyarakat Jawa. Maksudnya, puasa sampai bedug di masjid ditabuh bertalu-talu, sebagai pertanda waktu salat zuhur tiba.

Orang dewasa yang sedang sakit, sudah uzur (jompo), atau tengah melakukan perjalanan jauh (musafir) juga diperbolehkan tidak menjalankan puasa Ramadhan. Dalam konteks inilah jika Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru-baru ini memfatwakan bahwa pilot pesawat terbang yang sedang bertugas boleh tidak puasa.

Selain sering bepergian jauh, seorang pilot juga bertanggung jawab atas nyawa puluhan atau ratusan penumpangnya. Jika pilot berpuasa, yang salah satu efeknya mengantuk, dipandang bisa membahayakan para penumpang. Fatwa bagi para pilot ini, jika mengikuti kaidah analogi atau qiyas dalam hukum Islam, tentunya berlaku pula bagi para sopir bus, truk, dan sarana transportasi jarak jauh lainnya.

Ibu-ibu yang sedang hamil atau menyusui juga diizinkan tidak berpuasa. Malahan perempuan yang sedang datang bulan tidak boleh menjalankan puasa Ramadhan.

(16)

berupa makanan berbuka puasa (takjil) yang dibagikan kepada para jamaah di masjid-masjid.

Dalam hal ini, berkenaan dengan kebolehannya tidak berpuasa bagi musafir ulama mazhab menambahkan satu syarat lagi, yaitu perjalanan itu harus berangkat sebelum terbitnya fajar, sampai menempuh jarak dibolehkannya melakukan shalat qashar. Namun bila perjalanan itu berangkat setelah terbitnya fajar, maka diharamkan untuk berbuka. Dan kalau berbuka, maka ia harus meng-qadha‟ (menggantinya) tapi tidak perlu membayar kifarah. Imam Syafi‟i

menambahkan satu syarat lagi, yaitu: bukan seorang musafir yang sudah biasa melakukan perjalanan, seperti seorang yang mencari penyewa. Kalau bagi orang yang kerjanya memang selalu mengadakan perjalanan, ia tidak mempunyai hak untuk berbuka. Berbuka dalam perjalanan menurut mereka adalah rukhshah

(keringanan), bukan keharusan. Maka bagi seorang musafir juga memenuhi syarat-syarat tersebut, ia berhak memilih. Kalau suka, boleh berpuasa, dan kalau tidak, boleh dibuka. Hanya kita harus mengetahui bahwa Imam Hanafi mempunyai pendapat lain, yaitu: bahwa sholat qashar dalam perjalanan itu merupakan suatu keharusan bukan merupakan rukhshah.

Imam Imamiyah kalau seorang musafir yang sudah memenuhi syarat-syarat melakukan shalat qashar, lalu ia berpuasa, maka puasanya tidak diterima, dan kalau berpuasa itu harus meng-qadha‟, tapi tidak perlu membayar kifarah.

(17)

7

tergelincir) atau sesudahnya, maka ia harus tetap berpuasa, dan kalau berbuka, dia harus membayar kifarah, seperti seorang yang sengaja membuka. Bila seorang musafir telah sampai kedaerahnya atau ketempat tinggalnya yang akan ditempatinya selama sepuluh hari sebelum zawal, dan tidak melakukan sesuatu yang membatalkan puasanya, maka ia wajib meneruskan puasanya, dan bila berbuka, maka hukumnya seperti seorang yang berbuka dengan sengaja, yaitu membayar kifarah.6

Berkenaan dengan hal di atas, maka penulis tertarik untuk membahasnya dalam bentuk skripsi yang berjudul “Keringanan Puasa Bagi Penerbang Di Bulan Ramadhan (Analisis Fatwa MUI Tentang Puasa Bagi

Penerbang(PILOT)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Secara substantif, pembahasan mengenai fatwa MUI sangat luas cakupannya. Untuk menghindari agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam kajian ini, maka penulis membatasi kepada fatwa yang dikeluarkan olah MUI pusat tentang puasa bagi penerbang sekitar pembahasan tentang problematika penerbang dalam menjalankan tugasnya pada saat berpuasa di bulan Ramadhan dan fatwa MUI. Berkenaan dengan ini, dikarenakan banyaknya fatwa yang dikeluarkan oleh komisi fatwa yang berada ditingkat daerah dan sebagainya.

6

(18)

Melihat dari pembatasan diatas, maka penulis mengambil rumusan-rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa problematika penerbang dalam menjalankan tugasnya pada saat berpuasa di bulan Ramadhan ?

2. Bagaimanakah fatwa MUI tentang puasa bagi penerbang ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Dari perumusan dan pembatasan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Agar dapat mengetahui apa problematika penerbang dalam menjalankan tugasnya pada saat berpuasa.

2. Agar dapat mengetahui bagaimana dasar hukum MUI dalam menetapkan fatwa tentang puasa bagi penerbang.

Penulis berharap, dengan penulisan skripsi ini mampu memberi manfaat, yaitu menambah wawasan, khususnya penulis dan pada umunya pembaca, masyarakat dan tokoh masyarakat. Selain itu juga, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak terkait.

D. Kajian Terdahulu (Review Study)

(19)

9

Rahmat Hidayat, yang berjudul “Nilai-nilai Edukatif Yang Terkandung

Dalam Ibadah Puasa”. Rahmat Hidayat mengatakan bahwa ibadah puasa

mempunyai nilai pendidikan apabila ibadah puasa itu dilakukan dengan benar

berdasarkan ketentuan hukum syara‟ dan benar-benar mengharap ridlo dari

Allah SWT. Karena apabila ibadah puasa tidak berdasar hukum syara‟ hanya

mendapatkan lapar dan dahaga saja tanpa ada nilai-nilai positif yang berarti yang didapatnya. Dalam skripsi ini menerangkan bahwa hikmah puasa yang berkaitan dengan pendidikan dapat terungkap secara ilmiah dan dapat memberikan kontribusi positif dalam mengembangkan pendidikan.

Sedangkan skripsi yang ditulis oleh Ramadani yang berjudul “Makna

Puasa Di Kalangan Narapidana Muslim Dan Kristen (Studi Kasus Di

Lembaga Permasyarakatan (LP) Tangerang)”. dalam skripsi ini menerangkan

perbedaan makna puasa dari kalangan narapidana muslim dan kristen. Dari pernyataan narapidana umat muslim berpuasa di dalam penjara lebih baik datau

lebih khusyu‟ dibanding saat pelaksanaan ibadah puasa mereka saat berada di

luar penjara. Sedangkan narapidana Kristen berpuasa untuk mendekatakan diri kepada Tuhan Yesus dan usaha untuk menjauhkan keberadaan setan yang mengganggu manusia.

(20)

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian kualitatif, perundang-undangan dan normatif yaitu penelitian kepustakaan (library research) berdasarkan data sekunder. Penelitian kualitatif dilakukan terhadap banyaknya studi dokumenter yang ada, sehingga penulis mengedepankan penelitian ini terhadap kualitas isi dari segi jenis data.

Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur. Kualitatif bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, bukan angka.7

2. Teknik Pengolahan Data

Dalam rangka mengumpulkan, mengolah dan menyajikan bahan-bahan yang diperlukan, maka dilakukan pengolahan data dengan cara sebagai berikut :

a) Studi Pustaka (library research)

Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang berhubungan dengan skripsi ini yaitu dari literatur-literatur, buku-buku perpustakaan, tulisan-tulisan sebagai dasar teori dalam pembahasan masalah.

7

(21)

11

b) Analisis dan pengolahan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data atau literatur yang terdapat di dalam buku dan materi yang bersangkutan dengan hal yang akan dibahas, kemudian dilakukan analisis yang dituangkan dalam pembahasan masalah, selanjutnya dapat ditarik kesimpulan dan diberikan saran-saran untuk perbaikan.

3. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan Buku Pedoman Penulisan Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum 2007 yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memberikan arah serta gambaran materi yang terdapat dalam skripsi ini, maka penulis menyusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I Merupakan Pendahuluan Yang Terdiri Enam Sub Bab Yang Membahas Tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan Dan Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penelitian, Kajian Terdahulu, Metode Penelitian Dan Sistematika Penulisan.

(22)

Rukun Puasa, Dan Orang-Orang Yang Dibolehkan Berbuka Puasa.

Bab III Berisikan Tinjauan Umum Tentang Fatwa Yang Mencakup Kepada Pengertian Fatwa, Kedudukan Fatwa Dan Peranan MUI Dalam Menetapkan Fatwa.

(23)

13 BAB II

KETENTUAN UMUM TENTANG PUASA RAMADHAN

A. Pengertian Puasa

Puasa dalam bahasa Arab disebut shiyam atau shaum, yang artinya menahan dari segala sesuatu.1 baik perbuatan maupun perkataan, seperti manahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya.2

Dalam agama Islam, puasa diartikan sebagai menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat. Ada juga yang mendefinisikan puasa, yaitu menahan hawa nafsu dari makan, minum dan hubungan seksual sejak dari terbit fajar sampai terbenam matahari.3

Menurut Yusuf al-Qardhawi puasa adalah meninggalkan dan menahan. Dengan kata lain, menahan dan meninggalkan sesuatu yang mubah (halal), seperti nafsu perut dan nafsu sex dengan nilai mendekatkan diri kepada Allah SWT. adapun makna puasa secara terminologi adalah menahan diri dengan sengaja dari makan, minum, bersetubuh dan segala sesuatu yang berada dalam hukum bersetubuh selama sehari penuh yakni sejak dari terbit fajar sampai

1

Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet 4. h. 804

2

H. Baihaqi, AK., Fiqh Ibadah, (Bandung: M28, 1996), cet. ke-1, h. 119 3

(24)

terbenam matahari dengan niat menjalankan perintah Allah dan mendekatkan diri (taqarrub) kepadanya.4

Dalil yang menunjukan bahwa puasa adalah menahan diri dari dua nafsu tersebut adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah 187









































































































































Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”(Q.S al-Baqarah (2): 18)

4

(25)

15

Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa puasa adalah menahan diri dari syahwat dan memisahkannya dari segala kebiasaan untuk mengimbangi kekuatan syahwat, supaya bersedialah dia buat mencari kenikmatan dan kebahagian agar dia dapat menerima segala sesuatu yang menyuburkan kehidupan yang abadi dan menekan keinginan yang keras dari hawa nafsu, serta menahan diri dari keinginan makan dan minum yang bertujuan untuk membangkitkan perasaan kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang hidup kelaparan dan menahan anggota badan agar tidak sampai jatuh pada hukum-hukum tabiat yang dapat memelaratkan diri sendiri di dunia dan akhirat.

Sedangkan pengertian puasa menurut Imam Mazhab adalah:5

a. Menurut Mazhab Hanafi: pengertian puasa adalah menahan diri dari sesuatu

yang tertentu yaitu makan, minum, jima‟, dan sesuatu yang membatalkan

puasa dengan persyaratan tertentu, yaitu niat.

b. Menurut Mazhab Maliki: puasa adalah menahan diri dari hawa nafsu yang ditimbulkan perut dan kemaluan, atau sesuatu yang mempunyai kedudukan yang sama dengan ke dua jenis hawa nafsu tersebut, karena mentaati Allah diseluruh waktu siang dengan berniat sebelum fajar atau diwaktu fajar selama dia tidak haidh, nifas dan bukan pada hari raya.

(26)

c. Menurut Mazhab Syafi‟i: puasa adalah menahan diri )mencegah diri( dari mulai terbit fajar sampai maghrib dengan niat dari sebelum fajar dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan cara tertentu.

d. Menurut Mazhab Hambali: puasa adalah menahan diri (mencegah diri) dari hal-hal yang membatalkan puasa yaitu segala sesuatu yang masuk kedalam perut, tenggorokan dan otak melalui mulut, termasuk didalamnya adalah

jima‟ dan hal-hal yang mendorong untuk melakukan jima‟ seperti bercumbu

jika sampai keluarnya mani sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.6 Dari definisi tersebut berkaitan dengan waktu imsak (menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa) menurut Imam Mazhab mereka sependapat bahwa akhir waktunya adalah terbenamnya matahari, berdasarkan firman Allah:











. . .

Artinya: “…Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam...”

(Q.S. al-Baqarah (2): 187)

B. Hukum dan Hikmah Puasa

1. Hukum Puasa

Berpuasa pada bulan Ramadhan adalah salah satu rukun Islam, yang berarti bahwa berpuasa itu adalah suatu kewajiban agama, yang ikut

(27)

17

menentukan ke-Islaman seseorang.7 Puasa wajib hanya dilakukan sekali dalam

setahun, yakni sebulan penuh selama bulan Ramadhan. Dia adalah Fardhu „Ain

dan termaktub dalam Al-Qur‟an.8 Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 183:





























Artinya: “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”(Q.S. al-Baqarah: 183)

Ayat tersebut dengan tegas menyatakan tentang kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan, yaitu satu-satunya bulan yang tersebut namanya dalam

al-Qur‟an

س خ ع اس إ

:

ه س ح ه ا إ ا أ ّ ش

ء

ض

،

ح ،

.

(

ح

) 9

Artinya: “Agama Islam itu dibangun atas lima, yaitu : Pengakuan tiada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad Rasul Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan haji dan berpuasa bulan Ramadhan”(HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Menurut Prof. Quraish Shihab didalam tafsir Al-Misbah, ayat yang memuat perintah wajib puasa tersebut, tidak memberikan penjelasan dengan

7

Darajat Zakiah, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama 1995),Cet 5, Hal 13

8

Saiful Rahim, Puasa “Siapa Yang Boleh Meninggalkannya”, (Jakarta: Antar Kota, 1998), Cet. Ke 2, h. 23

9

(28)

tegas siapa yang mewajibkannya. Gaya bahasa “Diwajibkan atas kamu” menurut Quraish Shihab menandakan bahwa puasa begitu penting bagi manusia. Bahkan, jika manusia mengetahui rahasia dibalik puasa, mereka akan mewajibkan puasa atas dirinya sendiri. Dan pada kenyataannya, umat-umat terdahulu banyak yang berpuasa berdasarkan kewajiban yang dibuat oleh tokoh-tokoh dan pemuka agama mereka.10

Bila seorang Muslim percaya bahwa Al-Qur‟an adalah firman Allah, maka segala isi Al-Qur‟an yang berisi perintah seperti yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 183 dan diiringi dengan Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim serta Ibnu Umar tersebut yang menyatakan bahwa puasa adalah salah satu dari rukun Islam. Maka tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan.

2. Hikmah Puasa

Setiap kewajiban yang turun kepada manusia dari Allah SWT. Melalui Rasul-Nya menyimpan suatu hikmah. Manusia memang dengan sendirinya dapat memahami manfaat dan hikmah yang ada dalam suatu ibadah tersebut. Tetapi tidak berarti bahwa hikmah dan manfaat suatu ibadah dapat diketahui

10

(29)

19

oleh semua hambanya melainkan diketahui oleh orang yang tahu dan tidak diketahui oleh orang yang bodoh. kecuali oleh Allah SWT.11

Salah satu hakikat ibadah puasa ialah sifatnya yang pribadi, bahkan merupakan rahasia antara seorang manusia dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan itu merupakan letak dan sumber hikmahnya, yang kerahasiaan itu sendiri terkait erat dengan makna keikhlasan dan ketulusan. Antara puasa yang sejati dan puasa yang palsu hanyalah dibedakan oleh, misalnya seteguk air yang dicuri minum oleh seseorang ketika ia berada sendirian.

Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian kesadaran akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir dan yang mutlak tidak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasannya terhadap segala tingkah laku hamba-hambanya.12

Ibadah puasa merupakan pengabdian tertinggi dan terpanjang yang dilakuakan seorang mukmin untuk memperoleh ridha Allah SWT, dengan mengharamkan perbuatan-perbuatan yang biasanya dihalalkan oleh Allah SWT kepada mereka di siang hari.13

11

Yusuf Qardhawi, Fiqh Puasa, (Surakarta: Era Intermedia, 1998), h. 23. 12

Nurcholish Madjid, Dialog Ramadhan Bersama Caknur, (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. Pertama, h. 8.

13

(30)

Pada umumnya hikmah puasa, tepatnya dibulan Ramadhan Allah telah melatih dan mendidik setiap individu mu‟min atau mu‟minah agar menjaga dirinya tetap suci dari debu-debu dosa. Hal ini ditegaskan oleh baginda Rasul:14

ق س ع ه

ع ع ه ض

أ ع س أ ع

ض

، فغ

ح

إ

ق

فغ

ح

(

)

15

Artinya: “Diriwayatkan dari abi salamah dari abu hurairah r.a dari nabi saw bersabda siapa saja yang mendirikan laylatul qadr dengan penuh keimanan dan kesadaran, maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu, dan siapa saja yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan kesadaran, maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu” (H.R al-Bukhari)

1. Puasa bila ditinjau dari tazkiyatunnafsi sebagai berikut:

a. Puasa Ramadhan mendidik jiwa agar bisa dan dapat menguasai jiwa atau diri, Sehingga mudah menjalankan kebaikan-kebaikan yang kita kehendaki dengan jalan mematuhi perintah-perintahnya, menjauhi segala larangannya dan melatih diri untuk menyempurnakan peribadatan kepada Allah semata.16

b. Mendidik nafsu agar tidak senantiasa dimanjakan, bahkan dapat pula nafsu kita batasi sebagaimana mestinya, dan sebagaimana yang diperintahkan olehnya. Allah SWT menganugerahkan nafsu kepada

14

Sairudin. Dkk, Tuntunan Ibadah Puasa Lengkap, (Surabaya: Indah, 1995), Cet 1, h. 146.

15

Bukhari, Shahih al- Bukhari, (Beirut: Darul Fikr, T.th), Juz 3, h. 33 16

(31)

21

setiap manusia. Dengan nafsu, manusia menjadi maju. Dengan nafsu, manusia bisa melahirkan sejumlah prestasi. Tapi, dengan nafsu pula manusia bisa lebih jahat dan lebih kejam dari binatang.17

c. Mendidik jiwa untuk memegang amanah dengan sebaik-baiknya dengan tidak menipu diri sendiri karena menyadari bahwa Allah swt mengetahui segala-galanya, yang nyata atau yang tidak nyata.18 Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 108.













. . .

Artinya: “Mereka bisa bersembunyi dari manusia tetapi mereka tidak bisa bersembunyi dari Allah.”(Q.S. An-Nisa: 108)

d. Mengubah kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik dan mendidik kesabaran dan ketabahan. Sabar dalam haus dan lapar bekerja sebagai biasa lama mencari rizki Allah. Sabar dan tabah mendengar dan menerima ucapan-ucapan yang mungkin menyinggung perasaan dan lain sebagainya.19

e. Memelihara kejujuran

f. Mendidik jiwa manusia dengan menanamkan perasaan takut dan takwa kepada Allah SWT.

17

Moede, Hikmah Puasa Bagi Umat Islam Menurut Al-Qur‟an Dan Hadits, h. 187 18

Latihief Rousydiy, Puasa Hukum Dan Hikmahnya Berdasarkan Sunnah Rasulullah SAW, (Medan: Rimbow, 1993), cet ke 3, h. 33

19

(32)

g. Sebagai tanda terima kasih kepada Allah SWT atas nikmat pemberiannya yang tidak terbatas banyaknya dan tidak ternilai harganya. Seseorang akan merasakan nikmat kenyang jika ia pernah merasakan lapar dan dahaga. Hal itu akan selalu mendorongnya untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah.

2. Puasa ditinjau dari segi kelanggengan hidup ijtima’i (sosial)

Suatu realita yang tidak bisa dibantah, kita tidak bisa hidup sendirian di dunia ini. Keberadaan kita pasti memerlukan bantuan orang lain, dan hajat akan bantuan orang lain ini menyebabkan kita harus membina hubungan atau relasi dengan orang lain, karena kita ini sengaja diturunkan oleh Allah SWT. ke tengah-tengah umat manusia dengan membawa misi sosial, hanyalah untuk memperbaiki umat manusia. Karena itu Islam banyak memiliki ajaran di bidang sosial kemasyarakatan yang membawa kaum muslimin menjadi makhluk sosial yang baik.20

Untuk lebih jelasnya berikut hikmah puasa ditinjau dari segi

kelanggengan hidup ijtima‟i )sosial( sebagai berikut:

a. Mendidik manusia memiliki rasa cinta belas kasih dan penyantun dalam dirinya, dan dari pendidikan puasa itu akan lahir manusia-manusia yang lembut hatinya lagi baik jiwanya.

20

(33)

23

b. Menanamkan rasa persatuan dan kesatuan pada setiap anggota masyarakat. Karena dalam puasa semua manusia dengan berbagai tingkatan dan kedudukannya merasakan lapar dahaga yang sama tanpa ada keistimewaan dan perbedaan.21

c. Berguna untuk perbaikan pergaulan. Orang yang berpusa dapat menimbang rasa kepada fakir miskin yang banyak menderita kelaparan dan kekurangan materi. Dengan demikian akan timbulah rasa suka menolong kepada orang-orang yang menderita.

d. Dalam bulam Ramadhan akan terpancar persamaan derajat yang akan dirasakan umat Islam ketika menjelang berbuka puasa. Suasana menjelang berbuka yang mengesankan itu, tidak ada perbedaan antara keluarga miskin dan keluarga kaya, semuanya sedang lapar dan sedang menunggu waktu berbuka.22

3. Puasa ditinjau dari kesehatan.

Dari sudut kesehatan puasa juga membina kesehatan jasmani dan rohani, apabila dikerjakan sesuai dengan tuntunan Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Sabda Rasulullah SAW :

ح

21

Abdullah Nasih Ulwan, Puasa Ramadhan dan Segala Ketentuannya,(Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 1987), h. 71

22

(34)

Artinya: “Berpuasalah kamu niscaya akan menjadi sehat” (H.R. Ibnu

Sunniy dan Abu Nu‟aim(.

Disamping itu dokter-dokter sering menyatakan, bahwa puasa satu bulan dalam satu tahun dapat melenyapkan sisa-sisa makanan yang mengendap di dalam tubuh. Bagaimana besarnya pengaruh puasa kepada kesehatan jasmani dan rohani.23

C. Rukun Dan Syarat Puasa

1. Rukun puasa

Adalah menahan diri dengan disertai niat dari dua macam syahwat perut dan syahwat kemaluan. Maksudnya adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya.

a. Menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa, dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.

Adapun yang membatalkan puasa antara lain ialah makan dan minum meskipun sedikit tapi dilakukan dengan sengaja, dan hal-hal lain yang hukumnya disamakan dengan makan. Secara definitif, hal-hal lain yang yang membatalkan puasa itu ialah setiap benda yang masuk ke dalam tubuh lewat lobang yang terbuka yang dilakukan dengan sengaja dan sadar kalau ia sedang berpuasa.24

23

Latihief Rousydiy, Puasa Hukum Dan Hikmahnya Berdasarkan Sunnah Rasulullah SAW, h. 30

24

(35)

25

b. Niat

Yang dimaksud niat adalah mengatakan keinginannya dalam hati untuk berpuasa, dan tidak harus diucapkan dalam lisan. Pendapat ulama tentang kapan niat itu dilakukan dan bangaimana caranya. Ada bermacam-macam, yang penting adalah hatinya sudah mantap bahwa besok ia akan puasa tanpa ragu-ragu. Kapan kemantapan hati itu dirasakan, apakah pada awal malam atau pada waktu akan sahur, atau diantara keduanya, tidak menjadi soal yang penting dianggap telah berniat akan puasa Ramadhan besok. Rasulullah saw bersabda:

عس ح ث ح ق فس ث ح ق

ه ع

ح ث ح

ق ع ع س أ

ح

خ ق

أ

ق

ع ع ه ض ط ع ع س

س ع ه

ه س ع س

:

عأ

ئ

(

) 25

Artinya: “Diceritakan kepada Hamidi Abdillah bin Zubair berkata telah diceritakan kepada kami Yahya bin Sa‟id al-Anshari dan at-Timi bahwasannya Ulqamah bin Waqas al-Laisi telah mendengar berkata saya telah mendengar Umar bin Khattab r.a di atas mimbar berkata: saya telah mendengar Rasulullah saw berkata:“Setiap pekerjaan harus dengan niat dan setiap orang yang bekerja akan mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya” (H.R al-Bukhari)

25

(36)

2. Syarat-syarat Sah Puasa

Para ulama ahli fiqh membedakan syarat-syarat puasa diantaranya:26

a. Islam

Menurut jumhur ulama Islam merupakan syarat sah puasa, sedangkan menurut Mazhab Hanafi, Islam merupakan syarat wajib puasa. Dengan demikian tidak diwajibkan atas orang kafir. Menurut Madzhab Hanafi, orang kafir tidak dikenai kewajiban yang berkenaan dengan cabang-cabang syari‟at, yang merupakan ibadah. Sedangkan menurut jumhur ulama oang kafir ketika mereka dalam keadaan kekafiran dikenai kewajiban yang berkaitan dengan cabang-cabang syari‟at.

Sama halnya dengan orang murtad, juga tidak dituntut berpuasa, tetapi bila ia masuk masuk Islam kembali, ia wajib mengqada puasa yang tinggal selama masa murtadnya itu, sebab ia telah terikat dengan kewajiban itu pada masa Islamnya yang pertama, dan kewajiban tersebut tidak gugur karena murtad, sama dengan berbagai hak lain yang terkait dengan dirinya.27

26

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: PT Sinar Baru Algensindo, 2000), Cet. Ke-33, h. 227-229

27

(37)

27

b. Baligh (sampai umur)

Anak kecil tidak diwajibkan puasa, karena mereka tidak dikenai khitab taklify; mereka tidak berhak puasa. Hal ini berdasarkan hadits Nabi saw :

ق س ع ه

ه س ق ع ه ض ئ ع ع

:

اث ع عف

:

،

ح

ع ، قف ح

ع

ظ

ح ئ ع

.

(

)

28

Artinya: “Dari „Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “pena diangkat dari tiga orang yaitu : orang gila sampai ia sembuh, kanak-kanak sampai ia baligh dan orang yang sedang tidur sampai ia bangun”(H.R al-Bukhari)

Akan tetapi, puasa yang dilakukan oleh anak kecil yang mumayyiz, hukumnya sah, seperti halnya shalat.

Wali anak tersebut menurut Madzhab Syafi‟i, Hanafi, dan Hambali, wajib menyuruhnya berpuasa ketika ia berusia tujuh tahun. Dan jika anak kecil itu tidak mau berpuasa, walinya wajib memukulnya ketika ia berusia sepuluh tahun.29 Hal itu dimaksudkan agar dia menjadi terbiasa dengan puasa, seperti halnya shalat. Kecuali, jika puasa dirasakan berat oleh anak tersebut, berarti dia belum mampu berpuasa. Karena terkadang seorang anak mampu melakukan shalat, tetapi belum tentu mampu melakukan puasa.

28

Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Darul Fikr, T.th), Jilid 3h. 272 29

(38)

c. Berakal

Orang yang akalnya hilang tidak dikenai kewajiban berpuasa. Dengan demikian, puasa yang dilakukan orang gila, orang pingsan, dan orang mabuk tidak sah. Sebab mereka tidak berkemungkinan untuk melakukan niat.

Disamping itu, orang gila tidak pula wajib mengqadanya setelah sembuh, sebab orang gila tidak termasuk mukallaf. Akan tetapi orang yang pingsan setelah siuman kembali ia wajib mengqada puasa yang tertinggal selama sakitnya itu.30 Hal ini berdasarkan hadits Nabi saw yang

diriwayatkan, Ashhabus Sunan, dari „Aisyah ra, bahwa Rasulullah SAW

bersabda :

ق س ع ه

ه س ق ع ه ض ئ ع ع

:

اث ع عف

:

،

ح

ع ، قف ح

ع

ظ

ح ئ ع

.

(

)

31

Artinya: “Dari „Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “pena diangkat dari tiga orang yaitu : orang gila sampai ia sembuh, kanak-kanak sampai ia baligh dan orang yang sedang tidur sampai ia bangun” (H.R al-Bukhari)

d. Suci Dari Haidh, Nifas dan Wiladah

Wanita yang sedang haidh, nifas dan sedang bersalin (wiladah) juga termasuk yang membatalkan puasa apabila haidh datang kepada

30

Lahmuddin Nasution, Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana, 1998), h. 187 31

(39)

29

seorang wanita maka ibadah puasa yang dilakukannya menjadi rusak, meskipun keluarnya darah terjadi hanya beberapa saat sebelum terbenamnya matahari (hampir saatnya berbuka).32 Meskipun darah yang keluar itu banyak atau sedikit, baik anak itu yang lahir sempurna, ataupun yang dilahirkan itu segumpal darah atau daging, tetapi berkewajiban mengqadha (membayar) puasa yang tertinggal itu secukupnya. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi saw :

ق

، أ ف اخ ع

أ قح

إ

ض ضئ ح أ ع

ف

ا ض ا

.

(

)

33

Artinya: Abu Zinad berkata; “Sesungguhnya sunah-sunah Nabi dan sesuatu yang dibenarkan agama banyak yang diperselisihkan antara yang satu dengan yang lain. Oleh sebab itu tidak ada jalan lain bagi umat Islam kecuali ikut satu hal yang disepakati para ulama, yaitu bahwa orang haidh wajib mengqadha puasa, tetapi tidak wajib mengqadha shalat” (HR. Bukhari)

e. Tamyiz

Tamyiz yaitu dapat membedakan antara yang baik dan yang tidak baik. Orang yang belum mumayyiz bila berniat berpuasa, tidaklah sah puasanya, karena puasa itu suatu ibadah yang mempunyai syarat wajib, syarat sah, dan rukun, yang kesemuanya itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk (tamyiz).

32

Ali Yahya, Yas‟alunaka: Tanya Jawab Lengkap Tentang Agama Dan Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 2006), h 37

33

(40)

f. Berpuasa Pada Waktunya

Yaitu berpuasa di waktu yang dapat dipergunakan untuk berpuasa. Karena tidak sah pula jika dikerjakan di waktu-waktu yang tidak

dibenarkan berpuasa, seperti hari raya “Idul Fitri,” “Idul Adha”, dan hari

-hari tasyriq.34

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits dibawah ini: 1. Puasa Pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha

Para ulama Islam sependapat haram berpuasa pada hari raya Islam, baik puasa fardhu atau sunnah.Nabi saw bersabda :

ع س ع ه

ه س ع ه ض ع ع

حض ا

طفف طف

ح

أ ف

(

)

35

Artinya: “Umar r.a berkata: Sesungguhnya Rasul melarang berpuasa

pada dua hari ini, adapun hari raya fitri, karena berbuka dari puasa Ramadhanmu. Adapun hari raya adha adalah karena harus memakan sembelihan kurbanmu” (H.R Abu Daud)

2. Puasa Pada Hari-hari Tasyriq

Tidak boleh berpuasa pada hari-hari Tasyriq, yaitu tiga hari sesudah hari Raya Adha. Berdasarkan hadits Nabi :

34

Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad Alhusaini, Kifayatul Ahyar (Kelengkapan Orang Shalih) Bagian Pertama. Penerjemah Syarifuddin Anwar Dan Mishbah Musthafa, (Surabaya: CV. Bina Iman, 1994), h. 469

35

(41)

31

ق

طخ س ع ه

ه س حس ع

ش ا

سف ا

خ ا ف

(

)

36

Artinya: “Busyri bin Suhaim menceritakan sesungguhnya Rasulullah saw

khutbah pada hari-hari tasyri, Rasul bersabda “Tidak akan masuk surga kecuali orang-orang muslim dan sesungguhnya pada hari-hari ini yaitu hari-hari makan dan minum.” (H.R Ibnu Majah)

D. Orang-orang Yang Dibolehkan Berbuka Puasa

Faktor-faktor atau halangan yang menyebabkan orang yang sedang puasa boleh berbuka, di antaranya :

1. Penyakit, apabila orang yang berpuasa sedang sakit, dan ia takut akan bertambah berat penyakitnya, terlambat sembuhnya atau terjadi kesulitan besar, maka ia boleh berbuka (tidak puasa), lalu ia sanggup mengganti (mengqadha) puasa setelah ia sembuh pada hari lain setelah bulan Ramadhan maka ia tidak membayar fidyah. Namun jika penyakitnya tidak akan sembuh dan ia tidak sanggup mengganti (mengqadha) puasanya pada hari lain maka ia hanya membayar dengan fidyah saja.Lain halnya karena gila, apabila orang yang sedang berpuasa terserang penyakit gila, maka ia tidak wajib berpuasa dan puasanya tidak sah, serta tidak diqadha.37

36

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Darul Fikr, T.th), juz 1, h. 548 37

(42)

Ketika seorang dalam keadaan puasa dan penyakit gila itu datang pada waktu siang hari maka batallah puasanya dan tidak diwajibkan baginya untuk di qadha.

2. Perempuan hamil atau sedang menyusui anak, apabila ia khawatir akan membahayakan dirinya atau anak susuannya, atau salah satunya, maka ia boleh berbuka, dan ia wajib mengqadha puasa itu dan tidak perlu membayar fidyah.38

Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 185:













Artinya: “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”(Q.S al-Baqarah(2): 185)

3. Musafir, yang jauh perjalanannya sama dengan jarak yang dibolehkan mengqashar shalat, dan ia berangkat sebelum terbit fajar. Namun demikian disunnatkan untuk berpuasa, walaupun berat. Sebagaimana hadis Nabi:

ح أ س ع ه

ع ه ض ئ ع ع

، ف ف

أأ س ع ه

ق سأ

ع

طفأف ش إ ، ف ش إ ف ،

(

)

39

38

Abdullah Bin Baaz, Kumpulan Fatwa Puasa, (Jakarta: Khairul Bayan, 2003), Cet . Pertama, h. 93

39

(43)

33

Artinya: “Aisyah, isteri Nabi Muhammad saw., meriwayatkan bahwa

Hamzah bin „Amr Al-Aslami bertanya kepada Nabi Muhammad saw. : apakah saya puasa dalam perjalanan (musafir) ? Hamzah banyak melakukan puasa. Nabi Muhammad saw. Menjawab : “jika engkau mau puasa, boleh puasa. Tapi jika engkau tidak puasa, boleh tidak puasa”. (HR. Imam al-Bukhari)

4. Haidh dan nifas, Apabila bulan Ramadhan datang diwaktu seseorang yang sedang haidh dan nifas maka tidaklah dibolehkan mereka berpuasa hingga mereka bersih dari kedua keadaan itu. Jika ia melakukan puasa maka batallah puasanya itu. Bilamana wanita itu bersih dari darah haidh dan nifas pada malam hari sebelum fadjar maka hendaklah mereka berniat pada malam hari itu dan mandi.40 Sebagaimana yang ada di dalam hadis:

إ س أ س ع ه

ق ق ع ه ض عس أ ع

ض ح

(

)

41

Artinya: “Diriwayatkan dari abi said r.a berkata: Nabi bersabda bukankah

sebaiknya apabila perempuan dalam keadaan haidh maka hendaklah tidak melaksanakan salat dan puasa” (H.R al-Bukhari)

5. Lapar dan haus yang amat sangat, sehingga orang tidak sanggup melanjutkan puasanya ia boleh berbuka, jika ada sesuatu untuk dimakan atau diminumnya, maka puasa yang batal itu nanti wajib diqadha.

6. Orang yang telah berusia lanjut, yang tidak mampu berpuasa sepanjang tahun, maka ia dibolehkan tidak berpuasa dan ia wajib membayar fidyah, memberi makan seorang miskin tiap hari.

40

El-Bahayi El-Choli, Puasa, Penerjemah: Fuad Mohd Achruddin, (Jakarta: Mohd. Tawfiq Oweida, T.Th), Cet. Kedua, h. 40-41

41

(44)

34

A. Pengertian Fatwa

Secara etimologi fatwa berasal dari bahasa Arab dari kata aftâ,

jamaknya fatâwâ yang mempunyai arti petuah, nasihat, dan jawaban pertanyaan hukum. Secara terminologis fatwa berarti pendapat mengenai suatu hukum dalam Islam yang merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa dan jawaban tersebut tidak mempunyai daya ikat bagi si peminta fatwa baik si peminta fatwa tersebut perorangan, lembaga, maupun masyarakat luas.1

Dalam buku fatwa MUNAS VII MUI 2005, disebutkan bahwa fatwa adalah penjelasan tentang hukum atau ajaran Islam mengenai permasalahan yang dihadapi atau ditanyakan oleh masyarakat serta merupakan pedoman dalam melaksanakan ajaran agamanya.2

Menurut Ibnu Manzhur kata fatwa ini merupakan bentuk masdhar dari kata fata, yaftu, fatwa, yang bermakna muda, baru, penjelasan, penerangan. Sehingga seorang yang mengeluarkan fatwa disebut mufti, karena orang tersebut mempunyai kekuatan untuk memberikan penjelasan dan jawaban terhadap

1

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994).cet III.h.6

2

(45)

35

permasalahan yang dihadapinya.3 Fatwa juga bisa diartikan sebagai nasihat yang datangnya dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah dari padanya. Baik tingkatan umur ataupun ilmu yang dimilikinya.4

Inti dari pengertian fatwa merupakan jawaban atau penjelasan atas suatu pertanyaan atau kasus yang sedang dihadapi, dan dapat dijadikan pedoman atau dasar sesuai dengan keyakinan ajaran agamanya masing-masing.

Dari pengertian-pengertian fatwa di atas, dapat dijumpai adanya pihak yang meminta fatwa (mustafi) dan ada pihak yang memberi fatwa (mufti). Pihak yang meminta fatwa (mustafi) bisa bersifat pribadi, lembaga atau kelompok masyarakat, ataupum pemerintah dan bahkan dari kalangan MUI sendiri. Sedangkan pemberi fatwa (mufti) adalah pihak yang mengeluarkan fatwa yang dilakukan oleh seorang mujtahid atau faqih yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu dalam mengeluarkan fatwa. Fatwa tersebut bersifat petuah, nasehat dan tidak harus diikuti oleh peminta fatwa, karena fatwa tersebut tidak mempunyai daya ikat dan sanksi bagi yang melanggarnya.

Seorang mufti (orang yang memberikan fatwa) harus mengetahui hukum Islam secara mendalam berikut dalil-dalilnya. Ia tidak dibenarkan berfatwa hanya dengan dugaan-dugaan semata tanpa didasari pada dalil.

3 Ma‟ruf Amin,

Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta: PT Pramudya Advertising, 2008).h. 19

4

(46)

Tegasnya, setiap yang menyatakan suatu hukum haruslah menunjukkan dalilnya baik dari Al-qur‟an, Hadits Nabi, maupun dalil hukum lainnya.5

Dari pengertian diatas, dapat dikatakan bahwa fatwa bukanlah keputusan hukum yang dibuat dengan mudah dan seenak diri sendiri atau membuat-buat hukum tanpa dasar (al-tahakum). Fatwa senantiasa terkait dengan siapa yang berwenang memberi fatwa senantiasa terkait dengan siapa yang berwenang memberi fatwa, dan metode pembuatan fatwa (al-istinbath).6

Fatwa merupakan salah satu metode dalam Al-Qur‟an dan As-sunnah dalam menerangkan hukum-hukum syara, ajaran serta arahan. Kadang-kadang penjelasan itu diberikan tanpa adanya pertanyaan atau perintah fatwa, dan cara inilah yang paling dominan terdapat dalam Al-Qur‟an, baik mengenai persoalan hukum maupun nasihat pengajaran.7

Namun dengan perkembangan zaman sekarang ini, terkadang muncullah persoalan-persoalan baru yang membutuhkan jawaban hukum terhadap masalah tersebut. Dalam Al-Qur‟an pun terdapat adanya pertanyaan dan permintaan fatwa dengan menggunakan perkataan (mereka bertanya kepadamu), dan bentuk perkataan seperti ini banyak terdapat dalam Al-Qur‟an, diantara bentuk pertanyaan tersebut adalah seperti firman Allah SWT:

5

Yusuf al-qardhawy, Al-Fatwa bainal Indhibath wat Tasayyub (Terj), (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1996), hal. 32.

6

MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Terauk, 2002),h. 16

7

(47)

37

1. Qs. al-Baqarah : 189





































































Artinya

:

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

2. Qs. al-Baqarah : 219





































































Artinya

:

Mereka bertanya kepadamu tantang khamar dan judi. Katakanlah: “pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa‟at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa‟atnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang meraka nafkahkan. Katakanlah: “yang lebih dari dari keperluan.”demikianlah Allah menerangkan ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.

3. Qs. An-Nisa: 176

(48)

Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah

Fatwa di samping memberikan solusi terhadap pertanyaan yang diajukan juga berfungsi sebagai alat dalam merespon perkembangan permasalahan yang bersifat kotemporer. Dalam hal ini fatwa bisa memberikan kepastian dalam memberikan status hukum pada suatu masalah yang muncul. Tanpa adanya fatwa, suatu permasalaham boleh jadi tidak dapat terpecahkan yang akhirnya membuat umat bisa mengalami kebingungan.

B. Kedudukan Fatwa

Dalam kehidupan di masyarakat fatwa menduduki fungsi yang sebagai amar ma‟ruf nahi munkar, karena ia menyampaikan pesan-pesan agama yang

harus dikerjakan atau harus ditinggalkan oleh umat. Oleh karena itu, hukum berfatwa menurut asalnya adalah fardhu kifayah. Bila dalam suatu wilayah hanya ada seorang mufti yang ditanya tentang suatu masalah hukum yang sudah terjadi dan akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hukum berfatwa atas mufti tersebut adalah fardhu „ain. Namun, bila ada mujtahid lain yang kualitasnya sama atau lebih baik atau masalah yang ditanyakan kepadanya bukanlah masalah yang mendesak untuk segera dipecahkan, maka hukum berfatwa bagi mufti tersebut adalah fardhu kifayah.8

8

(49)

39

Fatwa dinyatakan sebagai jawaban atas suatu pertanyaan mengenai ketetapan hukum berdasarkan hasil Ijtihad tentang suatu persoalan yang belum jelas hukumnya. Fatwa merupakan satu dari sekian lembaga dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan penyelesaian terhadap masalah-masalah yang dihadapi umat.

Fatwa menempati kedudukan penting dalam hukum Islam, karena ia merupakan pendapat yang dikemukakan oleh ahli hukum Islam tentang kedudukan hukum suatu masalah baru yang muncul di kalangan masyarakat. Ketika muncul suatu masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya secara eksplisit (tegas), baik dalam Al-Qur‟an, As-Sunnah, Ijma‟ maupun pendapat -pendapat fuqaha terdahulu, maka fatwa merupakan satu-satunya institusi normatif yang berkompeten menjawab atau menetapkan kedudukan hukum masalah tersebut.

Seorang yang mengeluarkan fatwa disebut mufti, keberadaan mufti

menggantikan kedudukan Nabi saw dalam menyampaikan hukum-hukum syariah, mengajar manusia, dan memberi peringatan kepada mereka agar sadar dan berhati-hati. Disamping menyampaikan apa yang diriwayatkan Nabi, mufti

juga menggantikan kedudukan beliau dalam memutuskan hukum-hukum yang digali dari dalil-dalil hukum melalui analisis Ijtihadnya.

(50)

terhadap segala permasalahan yang timbul atau terjadi berdasarkan wahyu dari Allah yang diturunkan kepadanya.9

Kedudukan mufti sama dengan hakim, yaitu menggali hukum atau mencetuskan hukum kepada umat. Namun fatwa yang dikeluarkan bukanlah peraturan atau undang-undang yang harus diikuti, fatwa hanyalah nasehat, petuah atau jawaban pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hukum, tiada sanksi bagi yang menghianatinya.

C. Peranan MUI Dalam Menetapkan Fatwa

Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang didirikan pada tahun 1975 merupakan wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim. Organisai ini di bentuk dengan tujuan untuk mengamalkan ajaran Islam dan ikut serta mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil dan makmur dalam Negara Republik Indonesia.10

Sesuai dengan namanya, maka tugas Komisi Fatwa MUI adalah memberikan nasehat-nasehat berupa fatwa yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan dan kemasyakaratan terutama yang berhubungan denga

Referensi

Dokumen terkait