• Tidak ada hasil yang ditemukan

Regional Development Planning based on Rubber Plantation : Case Studies in two Sub-districts in Cianjur District.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Regional Development Planning based on Rubber Plantation : Case Studies in two Sub-districts in Cianjur District."

Copied!
236
0
0

Teks penuh

(1)

ICHSAN A 155040081

PROGRAM STUDI

ILMU-ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN

WILAYAH DAN PERDESAAN (PWD)

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Perencanaan Pengembangan Wilayah Berbasis Perkebunan Karet Rakyat (Studi Kasus Dua Kecamatan di Kabupaten Cianjur) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Juli 2011

(3)

BABA BARUS danD.S. PRIYARSONO.

Luas areal tanam perkebunan karet rakyat di Kabupaten Cianjur merupakan areal yang terbesar jika dibandingkan dengan perkebunan swasta atau perkebunan nasional. Kondisi perkebunan karet rakyat berbeda dengan perkebunan milik negara atau perkebunan besar swasta. Secara umum produktivitas karet rakyat masih relatif rendah bila dibandingkan dengan produktivitas perkebunan besar negara maupun swasta. Hal ini, antara lain, disebabkan sebagian besar tanaman karet petani masih menggunakan bahan tanam asal biji (seedling) tanpa pemeliharaan yang baik, dan tingginya proporsi areal tanaman karet yang telah tua, rusak atau tidak produktif. Meskipun pertumbuhan areal perkebunan karet rakyat masih positif walaupun lambat yaitu 1,58%/tahun, sedangkan areal perkebunan negara dan swasta sama-sama menurun 0,15%/tahun. Oleh karena itu, tumpuan pengembangan karet akan lebih banyak pada perkebunan rakyat.

Dalam pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat diidentifikasi daya dukung wilayah yang meliputi aspek biofisik meliputi daya dukung lahan dan infrastruktur, aspek sosial meliputi sumberdaya manusia dan kelembagaan dan aspek ekonomi meliputi finansial. Informasi yang diperoleh dari hasil identifikasi diatas selanjutnya digunakan untuk mengidentifikasi aspek-aspek pendukung dan penghambat apa saja yang berpengaruh dengan menggunakan analisis SWOT untuk menyusun strategi pengembangan. Dengan menggunakan analisa deskriptif maka akan dikaji mengenai kontribusi terhadap pengembangan lahan, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan.

Daya dukung lahan untuk perluasan areal tanam pada lokasi lahan potensi/sesuai untuk perkebunan karet masih sangat memungkinkan, sedangkan infrastruktur bahwa ketersediaan bibit unggul tidak menjadi kendala karena masih sangat tersedia di penangkar, jalan produksi yang ada di dalam perkebunan sudah mencukupi, sedangkan jumlah hand mangle di tiap kecamatan masih belum mencukupi/kurang. Tingkat ketersediaan tenaga kerja masih sangat tersedia, sedangkan kelembagaan kelompok tani sudah cukup baik, jumlah penyuluh yang ada sudah sangat cukup sedangkan kelembagaan keuangan formal seperti per-bank-an kurang dapat membantu petani dari segi permodalan. B/C usaha tani karet rakyat adalah 1,656 yang berarti bahwa budidaya karet rakyat layak untuk diusahakan. Setelah melakukan analisis dalam pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat, maka tahap berikutnya membuat matriks SWOT. Tujuannya adalah untuk memperoleh alternatif strategi dalam rangka pengembangan wilayah perkebunan karet rakyat. Berkaitan dengan hal tersebut maka prioritas strategi pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu : 1). Mendorong petani untuk melakukan peremajaan tanaman karet dengan menggunakan bibit unggul berkualitas; 2). Menjalin kerjasama dengan kelembagaan keuangan/pemilik modal dalam perkebunan karet rakyat; dan 3). Memperkuat sistem informasi antar anggota.

(4)

Studies in two Sub-districts in Cianjur District. Supervised by BABA BARUS and D.S. PRIYARSONO.

The area of planting rubber plantation in Cianjur is the largest area when compared to private estates or plantations. Smallholder rubber plantation conditions differ from state-owned plantations or large private estates. In general, the productivity of smallholder rubber is still relatively low when compared to the productivity of the state and private plantations. This, among other things, caused most of the rubber plant growers still use planting materials from seed (seedling) without good maintenance, and the high proportion of the area that had old rubber plant, damaged or unproductive. Although the growth of rubber plantation area is still positive, although slow is 1.58% / year, while state and private plantations are equally decreased 0.15% / year. Therefore, the foundation of the development will be more rubber on the plantation.

In the development of smallholder rubber plantation-based region will be identified carrying capacity of the area that includes biophysical aspects include the carrying capacity of land and infrastructure, including social aspects of human resources and institutional and economic aspects including financial. Information obtained from the above identification results are then used to identify aspect of the enabling and inhibiting any effect by using a SWOT analysis to strategy development. By using descriptive analysiswill be assessed on the contribution to development of land, employment and income.

Carrying capacity of land for the expansion of planting area at the field site potential / suitable for rubber plantation is still very promising, while the infrastructure that the availability of seeds is not an obstacle because it is still available at the breeder, the production of existing roads within the estate are sufficient, whereas the number of hand mangle in each district is still not sufficient, while the number of hand mangle in each district is still not sufficient / poor. Level of availability of labor is still available, while the institution is good enough farmer groups, the number of trainers who have been very pretty while formal financial institutions such as the bank's less able to assist farmers in terms of capitalization. B/C rubber farming is 1.656 which means that the cultivation of rubber worth the effort. After doing the analysis in the development of smallholder rubber plantation-based region, then the next stage of making a SWOT matrix. The goal is to obtain an alternative strategy for the development of smallholder rubber plantation area. In this context the priority area of development strategy based rubber plantation is proposed into three approaches, namely: 1). Encourage farmers to plant rubber rejuvenation by using superior quality seeds, 2). Cooperation with financial institutions / capital owners in the rubber plantation, and 3). Strengthening the system of information among members.

(5)

rasa syukur, atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Perencanaan Pengembangan Wilayah Berbasis Perkebunan Karet Rakyat (Studi Kasus Dua Kecamatan di Kabupaten Cianjur)” sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibunda Yarlis Nazar dan Ayahanda Herman Said beserta adik-adikku, atas semua dukungan dan semangat yang telah diberikan.

2. Istriku, Mustika Gusniasari dan anakku tercinta, Annisa Ichsan Khairani yang telah menciptakan semangat dan memberikan bantuan yang tidak ternilai agar selesainya tugas ini.

3. Bapak Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc dan Bapak Ir. D.S. Priyarsono, Ph.D selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan yang bermanfaat bagi penulis.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS, selaku Ketua Program Studi beserta Jajarannya pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

5. Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, MS, sebagai penguji luar komisi yang memberi masukan bagi kelengkapan penulisan ini.

6. Keluarga Besarku di Sindang Barang, Bogor.

7. Para Pejabat dan Jajarannya di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kab. Cianjur.

8. Rekan-rekan mahasiswa PWD baik yang dulu maupun sekarang.

9. Petani, Ketua Poktan, Ketua Gapoktan, Pedagang Pengumpul di Kec. Cikalongkulon dan Mande

10. Pimpinan dan rekan-rekan di kantor yang telah banyak membantu atas pemakluman selama ini.

11. Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian tulisan ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis dalam penerapan teknik penulisan maupun pengungkapan substansinya, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik maupun saran yang dapat memperkaya pengetahuan penulis dan mempertajam isi tulisan ini.

Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaaat dan semoga berkah Allah SWT bersama kita semua. Amin.

(6)

merupakan anak pertama dari empat bersaudara, putra dari pasangan Herman Said dan Yarlis Nazar.

Penulis menamatkan Sekolah Dasar di SD Negeri Jatipadang 07 Pagi Pasar Minggu, Jakarta Selatan pada tahun 1984. Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 107 Pasar Minggu, Jakarta Selatan pada tahun 1987, dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 28 Pasar Minggu, Jakarta Selatan pada tahun 1990. Pada tahun 1990 bulan Juli diterima pada Program S1 Universitas Andalas Padang, Fakultas Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Program Studi Mekanisasi Pertanian dan diselesaikan pada tahun 1996.

(7)

DAFTAR TABEL

2.3. Reformasi Pembangunan Pertanian ……….. 14

2.4. Pengembangan Perkebunan Karet ……….. 15

III. METODE PENELITIAN ………. 18

3.1. Kerangka Pemikiran ……….. 18

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 19

3.3. Jenis dan Sumber Data ……….. 19

3.4. Teknik Pengambilan Sampel ……….. 19

3.5. Metode Pendekatan Studi ………. 20

3.6. Metode Analisis ………. 20

3.6.1. Analisis Daya Dukung Wilayah ……… 20

3.6.2. Analisis SWOT ……….. 22

3.6.3. Analisis Deskriptif ………. 25

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH ……….. 26

4.1. Wilayah Administrasi ……… 26

4.2. Kondisi Fisik Wilayah ……… 27

4.2.1. Iklim ……… 27

4.2.2. Bahan Induk Tanah ……….. 27

4.2.3. Topografi ………. 28

4.3. Sosial dan Ekonomi ……….. 30

4.3.1. Kependudukan ……….. 30

4.3.2. Perekonomian Wilayah ……….. 32

V. KONDISI UMUM PERKEBUNAN KARET ……….. 33

5.1. Kondisi Perkebunan di Kab. Cianjur ……….. 33

5.2. Kondisi Perkebunan Karet Rakyat ……… 34

5.3. Luas Kepemilikan Lahan ……….. 35

5.4. Produksi dan Produktivitas ……….. 36

5.5. Ketersediaan Benih/Bibit ……….. 37

5.6. Sumberdaya Petani dan Kelompok Tani ……….. 38

5.7. Sumberdaya Penyuluh ………. 39

VI. DAYA DUKUNG WILAYAH UNTUK PERKEBUNAN KARET … 41 6.1. Aspek Biofisik ……… 41

6.1.1. Daya Dukung Lahan ……… 41

(8)

6.2. Aspek Sosial ……… 45

6.2.1. Sumberdaya Manusia ……….. 45

6.2.2. Kelembagaan ……….. 47

6.3. Aspek Ekonomi ………. 48

6.3.1. Finansial ………. 48

VII. FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KARET ……….. 50

7.1. Faktor Internal ……… 50

7.2. Faktor Eksternal ……… 54

7.3. Matriks SWOT ………. 58

VIII. KONTRIBUSI PENGEMBANGAN WILAYAH PERKEBUNAN TERHADAP PEMBANGUNAN DAERAH …… 61

8.1. Kontribusi terhadap Pengembangan Lahan ………. 61

8.2. Kontribusi terhadap Tenaga Kerja ……….. 62

8.3. Kontribusi terhadap Pendapatan ………. 63

IX. PENUTUP ……… 65

9.1. Simpulan ………. 65

9.2. Saran ………. 66

Daftar Pustaka ……….. 68

(9)
(10)

2. Perkembangan Luas Tanaman Perkebunan Karet

di Jawa Barat selama 5 Tahun ……….. 5

3. Perkembangan Luas Tanaman Perkebunan Karet di Kabupaten Cianjur selama 5 Tahun ……… 6

4. Matriks Metode Penelitian ……… 20

5. Matriks SWOT ………. 25

6. Kemiringan Lereng dan Satuan Morfologi ……… 28

7. Jenis Tanah menurut Sistem Klasifikasi dan Lokasi Kecamatan …….. 30

8. Jumlah Penduduk Berdasarkan Bidang Usaha Utama ……….. 31

9. Jumlah Penduduk dan Status Pekerjaan pada Wilayah Pembangunan Utara di Kabupaten Cianjur ……… 31

10. Laju dan Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Cianjur Atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha Tahun 2007-2009 ……….. 32

11. Status Pengusahaan Berdasarkan Komoditas Perkebunan dan Luas Areal di Kabupaten Cianjur Tahun 2010 ………. 33

12. Luas Areal dan Produksi Komoditi Unggulan Subsektor Perkebunan Kabupaten Cianjur Tahun 2010 ……… 34

13. Luas Areal Perkebunan Karet Rakyat Kabupaten Cianjur Tahun 2010 ……… 35

14. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Berdasarkan Rata-rata Luas Kepemilikan Lahan Perkebunan Karet Rakyat di Desa Gudang, Kecamatan Cikalongkulon ……….. 36

15. Luas Areal dan Produksi Karet pada Perkebunan Rakyat dan Perkebunan Swasta Tahun 2010 ……… 37

16. Keadaan Pembibitan oleh Penangkar Benih di Kabupaten Cianjur Tahun 2010 ……….. 38

17. Kondisi Kelompok Tani di Wilayah Pengembangan Utara Kabupaten Cianjur ………. 39

18. Kondisi Penyuluh di Wilayah Pengembangan Utara Kabupaten Cianjur ………. 40

19. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Karet Rakyat di Kecamatan Cikalongkulon dan Mande Tahun 2008-2010 ……….. 43

20. Jumlah Hand Mangle di Kabupaten Cianjur Tahun 2010 ………….. 45

21. Matriks Faktor Internal Perkebunan Karet Rakyat ……… 53

(11)

2. Wilayah Administrasi Kabupaten Cianjur ……… 24 3. Peta Sebaran Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten Cianjur ……… 39 4. Peta Potensi Perkebunan Karet rakyat di Kabupaten Cianjur ……….. 40 5. Kuadran SWOT Perencanaan Pengembangan Wilayah

(12)

1.1. Latar Belakang

Perkebunan merupakan salah satu subsektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional. Sesuai Undang-Undang Nomor 18/2004 tentang Perkebunan, secara ekonomi perkebunan berfungsi meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional; secara ekologi berfungsi meningkatkan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen dan penyangga kawasan lindung, dan secara sosial budaya berfungsi sebagai perekat dan pemersatu bangsa.

Adapun karakteristik perkebunan dapat ditinjau dari berbagai aspek antara lain dari jenis komoditas, hasil produksi, dan bentuk pengusahaannya. Dari aspek komoditas, perkebunan terdiri atas 127 jenis tanaman, berupa tanaman tahunan dan tanaman semusim dengan areal sebaran mulai dataran rendah sampai dataran tinggi. Ditinjau dari aspek produksi, hasil produksi perkebunan merupakan bahan baku industri baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Apabila ditinjau dari bentuk pengusahaannya, usaha perkebunan meliputi perkebunan besar negara (6%), perkebunan besar swasta (21%), dan perkebunan rakyat (72%) (Ditjen Perkebunan, 2010).

Dalam perekonomian Indonesia, subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor yang berperan penting. Sejak awal tahun 1970-an subsektor perkebunan dipacu pertumbuhannya melalui berbagai kebijakan produksi, investasi, ekspor, dan berbagai kebijakan lainnya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kinerja subsektor perkebunan dalam perekonomian nasional. Arah kebijakan pemerintah tersebut sesuai dengan keunggulan komparatif subsektor perkebunan di pasar domestik dan internasional.

(13)

Ada tiga asas yang menjadi acuan dalam pembangunan perkebunan yang mendasari kebijakan pembangunan dalam lingkungan ekonomi dan pembangunan nasional, yaitu mempertahankan dan meningkatkan sumbangan bidang perkebunan bagi pendapatan nasional; memperluas lapangan kerja dan memelihara kekayaan dan kelestarian alam dan meningkatkan kesuburan sumberdaya alam.

Pengembangan wilayah pada hakikatnya adalah pelaksanaan pembangunan di suatu wilayah yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial wilayah tersebut, serta tetap menghormati peraturan perundangan yang berlaku. Karena itu istilah wilayah merupakan hal yang penting untuk didefinisikan secara tegas, terutama dalam menganalisis kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Pengembangan lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari nol, atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas. Jadi dalam hal pengembangan masyarakat tersirat pengertian bahwa masyarakat yang dikembangkan sebenarnya sudah memiliki kapasitas (bukannya tidak memiliki sama sekali) namun perlu ditingkatkan kapasitasnya (Rustiadiet al.2005).

Kebijakan otonomi daerah melalui Undang-Undang No. 22 dan No. 25 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah, memberikan kewenangan yang besar kepada daerah dalam mengelola pemerintahan dan sumberdaya daerah termasuk kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan konservasi sumberdaya alam yang diiringi dengan tanggungjawab pembiayaan pembangunan daerah yang porsinya semakin meningkat. Berkaitan dengan upaya pembangunan daerah, maka pengembangan basis ekonomi yang berbasis pada sumberdaya lokal sebagai pusat pertumbuhan perlu diperkokoh.

(14)

hidupnya dari kemurahan alam di sektor pertanian. Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani adalah melalui pembangunan daerah pedesaan melalui pengembangan perkebunan karet rakyat. Hal ini cukup beralasan, karena sejak tahun 1967 sampai 2004 luas areal, produksi dan produktivitas karet rakyat di Indonesia selalu mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu masing-masing 2,34 juta ha, 0,85 juta ton/tahun dan 3,55

kw/ha/tahun dengan laju peningkatan masing-masing 1,49; 3,06 dan 1,56 persen/tahun (Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2004).

Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Namun sebagai negara dengan luas areal terbesar dan produksi kedua terbesar dunia, Indonesia masih menghadapi beberapa kendala, yaitu rendahnya produktivitas, terutama karet rakyat yang merupakan mayoritas areal karet nasional dan ragam produk olahan yang masih terbatas, yang didominasi oleh karet remah (crumb rubber). Rendahnya produktivitas kebun karet rakyat disebabkan oleh banyaknya areal tua, rusak dan tidak produktif, penggunaan bibit bukan klon unggul serta kondisi kebun yang menyerupai hutan. Oleh karena itu perlu upaya percepatan peremajaan karet rakyat dan pengembangan industri hilir (Badan Litbang Pertanian, 2007).

Tabel 1. Pertumbuhan Luas Areal Karet di Indonesia Tahun 1970-2005 Status

Pengusahaan Area (000) 1970 (%) Area (000) 2005 (%)

PR 1.613 69,59 2.767 84,36

PBS 281 12,12 224 6,83

PBN 238 10,27 275 8,38

Jumlah 2.318 100,00 3.280 100,00

Sumber : Badan Litbang Pertanian (2007) Keterangan : PR = Perkebunan Rakyat

PBS = Perkebunan Besar Swasta PBN = Perkebunan Besar Nasional

(15)

cenderung menurun. Dengan luasan sekitar 3,3 juta ha pada tahun 2005, mayoritas (85%) perkebunan karet di Indonesia adalah perkebunan rakyat, yang menjadi tumpuan mata pencaharian lebih dari 15 juta jiwa. Dari keseluruhan areal perkebunan rakyat tersebut, sebagian besar (± 91%) dikembangkan secara swadaya murni, dan sebagian kecil lainnya yaitu sekitar 288.039 ha (± 9%) dibangun melalui proyek PIR, PRPTE, UPP Berbantuan, Partial, dan Swadaya Berbantuan.

Berbeda dengan tingkat pertumbuhan areal yang relatif rendah, pertumbuhan produksi karet nasional selama kurun waktu 1970-2005 relatif tinggi yaitu sekitar 3,89% per tahun. Hal ini disebabkan terjadi peningkatan areal perkebunan karet rakyat yang menggunakan klon unggul yang produktivitasnya cukup tinggi. Hal ini didukung oleh data yang menunjukkan pertumbuhan produksi tertinggi terjadi pada perkebunan rakyat (4,33% per tahun), sedangkan pertumbuhan produksi perkebunan besar swasta dan negara masing-masing hanya sekitar 3,88% dan 1,77% per tahun.

Namun demikian secara umum produktivitas karet rakyat masih relatif rendah (796 kg/ha/th) bila dibandingkan dengan produktivitas perkebunan besar negara (1.039 kg/ha/th) maupun swasta (1.202 kg/ha/th). Hal ini, antara lain, disebabkan sebagian besar (>60%) tanaman karet petani masih menggunakan bahan tanam asal biji (seedling) tanpa pemeliharaan yang baik, dan tingginya proporsi areal tanaman karet yang telah tua, rusak atau tidak produktif (± 13% dari total areal). Pada saat ini sekitar 400 ribu ha areal karet tidak produktif karena dalam kondisi tua dan rusak. Selain itu sekitar 2-3% dari areal tanaman menghasilkan (TM) yang ada setiap tahun akan memerlukan peremajaan. Dengan kondisi demikian, sebagian besar kebun karet rakyat masih menyerupai hutan karet (Badan Litbang Pertanian, 2007).

(16)

hektar yang memerlukan peremajaan. Persoalannya adalah bahwa belum ada sumber dana yang tersedia untuk peremajaan.

Di tingkat hilir, jumlah pabrik pengolahan karet sudah cukup, namun selama 5 tahun mendatang diperkirakan akan diperlukan investasi baru dalam industri pengolahan, baik untuk menghasilkan crumb rubber maupun produk-produk karet lainnya karena produk-produksi bahan baku karet akan meningkat. Kayu karet sebenarnya mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan furniture tetapi belum optimal, sehingga diperlukan upaya pemanfaatan lebih lanjut.

Tabel 2. Perkembangan Luas Tanaman Perkebunan Karet di Jawa Barat Selama 5 Tahun

Status

Pengusahaan Luas Lahan (Ha)

2005 2006 2007 2008 2009

PR 6.865 7.579 8.014 9.271 11.423

PBS 21.332 20.397 19.610 19.433 19.705 PBN 23.580 23.341 23.963 24.530 25.212 Jumlah 51.777 51.335 51.587 53.234 56.340 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Cianjur, 2010

Keterangan : PR = Perkebunan Rakyat PBS = Perkebunan Besar Swasta PBN = Perkebunan Besar Nasional

Bidang pertanian Kabupaten Cianjur cukup potensial. Hal ini didukung oleh letak geografis yang memadai sehingga komoditi tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan dapat tumbuh dengan subur. Tidak terkecuali perkebunan karet. Sub sektor perkebunan ini tumbuh di wilayah utara dan selatan. Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan yang sangat penting dan berperan besar khususnya bagi penunjang ekonomi masyarakat. Luas tanam perkebunan karet rakyat di Kabupaten Cianjur mencapai 42,09% dari total luas tanam perkebunan karet (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Cianjur, 2010). Dengan adanya perkebunan karet rakyat diharapkan dapat sebagai sumber lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal, pemasok bahan baku karet dan berperan dalam menambah pendapatan serta mendorong bertumbuhnya sentra-sentra ekonomi baru di tingkat masyarakat pedesaaan.

(17)

karet rakyat di Jawa Barat berada di Kabupaten Cianjur. Sejarah karet rakyat di Cianjur sudah berlangsung sejak jaman kolonial. Perkebunan karet rakyat tumbuh pada lahan milik petani yang berada disekitar PTPN dan Perkebunan Besar Swasta (PBS).

Kondisi perkebunan karet rakyat berbeda dengan perkebunan milik negara atau perkebunan besar swasta. Perbedaan tersebut terutama terlihat pada aspek skala usaha (luasan lahan pengelolaan usaha), teknologi budidaya dan manajemen, sehingga mengakibatkan tingkat produksi, produktivitas dan pendapatan usaha persatuan luas berbeda pula.

Tabel 3. Perkembangan Luas Tanaman Perkebunan Karet di Kabupaten Cianjur Selama 5 Tahun

Status

Pengusahaan Luas Lahan (Ha)

2005 2006 2007 2008 2009

PR 1.975,45 2.010,95 2.074,95 2.311,75 2.404,27 PBS 1.471,41 1.484,86 1.523,39 1.797,61 1.797,61 PTP 1.522,66 1.833,57 1.723,28 1.509,88 1.509,88 Jumlah 4.969,52 5.329,38 5.321,62 5.619,24 5.711,76 Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Cianjur, 2010

Keterangan : PR = Perkebunan Rakyat PBS = Perkebunan Besar Swasta PBN = Perkebunan Besar Nasional

1.2. Rumusan Masalah

Peluang otonomi daerah harus direspon oleh pemerintah daerah secara bijak, terutama dalam perencanaan pembangunan dan pemanfaatan potensi sumberdaya alam secara optimal dan terarah untuk kesejahteraan masyarakat.

(18)

Kabupaten Cianjur dalam menghasilkan produk olahan karet dapat dikatakan sudah memiliki keunggulan komparatif bagi pengembangan wilayah. Beberapa produk olahan karet rakyat selama ini dalam pemasaran produk-produk selama ini dirasakan masih lemah dalam bersaing dengan produk dari luar, untuk itu perlu dilihat bagaimana faktor-faktor strategis eksternal dan internal yang mempengaruhi pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat di Kabupaten Cianjur.

Luas areal tanam perkebunan karet rakyat di Kabupaten Cianjur merupakan areal yang terbesar jika dibandingkan dengan perkebunan swasta atau perkebunan nasional. Dengan luas areal tanam yang besar maka penggunaan/pengembangan lahan, penyerapan tenaga kerja dan nilai pendapatan yang diperoleh merupakan kontribusi yang dapat diberikan dari perkebunan karet rakyat terhadap pengembangan daerah.

Berdasarkan uraian diatas terdapat beberapa masalah yang dapat didefinisikan, yaitu :

1. Bagaimana daya dukung wilayah terhadap pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat.

2. Apakah yang menjadi aspek-aspek pendukung dan penghambat pengembangan wilayah.

3. Bagaimana kontribusi pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat terhadap pembangunan daerah.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi daya dukung wilayah dalam pengembangan wilayah

berbasis perkebunan karet rakyat.

2. Mengkaji aspek-aspek pendukung dan penghambat dalam pengembangan wilayah.

3. Mengkaji kontribusi pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat terhadap pembangunan daerah.

1.4. Manfaat Penelitian

(19)

1. Teridentifikasinya daya dukung wilayah dalam pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat.

2. Teridentifikasinya aspek-aspek pendukung dan penghambat dalam pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat.

3. Diketahuinya kontribusi pengembangan pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat terhadap pembangunan daerah.

(20)

2.1. Teori dan Konsep Dasar Pengembangan Wilayah

Pendefinisian wilayah banyak dilakukan untuk keperluan analisa ruang. Dalam menentukan batas-batas wilayah maka dikelompokkan menurut kriteria tertentu. Penentuan batas-batas wilayah menurut Hanafiah (1988) didasarkan pada kriteria :

1. Konsep Homogenitas

Wilayah dapat diberi batas berdasarkan beberapa persamaan unsur tertentu, seperti unsur ekonomi wilayah, yaitu pendapatan perkapita, kelompok industri maju, tingkat pengangguran, keadaan sosial politik, identitas wilayah berdasarkan sejarah, budaya dan sebagainya.

2. Konsep Nodalitas

Wilayah dibedakan atas perbedaan struktur tata ruang dalam wilayah dimana terdapat hubungan saling ketergantungan yang bersifat fungsional. Keadaan ini dapat dibuktikan dengan mobilitas penduduk, arus faktor produksi, arus barang, pelayanan ataupun arus transportasi dan komunikasi. Hubungan saling keterkaitan ini terlihat pada hubungan antara pusat dan wilayah terbelakang. 3. Konsep Administrasi atau Unit Program

Penetapan wilayah ini didasarkan pada perlakuan kebijaksanaan yang seragam, seperti kebijaksanaan pembangunan, system ekonomi, tingkat pajak yang sama dan sebagainya. Pengertian yang ketiga ini memberi batasan suatu wilayah berdasarkan pembagian administrative negara. Jadi suatu wilayah adalah suatu ruang ekonomi yang berada di bawah suatu administrasi tertentu seperti suatu propinsi, kabupaten, kecamatan dan desa. Wilayah seperti ini adalah wilayah perencanaan atau wilayah program.

Gunawan (2000), wilayah sebagai metoda klasifikasi menghasilkan tiga tipe wilayah yaitu:

1. Wilayah Formal

(21)

pemakaian kriteria ekonomi; seperti adanya wilayah industri dan wilayah pertanian bahkan mempergunakan kriteria sosial politik

2. Wilayah Fungsional

Wilayah yang memperlihatkan adanya suatu kekompakan fungsional, saling tergantung dalam kriteria tertentu. Wilayah fungsional ini terkadang dimasukkan juga sebagai wilayah nodal atau wilayah polarisasi dan terdiri dari unit-unit yang heterogen seperti kota besar, kota-kota kecil dan desa-desa secara fungsional saling tergantung.

3. Wilayah Perencanaan

Wilayah ini merupakan kombinasi dari kedua wilayah di atas, yaitu wilayah formal dan fungsional. Dalam wilayah perencanaan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain suatu wilayah harus cukup luas untuk memenuhi kriteria investasi dalam skala ekonomi, harus mampu menunjang industri dengan pengadaan tenaga kerja, persamaan ekonomi, mempunyai sedikitnya satu kota sebagai titik tumbuh dan strategi pembangunan yang sama untuk memecahkan masalah yang sama.

Wilayah yang paling banyak digunakan menurut Sukirno dalam Gunawan (2000) adalah wilayah administrasi. Hal ini dikarenakan dua faktor, pertama, dalam melaksanakan kebijakan dan perencanaan pembangunan wilayah diperlukan berbagai badan pemerintah sehingga lebih praktis apabila suatu negara dipilah-pilah menjadi beberapa wilayah ekonomi berdasarkan suatu kaedah administrasi. Kedua, wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan suatu unit pengumpulan data.

2.2. Pengembangan dan Pembangunan Wilayah

(22)

Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey 1977 dalam Rustiadi et al. 2005) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu : (1) wilayah homogen (uniform/ homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning regionatau programming region).

Dalam banyak hal, istilah pembangunan dan pengembangan banyak digunakan dalam hal yang sama, yang dalam Bahasa Inggrisnya adalah

development, sehingga untuk berbagai hal, istilah pembangunan dan pengembangan wilayah dapat saling dipertukarkan, namun berbagai kalangan di Indonesia cenderung untuk menggunakan secara khusus istilah pengembangan wilayah/kawasan dibandingkan pembangunan wilayah/kawasan untuk istilah

regional development. Secara umum istilah pengembangan dianggap mengandung konotasi pemberdayaan, kedaerahan, kewilayahan dan lokalitas (Rustiadi et al.

2005).

Pengembangan lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari nol, atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas. Jadi dalam hal pengembangan masyarakat tersirat pengertian bahwa masyarakat yang dikembangkan sebenarnya sudah memiliki kapasitas (bukannya tidak memiliki sama sekali) namun perlu ditingkatkan kapasitasnya (Rustiadiet al.2005).

Pembangunan menurut Todaro (2000) paling tidak harus mempunyai tiga sasaran utama, yaitu:

1. Meningkatkan ketersediaan dan memperluas distribusi barang-barang kebutuhan pokok, seperti pangan, papan, kesehatan, dan perlindungan. 2. Meningkatkan taraf hidup yaitu, selain meningkatkan pendapatan, juga

(23)

3. Memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia bagi setiap orang dan setiap bangsa dengan membebaskan mereka dari ketergantungan bukan hanya dalam hubungan dengan orang dan negara lain akan tetapi juga masalah kebodohan dan kesengsaraan manusia.

Pembangunan wilayah (regional development) pada hakekatnya adalah pelaksanaan pembangunan nasional di suatu wilayah yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial wilayah tersebut, serta tetap menghormati peraturan perundangan yang berlaku. Karena itu istilah wilayah merupakan hal yang penting untuk didefinisikan secara tegas, terutama dalam menganalisa kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Menurut Sandy (1982) bahwa wilayah sehubungan dengan pembangunan wilayah mempunyai makna sebagai berikut : (a) wilayah yang objektif, maksudnya adalah apabila pewilayahan itu merupakan tujuan akhir, artinya suatu wilayah oleh perencana dibagi kedalam beberapa wilayah pembangunan, (b) wilayah yang subjektif, maksudnya adalah apabila pewilayahan merupakan cara untuk mengenal masalah, tidak lain adalah usaha penggolongan atau klasifikasi.

Menurut Hanafiah (1988) bahwa perkembangan beberapa konsep dalam pendekatan pembangunan wilayah perdesaan yang pernah dilakukan antara lain: 1. Pengembangan Kelompok Masyarakat (Community Development)

Pengembangan kelompok masyarakat didefenisikan sebagai suatu proses, metoda, program, kelembagaan dan gerakan yang mencakup pengikutsertakan masyarakat dalam menanggulangi masalah yang dihadapi bersama, mendidik dan melatih masyarakat dalam proses mengatasi masalah secara bersama-sama serta mengaktifkan kelembanggan untuk alih teknologi kepada masyarakat. 2. Pembukaan Daerah Baru

Pendekatan pembukaan daerah baru kurang mendapat perhatian karena terlalu mahal, meskipun dari sisi yang lain dapat memberikan hasil yang memuaskan. 3. Pembangunan Pertanian

(24)

4. Pengembangan Industri Perdesaan

Pendekatan keempat ini keberhasilannya sangat diragukan karena tidak adanya kaitan yang jelas antara industri kecil dan industri besar.

5. Pusat Pertumbuhan dan Wilayah Pengembangan

Pendekatan ini mengacu pada struktur dan organisasi tata ruang suatu wilayah, maka terdapat suatu daerah pusat (pole of growth) dan wilayah pinggiran (hinterland), yang mempunyai saling ketergantungan secara fungsional. Bagi pembangunan perdesaan peranan pusat-pusat pertumbuhan selain berfungsi sebagai pusat pelayanan, dan pemukiman, juga dapat dilihat sebagai unsur strategis dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perdesaan.

Pengembangan industri kecil termasuk agroindustri yang padat karya di kawasan perdesaan dan peningkatan peran serta masyarakat perdesaan dalam pengambilan keputusan serta pengembangan tatanan kelembagaan yang memadai merupakan unsur-unsur pokok dalam pembangunan desa secara terpadu. Pembangunan pedesaan menurut sebagian kalangan merupakan bagian dari ilmu Pembangunan Wilayah. Pembangunan wilayah adalah usaha untuk mengembangkan dan meningkatkan hubungan interdependensi dan interaksi antara sistem ekonomi (economic system), manusia (social system) dan lingkungan serta sumberdaya alamnya (ecosystem). Konsepsi pembangunan regional, selain menjamin keserasian pembangunan antar daerah, bertujuan pula untuk menjembatani hubungan rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah (Syahyuti, 2006).

Menurut Adjid (1998), dalam mewujudkan pembangunan pedesaan yang tangguh diperlukan strategi restrukturisasi pedesaan yang ditopang oleh eksistensi empat pilar strategi, yaitu :

(25)

2. Wirausaha dan kemitraan usaha yang saling menguntungkan bagi pelaku agribisnis terutama bagi para petani.

3. Iklim lingkungan yang kondusif bagi berkembangnya sistem agribisnis dan industri dipedesaan, dimana sistem pelayanan, pengaturan, pembinaan, pemantauan dan pengendalian yang ditangani secara sistematik, transparan dan dengan semangat debirokratisasi yang konsisten.

4. Terdapatnya gerakan bersama pembangunan agribisnis untuk menumbuh kembangkan inisiatif para pelaku agribisnis khususnya masyarakat tani/pedesaan.

Ada empat jenis pembangunan pedesaan, yaitu 1) yang berdasarkan kepada potensi pertanian, 2) yang multi sektoral, 3) yang memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan, dan 4) yang mengandalkan kepada pelayanan jasa-jasa sosial berupa kesehatan, pendidikan dan lain-lain (Uphoff dan Milton

dalamSyahyuti, 2006),

Menurut Anwar (2000), pertumbuhan pembangunan wilayah membutuhkan pendekatan multidimensi terutama menyangkut :

1. Peranan teknologi dan produktivitas;

2. Pembangunan sumberdaya, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur ekonomi; 3. Pembangunan fisik infrastruktur dan memperhatikan aspek lingkungan hidup; 4. Pembangunan administrasi dan finansial.

(26)

Pembangunan dan pengembangan ekonomi lokal harus berbasiskan pada potensi sumberdaya domestik, terutama sektor-sektor primer, seperti pertanian serta sektor-sektor sekunder dan tersier sebagai pendukung, maksudnya setiap wilayah memiliki berbagai fungsi sesuai dengan potensi yang dimilikinya sehingga pengembangan ekonomi lokal mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif dapat tumbuh dan berkembang mendukung aktivitas perkembangan ekonomi lokal.

Anwar (2005) menyatakan bahwa pembangunan wilayah harus diarahkan untuk mencapai: (1) pertumbuhan (growth); (2) pemerataan (equity); dan (3) keberlanjutan (sustainability). Tujuan pembangunan pertama yaitu mengenai pertumbuhan, ditentukan sampai dimana sumberdaya langka yang terdiri atas : sumberdaya manusia (human capital), peralatan (man-made resources) dan sumberdaya alam (natural resoource) dapat dialokasikan secara maksimal sehingga dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dalam meningkatkan kegiatan produktifnya.

(27)

pemihakan kepada yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang dan menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan (Soemodiningrat, 1999).

2.3. Reformasi Pembangunan Pertanian

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Kenyataan yang terjadi bahwa sebagian besar penggunaan lahan di wilayah Indonesia diperuntukkan sebagai lahan pertanian dan hampir 50% dari total angkatan kerja masih menggantungkan nasibnya bekerja di sektor pertanian. Keadaan ini menuntut kebijakan sektor pertanian yang disesuaikan dengan keadaan dan perkembangan yang terjadi di lapangan dalam mengatasi berbagai persoalan yang menyangkut kesejahteraan bangsa (Dillon, 2004).

Pembangunan kawasan pertanian memiliki tujuan utama untuk meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani, yang dicapai melalui upaya peningkatan pendapatan, produksi dan produktivitas usaha tani. Selain itu strategi pembangunan pertanian juga diarahkan kepada : (1) penyediaan komoditas pertanian untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri (inward looking), serta berorientasi ke pasar luar (outward looking) untuk memenuhi permintaan ekspor dan memperoleh pendapatan devisa; (2) menyempurnakan kebijakan pembangunan wilayah pertanian sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan memberi apresiasi terhadap pentingnya kemampuan masyarakat daerah dan lokal dalam pengelolaan sumberdaya sosial ekonomi dan lingkungannya melalui pemberdayaan (empowerment) masyarakat pedesaan dan pembangunan pasar finansial yang dapat dijangkau oleh pengusaha lapisan menengah ke bawah di wilayah pedesaan tersebut (Husodo, 2003).

(28)

Namun sebagai suatu sistem dinamis, tentunya pengembangan suatu industri mempunyai perilaku tersendiri dan dapat berinteraksi satu sama lainnya, sehingga perlu diidentifikasi berbagai keunggulannya. Keunggulan tersebut meliputi produktivitas produksi, pemasaran, tenaga kerja, pasar dan akses terhadap infrastruktur yang dimiliki oleh daerah suatu wilayah. Secara kumulatif pengembangan usaha akan dapat menciptakan berbagai peluang-peluang yang lebih besar dalam pembangunan dan pengembangan ekonomi lokal, seperti peningkatan produk unggulan daerah, penyerapan tenaga kerja, tumbuhnya industri hulu dan hilir serta aktivitas investor dan sektor jasa baik formal maupun informal (Masril, 2005).

Dalam suasana lingkungan strategis yang berubah dengan cepat, penajaman arah kebijakan dan perencanaan bagi reformasi pembangunan pertanian pada masa depan menjadi demikian penting. Dengan mengantisipasi perubahan eksternal maupun internal, visi pembangunan pertanian dapat dirumuskan sebagai pertanian yang menjadi ciri pada era reformasi.

2.4. Pengembangan Perkebunan Karet

Tanaman karet memiliki peranan yang sangat besar dalam kehidupan perekonomian Indonesia. Banyak penduduk yang hidup dengan mengandalkan komoditas penghasil getah ini. Karet tidak hanya diusahakan oleh perkebunan-perkebunan besar milik negara yang memiliki areal ratusan ribu hektar, tetapi juga diusahakan oleh swasta dan rakyat. Hingga saat ini diperkirakan luas areal pertanaman karet di Indonesia berkisar 3 juta hektar dan merupakan luas areal pertanaman yang terluas di dunia. Sebagian besar dari luas areal tersebut pengelolaannya kurang memadai, hanya beberapa perkebunan besar milik negara dan beberapa perkebunan swasta saja yang pengelolaannya sudah lumayan. Sementara kebanyakan perkebunan karet milik rakyat dikelola seadanya, bahkan

ada yang tidak dirawat dan hanya mengandalkan pertumbuhan alami (Tim Penulis PS, 2009). Akibatnya produktivitas karet menjadi rendah.

(29)

Badan Litbang Pertanian (2007) menyatakan bahwa selama lebih dari tiga dekade (1970-2005), areal perkebunan karet di Indonesia meningkat sekitar 1,27% per tahun. Namun pertumbuhan ini hanya terjadi pada areal karet rakyat (± 1,6% per tahun), sedangkan pada perkebunan besar negara dan swasta cenderung menurun. Dengan luasan sekitar 3,3 juta ha pada tahun 2005, mayoritas (85%) perkebunan karet di Indonesia adalah perkebunan rakyat, yang menjadi tumpuan mata pencaharian lebih dari 15 juta jiwa. Dari keseluruhan areal perkebunan rakyat tersebut, sebagian besar (± 91%) dikembangkan secara swadaya murni, dan sebagian kecil lainnya yaitu sekitar 288.039 ha (± 9%) dibangun melalui proyek PIR, PRPTE, UPP Berbantuan, Partial, dan Swadaya Berbantuan.

Berbeda dengan tingkat pertumbuhan areal yang relatif rendah, pertumbuhan produksi karet nasional selama kurun waktu 1970-2005 relatif tinggi yaitu sekitar 3,89% per tahun. Hal ini disebabkan terjadi peningkatan areal perkebunan karet rakyat yang menggunakan klon unggul yang produktivitasnya cukup tinggi. Hal ini didukung oleh data yang menunjukkan pertumbuhan produksi tertinggi terjadi pada perkebunan rakyat (4,33% per tahun), sedangkan pertumbuhan produksi perkebunan besar swasta dan negara masing-masing hanya sekitar 3,88% dan 1,77% per tahun.

Namun demikian secara umum produktivitas karet rakyat masih relatif rendah (796 kg/ha/th) bila dibandingkan dengan produktivitas perkebunan besar negara (1.039 kg/ha/th) maupun swasta (1.202 kg/ha/th). Hal ini, antara lain, disebabkan sebagian besar (> 60%) tanaman karet petani masih menggunakan bahan tanam asal biji (seedling) tanpa pemeliharaan yang baik, dan tingginya

proporsi areal tanaman karet yang telah tua, rusak atau tidak produktif (± 13% dari total areal) (Badan Litbang Pertanian, 2007).

(30)

rehabilitasi kebun ataupun peremajaan kebun karet tua/tidak menghasilkan lateks lagi.

Umumnya kayu karet yang diperjual belikan adalah dari peremajaan kebun karet yang tua yang dikaitkan dengan penanaman karet baru lagi. Kayu karet dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan rumah, kayu api, arang, ataupun kayu gergajian untuk alat rumah tangga (furniture). Pemanfaatan kayu karet dari kegiatan peremajaan kebun karet tua dapat dilaksanakan bersamaan atau terkait dengan program penanaman tanaman hutan seperti sengon atau akasia sebagai bahan pulp/pembuat kertas. Areal tanam menggunakan lahan kebun yang diremajakan dan atau lahan-lahan milik petani serta lahan-lahan kritis sekitar pemukiman.

Sebagai salah satu komoditi industri, produksi karet sangat tergantung pada teknologi dan manajemen yang diterapkan dalam sistem dan proses produksinya. Produk industri karet perlu disesuaikan dengan kebutuhan pasar yang senantiasa berubah. Status industri karet Indonesia akan berubah dari pemasok bahan mentah menjadi pemasok barang jadi atau setengah jadi yang bernilai tambah lebih tinggi dengan melakukan pengolahan lebih lanjut dari hasil karet. Kesemuanya ini memerlukan dukungan teknologi industri yang lengkap, yang mana diperoleh melalui kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi yang dibutuhkan. Indonesia dalam hal ini telah memiliki lembaga penelitian karet yang menyediakan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi di bidang perkaretan.

2.5. Pengembangan Kawasan Perkebunan Rakyat

(31)

semakin bertambah tentunya, bila tenaga kerja pada subsistem tengah dan hilir juga diperhitungkan (Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, 2004).

Kebijakan pengembangan perkebunan diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat melalui pengembangan kawasan ini dengan pengelolaan sumberdaya secara optimal. Oleh karena itu, maka sentra-sentra perkebunan yang sudah ada dan kawasan di setiap kabupaten/kota, atau kecamatan yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan perkebunan rakyat, sudah saatnya diupayakan untuk ditingkatkan melalui sistem agribisnis. Dengan demikian diharapkan dimasa mendatang, subsektor perkebunan akan mampu memenuhi sendiri kebutuhan dalam negeri dan tidak lagi bergantung pada negara lain, bahkan sekaligus dapat bersaing dengan produk perkebunan dari luar negeri.

Pengembangan suatu wilayah menjadi kawasan perkebunan rakyat perlu diarahkan pada peningkatan efisiensi pemanfaatan lahan, khususnya lahan-lahan tidur (yang belum ditanami), gundul, atau kritis karena bekas tebangan yang kemudian ditinggalkan begitu saja tanpa adanya usaha reboisasi. Dalam hal ini, pengembangannya dilakukan dengan cara menghijaukan lahan-lahan tersebut dengan menanami tanaman yang sesuai dengan kondisi lingkungannya, memiliki nilai ekonomi, mudah perawatannya, cepat masa panennya, dan mudah pemasarannya. Dengan demikian tujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem kawasan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat atau rakyat sekitarnya dapat tercapai sekaligus dengan baik.

(32)

bagi kesejahteraan rakyat. Disamping itu juga harus diperhatikan mengenai kelerengan, ketinggian, curah hujan kedalaman efektif tanah, temperatur sesuai dengan jenis komoditas perkebunan yang akan dibudidayakan serta harus sesuai dengan tata ruang daerah (Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, 2004).

Selanjutya Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal (2004) menambahkan bahwa pengembangan kawasan perkebunan rakyat ini dapat dibedakan menjadi empat tahap, yaitu: tahap pembukaan dan penyiapan lahan kawasan, pembangunan sarana dan prasarana, tahap pemilihan dan penanaman komoditas, dan tahap perhitungan kelayakan ekonomi dan finansialnya. Keempat tahap ini sangat erat hubungannya satu sama lain dalam menunjang keberhasilan proyek pengembangan kawasan perkebunan rakyat ini.

Kawasan perkebunan rakyat adalah suatu kawasan yang secara khusus dimanfaatkan untuk kegiatan usaha tanaman tahunan (kopi, tebu, kelapa sawit, teh, empah-rempah, dll) dengan luasan tertentu sebagai pengembangan agribisnis; atau Perkebunan Terpadu sebagai komponen usaha tani yang berbasis pada tanaman pangan, dan hortikultura; atau perkebunan terpadu sebagai komponen ekosistem tertentu seperti kawasan perkebunan rakyat lindung, perkebunan suaka alam, dll; yang berorientasi ekonomi dengan sistem agribisnis berkelanjutan yang berakses ke industri hulu maupun industri hilir. Kawasan perkebunan rakyat dimaksudkan juga suatu kawasan yang dalam pengembangannya banyak melibatkan partisipasi rakyat dan merangsang tumbuhnya investasi dari masyarakat sekitarnya, demi pemberdayaan ekonomi atau peningkatan kesejahteraan rakyat.

(33)

pangan di areal perkebunan, 2). Menghasilkan devisa bagi negara dan meningkatkan pendapatan petani, 3). mengembangkan wilayah marginal dan terpencil di pelosok pedesaaan (daerah aliran sungai, pasang surut), dan 4). Menjaga keseimbangan ekosistem dan tata air. 5) Pengembangan Usaha agribisnis Pengembangan kawasan perkebunan rakyat harus dikelola berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

• Masyarakat atau rakyat sebagai pelaku utama dalam pengambilan manfaatnya. • Masyarakat atau rakyat sebagai pengambil keputusan dan menentukan sistem

pengusahaan dan pengelolaan yang tepat.

• Pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau kegiatan. • Kepastian dan kejelasan hak dan kewajiban semua pihak.

• Kelembagaan pengusahaan ditentukan oleh masyarakat atau rakyat.

• Pendekatan pengusahaan didasarkan pada jenis sumberdaya alam dan keanekaragaman budaya yang ada.

(Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, 2004).

(34)

3.1. Kerangka Pemikiran

Perkebunan karet rakyat di Kabupaten Cianjur mempunyai peluang yang cukup besar untuk pemasaran dalam negeri dan pasar ekspor. Pemberdayaan masyarakat perkebunan karet perlu juga ditingkatkan baik dalam peningkatan nilai pendapatan maupun penyerapan tenaga kerja, terutama pada desa-desa sentra produksi karet rakyat. Pengembangan perkebunan karet rakyat diharapkan dapat berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyataan di desa sentra karet rakyat dan mendorong tumbuhnya sektor-sektor lain serta menambah pendapatan daerah Kabupaten Cianjur.

Kecamatan Cikalongkulon dan Mande merupakan daerah sentra perkebunan karet rakyat di Kabupaten Cianjur. Peluang pengembangan usahatani karet rakyat dapat dilakulan dan dikembangkan baik dari sisi teknis budidaya, konservasi lahan, sosial kelembagaan dan ekonomi. Namun dalam pengimplementasiannya perlu adanya suatu terobosan dalam pengembangan perkebunan karet rakyat yang memprioritaskan kekuatan dan peluang berdasarkan faktor pendukung dan penghambat untuk berkembangnya usahatani perkebunan karet rakyat.

Dalam pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat akan diidentifikasi daya dukung wilayah yang meliputi aspek biofisik meliputi daya dukung lahan yang terdiri dari lahan aktual dan lahan potensi dan infrastruktur yang terdiri dari pemakaian dan ketersediaan bibit unggul, sarana jalan dan alat pengolahan lateks (hand mangle); aspek sosial meliputi sumberdaya manusia yang terdiri dari tingkat serapan tenaga kerja dan tingkat pendidikan dan kelembagaan yang terdiri dari kondisi kelompok tani, penyuluh dan keuangan; dan aspek ekonomi yang akan dilihat dari aspek kelayakan finansial.

(35)

Perkebunan karet rakyat merupakan komoditi perkebunan yang termasuk dalam 3 besar untuk kategori perkebunan rakyat di Kabupaten Cianjur. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dikaji berapa besar kontribusinya terhadap pengembangan daerah. Dengan menggunakan analisis deskriptif maka akan dikaji mengenai kontribusi terhadap pengembangan lahan, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten Cianjur, untuk melihat kajian secara umum. Sedangkan untuk kajian detil dilakukan di Kecamatan Cikalongkulon dari bulan Maret sampai April 2011.

3.3. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dan dikumpulkan langsung dari responden dan informan kunci dilapangan. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari

Gambar 1. Alur Pikir Penelitian

Biofisik Aspek Sosial EkonomiAspek

(36)

instansi-instansi terkait yang telah tersedia dalam bentuk dokumen dan studi literatur. Sedangkan pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara studi literatur/data sekunder dan survey/wawancara.

3.4. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel adalah pengumpulan data sekunder yang menyangkut informasi mengenai pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat, untuk dilakukan penilaian bobot keriteria berdasarkan pertimbangan para ahli. Penentuan responden ahli dilakukan dengan metode purposive sampling

sebanyak 7 orang. Begitu juga untuk penentuan kekuatan pengendali analisis SWOT dilakukan hal yang sama.

Responden utama dalam penelitian ini key person(tokoh kunci) yang terlibat dan memiliki pengetahuan luas terkait pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat. Responden utama tersebut adalah petani karet, ketua kelompok tani, ketua gapoktan dan petugas Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Cianjur. Lokasi penelitian di Kecamatan Cikalongkulon dan Kecamatan Mande ditentukan secara sengaja (purposive sampling).

3.5. Metode Pendekatan Studi

Uraian pendekatan studi yang meliputi tujuan, teknis analisis, variabel dan sumber data dapat disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Matriks Metode Penelitian

No. TUJUAN TEKNIS ANALISIS VARIABEL SUMBER DATA

1. Mengidentifikasi daya dukung wilayah dalam pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat

 Analisis Daya

Dukung Wilayah  Aspek BiofisikDaya dukung lahan  Infrastruktur

 Faktor Internal  Key InformanResponden

3. Mengkaji kontribusi pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat terhadap pembangunan daerah

(37)

3.6. Metode Analisis

Dari data yang telah terkumpul kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian sehingga akan dapat menjawab permasalahan yang diangkat. Beberapa metode analisis yang digunakan, antara lain :

3.6.1. Analisis Daya Dukung Wilayah

Analisis daya dukung wilayah dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai potensi dan prospek pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat, yaitu meliputi aspek biofisik, aspek sosial dan aspek ekonomi.

Analisis yang digunakan pada aspek biofisik adalah analisis daya dukung lahan dan infrastruktur. Analisis daya dukung lahan menggunakan data statistik yang terdiri dari luas lahan eksisting (tanaman belum menghasilkan, tanaman menghasilkan dan tanaman tua/rusak) dan potensi lahan tersedia yang masih bisa dimanfaatkan pada tingkatan lahan yang sesuai. Analisis infrastruktur terdiri ketersediaan bibit/benih yang berasal dari klon unggul, ketersediaan jalan produksi dalam perkebunan dan ketersediaan alat pengolah (hand mangle) dari bentuk lumb menjadi sit/sheet.

Analisis yang digunakan pada aspek sosial adalah sumber daya manusia dan kelembagaan. Analisis sumberdaya manusia akan memperhitungkan ketersediaan dan penyerapan tenaga kerja dan tingkat pendidikan. Tenaga kerja yang terlibat dalam perkebunan karet rakyat pada umumnya adalah petani pemilik dan petani penggarap. Analisis kelembagaan akan mengidentifikasi sampai sejauh mana peran kelompok tani, penyuluhan dan kelembagaan keuangan formal dalam pengembangan perkebunan karet rakyat.

Analisis yang digunakan pada aspek ekonomi adalah kelayakan finansial yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat akan memberikan keuntungan jika dikembangkan. Dalam analisis ini indikator kelayakan pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat dapat dilihat dari rasio pendapatan kotor dan biaya atau Benefit Cost-Ratio

(BCR) dan didukung oleh analisis keunggulan kompetitif.

(38)

Nilai BCR komoditi > 1 menggambarkan tingkat keuntungan secara ekonomis serta efisiensi penggunaan modal.

Adapun Rumus Benefit Cost-Ratio (BCR) adalah sebagai berikut :

dimana :

B/C = benefit-cost ratio

Bt = gross benefit atau manfaat bruto pada tahun bersangkutan Ct = gross costatau biaya bruto pada tahun bersangkutan i = tingkat bunga yang berlaku

t = tahun yang bersangkutan

Kriteria yang dipakai adalah suatu usahatani dikatakan memberikan manfaat kalau B/C > 1.

3.6.2. Analisis SWOT

Atas dasar hasil analisis sebelumnya serta dengan memperhatikan keadaan lingkungan baik internal maupun eksternal, maka selanjutnya dilakukan analisis pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat. Analisis strategi pengembangan dilakukan dengan metode analisis SWOT (Strengths Opportunities Weaknessesdan Threat).

Analisis digunakan untuk menelaah pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat ke depan adalah dengan menggunakan analisis SWOT, yaitu analisis kualitatif untuk menganalisis berbagai faktor secara sistematis untuk memformulasikan strategi suatu kegiatan. SWOT adalah singkatan dari Strengths

(kekuatan), Opportunities (peluang), Weaknesses (kelemahan), dan Threat

(ancaman). Dengan menggunakan matriks dapat memberikan kesimpulan tentang pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat.

Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities) suatu prospek pengembangan dan secara

(39)

bersamaan dapat pula meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threat).

Teknik skoring digunakan untuk penentuan elemen-elemen apa saja yang berpengaruh pada setiap faktor-faktor strategis internal maupun eksternal.

Tahapan kegiatan yang dilakukan dalam teknik skoring adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan semua alternatif.

2. Ditentukan elemen-elemen penting dalam pengambilan keputusan. 3. Dilakukan penilaian terhadap semua elemen.

4. Dilakukan penilaian terhadap semua alternatif masing-masing elemen. 5. Dihitung nilai dari tiap alternatif.

6. Memberikan jenjang kepada alternatif berdasarkan pada nilai masing-masing, mulai dari urutan nilai alternatif terbesar sampai yang terkecil.

Responden diminta untuk memberikan skor dari 1 sampai 4 (1 = tidak mendukung, 2 = kurang mendukung, 3 = mendukung, 4 = sangat mendukung). Dalam penilaian ini semua responden diasumsikan memiliki kemampuan yang sama dalam hal pemberian skoring.

Langkah kerja dalam penentuan faktor eksternal dan pembobotan yaitu: membuat daftar peluang dan ancaman kemudian memberikan bobot pada tiap peluang dan ancaman, (dari tidak penting > 0,0 sampai dengan penting = 1,0) sehingga total bobot adalah 1, selanjutnya berikan rating 1–4 pada setiap peluang dan ancaman (1 = dibawah rata-rata, 2 = rata-rata, 3 = diatas rata-rata, 4 = sangat diatas rata-rata). Tahap selanjutnya kalikan bobot dengan rating sehingga menghasilkan weight score, jumlahkan weight score untuk mendapatkan total

weight score(David, 2002).

(40)

strategis baik internal maupun eksternal, yang kemudian hasilnya dirata-ratakan (mean). Selang penilaian adalah 1 sampai 4.

Data SWOT kualitatif di atas dapat dikembangkan secara kuantitaif melalui perhitungan Analisis SWOT yang dikembangkan oleh Pearce dan Robinson (1998) agar diketahui secara pasti posisi organisasi yang sesungguhnya.

Perhitungan yang dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:

1. Melakukan perhitungan skor (a) dan bobot (b) point faktor setta jumlah total perkalian skor dan bobot (c = a x b) pada setiap faktor S-W-O-T; Menghitung skor (a) masing-masing point faktor dilakukan secara saling bebas (penilaian terhadap sebuah point faktor tidak boleh dipengaruhi atau mempengeruhi penilaian terhadap point faktor lainnya. Pilihan rentang besaran skor sangat menentukan akurasi penilaian namun yang lazim digunakan adalah dari 1 sampai 10, dengan asumsi nilai 1 berarti skor yang paling rendah dan 10 berarti skor yang peling tinggi. Perhitungan bobot (b) masing-masing point faktor dilaksanakan secara saling ketergantungan. Artinya, penilaian terhadap satu point faktor adalah dengan membandingkan tingkat kepentingannya dengan point faktor lainnya. Sehingga formulasi perhitungannya adalah nilai yang telah didapat (rentang nilainya sama dengan banyaknya point faktor) dibagi dengan banyaknya jumlah point faktor. 2. Melakukan pengurangan antara jumlah total faktor S dengan W (d) dan faktor O

dengan T (e); Perolehan angka (d = x) selanjutnya menjadi nilai atau titik pada sumbu X, sementara perolehan angka (e = y) selanjutnya menjadi nilai atau titik pada sumbu Y;

3. Mencari posisi organisasi yang ditunjukkan oleh titik (x,y) pada kuadran SWOT.

Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu melalui minimal 3 (tiga) tahapan berikut :

1. Tahap 1, pengumpulan data, identifikasi dan evaluasi faktor internal dan eksternal.

2. Tahap 2, analisis dan pembuatan matriks SWOT.

3. Tahap 3, pengambilan keputusan dari berbagai alternatif kebijakan.

(41)

maupun dari data sekunder. Data-data tersebut dievaluasi dan dikelompokkan dalam faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman.

David (2006) mengatakan berdasarkan matriks SWOT dapat dikembangkan beberapa alternatif strategi sebagai berikut :

1. Strategi SO (Strength-Opportunities), yaitu dengan menggunakan kekuatan yang ada untuk memanfaatkan peluang yang ada dalam pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat.

2. Strategi ST (Strength-Threatss), yaitu dengan menggunakan kekuatan yang ada untuk menghindari dan mengatasi ancaman dalam pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat.

3. Strategi WO (Weaknesses-Opportunities), yaitu dengan menggunakan peluang yang dimiliki untuk mengatasi kelemahan dalam pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat.

4. Strategi WT (Weaknesses-Threatss), yaitu suatu upaya meminimumkan kelemahan dan menghindari ancaman dalam pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat.

Oppurtunities (O) Strategi menggunakan kekuatan Strategi S - O untuk memanfaatkan peluang

(42)

3.6.3. Analisis Deskriptif

Analisis ini menjelaskan dan menggambarkan secara deskriptif berdasarkan perhitungan data sekunder tentang kontribusi pengembangan wilayah berbasis perkebunan karet rakyat terhadap pembangunan daerah. Kontribusi yang diperoleh oleh daerah baik di tingkat kecamatan maupun di kabupaten apabila pengembangan perkebunan dilakukan berdasarkan pada luas potensi lahan yang sesuai untuk komoditi karet. Kontribusi pengembangan meliputi kontribusi terhadap pengembangan lahan, kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja dan kontribusi terhadap pendapatan.

Pengembangan lahan perkebunan karet rakyat dilakukan pada lahan-lahan yang sesuai untuk pengembangannya, dimana pada kondisi saat ini masih belum dikelola dengan baik, bahkan lahan-lahan potensi tersebut cenderung tidak terawat dan ditumbuhi oleh tanaman yang tidak dibudidayakan.

Perluasan areal perkebunan akan membutuhkan penambahan jumlah tenaga kerja. Tingkat kebutuhan tenaga kerja pada areal perkebunan karet rakyat sangat tinggi sesuai dengan jumlah luas areal pengembangan. Kebutuhan tenaga

kerja pada perkebunan karet rakyat secara garis besar dapat dibagi dalam 2 kategori yaitu pada pembukaan lahan untuk pertanaman awal dan pemeliharaan

dan pengelolaan untuk pertanaman yang sudah ada.

(43)

4.1. Wilayah Administrasi

Kabupaten Cianjur mempunyai luas wilayah daratan 3.646,72 km2, secara geografis terletak di antara garis 6.036’8’’-7.030’18’’ LS serta di antara 106.046’35’’-107.029’7’’ BT. Secara administratif Kabupaten Cianjur terdiri dari 30 kecamatan, dengan batas wilayah :

Bagian utara : Kabupaten Bogor, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta

Bagian selatan : Samudera Indonesia

Bagian timur : Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut Bagian barat : Kabupaten Sukabumi

(44)

4.2. Kondisi Fisik Wilayah 4.2.1. Iklim

Kabupaten Cianjur mempunyai variasi curah hujan dari 2.500-3.000 mm/tahun hingga 4.000-4.500 mm/tahun. Curah hujan rata-rata tahunan 2.500-3.000 mm/tahun dengan jumlah bulan basah (> 100 mm) 9 bulan dengan tanpa bulan kering (< 60 mm), terdapat di wilayah bagian tengah Kabupaten Cianjur.

Curah hujan rata-rata tahunan 3.000-3.500 mm/tahun dan 3.500-4.000 mm/tahun, dengan bulan basah 10-11 bulan dengan tanpa bulan kering terdapat dibagian selatan wilayah Kabupaten Cianjur dan wilayah kaki lereng Gunung Pangrango-Gede.

Curah hujan berkisar 4.000-4.500 mm/tahun dengan bulan basah berkisar 11-12 bulan dengan tanpa bulan kering terdapat di wilayah Kabupaten Cianjur yang berada pada ketinggian lebih dari 1.000 m dpl dari lereng volkan Pangrango-Gede.

Menurut klasifikasi Iklim Koppen, Kabupaten Cianjur umumnya bertipe iklim Af a (iklim hujan tropik selalu basah), kecuali sebagian wilayah kecamatan Cidaun beriklim Am dan wilayah Gunung Gede beriklim (iklim sedang berhujan selalu basah). Keadaan curah hujan di Kabupaten Cianjur menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk pada iklim basah yaitu Tipe A dan Tipe B dan sebagian kecamatan mempunyai Tipe C dan Tipe D.

4.2.2. Bahan Induk Tanah

Bahan induk tanah adalah material yang berkembang dari tanah, dan mungkin batu yang telah membusuk di tempat, atau materi yang telah disetorkan oleh angin, air, atau es. Komposisi kimia dari karakter dan bahan induk memainkan peran penting dalam menentukan sifat-sifat tanah, terutama selama tahap awal pengembangan.

(45)

induk dapat berasal dari batuan beku, batuan endapan, matuan metamorfosa dan bahan induk organik.

4.2.3. Topografi

Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah. Topografi mempengaruhi proses pembentukan tanah dengan cara:

• Mempengaruhi jumlah air hujan yang meresap atau di tahan oleh massa tanah • Mempengaruhi dalamnya air tanah

• Mempengaruhi besarnya erosi

• Mengarahkan gerakan air tanah beserta bahan-bahan yang terlarut di dalamnya dari suatu tempat ke tempat lainnya

Wilayah Kabupaten Cianjur terletak di kaki Gunung Gede dengan ketinggian 7-2.962 meter di atas permukaan laut. Secara geografis wilayah ini terbagi dalam 3 bagian yaitu Cianjur bagian utara, bagian tengah, dan bagian selatan.

Tabel 6. Kemiringan Lereng dan Satuan Morfologi

No. Bentuk Lereng Kemiringan Lereng MorfologiSatuan Wilayah (%) ()

1. Datar 0-5 0-3 Dataran Sukaresmi, Cikalongkulon, Cianjur, Ciranjang, Haurwangi, Bojongpicung, Cibeber, Pagelaran, Tanggeung, Kadupandak, Cijati dan sepanjang pantai Agrabinta dan Cidaun

2. Landai 5-15 3-8,5 Perbukitan berlelief halus

Utara Pacet, Warungkondang, Takokak, sebelah barat dan timur Sindangbarang, Cidaun

3. Sedang 15-30 8,5-17 Perbukitan berlelief sedang

Utara Mande, selatan Kadupandak, selatan Cibeber

4. Agak

Kasar 30-50 17-27 Perbukitan berlelief agak kasar

Takokak, bagian utara dan selatan Kadupandak, bagian utara Sukanagara, Agrabinta, utara Cidaun, selatan Pagelaran, sebelah barat Tanggeung

5. Kasar 50-70 27-36 Perbukitan berlelief kasar

Sebelah selatan Sukaresmi, selatan Bojongpicung, Sukanagara, sebelah timur Takokak, Cikadu

6. Sangat

Kasar > 70 > 36 Perbukitan berlelief sangat kasar

Bagian Timur Pagelaran, bagian selatan dan utara Kadupandak, Karangtengah

Sumber : Dishutbun Kab. Cianjur, 2010

(46)

dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan dataran yang dipergunakan untuk areal perkebunan dan persawahan, meliputi 16 kecamatan : Cianjur, Cilaku, Warungkondang, Gekbrong, Cibeber, Karangtengah, Sukaluyu, Ciranjang, Bojongpicung, Mande, Cikalongkulon, Cugenang, Sukaresmi, Cipanas, Pacet dan Haurwangi.

Cianjur bagian tengah merupakan daerah berbukit-bukit kecil dikelilingi dengan keadaan struktur tanahnya labil sehingga sering terjadi tanah longsor dan daerah inipun merupakan daerah gempa, dataran lainnya terdiri dari areal perkebunan dan persawahan, meliputi 9 kecamatan : Sukanagara, Takokak, Campaka, Campaka Mulya, Tanggeung, Pagelaran, Leles, Cijati dan Kadupandak.

Cianjur bagian selatan merupakan dataran rendah akan tetapi terdapat banyak bukit-bukit kecil yang diselingi oleh pegunungan yang melebar sampai ke daerah pantai Samudera Indonesia. Areal perkebunan dan persawahannya tidak begitu luas, meliputi 7 kecamatan : Cibinong, Agrabinta, Sindangbarang, Cidaun , Naringgul, Cikadu dan Pasirkuda.

Keadaan topografi Kabupaten Cianjur dibagi menjadi beberapa satuan yang didasarkan pada ciri dan kenampakan khas, baik dari bentuk gunung, perbukitan, kemiringan lereng maupun pola alirannya. Perbedaan ini umumnya disebabkan oleh perbedaan jenis dan macam batuam, struktur geologi, ketahanan batuan terhadap proses geodinamik serta vegetasi penutupnya.

Lahan kering untuk pertumbuhan tanaman karet pada umumnya lebih mempersyaratkan sifat fisik tanah dibandingkan dengan sifat kimianya. Hal ini disebabkan perlakukan kimia tanah agar sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet dan dapat dilaksanakan dengan lebih mudah dibandingkan melalui perbaikan sifat fisiknya. Berbagai jenis tanah dapat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet baik tanah vulkanis muda dan tua bahkan pada tanah gambut < 2 meter. Tanah vulkanis mempunyai sifat fisika yang cukup baik terutama struktur, tekstur, solum, kedalam air tanah, aerasi dan drainasenya, tetapi sifat kimianya secara umum kurang baik karena kandungan haranya rendah.

Gambar

Gambar 1. Alur Pikir Penelitian
Tabel 4. Matriks Metode Penelitian
Gambar 2. Wilayah Administrasi Kabupaten Cianjur
Tabel 7. Jenis Tanah menurut Sistem Klasifikasi dan Lokasi Kecamatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

PENGEMBANGAN TANGGUNG JAWAB PRIBADI DAN SOSIAL ANAK MELALUI PENERAPAN MODEL HELLISON.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Pada hari ini Jum ’at tanggal Tiga bulan Agustus tahun Dua Ribu Dua Belas, kami yang bertanda tangan di bawah ini Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Kantor

Wawancara terstruktur digunakan karena dengan judul penelitian tentang analisis strategi pemasaran online komunitas Batu Local Guide dalam pariwisata Pihak yang akan

Berdasarkan Undang-undang tersebut, dalam rangka pengembangan fungsi kotanya sesuai dengan potensinya dan guna memenuhi kebutuhan pada masa-masa mendatang, terutama untuk sarana

Hasil ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Whino (2014) dan Anis (2013) yang menyatakan bahwa biaya lingkungan tidak berpengaruh secara signifikan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis, yang mengkaji mengenai nilai humanisme dalam kumpulan cerpen Satu Miliar Cinta karya I Gusti

Pada Proyek Pekerjaan Pembuatan Konstruksi Apron &amp; Taxiway (PAKET-II), Proyek Pengembangan Bandar Udara Internasional Ahmad Yani, Semarang upaya yang dilakukan untuk

Hendro Gunawan, MA