• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Diferensiasi Darah Perifer, Limpa dan Sumsum Tulang Mencit (Mus musculus) sebagai Respon Terhadap Pemberian Vaksin Streptococcus agalactiae yang Diradiasi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Diferensiasi Darah Perifer, Limpa dan Sumsum Tulang Mencit (Mus musculus) sebagai Respon Terhadap Pemberian Vaksin Streptococcus agalactiae yang Diradiasi."

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN DIFERENSIASI LEUKOSIT DARAH PERIFER,

LIMPA, DAN SUMSUM TULANG MENCIT (

Mus musculus

)

SEBAGAI RESPON TERHADAP PEMBERIAN

VAKSIN

Streptococcus agalactiae

YANG DIRADIASI

ANDRIO

B04080167

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

ANDRIO. Gambaran Diferensiasi Leukosit Darah Perifer, Limpa, dan Sumsum Tulang Mencit (Mus musculus) sebagai Respon Terhadap Pemberian Vaksin Streptococcus agalactiae yang Diradiasi. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan BOKY JEANNE TUASIKAL

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pemberian vaksin Streptococcus agalactiae yang diradiasi melalui gambaran diferensiasi darah perifer, jumlah dan diameter folikel limfoid limpa, dan luas sumsum tulang mencit. Sebanyak 12 ekor mencit betina berumur 3 minggu dibagi dalam 4 kelompok, yaitu kelompok K (tanpa perlakuan), V (divaksinasi vaksin Streptococcus agalactiae yang diradiasitanpa ditantang), VT (divaksinasi vaksin Streptococcus agalactiae yang diradiasi lalu ditantang dengan S. agalactiae), T (diinfeksi S. agalactiae). Vaksin diinjeksi secara intra peritoneal sebanyak 0,2 ml/ mencit dengan dosis 108 cfu/ml dan tantang dilakukan dengan S. agalactiae melalui orificium externa kanal puting mencit. Pengambilan darah dilakukan tiap minggu selama 5 minggu untuk dibuat preparat ulas darah. Pada akhir penelitian dilakukan nekropsi untuk mengambil organ limpa dan sumsum tulang untuk pembuatan sedian histopatologi. Parameter yang diamati : diferensial leukosit, jumlah dan diameter pulpa putih serta luas sumsum tulang mencit. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan neutrofil, limfosit, monosit, jumlah pulpa putih dan penurunan luas sumsum tulang pada kelompok V dan VT sehingga mengindikasikan bahwa vaksin yang digunakan dapat menimbulkan respon imun. Selain itu vaksin ini tidak menyebabkan alergi yang ditandai dengan tidak meningkatnya jumlah basofil dan eosinofil.

(3)

ABSTRACT

ANDRIO. Study on Leukocyte Differentiation of Peripheral Blood, Spleen, and Bone Marrow in Mice (Mus musculus) as Response to Streptococcus agalactiae Irradiated Vaccine. Supervised by SRI ESTUNINGSIH and BOKY JEANNE TUASIKAL

The aim of the research was to study the response of Streptococcus agalactiae irradiated vaccine on mice. Parameters observed were leukocyte differentiation on peripheral blood, number of spleen lymphoid follicles and its diameters and bone marrow size. Twelve 3 week old female mice were divided into 4 groups : K (without treatment), V (vaccinated with S. agalactiae irradiated vaccine without challenge), VT (vaccinated with S. agalactiae irradiated vaccine then challenged with S. agalactiae), T (challenged with S. agalactiae without vaccine). Vaccines (0,2 ml/mice) were injected intra peritoneal with a dose of 108 cfu/ml and challenge was performed by dropping S. agalactiae through the externa orificium nipple canal of the mice. Blood samples were collected from sinus retro orbitalis arteriae every week that were used for blood smear slides. Necropsy was performed at the end of the study to make histopathology slides of the spleen and bone marrow. Parameters observed were: leukocytes differentiation, number of white pulp and its diameters and bone marrow size. Results showed there was an increase number of neutrophils, lymphocytes, monocytes, white pulp, and a decrease in bone marrow size in the V and VT group. This indicates that the vaccine was able to induce an immune response. On the other hand, this vaccine does not cause allergy characterized by a constant number of basophils and eosinophils.

(4)

GAMBARAN DIFERENSIASI LEUKOSIT DARAH PERIFER,

LIMPA, DAN SUMSUM TULANG MENCIT (

Mus musculus

)

SEBAGAI RESPON TERHADAP PEMBERIAN

VAKSIN

Streptococcus agalactiae

YANG DIRADIASI

ANDRIO

B04080167

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Program Studi Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Gambaran Diferensiasi Leukosit Darah Perifer, Limpa, dan Sumsum Tulang Mencit (Mus musculus) Sebagai Respon Terhadap Pemberian Vaksin Streptococcus agalactiae yang Diradiasi adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2012

(6)

©Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

Judul Skripsi : Gambaran Diferensiasi Darah Perifer, Limpa dan Sumsum Tulang Mencit (Mus musculus) sebagai Respon Terhadap Pemberian Vaksin Streptococcus agalactiae yang Diradiasi. Nama : Andrio

NRP : B04080167

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi. APVet. Dr. drh. Boky Jeanne Tuasikal, MSi NIP. 19600629 199002 2 001 NIP. 19630813 198902 2 001

Mengetahui Wakil Dekan FKH-IPB

drh. H Agus Setiyono MS PhD APVet NIP. 19630810 198803 1 004

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir (skripsi) yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan Institut pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul “Gambaran deferensial leukosit darah perifer, limpa, dan sumsum tulang sebagai respon terhadap pemberian vaksin Streptococcus agalactiae yang diradiasi.

Atas selesainya skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu (baik secara langsng maupun tidak langsung) selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini : 1. Keluarga tercinta ayah “Ardiman” dan Ibu “Rahmalius” serta kakak

-kakak dan adik-adikku tercinta atas kasih sayang, doa, semangat, dan dukungannya baik moril maupun materil.

2. Dr. drh Sri Estuningsih, MSi selaku dosen pembimbing I dan dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan, arahan, kesabaran, waktu, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. Dr. drh Boky Jeanne Tuasikal, MSi selaku dosen pembimbing II atas segala bimbingan, arahan, kesabaran, waktu, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

4. Seluruh staf dan teknisi di Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang membantu penulis selama penelitian : drh Mawar Subangkit, Pak Kasnadi, Pak Soleh, Pak Endang, dan Mbak Kiki. 5. Teman sekelompok penelitian, Gita, dan teman-teman penelitian di

patologi, Jami, Juju, Zaza, Mutia, Desrai, Rahma, Bolas, Fatma, GPC, Aswin, dan Rico atas bantuan, kerja sama, dan kebersamaannya selama ini.

6. Anak-anak minang 45 yang kompak dan “rancak bana”.

7. Sahabat-sahabat baikku ayib, pras, ahmad, endra, gregor, jamal, meikris atas dukungan, semangat dan persahabatannya selama ini.

8. Keluarga Besar Avenzoar (FKH 45) sebagai teman seperjuangan di FKH IPB.

9. Keluarga Besar SRC atas dukungan dan doanya.

10.Keluarga Besar Wisma Galih yang membuat suasana tempat tinggal menjadi nyaman.

(9)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Oktober 2012

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 19 Agustus 1990 dari ayah Ardiman dan ibu Rahmalius. Penulis merupakan putra ketiga dari lima bersaudara.

Pada tahun 2002, penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN 14 Induring Kapau kemudian penulis melanjutkan sekolah di SLTPN 5 Bukittinggi dan lulus pada tahun 2005. Setelah lulus dari SLTP, penulis melanjutkan sekolah di SMAN 01 Bukittinggi dan lulus pada tahun 2008.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA... 4

Mastitis ... 4

Vaksinasi/Imunisasi ... 6

Mencit ... 9

Leukosit ... 10

Limpa ... 16

Sumsum Tulang ... 18

METODOLOGI ... 22

Waktu dan Tempat Penelitian... 22

Bahan dan Alat ... 22

Metode Penelitian ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

Respon deferensiasi sel darah perifer mencit ... 27

Neutrofil ... 27

Eosinofil ... 32

Basofil ... 34

Monosit ... 37

Limfosit ... 42

Jumlah pulpa putih dan diameternya pada limpa mencit ... 48

Luasan sumsum tulang mencit ... 50

KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56

(12)

xii DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Hubungan antara jumlah sel somatik dengan penurunan

produksi susu ... 5 Tabel 2. Hubungan antara jumlah sel somatik dengan perkiraan

kerugian ... 6 Tabel 3 Perbandingan kelebihan dan kekurangan vaksin hidup dan

vaksin mati ... 7 Tabel 4 Rata-rata persentase neutrofil mencit sebelum dan setelah

vaksinasi dengan vaksin Streptococcus agalactiae yang

diradiasi. ... 28 Tabel 5 Rata-rata persentase eosinofil mencit sebelum dan sesudah

vaksinasi dengan vaksin Streptococcus agalactiae yang

diradiasi ... 33 Tabel 6 Rata-rata persentase basofil mencit sebelum dan sesudah

vaksinasi dengan vaksin Streptococcus agalactiae yang

diradiasi ... 35 Tabel 7 Rata-rata persentase monosit mencit sebelum dan sesudah

vaksinasi dengan vaksin Streptococcus agalactiae yang

diradiasi ... 38 Tabel 8 Rata-rata persentase limfosit mencit sebelum dan sesudah

vaksinasi dengan vaksin Streptococcus agalactiae yang

diradiasi ... 44 Tabel 9 Jumlah dan diameter pulpa putih limpa mencit setelah

vaksinasi dengan vaksin Streptococcus agalactiae yang

diradiasi. ... 48 Tabel 10 Luas sumsum tulang mencit setelah vaksinasi dengan

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Fenomena gunung es mastitis subklinis ... 1

Gambar 2. Neutrofil mencit (perbesaran 100x) ... 11

Gambar 3. Eosinofil mencit (perbesaran 100x) ... 12

Gambar 4. Basofil mencit (perbesaran 100x) ... 13

Gambar 5. Monosit mencit (perbesaran 100x) ... 14

Gambar 6. Limfosit mencit (perbesaran 100x) ... 15

Gambar 7. Limpa mencit (perbesaran 4x) ... 17

Gambar 8. Potongan melintang tulang panjang ... 18

Gambar 9. Sumsum tulang (perbesaran 312x) ... 19

Gambar 10. Tahap perkembangan sel darah ... 20

Gambar 11. Os femur mencit (perbesaran 4x) ... 21

Gambar 12. Jadwal pada tahap perlakuan ... 23

Gambar 13. Pengambilan darah melalui arteri sinus retro orbitalis ... 24

Gambar 14a. Vaksinasi ... 24

Gambar 14b. Uji Tantang ... 24

Gambar 15. Neutrofil mencit kelompok vaksin ... 28

Gambar 16. Rata-rata persentase neutrofil mencit sebelum dan sesudah vaksinasi dengan vaksin Streptococcus agalactiae yang diradiasi. ... 29

Gambar 17. Eosinofil mencit kelompok vaksin tantang ... 32

Gambar 18. Rata-rata persentase eosinofil mencit sebelum dan sesudah vaksinasi dengan vaksin Streptococcus agalactiae yang diradiasi. ... 33

Gambar 19. Basofil mencit kelompok vaksin tantang ... 35

Gambar 20. Rata-rata persentase basofil mencit sebelum dan sesudah vaksinasi dengan vaksin Streptococcus agalactiae yang diradiasi. ... 36

(14)

xiv Gambar 22. Rata-rata persentase monosit mencit sebelum dan sesudah

vaksinasi dengan vaksin Streptococcus agalactiae yang

diradiasi. ... 39

Gambar 23a. Limfosit kelompok kontrol ... 43

Gambar 23b. Limfosit kelompok vaksin ... 43

Gambar 24. Rata-rata persentase limfosit mencit sebelum dan sesudah vaksinasi dengan vaksin Streptococcus agalactiae yang diradiasi. ... 44

Gambar 25. Limpa mencit kelompok kontrol ... 49

Gambar 26. Limpa mencit kelompok vaksin tantang ... 49

Gambar 27. Sumsum tulang mencit kelompok kontrol ... 52

(15)

LAMPIRAN

Halaman

(16)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pemenuhan kebutuhan protein hewani di Indonesia masih rendah, padahal protein hewani merupakan suatu unsur yang sangat dibutuhkan tubuh. Fungsi protein diantaranya sebagai zat penyusun tubuh, memperbaiki sel-sel yang rusak, dan sangat berperan dalam meningkatkan kecerdasan yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia (Setiawan 2006). Salah satu sumber protein hewani adalah susu. Konsumsi susu di Indonesia yang hanya 11,9 liter per kapita per tahun. Jumlah ini masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan Malaysia dan Filipina yang masing-masing mencapai 22,1 liter per kapita per tahun dan 12,1 liter per kapita per tahun (Febrida 2010).

Rendahnya konsumsi susu di Indonesia disebabkan beberapa faktor. Salah satu diantaranya adalah rendahnya produksi susu yang membuat harga susu menjadi mahal bahkan 70% dari konsumsi susu itu berasal dari impor susu (Febrida 2010). Rendahnya produksi susu ini disebabkan jumlah usaha peternakan sapi perah yang masih rendah dan banyaknya penyakit-penyakit yang menyebabkan turunnya produksi susu. Salah satu penyakit yang sering terjadi tapi tidak disadari adalah mastitis subklinis (Sudarwanto 1999).

Mastitis subklinis adalah peradangan pada ambing yang mengakibatkan turunnya produksi serta kualitas susu (Sudarwanto 1999). Kejadian ini pada sapi perah sangat tinggi yaitu sekitar 95%-98% dan fenomena kejadian mastitis ini seperti gunung es (Lukman et al. 2009).

(17)

Dari gambar di atas dinyatakan bahwa kejadian mastitis subklinis jauh lebih tinggi daripada mastitis klinis. Tingginya kejadian ini disebabkan oleh kebanyakan peternak tidak mengetahui sapi-sapinya terkena mastitis subklinis karena penyakit ini tidak menunjukkan gejala-gejala klinis yang spesifik dan hanya bisa diketahui dengan pengujian menggunakan California Mastitis Test (CMT), White Side Test (WST), Aulendorfer Mastitis Probe (AMP), dan Institut

Pertanian Bogor-1 Tes (IPB-1). Selain itu lingkungan yang sangat kotor membuat bakteri-bakteri sangat cepat berkembang dan mudah mengkontaminasi ambing. Tentu saja ini merupakan masalah besar yang harus dihadapi Indonesia karena penyakit ini dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar diantaranya turunnya produksi susu dan kualitas susu sehingga tidak bisa diolah menjadi produk olahan susu seperti yoghurt serta peningkatan biaya perawatan dan pengobatan (Lukman et al. 2009).

Selama ini upaya-upaya pencengahan terhadap penyakit mastitis subklinis ini telah banyak dilakukan diantaranya selalu menjaga kebersihan kandang dan lingkungan, melaksanakan prosedur desinfeksi sebelum dan sesudah pemerahan, dan selalu melakukan pemeriksaan mastitis (Hidayat et al. 2003). Namun upaya-upaya ini dirasa kurang efektif di Indonesia karena tetap saja kejadian mastitis tinggi di Indonesia. Selain itu penggunaan antibiotik yang tidak benar dalam pengobatan mastitis juga telah menimbulkan terjadinya resistensi bakteri penyebab mastitis terhadap antibiotik (Adwan 2006; Oliver dan Murinda 2012). Oleh karena itu pencegahan mastitis lebih diarahkan kepada pembuatan sebuah vaksin yang diharapkan mampu meningkatkan kekebalan hewan terhadap penyakit ini.

(18)

3 memungkinkan masuknya penyakit hewan melalui kontaminasi agen penyakit pada vaksin impor (Tetriara dan Sugono 2007).

Banyak metode dalam pembuatan sebuah vaksin. Salah satu metodenya yaitu dengan metode diradiasi. Metode ini dapat melemahkan agen penyebab infeksi dengan menggunakan sinar gamma sehingga virulensinya berkurang sehingga mampu merangsang sistem kekebalan tubuh (Syaifudin et al. 2008). Salah satu contoh vaksin yang diradiasi adalah “Vaksin Streptococcus agalactiae yang Diradiasi”, namun beberapa hal terkait vaksin ini memerlukan pengujian sehingga penelitian ini dilakukan untuk melihat respon vaksinasi pada hewan coba seperti gambaran diferensial leukosit dan organ limfoid. Oleh karena itu, diperlukan hewan model yaitu mencit sebelum vaksin ini digunakan pada hewan yang lebih besar seperti sapi atau kambing.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian vaksin S. agalactiae yang diradiasi terhadap peningkatan respon imun mencit (Mus musculus) melalui pemeriksaan diferensial leukosit, histopatologi limpa dan sumsum tulang.

Hipotesa

Ho : Vaksin S. agalactiae yang diradiasi dapat meningkatkan respon imun mencit terhadap bakteri S. agalactiae.

H1 : Vaksin S. agalactiae yang diradiasi tidak meningkatkan respon imun mencit terhadap bakteri S. agalactiae.

Manfaat Penelitian

(19)

TINJAUAN PUSTAKA Mastitis

Mastitis berasal dari bahasa Yunani yaitu “mastos” yang berarti kelenjar ambing (mammary gland) dan “itis” yang berarti peradangan. Mastitis secara umum di defenisikan sebagai peradangan jaringan internal kelenjar susu atau ambing yang disertai perubahan fisik, kimia, mikrobiologi, ditemukannya kuman patogen dan adanya peningkatan jumlah sel somatis terutama leukosit dalam susu dan dapat disertai perubahan patologi pada jaringan ambing (Sudarwanto 1999). Dalam beberapa literatur hampir semua kasus mastitis disebabkan oleh mikroorganisme dalam kelenjar ambing. Mikroorganisme itu dapat berupa bakteri, cendawan, mikoplasma, dan virus. Jenis bakteri yang banyak berperan sebagai penyebab mastitis yaitu Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus uberis, Staphylococcus aureus, Staphylococcus

epidermidis, Escherichia coli, Escherichia feundii, Aerobacter aerugenes dan Klebsiella pneumoniae (Poeloengan 2009). Selain itu, hasil penelitian Hamidjojo juga menemukan kebaradaan Streptococcus agalactiae sebesar 84,1%, staphylococcus aereus 9,7% serta E. coli sebesar 0,9 % pada kasus mastitis (Winaningrum 1999).

Ada dua macam mastitis yaitu mastitis klinis dan mastitis subklinis. Mastitis klinis yaitu mastitis yang ditandai dengan gejala klinis yang jelas seperti gejala panca radang, sedangkan mastitis subklinis yaitu peradangan jaringan interna ambing tanpa gelaja klinis seperti bengkak merah dan rasa sakit. Mastitis ini ditandai dengan peningkatan jumlah sel radang lebih dari 400.000 sel tiap ml susu yang berasal dari ambing laktasi normal (Sudarwanto 1997). Mastitis sering disebut penyakit mahal oleh peternakan sapi perah karena kerugian yang ditimbulkan penyakit ini tidak hanya pada turunnya produksi akan tetapi juga terhadap kualitas hasil olahan susu (Lukman et al. 2009).

(20)

fungsi-5 fungsi alveol terganggu sehingga produksi dan kualitas susu turun (Lukman et al. 2009)

Pada penelitian eksperimental mastitis subklinis menggunakan mencit, susunan histologi kelenjar mamae berubah. Sebagian besar kelenjar mengalami atropi (mengecil) karena sel epitel alveol mengalami degenerasi dan nekrosa, lumen menyempit bahkan ada alveol yang menghilang. Sel radang berupa PMN (polymorphonuclear), makrofag, dan limfosit menginfiltrasi fokus peradangan, fibrosis juga terjadi dan pergantian jaringan nekrotik oleh jaringan lemak. Jika jaringan lemak terbentuk dalam waktu yang cepat akan mengakibatkan involusi dini kelenjar mamae sehingga tidak mampu memproduksi susu. Sel epitel alveol mengalami degenerasi dan nekrosis yang ditunjukkan dengan perubahan intensitas warna sitoplasma sel yang berwarna lebih merah dengan inti mengecil berwarna lebih gelap dengan HE. Inti sel kadang-kadang menghilang (Estuningsih 2002).

Selain itu, pada mastitis subklinis juga terjadi peningkatan jumlah sel somatik. Peningkatan jumlah sel somatik ini memberikan efek negatif terhadap kualitas produk melalui aktifitas enzimatis (protease dan lipase). Aktivitas enzimatis berakibat pada menurunnya produk keju dan daya tahan susu pasteurisasi, perubahan produksi asam pada produk-produk susu fermentasi, produk mentega mudah menjadi tegik dan adanya perubahan rasa pada sebagian produk olahan. Peningkatan jumlah sel somatik juga mempengaruhi produksi susu sehingga menimbulkan banyak kerugian (Lukman et al. 2009). Berikut tabel hubungan antara jumlah sel somatik dengan penurunan produksi susu dan perkiraan kerugian.

Tabel 1 Hubungan antara jumlah sel somatik dengan penurunan produksi susu Jumlah sel somatik/ml Penurunan produksi susu (%)

500.000-1.000.000 1.000.000-5.000.000

>5.000.000

(21)

Tabel 2 Hubungan antara jumlah sel somatik dengan perkiraan kerugian Jumlah sel somatik/ml Kehilangan susu/tahun/sapi

250.000-500.000 500.000-750.000 750.000-1.000.000

>1.000.000

180 liter 340 liter 770 liter 900 liter Sumber: Lukman et al. (2009)

Vaksinasi/Imunisasi

Imunisasi adalah suatu proses membangkitkan kekebalan protektif dengan menggunakan antigen yang relatif tidak berbahaya (VMES 2004). Imunisasi memberi kekebalan yang efektif dengan membentuk antibodi yang cukup banyak dan menambah populasi sel-sel limfosit yang dapat berkembang dengan cepat bila terjadi kontak dengan antigen (Roitt 1985).

(22)

7 Tabel 3 Perbandingan kelebihan dan kekurangan vaksin hidup dan vaksin mati

Vaksin hidup Vaksin mati

Dapat menyebabkan penyakit karena virulensi residual

Diperlukan beberapa dosis ulangan Imunitas kuat dan selama hidup Tidak perlu adjuvan

Kurang resiko hipersensitivitas

Vaksin dapat merangsang produksi interferon

Tak mungkin menyebabkan penyakit karena virulensi residual atau kembali ke sifat semula

Tidak memerlukan dosis banyak Imunitas lemah

Sumber: Tizard (1987)

Menurut Tizard (1987) vaksinasi yang baik sebagai pengendali penyakit harus mempunyai kriteria sebagai berikut :

1. Identifikasi mutlak organisme penyebab dengan tepat 2. Mampu melindungi hewan terhadap penyakit

3. Resiko vaksinasi tidak melebihi resiko kemungkinan mengidap penyakit tersebut.

Suatu vaksin dapat berasal dari toxoid, virus, patogen protein, DNA, dan bakteri atau yang disebut sebagai vaksin bakteri. Vaksin bakteri yaitu vaksin yang barasal dari suatu bakteri yang telah dilemahkan faktor virulensinya (Kindt 2007). Salah satu contoh bakteri yang digunakan sebagai vaksin adalah Streptococcus agalactiae. Streptococcus agalactiae mempunyai faktor virulensi berupa kapsul polisakarida dan hemaglutinin. Kapsul polisakarida ini tersusun atas asam sialat dan senyawa karbohidrat lainnya yang membentuk struktur oligosakarida yang berperan dalam mencegah fagositosis, menentukan ketahanan hidup dan mencegah proses pembunuhan bakteri (Wibawan dan Laemmler 1990).

(23)

tahun 1967 Nussenzweig et al. melakukan penelitian vaksin yang telah diradiasi terhadap penyakit malaria pada mencit. Hasilnya membuktikan bahwa vaksinasi mencit dengan sporozoit Plosmodium berghei yang diatenuasi dengan radiasi mampu memproteksi tantangan sporozoit infektif (Syaifudin et al. 2008). Setelah itu, penelitian tentang vaksin yang radiasi semakin berkembang. Pada tahun 1992, Badan Teknologi Nuklir Nasional meluncurkan sebuah vaksin terhadap penyakit koksidiosis yang pembuatannya menggunakan radiasi.

Dalam pembuatan suatu bahan vaksin, jenis radiasi yang biasa digunakan adalah sinar gamma yang memiliki daya tembus tinggi dan panjang gelombang pendek (Hall 1994). Radiasi sinar gamma ini dapat menghasilkan suatu imunogen yang potensial untuk vaksin dan memicu pembentukan antibodi yang optimal dalam menahan infeksi berikutnya (Hook et al. 2003). Radiasi dengan dosis optimum akan menyebabkan kerusakan pada DNA sehingga mikroorganisme tidak mampu melakukan replikasi dan tidak menimbulkan infeksi (Syaifudin et al. 2008).

Penggunaan suatu vaksin dapat melalui beberapa rute namun yang paling umum dilaksanakan melalui intarmuskular dan subkutan karena caranya yang relatif mudah. Tehnik ini biasanya digunakan pada hewan yang jumlahnya relatif sedikit. Pada hewan yang jumlahnya banyak seperti ayam, pemberian vaksin dapat dilakukan melalui spray (aerosol), dicampurkan pada makan dan minumannya, diteteskan pada mata, dan lain-lain (Tizard 1987). Pada mencit pemberian vaksin lebih banyak dilakukan melalui intramuscular dan subkutan.

Vaksin akan mempengaruhi tanggap kebal. Antigen yang ada pada vaksin akan berikatan dengan reseptor yang ada pada limfosit. Ikatan ini akan merangsang limfosit untuk berkembang-biak dan berdiferensiasi menjadi sel B yang akhirnya menghasilkan antibodi dan sel T yang menimbulkan kekebalan berperantara sel (Tizard 1987). Berkembang biaknya limfosit ini akan mengakibatkan populasinya di darah perifer juga akan meningkat.

(24)

9 antibodi yang ada pada folikel ini akan berpindah menuju ke pulpa merah dan zona pembatas. Di sini sebagian besar antibodi diproduksi (Tizard 1987). Selain itu, dengan adanya vaksinasi juga akan merangsang proses hemopoietik pada sumsum tulang (Stockham dan Scott 2002).

Mencit

Mencit (Mus musculus) merupakan salah satu hewan rodensia yang cepat perkembangbiakannya, memiliki potensi reproduksi tinggi, masa kebuntingan yang singkat, berukuran kecil, dan fisiologis terkarakterisasi dengan baik. Selain itu mencit juga mempunyai harga yang relatif murah dan mudah dipelihara dalam jumlah banyak (Sirois 2005). Alasan inilah mencit banyak digunakan dalam penelitian biomedis untuk mempelajari teratologi, genetik, gerontologi, toksikologi, dan karsinogenesitas.

Sistem taksonomi mencit sebagai berikut (Arrington 1972): Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mammalia Ordo : Rodensia Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

Selain itu, untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam suatu penelitian, kita harus mengetahui data fisiologis serta perilaku-perilaku hewan tersebut. Berikut data fisiologis mencit yaitu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988):

Lama hidup : 1-2 tahun Lama kebuntingan : 19-21 hari Umur dewasa : 35 hari

(25)

Siklus estrus : 4-5 hari Siklus kelamin : poliestrus Lama estrus : 12-14 jam

Berat dewasa : 20-41 gram jantan, 18-35 gram betina Jumlah anak : rata-rata 6, bisa sampai 15

Volume darah : 75-80 ml/kg Sel darah putih : 6.0-12.6 x 103/mm3

Neutrofil : 12-30%

Eosinofil : 0.2-4.0%

Monosit : 1-12%

Limfosit : 55-85%

Penggunaan mencit dalam penelitian juga telah sampai pada percobaan pembuatan vaksin. Beberapa contoh vaksin yang percobaannya menggunakan mencit adalah vaksin streptococcus grub B, vaksin polisakarida multivalen S. Pneumoniae (Anonim 2010), vaksin DNA, vaksin pemblokir kokain, vaksin malaria (Johnson dan Roehrig 1998), dan lain sebagainya. Vaksin-vaksin ini dicoba pada mencit terlebih dahulu untuk melihat keefektifan dan keamanan dari vaksin sebelum digunakan oleh penggunanya.

Leukosit

(26)

11 (monosit dan limfosit). Pembagian ini didasarkan ada atau tidaknya butiran dalam sitoplasma (Frandson 1996).

1. Neutrofil

Morfologi neutrofil normal secara umum sama pada setiap spesies mamalia domestik. Kromatin dari nukleusnya mengalami pemadatan dan bersegmen-segmen. Neutrofil dikatakan matang apabila dia mempunyai minimal dua lobus. Sitoplasmanya umumnya tampak polos atau merah muda dan sedikit basofilik (Harvey 2001).

Gambar 2 Neutrofil mencit (perbesaran 100x) (Sumber: Theml et al. 2004) Neutrofil diproduksi dalam sumsum tulang bersama-sama sel granulosit lainnya. Jumlah neutrofil terbanyak kedua setelah sel limfosit dalam peredaran darah perifer mencit yaitu sebesar 20-30% dari total leukosit (Weiss dan Wardrop 2010). Neutrofil dapat bertahan 4-8 jam dalam sirkulasi dan 4-5 hari dalam jaringan. Ada tiga cara neutrofil masuk ke dalam jaringan yaitu diapedesis (melalui endotel pembuluh darah), ameboid motion, chemotaxis (melalui rangsangan zat kimia)(Guyton dan Hall 2006) .

(27)

fagositosis neutrofil menjadi inaktif dan mati bersama dengan mikroorganisme asing yang menghasilkan nanah yang nantinya akan diserap kembali oleh tubuh (Tizard 1987). Peningkatan jumlah neutrofil dalam peredaran darah terjadi akibat adanya infeksi akut, sedangkan penurunan jumlah neutrofil disebabkan infeksi yang berjalan kronis (Wick 1997). Penurunan jumlah neurofil disebabkan karena tidak mampunya neutrofil melawan agen infeksi sehingga merangsang peningkatan makrofag dan monosit di dalam tubuh (Tizard 1987). 2 Eosinofil

Eosinofil mempunyai granul yang besar dan bersifat asidofilik karena menyerap warna dari eosin. Nukleus dari eosinofil hampir sama dengan neutrofil tapi cenderung mempunyai lobulasi sedikit. Sitoplasmanya biasanya sedikit berwarna biru (Harvey 2001). Jumlah eosinofil yang bersirkulasi di dalam tubuh sekitar 0-7% (Weiss dan Wardrop 2010). Eosinofil diproduksi dalam jumlah banyak jika seekor hewan atau manusia terinfeksi oleh parasit. Meskipun sebagian besar parasit terlalu besar untuk difagositosis oleh eosinofil namun eosinofil dapat melakukan ini dengan cara menempel pada parasit. Setelah itu melepaskan beberapa substrat yaitu enzim hidrolitik dari granulnya, melepaskan bentuk oksigen yang sangat reaktif yang dapat mematikan parasit, atau melepaskan polypeptida yang larvasida dari granulnya (Guyton dan Hall 2006).

(28)

13 eosinofil dan basofil ikut berpartisipasi dalam reaksi alergi dan shock anafilaksis (Swenson et al. 1993). Basofil melepaskan chemotaxis eosinofil yang menyebabkan eosinofil bermigrasi ke radang jaringan akibat alergi. Eosinofil diyakini dapat mendetoksifikasi beberapa zat yang merangsang dilepaskan sel mast dan menghancurkan kompleks alergen-antibodi (Guyton dan Hall 2006).

3. Basofil

Basofil adalah granulosit yang bersifat polimormonuklear-basofilik. Pada umumnya basofil mempunyai sitoplasma berwarna biru pucat dan inti basofil kurang tersegmentasi daripada inti neutrofil. Granul basofil bersifat asam, berwarna biru tua sampai dengan ungu yang sering menutupi inti yang berwarna agak cerah (Harvey 2001). Basofil merupakan leukosit yang paling jarang, jumlahnya sangat rendah yaitu sekitar <1% dari leukosit dalam sirkulasi (Theml et al. 2004).

(29)

4. Monosit

Monosit merupakan leukosit mononuklear dan biasanya lebih besar dari pada limfosit. Monosit mempunyai inti seperti huruf “U” atau tapal kuda berbentuk ginjal, band-shaped, atau berbelit-belit (ameboid) dengan kromatin yang menyebar atau sedikit mengelompok. Sitoplasmanya biasanya berwarna biru-abu-abu dan sering terdapat vakuola (Harvey 2001). Jumlah monosit di dalam sirkulasi sekitar 2-8% dari leukosit yang beredar. Fungsi utama dari monosit adalah sebagai alat pertahanan terhadap infeksi bakteri, jamur, virus, dan benda asing (Theml et al. 2004).

Gambar 5 Monosit mencit (perbesaran 100x) (Sumber: Weiss dan Wardrop 2010)

(30)

15 (IL-10, TGF- ), regulasi metabolisme besi, menghapus jaringan yang mati dan rusak (Weiss dan Wardrop 2010).

Pada penyakit yang berlangsung kronis monosit lebih banyak ditemukan daripada neutrofil namun apabila penyakit bersifat akut neutrofil lebih banyak ditemukan daripada monosit atau makrofag (Ganong 1995).

5. Limfosit

Limfosit merupakan sel leukosit agranulosit yang memiliki sitoplasma dengan warna biru muda sedangkan intinya berwarna ungu tua. Limfosit mempunyai ukuran yang sangat bervariasi (Theml et al. 2004) dan jumlahnya dalam sirkulasi sekitar 70-80% dari total leukosit (Weiss dan Wardrop 2010). Ada dua jenis limfosit yatu limfosit kecil dan besar. Perbedaan kedua bisa di lihat dari besar sitoplasma yang terlihat. Biasanya limfosit besar intinya hampir menutupi semua sitoplasma sedangkan limfosit kecil sitoplasmanya jelas terlihat.

(31)

produksi antibodi oleh turunan sel B, sedangkan sel T sitotoksik merusak sel yang ditransplantasi dan sel asing lainya. Sel B berperan dalam imunitas humoral yaitu imunitas yang terbentuk karena antibodi bersirkulasi di dalam fraksi globulin protein plasma. Sel B dapat berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memory (Ganong 1995).

Sel B dan sel T kelihatan identik dan tidak bisa dibedakan secara morfologi. Karena itu untuk membedakan perlu mengenal beberapa ciri-ciri fungsionalnya. Salah satu cara untu membedakan sel T dan sel B adalah mengenal ciri khas antigen-permukaan sel. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat antisera khusus terhadap subpopulasi limfosit. Jadi, sel timus diinokulasi ke hewan yang berbeda spesies yang kemudian akan menanggapinya dengan membuat antibodi anti-sel T khusus. Antibodi ini secara kimiawi dapat disenyawakan dengan zat warna flouresen. Bila limfosit direndam dalam antibodi flouresen ini maka antibodi akan mengikat sel T dan akan bersinar di dalam kegelapan jika di sinari ultraviolet. Teknik ini juga bisa digunakan untuk sel B dengan menggunakan serum anti-imunoglobulin permukaan sel yang akan mengikat sel B (Tizard 1987). Selain itu, dewasa ini juga banyak dibuat antibodi monoklonal terhadap subpopulasi limfosit yang digunakan dengan tehnik imunohistokimia untum mencari sel-sel tersebut di jaringan tubuh.

Limpa

(32)

17 terpisah dari pulpa merah oleh sinus pembatas yaitu suatu selubung retikulum dan zona pembatas yang terdiri atas sel (Tizard 1987).

Gambar 7 Limpa mencit (perbesaran 4x). Pulpa putih (a); Pulpa merah (b); Marginal zone atau zona pembatas (c); Kapsula (d). (Sumber: Bacha dan Bacha 2000)

Pembuluh darah memasuki hilus limpa dan bercabang masuk ke trabekula. Ketika memasuki parenkim limpa dan mengelilingi pulpa putih, terdapat daerah yang disebut dengan arteri pusat. Adanya akumulasi limfosit pada daerah ini akan membentuk periarterial lymphatic sheaths (PALS). Setelah meninggalkan pulpa putih, arteri akan bercabang menjadi beberapa arteriol dan kembali bercabang menjadi kapiler. Umumnya percabangan ini disebut penicillus karena secara kolektif mereka seperti bulu sikat. Kapiler dari penicillus dikelilingi oleh lapisan konsentris dari makrofag. (Bacha dan Bacha 2000).

Antigen yang masuk ke dalam limpa akan dijerat oleh makrofag baik yang terdapat pada zona pembatas (marginal zone) maupun zona yang membatasi sinusoid pulpa merah. Sel ini membawa antigen ke folikel primer dalam pulpa putih. Setelah beberapa hari, sel plasma bermigrasi. Sel plasma menempati zona pembatas dan pulpa merah. Disinilah partama kali terbentuk antibodi terhadap antigen tersebut. Pembentukan pusat germinal juga terbentuk dalam folikel primer. Selain itu apabila antigen memasuki limpa maka dimulailah penjeratan limfosit yaitu limfosit yang biasanya melewati secara bebas organ ini, terjerat sehingga tidak dapat lepas. Sifat proses penjeratan ini belum jelas, namun mungkin terjadi sebagai akibat interaksi antara antigen dengan makrofag sehingga

a

b

(33)

menyebabkan keluarnya monokin yang mempengaruhi pergerakan limfosit. Penjeratan ini berfungsi untuk mengumpulkan sel peka-antigen di tempat yang dekat dengan tempat antigen terkumpul yang secara tidak langsung menambah efisiensi tanggap kebal (Tizard 1987).

Setelah kurang lebih 24 jam, limpa mulai melepaskan sel yang terjebak dan memperlihatkan adanya pertambahan jumlah sel selama kurang lebih tujuh hari. Pada akhir dari semua periode ini, banyak sel yang dilepaskan ke perifer menjadi penghasil antibodi dan sel memori (Tizard 1987).

Sumsum Tulang

(34)

19

Gambar 8 Potongan melintang tulang panjang. (Sumber Weiss dan Wardrop 2010)

(35)

Sel darah awalnya berasal dari sel omnipotent yang berkembang menjadi sel limfoid pluripotent dan sel myeloid pluripotent. Sel limfoid menghasilkan keturunan limfosit sedangkan sel myeloid menghasilkan keturunan eritrosit, megakariosit, basofil, eosinofil, neutrofil dan makrofag (Weiss dan Wardrop 2010).

Perkembangan sel-sel limfoid dan myeloid bervariasi melalui beberapa tahap seperti pada gambar 9.

(36)

21 membentuk kacang sebelum akhirnya membentuk segmentasi pada saat pematangan (Weiss dan Wardrop 2010).

Pada gambar 10 juga menjelaskan bahwa sel limfoid berkembang menjadi NK Cell, T-limphoblast, dan B- T-limphoblast yang akan menghasilkan NK Cell, limfosit T, dan limfosit B. Sel limfoid yang belum matang dan makrofag terletak di dekat endosteum dan arteriol sedangkan limfosit yang sudah matang terletak di parenkim sumsum tulang (Weiss dan Wardrop 2010) dan akan bermigrasi ke organ limfoid sekunder seperti limpa dan limfonodus untuk mengalami pendewasaan (Tizard 1987).

Semua sel darah yang sudah matang masuk dalam sinusoid dan terus ikut dalam aliran darah sedangkan sel yang belum matang akan tetap tinggal dalam sumsum tulang. Pada mencit 70-90% dari ruang sumsum tulang merupakan tempat terjadinya hematopoietis. Adanya perubahan morfologi sel, perubahan jumlah relatif dalam populasi sel, perubahan urutan perkembangan dan tidak adanya salah satu sel darah merupakan indikasi adanya gangguan hematopoiesis pada hewan tersebut (Barthold et al. 2007).

Gambar 11 Os Femur mencit (Perbesaran 4x). Sumsum tulang (1). (Li et al. 2010)

(37)

METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2010 sampai dengan Januari 2011 (Lampiran 1).

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah 12 mencit betina berumur tiga minggu, pakan, vaksin S. agalactiae yang diradiasi, antibiotik (Clavamox, dosis 250 mg/kgBB), obat-Helmint (Albendazol 5%, dosis 10 mg/kgBB), anti protozoa (Flagyl, dosis 50 mg/kgBB), aquades, alkohol 70%, xylazine 10%, ketamin 2%, ether, xylol, parafin, Hematoxylin Eosin, Giemza, metanol, asam pikrat, asam nitrat, Buffered Neutral Formalin 10% (BNF), vitamin C dan B.

Alat yang digunakan adalah kandang mencit, tempat pakan, kertas label, buku catatan, timbangan, kapas, tisu, syringe (1 ml, 5 ml, 10 ml), sonde lambung, tabung 50 ml, alumunium soil, stiroform, alas kandang, jarum pentul, botol air minum, gunting, pinset, gelas objek, kaca penutup, mortal, gelas piala, pipet kapiler, micropipet, ependorf, tissue cassette, pisau, benang, staples, mikrotom, cetakan parafin cair, inkubator, stopwacth, automatic tissue prosessor, mikroskop cahaya, camera digital dan eyepiece digital camera.

Metode Penelitian Tahap Adaptasi

(38)

23 antibiotik (Clavamox) dengan dosis 250 mg/kgBB selama lima hari berturut-turut. Pada hari pertama minggu kedua mencit kembali diberi obat cacing dengan dosis yang sama dengan dosis minggu pertama. Dua hari setelah itu mencit diberi anti jamur (Flagyl) dengan dosis 50 mg/kgBB selama lima hari berturut. Selama minggu kedua ini mencit di beri vitamin B dan C dengan dosis 60 IU/ml air minum. Semua pemberian obat cacing, antibiotik dan anti jamur dilakukan secara peroral.

Tahap perlakuan

Berikut skema tahap perlakuan selama lima minggu dalam penelitian ini :

Gambar 12 Jadwal pada tahap perlakuan

(39)

dilanjutkan dengan pembuatan preparat ulas darah dengan cara mengulas darah di atas gelas objek dan dimasukkan ke dalam metanol selama 10 menit untuk difiksasi. Sampel darah tersebut diwarnai dengan pewarnaan Giemsa (1:9) selama 30 menit, dikeringkan dan ditutup dengan gelas penutup. Pengambilan darah dilakukan tiap minggu selama lima minggu.

Gambar 13 Pengambilan darah melalui arteri sinus retro orbitalis

Vaksinasi pertama dilakukan pada minggu I dan vaksin booster pada minggu ke-2, 3, 4. Vaksin diinjeksikan secara intra peritoneal sebanyak 0,2 ml/mencit dengan dosis 108 cfu/ml (Gambar 14a). Seminggu setelah mencit-mencit ini partus atau minggu ke-5 dilakukan nekropsi dan sehari sebelumnya dilakukan uji tantang dengan meneteskan suspensi S. agalactie pada orificium externa kanal puting mencit sebanyak 50 µ l tiap puting dengan dosis 108 cfu/ml (Gambar 14b).

Gambar 14 (a) Vaksinasi. (b) Uji Tantang

(40)

25 Tahap Nekropsi

Mencit dieuthanasi menggunakan xylazine dan ketamin dengan dosis berlebih dan pada saat dia teranesthesi dilakukan pengambilan darah melalui intracardial untuk pembuatan preparat ulas darah. Setelah mencit mati, rongga abdomen dibuka untuk pengambilan limpa, dan kaki kanan belakang mencit dipreparir untuk pengambilan os femur. Limpa dan os femur selanjutnya diproses untuk pembuatan sediaan histopatologi dengan pewarnaan HE.

Pada saat nekropsi juga dilakukan pemeriksaan patologi anatomi limpa dan sumsum tulang dengan melihat apakah ada perubahan secara anatomi seperti ukurannya yang membesar, adanya perubahan bentuk, adanya perubahan konsistensi, dan perubahan secara patologi seperti adanya hemoragi, ulkus, erosi, perubahan warna, dan kemungkinan adanya tumor.

Tahap Pembuatan Sedian Histopatologi

Setiap organ dipotong (trimming) secara melintang setebal 0,5 cm, lalu dimasukkan ke dalam tissue cassette. Selanjutnya dilakukan dehidrasi menggunakan alkohol konsentrasi bertingkat (70% hingga absolut) dalam automatic tissue prosessor selama 18 jam. Alat ini bekerja secara otomatis untuk menarik air dari jaringan dan dilanjutkan dengan infiltrasi parafin cair. Tahapan selanjutnya adalah proses embedding atau penanaman jaringan ke dala blok parafin kemudian disimpan dalam refrigator (4-60C). Blok parafin dipotong setebal 5µ m menggunakan mikrotom lalu diletakkan di atas gelas objek. Sediaan diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam agar parafin meleleh dan jaringan melekat kuat pada gelas objek. Pewarnaan yang dilakukan adalah pewarnaan HE melalui beberapa tahap yaitu deparafinisasi, rehidrasi, pewarnaan, pencucian, adan penutupan menggunakan gelas penutup.

Pengamatan Histopatologi

(41)

neutrofil, eosinofil, dan basofil sampai jumlah keseluruhannya 100 atau menghitung nilai dari leukosit. Dalam menghitung diferensial darah arah pandangnya bergerak zig-zag supaya dapat mencakup semua area pandang dan mencegah terhitungnya area pandang yang sama dua kali.

Pengamatan preparat histopatologi limpa dan sumsum tulang dilakukan dengan pengambilan gambar menggunakan eyepiece digital camera dengan perbesaran 4x. Jumlah dan diameter pulpa putih pada limpa serta luas sumsum tulang dihitung dengan menggunakan perangkat lunak ImageJ® pada luasan 1,4 mm2. ImageJ® (rsbweb.nih.gov/ij/).

Analisis Statistik

(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Vaksinasi adalah suatu proses membangkitkan kekebalan protektif dengan menggunakan antigen yang relatif tidak berbahaya (Tripp 2004). Vaksinasi merupakan metode yang paling efektif untuk mencegah penyakit, meningkatkan efisiensi produksi makanan, dan mengurangi atau mencegah transmisi penyakit-penyakit zoonotik ke manusia (Roth 2011). Banyak metode dalam pembuatan sebuah vaksin. Salah satu metodenya yaitu dengan metode diradiasi. Metode ini dapat melemahkan agen penyebab infeksi dengan menggunakan sinar gamma sehingga virulensinya berkurang sehingga mampu merangsang sistem kekebalan tubuh (Syaifudin et al. 2008). Contoh vaksin yang diradiasi adalah vaksin Koksivet, Brucella abortus, Neospora caninum, Dictyocaulus, Fasciolosis (Tetriana dan Sugoro 2007).

Penelitian ini dilakukan untuk melihat respon vaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi melalui tiga parameter yaitu deferensiasi leukosit (neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, dan limfosit), jumlah dan diameter pulpa putih pada limpa, serta luas sumsum tulang. Ada empat kelompok mencit dalam penelitian ini yaitu kelompok kontrol (K), kelompok vaksin (V), kelompok vaksin tantang (VT), dan kelompok tantang (T).

1. Respon deferensiasi sel darah perifer mencit terhadap vaksin S. agalactiae yang diradiasi.

1a. Neutrofil

(43)

Gambar 15 Neutrofil mencit kelompok vaksin. Inti (1); Sitoplasma (2).

Menurut Harvey (2001) ciri-ciri neutrofil yaitu intinya bersegmen (minimal dua lobus) dan sitoplasmanya terlihat polos dan bergranul halus. Berikut hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase neutrofil mencit yang divaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi disajikan pada Tabel 4, sedangkan grafik dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 16.

Tabel 4 Rata-rata persentase neutrofil mencit sebelum dan setelah vaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi. (dalam persen (%))

Kelom- Pok

Minggu

1** 2 3 4 5***

K 9.67±4.9abc 9.67±4.7abc 10±7.6abc 10±3.6abc 13±11.2abc V 16±9.9bc 3.67±1.2a 13±7.0abc 13±7.0abc 9.33±3.5abc VT* 17.33±4.0c 4.67±3.2ab 7±1.7abc 10.3±4.2abc 11±0.0abc

T* 8±5.0abc 6.33±2.9abc 13.67±12.7abc 10.3±4.5abc 8.67±5.0abc

Keterangan: *sehari sebelum nekropsi ditantang. **minggu I sebelum vaksinasi. ***nekropsi.

Huruf superskrip berbeda pada kolom dan baris yang sama menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05.

Pada minggu pertama terdapat variasi walaupun tidak berbeda nyata. Persentase kelompok V dan VT mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada kelompok K dan T. Hal ini disebabkan adanya variasi individu dalam merespon lingkungannya. Selain itu faktor genetik juga dapat menyebabkan perbedaan ini karena mencit yang digunakan berasal dari indukan yang

20 µm

1

(44)

29 berbeda-beda sehingga resiko adanya perbedaan genetik cukup besar. Menurut Evans et al. 1999 faktor genetik dan lingkungan dapat menyebabkan adanya variasi individu dalam mengekspresikan leukosit sehingga terjadi variasi jumlah neutrofil, monosit, eosinofil dan limfosit.

Gambar 16 Rata-rata persentase neutrofil mencit sebelum dan sesudah vaksinasi

dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi.

Pada tabel dan grafik di atas terlihat bahwa persentase neutrofil kelompok kontrol (K) pada minggu ke-1, 2, 3, 4 cenderung meningkat, namun tidak berbeda nyata. Pada minggu ke-5 terjadi sedikit peningkatan dari 10% menjadi 13%. Peningkatan ini mungkin disebabkan adanya faktor stres sebelum nekropsi karena kelompok K tidak mengalami perlakuan apapun sebelumnya. Tindakan handling dan pembiusan sebelum nekropsi yang sebelumnya tidak pernah dialami mencit membuat kondisi mencit menjadi stres. Menurut Colville dan Bassert (2002) stres akan menyebabkan peningkatan sekresi ACTH (adenocorticotropic hormone) yang mengakibatkan peningkatan glukokortikoid di dalam darah. Glukokortikoid dikenal sebagai anti peradangan karena glukokortikoid mencegah migrasi netrofil dari darah dibawah pengaruh ekspresi molekul adhesi leukosit (L selektin dan B2 integrin) yang berperan penting dalam mengatur pergerakan neutrofil dari sirkulasi ke dalam jaringan (Jain 1993). Terhambatnya migrasi neutrofil ke jaringan ini mengakibatkan jumlah neutrofil di dalam pembuluh darah meningkat.

0

minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu 5

(45)

Pada minggu ke-2 terjadi penurunan neutrofil yang signifikan dan berbeda nyata pada kelompok V dan VT. Penurunan ini disebabkan karena adanya tindakan vaksinasi seminggu sebelumnya. Vaksinasi dilakukan melalui injeksi intraperitoneal. Menurut Cho et al. (2011) lima belas menit setelah vaksinasi jumlah antigen yang berasal dari vaksin mulai meningkat di dalam pembuluh darah. Namun setelah 24 jam berikutnya jumlah antigen ini menurun seiring dengan peningkatan jumlah antigen di organ-organ seperti hati, limpa, limponodus, paru-paru, dan ginjal. Antigen akan merangsang neutrofil untuk keluar dari pembuluh darah ke tempat dimana terdapat banyak antigen tersebut untuk melakukan fagositosis (Sunderkotter et al. 2003; Agricola et al. 2008). Akibatnya neutrofil di dalam pembuluh darah akan mengalami penurunan.

Pada minggu ke-3, terjadi peningkatan persentase neutrofil baik kelompok V maupun kelompok VT namun tidak berbeda nyata. Vaksinasi akan merangsang terbentuknya antibodi pada mencit. Hal ini terbukti dari penelitian Tuasikal (2012) yang menyatakan bahwa mencit yang di vaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi memiliki tingkat IgG lebih tinggi daripada kelompok yang tidak divaksin. Pada saat booster pertama, adanya antibodi akan berikatan dengan antigen yang ada pada booster. Ikatan ini akan merangsang neutrofil untuk datang dan membuat neutrofil lebih sensitif. Menurut Tizard (1987) antibodi memiliki kemampuan untuk berikatan pada antigen spesifiknya dan merupakan faktor kemotaktik bagi neutrofil untuk datang ke tempat terjadinya reaksi antigen-antibodi. Akibatnya terjadi peningkatan neutrofil di pembuluh darah untuk didistribusikan ke jaringan.

(46)

31 karena adanya perbedaan respon imun mencit. Menurut Thomas (2009) ada beberapa faktor yang mempengaruhi adanya variasi dalam respon imun yaitu umur, jenis kelamin, ras, kualitas antigen, dosis dan rute pemberian antigen, dan genetik.

Pada minggu ke-5 (nekropsi), terjadi penurunan jumlah neutrofil pada kelompok V sedangkan pada kelompok VT justru terjadi peningkatan. Peningkatan neutrofil ini disebabkan adanya tantangan dengan bakteri S. agalactiae sehari sebelum nekropsi. Bakteri S. agalactiae diberikan melalui orificium externa kanal puting mencit yang mengakibatkan kerusakan pada epitel alveol mamae. Produk yang dihasilkan oleh kerusakan ini seperti histamin, trombin dan produk bakteri seperti lipopolisakkarida (LPS) akan mengaktivasi neutrofil keluar pembuluh darah untuk melakukan fagositosis (Lamoureux et al. 2012; Tizard 2004). Setelah melakukan fagositosis neutrofil akan mengalami lisis dan melepaskan histamin dan faktor leukopoietik (sitokin dan interleukin) yang akan merangsang sumsum tulang melepaskan cadangan neutrofil sehingga jumlah neutrofil di dalam pembuluh darah meningkat (Meyer et al. 1992 dalam Hafizhiah 2008).

(47)

6-8 ekor/mencit (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Pada minggu ke-4 jumlah neutrofil kembali turun. Hal ini menandakan bahwa kondisi mencit sudah tidak stres lagi sehingga tidak ada yang menghambat migrasi neutrofil keluar pembuluh darah. Pada minggu ke-5 (nekropsi), terjadi penurunan neutrofil di pembuluh darah. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya infeksi bakteri S. agalactiae pasca tantang sehari sebelumnya. Bakteri ini membuat kerusakan jaringan sehingga merangsang neutrofil untuk keluar dari pembuluh darah menuju jaringan yang mengalami kerusakan. Keluarnya neutrofil ini mengakibatkan jumlahnya di pembuluh darah menjadi berkurang.

1b. Eosinofil

Eosinofil merupakan leukosit multifungsi yang terlibat dalam patogenesis berbagai proses inflamasi termasuk infeksi parasit dan alergi (Rothenberg dan Hogan 2006; Alessandry et al. 2011). Eosinofil memiliki kemampuan untuk membunuh banyak spesies cacing. Eosinofil membunuh cacing melalui kemampuan mereka untuk menghasilkan oksidan kuat dan melalui protein kationik yang terdapat pada granulnya (Gleich dan Adolphson 2003). Jumlah eosinofil yang bersirkulasi di dalam tubuh mencit sekitar 0-7% (Weiss dan Wardrop 2010).

Gambar 17 Eosinofil mencit kelompok vaksin tantang. Inti (1); sitoplasma (2).

Menurut Weiss dan Wardrop (2010) eosinofil mempunyai sitoplasma yang mengandung granul yang besar dan bersifat asidofilik dan berwarna merah muda. Inti dari eosinofil hampir sama dengan neutrofil tapi cenderung

20 µm

(48)

33 mempunyai lobulasi sedikit dan tidak tersegmentasi dengan baik. Berikut hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase eosinofil yang divaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi disajikan pada Tabel 5, sedangkan grafik dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 18.

Tabel 5 Rata-rata persentase eosinofil mencit sebelum dan sesudah vaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi. (dalam persen (%))

Kelom-

Keterangan: *sehari sebelum nekropsi ditantang. **minggu I sebelum vaksinasi. ***nekropsi.

Huruf superskrip berbeda pada kolom dan baris yang sama menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05.

Gambar 18 Rata-rata persentase eosinofil mencit sebelum dan sesudah vaksinasi

dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi.

Rata-rata persentase eosinofil setiap kelompok tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa vaksin ini tidak mempengaruhi terhadap persentase eosinofil. Persentase eosinofil meningkat pada minggu ke-4, 5 kelompok VT menjadi 0,67%, namun peningkatan ini masih dalam kisaran normal. Hal ini disebabkan karena adanya tantangan sehari sebelum nekropsi pada minggu ke-5. Patogenitas yang tinggi dari S.

minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu 5

(49)

agalactiae akan merangsang peningkatan eosinofil untuk melakukan fagositosis. Menurut Fawcett (2002) eosinofil memiliki kemampuan untuk membunuh bakteri namun tidak seefektif neutrofil. Selain itu, dengan adanya vaksinasi pada kelompok VT mengakibatkan terbentuknya antibodi sehingga pada saat ditantang dengan antigen yang sama terjadi reaksi antigen-antibodi yang dapat merangsang peningkatan eosinofil. Interleukin-5 dan sitokin lain yang dilepaskan ke tempat terjadinya reaksi antigen-antibodi merangsang proliferasi prekursor dan pembebasan eosinofil dari sumsum tulang ke dalam darah sehingga jumlah eosinofil di pembuluh darah sedikit meningkat (Fawcett 2002).

Sel mast dan eosinofil merupakan sel-sel efektor utama dari suatu reaksi alergi. Eosinofil mengatur efek peradangan alergi dengan menghancurkan faktor yang dilepaskan sel mast (Elishmereni et al. 2011). Eosinofil tertarik ke tempat terjadinya degranulasi sel mast oleh faktor kemotaktik eosinofil dari anapilaksis (FKE-A), leukotrien B, histamin, dan hasil penguraiannya. Setelah sampai ditempat tersebut, faktor-faktor yang dilepaskan oleh sel mast ini akan dihancurkan oleh enzim eosinofil. Eosinofil mengandung histaminase yang memecah histamin, arilsulfatase yang menghancurkan leukotrien dan fosfolipase D yang menguraikan faktor pengaktif trombosit. Di samping itu, eosinofil meningkatkan produksi prostaglandin E1, yang menaikkan tingkat

AMP siklik sel mast sehingga menghambat degranulasi sel mast (Tizard 1987). Jadi tidak adanya perbedaan yang nyata pengaruh vaksin terhadap persentase eosinofil menunjukkan bahwa vaksin ini aman dan tidak menimbulkan reaksi alergi.

1c. Basofil

(50)

35 memicu pembesaran dan peningkatan permeabilitas kapiler di dekatnya sehingga terjadi reaksi peradangan (Campbell et al. 2004).

Gambar 19 Basofil mencit kelompok vaksin tantang. Inti (1); Sitoplasma (2);

Granul (3)

Menurut Harvey (2001) Basofil adalah granulosit yang bersifat polimormonuklear-basofilik. Basofil mempunyai sitoplasma berwarna biru pucat dan inti basofil kurang tersegmentasi daripada inti neutrofil. Granul basofil bersifat asam, berwarna biru tua sampai dengan ungu yang sering menutupi inti yang berwarna agak cerah. Berikut hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase basofil yang divaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi disajikan pada Tabel 6, sedangkan grafik dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 20.

Tabel 6 Rata-rata persentase basofil mencit sebelum dan sesudah vaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi. (dalam persen (%))

Kelom- pok

Minggu

1** 2 3 4 5***

K 0.33±0.6a 0±0.0a 0±0.0a 0±0.0a 0±0.0a

V 0±0.0a 0±0.0a 0.33±0.6a 0±0.0a 0±0.0a

VT* 0±0.0a 0±0.0a 0±0.0a 0±0.0a 0.33±0.6a

T* 0±0.0a 0.67±1.2a 0±0.0a 0±0.0a 0±0.0a

Keterangan: *sehari sebelum nekropsi ditantang. **minggu I sebelum vaksinasi. ***nekropsi.

Huruf superskrip berbeda pada kolom dan baris yang sama menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05.

20 µm

1

(51)

Gambar 20 Rata-rata persentase basofil mencit sebelum dan sesudah vaksinasi

dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi.

Dari grafik di atas terlihat adanya beberapa peningkatan persentase basofil seperti pada minggu ke-3 kelompok vaksin, minggu 5 kelompok VT dan peningkatan paling tinggi terjadi pada minggu ke-2 kelompok T. Akan tetapi secara keseluruhan rata-rata persentase basofil pada setiap kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05).

Antigen yang terdapat pada vaksin S. agalactiae yang diradiasimerupakan antigen yang telah dilemahkan dengan radiasi. Radiasi akan menyebabkan patogenitasnya berkurang namun tidak kehilangan sifat antigeniknya sehingga antigen ini dapat menimbulkan antibodi dan merangsang sistem kekebalan yang dibuktikan dengan tingginya kadar IgG (Tuasikal 2012). Berkurangnya patogenitas antigen ini membuat antigen ini tidak akan menimbulkan kerusakan jaringan atau alergi. Selain itu, berdasarkan penelitian Tuasikal (2012) vaksin ini merangsang peningkatan IgG sehingga tidak akan menimbulkan peningkatan basofil karena basofil meningkat apabila terdapat IgE (Guyton dan Hall 2006).

Peningkatan basofil juga tidak terjadi pada kelompok VT walaupun antigen pada tantang mempunyai patogenitas tinggi. Hal ini disebabkan S. agalactiae hanya melakukan adhesi atau perlekatan pada epitel alveol tanpa melakukan invasif sehingga tidak menimbulkan kerusakan jaringan atau peningkatan basofil. Menurut Wibawan (1998) S. agalactiae yang memiliki

0

minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu 5

(52)

37 Hemaglutinin yang mempunyai kemampuan adhesi lebih besar pada sel epitel alveol.

Ditinjau dari fungsinya, basofil merupakan komponen yang sangat mirip dengan sel mast. Sel mast dan basofil ini memainkan peranan yang sangat penting dalam sebuah reaksi alergi yang disebabkan oleh antibodi seperti Imunoglobulin E (IgE) (Galli 2000). Apabila antigen spesifik untuk IgE beraksi dengan antibodinya, maka akan menyebabkan sel mast dan basofil akan degranulasi, pecah dan melepaskan histamin, bradikidin, serotonin, heparin, slow-reacting substance dari anafilaksis, dan sejumlah enzim lisosom. Ini menyebabkan peradangan pada pembuluh darah lokal dan reaksi alergi (Karasuyama et al. 2011; Guyton dan Hall 2006). Jadi tidak adanya perbedaan yang nyata pengaruh vaksin terhadap persentase basofil menunjukkan bahwa vaksin ini aman dan tidak menimbulkan reaksi alergi dan peradangan.

1d. Monosit

(53)

Gambar 21 Monosit mencit kelompok vaksin tantang. Inti (1); Sitoplasma (2)

Berikut hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase monosit yang divaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi disajikan pada Tabel 7, sedangkan grafik dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 22.

Tabel 7 Rata-rata persentase monosit mencit sebelum dan sesudah vaksinasi dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi. (dalam persen (%))

Kelom- pok

Minggu

1** 2 3 4 5***

K 1.33±0.6abc 1.67±2.0abc 1.33±1.2abc 4±3.0c 2±1.7abc V 1.67±1.2abc 0±0.0a 1.67±0.6abc 3±2.6abc 0.33±0.6ab VT* 4.33±3.0c 0.33±0.6ab 2.67±1.2abc 1.33±0.6abc 2±2.0abc

T* 0.67±0.6ab 1.33±0.6abc 0.67±1.2ab 3.33±1.2bc 2.67±0.6abc

Keterangan: *sehari sebelum nekropsi ditantang. **minggu I sebelum vaksinasi. ***nekropsi.

Huruf superskrip berbeda pada kolom dan baris yang sama menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05.

20 µm

(54)

39

Gambar 22 Rata-rata persentase monosit mencit sebelum dan sesudah vaksinasi

dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi.

Pada tabel dan grafik di atas terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.05) persentase monosit antara kelompok K dan T pada minggu ke-1,2,3 walaupun terjadi sedikit kenaikan. Pada minggu ke-4 terjadi kenaikan persentase monosit yang cukup tinggi yaitu sebesar 2,7% baik kelompok K maupun kelompok T. Kenaikan ini mungkin disebabkan karena mencit berada pada akhir kebuntingan dan minggu partus. Menurut Lurie et al. (2006) monosit akan meningkat signifikan pada masa akhir kebuntingan. Periode kebuntingan dan partus dilaporkan sebagai kondisi stres fisiologis yang disertai peningkatan hormon glukokortikoid. Tingginya hormon glukokortikoid akan menekan aktivitas fagositosis (Widhyari 2005). Rendahnya aktivitas fagositosis neutrofil juga mengakibatkan aktifitas monosit juga rendah karena tidak ada faktor kemotaktik yang dilepaskan neutrofil untuk merangsang monosit ke jaringan. Menurut Tizard (2004) makrofag atau monosit tertarik secara kemotaktik bukan hanya pada produk mikroorganisme tapi juga pada faktor yang dilepaskan oleh sel yang rusak terutama neutrofil. Akibatnya jumlah monosit di pembuluh darah tinggi.

Pada minggu ke-5 terjadi penurunan persentase monosit baik pada kelompok K maupun T. Hal ini disebabkan sudah mulai turunnya hormon glukokortikoid yang mengakibatkan aktivitas fagositosis kembali meningkat sehingga persentase monosit di pembuluh darah menjadi turun. Pada kelompok

0

minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu 5

(55)

K terjadi penurunan persentase monosit yang lebih besar daripada kelompok T yaitu sebesar 2%. Hal ini disebabkan karena kelompok T di tantang dengan bakteri S. agalactiae melalui intramamae. Infeksi bakteri ini akan mengakibatkan kerusakan pada jaringan mamae. Produk-produk dari bakteri seperti lipopolisakarida (LPS) dan faktor yang dikeluarkan oleh sel yang rusak (mediator inflamasi) seperti nitric oxide (NO), prostaglandin E2, interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor (TNF) akan menginduksi peningkatan monosit di dalam pembuluh darah untuk segera keluar menuju jaringan yang rusak (Haase et al. 2008). Selain itu, rendahnya persentase neutrofil di pembuluh darah menandakan aktifitas fagositosis neutrofil di jaringan tinggi. Aktifitas fagositosis ini akan menyebabkan neutrofil rusak dan merangsang peningkatan monosit (Tizard 1987). Akibatnya terjadi penurunan monosit yang tidak terlalu besar seperti kelompok T. Sedangkan pada kelompok K tidak ada antigen yang menginduksi peningkatan monosit ini di dalam pembuluh darah sehingga terjadi penurunan yang cukup besar.

(56)

41 terdapat banyak antigen tersebut untuk melakukan fagositosis. Setelah melakukan fagositosis neutrofil akan rusak dan akan menginduksi monosit untuk keluar juga dari pembuluh darah untuk melakukan fagositosis (Tizard 2004). Akibatnya monosit di dalam pembuluh darah juga akan mengalami penurunan.

Pada minggu ke-3, Kelompok V dan VT masing-masing 1,67% dan 2.67% namun tidak berbeda nyata. Hal ini berkaitan dengan aktifitas fagositosis dari neutrofil akibat adanya antigen. Pada kelompok VT aktifitas neutrofil lebih tinggi daripada kelompok V yang dibuktikan dengan persentase neutrofil di pembuluh darah lebih kecil daripada kelompok V karena keluar menuju jaringan. Aktifitas fagositosis dari neutrofil ini akan melepaskan faktor yang akan merangsang peningkatan monosit di pembuluh darah untuk segera keluar menuju jaringan (Tizard 1987) sehingga persentase monosit kelompok VT lebih besar daripada kelompok V.

(57)

Pada minggu ke-5 terjadi penurunan persentase monosit pada kelompok V. Penurunan ini disebabkan karena adanya tindakan vaksinasi sebelumnya. Antigen yang ada pada vaksin ini akan merangsang neutrofil untuk keluar dari pembuluh darah untuk melakukan fagositosis. Setelah melakukan fagositosis neutrofil akan rusak dan akan menginduksi monosit untuk keluar juga dari pembuluh darah untuk melakukan fagositosis (Tizard 2004). Akibatnya monosit di dalam pembuluh darah juga akan mengalami penurunan. Sedangkan pada kelompok VT terjadi peningkatan monosit. Peningkatan ini disebabkan karena kelompok VT di tantang dengan bakteri S. agalactiae melalui intramamae. Infeksi bakteri ini akan mengakibatkan kerusakan pada jaringan dan menginduksi peningkatan monosit di dalam pembuluh darah untuk segera keluar menuju jaringan yang rusak (Haase et al. 2008).

Pada tabel 19 terlihat bahwa ada beberapa data yang diperoleh mempunyai standar deviasi yang lebih tinggi daripada rataannya. Hal ini disebabkan oleh hal sama yang terjadi pada data basofil. Namun pada data monosit memang terlihat adanya sedikit variasi data. Variasi ini terjadi karena adanya variasi respon imun setiap mencit yang juga berbeda. Menurut Thomas (2009) Ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya variasi respon imun yaitu umur, jenis kelamin, ras, kualitas antigen, dosis dan rute pemberian antigen, dan genetik. Hal ini juga didukung oleh Shinkai et al. (2012) yang menyatakan bahwa perbedaan efek vaksinasi bukan hanya disebabkan oleh faktor lingkungan tapi juga karena adanya perbedaan genetik terutama gen pengkode untuk major histocompatibility complex (MHC) dan Toll-like receptors (TLRs). Pada penelitian ini variasi respon imun mungkin disebabkan faktor genetik karena mencit yang digunakan berasal dari indukan yang berbeda-beda sehingga resiko adanya perbedaan genetik sangat besar.

1e. Limfosit

Gambar

Gambar 6  Limfosit mencit (perbesaran 100x) (Sumber: Theml et al. 2004)
Gambar 9 Sumsum Tulang (perbesaran 312x). Debris azurofilik (1); Erythroblast
Gambar 10  Tahap perkembangan sel darah (Sumber: Theml et al. 2004)
Gambar 15  Neutrofil mencit kelompok vaksin.   Inti (1); Sitoplasma (2).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya motivasi belajar siswa saat pembelajaran akidah akhlak. Hal tersebut dapat dilihat dari gelaja: ada sebagian siswa ketika

Hasil penelitian keragaan lapang 8 galur dan 2 varietas padi sawah irigasi terhadap penggerek padi putih ( Tryporiza innotata Walker ) menunjukkan bahwa hama ini ditemukan

dan IPS masing-masing diajarkan secara terpadu.. pelajaran Integrative Natural Science, bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu. Pendidikan sains berorientasi aplikatif,

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran berbasis pendekatan PMRI untuk mengatasi miskonsepsi matematis siswa yang dikembangkan

Dengan semakin berkembangnya industri di Jawa Tengah, dibutuhkan dukungan yang kuat akan adanya arus informasi industri yang dapat memberikan arahan yang tepat dan

And when u write the mantra while doing it the mool mantra should be enchanted for 21 times and should be written by ring finger.it should not be changed until last

Kelurahan Kebun Bunga Kecamatan Sukarami telah memiliki dan membudidayakan tanaman ini sebagai tanaman obat keluarga (TOGA). Cara mendeteksi dapat dilakukan secara

Oleh sebab itu penulis membuat suatu Sistem Pendukung Keputusan Untuk Pemilihan Handphone Dengan Menggunakan Metode AHP Atau Analitycal Hierarchy Process, dengan basis