• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : ANALISIS PENDAPAT AL-IMAM AL-SYIRAZI TENTANG HUKUM WALI NIKAH MEMINTA IZIN KEPADA GADIS DEWASA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB IV : ANALISIS PENDAPAT AL-IMAM AL-SYIRAZI TENTANG HUKUM WALI NIKAH MEMINTA IZIN KEPADA GADIS DEWASA"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

iv

Artinya: “ Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali „Imran: 159) 1

1 Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen Agama RI,

Al-Qur’an dan Terjemahannya,

(2)

v

Alhamdulillah, dengan segenap rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Karya ini penulis persembahkan untuk:

1. Bapak Abdul Hamid dan Ibu Chunnaiyah, selaku orang tuaku yang selalu menjadi teladan dan spirit dalam segala aktifitasku, do’a dan kasih sayang

yang telah engkau berikan tak akan pernah bisa ku lupakan, dan tak mungkin dapat terbalaskan. Engkau tak pernah lelah dan selalu sabar dalam mendidik serta selalu tulus memberikan segala sesuatu demi kebahagiaan putranya. Sembah sungkem kepada bapak ibu, semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat-Nya kepadamu, dan selalu diberikan kesehatan dan kenikmatan. Ya Allah, Ampunilah dosa-dosa kedua orang tuaku dan kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka mengasihiku ketika waktu kecil. Adik-Adikku, Zuhairizzaman & Lathoiful Mahasin, yang membuat penulis ingat akan cita-cita, perjuangan hidup dan kekeluargaan. Qurrata’Ain ku, terima kasih atas segala dukungan, pengertian dan motivasinya selama ini. Semoga engkau selalu dalam lindungan-Nya.

(3)

vi

3. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M. Ag., sebagai Dekan Fakultas Syari’ah sebelumnya, Bapak Drs. Musahadi, M.Ag., sebagai Pembantu Dekan I sebelumnya, Bapak Drs. H. Maksun, M.Ag., sebagai Pembantu Dekan II sebelumnya, dan Bapak Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag sebagai Pembantu Dekan III sebelumnya, terima kasih atas segala kebijakan dan jasa yang telah bapak diberikan.

4. Bapak Drs. Ahmadi Jaya’ Selaku Pembina UKM WSC, terima kasih banyak atas jasa-jasanya, sehingga penulis dapat mengerti tentang arti sebuah kepemimpinan, dan terima kasih atas masukan-masukannya sehingga penulis dapat mengambil kebijakan dalam mengambil sebuah keputusan berdasarkan saran dari bapak ketika di UKM WSC.

5. Bapak Priyono, M. Pd. Selaku Kepala Bagian Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Walisongo, Ibu Sutinah dan tidak lupa staf kemahasiswaan yang lain. Terima kasih atas jasa dan pelayanannya kepada mahasiswa. Jasa bapak / ibu sulit penulis lupakan.

6. Bapak/Ibu Guru MA Riyadhlotut Thalabah, Bapak Guru Madin Tuhfatus Sibyan, Bapak Guru di Pontren Bicharul Muta’allimin Sedan Rembang, dan

semua bapak/ibu guru di jenjang pendidikan sebelumnya, terima kasih banyak atas ilmu yang engkau berikan. Semoga penulis dapat mengamalkannya dan semoga amal kebaikan bapak ibu guru diterima oleh Allah SWT serta mendapatkan balasan dengan sebaik-baiknya.

(4)

vii

terima kasih atas saran dan nasehatnya. Untuk mas Dain Fazani, SHI., terima kasih atas ilmu dan motivasinya dalam pengembangan Tenis Meja sehingga penulis dapat meraih apa yang dicita-citakan, sungguh luar biasa kesabarannya dalam melatih dan membina penulis pada khususnya dan anggota Table Tennis Division UKM WSC (Walisongo Sport Club) pada umumnya, untuk maz Khoirul Huda, SHI., terima kasih atas nasehat dan ilmunya dalam berorganisasi, dan juga dalam memahami arti hidup. Untuk mas Dwi Hartanto, S. Fil.I, dan M. Hanif S. Pd. I., terima kasih atas ilmunya dalam memahami arti perjuangan, pengorbanan dan loyalitas. Untuk mas Muhammad Amin, S. Sos.I, terima kasih atas ilmu nya dalam pembangunan karakter dan ubudiyah penulis.

8. Semua pengurus dan keluarga besar UKM WSC, tetaplah sholid dan semangat berjuang, raih prestasi setinggi-tingginya dengan menjunjung tinggi nilai sportivitas.

9. Adik-adikku tercinta di cabang Tenis Meja UKM WSC, Arif Tongklo pemain blok yang ita-itu, Farid Schlager spesialis pemanasan, aziz tapi bukan gagap yang cekithang-cekithing, Rifqi robot, Nafi’ pemain specialis chop, kamal pujangga melankolis yang mang-meng kalau lagi maen, fachry, vita, susy, rizka, tetaplah semangat dan tunjukkan permainan terbaik kalian, jagalah tali kekekuargaan ini hingga akhir hayat.

(5)

viii dan loyalitasnya kepada UKM WSC.

11. Team Centra Comp Jl.Ringin Sari 02: Bagus Juwantoro A.Md, M. Latief S.Sos.I, M. Zamroni A.Md, Fajar Agus Arifin, S.Sos.I, Beni Dolo, S.Sos. I, M. Mu’innudin SHI., Gendut, Jarjit, terima kasih atas saran dan motivasinya sehingga penulis dapat mengerti arti sebuah persahabatan. 12. Bapak Sutikno dan Ibu Kusminah sekeluarga, (Hendro, Pipin, Amir, Azhar,

Sukron) Terima kasih banyak atas tumpangannya. Jasa Bapak dan Ibu sekeluarga sulit penulis lupakan, bapak ibu lah yang mengajari tentang kekeluargaan.

13. Konco-konco HMJ ASA 2006, Vian, Tamam, Wahyu Galih, Misbakul tahu, Anam, Suyanto, Isnan, Hanif, Saefuddin blenko, Gus mus, Mugni korek, Ani, Irma, Inayah, Leni F, semoga semuanya sukses dan tercapai semua cita-citanya. Amien.

14. Konco-konco Kost, Muhib, Sofian, Rifqi Gendut, terima kasih atas motivasinya, terus berjuang dan semangat.

(6)

ix

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 08 Desember 2011 Deklarator

(7)

x

Setiap orang mempunyai hak untuk menentukan nasib hidupnya sendiri. Termasuk dalam memilih pasangan hidup, seorang perempuan dewasa yang sehat akalnya berhak untuk memilih calon suaminya sendiri. Menurut Al-Auza’i dan ulama’ Hanafiyah apabila orang tua ingin menikahkan anak gadisnya dengan pilihannya maka harus izin terlebih dahulu kepada gadis dewasa tersebut, karena akad nikah tanpa adanya kerelaan calon mempelai maka pernikahan itu dianggap tidak sah dan batal demi hukum. Tetapi menurut ulama’ Syafi’iyah seperti al -Imam al-Syirazi dalam kitabnya al-Muhazzab, ia menyatakan bahwa seorang ayah atau kakek boleh menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa tanpa kerelaan darinya, karena ayah atau kakek lebih berhak atas gadis tersebut.

Berdasarkan pemaparan diatas, pokok masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana pendapat al-Imam al-Syirazi mengenai bolehnya wali menikahkan gadis dewasa tanpa izin dari gadis tersebut? bagaimana pula istinbat hukum al-Imam al-Syirazi dalam menguatkan pendapatnya tentang bolehnya wali menikahkan gadis dewasa tanpa izin?

Untuk menjawab permasalahan diatas, perlu dilakukan upaya penelitian, sedangkan metode yang dipakai penulis dalam penelitian tersebut adalah library research. Data primer yang digunakan adalah kitab al-Muhazzab dan al-Tanbih, karya al-Imam al-Syirazi, sedangkan data sekundernya adalah semua bahan yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Data-data yang telah terkumpul disusun, ditelaah kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis, dan pendekatan yang bersifat normatif.

(8)

xi

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahim,

Segala puji bagi Allah SWT, yang senantiasa memberi kenikmatan dan kasih sayang tiada terkira kepada hamba-Nya . Sungguh hamba yang tidak tahu diri apabila sepanjang hidupnya tidak pernah mensyukuri nikmat dan karunia yang telah diberikan Tuhannya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya. Beliulah sang revolusioner sejati, pembawa kebenaran dan kedamaian.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari bantuan dan peran serta berbagai pihak baik berupa ide, kritik, saran maupun lainnya. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag., selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang, Bapak Prof. Dr. H. Achmad Gunaryo, M. Soc. Sc., selaku Pembantu Rektor I, Bapak Dr. H. Ruswan, M.A., selaku Pembantu Rektor II, Bapak Dr. H. M. Darori Amin, M.A., selaku Pembantu Rektor III, selamat atas terpilihnya bapak, semoga dapat membawa amanah dan bijaksana dalam mengeluarkan kebijakan.

(9)

xii M.Ag selaku Pembantu Dekan III.

3. Ibu Anthin Lathifah M.Ag selaku ketua jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah, Ibu Nur Hidayati Setyani, S.H., M.H., selaku sekretaris jurusan, serta Ibu Novita Dewi Masithoh, SH., M. Hum, selaku staf ahli jurusan, atas kebijakannya khususnya yang berkitan dengan kelancaran penulisan skripsi ini.

4. Bapak Dr. H. M. Arja Imroni, M.Ag selaku pembimbing I, dan Bapak H. Ahmad Furqan, Lc., MA yang telah bersedia membimbing dalam proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan dan motivasinya serta saran-sarannya hingga skripsi ini selesai. Dari bimbingan tersebut, penulis dapat mengerti tentang banyak hal tentang sesuatu yang berhubungan dengan hukum Islam. Penulis merasa masih harus banyak menimba ilmu dari bapak, penulis tidak dapat membalas keikhlasan dan jasa bapak, hanya ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas waktu yang diluangkan buat penulis. 5. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang terima kasih

yang tak terhingga atas bekal ilmu pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah sekaligus penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan IAIN Walisongo dan Perpustakaan Fakultas Syariah, terimakasih banyak atas pelayanan dan pinjaman bukunya. 7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu yang

(10)

xiii

amal saleh dan mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT, Amin. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Penulis sadar atas kekurangan dan keterbatasan yang ada pada diri penulis.

Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran konstruktif demi kesempurnaan skripsi ini.

Semarang, 08 Desember 2011

Penulis,

(11)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN DEKLARASI ... ix

HALAMAN ABSTRAK ... x

HALAMAN KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xiv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Telaah Pustaka ... 10

E. Metode Penelitian ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH DAN GADIS DEWASA A. Pengertian Wali Nikah ... 17

B. Dasar Hukum Wali Nikah ... 22

C. Syarat-Syarat Wali Nikah ... 31

D. Macam-Macam Wali Nikah ... 34

E. Urutan Wali Nikah ... 36

(12)

xv

WALI NIKAH MEMINTA IZIN KEPADA GADIS DEWASA A. Biografi Al-Imam Al-Syirazi ... 44

1. Riwayat Hidup Al-Imam Al-Syirazi ... 44 2. Karya-karya Al-Imam Al-Syirazi ... 46 B. Pendapat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Hukum Wali Nikah

Meminta Izin Kepada Gadis Dewasa ... 51 C. Istinbat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Bolehnya Wali

Menikahkan Gadis Dewasa Tanpa Izin ... 54

BAB IV : ANALISIS PENDAPAT AL-IMAM AL-SYIRAZI TENTANG HUKUM WALI NIKAH MEMINTA IZIN KEPADA GADIS DEWASA

A. Analisis Pendapat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Hukum Wali

Nikah Meminta Izin Kepada Gadis Dewasa ... 57 B. Analisis Istinbat Al-Imam Al-Syirazi Tentang Bolehnya Wali

Menikahkan Gadis Dewasa Tanpa Izin ... 68 BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 83 B. Saran-Saran ... 85 C. Penutup ... 86 DAFTAR PUSTAKA

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Karena tujuan perkawinan dalam Islam tidak hanya sekedar pada batas pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan nafsu seksual belaka, tetapi memiliki tujuan yang lebih mulia yaitu untuk menciptakan keluarga yang hidup dengan aman dan tenteram (sakīnah), pergaulan yang saling mencintai (mawaddah) dan saling menyantuni (rahmah).1 Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Rum ayat 21:

Artinya: " Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir ”. 2

Perkawinan merupakan suatu akad yang tidak hanya sekedar menjalin hubungan dua pihak secara individual antara suami istri namun lebih jauh dapat mempererat tali hubungan antara keluarga pihak suami dan pihak istri. Agar terjalin sebuah hubungan yang harmonis dalam

1 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 4.

2 Lajnah Pentashih Al-Qur’an

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya,

(14)

rumah tangga sebagaimana tujuan perkawinan maka perkawinan harus didasari dengan rasa kasih sayang yang dimiliki oleh suami istri maupun orang tua. Tanpa kasih sayang maka tujuan perkawinan tidak akan tercapai.

Menurut pasal 1 undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam definisi tersebut disebutkan tujuan pernikahan yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan perkawinan secara temporal seperti nikah mut’ah. Selain itu juga

dijelaskan dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam: “ Perkawinan menurut

hukum islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsāqon ghōlidhon untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Ungkapan " akad yang sangat kuat atau mitsāqon ghōlidhon " merupakan penjelasan dari ungkapan “ ikatan lahir batin” yang terdapat

(15)

merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang telah melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.3

Disamping agama memandang perkawinan sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan Sunnah Allah dan Sunnah Rasul. Sunnah Allah berarti menurut qudrat dan iradah Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya. 4 Karena melaksanakannya merupakan ibadah maka dalam perkawinan haruslah terpenuhi syarat-syarat dan rukunnya, salah satu rukunnya adalah wali nikah, meskipun ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, wali merupakan rukun dalam sebuah perkawinan. Apabila pernikahan dilakukan tanpa adanya wali maka pernikahan itu tidak sah. Begitu juga tidak sah pernikahan tanpa wali menurut ulama Hanabilah, meskipun dalam pengambilan dalilnya berbeda dengan Malikiyah dan Syafi’yah.

Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, wali bukanlah termasuk rukun nikah yang wajib terpenuhi melainkan hanya sebagai syarat sahnya perkawinan bagi anak kecil, orang gila laki-laki / perempuan meskipun

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahah dan

Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenata Media, Cet ke-II, hlm. 41. 4

Ibid. 5

Dedi Supriyadi, Fiqih Munakahah Perbandingan, Dari Tekstualitas sampai Legislasi,

(16)

dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat orang yang dipilihnya itu sekufu dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahar mitsil.6

Dalam sebuah perkawinan yang paling berhak menjadi wali nikah adalah ayah selaku orang tua. Bagi orang tua anak adalah bagian dari harapan terbesar untuk meneruskan tugas kekhalifahan di muka bumi. Demi regenerasi itu, para orang tua senantiasa menginginkan seluruh keturunannya menjadi putra - putri yang shalih dan shalihah, serta memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Lebih dari itu, setiap manusia menginginkan seluruh keturunannya menjadi perhiasan, penyejuk mata (qurrota a‟yun) bagi mereka. Allah swt berfirman dalam surat Al-Furqan ayat 74:

Artinya: " Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa “. 7

Namun demikian, anak tetap bukanlah hak milik bagi orang tua. Ia adalah titipan Allah swt semata. Orang tua berkewajiban mengasuh, membesarkan, mendidik, dan menikahkan putra-putri mereka apabila telah waktunya tiba. Walaupun demikian, apakah kewajiban ini menjadikan

6

Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh „Ala Al-Mazāhib Al-Khamsah, Fiqih Lima

Mazhab: Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟i,Hambali ,Terj. Masykur. A. B. et. Al., Jakarta: Lentera,

2007, Cet. ke-VI, hlm. 345. 7

(17)

orang tua berhak sepenuhnya menentukan calon pasangan bagi anak-anaknya terutama anak perempuannya.

Dalam hal memilihkan pasangan hidup ini, masih kita jumpai pemaksaan kehendak orang tua atas anak gadisnya. Bahkan tidak jarang orang tua memaksakan kehendak dengan semena-mena terhadap anaknya dengan alasan kasih sayang dan demi kebaikan anaknya.

Hal itu terjadi, apakah karena masih banyak pemahaman di kalangan orang tua bahwa anak adalah hak milik bagi mereka. Orang tua berhak sepenuhnya untuk menentukan kehidupan sang anak, termasuk menentukan calon suami yang hendak menjadi pasangan hidup bagi si anak gadis untuk sepanjang umurnya. Oleh sebab itu, jika seorang anak gadis menolak calon suami pilihan orang tua, seorang ayah merasa berhak memaksakan kehendaknya tanpa mempertimbangkan persetujuan calon mempelai. Padahal telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 16 yang menyatakan bahwa: “ Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai ”.

Hal ini didasarkan pada pemahaman ajaran agama mengenai hak

ijbār yang dimiliki oleh orang tua yaitu ayah atau kakek selaku wali

(18)

berusia tamyiz (abnormal).8 Yang dimaksud berlakunya wali mujbir yaitu seorang wali berhak mengakadnikahkan orang yang diwakilkan diantara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka terlebih dahulu. Akadnya berlaku juga bagi orang yang diwakilkan tanpa melihat ridha atau tidaknya. 9

Seorang perempuan yang masih perawan yang akan dinikahkan cukup dimintai izinnya. Sebagai salah satu bentuk persetujuan izin tersebut adalah diam. Tetapi, ayah dan kakek memiliki hak istimewa untuk memaksa menentukan pilihan pasangan hidupnya. Hak ijbar oleh banyak orang dipahami sebagai hak bagi wali (ayah atau kakek) untuk menjodohkan anak atau cucu perempuan. Ulama berbeda pendapat mengenai boleh dan tidaknya seorang ayah atau kakek menikahkan anak / cucu gadisnya yang sudah dewasa tanpa izinnya.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa seorang ayah yang bertindak sebagai wali tidak diperkenankan menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa tanpa sepengetahuan atau izinnnya. Dan juga tidak boleh memaksanya, karena pemaksaan hanya berlaku bagi anak kecil, orang gila laki-laki / perempuan walaupun dewasa. 10

8

Sayid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Fiqih Sunnah, Terj. Nor Hasanuddin, dkk., Jakarta Pusat:

Pena Pundi Aksara, 2007, Cetakan ke-II, hlm. 18. 9

Ibid. 10

Imam Kamaludin Muhammad bin Abdul Wahid Ibnu Al-Hammam Al-Hanafi, Fathul

(19)

Menurut ulama Malikiyah, paksaan dapat diberlakukan pada gadis dewasa dan janda kecil (belum dewasa). 11

Al-Imam al-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm, mengatakan bahwa : “ janda yang masih kecil tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya, dan tidak boleh menikahkan perawan / gadis kecuali dengan izinnya pula, tidak boleh menikahkan gadis kecil kecuali ayah atau kakeknya setelah kematian ayahnya “ .12 Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW yang sesungguhnya Rasulullah S.A.W telah bersabda: Janda-janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedang gadis itu dimintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya adalah diamnya ”.

Tetapi pendapat ini berbeda dengan pendapat para muridnya dan ulama Syafi’iyah yang lain. Al-Imam al-Mawardi mengatakan: “ gadis itu

Al-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al- Salmi (209-279 H ), Sunan

(20)

boleh dipaksa menikah oleh sebagian walinya (ayah / kakek) baik itu masih kecil, dewasa, berakal atau gila “.14

Menurut al-Imam al-Ramli boleh bagi ayah menikahkan gadis yang masih kecil dan dewasa (baik berakal atau gila) tanpa izinnya dengan mahar mitsil tunai (berlaku umum) di negaranya. 15

Sedangkan Imam Syirazi juga berpendapat sama dengan al-Imam al-Mawardi dan al-al-Imam al-Ramli sebagaimana dalam kitabnya al-Muhazzab:

Artinya: “ Seorang ayah atau kakek boleh menikahkan gadisnya tanpa ridhanya baik gadis itu masih kecil atau dewasa ”.

Dalam kitabnya al-Tanbīh ia juga menyatakan:

Artinya: “ Apabila wanita itu merdeka dan mengaku sekufu, maka wajib bagi wali untuk menikahkannya, apabila wanita itu masih gadis maka boleh bagi ayah atau kakek menikahkannya dengan tanpa persetujuannya ” .

Jika melihat problematika diatas maka nampak sekali perbedaan pendapat antara mazhab satu dengan yang lain. Perbedaan pendapat

14

Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, al-Hāwī al-Kabīr, Juz IX,

Libanon: Beirut, Dar al-Kutub al-Alamiyah, hlm. 69. 15

Imam Syamsuddin al-Ramli, Nihāyatul Muhtāj ila as-Syarhi al- Minhāj, Libanon:

Beirut, Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1996, hlm. 228-229. 16

Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al-Syirazi, Al-Muhazzab, Juz II, Beirut: Dar

al-Kutub al-Alamiyah, hlm. 429. 17

(21)

tersebut tentunya tidak terlepas dari keumuman hadis dan juga illat hukum yang menjadi akar munculnya perbedaan pendapat itu sendiri.

Perbedaan pendapat tersebut tidak hanya antar mazhab saja, tetapi terjadi antar ulama syafi’iyah, yaitu antara al-Imam al-Syafi’i sendiri dengan murid-muridnya. Mayoritas ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa seorang ayah atau kakek selaku wali memang boleh menikahkan gadis dewasa tanpa izinnya, hanya saja mereka berbeda dalam hal istinbat hukumnya. Salah satunya adalah al-Imam al-Syirazi.

Adapun dasar hukum yang dipakai al-Imam al-Syirazi untuk menguatkan pendapatnya adalah hadis Nabi SAW yang berbunyi:

Artinya: " Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Mansur, kemudian berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ziyad bin Sa'id, dari Abdillah bin Fadhol dari Nafi' bin Jubair dari ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Nabi S.A.W telah bersabda: “ janda itu lebih berhak atas dirinya sendiri dari pada walinya, sedangkan gadis ayahnya meminta pendapat tentang dirinya ”.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis bermaksud mengkaji lebih mendalam dalam bentuk skripsi dengan judul: “ Analisis Pendapat al-Imam al-Syirazi Tentang Hukum Wali Nikah Meminta Izin Kepada Gadis Dewasa ”

18

(22)

B. Rumusan Masalah

Dari Latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pendapat al-Imam al-Syirazi tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa?

2. Bagaimana istinbat hukum al-Imam al-Syirazi tentang bolehnya wali menikahkan gadis dewasa tanpa izin?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pendapat al-Imam al-Syirazi tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa.

2. Untuk mengetahui istinbat hukum al-Imam al-Syirazi tentang bolehnya wali menikahkan gadis dewasa tanpa izin.

D. Telaah Pustaka

Al-Imam al-Syirazi adalah seorang tokoh fiqih Islam yang bermazhab Syafi’i yang merupakan salah satu mujtahid dikalangan mazhab syafi’i. Oleh karena itu fatwa-fatwanya digunakan rujukan bagi para ulama fiqih dan murid-muridnya dalam perkembangan fiqih.

(23)

baik kecil maupun dewasa ) tanpa izinnya. Dalam penelusuran, penulis belum menemukan skripsi yang membahas tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa. Tetapi untuk kajian yang lebih mendalam, penulis perlu melakukan penelaahan terhadap skripsi lain yang mempunyai relevansi dengan masalah tersebut.

Skrispi yang disusun oleh Abdul Ghufron (NIM 2104035) yang berjudul “ Analisis Pendapat Imam al-Syafi'i Tentang Wali Nikah Bagi Janda Di Bawah Umur ”. Dalam skripsi ini menjelaskan tentang pendapat Imam al-Syafi’i bahwa wali nikah merupakan suatu keharusan sebagai syarat sahnya perkawinan dan tidak sah nikah tanpa wali meskipun bagi janda dibawah umur. Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa janda yang

masih kecil tidak boleh dipaksa menikah oleh walinya. Tetapi dalam analisinya skripsi ini lebih menekankan bahwa wali nikah merupakan suatu rukun yang wajib terpenuhi sebagai syarat sahnya nikah berdasarkan dalil-dalil yang dijadikan dasar hukum. Apabila pernikahan itu tanpa harus ada wali nikah maka aspek madharatnya lebih besar.

Skripsi yang disusun oleh Wirdah Rosalin (NIM 2100105 ) yang berjudul “ Analisis Pendapat Ahmad Hassan Tentang Bolehnya Wanita

(24)

berlawanan dengan beberapa keterangan dari al-Qur'an, Hadis dan riwayatnya yang sahih dan kuat. Dengan tertolaknya keterangan-keterangan yang mewajibkan wali itu, berarti wali tidak perlu, artinya tiap-tiap wanita boleh menikah tanpa wali. Jika sekiranya seorang wanita tidak boleh menikah kecuali harus ada wali, tentunya al-Qur'an menyebutkan tentang itu. Demikian pendapat A. Hassan. Sedangkan jumhur ulama mensyaratkan adanya wali nikah dalam akad perkawinan dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri. Dengan kata lain pendapat yang lebih maslahat adalah yang menganggap nikah tanpa wali adalah batal. Karena peran dan fungsi wali sangat penting.

Skripsi yang susun oleh Khoirul Jaza (NIM 2103220) yang berjudul “ Studi Analisis Pendapat Imam Malik Tentang Wali Washi‟ Dari Bapak Lebih Didahulukan Sebagai Wali Nikah Dari Pada Wali Nasab “. Skripsi ini menjelaskan tentang pendapat Imam Malik bahwa wali yang timbul karena sebab wasiat artinya wasiat dari bapak itu lebih didahulukan untuk menikahkan seorang perempuan dari pada wali nasab, karena wali washi dari bapak termasuk wali mujbir, sehingga wali-wali yang lainnya tidak bisa menduduki kedudukan untuk menikahkan seorang perempuan jika masih ada wali washi dari bapak. Menurut Imam Syafi’i wali washi tidak berhak menjadi wali bagi perempuan yang diasuhnya. Dalam analisisnya penulis skripsi ini sependapat dengan pendapat Imam Malik.

Skripsi yang disusun oleh Basyid (NIM 210584) yang berjudul “

(25)

Angkat ”. Dalam skripsi ini menjelaskan tentang hak wali anak angkat menurut Imam Syafi’i tetap pada orang tua kandung, bukan orang yang mengadopsinya (orang tua angkat). Anak angkat bukanlah anak kandung, tetapi hanya mendapatkan asuhan dalam kehidupannya. Hak wali berpindah manakala orang tua tidak ada atau adhal. Sedangkan yang berhak menjadi pengganti bagi orang yang tidak punya wali adalah hakim. Dari berbagai penelitian diatas maka sudah jelas terdapat perbedaan yang signifikan dengan skripsi yang akan penulis susun. Dalam skripsi ini penulis lebih menekankan pada argumentasi pendapat al-Imam al-Syirazi mengenai hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa dan bagaimana istinbat hukum yang digunakan al-Imam al-Syirazi serta akibat hukumnya ketika gadis dinikahkan oleh walinya tanpa kerelaaan darinya.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan logis dalam mencari data yang berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya dicarikan cara pemecahannya. Metode penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini sebagai berikut: 19

19

(26)

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian kepustakakaan (Library Research) yaitu Penelitian yang mengandalkan data dari bahan pustaka untuk dikumpulkan dan kemudian diolah sebagai bahan penelitian.20 Adapun bahan yang dikumpulkan meliputi beberapa teori, kitab-kitab dan pendapat para ahli dan karangan ilmiah lain yang mempunyai kaitan dengan pembahasan skripsi ini.

2. Sumber Data

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari sumber asli yang memuat informasi. 21 Sumber data primer ini adalah kitab karya al-Imam al-Syirazi yaitu al-Muhazzab dan al-Tanbīh.

b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli dan memuat informasi. 22 Adapun data sekunder dalam penulisan skripsi ini diantaranya adalah:

1. Kitab Al-Umm karangan al-Imam al-Syafi’i

2. Kitab Al-Hāwī al-Kabīr karangan al-Imam al-Mawardi 3. Kitab Minhāj al-Thālibīn karangan al-Imam an-Nawawi. 4. Kitab Nihāyatul Muhtāj karya al-Imam al-Ramli

5. Kitab Fathul Qadir karangan Ibnu al-Hammam al-Hanafy

20

Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqih, Bogor: Prenada Media, 2003, hlm. 89.

21

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta: Lkis, 1999, hlm. 9.

22

Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, Cet.

(27)

6. Buku-buku lain yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode dokumentasi yaitu dengan mencari dan menelaah berbagai buku dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.23 Dengan metode ini maka penulis tidak hanya mengumpulkan kitab-kitab fiqih saja, tetapi juga kitab-kitab lain yang saling berkaitan agar dapat dikaji secara komprehensif.

4. Metode Analisis Data

Setelah data-data hasil penelitian kepustakaan terkumpul maka kemudian penulis menganalisis dengan menggunakan metode deskriptif-analisis yaitu dengan cara menggambarkan data yang berkaitan dengan pendapat al-Imam al-Syirazi tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa untuk kemudian dianalisis bagaimana istinbat hukum wali menikahkan gadis dewasa tanpa izin yang digunakan oleh al-Imam al-Syirazi.

23

Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Tekhnik,

(28)

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab yang mempunyai korelasi antara satu dengan yang lainnya.

Bab pertama berisi pendahuluan, yaitu gambaran secara umum dengan memuat: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi tinjauan secara umum tentang wali nikah meliputi: pengertian wali nikah, dasar hukum wali nikah, syarat-syarat wali nikah, macam-macam wali nikah, urutan wali nikah, pengertian gadis dewasa.

Bab ketiga berisi pendapat al-Imam al-Syirazi tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa yang meliputi: biografi al-Imam al-Syirazi, karya-karyanya, pendapat al-Imam al-Syirazi tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa, serta istinbat hukum al-Imam al-Syirazi tentang bolehnya wali menikahkan gadis dewasa tanpa izin.

Bab keempat berisi analisis terhadap pendapat al-Imam al-Syirazi tentang hukum wali nikah meminta izin kepada gadis dewasa dan analisis istinbat hukum al-Imam al-Syirazi tentang bolehnya wali menikahkan gadis dewasa tanpa izin.

(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH

A. Pengertian Wali Nikah

Secara bahasa wali nikah merupakan gabungan dari kata wali dan nikah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wali mempunyai banyak makna, antara lain: 21

1. Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa.

2. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).

3. Orang saleh (suci), penyebar agama. 4. Kepala pemerintah dan sebagainya.

Secara spesifik, perwalian, dalam literatur fiqih disebut dengan / , seperti kata yang juga bisa disebut dengan

. Secara etimologis, / , memiliki beberapa arti. Diantaranya adalah yang berarti cinta, dan yang berarti pertolongan.22 Seperti Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 56:

21

Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:

Balai Pustaka, 1975, hlm. 1175. 22

Ahmad Warsan Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-

(30)

Artinya: " Barang siapa yang mengambil Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah orang-orang yang pasti menang ”. (QS. Al-Ma’idah: 56).23

Dan surat at-Taubah Ayat 71

Artinya: " Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."24

Selain itu wali juga berarti kekuasaan / otoritas ( as-sulthah wal-qudrah), seperti dalam ungkapan al-wali, yakni orang yang mempunyai kekuasaan. Hakikat dari al-walayah (al-wilayah) adalah tawally al-amr ( mengurus/ menguasai sesuatu). 25

Secara istilah wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai bidang hukumnya. 26 Menurut Wahbah al-Zuhayli, wali ialah “ kekuasaan / otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) kepada izin orang lain.” 27

23

Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 170.

24 Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen Agama RI

, op. cit, hlm. 291.

Wahbah Al-Zuhayli, Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, 1409 H / 1989 M, Beirut: Libanon:

(31)

Sedangkan kata nikah secara bahasa diartikan adh-dhamm (berkumpul atau bergabung) dan al-ikhtilāth (bercampur). Dalam bahasa Arab misalnya dikatakan:

Artinya: " Pohon-pohon itu kawin ”.

Dimaksudkan ketika bergabung satu dengan yang lain. Atau dikatakan:

Artinya: " Hujan itu bergabung dengan tanah ”.

Maksudnya ketika air hujan itu bercampur dengan tanah.

Kata lain yang sama artinya dengan nikah adalah az-zawāj, yang berasal dari kata yang diartikan pasangan, mengawinkan atau menjodohkan. Sebagaimana disebut dalam surat Ad-Dukhan ayat 54:

Artinya: " Dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari ”.

(32)

Keempat, nikah diartikan adh-dhamm (bergabung secara mutlak) dan al-ikhtilāth (percampuran).28

Diantara ayat-ayat yang menunjukkan kata nikah adalah surat Al-Baqarah ayat 230, yang berbunyi:

Artinya : " Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami lain menceraikannya maka tidak ada dosa keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah yang diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui ”. 29

Ayat ini menjelaskan bahwa jika seorang perempuan telah bercerai dengan suaminya dengan talak tiga, maka tidak halal lagi bagi perempuan itu kawin dengan bekas suaminya itu, kecuali ia lebih dahulu kawin dengan laki-laki lain. Kemudian setelah dia bercerai dengan suaminya yang kedua, barulah dia boleh menikah kembali dengan bekas suaminya yang pertama.

Said bin Musayyab, seorang tabi’in dan murid Abu Hurairah dalam menafsirkan, “ sehingga perempuan itu kawin dengan suami yang lain”

29 Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen Agama RI,

(33)

akad yang baru. Artinya sesudah itu ia kembali kepada suaminya yang pertama. Tetapi pendapatnya itu ditolak oleh jumhur, salaf, dan khalaf dengan menyatakan, bahwa disamping akad nikah dengan suami yang kedua, disyaratkan keduanya harus bersetubuh dan tidak memadai semata-mata akad saja dengan tidak campur.30

Dalam pengertian secara istilah, ulama Syafi’iyah merumuskan pengertian nikah sebagaimana berikut:

Artinya: " Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz nakaha atau zawaja ” .

Apabila kata wali dan nikah digabungkan maka berarti orang yang menjadi wali dalam pernikahan. Menurut Prof. Amir Syarifuddin wali nikah adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan dilakukan oleh walinya.31

Sedangkan Menurut Muhammad Jawad Mughniyyah, “ Perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar’i atas golongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna,

30

Syeikh H. Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsīr Ahkām, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-I,

hlm. 121. 31

(34)

karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri ”.32

Atas dasar pengertian tersebut, kata wali dapat dipahami alasan hukum Islam menetapkan ayah sebagai orang yang paling berhak untuk menjadi wali bagi kepentingan anaknya. Hal ini karena ayah adalah orang yang paling dekat, siap menolong, serta mengasuh dan membiayai anak-anaknya, barulah hak perwaliannya digantikan oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah, dan seterusnya. 33

B. Dasar Hukum Wali Nikah

Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Memang tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an yang jelas secara ibārat al-nash yang menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan. Tetapi dari ayat tersebut secara isyārat nash dapat dipahami menghendaki adanya wali .34

Diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan adanya wali adalah surat Al-Baqarah ayat 232 yang berbunyi:

32

Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. 345.

33

Dedi Supriyadi, op. cit., hlm. 32. 34

(35)

Artinya: " Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui ”. 35

Kalau sang istri telah habis masa iddahnya, dan tidak ada halangan lain yang ditetapkan agama, maka bekas suami, para wali, atau siapapun tidak boleh melakukan ‘adhl, yakni menghalang-halangi mereka, wanita itu menetapkan sendiri masa depannya menyangkut perkawinan. Siapa saja yang dipilihnya baik suami mereka yang telah pernah menceraikannya, maupun pria lain yang ingin dikawininya dan bakal menjadi suami-suami mereka, maka itu adalah haknya secara penuh, karena janda berhak atas dirinya daripada yang lain.36

Ayat ini ditujukan kepada para wali, jika mereka tidak mempunyai hak dalam perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalang-halangi.37

Ayat lain yang menunjukkan tentang wali nikah adalah surat Al-Baqarah (2) ayat 221 yang berbunyi:

35 Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen Agama RI

, op. cit., hlm. 56. 36

M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Misbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian Dalam Al-Qur’an,

Juz I, Jakarta: Lentera Hati, 2000, hlm. 501. 37

(36)

Artinya: "Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran ”.38

Ayat di sini mengandung pengertian bahwa para wali dilarang mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan musyrik. Paling tidak ada dua hal yang perlu digaris bawahi:

Pertama, penggalan ayat tersebut ditujukan kepada para wali, memberi isyarat bahwa wali mempunyai peranan yang tidak kecil dalam perkawinan putri-putrinya atau wanita-wanita yang berada dibawah perwaliannya. Peranan tersebut dibahas oleh para ulama dan menghasilkan aneka pendapat. Ada yang berpendapat sangat ketat, sampai mensyaratkan persetujuan dan izin yang bersifat pasti dari para wali dalam penentuan calon suami bagi putrinya. Tidak sah perkawinan dalam pandangan ini tanpa persetujuan itu. Tetapi ada juga yang hanya memberi sekedar hak untuk mengajukan tuntutan pembatalan jika perkawinan berlangsung tanpa

38 Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen Agama RI,

(37)

restunya. Menurut penganut pandangan ini, tuntutan tersebut pun tidak serta merta dapat dibenarkan, kecuali setelah memenuhi sejumlah syarat. 39

Betapapun demikian perlu diingat, bahwa perkawinan yang dikehendaki Islam adalah perkawinan yang menjalin hubungan harmonis antara suami istri, sekaligus antar keluarga, bukan saja keluarga masing-masing tetapi juga antara kedua keluarga mempelai. Dari sini peranan orang tua dalam perkawinan menjadi sangat penting. Baik dengan memberi kepada orang tua wewenang yang besar, maupun sekedar restu, tanpa mengurangi hak anak. Oleh karena itu, walaupun Rasul memerintahkan orang tua supaya meminta persetujuan anak gadisnya, namun karena tolak ukur anak itu tidak jarang berbeda dengan tolak ukur orang tua, maka tolak ukur anak, ibu dan bapak harus dapat menyatu dan mengambil keputusan perkawinan.

Kedua, larangan mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan orang-orang musyrik. Walaupun pandangan mayoritas ulama dapat memasukkan ahl al-kitāb dalam kelompok dinamai musyrik, tetapi ini bukan berarti ada izin untuk pria ahl al-kitāb untuk mengawini wanita muslimah. Larangan tersebut, menurut ayat di atas,berlanjut hingga mereka beriman, sedang ahl al-kitāb tidak dinilai beriman dengan iman yang dibenarkan oleh Islam. Maka bagi para wali dilarang menikahkan

39

(38)

wanita-wanita muslimah dengan orang-orang musyrik dan juga ahl al-kitāb. 40

Selain itu dijelaskan dalam surat Al-Nur (24) ayat 32 yang berbunyi:

Artinya: " Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui ”.

Ibarāt nash ketiga ayat tersebut tidak menunjukkan keharusan

adanya wali, karena yang pertama merupakan larangan menghalangi perempuan yang habis masa iddahnya untuk kawin, ayat kedua larangan perkawinan antara perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik, sedangkan ayat ketiga suruhan untuk mengawinkan orang-orang yang masih bujang. Namun karena dalam ketiga ayat itu khitāb Allah berkenaan dengan perkawinan dialamatkan kepada wali, dapat pula dipaham daripada keharusan adanya wali dalam perkawinan.

Dari pemahaman ketiga ayat tersebut diatas, jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah ) menetapkan keharusan adanya wali dalam perkawinan.

40

(39)

Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan ulama Syi’ah Imamiyah berkesimpulan bahwa perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat melakukan sendiri perkawinannya dan tidak perlu wali mengakadkannya. Alasan rasionalnya ialah orang yang telah dewasa dan sehat akalnya dapat bertindak hukum dengan sendiri tanpa diperlukan bantuan walinya.

Adapun ayat Al-Qur’an yang dijadikan dasar hukum ulama Hanafiyah dan ulama Syi’ah Imamiyah adalah:

Surat Al-Baqarah (2) ayat 232:

Artinya: " Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui ”. 41

Surat Al-Baqarah (2) ayat 230:

41 Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen Agama RI

(40)

Artinya : " Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain ”. Kemudian jika suami lain menceraikannya maka tidak ada dosa keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah yang diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.

Surat Al-Baqarah (2) ayat 234:

Artinya: "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat ”.

Menurut ulama Hanafiyah dan ulama Syi’ah Imamiyah ayat pertama diatas dengan tegas mengatakan perempuan itu mengawini bekas suaminya dan wali dilarang mencegahnya. Ayat kedua jelas menyatakan perempuan itu melakukan perkawinan dengan laki-laki lain dan ayat ketiga perempuan itu berbuat atas dirinya (maksudnya kawin). Dalam ketiga ayat tersebut fā’il atau pelaku dari perkawinan itu adalah perempuan itu sendiri tanpa disebutkan wali. 42

42

(41)

Pendapat Hazairin yang dikutip oleh Sayuti Thalib menerangkan bahwa memang wali tidak menjadi syarat bagi sahnya perkawinan seorang perempuan yang telah dewasa. 43

Jumhur ulama di samping menggunakan ayat-ayat diatas sebagai dalil yang mewajibkan wali dalam perkawinan, mereka menguatkan pendapatnya itu dengan serangkaian hadis dibawah ini:

a. Hadis Nabi dari Abu Burdah bin Abi Musa menurut riwayat Ahmad

Artinya: " Tidak boleh nikah tanpa wali ".

b. Hadis Nabi dari Aisyah yang dikeluarkan oleh empat perawi hadis selain al-Nasa’i

Artinya: " Perempuan mana saja yang kawin tanpa izin walinya, perkawinannya batal ".

c. Hadis dari Abu Hurairah yang mengutip ucapan Nabi:

Artinya: " Perempuan tidak boleh mengawinkan perempuan dan perempuan juga tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri ". Golongan Hanafiyah dan Syi’ah Imamiyah yang tidak mewajibkan

adanya wali bagi perempuan dewasa dan akal sehat, menanggapi hadis

43

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UII press, 1986, Cet ke-V, hlm.

(42)

pertama diatas dengan menyatakan bahwa hadis tersebut mengandung dua arti:

Pertama: Tidak sempurna suatu perkawinan tanpa adanya wali, bukan berarti tidak sah. Kedua: Bila kata itu tidak diartikan dengan tidak sah, maka arahnya adalah kepada perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akalnya, karena terhadap dua perempuan tersebut ulama hanafiyah juga mewajibkan adanya wali sebagaimana ulama jumhur. 44

Sedangkan terhadap hadis yang kedua ulama Hanafiyah dan pengikutnya mengatakan bahwa perkawinan yang batal itu adalah bila perkawinan yang dilakukan tanpa izin wali, bukan yang mengawinkannya hanyalah wali. Hadis yang melarang perempuan mengawinkan dirinya atau perempuan lain itu adalah bila perempuan itu masih kecil sedangkan yang sudah dewasa boleh saja ia mengawinkan dirinya atau orang lain.

Disamping pembelaan Hanafiyah terhadap hadis-hadis yang dikemukakan jumhur ulama, ulama Hanafiyah juga mengemukakan hadis Nabi yang mendukung pendapatnya. Diantaranya adalah hadis Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat Muslim yang berbunyi:

Artinya: " Janda itu berhak atas dirinya sendiri daripada walinya ". Juga hadis dari Ibnu Abbas menurut riwayat Abu Daud, dan al-Nasa’i dan disahkan oleh Ibnu Hibban yang bunyinya:

44

(43)

Artinya: " Tidak ada urusan wali terhadap perempuan yang sudah janda".

Dua hadis tersebut diatas digunakan oleh ulama Hanafiyah dan pengikutnya untuk menguatkan pendapatnya dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an tersebut sebelumnya untuk menetapkan tidak wajibnya wali bila yang melangsungkan perkawinan itu adalah perempuan yang sudah dewasa dan akal sehat.

C. Syarat-Syarat Wali Nikah

Seseorang dapat menjadi wali dalam pernikahan apabila telah memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:45

1. Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil dan orang gila tidak berhak menjadi wali. Ini merupakan syarat umum bagi seseorang yang melakukan aqad.

2. Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali. Ulama Hanafiyah dan ulama Syi’ah mempunyai pendapat yang berbeda dalam persyaratan ini. Menurut mereka perempuan yang telah dewasa dan berakal sehat dapat menjadi wali untuk dirinya sendiri dan dapat pula menjadi wali untuk perempuan lain yang mengharuskan adanya wali. 3. Muslim. Tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali

untuk muslim. Hal ini berdalil dari firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 28:

45

(44)

Artinya: " Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu) " .

Dan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 51:

Artinya: " Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim " .

4. Orang merdeka

5. Tidak berada dalam pengampuan atau mahjūr ‘alaih, alasannya ialah bahwa orang yang berada dibawah pengampuan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya. Kedudukan sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum.

(45)

7. Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil, serta tetap memlihara murū’ah atau sopan santun. Ulama Syi’ah tidak mensyaratkan adilnya wali dalam perkawinan. Menurut Sayyid sabiq seorang wali tidak disyaratkan adil. Jadi, seorang yang durhaka tidak kehilangan hak menjadi wali dalam perkawinan kecuali bila kedurhakaannya melampaui batas-batas kesopanan yang berat. Ia tidak bias menjadi wali karena ia jelas tidak mententramkan jiwa orang yang diurusnya. Karena itu, haknya menjadi wali menjadi hilang.46 Keharusan wali itu adil berdasarkan sabda Nabi dalam hadis dari Aisyah menurut riwayat Daruquthniy:

Artinya: " Tidak sah niklah kecuali bila ada wali dan dua orang saksi yang adil " .

8. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah. Hal ini berdasarkan hadis Nabi dari „Utsman menurut riwayat Muslim yang mengatakan:

Artinya:" Orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan seseorang dan tidak boleh pula dinikahkan oleh seseorang ".

46

(46)

Dalam hal persyaratan ini ulama Hanafiyah mengemukakan pendapat yang berbeda. Menurut mereka wali yang melakukan ihram dapat menikahkan pasangan yang sedang ihram.

D. Macam-Macam Wali Nikah

Bagi fuqaha’ yang memegangi keharusan adanya wali dalam perkawinan, macam-macam wali itu ada tiga, yaitu:47

1. Wali nasab (keturunan), yaitu wali yang berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan yang akan menikah.

2. Wali mu’thiq, yaitu orang yang menjadi wali terhadap perempuan bekas hamba sahaya yang dimerdekakannya.

3. Wali hakim atau wali sulthan, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.

Dalam menetapkan wali nasab terdapat beda pendapat dikalangan ulama. Beda pendapat ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari Nabi, sedangkan Al-Qur’an tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yang berhak menjadi wali.

Jumhur ulama yang terdiri dari Syafi’iyah, Hanabilah, Zahiriyah, dan Syi’ah Imamiyah membagi wali itu menjadi dua kelompok:

Pertama: wali dekat atau wali qarīb, yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya. Ia dapat

47

(47)

mengawinkan anaknya yang masih berada dalam usia muda tanpa meminta persetujuan dari anaknya tersebut. Wali dalam kedudukan seperti ini disebut wali mujbir. Ketidakharusan meminta pendapat dari anaknya yang masih muda itu adalah karena orang yang masih muda tidak mempunyai kecakapan untuk memberikan persetujuan. Ulama Hanabilah menempatkan orang yang diberi wasiat oleh ayah untuk mengawinkan anaknya berkedudukan sebagai ayah.

Kedua: wali jauh atau wali ab’ad, yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah atau kakek, juga selain dari anak dan cucu, karena anak menurut ulama jumhur tidak boleh menjadi wali terhadap ibunya dari segi dia anak, bila anak berkedudukan sebagai wali hakim boleh dia mengawinkan ibunya sebagai wali hakim. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:

a. Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada b. Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada

c. Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada d. Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada e. Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada

f. Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada

g. Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada h. Anak paman seayah

(48)

Ulama Hanafiyah menempatkan seluruh kerabat nasab, baik sebagai ashābah dalam kewarisan atau tidak sebagai wali nasab, termasuk zaul arhām. Menurut mereka yang mempunyai hak ijbar bukan hanya ayah

tetapi semuanya mempunyai hak ijbar, selama yang akan dikawinkan itu adalah perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akalnya.

Ulama Malikiyah menempatkan seluruh kerabat nasab yang ashābah sebagai wali nasab dan membolehkan anak mengawinkan ibunya,

bahkan kedudukannya lebih utama dari pada ayah atau kakek. Golongan ini menambahkan orang yang diberi wasiat oleh ayah sebagai wali dalam kedudukan sebagaimana kedudukan ayah. Berbeda dengan ulama Hanafiyah golongan ini memberikan hak ijbar hanya kepada ayah saja dan menempatkannya dalam kategori wali aqrāb.

E. Urutan Wali Nikah

Menurut ulama Syafi’iyah, orang yang harus didahulukan untuk menjadi wali nikah adalah ayah dari perempuan yang bersangkutan. Kalau ayahnya telah meninggal dunia atau disebabkan tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan syari’at semisal; hilang ingatan, pikun, pergi tidak

(49)

Kalau yang disebutkan di atas tidak ada, maka yang berhak menjadi wali adalah saudara laki-laki yang sekandung (seayah seibu). Kalau saudara laki-laki yang dimaksud tidak ada, maka walinya adalah saudara laki-laki yang seayah. Kalau wali yang disebut di atas tidak ada, maka yang berhak menjadi wali adalah anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung. Kalau masih tidak ada juga, maka yang berhak menjadi wali adalah anak dari saudara laki-laki yang seayah, demikian seterusnya sampai ke bawah.

Kalau wali yang diatas tidak ada, maka yang berhak menjadi wali adalah paman (saudara ayah yang sekandung). Kemudian yang berhak menjadi wali setelah urutan di atas adalah paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah. Urutan berikutnya kalau masih tidak ada walinya adalah sepupu (anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayahnya sekandung. Sedangkan urutan berikutnya, yang berhak menjadi wali adalah saudara sepupu (anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah). Dan begitulah seterusnya sampai ke bawah. 48

Apabila diuraikan secara rinci, wali nikah menurut ulama Syafi’iyah sebagai berikut:

a. Ayah kandung

b. Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya ke atas dalam garis laki-laki; c. Saudara laki-laki sekandung;

d. Saudara laki-laki seayah;

48

Muhammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta:

(50)

e. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung; f. Anak laki-laki saudara laki-laki yang seayah;

g. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung; h. Anak laki-laki dari anak laki-laki seayah;

i. Saudara laki-laki ayah kandung;

j. Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah); k. Anak laki-laki paman sekandung;

l. Anak laki-laki paman seayah m. Saudara laki-laki kakek sekandung;

n. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung; o. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah.49

Sedangkan menurut ulama Malikiyah urutan wali nikah adalah: a. Ayah (al-Ab)

b. Al-Washi yaitu orang yang menerima wasiat dari ayah (al-Ab) untuk menjadi wali nikah.

c. Anak laki-laki, meskipun itu hasil dari hubungan perzinaan. d. Cucu laki-laki.

e. Saudara laki-laki yang sekandung. f. Saudara laki-laki yang seayah;

g. Anak laki-laki dari saudara yang sekandung; h. Anak laki-laki dari saudara yang seayah; i. Kakek yang seayah;

49

Muhammad Syarbini, Al-Iqna’ fī hilli al Alfād AbīSujā’, Bandung: Daar Ikhya’

(51)

j. Paman yang sekandung dengan ayah;

k. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah; l. Anak laki-laki dari paman yang seayah dengan ayah; m. Ayah dari kakek.50

Adapun urutan wali dalam mazhab Hanabilah sebagai berikut; a. Bapak (al-Ab)

b. Washi dari bapak setelah meninggalnya c. Hakim ketika dalam keadaan tertentu

Ketiga wali inilah yang dijadikan sebagai wali mujbir, menurut Imam Hambali. Sedangkan wali aqrāb dari nasab menurut Imam Hambali adalah sebagaimana dalam hal waris antara lain:

a. Bapak

b. Kakek (ayah bapak) sampai derajat ke atas c. Anak laki-laki

d. Cucu laki-laki dari anak laiki-laki sampai derajat ke bawah e. Paman (saudara laki-laki bapak sekandung)

f. Paman (saudara laki-laki dari ayah yang seayah)

g. Saudara sepupu (anak laki-laki saudara laki-laki ayah sekandung) h. Saudara sepupu (anak laki-laki saudara laki-laki yang seayah)ke bawah i. Paman-pamannya kakek

j. Anak-anak pamannya kakek

50

Abu Bakar bin Hasan al-Kusnawi, Ashal al-Madārik, Jilid 1, Beirut: Daar al-Fikr, 1996,

(52)

Ulama Hanafiyah berpandangan bahwa status wali hanyalah syarat perkawinan, bukan rukun perkawinan. Oleh karena itu mereka meringkas rukun nikah hanya terdiri atas ijāb dan qabūl .Rasionalitas tentang wali didasarkan bahwa akad nikah sama dengan akad jual beli. Status wali hanya berlaku pada orang yang masih kecil (belum dewasa), baik laki-laki maupun perempuan, dan orang gila perempuan atau laki-laki meskipun dewasa.51 Meskipun status wali menurut ulama Hanafiyah seperti itu, tetapi ulama Hanafiyah memliki urutan perwalian sebagai berikut:

a. Anak laki-laki, cucu laki-laki seterusnya sampai ke bawah b. Ayah, kakek (ayah dari ayah) dan seterusnya sampai ke atas c. Saudara laki-laki yang sekandung

d. Saudara laki-laki yang seayah

e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung; f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah; g. Paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung; h. Paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah;

i. Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung

j. Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah, dan seterusnya sampai ke bawah.

Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam arti selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat

51

(53)

menjadi wali dan selama wali nasab yang lebih dekat masih ada wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali.

Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarīb. Bila wali qarīb tersebut tidak memenuhi syarat balīgh, berakal, Islam, merdeka, berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut urutan tersebut diatas. Bila wali qarīb sedang dalam ihram haji atau umrah, maka kewalian tidak pindah kepada wali ab’ad, tetapi pindah kepada wali hakim secara kewalian umum.

Demikian pula hakim menjadi wali nikah bila keseluruhan wali nasab tidak ada, atau wali qarīb dalam keadaan „adhal atau enggan mengawinkan tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Begitu pula akad perkawinan dilakukan oleh wali hakim bila wali qarīb sedang berada di tempat lain yang jaraknya mencapai dua marhalah (sekitar 60 km). Demikian adalah menurut pendapat jumhur ulama.52

F. Pengertian Gadis Dewasa

Menurut Fiqih, seseorang dapat dikatakan dewasa apabila ia telah baligh. Para ulama sepakat bahwa haidh dan hamil merupakan bukti ke-baligh-an seorang wanita. Hamil terjadi karena terjadinya pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haidh kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki-laki. 53

52

Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 78. 53

(54)

Imamiyah, Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa

tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti balighnya seseorang. Sedangkan Hanafiyah menolaknya, sebab bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu lain yang ada pada tubuh.

Jika dilihat dari aspek usia, Syafi’i dan Hambali menyatakan usia

baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah lima belas tahun, sedangkan Maliki menetapkan tujuh belas tahun. Sementara itu Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah minimal dua belas tahun dan maksimal delapan belas tahun, sedangkan anak perempuan minimal sembilan tahun dan maksimal tujuh belas tahun. Adapun menurut Imamiyah usia baligh bagi laki-laki adalah lima belas tahun, sedangkan bagi perempuan adalah sembilan tahun. Sementara itu, pengalaman membuktikan bahwa kehamilan dapat terjadi pada anak gadis usia sembilan tahun. 54

Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan tahun 1974, seseorang dapat dikatakan dewasa apabila telah mencapai usia sembilan belas tahun bagi laki-laki dan enam belas tahun bagi perempuan.55

Sedangkan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, seseorang belum dapat dikatakan dewasa apabila belum mencapai umur dua puluh satu tahun atau belum pernah menikah. Sedangkan batas

54

Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit, hlm. 318.

55

(55)

minimal usia minimal untuk menikah adalah delapan belas tahun bagi laki-laki dan lima belas tahun bagi perempuan. 56

Terkadang kita temukan seseorang yang sudah mencapai umur dewasa bahkan sudah tua tetapi masih mempunyai sifat kekanak-kanakan dalam perilaku maupun cara berfikirnya. Begitu juga sebaliknya, terkadang seseorang yang masih belia tetapi cara berfikirnya seperti halnya orang dewasa.

Hal ini menandakan bahwa ukuran seseorang dapat dikatakan dewasa adalah relatif. Oleh karena itu, yang dimaksud gadis dewasa dalam pembahasan skripsi ini adalah anak perempuan yang sudah baligh, masih perawan, belum pernah melangsungkan pernikahan, sehat akalnya dan juga dewasa dari sisi psikologis sehingga ia dipandang dapat menentukan masa depannya sendiri. Jadi seseorang dapat dikatakan dewasa tidak hanya dilihat dari usia atau fisiknya saja, tetapi juga dewasa cara berfikirnya.

56

(56)

BAB III

PENDAPAT AL-IMAM AL-SYIRAZI TENTANG

HUKUM WALI NIKAH MEMINTA IZIN KEPADA GADIS DEWASA

A. Biografi Al-Imam Al-Syirazi

1. Riwayat Hidup Al-Imam Al-Syirazi

Ibrahim bin „Ali bin Yusuf bin Abdullah, yang dikenal dengan Abu Ishaq, adalah pemikir fiqh Syafi’i, sejarawan dan sastrawan. Ia dilahirkan pada tahun 393 H di desa Firz Abaz, sebuah kota dekat Syiraz, Persia. Ketika dewasa ia pindah ke Syiraz.

Di Syiraz ia belajar fiqh pada Abu Abdillah al-Baidawi dan Ibnu Ramin. Kemudian ke Bashrah untuk belajar fiqh pada Al-Jazari. Tahun 415 H pindah ke Baghdad dan berguru ilmu ushul fiqh pada Abu Hatim al-Qazwaini dan al-Zajjaj. Selanjutnya ilmu hadis diterimanya dari Aba Bakar al-Barqani, Abi „Ali bin Syazan dan Aba Tayyib al-Tabari, bahkan menjadi asistennya.21

Sementara murid-muridnya antara lain adalah:

a. Abu Abdullah bin Muhammad bin Abu Nasr al-Humaidi b. Abu Bakar bin al-Hadinah

c. Abu al-Hasan bin Abd al-Salam d. Abu al-Qasim al-Samarqandi

21

Abdullah Mustofa Al-Maraghi, Fath Al-Mubīn fi Tabaqāt al-Ushūliyyīn: Pakar-pakar

Referensi

Dokumen terkait