• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak aktivitas pertambangan bahan galian golongan c terhadap kondisi kehidupan masyarakat desa (analisis sosio-ekonomi dan sosio-ekologi masyarakat Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak aktivitas pertambangan bahan galian golongan c terhadap kondisi kehidupan masyarakat desa (analisis sosio-ekonomi dan sosio-ekologi masyarakat Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP KONDISI KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA

(Analisis Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi Masyarakat Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

ALI SULTON I34070063

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

TERHADAP KONDISI KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA

(Analisis Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi Masyarakat Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

ALI SULTON I34070063

SKRIPSI

Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar

Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(3)

ABSTRACT

Mining activities is a natural resource mining dredging activities of contained in the soil. This mining activities in its implementation will give positive and negative impact on sosio-economic and sosio-ecological aspect for the local community. The purpose of this study is 1) to explain the sosio-economic impacts of mining activities and 2) to explain the sosio-ecological impacts of mining activities. This research metode uses a quantitative approach supported by the use of qualitative approach. Primary data obtained from the interviews and questionnaires, while secondary data obtained from the documentation and study of literature. The data generated using of cross tabulation and frequency tables and descriptive analysis. The selection of respondents using of cluster sampling techniques to select two different village is Kampung Joglo and Kampung Gunung Cabe. The choice of location is based on mining the large number of industrial plants to see an impact on the agricultural sector. The result of this research showed that in general, in Kampung Joglo and Kampung Gunung Cabe, mining activities gives a negative impacts on socio-economic and sosio-ecological aspects. On sosio-economic aspect are seen in the declining level of the employment in agriculture due to the limited area of agricultural land owned by the local community. Meanwhile, the level of non-agricultural employment opportunities have increased in line with the opening of employment opportunities in the mining sector. The occurens conflicts between local communities with the company caused by the changes of environmental conditions. On sosio-ecological aspect is the occurens changes of the air, a disturbance on the condition of water resources, noise pollution is caused by blasting activities and mineral transport trucks. In addition, still many community members who suffers from respiratory tract such as shortness of breath, caugh, colds and diarrhea.

(4)

RINGKASAN

ALI SULTON. Dampak Aktivitas Pertambangan Bahan Galian Golongan C terhadap Kondisi Kehidupan Masyarakat Desa (Analisis Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi Masyarakat Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Di bawah Bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN dan RINA MARDIANA.

Aktivitas pertambangan merupakan aktivitas pengerukan sumberdaya alam

tambang yang terdapat di dalam tanah. Aktivitas pertambangan ini pada

pelaksanaannya dapat menimbulkan dampak positif dan negatif pada aspek

sosio-ekonomi dan sosio-ekologi masyarakat desa. Tujuan dilakukannya penelitian ini

adalah untuk menjelaskan dampak aktivitas pertambangan pada aspek

sosio-ekonomi terhadap masyarakat lokal, dan menjelaskan dampak aktivitas

pertambangan pada aspek sosio-ekologi terhadap masyarakat lokal.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung

pendekatan kualitatif. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dan

kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh melalui dokumentasi dan studi

literatur. Data yang dihasilkan menggunakan tabulasi silang dan tabel frekuensi

dan dianalisis secara deskriptif. Pemilihan responden, menggunakan teknik kluster

sampling dengan memilih dua kampung yang berbeda yaitu Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pada banyaknya jumlah

pabrik industri pertambangan untuk melihat dampaknya pada sektor pertanian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada aspek sosio-ekonomi di kedua

kampung, tingkat kesempatan kerja pertanian mengalami penurunan seiring

dengan semakin menurunnya luas lahan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat

lokal. Sementara itu tingkat kesempatan kerja non pertanian mengalami

peningkatan seiring dengan terbukanya lapangan pekerjaan yang disediakan oleh

pihak perusahaan pertambangan. Selain itu, perubahan kondisi lingkungan

memicu terjadinya konflik antara masyarakat lokal dengan pihak perusahaan.

Pada aspek sosio-ekologi, aktivitas pertambangan menyebabkan kondisi udara

menjadi semakin buruk dan sumber air mengalami kekeringan pada saat musim

kemarau. Aktivitas blasting menimbulkan kebisingan yang mengganggu aktivitas masyarakat. Selain itu, masih terdapatnya anggota masyarakat yang mengalami

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh:

Nama Mahasiswa : Ali Sulton

NRP : I34070063

Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Judul : Dampak Aktivitas Pertambangan Bahan Galian Golongan C terhadap Kondisi Kehidupan Masyarakat Desa (Analisis Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi Masyarakat Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat).

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan KPM 499 pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc, Agr Rina Mardiana, SP, M.Si NIP. 19630914 199003 1 002 NIP. 19800105 200912 2 002

Mengetahui,

Ketua Departemen

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

(6)

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

“DAMPAK AKTIVITAS PERTAMBANGAN BAHAN GALIAN

GOLONGAN C TERHADAP KONDISI KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA (Analisis Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi Masyarakat Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN

RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN

PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.

Bogor, Juni 2011

(7)

RIWAYAT HIDUP

Ali Sulton dilahirkan di Kota Bogor, Jawa Barat tepatnya pada tanggal 12

Desember 1988. Anak ketiga dari tujuh bersaudara, dan buah hati dari pasangan

suami istri Bapak Samsu dan Ibu Suanah. Sebagai pelajar, Penulis menempuh

pendidikan di TK Ibnu Sina selama satu tahun, SDN Cibening II selama genap

enam tahun. Kemudian, dilanjutkan di SMP Bumi Sejahtera dan SMAN 1

Ciampea masing-masing ditempuh selama tiga tahun. Selanjutnya, penulis

menempuh pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor tepatnya di Departemen

Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia

memalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007.

Selama di bangku kuliah, penulis aktif dalam kegiatan organisasi BP

Himasiera sebagai bendahara umum 2009 dan beberapa kepanitiaan pada tahun

2007-2009. Penulis juga sempat menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Sosiologi

Umum pada semester 6 dan 7 tahun 2010. Selain itu pada semester 4, penulis

sempat mengikuti First IPB Go to Field selama satu bulan yang bertempat di PT Indocement dan sempat magang di salah satu LSM yang terdapat di Jakarta pada

(8)

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas

rahmatnya, skripsi yang berjudul Dampak Aktivitas Pertambangan Bahan Galian

Golongan C terhadap Kondisi Kehidupan Masyarakat Desa (Analisis

Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi Masyarakat Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin,

Kabupaten Bogor, Jawa Barat) dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Secara

garis besar, skripsi ini menjelaskan tentang dampak aktivitas industri pertambangan

pada aspek sosial, ekonomi dan ekologi.

Skripsi ini juga menjelaskan adanya keterkaitan antara transformasi sektor

pertanian menjadi sektor non pertanian sebagai akibat adanya aktivitas

pertambangan. Perubahan pada struktur mata pencaharian masyarakat tersebut

menjadi salah satu faktor penarik bagi penulis untuk melakukan penelitian di

kawasan pertambangan yang ada di Desa Cipinang.

Penulisan skripsi ini pada pelaksanaannya tidak terlepas dari adanya

dukungan dan peran serta berbagai pihak. Maka dari itu, ucapan terima kasih

penulis haturkan kepada para pihak yang telah membantu dalam proses

penyelesaian skripsi ini. Besar harapan tulisan ini dapat memberikan banyak

manfaat bagi para pembaca dan dapat menjadi bahan rujukan untuk penelitian

selanjutnya.

Bogor, Juni 2011

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam berkat nikmat iman, rahmat, dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Rasa syukur dihaturkan karena dalam penyusunan skripsi ini, penulis dapat menyelesaikannya tepat waktu sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Penulis juga tidak lupa menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada beberapa pihak yang telah dengan sukarela dan ikhlas membantu dalam penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan M.Sc, Agr dan Rina Mardiana SP, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi atas curahan perhatian dalam membimbing, mengarahkan, mendidik, memberi motivasi, serta semangat kepada penulis agar dapat menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya.

2. Dr. Arif Satria, SP, M.Si dan Ratri Virianita, S.Sos, M.Si, selaku dosen penguji sidang skripsi yang telah memberikan saran dan masukan untuk penulisan skripsi ini.

3. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS, selaku dosen penguji petik yang telah melakukan pengkoreksian pada sistematika dan tata cara penulisan yang baik.

4. Dra. Winati Wigna, MDS, selaku dosen pembimbing akademik yang telah membantu mengarahkan penulis demi kelancaran studi selama di departemen SKPM dan para dosen lainnya dari dalam dan luar departemen SKPM yang telah memberikan ilmu pengetahuan bagi penulis.

5. Keluarga tercinta, Bapak Samsu dan Ibunda tersayang Ibu Suanah yang telah melahirkan seorang anak dengan penuh kasih sayang dan do’a yang tiada henti -hentinya, serta senantiasa selalu memberikan pengertian mengenai arti pentingnya sebuah pendidikan. Kepada kakak-kakakku Beri Irawan, Santi Rosimah yang secara tidak langsung memberi semangat dan do’a dari jauh demi kelancaran studi penulis di IPB. Serta tidak lupa kepada adik-adikku Omay, Amah, Eni dan Juli yang selalu memberikan senyum dan keceriaan di saat jenuh maupun kesal.

6. Keluarga besar dari Umi dan Bapak di Bogor, keluarga besar a’mamat di Bandung, keluarga besar teh yati di Palembang. Nenek, almarhum kakek, uwa, bibi, mamang, yang selalu memberikan dukungan baik materi maupun non materi, sanjungan maupun pujian.

(10)

8. Sahabat-sahabat Asrama TPB IPB Jhon, Sidik, Hari yang selalu memberikan warna yang berbeda melalui budaya kita masing-masing. Thanks bro!!

9. Citra, Mery, Monic, Qdut, Wiwit, Yochan, Manda, Akira, Puput Barbie, Bagus, Ale, Yudha, Aris dan sahabat-sahabat SKPM 44 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu serta teman-teman di luar departemen SKPM yang telah memberikan sejuta pengalaman baru dan semangat kepada penulis.

10.Segala pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bogor, Juni 2011

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Kegunaan Penelitian ... 5

BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 6

2.1 Tinjauan Pustaka ... 6

2.1.1 Pengertian Ekologi ... 6

2.1.2 Pengertian Pertambangan ... 6

2.1.3 Kebijakan Perizinan Usaha Pertambangan ... 9

2.1.4 Penggolongan Sumberdaya Alam Tambang ... 10

2.1.5 Definisi Masyarakat Desa ... 13

2.1.6 Pengertian Konflik ... 13

2.1.7 Pembangunan Berkelanjutan ... 14

2.1.8 Dampak Aktivitas Pertambangan ... 16

2.1.8.1 Dampak Aspek Sosio-Ekonomi ... 17

2.1.8.2 Dampak Aspek Sosio-Ekologi ... 18

2.2 Kerangka Konseptual ... 19

2.3 Kerangka Pemikiran ... 21

2.4 Hipotesis Penelitian ... 22

2.5 Definisi Konseptual... 22

2.6 Definisi Operasional ... 23

BAB III PENDEKATAN LAPANG ... 30

3.1 Metode Penelitian ... 30

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 30

3.3 Teknik Penentuan Responden ... 30

3.4 Pengolahan dan Analisis Data ... 32

3.5 Waktu dan Tempat Penelitian ... 32

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 33

4.1Gambaran Umum Desa Cipinang ... 33

4.1.1 Kondisi Geografis dan Infrastruktur Desa Cipinang ... 33

4.1.2 Kondisi Sosial dan Ekonomi Penduduk ... 34

4.1.3 Tata Guna Tanah di Desa Cipinang ... 37

4.2 Gambaran Umum Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe ... 38

4.3 Karakteristik Responden ... 39

4.4 Gambaran Umum Industri Pertambangan di Desa Cipinang ... 42

4.4.1 Pabrik Industri Pertambangan ... 45

4.4.2 Aktivitas Blasting ... 46

(12)

BAB V DAMPAK SOSIO-EKONOMI AKTIVITAS PERTAMBANGAN 49

5.1 Struktur Pendapatan ... 49

5.2 Kategori Lapisan Sosial Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 51

5.3 Kondisi Tempat Tinggal ... 53

5.3.1 Kondisi Fisik Tempat Tinggal ... 53

5.3.2 Status Tempat Tinggal ... 54

5.4 Kepemilikan Lahan ... 55

5.4.1 Rumahtangga yang Memiliki Lahan ... 55

5.4.2 Luas Lahan yang dimiliki ... 57

5.5 Rumahtangga yang Menjual Lahan Pertanian ... 58

5.6 Persepsi Kesempatan Kerja ... 60

5.6.1 Persepsi Kesempatan Kerja Sektor Pertanian ... 60

5.6.2 Persepsi Kesempatan Kerja Sektor Non Pertanian ... 62

5.7 Tingkat Kedalaman Konflik ... 64

5.7.1 Tingkat kedalaman Konflik Akibat Perubahan Udara ... 64

5.7.2 Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Polusi Suara ... 67

5.7.3 Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Gangguan Sumber Air ... 68

5.8 Hubungan Antar Warga ... 70

5.8.1 Hubungan Antar Masyarakat Lokal ... 70

5.8.2 Hubungan Antara Masyarakat lokal dengan Pendatang ... 71

5.9 Ikhtisar ... 73

BAB VI DAMPAK SOSIO-EKOLOGI AKTIVITAS PERTAMBANGAN 76 6.1 Konversi Lahan Pertanian ... 76

6.2 Sumber Air yang digunakan Masyarakat... 77

6.3 Kondisi Sumber Air ... 78

6.4 Kualitas Air Minum ... 81

6.5 Persepsi Kondisi Udara ... 82

6.6 Persepsi Tingkat Kebisingan ... 84

6.6.1 Persepsi Tingkat Kebisingan Blasting ... 84

6.6.2 Persepsi Tingkat Kebisingan Kendaraan Truk ... 86

6.7 Tingkat Kesehatan Masyarakat ... 87

6.7.1 Rumahtangga yang Mengidap Penyakit ... 87

6.7.2 Pengobatan terhadap Penyakit ... 89

6.8 Ikhtisar ... 91

BAB VIII PENUTUP ... 94

7.1 Kesimpulan ... 94

7.2 Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 96

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

Tabel 1 Jumlah Produksi Barang Tambang (Ton) menurut Jenis Tambang

dari Tahun 1996-2008 di Indonesia ... 8

Tabel 2 Penggolongan Sumberdaya Mineral Berdasarkan Jenis Mineral ... 12

Tabel 3 Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan Kategori Umur

Masyarakat di Desa Cipinang, 2010 ... 34

Tabel 4 Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Masyarakat di Desa Cipinang, Tahun 2010 ... 36

Tabel 5 Luas Lahan dan Persentasenya menurut Penggunaan Lahan di Desa Cipinang, 2010 ... 38

Tabel 6 Karakteristik Responden di Desa Cipinang, 2011 ... 47

Tabel 7 Dampak Aktivitas Pertambangan pada Aspek Sosio-Ekonomi, 2011.. 74

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman Gambar 1 Kerangka Konseptual Dampak Aktivitas Pertambangan pada

Aspek Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi ... 20

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Dampak Aktivitas Pertambangan pada Aspek Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi ... 21

Gambar 3 Teknik Kerangka Sampling dalam Pengambilan Responden ... 31

Gambar 4 Mata Pencaharian Masyarakat Desa Cipinang, 2010 ... 37

Gambar 5 Tingkat Pendidikan Responden Desa Cipinang, 2010 ... 40

Gambar 6 Jumlah Responden Berdasarkan Sektor Pekerjaan ... 41

Gambar 7 Kelompok Responden Berdasarkan Asal Kependudukan ... 42

Gambar 8 Tingkat Frekuensi Blasting ... 46

Gambar 9 Struktur Pendapatan Rumahtangga Desa Cipinang, 2011 ... 50

Gambar 10 Lapisan Sosial Desa Cipinang Berdasarkan Struktur Pendapatan ... 51

Gambar 11 Kondisi Fisik Tempat Tinggal Berdasarkan Lapisan Sosial ... 53

Gambar 12 Status Tempat Tinggal Berdasarkan Lapisan Sosial ... 54

Gambar 13 Kepemilikan Lahan Pertanian Berdasarkan Lapisan Sosial ... 55

Gambar 14 Luas Lahan yang dimiliki Berdasarkan Lapisan Sosial ... 57

Gambar 15 Jumlah Rumahtangga yang Menjual Lahan Pertanian Berdasarkan Lapisan Sosial ... 59

Gambar 16 Persepsi Responden terhadap Kesempatan Kerja Sektor Pertanian Sebelum Ada Aktivitas Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial ... 60

Gambar 17 Persepsi Responden terhadap Kesempatan Kerja Sektor Pertanian Setelah Ada Aktivitas Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial ... 61

Gambar 18 Persepsi Responden terhadap Kesempatan Kerja Sektor Non Pertanian Sebelum Ada Aktivitas Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial ... 62

(15)

Gambar 20 Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Perubahan Udara

Berdasarkan Lapisan Sosial ... 65

Gambar 21 Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Polusi Suara Berdasarkan Lapisan Sosial ... 67

Gambar 22 Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Gangguan Sumber Air

Berdasarkan Lapisan Sosial ... 69

Gambar 23 Hubungan Antar Sesama Masyarakat Lokal Berdasarkan

Lapisan Sosial ... 70

Gambar 24 Hubungan Antara Masyarakat Lokal dengan Pendatang

Berdasarkan Lapisan Sosial ... 72

Gambar 25 Sumber Air yang digunakan Masyarakat Berdasarkan Lapisan Sosial ... 78

Gambar 26 Kondisi Sumber Air Sebelum Ada Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial ... 79

Gambar 27 Kondisi Sumber Air Setelah Ada Pertambangan Berdasarkan

Lapisan Sosial ... 80

Gambar 28 Kualitas Air Minum Berdasarkan Lapisan Sosial ... 81

Gambar 29 Persepsi Responden terhadap Kondisi Udara Sebelum Ada

Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial ... 82

Gambar 30 Persepsi Responden terhadap Kondisi Udara Setelah Ada

Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial ... 83

Gambar 31 Persepsi Responden terhadap Tingkat Kebisingan Blasting

Berdasarkan Lapisan Sosial ... 84 Gambar 32 Persepsi Responden terhadap Tingkat Kebisingan Truk

Berdasarkan Lapisan Sosial ... 86

Gambar 33 Jumlah Rumahtangga Pengidap Penyakit Berdasarkan Lapisan Sosial ... 88

(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Sumberdaya alam merupakan faktor yang sangat menentukan bagi

kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan dalam kehidupannya, manusia tidak

dapat hidup tanpa adanya sumberdaya alam. Ketergantungan manusia akan

sumberdaya alam tersebut berpengaruh terhadap pola pemanfaatan dan

pengelolaan sumberdaya alam yang ada. Di Indonesia, sebagai negara sedang

berkembang peningkatan jumlah penduduk yang terus terjadi mengakibatkan

semakin meningkatnya jumlah permintaan akan pemenuhan kebutuhan hidup dari

sumberdaya alam, sehingga berkorelasi terhadap semakin eksploitatifnya

pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Hal ini nyata dari adanya peningkatan

jumlah permintaan pasokan akan sumberdaya alam mineral bagi pemenuhan

kebutuhan manusia dalam jumlah yang besar, namun seringkali tidak dapat

terpenuhi karena terbatasnya persediaan sumberdaya alam mineral yang ada.

Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan adanya pengelolaan

dan pemanfaatan yang baik terhadap sumberdaya alam mineral.

Pengelolaan dan pemanfaatan yang baik terhadap sumberdaya alam mineral

menjadi faktor penentu keberlanjutan dari lingkungan hidup dan aktivitas

kehidupan manusia ke depannya. Di Indonesia, pemanfaatan dan pengelolaan

sumberdaya alam sangat tergantung pada kebijakan pemerintahan pada masanya.

Pada era desentralisasi saat ini, pemberian wewenang dari pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam memberikan

dampak yang sangat berbeda dibandingkan di era sentralisasi. Pemerintah daerah

yang memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan segala potensi sumberdaya alam

di daerahnya, dapat mengalihkan haknya dengan memberikan izin kepada pihak

swasta atau industri yang bergerak di bidang pertambangan untuk mengelola dan

memanfaatkan sumberdaya alam mineral.

Menurut Smelter sebagaimana dikutip Budimanta (2007) selama ini

kegiatan pembangunan dan pembuatan kebijakan harus berasal dari pusat

(sentralistik), akan tetapi dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah sejak

(17)

Kondisi ini oleh pemerintah daerah dimanfaatkan untuk mengeluarkan kebijakan

mengenai pertambangan daerah, sedangkan di tingkat kota dimanfaatkan untuk

mengembangkan industri barang mineral.

Pengelolaan sumberdaya mineral oleh industri pertambangan dilakukan

karena dipandang dapat memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang lebih

tinggi sehingga dapat meningkatkan perekonomian dan pembangunan Negara,

serta terciptanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal maupun masyarakat di

luar lokasi penambangan. Selain itu, karena pihak industri sebagai pihak yang

memiliki modal berupa teknologi yang tinggi diharapkan mampu mengelola

sumberdaya mineral secara baik dan efisien. Namun pada pelaksanaannya,

pengelolaan sumberdaya mineral oleh industri tidak selamanya berjalan seperti

apa yang diharapkan. Hal ini dikarenakan aktivitas pertambangan tersebut

merupakan aktivitas pengerukan terhadap sumberdaya alam yang terkandung di

tempat terbuka maupun bawah tanah, sedangkan pemanfaatan dengan penggunaan

teknologinya seringkali berlebihan dalam mengeruk sumberdaya mineral yang ada

sehingga pengelolaan sumberdaya alam tambang oleh industri pertambangan

memberikan dampak terhadap perubahan ekosistem lokal.

Perubahan pada ekosistem lokal meliputi perubahan pada tataran sosial,

ekonomi maupun lingkungan. Perubahan yang terjadi pada tataran sosial ekonomi

diantaranya terjadinya perubahan sistem mata pencaharian masyarakat lokal yang

awalnya bergerak di sektor pertanian sebagai sektor utama masyarakat, berubah

menjadi masyarakat non pertanian seperti buruh pabrik, pedagang maupun

kegiatan non pertanian lainnya. Hal ini disebabkan menurunnya produktivitas

lahan akibat rusaknya lahan pertanian yang ada dan berdampak terhadap

penurunan pendapatan masyarakat. Sementara itu pada tataran lingkungan,

terjadinya kerusakan ekologi seperti pencemaran air dan udara akibat limbah

industri, serta kekeringan air yang kemudian berimplikasi pada penurunan

produktivitas lahan pertanian.

Menurut Noor (2006) lubang-lubang bekas penambangan serta pembukaan

lapisan tanah yang subur pada saat penambangan dapat mengakibatkan daerah

yang semula subur menjadi daerah yang tandus dan akan memerlukan waktu yang

(18)

lingkungan akan terjadi pada semua tahap dalam aktivitas pertambangan, mulai

dari tahap prosesing mineral serta semua aktivitas yang menyertainya dalam

seluruh tahap tersebut seperti penggunaan peralatan survei, bahan peledak,

alat-alat berat, limbah mineral padat yang tidak dibutuhkan.

Pada dasarnya kegiatan suatu industri adalah mengolah masukan (input) menjadi keluaran (output). Pengamatan terhadap sumber pencemar sektor industri dapat dilaksanakan pada masukan, proses maupun pada keluarannya dengan

melihat spesifikasi dan jenis limbah yang diproduksi. Pencemaran yang

ditimbulkan oleh industri diakibatkan adanya limbah yang keluar dari

pabrik-pabrik dan mengandung Bahan Beracun dan Berbahaya (B-3). Bahan pencemar

keluar bersama-sama dengan bahan buangan (limbah) melalui media udara, air

dan tanah yang merupakan komponen ekosistem alam. Bahkan buangan yang

keluar dari pabrik dan masuk ke lingkungan dapat diidentifikasikan sebagai

sumber pencemaran, dan sebagai sumber pencemaran perlu diketahui jenis bahan

pencemar yang dikeluarkan, kuantitas dan jangkauan pemaparannya (Kristanto,

2004).

Proses dalam menghasilkan produk sumberdaya mineral mempunyai

konstribusi yang besar terhadap pencemaran lingkungan dan hal ini telah dikritisi

oleh para pemerhati lingkungan. Di satu sisi untuk menutup suatu tambang atau

industri pertambangan yang menghasilkan mineral-mineral yang dibutuhkan oleh

manusia adalah sesuatu hal yang tidak bijaksana. Di sisi lain, dampak yang

ditimbulkan akibat pertumbuhan industri pertambangan harus disikapi dengan

cara mencegah agar dampak yang ditimbulkannya dapat diminimalkan (Noor,

2006).

Desa Cipinang sebagai salah satu desa bagian Kecamatan Rumpin

Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, merupakan salah satu daerah yang

memiliki potensi sumberdaya alam tambang jenis bahan galian golongan C

dengan tekstur tanah pertanian. Adanya aktivitas pertambangan di daerah tersebut

mengakibatkan perubahan struktur sosial yang pada awalnya bergerak di sektor

pertanian menjadi non pertanian. Banyaknya jumlah industri pertambangan

(19)

pada aspek sosio-ekonomi dan ekologi tersebut merupakan dampak aktivitas

pertambangan yang penting untuk dilakukan pengkajian.

1.2Rumusan Masalah

Era otonomi daerah, yang mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 dimana

pemerintah pusat menyerahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk

memanfaatkan segala potensi atas sumberdaya alam yang ada di daerahnya

masing-masing. Kebijakan yang timbul dari adanya era desentralisasi ini

memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD

melalui pemanfaatan atas segala potensi sumberdaya alam yang ada. Salah

satunya adalah dengan mengalihkan hak izin pengelolaan sumberdaya alam

tambang kepada badan usaha.

Adanya pengalihan hak atas izin usaha tambang ini menjadikan badan usaha

sebagai pihak yang memiliki kuasa, sehingga dapat leluasa untuk mengelola dan

memanfaatkan sumberdaya alam tambang yang ada. Badan usaha menjadi pihak

yang mendominasi atas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam tambang.

Dominasi ini pada akhirnya dapat menimbulkan marjinalisasi bagi kaum

minoritas terutama dalam hal akses atas sumberdaya alam dan ketidaksetaraan

posisi atau status atas kepemilikan lahan yang terdapat di sekitar wilayah

pertambangan.

Fakta dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di beberapa daerah di

Indonesia, sebagaimana penelitian Antoro (2010) di Kabupaten Kulon Progo

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai daerah yang potensial dengan

penambangan pasir, sama halnya dengan penelitian Qomariah (2002) di

Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan menyatakan bahwa mayoritas posisi

marjinal di sekitar wilayah pertambangan ditempati oleh masyarakat lokal. Hal ini

dikarenakan masyarakat lokal merupakan pihak yang tidak memiliki kuasa dan

tidak memiliki akses atas sumberdaya alam. Selain itu, masyarakat lokal sebagai

pihak termarjinalkan menjadi pihak penerima berbagai dampak negatif yang

ditimbulkan oleh adanya aktivitas pertambangan. Dampak negatif yang

ditimbulkan pun tidak hanya terjadi pada tataran sosial dan ekonomi saja

(20)

ekologi yang ada mendorong terjadinya perubahan kualitas hidup masyarakat

lokal dan ketidakadilan pada kualitas lingkungan hidup.

Berdasarkan paparan mengenai aktivitas pertambangan di atas, maka

rumusan masalah yang akan dikaji dalam bentuk pertanyaan penelitian adalah:

1. Bagaimana dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosio-ekonomi

terhadap masyarakat lokal?

2. Bagaimana dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosio-ekologi

terhadap masyarakat lokal?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan pemaparan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini

adalah untuk:

1. Menjelaskan dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosio-ekonomi

terhadap masyarakat lokal.

2. Menjelaskan dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosio-ekologi

terhadap masyarakat lokal.

1.4Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi beberapa pihak, diantaranya:

1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi proses pembelajaran

dalam memahami fenomena kerusakan lingkungan akibat aktivitas

pertambangan dan mempelajari kondisi masyarakat sekitar pertambangan.

2. Bagi kalangan akademik, untuk menambah literatur dalam mengkaji

masalah perubahan sosio-ekonomi dan sosio-ekologi di pedesaan akibat

adanya aktivitas pertambangan bahan galian golongan C.

3. Bagi masyarakat, terutama masyarakat lokal di sekitar wilayah

pertambangan untuk menambah pengetahuan mengenai situasi dan kondisi

sosio-ekonomi dan sosio-ekologi.

4. Bagi pemerintah, sebagai acuan dalam melakukan kebijakan pengelolaan

dan pemanfaatan sumberdaya alam tambang bahan galian golongan C.

5. Bagi perusahaan, sebagai acuan dalam mengelola dan memanfaatkan

(21)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pengertian Ekologi

Ekologi didefinisikan sebagai ilmu tentang hubungan timbal-balik antara

makhluk hidup dengan lingkungannya. Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan

oleh Haeckel, seorang ahli biologi, pada pertengahan dasawarsa 1860-an. Ekologi

berasal dari bahasa yunani yaitu oikos yang berarti rumah tangga, dan logos yang berarti ilmu, sehingga secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang rumahtangga

makhluk hidup (Kristanto, 2004).

Menurut Silalahi (2001) hal yang paling penting dari ekologi ialah konsep

ekosistem. Ekosistem ialah suatu ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal

balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Dalam sistem ini, semua

komponen bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Ekosistem terbentuk oleh

komponen hidup (biotic) dan tak hidup (abiotic) di suatu tempat yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan terjadi disebabkan oleh

adanya arus materi dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi antara

komponen dalam ekosistem itu. Ketentuan ekosistem menunjukkan adanya suatu

keseimbangan tertentu dari ekosistem. Keseimbangan ini bukan statis melainkan

dinamis, karena berubah-ubah. Perubahan ini dapat besar atau kecil, dilakukan

baik oleh manusia maupun secara alami.

Sama halnya dengan Adiwibowo (2007) yang menyatakan bahwa dalam

ekologi dipelajari bagaimana makhluk hidup berinteraksi timbal balik dengan

lingkungan hidupnya baik yang bersifat hidup (biotic) maupun tak hidup (abiotic) sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu jaring-jaring sistem kehidupan pada

berbagai tingkatan organisasi. Di dalam ekosistem, tumbuhan, hewan, dan mikro

organisme saling berinteraksi melakukan transaksi materi dan energi membentuk

satu kesatuan sistem kehidupan.

2.1.2 Pengertian Pertambangan

Industri pertambangan adalah suatu industri dimana bahan galian mineral

(22)

industri mineral, proses untuk mendapatkan mineral-mineral yang ekonomis

biasanya menggunakan metode ekstraksi, yaitu proses pemisahan mineral-mineral

dari batuan terhadap mineral pengikut yang tidak diperlukan. Mineral-mineral

yang tidak diperlukan akan menjadi limbah industri pertambangan dan

mempunyai kontribusi yang cukup signifikan pada pencemaran dan degradasi

lingkungan. Industri pertambangan sebagai industri hulu yang menghasilkan

sumberdaya mineral dan merupakan sumber bahan baku bagi industri hilir yang

diperlukan oleh umat manusia di dunia (Noor, 2006).

Salim (2007) menyatakan bahwa usaha pertambangan terdiri atas usaha

penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan penjualan.

1. Penyelidikan umum merupakan usaha untuk menyelidiki secara geologi

umum atau fisika, di daratan perairan dan dari udara, segala sesuatu dengan

maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan

tanda-tanda adanya bahan galian pada umumnya.

2. Usaha eksplorasi adalah segala penyelidikan geologi pertambangan untuk

menetapkan lebih teliti/seksama adanya sifat letakan bahan galian.

3. Usaha eksploitasi adalah usaha pertambangan dengan maksud untuk

menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.

4. Usaha pengolahan dan pemurnian adalah pengerjaan untuk mempertinggi

mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur

yang terdapat pada bahan galian.

5. Usaha pengangkutan adalah segala usaha pemindahan bahan galian dan hasil

pengolahan serta pemurnian bahan galian dari daerah eksplorasi atau tempat

pengolahan/pemurnian.

6. Usaha penjualan adalah segala sesuatu usaha penjualan bahan galian dan hasil

pengolahan/pemurnian bahan galian.

Berdasarkan jenis pengelolaannya, kegiatan penambangan terdiri atas dua

macam yaitu kegiatan penambangan yang dilakukan oleh badan usaha yang

ditunjuk secara langsung oleh negara melalui Kuasa Pertambangan (KP) maupun

Kontrak Karya (KK), dan penambangan yang dilakukan oleh rakyat secara

manual. Kegiatan penambangan oleh badan usaha biasanya dilakukan dengan

(23)

banyak dengan alokasi waktu yang lebih efisien, sedangkan penambangan rakyat

merupakan aktivitas penambangan dengan menggunakan alat-alat sederhana.

Di Indonesia, segala bentuk kegiatan industri pada sektor pertambangan

diharapkan mampu menyumbang pada peningkatan ekonomi dan pembangunan

negara. Kegiatan eksploitasi oleh industri pertambangan terus dilakukan demi

pengejaran pembangunan melalui penghasilan devisa negara. Hal ini dilakukan

seiring dengan meningkatnya jumlah permintaan akan sumberdaya alam mineral

akibat meningkatnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun, sebagaimana terlihat

pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Jumlah Produksi Barang Tambang (Ton) menurut Jenis Tambang dari Tahun 1996-2008 di Indonesia.

Tahun Batu Bara (ton)

Bauksit (ton)

Nikel (ton)

Emas (ton)

Perak (ton)

Granit (ton)

Bijih Besi (ton)

1996 50,332,047 841,976 3,426,867 83,564 255,404 4,827,058 425,101

1997 55,982,040 808,749 2,829,936 86,928 249,392 8,824,088 516,403

1998 58,504,660 1,055,647 2,736,640 123,862 383,191 9,662,649 509,978

1999 62,108,239 1,116,323 2,798,449 127,768 361,377 8,720,155 502,198

2000 67,105,675 1,150,776 2,434,585 109,612 310,430 5,941,370 420,418

2001 71,072,961 1,237,006 2,473,825 148,528 333,561 3,976,274 440,648

2002 105,539,301 1,283,485 2,120,582 140,246 281,903 3,975,434 190,946

2003 113,525,813 1,262,705 2,499,728 138,475 272,050 3,938,915 245,911

2004 128,479,707 1,331,519 2,105,957 86,855 255,053 4,035,040 79,635

2005 149,665,233 1,441,899 3,790,896 142,894 326,993 4,302,849 87,940

2006 162,294,657 2,117,630 3,869,883 138,992 270,624 4,514,654 84,954

2007 188,663,068 1 251 147 7 112 870 117 854 268 967 1 793 440 84 371

2008 178 930 188 1,152,322 6,571,764 64,390 226,051 2,050,000 445,525,932

(24)

Tabel 1 menjelaskan jumlah produksi tambang dari tahun ke tahun,

berdasarkan potensi sumberdaya mineral yang ada di Indonesia. Peningkatan

jumlah penduduk berimplikasi terhadap peningkatan jumlah permintaan

sumberdaya mineral. Hal ini mendorong semakin dilakukannya eksploitasi

sumberdaya alam tambang yang ada.

2.1.3 Kebijakan Perizinan Usaha Pertambangan

Izin usaha dan atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis

untuk melakukan izin usaha dan atau kegiatan (UU No. 32 Tahun 2009).

Perizinan usaha pertambangan ini meliputi pelimpahan Kuasa Pertambangan dan

Kontrak Karya (KK). Dengan adanya otonomi daerah, perizinan pengelolaan

sumberdaya alam tambang saat ini berada di bawah wewenang pemerintah daerah.

Salim (2007) menyatakan bahwa apabila usaha pertambangan dilaksanakan

oleh kontraktor, kedudukan pemerintah adalah memberikan izin kepada

kontraktor yang bersangkutan. Izin yang diberikan oleh pemerintah berupa kuasa

pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan, dan

kontrak production sharing.

Menurut Salim (2007) perusahaan tambang yang diberikan izin untuk

mengusahakan bahan tambang terdiri dari:

1. Instansi pemerintah yang di tunjuk oleh menteri;

2. Perusahaan negara;

3. Perusahaan daerah;

4. Perusahaan dengan modal bersama antara negara dan daerah;

5. Koperasi;

6. Badan atau perseorangan swasta;

7. Perusahaan dengan modal bersama antara negara dan atau daerah dengan

koperasi dan atau badan/ perorangan swasta,

8. Pertambangan rakyat,

Kuasa pertambangan merupakan kuasa yang diberikan oleh pemerintah

sebagai pihak yang berwenang kepada pihak-pihak yang akan melakukan usaha

penambangan. Pemerintah yang berwenang dalam penerbitan kuasa pertambangan

ini adalah Bupati/Walikota, Gubernur, dan Menteri. Kuasa pertambangan ini juga

(25)

pengolahan/pemurnian dan pengangkutan atau penjualan. Sedangkan kontrak

karya adalah perjanjian yang berisi kesepakatan bersama antara pemerintah

dengan pihak usaha penambangan, dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

Ketentuan mengenai Kuasa Pertambangan dan Kontrak Karya ini di atur dalam

Undang-Undang Pokok Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967.

Menurut Salim (2007) setiap perusahaan pertambangan yang ingin

memperoleh kontrak karya, harus mengajukan permohonan kontrak karya dalam

rangka penanaman modal asing (PMA)/PMDN kepada pejabat yang berwenang.

Pejabat berwenang menandatangi kontrak karya adalah Bupati/Walikota,

Gubernur dan Menteri Energi Sumber Daya Mineral. Penandatanganan kontrak

karya oleh pejabat ini disesuaikan dengan kewenangannya. Apabila wilayah

kontrak karya yang di mohon berada dalam wilayah kebupaten, pejabat yang

menandatangi kontrak karya itu adalah Bupati/walikota, tetapi apabila wilayah

pertambangan yang di mohon berada dalam dua kebupaten/kota, sedangkan kedua

kabupaten/kota itu tidak menandatangani kerja sama, pejabat yang berwenang

untuk menandatangani kontrak karya itu adalah Gubernur. Sementara itu, apabila

wilayah pertambangan yang di mohon berada pada dua daerah provinsi, pejabat

yang berwenang menandatangani adalah Menteri Energi Sumber Daya Mineral

dengan pemohon.

Jangka waktu berlakunya kontrak karya tergantung kepada jenis kegiatan

yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan. jangka waktu berlakunya kegiatan

eksploitasi adalah tiga puluh tahun. Jangka waktu itu juga dapat diperpanjang

(Salim, 2007).

2.1.4 Penggolongan Sumberdaya Alam Tambang

Sumberdaya mineral adalah sumberdaya yang diperoleh dari hasil ekstraksi

batuan-batuan yang ada di bumi. Adapun jenis dan manfaat sumberdaya mineral

bagi kehidupan manusia modern semakin tinggi dan semakin meningkat sesuai

dengan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan suatu negara (Noor, 2006).

Menurut Ngadiran et al (2002) izin usaha pertambangan meliputi izin untuk memanfaatkan bahan galian tambang yang bersifat ekstraktif seperti bahan galian

tambang golongan A, golongan B, maupun golongan C. Ada banyak jenis

(26)

jenis bahan tambang yang ada itu di bagi menjadi tiga golongan, yaitu: (1) bahan

galian strategis golongan A, terdiri atas: minyak bumi, aspal, antrasit, batu bara,

batu bara muda, batu bara tua, bitumen, bitumen cair, bitumen padat, gas alam,

lilin bumi, radium, thorium, uranium, dan bahan-bahan galian radio aktif lainnya

(antara lain kobalt, nikel dan timah); (2) bahan galian vital golongan B, terdiri

atas: air raksa, antimon, aklor, arsin, bauksit, besi, bismut, cerium, emas, intan,

khrom, mangan, perak, plastik, rhutenium, seng, tembaga, timbal, titan/titanium,

vanadium, wolfram, dan bahan-bahan logam langka lainnya (antara lain barit,

belerang, berrilium, fluorspar, brom, koundum, kriolit, kreolin, kristal, kwarsa,

yodium, dan zirkom); dan (3) bahan galian golongan C, terdiri atas; pasir, tanah

uruk, dan batu kerikil. Bahan ini merupakan bahan tambang yang tersebar di

berbagai daerah yang ada di Indonesia.

Adanya kebijakan pemerintah yang mengeluarkan peraturan dengan

merubah status komoditas tambang berdasarkan penggolongannya, dapat memicu

terhadap semakin bebasnya akses bagi setiap orang untuk mengeksploitasi

sumberdaya alam tambang yang ada. Hal ini sebagaimana terjadi di daerah

Bangka, dimana sebelum adanya otonomi daerah timah dijadikan sebagai

komoditas vital yang pengelolaannya dilakukan oleh negara. Namun setelah

adanya Surat Keputusan (SK) Menteri Perindustrian dan Perdagangan

(Menperindag) Nomor 146/MPP/4/1999 mengenai otonomi daerah, yang

menjadikan timah sebagai komoditas strategis, pengelolaannya tidak lagi

dilakukan oleh negara sehingga semua pihak seperti swasta, BUMN, maupun

masyarakat dapat leluasa untuk melakukan eksploitasi terhadap timah yang ada.

Hal ini juga menimbulkan terhadap semakin meningkatnya jumlah Tambang

Inkonvensional (TI) di daerah Bangka.

Berdasarkan tipe bahan galian, sumberdaya mineral dapat digolongkan

menjadi tiga golongan, yaitu: (1) Bahan Galian Vital; (2) Bahan Galian Strategis;

dan (3) Bahan Galian Industri. Penggolongan jenis mineral yang terdiri atas bahan

galian vital, strategis, dan industri merupakan bentuk lain dari bahan galian

golongan A, golongan B, dan golongan C. Pada bahan galian vital disebut juga

(27)

golongan B, sedangkan bahan galian industri merupakan bahan galian golongan

C. Hal ini sebagaimana terlihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Penggolongan Sumberdaya Mineral Berdasarkan Jenis Mineral

Bahan Galian Jenis Mineral Kegunaan

Vital Uranium (U) Thorium (Th) Minyak/Gas Bumi Emas (Au) Perak (Ag)

Energi nuklir, senjata pemusnah, dll

Energi nuklir, senjata pemusnah, dll

Energi listrik, industri, petrokimia, BBM, dll

Perhiasan, industri elektronik, dll

Perhiasan, industri elektronika, dll

Strategis Besi (Fe) Tembaga (Cu) Nikel (Ni) Timah (Sn) Seng (Zn) Aluminium (Al) Muscovite

Industri baja, konstruksi, manufaktur, dll

Kabel listrik, industri, manufaktur, dll

Industri baja, metalurgi, manufaktur, dll

Industri, manufaktur, dll

Industri, manufaktur, bangunan, dll

Industri manufaktur, dll

Industri electronics, dll

Industri Batu gamping Batu lempung Batu pasir Batuan beku Gypsum Industri cement

Bahan bangunan, batu bara, genteng, dll

Bahan bangunan

Bahan bangunan

Campuran cement, bahan bangunan, dll

Sumber: Noor , 2006

Jenis sumberdaya alam tambang yang terdapat pada Tabel 2 di atas

(28)

Indonesia. Pemanfaatan terhadap berbagai jenis sumberdaya alam tambang

tersebut terus dilakukan untuk dijadikan sebagai sumber energi pemenuhan

kebutuhan hidup manusia.

2.1.5 Definisi Masyarakat Desa

Masyarakat desa didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang hidup dan

bertempat tinggal di wilyah pedesaan. Masyarakat desa dicirikan sebagai

masyarakat yang memiliki ikatan yang relatif kuat karena adanya rasa memiliki

satu sama lain. Pada umumnya masyarakat desa memiliki karakteristik sebagai

masyarakat yang homogen dari segi pekerjaan, agama, adat istiadat dan hubungan

yang terjalin menganut sistem kekeluargaan sehingga cenderung tanpa pamrih.

Menurut Soedjatmoko sebagaimana dikutip Sudarmanto (1996) struktur

masyarakat pedesaan, khususnya di jawa dapat digolongkan menjadi tiga

golongan, yaitu:

1. Golongan pertama adalah mereka yang memiliki tanah cukup besar untuk

kehidupan yang cukup bagi keluarganya.

2. Golongan kedua, terdiri dari petani yang memiliki atau menguasai tanah yang

luasnya atau kualitasnya marginal, sehingga kehidupan keluarganya sangat

tergantung pada kesempatan kerja sampingan, selain karena faktor iklim dan

faktor pasar.

3. Golongan ketiga, yang makin lama makin besar jumlahnya baik di Indonesia

maupun di Asia, pada umumnya ialah mereka yang sama sekali tidak

mempunyai tanah.

2.1.6 Pengertian Konflik

Konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang

disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan

sumberdaya (Fuad dan Maskanah, 2000). Konflik dapat berwujud konflik tertutup

(latent), mencuat (emerging), dan terbuka (manifest). Konflik tertutup (latent) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya

berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Seringkali

salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan yang paling

(29)

kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya sendiri

belum berkembang. Konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi,

mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan

buntu. Menurut level permasalahannya, konflik dibedakan menjadi konflik

vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal yaitu apabila pihak yang di lawan

oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda. Sedangkan konflik horizontal

terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya.

Untuk mengetahui penyebab terjadinya konflik, diperlukan adanya

pemetaan konflik. Menurut Fuad dan Maskanah (2000) pemetaan konflik

dilakukan dengan mengelompokkan konflik ke dalam ruang-ruang konflik

menggunakan kriteria-kriteria di bawah ini:

1. Konflik data, terjadi ketika orang mengalami kekurangan informasi yang

dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana atau mendapat

informasi yang salah, atau tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan,

atau menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata

cara pengkajian yang berbeda.

2. Konflik kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan

atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian.

3. Konflik hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi negatif

yang kuat, salah persepsi atau stereotipe, salah komunikasi, atau tingkah laku negatif yang berulang (repetitif).

4. Konflik nilai, disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak sesuai, entah itu

hanya dirasakan atau memang ada.

5. Konflik struktural, terjadi ketika adanya ketimpangan untuk melakukan akses

dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki

wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih

memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak

terhadap pihak lain.

2.1.7 Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang

(30)

pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,

kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa

depan (UU No. 32 Tahun 2009).

Menurut Sugandhy dan Hakim (2009) pola pembangunan berkelanjutan

mengharuskan pengelolaan sumberdaya alam dilakukan secara rasional dan

bijaksana. Hal ini berarti bahwa pengelolaan sumberdaya alam, seperti

sumberdaya alam pertambangan, hutan pelestarian alam, hutan lindung dan hutan

produksi, dapat diolah secara rasional dan bijaksana dengan memperhatikan

keberlanjutannya. Untuk itu, diperlukan keterpaduan antara pembangunan dan

pengelolaan lingkungan hidup.

Konsep pembangunan berkelanjutan memberikan implikasi adanya batasan

yang ditentukan oleh tingkat masyarakat dan organisasi sosial mengenai

sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer dalam menyerap berbagai pengaruh

aktivitas manusia. Proses pembangunan berlangsung secara berlanjut dan

didukung sumberdaya alam yang ada dengan kualitas lingkungan dan manusia

yang semakin berkembang dalam batas daya dukung lingkupannya. Pembangunan

akan memungkinkan generasi sekarang meningkatkan kesejahteraannya, tanpa

mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan

kesejahteraannya (Sugandhy dan Hakim, 2009).

Tiga pilar pembangunan berkelanjutan sejak deklarasi Stockholm 1972

menuju Rio de Janeiro, sampai dengan Rio + 10 di Johanesburg 2002 ditekankan

perlunya koordinasi dan integrasi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan

sumberdaya buatan dalam setiap pembangunan nasional, dengan pendekatan

kependudukan, pembangunan, dan lingkungan sampai dengan integrasi aspek

sosial, ekonomi, dan lingkungan (Sugandhy dan Hakim, 2009).

Menurut Sugandhy dan Hakim (2009) setiap keputusan pembangunan harus

memasukkan berbagai pertimbangan yang menyangkut aspek lingkungan, di

samping pengentasan kemiskinan dan pola konsumsi sehingga hasil pembangunan

benar-benar akan memberikan hasil yang baik bagi peningkatan kualitas hidup

manusia. Pertimbangan lingkungan yang menyangkut ekonomi lingkungan, tata

(31)

sektor, antar wilayah dan daerah dengan melibatkan semua stakeholders, menjadi suatu keharusan sehingga diperlukan koordinasi yang mantap.

2.1.8 Dampak Aktivitas Pertambangan

Menurut Kristanto (2004) dampak diartikan sebagai adanya suatu benturan

antara dua kepentingan yang berbeda, yaitu kepentingan pembangunan dengan

kepentingan usaha melestarikan kualitas lingkungan yang baik. Dampak yang

diartikan dari benturan antara dua kepentingan itupun masih kurang tepat karena

yang tercermin dari benturan tersebut hanyalah kegiatan yang menimbulkan

dampak negatif. Pengertian ini pula yang dahulunya banyak di tentang oleh para

pemilik atau pengusul proyek.

Perkembangan selanjutnya, yang dianalisis bukan hanya dampak negatifnya

saja melainkan juga dampak positifnya dan dengan bobot analisis yang sama.

Apabila didefinisikan lebih lanjut, maka dampak adalah setiap perubahan yang

terjadi dalam lingkungan akibat adanya aktivitas manusia. Disini tidak disebutkan

karena adanya proyek, karena proyek sering diartikan sebagai bangunan fisik saja,

sedangkan banyak proyek yang bangunan fisiknya relatif kecil atau tidak ada,

tetapi dampaknya besar. Jadi yang menjadi objek pembahasan bukan saja dampak

proyek terhadap lingkungan, melainkan jugadampak lingkungan terhadap proyek

(Kristanto, 2004).

Menurut Salim (2007) setiap kegiatan pembangunan di bidang

pertambangan pasti menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif.

Dampak positif dari kegiatan pembangunan di bidang pertambangan adalah:

1. Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi

nasional;

2. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ;

3. Menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar tambang;

4. Meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang;

5. Meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang;

6. Meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang; dan

7. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang.

Dampak negatif dari pembangunan di bidang pertambangan adalah:

(32)

2. Penderitaan masyarakat adat;

3. Menurunnya kualitas hidup penduduk lokal;

4. Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan;

5. Kehancuran ekologi pulau-pulau; dan

6. Terjadi pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan

Meningkatnya kebutuhan sumberdaya mineral di dunia telah memacu

kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral serta untuk mendapatkan

lokasi-lokasi sumberdaya mineral yang baru. Konsekuensi dari meningkatnya

eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral harus diikuti dengan usaha-usaha

dalam pencegahan terhadap dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari

eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral tersebut (Noor, 2006).

2.1.8.1 Dampak Aspek Sosio-Ekonomi

Dampak sosial ekonomi merupakan dampak aktivitas pertambangan pada

aspek sosial ekonomi yang dapat bersifat positif dan negatif. Dampak positif

akibat aktivitas pertambangan diantaranya adalah terjadinya peningkatan

Pendapatan Asli Daerah (PAD), terciptanya lapangan pekerjaan, dan peningkatan

ekonomi bagi masyarakat di sekitar wilayah pertambangan sedangkan dampak

negatif dari adanya aktivitas pertambangan adalah terjadinya penurunan

pendapatan bagi masyarakat yang bergerak di sektor pertanian, karena

menurunnya kualitas lahan yang digunakan.

Hasil penelitian Budimanta (2007) menunjukkan bahwa aktivitas

penambangan di daerah Bangka Belitung memberikan berbagai dampak positif

dan negatif pada kehidupan warga. Dampak positif akibat aktivitas penambangan

diantaranya adalah meningkatnya penghasilan devisa bagi Negara, terciptanya

lapangan pekerjaan. Selain itu, adanya perbaikan infrastruktur seperti akses jalan

ke Penagan dari Pangkal Pinang menjadi semakin mudah dan kondisi jalanan

semakin baik. Waktu tempuh menjadi semakin efisien dibandingkan sebelumnya

yang membutuhkan waktu hingga dua hari bagi para pejalan kaki. Pada aspek

ekonomi, pendapatan yang diperoleh warga menjadi semakin meningkat. Hal ini

terlihat dari adanya kemampuan warga untuk mendirikan rumah permanen yang

terbuat dari bahan bata dan semen, dibandingkan kondisi sebelumnya yang hanya

(33)

2.1.8.2 Dampak Aspek Sosio-Ekologi

Perubahan ekologi di wilayah pertambangan terjadi karena adanya aktivitas

eksploitasi terhadap sumberdaya alam tambang. Perubahan ekologi ini

mengakibatkan perubahan sosial di sekitar wilayah pertambangan. Kerusakan

lingkungan seperti pencemaran air, polusi udara dan kekeringan air, mampu

mengubah sistem mata pencaharian masyarakat desa yang awalnya bergerak di

sektor pertanian menjadi sektor non pertanian.

Menurut Noor (2006) permasalahan yang sering muncul dari kegiatan

eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral adalah terjadinya penurunan

kualitas lingkungan hidup seperti pencemaran pada tanah, udara, dan hidrologi

air. Di indonesia dapat kita jumpai beberapa contoh lokasi tambang yang telah

mengalami penurunan kualitas lingkungan, antara lain tambang timah di Pulau

Bangka, tambang batu bara di Kalimantan Timur dan tambang tembaga di Papua.

Lubang-lubang bekas penambangan dan pembukaan lapisan tanah yang

subur pada saat penambangan, dapat mengakibatkan daerah yang semula subur

menjadi daerah yang tandus. Diperlukan waktu yang sangat lama untuk kembali

ke dalam kondisi semula. Polusi dan degradasi lingkungan akan terjadi pada

semua tahap dalam aktivitas pertambangan. Tahap tersebut dimulai pada tahap

prosesing mineral dan semua aktivitas yang menyertainya seperti penggunaan

peralatan survei, bahan peledak, alat-alat berat, limbah mineral padat yang tidak

dibutuhkan (Noor, 2006).

Menurut Noor (2006) permasalahan yang ditimbulkan dalam penggunaan

batu bara adalah pencemaran udara berupa kandungan belerang yang dilepaskan

oleh hasil pembakaran batu bara pada pembangkit listrik, dan debu batu bara

(partikel-partikel halus) hasil pembakaran yang masuk ke udara.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Qomariah (2002) dampak

akibat aktivitas pertambangan batu bara bukan hanya menimbulkan pencemaran

udara yang mengakibatkan penurunan kesehatan saja, melainkan juga timbulnya

cekungan besar yang dikelilingi tumpukan tanah bekas galian yang telah

bercampur dengan sisa-sisa bahan tambang (tailing). Pada saat musim hujan, cekungan tersebut dialiri air dan berubah menjadi danau. Sisa-sisa bahan tambang

(34)

Hal ini mengakibatkan hilangnya vegetasi (tanaman) populasi satwa liar dan

menurunnya kualitas air. Sementara itu di daerah bagian hilir pasca tambang,

rawan terjadinya bencana erosi akibat sedimentasi tanah.

Di beberapa daerah yang memiliki potensi penambangan pasir seperti

Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung, aktivitas penambangan

mengakibatkan timbulnya tebing-tebing bukit yang rawan longsor akibat

penambangan yang tidak memakai sistem berteras. Hal ini mengakibatkan

semakin tingginya tingkat erosi di daerah pertambangan, berkurangnya debit air

permukaan atau mata air, menurunnya produktivitas lahan pertanian, dan

tingginya lalu lintas kendaraan drum truk di jalan desa yang kemudian membuat

rusaknya jalan, serta timbulnya polusi udara. Sementara itu, di beberapa daerah

lain di Indonesia seperti Bangka Belitung, Kabupaten Sumbawa Provinsi NTB

dan Kabupaten Landak Provinsi Kalimantan, aktivitas pertambangan

mengakibatkan terjadinya pencemaran air dan degradasi lahan. Hilangnya fungsi

atas sungai bagi masyarakat seperti air sungai Tongo-Sejorong yang pada awalnya

digunakan warga untuk minum, membersihkan makanan, mandi, mencuci, minum

ternak. Sungai tercemar oleh limbah yang berasal dari konsentrator aktivitas

limbah dan pembukaan hutan di bagian hulu. Selain itu, terjadinya kekeringan air

sumur milik warga akibat adanya aktivitas pengeboran.

2.2 Kerangka Konseptual

Gambar 1 di bawah ini menjelaskan tentang adanya pihak-pihak

berkepentingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam tambang.

pihak-pihak berkepentingan yang ada meliputi pemerintah seperti pemerintah

pusat dan pemerintah daerah, masyarakat lokal, dan swasta. Pemerintah sebagai

institusi yang berperan sebagai pemberi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya

alam tambang, swasta sebagai pengelola dan pemanfaat langsung dari kebijakan

yang dikeluarkan oleh pemerintah, serta masyarakat lokal sebagai sekumpulan

orang yang berada di sekitar lokasi penambangan dan sebagai pihak penerima

dampak langsung maupun tidak langsung dari adanya aktivitas pertambangan.

Pada awalnya, ketiga pihak yang ada memiliki akses terhadap sumberdaya

alam tambang. Namun dengan adanya izin usaha tambang yang diberikan oleh

(35)

Keterangan:

= saling mempengaruhi, = hubungan akibat, = akses

- - - = fokus penelitian

Gambar 1. Kerangka Konseptual Dampak Aktivitas Pertambangan pada Aspek Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi

Masyarakat Lokal

Pemerintah (Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah)

Swasta/Perusahaan Pertambangan

Sosio-Ekonomi

- Perubahan Pola Pekerjaan

- Pendapatan

- Kesempatan Kerja

- Konflik di Masyarakat

Sosio-Ekologi

- Terganggunya Sumber Air

- Perubahan Udara

- Polusi Suara

- Kesehatan

Pembangunan Berkelanjutan Sumberdaya

Alam Tambang

Aktivitas Pertambangan

[image:35.595.78.520.85.666.2]
(36)

Aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh swasta menimbulkan berbagai

dampak negatif dan positif pada aspek sosio-ekonomi dan ekologi. Berbagai

dampak yang ditimbulkan mendorong dilakukannya paradigma pembangunan

berkelanjutan. Pembangunan tidak hanya mengejar pada peningkatan

perekonomian negara saja melainkan juga melihat pada aspek Analisis

Manajemen dan Dampak Lingkungan (AMDAL) sebelum dilakukannya aktivitas

pertambangan, maupun upaya reklamasi lahan pasca tambang. Aktivitas

pembangunan terus dilakukan namun tidak mengurangi kualitas hidup manusia

dan lingkungan di masa yang akan datang.

2.3 Kerangka Pemikiran

Keterangan:

= hubungan langsung (kuantitatif)

= hubungan tidak langsung (kualitatif)

[image:36.595.73.536.292.729.2]

= awal hipotesis (kualitatif)

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Dampak aktivitas Pertambangan pada Aspek Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi Masyarakat Desa

Frekuensi Blasting

Sosial

Tingkat Konflik di Masyarakat

Ekonomi Ekologi

Tingkat Gangguan Terhadap Sumber Air

Tingkat Perubahan Udara

Tingkat Polusi Suara Tingkat Kesehatan Masyarakat

Tingkat Kesempatan Kerja Pertanian

Tingkat Kesempatan Kerja Non Pertanian Jumlah Pabrik

(37)

2.4 Hipotesis Penelitian

Dari kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah:

1. Terdapat hubungan perubahan pola kehidupan sosio-ekonomi masyarakat

lokal akibat aktivitas pertambangan. Jika semakin banyak jumlah pabrik

industri pertambangan, maka:

 Semakin tinggi tingkat frekuensi blasting.

 Semakin rendah tingkat kesempatan kerja sektor pertanian dan

semakin tinggi tingkat kesempatan kerja sektor non pertanian di

kawasan yang sama menyebabkan semakin tinggi tingkat

persaingan sehingga semakin tinggi tingkat konflik yang terjadi di

masyarakat.

2. Terdapat hubungan perubahan sosio-ekologi masyarakat lokal akibat

aktivitas pertambangan. Jika semakin tinggi tingkat frekuensi blasting, maka:

 Semakin tinggi tingkat gangguan terhadap air, perubahan udara,

dan polusi suara sehingga mengakibatkan tingkat kesehatan

semakin buruk dan semakin tinggi konflik yang terjadi di

masyarakat.

2.5 Definisi Konseptual

1. Aktivitas pertambangan merupakan aktivitas pengerukan terhadap

sumberdaya mineral yang terdapat di dalam tanah.

2. Pabrik industri pertambangan adalah tempat pengolahan bahan tambang

setelah sebelumnya dilakukan aktivitas pengerukan tanah.

3. Blasting merupakan aktivitas peledakan dan pengeboran bawah tanah dengan menggunakan dinamit.

4. Dampak sosio-ekonomi merupakan dampak yang ditimbulkan oleh

adanya aktivitas pertambangan pada pola dan struktur ekonomi

(38)

5. Dampak sosio-ekologi merupakan dampak yang ditimbulkan oleh adanya

aktivitas pertambangan pada aspek lingkungan di sekitar wilayah

pertambangan.

6. Sumber air adalah tempat dimana air tersedia, yang digunakan untuk

kehidupan sehari-hari.

7. Perubahan udara merupakan peristiwa terjadinya perubahan kondisi

udara akibat debu sebagai buangan limbah di sekitar wilayah

penambangan.

8. Polusi suara adalah bunyi atau suara berupa kebisingan yang ditimbulkan

oleh adanya aktivitas blasting ataupun kendaraan truk pengangkut barang tambang.

9. Kesehatan adalah kondisi fisik atau tubuh seseorang yang memiliki

kondisi sehat dan terbebas dari penyakit.

10. Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan

hidup sehari-hari.

11. Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh seseorang sebagai

imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan.

12. Kesempatan kerja adalah peluang seseorang untuk memperoleh

pekerjaan.

13. Konflik merupakan hubungan pertentangan antara satu orang atau lebih

karena adanya perbedaan tujuan.

14. Bahan galian golongan C merupakan jenis bahan galian tambang yang

dipergunakan sebagai bahan bangunan industri seperti andesit, pasir, dsb.

2.6 Definisi Operasional

1. Jumlah pabrik industri pertambangan adalah banyaknya pabrik industri

pertambangan yang melakukan aktivitas pengerukan bahan tambang di

sekitar wilayah pertambangan.

Sedikit : jumlah pabrik industri pertambangan = 1 buah, skor 1

(39)

2. Frekuensi blasting adalah frekuensi pengeboran bawah tanah dengan menggunakan dinamit. Pengukuran dilakukan mulai dari skor terburuk

berdasarkan frekuensi paling rendah aktivitas blasting dalam waktu satu hari.

a. Rendah : aktivitas blasting = 1 kali, skor 1

b. Sedang : aktivitas blasting = 2 kali, skor 2

c. Tinggi : aktivitas blasting > 2 kali, skor 3

3. Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh

oleh responden. Tingkat pendidikan responden diukur dari tingkat

pendidikan yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

a. Sangat rendah : tidak sekolah, skor 1

b. Rendah : tamat SD/sedejarat, skor 2

c. Sedang : tamat SMP/sederajat, skor 3

d. Tinggi : tamat SMA/sederajat, skor 4

e. Sangat tinggi : tamat perguruan tinggi, skor 5

4. Struktur pendapatan adalah jumlah pemasukan yang diperoleh oleh

responden sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan dalam

kurun waktu satu tahun. Pengukuran didasarkan pada rata-rata pendapatan

rumahtangga dengan skor terendah pada pendapatan paling kecil.

a. Rendah : pendapatan < Rp 8.787.117, skor 1

b. Sedang : Rp 8.787.117 ≤ pendapatan < Rp 16.964.607, skor 2

c. Tinggi : pendapatan ≥ Rp 16.964.607, skor 3

5. Kepemilikan lahan pertanian adalah banyaknya lahan pertanian yang

dimiliki oleh rumahtangga responden. Pengukuran dilakukan pada dua

bagian yaitu:

(i) Kepemilikan lahan pertanian adalah banyaknya jumlah anggota dalam

keluarga responden yang memiliki lahan pertanian. Pengukuran

dilakukan mulai pada skor terendah dari kepemilikan lahan paling

rendah hingga paling tinggi.

(40)

b. Tinggi : memiliki lahan pertanian, skor 2

(iii) Luas lahan pertanian adalah jumlah luas lahan pertanian yang dimiliki

oleh setiap rumahtangga responden setelah adanya aktivitas

pertambangan. Pengukuran dilakukan mulai dengan skor terendah dari

luas lahan yang paling sempit.

a. Sangat rendah : lahan < 0,001 hektar, skor 1

b. Rendah : 0,001 hektar ≤ lahan < 0,01 hektar, skor 2

c. Sedang : 0,01 hektar ≤ lahan < 0,1 hektar, skor 3

d. Tinggi : 0,1 hektar ≤ lahan < 0,5 hektar,skor 4

e. Sangat tinggi : lahan ≥ 0,5 hektar,sko

Gambar

Gambar 1.  Kerangka Konseptual Dampak Aktivitas Pertambangan pada Aspek
Gambar 2.  Kerangka Pemikiran Dampak aktivitas Pertambangan pada Aspek
Gambar 3. Teknik Kerangka Sampling dalam Pengambilan Responden
Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan Kategori Umur di Desa                   Cipinang, 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait