TERHADAP KONDISI KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA
(Analisis Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi Masyarakat Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
ALI SULTON I34070063
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
TERHADAP KONDISI KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA
(Analisis Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi Masyarakat Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
ALI SULTON I34070063
SKRIPSI
Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
ABSTRACT
Mining activities is a natural resource mining dredging activities of contained in the soil. This mining activities in its implementation will give positive and negative impact on sosio-economic and sosio-ecological aspect for the local community. The purpose of this study is 1) to explain the sosio-economic impacts of mining activities and 2) to explain the sosio-ecological impacts of mining activities. This research metode uses a quantitative approach supported by the use of qualitative approach. Primary data obtained from the interviews and questionnaires, while secondary data obtained from the documentation and study of literature. The data generated using of cross tabulation and frequency tables and descriptive analysis. The selection of respondents using of cluster sampling techniques to select two different village is Kampung Joglo and Kampung Gunung Cabe. The choice of location is based on mining the large number of industrial plants to see an impact on the agricultural sector. The result of this research showed that in general, in Kampung Joglo and Kampung Gunung Cabe, mining activities gives a negative impacts on socio-economic and sosio-ecological aspects. On sosio-economic aspect are seen in the declining level of the employment in agriculture due to the limited area of agricultural land owned by the local community. Meanwhile, the level of non-agricultural employment opportunities have increased in line with the opening of employment opportunities in the mining sector. The occurens conflicts between local communities with the company caused by the changes of environmental conditions. On sosio-ecological aspect is the occurens changes of the air, a disturbance on the condition of water resources, noise pollution is caused by blasting activities and mineral transport trucks. In addition, still many community members who suffers from respiratory tract such as shortness of breath, caugh, colds and diarrhea.
RINGKASAN
ALI SULTON. Dampak Aktivitas Pertambangan Bahan Galian Golongan C terhadap Kondisi Kehidupan Masyarakat Desa (Analisis Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi Masyarakat Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Di bawah Bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN dan RINA MARDIANA.
Aktivitas pertambangan merupakan aktivitas pengerukan sumberdaya alam
tambang yang terdapat di dalam tanah. Aktivitas pertambangan ini pada
pelaksanaannya dapat menimbulkan dampak positif dan negatif pada aspek
sosio-ekonomi dan sosio-ekologi masyarakat desa. Tujuan dilakukannya penelitian ini
adalah untuk menjelaskan dampak aktivitas pertambangan pada aspek
sosio-ekonomi terhadap masyarakat lokal, dan menjelaskan dampak aktivitas
pertambangan pada aspek sosio-ekologi terhadap masyarakat lokal.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung
pendekatan kualitatif. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dan
kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh melalui dokumentasi dan studi
literatur. Data yang dihasilkan menggunakan tabulasi silang dan tabel frekuensi
dan dianalisis secara deskriptif. Pemilihan responden, menggunakan teknik kluster
sampling dengan memilih dua kampung yang berbeda yaitu Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pada banyaknya jumlah
pabrik industri pertambangan untuk melihat dampaknya pada sektor pertanian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada aspek sosio-ekonomi di kedua
kampung, tingkat kesempatan kerja pertanian mengalami penurunan seiring
dengan semakin menurunnya luas lahan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat
lokal. Sementara itu tingkat kesempatan kerja non pertanian mengalami
peningkatan seiring dengan terbukanya lapangan pekerjaan yang disediakan oleh
pihak perusahaan pertambangan. Selain itu, perubahan kondisi lingkungan
memicu terjadinya konflik antara masyarakat lokal dengan pihak perusahaan.
Pada aspek sosio-ekologi, aktivitas pertambangan menyebabkan kondisi udara
menjadi semakin buruk dan sumber air mengalami kekeringan pada saat musim
kemarau. Aktivitas blasting menimbulkan kebisingan yang mengganggu aktivitas masyarakat. Selain itu, masih terdapatnya anggota masyarakat yang mengalami
LEMBAR PENGESAHAN
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh:
Nama Mahasiswa : Ali Sulton
NRP : I34070063
Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul : Dampak Aktivitas Pertambangan Bahan Galian Golongan C terhadap Kondisi Kehidupan Masyarakat Desa (Analisis Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi Masyarakat Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat).
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan KPM 499 pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc, Agr Rina Mardiana, SP, M.Si NIP. 19630914 199003 1 002 NIP. 19800105 200912 2 002
Mengetahui,
Ketua Departemen
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“DAMPAK AKTIVITAS PERTAMBANGAN BAHAN GALIAN
GOLONGAN C TERHADAP KONDISI KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA (Analisis Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi Masyarakat Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN
RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN
PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.
Bogor, Juni 2011
RIWAYAT HIDUP
Ali Sulton dilahirkan di Kota Bogor, Jawa Barat tepatnya pada tanggal 12
Desember 1988. Anak ketiga dari tujuh bersaudara, dan buah hati dari pasangan
suami istri Bapak Samsu dan Ibu Suanah. Sebagai pelajar, Penulis menempuh
pendidikan di TK Ibnu Sina selama satu tahun, SDN Cibening II selama genap
enam tahun. Kemudian, dilanjutkan di SMP Bumi Sejahtera dan SMAN 1
Ciampea masing-masing ditempuh selama tiga tahun. Selanjutnya, penulis
menempuh pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor tepatnya di Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia
memalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007.
Selama di bangku kuliah, penulis aktif dalam kegiatan organisasi BP
Himasiera sebagai bendahara umum 2009 dan beberapa kepanitiaan pada tahun
2007-2009. Penulis juga sempat menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Sosiologi
Umum pada semester 6 dan 7 tahun 2010. Selain itu pada semester 4, penulis
sempat mengikuti First IPB Go to Field selama satu bulan yang bertempat di PT Indocement dan sempat magang di salah satu LSM yang terdapat di Jakarta pada
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas
rahmatnya, skripsi yang berjudul Dampak Aktivitas Pertambangan Bahan Galian
Golongan C terhadap Kondisi Kehidupan Masyarakat Desa (Analisis
Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi Masyarakat Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat) dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Secara
garis besar, skripsi ini menjelaskan tentang dampak aktivitas industri pertambangan
pada aspek sosial, ekonomi dan ekologi.
Skripsi ini juga menjelaskan adanya keterkaitan antara transformasi sektor
pertanian menjadi sektor non pertanian sebagai akibat adanya aktivitas
pertambangan. Perubahan pada struktur mata pencaharian masyarakat tersebut
menjadi salah satu faktor penarik bagi penulis untuk melakukan penelitian di
kawasan pertambangan yang ada di Desa Cipinang.
Penulisan skripsi ini pada pelaksanaannya tidak terlepas dari adanya
dukungan dan peran serta berbagai pihak. Maka dari itu, ucapan terima kasih
penulis haturkan kepada para pihak yang telah membantu dalam proses
penyelesaian skripsi ini. Besar harapan tulisan ini dapat memberikan banyak
manfaat bagi para pembaca dan dapat menjadi bahan rujukan untuk penelitian
selanjutnya.
Bogor, Juni 2011
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam berkat nikmat iman, rahmat, dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Rasa syukur dihaturkan karena dalam penyusunan skripsi ini, penulis dapat menyelesaikannya tepat waktu sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Penulis juga tidak lupa menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada beberapa pihak yang telah dengan sukarela dan ikhlas membantu dalam penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan M.Sc, Agr dan Rina Mardiana SP, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi atas curahan perhatian dalam membimbing, mengarahkan, mendidik, memberi motivasi, serta semangat kepada penulis agar dapat menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya.
2. Dr. Arif Satria, SP, M.Si dan Ratri Virianita, S.Sos, M.Si, selaku dosen penguji sidang skripsi yang telah memberikan saran dan masukan untuk penulisan skripsi ini.
3. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS, selaku dosen penguji petik yang telah melakukan pengkoreksian pada sistematika dan tata cara penulisan yang baik.
4. Dra. Winati Wigna, MDS, selaku dosen pembimbing akademik yang telah membantu mengarahkan penulis demi kelancaran studi selama di departemen SKPM dan para dosen lainnya dari dalam dan luar departemen SKPM yang telah memberikan ilmu pengetahuan bagi penulis.
5. Keluarga tercinta, Bapak Samsu dan Ibunda tersayang Ibu Suanah yang telah melahirkan seorang anak dengan penuh kasih sayang dan do’a yang tiada henti -hentinya, serta senantiasa selalu memberikan pengertian mengenai arti pentingnya sebuah pendidikan. Kepada kakak-kakakku Beri Irawan, Santi Rosimah yang secara tidak langsung memberi semangat dan do’a dari jauh demi kelancaran studi penulis di IPB. Serta tidak lupa kepada adik-adikku Omay, Amah, Eni dan Juli yang selalu memberikan senyum dan keceriaan di saat jenuh maupun kesal.
6. Keluarga besar dari Umi dan Bapak di Bogor, keluarga besar a’mamat di Bandung, keluarga besar teh yati di Palembang. Nenek, almarhum kakek, uwa, bibi, mamang, yang selalu memberikan dukungan baik materi maupun non materi, sanjungan maupun pujian.
8. Sahabat-sahabat Asrama TPB IPB Jhon, Sidik, Hari yang selalu memberikan warna yang berbeda melalui budaya kita masing-masing. Thanks bro!!
9. Citra, Mery, Monic, Qdut, Wiwit, Yochan, Manda, Akira, Puput Barbie, Bagus, Ale, Yudha, Aris dan sahabat-sahabat SKPM 44 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu serta teman-teman di luar departemen SKPM yang telah memberikan sejuta pengalaman baru dan semangat kepada penulis.
10.Segala pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Bogor, Juni 2011
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.4 Kegunaan Penelitian ... 5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 6
2.1 Tinjauan Pustaka ... 6
2.1.1 Pengertian Ekologi ... 6
2.1.2 Pengertian Pertambangan ... 6
2.1.3 Kebijakan Perizinan Usaha Pertambangan ... 9
2.1.4 Penggolongan Sumberdaya Alam Tambang ... 10
2.1.5 Definisi Masyarakat Desa ... 13
2.1.6 Pengertian Konflik ... 13
2.1.7 Pembangunan Berkelanjutan ... 14
2.1.8 Dampak Aktivitas Pertambangan ... 16
2.1.8.1 Dampak Aspek Sosio-Ekonomi ... 17
2.1.8.2 Dampak Aspek Sosio-Ekologi ... 18
2.2 Kerangka Konseptual ... 19
2.3 Kerangka Pemikiran ... 21
2.4 Hipotesis Penelitian ... 22
2.5 Definisi Konseptual... 22
2.6 Definisi Operasional ... 23
BAB III PENDEKATAN LAPANG ... 30
3.1 Metode Penelitian ... 30
3.2 Jenis dan Sumber Data ... 30
3.3 Teknik Penentuan Responden ... 30
3.4 Pengolahan dan Analisis Data ... 32
3.5 Waktu dan Tempat Penelitian ... 32
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 33
4.1Gambaran Umum Desa Cipinang ... 33
4.1.1 Kondisi Geografis dan Infrastruktur Desa Cipinang ... 33
4.1.2 Kondisi Sosial dan Ekonomi Penduduk ... 34
4.1.3 Tata Guna Tanah di Desa Cipinang ... 37
4.2 Gambaran Umum Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe ... 38
4.3 Karakteristik Responden ... 39
4.4 Gambaran Umum Industri Pertambangan di Desa Cipinang ... 42
4.4.1 Pabrik Industri Pertambangan ... 45
4.4.2 Aktivitas Blasting ... 46
BAB V DAMPAK SOSIO-EKONOMI AKTIVITAS PERTAMBANGAN 49
5.1 Struktur Pendapatan ... 49
5.2 Kategori Lapisan Sosial Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 51
5.3 Kondisi Tempat Tinggal ... 53
5.3.1 Kondisi Fisik Tempat Tinggal ... 53
5.3.2 Status Tempat Tinggal ... 54
5.4 Kepemilikan Lahan ... 55
5.4.1 Rumahtangga yang Memiliki Lahan ... 55
5.4.2 Luas Lahan yang dimiliki ... 57
5.5 Rumahtangga yang Menjual Lahan Pertanian ... 58
5.6 Persepsi Kesempatan Kerja ... 60
5.6.1 Persepsi Kesempatan Kerja Sektor Pertanian ... 60
5.6.2 Persepsi Kesempatan Kerja Sektor Non Pertanian ... 62
5.7 Tingkat Kedalaman Konflik ... 64
5.7.1 Tingkat kedalaman Konflik Akibat Perubahan Udara ... 64
5.7.2 Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Polusi Suara ... 67
5.7.3 Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Gangguan Sumber Air ... 68
5.8 Hubungan Antar Warga ... 70
5.8.1 Hubungan Antar Masyarakat Lokal ... 70
5.8.2 Hubungan Antara Masyarakat lokal dengan Pendatang ... 71
5.9 Ikhtisar ... 73
BAB VI DAMPAK SOSIO-EKOLOGI AKTIVITAS PERTAMBANGAN 76 6.1 Konversi Lahan Pertanian ... 76
6.2 Sumber Air yang digunakan Masyarakat... 77
6.3 Kondisi Sumber Air ... 78
6.4 Kualitas Air Minum ... 81
6.5 Persepsi Kondisi Udara ... 82
6.6 Persepsi Tingkat Kebisingan ... 84
6.6.1 Persepsi Tingkat Kebisingan Blasting ... 84
6.6.2 Persepsi Tingkat Kebisingan Kendaraan Truk ... 86
6.7 Tingkat Kesehatan Masyarakat ... 87
6.7.1 Rumahtangga yang Mengidap Penyakit ... 87
6.7.2 Pengobatan terhadap Penyakit ... 89
6.8 Ikhtisar ... 91
BAB VIII PENUTUP ... 94
7.1 Kesimpulan ... 94
7.2 Saran ... 94
DAFTAR PUSTAKA ... 96
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
Tabel 1 Jumlah Produksi Barang Tambang (Ton) menurut Jenis Tambang
dari Tahun 1996-2008 di Indonesia ... 8
Tabel 2 Penggolongan Sumberdaya Mineral Berdasarkan Jenis Mineral ... 12
Tabel 3 Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan Kategori Umur
Masyarakat di Desa Cipinang, 2010 ... 34
Tabel 4 Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Masyarakat di Desa Cipinang, Tahun 2010 ... 36
Tabel 5 Luas Lahan dan Persentasenya menurut Penggunaan Lahan di Desa Cipinang, 2010 ... 38
Tabel 6 Karakteristik Responden di Desa Cipinang, 2011 ... 47
Tabel 7 Dampak Aktivitas Pertambangan pada Aspek Sosio-Ekonomi, 2011.. 74
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman Gambar 1 Kerangka Konseptual Dampak Aktivitas Pertambangan pada
Aspek Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi ... 20
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Dampak Aktivitas Pertambangan pada Aspek Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi ... 21
Gambar 3 Teknik Kerangka Sampling dalam Pengambilan Responden ... 31
Gambar 4 Mata Pencaharian Masyarakat Desa Cipinang, 2010 ... 37
Gambar 5 Tingkat Pendidikan Responden Desa Cipinang, 2010 ... 40
Gambar 6 Jumlah Responden Berdasarkan Sektor Pekerjaan ... 41
Gambar 7 Kelompok Responden Berdasarkan Asal Kependudukan ... 42
Gambar 8 Tingkat Frekuensi Blasting ... 46
Gambar 9 Struktur Pendapatan Rumahtangga Desa Cipinang, 2011 ... 50
Gambar 10 Lapisan Sosial Desa Cipinang Berdasarkan Struktur Pendapatan ... 51
Gambar 11 Kondisi Fisik Tempat Tinggal Berdasarkan Lapisan Sosial ... 53
Gambar 12 Status Tempat Tinggal Berdasarkan Lapisan Sosial ... 54
Gambar 13 Kepemilikan Lahan Pertanian Berdasarkan Lapisan Sosial ... 55
Gambar 14 Luas Lahan yang dimiliki Berdasarkan Lapisan Sosial ... 57
Gambar 15 Jumlah Rumahtangga yang Menjual Lahan Pertanian Berdasarkan Lapisan Sosial ... 59
Gambar 16 Persepsi Responden terhadap Kesempatan Kerja Sektor Pertanian Sebelum Ada Aktivitas Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial ... 60
Gambar 17 Persepsi Responden terhadap Kesempatan Kerja Sektor Pertanian Setelah Ada Aktivitas Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial ... 61
Gambar 18 Persepsi Responden terhadap Kesempatan Kerja Sektor Non Pertanian Sebelum Ada Aktivitas Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial ... 62
Gambar 20 Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Perubahan Udara
Berdasarkan Lapisan Sosial ... 65
Gambar 21 Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Polusi Suara Berdasarkan Lapisan Sosial ... 67
Gambar 22 Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Gangguan Sumber Air
Berdasarkan Lapisan Sosial ... 69
Gambar 23 Hubungan Antar Sesama Masyarakat Lokal Berdasarkan
Lapisan Sosial ... 70
Gambar 24 Hubungan Antara Masyarakat Lokal dengan Pendatang
Berdasarkan Lapisan Sosial ... 72
Gambar 25 Sumber Air yang digunakan Masyarakat Berdasarkan Lapisan Sosial ... 78
Gambar 26 Kondisi Sumber Air Sebelum Ada Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial ... 79
Gambar 27 Kondisi Sumber Air Setelah Ada Pertambangan Berdasarkan
Lapisan Sosial ... 80
Gambar 28 Kualitas Air Minum Berdasarkan Lapisan Sosial ... 81
Gambar 29 Persepsi Responden terhadap Kondisi Udara Sebelum Ada
Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial ... 82
Gambar 30 Persepsi Responden terhadap Kondisi Udara Setelah Ada
Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial ... 83
Gambar 31 Persepsi Responden terhadap Tingkat Kebisingan Blasting
Berdasarkan Lapisan Sosial ... 84 Gambar 32 Persepsi Responden terhadap Tingkat Kebisingan Truk
Berdasarkan Lapisan Sosial ... 86
Gambar 33 Jumlah Rumahtangga Pengidap Penyakit Berdasarkan Lapisan Sosial ... 88
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Sumberdaya alam merupakan faktor yang sangat menentukan bagi
kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan dalam kehidupannya, manusia tidak
dapat hidup tanpa adanya sumberdaya alam. Ketergantungan manusia akan
sumberdaya alam tersebut berpengaruh terhadap pola pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya alam yang ada. Di Indonesia, sebagai negara sedang
berkembang peningkatan jumlah penduduk yang terus terjadi mengakibatkan
semakin meningkatnya jumlah permintaan akan pemenuhan kebutuhan hidup dari
sumberdaya alam, sehingga berkorelasi terhadap semakin eksploitatifnya
pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Hal ini nyata dari adanya peningkatan
jumlah permintaan pasokan akan sumberdaya alam mineral bagi pemenuhan
kebutuhan manusia dalam jumlah yang besar, namun seringkali tidak dapat
terpenuhi karena terbatasnya persediaan sumberdaya alam mineral yang ada.
Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan adanya pengelolaan
dan pemanfaatan yang baik terhadap sumberdaya alam mineral.
Pengelolaan dan pemanfaatan yang baik terhadap sumberdaya alam mineral
menjadi faktor penentu keberlanjutan dari lingkungan hidup dan aktivitas
kehidupan manusia ke depannya. Di Indonesia, pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya alam sangat tergantung pada kebijakan pemerintahan pada masanya.
Pada era desentralisasi saat ini, pemberian wewenang dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam memberikan
dampak yang sangat berbeda dibandingkan di era sentralisasi. Pemerintah daerah
yang memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan segala potensi sumberdaya alam
di daerahnya, dapat mengalihkan haknya dengan memberikan izin kepada pihak
swasta atau industri yang bergerak di bidang pertambangan untuk mengelola dan
memanfaatkan sumberdaya alam mineral.
Menurut Smelter sebagaimana dikutip Budimanta (2007) selama ini
kegiatan pembangunan dan pembuatan kebijakan harus berasal dari pusat
(sentralistik), akan tetapi dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah sejak
Kondisi ini oleh pemerintah daerah dimanfaatkan untuk mengeluarkan kebijakan
mengenai pertambangan daerah, sedangkan di tingkat kota dimanfaatkan untuk
mengembangkan industri barang mineral.
Pengelolaan sumberdaya mineral oleh industri pertambangan dilakukan
karena dipandang dapat memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang lebih
tinggi sehingga dapat meningkatkan perekonomian dan pembangunan Negara,
serta terciptanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal maupun masyarakat di
luar lokasi penambangan. Selain itu, karena pihak industri sebagai pihak yang
memiliki modal berupa teknologi yang tinggi diharapkan mampu mengelola
sumberdaya mineral secara baik dan efisien. Namun pada pelaksanaannya,
pengelolaan sumberdaya mineral oleh industri tidak selamanya berjalan seperti
apa yang diharapkan. Hal ini dikarenakan aktivitas pertambangan tersebut
merupakan aktivitas pengerukan terhadap sumberdaya alam yang terkandung di
tempat terbuka maupun bawah tanah, sedangkan pemanfaatan dengan penggunaan
teknologinya seringkali berlebihan dalam mengeruk sumberdaya mineral yang ada
sehingga pengelolaan sumberdaya alam tambang oleh industri pertambangan
memberikan dampak terhadap perubahan ekosistem lokal.
Perubahan pada ekosistem lokal meliputi perubahan pada tataran sosial,
ekonomi maupun lingkungan. Perubahan yang terjadi pada tataran sosial ekonomi
diantaranya terjadinya perubahan sistem mata pencaharian masyarakat lokal yang
awalnya bergerak di sektor pertanian sebagai sektor utama masyarakat, berubah
menjadi masyarakat non pertanian seperti buruh pabrik, pedagang maupun
kegiatan non pertanian lainnya. Hal ini disebabkan menurunnya produktivitas
lahan akibat rusaknya lahan pertanian yang ada dan berdampak terhadap
penurunan pendapatan masyarakat. Sementara itu pada tataran lingkungan,
terjadinya kerusakan ekologi seperti pencemaran air dan udara akibat limbah
industri, serta kekeringan air yang kemudian berimplikasi pada penurunan
produktivitas lahan pertanian.
Menurut Noor (2006) lubang-lubang bekas penambangan serta pembukaan
lapisan tanah yang subur pada saat penambangan dapat mengakibatkan daerah
yang semula subur menjadi daerah yang tandus dan akan memerlukan waktu yang
lingkungan akan terjadi pada semua tahap dalam aktivitas pertambangan, mulai
dari tahap prosesing mineral serta semua aktivitas yang menyertainya dalam
seluruh tahap tersebut seperti penggunaan peralatan survei, bahan peledak,
alat-alat berat, limbah mineral padat yang tidak dibutuhkan.
Pada dasarnya kegiatan suatu industri adalah mengolah masukan (input) menjadi keluaran (output). Pengamatan terhadap sumber pencemar sektor industri dapat dilaksanakan pada masukan, proses maupun pada keluarannya dengan
melihat spesifikasi dan jenis limbah yang diproduksi. Pencemaran yang
ditimbulkan oleh industri diakibatkan adanya limbah yang keluar dari
pabrik-pabrik dan mengandung Bahan Beracun dan Berbahaya (B-3). Bahan pencemar
keluar bersama-sama dengan bahan buangan (limbah) melalui media udara, air
dan tanah yang merupakan komponen ekosistem alam. Bahkan buangan yang
keluar dari pabrik dan masuk ke lingkungan dapat diidentifikasikan sebagai
sumber pencemaran, dan sebagai sumber pencemaran perlu diketahui jenis bahan
pencemar yang dikeluarkan, kuantitas dan jangkauan pemaparannya (Kristanto,
2004).
Proses dalam menghasilkan produk sumberdaya mineral mempunyai
konstribusi yang besar terhadap pencemaran lingkungan dan hal ini telah dikritisi
oleh para pemerhati lingkungan. Di satu sisi untuk menutup suatu tambang atau
industri pertambangan yang menghasilkan mineral-mineral yang dibutuhkan oleh
manusia adalah sesuatu hal yang tidak bijaksana. Di sisi lain, dampak yang
ditimbulkan akibat pertumbuhan industri pertambangan harus disikapi dengan
cara mencegah agar dampak yang ditimbulkannya dapat diminimalkan (Noor,
2006).
Desa Cipinang sebagai salah satu desa bagian Kecamatan Rumpin
Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, merupakan salah satu daerah yang
memiliki potensi sumberdaya alam tambang jenis bahan galian golongan C
dengan tekstur tanah pertanian. Adanya aktivitas pertambangan di daerah tersebut
mengakibatkan perubahan struktur sosial yang pada awalnya bergerak di sektor
pertanian menjadi non pertanian. Banyaknya jumlah industri pertambangan
pada aspek sosio-ekonomi dan ekologi tersebut merupakan dampak aktivitas
pertambangan yang penting untuk dilakukan pengkajian.
1.2Rumusan Masalah
Era otonomi daerah, yang mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 dimana
pemerintah pusat menyerahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk
memanfaatkan segala potensi atas sumberdaya alam yang ada di daerahnya
masing-masing. Kebijakan yang timbul dari adanya era desentralisasi ini
memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD
melalui pemanfaatan atas segala potensi sumberdaya alam yang ada. Salah
satunya adalah dengan mengalihkan hak izin pengelolaan sumberdaya alam
tambang kepada badan usaha.
Adanya pengalihan hak atas izin usaha tambang ini menjadikan badan usaha
sebagai pihak yang memiliki kuasa, sehingga dapat leluasa untuk mengelola dan
memanfaatkan sumberdaya alam tambang yang ada. Badan usaha menjadi pihak
yang mendominasi atas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam tambang.
Dominasi ini pada akhirnya dapat menimbulkan marjinalisasi bagi kaum
minoritas terutama dalam hal akses atas sumberdaya alam dan ketidaksetaraan
posisi atau status atas kepemilikan lahan yang terdapat di sekitar wilayah
pertambangan.
Fakta dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di beberapa daerah di
Indonesia, sebagaimana penelitian Antoro (2010) di Kabupaten Kulon Progo
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai daerah yang potensial dengan
penambangan pasir, sama halnya dengan penelitian Qomariah (2002) di
Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan menyatakan bahwa mayoritas posisi
marjinal di sekitar wilayah pertambangan ditempati oleh masyarakat lokal. Hal ini
dikarenakan masyarakat lokal merupakan pihak yang tidak memiliki kuasa dan
tidak memiliki akses atas sumberdaya alam. Selain itu, masyarakat lokal sebagai
pihak termarjinalkan menjadi pihak penerima berbagai dampak negatif yang
ditimbulkan oleh adanya aktivitas pertambangan. Dampak negatif yang
ditimbulkan pun tidak hanya terjadi pada tataran sosial dan ekonomi saja
ekologi yang ada mendorong terjadinya perubahan kualitas hidup masyarakat
lokal dan ketidakadilan pada kualitas lingkungan hidup.
Berdasarkan paparan mengenai aktivitas pertambangan di atas, maka
rumusan masalah yang akan dikaji dalam bentuk pertanyaan penelitian adalah:
1. Bagaimana dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosio-ekonomi
terhadap masyarakat lokal?
2. Bagaimana dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosio-ekologi
terhadap masyarakat lokal?
1.3Tujuan Penelitian
Berdasarkan pemaparan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini
adalah untuk:
1. Menjelaskan dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosio-ekonomi
terhadap masyarakat lokal.
2. Menjelaskan dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosio-ekologi
terhadap masyarakat lokal.
1.4Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi beberapa pihak, diantaranya:
1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi proses pembelajaran
dalam memahami fenomena kerusakan lingkungan akibat aktivitas
pertambangan dan mempelajari kondisi masyarakat sekitar pertambangan.
2. Bagi kalangan akademik, untuk menambah literatur dalam mengkaji
masalah perubahan sosio-ekonomi dan sosio-ekologi di pedesaan akibat
adanya aktivitas pertambangan bahan galian golongan C.
3. Bagi masyarakat, terutama masyarakat lokal di sekitar wilayah
pertambangan untuk menambah pengetahuan mengenai situasi dan kondisi
sosio-ekonomi dan sosio-ekologi.
4. Bagi pemerintah, sebagai acuan dalam melakukan kebijakan pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya alam tambang bahan galian golongan C.
5. Bagi perusahaan, sebagai acuan dalam mengelola dan memanfaatkan
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pengertian Ekologi
Ekologi didefinisikan sebagai ilmu tentang hubungan timbal-balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya. Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan
oleh Haeckel, seorang ahli biologi, pada pertengahan dasawarsa 1860-an. Ekologi
berasal dari bahasa yunani yaitu oikos yang berarti rumah tangga, dan logos yang berarti ilmu, sehingga secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang rumahtangga
makhluk hidup (Kristanto, 2004).
Menurut Silalahi (2001) hal yang paling penting dari ekologi ialah konsep
ekosistem. Ekosistem ialah suatu ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal
balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Dalam sistem ini, semua
komponen bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Ekosistem terbentuk oleh
komponen hidup (biotic) dan tak hidup (abiotic) di suatu tempat yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan terjadi disebabkan oleh
adanya arus materi dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi antara
komponen dalam ekosistem itu. Ketentuan ekosistem menunjukkan adanya suatu
keseimbangan tertentu dari ekosistem. Keseimbangan ini bukan statis melainkan
dinamis, karena berubah-ubah. Perubahan ini dapat besar atau kecil, dilakukan
baik oleh manusia maupun secara alami.
Sama halnya dengan Adiwibowo (2007) yang menyatakan bahwa dalam
ekologi dipelajari bagaimana makhluk hidup berinteraksi timbal balik dengan
lingkungan hidupnya baik yang bersifat hidup (biotic) maupun tak hidup (abiotic) sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu jaring-jaring sistem kehidupan pada
berbagai tingkatan organisasi. Di dalam ekosistem, tumbuhan, hewan, dan mikro
organisme saling berinteraksi melakukan transaksi materi dan energi membentuk
satu kesatuan sistem kehidupan.
2.1.2 Pengertian Pertambangan
Industri pertambangan adalah suatu industri dimana bahan galian mineral
industri mineral, proses untuk mendapatkan mineral-mineral yang ekonomis
biasanya menggunakan metode ekstraksi, yaitu proses pemisahan mineral-mineral
dari batuan terhadap mineral pengikut yang tidak diperlukan. Mineral-mineral
yang tidak diperlukan akan menjadi limbah industri pertambangan dan
mempunyai kontribusi yang cukup signifikan pada pencemaran dan degradasi
lingkungan. Industri pertambangan sebagai industri hulu yang menghasilkan
sumberdaya mineral dan merupakan sumber bahan baku bagi industri hilir yang
diperlukan oleh umat manusia di dunia (Noor, 2006).
Salim (2007) menyatakan bahwa usaha pertambangan terdiri atas usaha
penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan penjualan.
1. Penyelidikan umum merupakan usaha untuk menyelidiki secara geologi
umum atau fisika, di daratan perairan dan dari udara, segala sesuatu dengan
maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan
tanda-tanda adanya bahan galian pada umumnya.
2. Usaha eksplorasi adalah segala penyelidikan geologi pertambangan untuk
menetapkan lebih teliti/seksama adanya sifat letakan bahan galian.
3. Usaha eksploitasi adalah usaha pertambangan dengan maksud untuk
menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.
4. Usaha pengolahan dan pemurnian adalah pengerjaan untuk mempertinggi
mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur
yang terdapat pada bahan galian.
5. Usaha pengangkutan adalah segala usaha pemindahan bahan galian dan hasil
pengolahan serta pemurnian bahan galian dari daerah eksplorasi atau tempat
pengolahan/pemurnian.
6. Usaha penjualan adalah segala sesuatu usaha penjualan bahan galian dan hasil
pengolahan/pemurnian bahan galian.
Berdasarkan jenis pengelolaannya, kegiatan penambangan terdiri atas dua
macam yaitu kegiatan penambangan yang dilakukan oleh badan usaha yang
ditunjuk secara langsung oleh negara melalui Kuasa Pertambangan (KP) maupun
Kontrak Karya (KK), dan penambangan yang dilakukan oleh rakyat secara
manual. Kegiatan penambangan oleh badan usaha biasanya dilakukan dengan
banyak dengan alokasi waktu yang lebih efisien, sedangkan penambangan rakyat
merupakan aktivitas penambangan dengan menggunakan alat-alat sederhana.
Di Indonesia, segala bentuk kegiatan industri pada sektor pertambangan
diharapkan mampu menyumbang pada peningkatan ekonomi dan pembangunan
negara. Kegiatan eksploitasi oleh industri pertambangan terus dilakukan demi
pengejaran pembangunan melalui penghasilan devisa negara. Hal ini dilakukan
seiring dengan meningkatnya jumlah permintaan akan sumberdaya alam mineral
akibat meningkatnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun, sebagaimana terlihat
pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Jumlah Produksi Barang Tambang (Ton) menurut Jenis Tambang dari Tahun 1996-2008 di Indonesia.
Tahun Batu Bara (ton)
Bauksit (ton)
Nikel (ton)
Emas (ton)
Perak (ton)
Granit (ton)
Bijih Besi (ton)
1996 50,332,047 841,976 3,426,867 83,564 255,404 4,827,058 425,101
1997 55,982,040 808,749 2,829,936 86,928 249,392 8,824,088 516,403
1998 58,504,660 1,055,647 2,736,640 123,862 383,191 9,662,649 509,978
1999 62,108,239 1,116,323 2,798,449 127,768 361,377 8,720,155 502,198
2000 67,105,675 1,150,776 2,434,585 109,612 310,430 5,941,370 420,418
2001 71,072,961 1,237,006 2,473,825 148,528 333,561 3,976,274 440,648
2002 105,539,301 1,283,485 2,120,582 140,246 281,903 3,975,434 190,946
2003 113,525,813 1,262,705 2,499,728 138,475 272,050 3,938,915 245,911
2004 128,479,707 1,331,519 2,105,957 86,855 255,053 4,035,040 79,635
2005 149,665,233 1,441,899 3,790,896 142,894 326,993 4,302,849 87,940
2006 162,294,657 2,117,630 3,869,883 138,992 270,624 4,514,654 84,954
2007 188,663,068 1 251 147 7 112 870 117 854 268 967 1 793 440 84 371
2008 178 930 188 1,152,322 6,571,764 64,390 226,051 2,050,000 445,525,932
Tabel 1 menjelaskan jumlah produksi tambang dari tahun ke tahun,
berdasarkan potensi sumberdaya mineral yang ada di Indonesia. Peningkatan
jumlah penduduk berimplikasi terhadap peningkatan jumlah permintaan
sumberdaya mineral. Hal ini mendorong semakin dilakukannya eksploitasi
sumberdaya alam tambang yang ada.
2.1.3 Kebijakan Perizinan Usaha Pertambangan
Izin usaha dan atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis
untuk melakukan izin usaha dan atau kegiatan (UU No. 32 Tahun 2009).
Perizinan usaha pertambangan ini meliputi pelimpahan Kuasa Pertambangan dan
Kontrak Karya (KK). Dengan adanya otonomi daerah, perizinan pengelolaan
sumberdaya alam tambang saat ini berada di bawah wewenang pemerintah daerah.
Salim (2007) menyatakan bahwa apabila usaha pertambangan dilaksanakan
oleh kontraktor, kedudukan pemerintah adalah memberikan izin kepada
kontraktor yang bersangkutan. Izin yang diberikan oleh pemerintah berupa kuasa
pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan, dan
kontrak production sharing.
Menurut Salim (2007) perusahaan tambang yang diberikan izin untuk
mengusahakan bahan tambang terdiri dari:
1. Instansi pemerintah yang di tunjuk oleh menteri;
2. Perusahaan negara;
3. Perusahaan daerah;
4. Perusahaan dengan modal bersama antara negara dan daerah;
5. Koperasi;
6. Badan atau perseorangan swasta;
7. Perusahaan dengan modal bersama antara negara dan atau daerah dengan
koperasi dan atau badan/ perorangan swasta,
8. Pertambangan rakyat,
Kuasa pertambangan merupakan kuasa yang diberikan oleh pemerintah
sebagai pihak yang berwenang kepada pihak-pihak yang akan melakukan usaha
penambangan. Pemerintah yang berwenang dalam penerbitan kuasa pertambangan
ini adalah Bupati/Walikota, Gubernur, dan Menteri. Kuasa pertambangan ini juga
pengolahan/pemurnian dan pengangkutan atau penjualan. Sedangkan kontrak
karya adalah perjanjian yang berisi kesepakatan bersama antara pemerintah
dengan pihak usaha penambangan, dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Ketentuan mengenai Kuasa Pertambangan dan Kontrak Karya ini di atur dalam
Undang-Undang Pokok Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967.
Menurut Salim (2007) setiap perusahaan pertambangan yang ingin
memperoleh kontrak karya, harus mengajukan permohonan kontrak karya dalam
rangka penanaman modal asing (PMA)/PMDN kepada pejabat yang berwenang.
Pejabat berwenang menandatangi kontrak karya adalah Bupati/Walikota,
Gubernur dan Menteri Energi Sumber Daya Mineral. Penandatanganan kontrak
karya oleh pejabat ini disesuaikan dengan kewenangannya. Apabila wilayah
kontrak karya yang di mohon berada dalam wilayah kebupaten, pejabat yang
menandatangi kontrak karya itu adalah Bupati/walikota, tetapi apabila wilayah
pertambangan yang di mohon berada dalam dua kebupaten/kota, sedangkan kedua
kabupaten/kota itu tidak menandatangani kerja sama, pejabat yang berwenang
untuk menandatangani kontrak karya itu adalah Gubernur. Sementara itu, apabila
wilayah pertambangan yang di mohon berada pada dua daerah provinsi, pejabat
yang berwenang menandatangani adalah Menteri Energi Sumber Daya Mineral
dengan pemohon.
Jangka waktu berlakunya kontrak karya tergantung kepada jenis kegiatan
yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan. jangka waktu berlakunya kegiatan
eksploitasi adalah tiga puluh tahun. Jangka waktu itu juga dapat diperpanjang
(Salim, 2007).
2.1.4 Penggolongan Sumberdaya Alam Tambang
Sumberdaya mineral adalah sumberdaya yang diperoleh dari hasil ekstraksi
batuan-batuan yang ada di bumi. Adapun jenis dan manfaat sumberdaya mineral
bagi kehidupan manusia modern semakin tinggi dan semakin meningkat sesuai
dengan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan suatu negara (Noor, 2006).
Menurut Ngadiran et al (2002) izin usaha pertambangan meliputi izin untuk memanfaatkan bahan galian tambang yang bersifat ekstraktif seperti bahan galian
tambang golongan A, golongan B, maupun golongan C. Ada banyak jenis
jenis bahan tambang yang ada itu di bagi menjadi tiga golongan, yaitu: (1) bahan
galian strategis golongan A, terdiri atas: minyak bumi, aspal, antrasit, batu bara,
batu bara muda, batu bara tua, bitumen, bitumen cair, bitumen padat, gas alam,
lilin bumi, radium, thorium, uranium, dan bahan-bahan galian radio aktif lainnya
(antara lain kobalt, nikel dan timah); (2) bahan galian vital golongan B, terdiri
atas: air raksa, antimon, aklor, arsin, bauksit, besi, bismut, cerium, emas, intan,
khrom, mangan, perak, plastik, rhutenium, seng, tembaga, timbal, titan/titanium,
vanadium, wolfram, dan bahan-bahan logam langka lainnya (antara lain barit,
belerang, berrilium, fluorspar, brom, koundum, kriolit, kreolin, kristal, kwarsa,
yodium, dan zirkom); dan (3) bahan galian golongan C, terdiri atas; pasir, tanah
uruk, dan batu kerikil. Bahan ini merupakan bahan tambang yang tersebar di
berbagai daerah yang ada di Indonesia.
Adanya kebijakan pemerintah yang mengeluarkan peraturan dengan
merubah status komoditas tambang berdasarkan penggolongannya, dapat memicu
terhadap semakin bebasnya akses bagi setiap orang untuk mengeksploitasi
sumberdaya alam tambang yang ada. Hal ini sebagaimana terjadi di daerah
Bangka, dimana sebelum adanya otonomi daerah timah dijadikan sebagai
komoditas vital yang pengelolaannya dilakukan oleh negara. Namun setelah
adanya Surat Keputusan (SK) Menteri Perindustrian dan Perdagangan
(Menperindag) Nomor 146/MPP/4/1999 mengenai otonomi daerah, yang
menjadikan timah sebagai komoditas strategis, pengelolaannya tidak lagi
dilakukan oleh negara sehingga semua pihak seperti swasta, BUMN, maupun
masyarakat dapat leluasa untuk melakukan eksploitasi terhadap timah yang ada.
Hal ini juga menimbulkan terhadap semakin meningkatnya jumlah Tambang
Inkonvensional (TI) di daerah Bangka.
Berdasarkan tipe bahan galian, sumberdaya mineral dapat digolongkan
menjadi tiga golongan, yaitu: (1) Bahan Galian Vital; (2) Bahan Galian Strategis;
dan (3) Bahan Galian Industri. Penggolongan jenis mineral yang terdiri atas bahan
galian vital, strategis, dan industri merupakan bentuk lain dari bahan galian
golongan A, golongan B, dan golongan C. Pada bahan galian vital disebut juga
golongan B, sedangkan bahan galian industri merupakan bahan galian golongan
C. Hal ini sebagaimana terlihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Penggolongan Sumberdaya Mineral Berdasarkan Jenis Mineral
Bahan Galian Jenis Mineral Kegunaan
Vital Uranium (U) Thorium (Th) Minyak/Gas Bumi Emas (Au) Perak (Ag)
Energi nuklir, senjata pemusnah, dll
Energi nuklir, senjata pemusnah, dll
Energi listrik, industri, petrokimia, BBM, dll
Perhiasan, industri elektronik, dll
Perhiasan, industri elektronika, dll
Strategis Besi (Fe) Tembaga (Cu) Nikel (Ni) Timah (Sn) Seng (Zn) Aluminium (Al) Muscovite
Industri baja, konstruksi, manufaktur, dll
Kabel listrik, industri, manufaktur, dll
Industri baja, metalurgi, manufaktur, dll
Industri, manufaktur, dll
Industri, manufaktur, bangunan, dll
Industri manufaktur, dll
Industri electronics, dll
Industri Batu gamping Batu lempung Batu pasir Batuan beku Gypsum Industri cement
Bahan bangunan, batu bara, genteng, dll
Bahan bangunan
Bahan bangunan
Campuran cement, bahan bangunan, dll
Sumber: Noor , 2006
Jenis sumberdaya alam tambang yang terdapat pada Tabel 2 di atas
Indonesia. Pemanfaatan terhadap berbagai jenis sumberdaya alam tambang
tersebut terus dilakukan untuk dijadikan sebagai sumber energi pemenuhan
kebutuhan hidup manusia.
2.1.5 Definisi Masyarakat Desa
Masyarakat desa didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang hidup dan
bertempat tinggal di wilyah pedesaan. Masyarakat desa dicirikan sebagai
masyarakat yang memiliki ikatan yang relatif kuat karena adanya rasa memiliki
satu sama lain. Pada umumnya masyarakat desa memiliki karakteristik sebagai
masyarakat yang homogen dari segi pekerjaan, agama, adat istiadat dan hubungan
yang terjalin menganut sistem kekeluargaan sehingga cenderung tanpa pamrih.
Menurut Soedjatmoko sebagaimana dikutip Sudarmanto (1996) struktur
masyarakat pedesaan, khususnya di jawa dapat digolongkan menjadi tiga
golongan, yaitu:
1. Golongan pertama adalah mereka yang memiliki tanah cukup besar untuk
kehidupan yang cukup bagi keluarganya.
2. Golongan kedua, terdiri dari petani yang memiliki atau menguasai tanah yang
luasnya atau kualitasnya marginal, sehingga kehidupan keluarganya sangat
tergantung pada kesempatan kerja sampingan, selain karena faktor iklim dan
faktor pasar.
3. Golongan ketiga, yang makin lama makin besar jumlahnya baik di Indonesia
maupun di Asia, pada umumnya ialah mereka yang sama sekali tidak
mempunyai tanah.
2.1.6 Pengertian Konflik
Konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang
disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan
sumberdaya (Fuad dan Maskanah, 2000). Konflik dapat berwujud konflik tertutup
(latent), mencuat (emerging), dan terbuka (manifest). Konflik tertutup (latent) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya
berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Seringkali
salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan yang paling
kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya sendiri
belum berkembang. Konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi,
mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan
buntu. Menurut level permasalahannya, konflik dibedakan menjadi konflik
vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal yaitu apabila pihak yang di lawan
oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda. Sedangkan konflik horizontal
terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya.
Untuk mengetahui penyebab terjadinya konflik, diperlukan adanya
pemetaan konflik. Menurut Fuad dan Maskanah (2000) pemetaan konflik
dilakukan dengan mengelompokkan konflik ke dalam ruang-ruang konflik
menggunakan kriteria-kriteria di bawah ini:
1. Konflik data, terjadi ketika orang mengalami kekurangan informasi yang
dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana atau mendapat
informasi yang salah, atau tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan,
atau menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata
cara pengkajian yang berbeda.
2. Konflik kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan
atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian.
3. Konflik hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi negatif
yang kuat, salah persepsi atau stereotipe, salah komunikasi, atau tingkah laku negatif yang berulang (repetitif).
4. Konflik nilai, disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak sesuai, entah itu
hanya dirasakan atau memang ada.
5. Konflik struktural, terjadi ketika adanya ketimpangan untuk melakukan akses
dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki
wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih
memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak
terhadap pihak lain.
2.1.7 Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan (UU No. 32 Tahun 2009).
Menurut Sugandhy dan Hakim (2009) pola pembangunan berkelanjutan
mengharuskan pengelolaan sumberdaya alam dilakukan secara rasional dan
bijaksana. Hal ini berarti bahwa pengelolaan sumberdaya alam, seperti
sumberdaya alam pertambangan, hutan pelestarian alam, hutan lindung dan hutan
produksi, dapat diolah secara rasional dan bijaksana dengan memperhatikan
keberlanjutannya. Untuk itu, diperlukan keterpaduan antara pembangunan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Konsep pembangunan berkelanjutan memberikan implikasi adanya batasan
yang ditentukan oleh tingkat masyarakat dan organisasi sosial mengenai
sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer dalam menyerap berbagai pengaruh
aktivitas manusia. Proses pembangunan berlangsung secara berlanjut dan
didukung sumberdaya alam yang ada dengan kualitas lingkungan dan manusia
yang semakin berkembang dalam batas daya dukung lingkupannya. Pembangunan
akan memungkinkan generasi sekarang meningkatkan kesejahteraannya, tanpa
mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan
kesejahteraannya (Sugandhy dan Hakim, 2009).
Tiga pilar pembangunan berkelanjutan sejak deklarasi Stockholm 1972
menuju Rio de Janeiro, sampai dengan Rio + 10 di Johanesburg 2002 ditekankan
perlunya koordinasi dan integrasi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan
sumberdaya buatan dalam setiap pembangunan nasional, dengan pendekatan
kependudukan, pembangunan, dan lingkungan sampai dengan integrasi aspek
sosial, ekonomi, dan lingkungan (Sugandhy dan Hakim, 2009).
Menurut Sugandhy dan Hakim (2009) setiap keputusan pembangunan harus
memasukkan berbagai pertimbangan yang menyangkut aspek lingkungan, di
samping pengentasan kemiskinan dan pola konsumsi sehingga hasil pembangunan
benar-benar akan memberikan hasil yang baik bagi peningkatan kualitas hidup
manusia. Pertimbangan lingkungan yang menyangkut ekonomi lingkungan, tata
sektor, antar wilayah dan daerah dengan melibatkan semua stakeholders, menjadi suatu keharusan sehingga diperlukan koordinasi yang mantap.
2.1.8 Dampak Aktivitas Pertambangan
Menurut Kristanto (2004) dampak diartikan sebagai adanya suatu benturan
antara dua kepentingan yang berbeda, yaitu kepentingan pembangunan dengan
kepentingan usaha melestarikan kualitas lingkungan yang baik. Dampak yang
diartikan dari benturan antara dua kepentingan itupun masih kurang tepat karena
yang tercermin dari benturan tersebut hanyalah kegiatan yang menimbulkan
dampak negatif. Pengertian ini pula yang dahulunya banyak di tentang oleh para
pemilik atau pengusul proyek.
Perkembangan selanjutnya, yang dianalisis bukan hanya dampak negatifnya
saja melainkan juga dampak positifnya dan dengan bobot analisis yang sama.
Apabila didefinisikan lebih lanjut, maka dampak adalah setiap perubahan yang
terjadi dalam lingkungan akibat adanya aktivitas manusia. Disini tidak disebutkan
karena adanya proyek, karena proyek sering diartikan sebagai bangunan fisik saja,
sedangkan banyak proyek yang bangunan fisiknya relatif kecil atau tidak ada,
tetapi dampaknya besar. Jadi yang menjadi objek pembahasan bukan saja dampak
proyek terhadap lingkungan, melainkan jugadampak lingkungan terhadap proyek
(Kristanto, 2004).
Menurut Salim (2007) setiap kegiatan pembangunan di bidang
pertambangan pasti menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif.
Dampak positif dari kegiatan pembangunan di bidang pertambangan adalah:
1. Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi
nasional;
2. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ;
3. Menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar tambang;
4. Meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang;
5. Meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang;
6. Meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang; dan
7. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang.
Dampak negatif dari pembangunan di bidang pertambangan adalah:
2. Penderitaan masyarakat adat;
3. Menurunnya kualitas hidup penduduk lokal;
4. Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan;
5. Kehancuran ekologi pulau-pulau; dan
6. Terjadi pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan
Meningkatnya kebutuhan sumberdaya mineral di dunia telah memacu
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral serta untuk mendapatkan
lokasi-lokasi sumberdaya mineral yang baru. Konsekuensi dari meningkatnya
eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral harus diikuti dengan usaha-usaha
dalam pencegahan terhadap dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari
eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral tersebut (Noor, 2006).
2.1.8.1 Dampak Aspek Sosio-Ekonomi
Dampak sosial ekonomi merupakan dampak aktivitas pertambangan pada
aspek sosial ekonomi yang dapat bersifat positif dan negatif. Dampak positif
akibat aktivitas pertambangan diantaranya adalah terjadinya peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), terciptanya lapangan pekerjaan, dan peningkatan
ekonomi bagi masyarakat di sekitar wilayah pertambangan sedangkan dampak
negatif dari adanya aktivitas pertambangan adalah terjadinya penurunan
pendapatan bagi masyarakat yang bergerak di sektor pertanian, karena
menurunnya kualitas lahan yang digunakan.
Hasil penelitian Budimanta (2007) menunjukkan bahwa aktivitas
penambangan di daerah Bangka Belitung memberikan berbagai dampak positif
dan negatif pada kehidupan warga. Dampak positif akibat aktivitas penambangan
diantaranya adalah meningkatnya penghasilan devisa bagi Negara, terciptanya
lapangan pekerjaan. Selain itu, adanya perbaikan infrastruktur seperti akses jalan
ke Penagan dari Pangkal Pinang menjadi semakin mudah dan kondisi jalanan
semakin baik. Waktu tempuh menjadi semakin efisien dibandingkan sebelumnya
yang membutuhkan waktu hingga dua hari bagi para pejalan kaki. Pada aspek
ekonomi, pendapatan yang diperoleh warga menjadi semakin meningkat. Hal ini
terlihat dari adanya kemampuan warga untuk mendirikan rumah permanen yang
terbuat dari bahan bata dan semen, dibandingkan kondisi sebelumnya yang hanya
2.1.8.2 Dampak Aspek Sosio-Ekologi
Perubahan ekologi di wilayah pertambangan terjadi karena adanya aktivitas
eksploitasi terhadap sumberdaya alam tambang. Perubahan ekologi ini
mengakibatkan perubahan sosial di sekitar wilayah pertambangan. Kerusakan
lingkungan seperti pencemaran air, polusi udara dan kekeringan air, mampu
mengubah sistem mata pencaharian masyarakat desa yang awalnya bergerak di
sektor pertanian menjadi sektor non pertanian.
Menurut Noor (2006) permasalahan yang sering muncul dari kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral adalah terjadinya penurunan
kualitas lingkungan hidup seperti pencemaran pada tanah, udara, dan hidrologi
air. Di indonesia dapat kita jumpai beberapa contoh lokasi tambang yang telah
mengalami penurunan kualitas lingkungan, antara lain tambang timah di Pulau
Bangka, tambang batu bara di Kalimantan Timur dan tambang tembaga di Papua.
Lubang-lubang bekas penambangan dan pembukaan lapisan tanah yang
subur pada saat penambangan, dapat mengakibatkan daerah yang semula subur
menjadi daerah yang tandus. Diperlukan waktu yang sangat lama untuk kembali
ke dalam kondisi semula. Polusi dan degradasi lingkungan akan terjadi pada
semua tahap dalam aktivitas pertambangan. Tahap tersebut dimulai pada tahap
prosesing mineral dan semua aktivitas yang menyertainya seperti penggunaan
peralatan survei, bahan peledak, alat-alat berat, limbah mineral padat yang tidak
dibutuhkan (Noor, 2006).
Menurut Noor (2006) permasalahan yang ditimbulkan dalam penggunaan
batu bara adalah pencemaran udara berupa kandungan belerang yang dilepaskan
oleh hasil pembakaran batu bara pada pembangkit listrik, dan debu batu bara
(partikel-partikel halus) hasil pembakaran yang masuk ke udara.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Qomariah (2002) dampak
akibat aktivitas pertambangan batu bara bukan hanya menimbulkan pencemaran
udara yang mengakibatkan penurunan kesehatan saja, melainkan juga timbulnya
cekungan besar yang dikelilingi tumpukan tanah bekas galian yang telah
bercampur dengan sisa-sisa bahan tambang (tailing). Pada saat musim hujan, cekungan tersebut dialiri air dan berubah menjadi danau. Sisa-sisa bahan tambang
Hal ini mengakibatkan hilangnya vegetasi (tanaman) populasi satwa liar dan
menurunnya kualitas air. Sementara itu di daerah bagian hilir pasca tambang,
rawan terjadinya bencana erosi akibat sedimentasi tanah.
Di beberapa daerah yang memiliki potensi penambangan pasir seperti
Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung, aktivitas penambangan
mengakibatkan timbulnya tebing-tebing bukit yang rawan longsor akibat
penambangan yang tidak memakai sistem berteras. Hal ini mengakibatkan
semakin tingginya tingkat erosi di daerah pertambangan, berkurangnya debit air
permukaan atau mata air, menurunnya produktivitas lahan pertanian, dan
tingginya lalu lintas kendaraan drum truk di jalan desa yang kemudian membuat
rusaknya jalan, serta timbulnya polusi udara. Sementara itu, di beberapa daerah
lain di Indonesia seperti Bangka Belitung, Kabupaten Sumbawa Provinsi NTB
dan Kabupaten Landak Provinsi Kalimantan, aktivitas pertambangan
mengakibatkan terjadinya pencemaran air dan degradasi lahan. Hilangnya fungsi
atas sungai bagi masyarakat seperti air sungai Tongo-Sejorong yang pada awalnya
digunakan warga untuk minum, membersihkan makanan, mandi, mencuci, minum
ternak. Sungai tercemar oleh limbah yang berasal dari konsentrator aktivitas
limbah dan pembukaan hutan di bagian hulu. Selain itu, terjadinya kekeringan air
sumur milik warga akibat adanya aktivitas pengeboran.
2.2 Kerangka Konseptual
Gambar 1 di bawah ini menjelaskan tentang adanya pihak-pihak
berkepentingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam tambang.
pihak-pihak berkepentingan yang ada meliputi pemerintah seperti pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, masyarakat lokal, dan swasta. Pemerintah sebagai
institusi yang berperan sebagai pemberi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya
alam tambang, swasta sebagai pengelola dan pemanfaat langsung dari kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah, serta masyarakat lokal sebagai sekumpulan
orang yang berada di sekitar lokasi penambangan dan sebagai pihak penerima
dampak langsung maupun tidak langsung dari adanya aktivitas pertambangan.
Pada awalnya, ketiga pihak yang ada memiliki akses terhadap sumberdaya
alam tambang. Namun dengan adanya izin usaha tambang yang diberikan oleh
Keterangan:
= saling mempengaruhi, = hubungan akibat, = akses
- - - = fokus penelitian
Gambar 1. Kerangka Konseptual Dampak Aktivitas Pertambangan pada Aspek Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi
Masyarakat Lokal
Pemerintah (Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah)
Swasta/Perusahaan Pertambangan
Sosio-Ekonomi
- Perubahan Pola Pekerjaan
- Pendapatan
- Kesempatan Kerja
- Konflik di Masyarakat
Sosio-Ekologi
- Terganggunya Sumber Air
- Perubahan Udara
- Polusi Suara
- Kesehatan
Pembangunan Berkelanjutan Sumberdaya
Alam Tambang
Aktivitas Pertambangan
[image:35.595.78.520.85.666.2]Aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh swasta menimbulkan berbagai
dampak negatif dan positif pada aspek sosio-ekonomi dan ekologi. Berbagai
dampak yang ditimbulkan mendorong dilakukannya paradigma pembangunan
berkelanjutan. Pembangunan tidak hanya mengejar pada peningkatan
perekonomian negara saja melainkan juga melihat pada aspek Analisis
Manajemen dan Dampak Lingkungan (AMDAL) sebelum dilakukannya aktivitas
pertambangan, maupun upaya reklamasi lahan pasca tambang. Aktivitas
pembangunan terus dilakukan namun tidak mengurangi kualitas hidup manusia
dan lingkungan di masa yang akan datang.
2.3 Kerangka Pemikiran
Keterangan:
= hubungan langsung (kuantitatif)
= hubungan tidak langsung (kualitatif)
[image:36.595.73.536.292.729.2]= awal hipotesis (kualitatif)
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Dampak aktivitas Pertambangan pada Aspek Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi Masyarakat Desa
Frekuensi Blasting
Sosial
Tingkat Konflik di Masyarakat
Ekonomi Ekologi
Tingkat Gangguan Terhadap Sumber Air
Tingkat Perubahan Udara
Tingkat Polusi Suara Tingkat Kesehatan Masyarakat
Tingkat Kesempatan Kerja Pertanian
Tingkat Kesempatan Kerja Non Pertanian Jumlah Pabrik
2.4 Hipotesis Penelitian
Dari kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah:
1. Terdapat hubungan perubahan pola kehidupan sosio-ekonomi masyarakat
lokal akibat aktivitas pertambangan. Jika semakin banyak jumlah pabrik
industri pertambangan, maka:
Semakin tinggi tingkat frekuensi blasting.
Semakin rendah tingkat kesempatan kerja sektor pertanian dan
semakin tinggi tingkat kesempatan kerja sektor non pertanian di
kawasan yang sama menyebabkan semakin tinggi tingkat
persaingan sehingga semakin tinggi tingkat konflik yang terjadi di
masyarakat.
2. Terdapat hubungan perubahan sosio-ekologi masyarakat lokal akibat
aktivitas pertambangan. Jika semakin tinggi tingkat frekuensi blasting, maka:
Semakin tinggi tingkat gangguan terhadap air, perubahan udara,
dan polusi suara sehingga mengakibatkan tingkat kesehatan
semakin buruk dan semakin tinggi konflik yang terjadi di
masyarakat.
2.5 Definisi Konseptual
1. Aktivitas pertambangan merupakan aktivitas pengerukan terhadap
sumberdaya mineral yang terdapat di dalam tanah.
2. Pabrik industri pertambangan adalah tempat pengolahan bahan tambang
setelah sebelumnya dilakukan aktivitas pengerukan tanah.
3. Blasting merupakan aktivitas peledakan dan pengeboran bawah tanah dengan menggunakan dinamit.
4. Dampak sosio-ekonomi merupakan dampak yang ditimbulkan oleh
adanya aktivitas pertambangan pada pola dan struktur ekonomi
5. Dampak sosio-ekologi merupakan dampak yang ditimbulkan oleh adanya
aktivitas pertambangan pada aspek lingkungan di sekitar wilayah
pertambangan.
6. Sumber air adalah tempat dimana air tersedia, yang digunakan untuk
kehidupan sehari-hari.
7. Perubahan udara merupakan peristiwa terjadinya perubahan kondisi
udara akibat debu sebagai buangan limbah di sekitar wilayah
penambangan.
8. Polusi suara adalah bunyi atau suara berupa kebisingan yang ditimbulkan
oleh adanya aktivitas blasting ataupun kendaraan truk pengangkut barang tambang.
9. Kesehatan adalah kondisi fisik atau tubuh seseorang yang memiliki
kondisi sehat dan terbebas dari penyakit.
10. Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
11. Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh seseorang sebagai
imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan.
12. Kesempatan kerja adalah peluang seseorang untuk memperoleh
pekerjaan.
13. Konflik merupakan hubungan pertentangan antara satu orang atau lebih
karena adanya perbedaan tujuan.
14. Bahan galian golongan C merupakan jenis bahan galian tambang yang
dipergunakan sebagai bahan bangunan industri seperti andesit, pasir, dsb.
2.6 Definisi Operasional
1. Jumlah pabrik industri pertambangan adalah banyaknya pabrik industri
pertambangan yang melakukan aktivitas pengerukan bahan tambang di
sekitar wilayah pertambangan.
Sedikit : jumlah pabrik industri pertambangan = 1 buah, skor 1
2. Frekuensi blasting adalah frekuensi pengeboran bawah tanah dengan menggunakan dinamit. Pengukuran dilakukan mulai dari skor terburuk
berdasarkan frekuensi paling rendah aktivitas blasting dalam waktu satu hari.
a. Rendah : aktivitas blasting = 1 kali, skor 1
b. Sedang : aktivitas blasting = 2 kali, skor 2
c. Tinggi : aktivitas blasting > 2 kali, skor 3
3. Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh
oleh responden. Tingkat pendidikan responden diukur dari tingkat
pendidikan yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
a. Sangat rendah : tidak sekolah, skor 1
b. Rendah : tamat SD/sedejarat, skor 2
c. Sedang : tamat SMP/sederajat, skor 3
d. Tinggi : tamat SMA/sederajat, skor 4
e. Sangat tinggi : tamat perguruan tinggi, skor 5
4. Struktur pendapatan adalah jumlah pemasukan yang diperoleh oleh
responden sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan dalam
kurun waktu satu tahun. Pengukuran didasarkan pada rata-rata pendapatan
rumahtangga dengan skor terendah pada pendapatan paling kecil.
a. Rendah : pendapatan < Rp 8.787.117, skor 1
b. Sedang : Rp 8.787.117 ≤ pendapatan < Rp 16.964.607, skor 2
c. Tinggi : pendapatan ≥ Rp 16.964.607, skor 3
5. Kepemilikan lahan pertanian adalah banyaknya lahan pertanian yang
dimiliki oleh rumahtangga responden. Pengukuran dilakukan pada dua
bagian yaitu:
(i) Kepemilikan lahan pertanian adalah banyaknya jumlah anggota dalam
keluarga responden yang memiliki lahan pertanian. Pengukuran
dilakukan mulai pada skor terendah dari kepemilikan lahan paling
rendah hingga paling tinggi.
b. Tinggi : memiliki lahan pertanian, skor 2
(iii) Luas lahan pertanian adalah jumlah luas lahan pertanian yang dimiliki
oleh setiap rumahtangga responden setelah adanya aktivitas
pertambangan. Pengukuran dilakukan mulai dengan skor terendah dari
luas lahan yang paling sempit.
a. Sangat rendah : lahan < 0,001 hektar, skor 1
b. Rendah : 0,001 hektar ≤ lahan < 0,01 hektar, skor 2
c. Sedang : 0,01 hektar ≤ lahan < 0,1 hektar, skor 3
d. Tinggi : 0,1 hektar ≤ lahan < 0,5 hektar,skor 4
e. Sangat tinggi : lahan ≥ 0,5 hektar,sko