• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Oleh Supplier Pada PT. Dirgantara Indonesia (Persero)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Oleh Supplier Pada PT. Dirgantara Indonesia (Persero)"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KULIAH KERJA PRAKTEK

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mata Kuliah Kerja Praktek Jenjang S-1

Program Studi Akuntansi

Oleh :

DERRY DESSYANY

21110131

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG

(2)

vi

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuliah Kerja Praktek ... 1

1.2 Maksud dan Tujuan Kuliah Kerja Praktek ... 4

1.2.1 Maksud Kuliah Kerja Praktek ... 4

1.2.2 Tujuan Kuliah Kerja Praktek ... 5

1.3 Kegunaan Kuliah Kerja Praktek ... 5

1.4 Metode Kuliah Kerja Praktek ... 6

1.5 Lokasi dan Waktu Kuliah Kerja Praktek ... 8

1.5.1 Lokasi Kuliah Kerja Praktek ... 8

1.5.2 Waktu Kuliah Kerja Praktek ... 8

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Sejarah Perusahaan ... 10

2.2 Struktur Organisasi Perusahaan ... 21

2.3 Uraian Pekerjaan ... 22

(3)

vii

BAB III PEMBAHASAN HASIL PELAKSANAAN KULIAH KERJA

PRAKTEK

3.1 Bidang Pelaksanaan Kuliah Kerja Praktek ... 26

3.1.1 Kodefikasi Faktur Pajak oleh Supplier pada PT Dirgantara Indonesia (Persero) ... 26

3.1.2 Nomor Seri Faktur Pajak oleh Supplier pada PT Dirgantara Indonesia (Persero) ... 31

3.2 Teknis Pelaksanaan Kuliah Kerja Praktek ... 32

3.2.1 Teknis Kodefikasi Faktur Pajak oleh Supplier pada PT Dirgantara Indonesia (Persero) ... 32

3.2.2 Teknis Nomor Seri Faktur Pajak oleh Supplier pada PT Dirgantara Indonesia (Persero) ... 39

3.3 Pembahasan Hasil Pelaksanaan Kuliah Kerja Praktek ... 57

3.3.1 Implementasi Kodefikasi Faktur Pajak oleh Supplier pada PT Dirgantara Indonesia (Persero) ... 57

3.3.2 Implementasi Nomor Seri Faktur Pajak oleh Supplier pada PT Dirgantara Indonesia (Persero) ... 63

(4)

71

Suhayati, Ely dan Anggadini, Sri D. 2009. Akuntansi Keuangan. Yogyakarta: Graha Ilmu

Sukirno, Sadono. 1994. Mikro Ekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Jurnal

Zuliyanto, Agustinus. 2012. Praktik Akuntansi Penjualan Pada PT. PERTAMINA

(Persero). Proposal Magang, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Program Studi Akuntansi. Salatiga: Universitas Kristem Satya Wacana

Peraturan

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Per - 24/PJ/2012 Tentang Bentuk,

Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam

Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan Atau Penggantian, Dan Tata

Cara Pembatalan Faktur Pajak

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 38/ PMK.011/ 2013

Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/ PMK.03/

(5)

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 85/ PMK.03/ 2012

Tentang Penunjukan Badan Usaha Milik Negara Untuk Memungut,

Menyetor, Dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak

Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Tata

Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporannya

Website

http://222.124.203.59/files/disk1/353/jbptunikompp-gdl-gatudesria-17643-3-bab2-gatu.pdf

http://aeronusantara.blogspot.com/2012/10/pt-dirgantara-indonesia-ptdi.html

(6)

91

Nama : Derry Dessyany

Tempat/ Tanggal Lahir : Bandung, 17 Desember 1991

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Komp. Pondok Bahagia No 26 Rt 04/ Rw 09

Cipageran. Cimahi.

Status : Mahasiswi

Mobile Phone : 08997142407 / 083820522937

E-mail : [email protected]

D A T A P E N D I D I K A N

Tahun Pendidikan Keterangan

1997 - 1998 Tk Asih Putera Lulus dan Berijazah

1998 - 2002 SDN Sosial 1 Cimahi Pindah Sekolah

2002 - 2004 SDN Budi Mulya 2 Lulus dan Berijazah

2004 - 2007 SMPN 5 Cimahi Lulus dan Berijazah

2007 - 2010 SMAN 3 Cimahi Lulus dan Berijazah

2010 - sekarang Universitas Komputer Indonesia

(7)

1

1.1 Latar Belakang Kuliah Kerja Praktek

Perkembangan ekonomi di era globalisasi seperti sekarang ini dimana

tingkat kompetisi semakin tinggi, mendorong setiap perusahaan untuk

mempersiapkan informasi yang tepat bagi setiap pihak yang berkepentingan

dengan perusahaan (Zuliyanto, 2012). Perusahaan adalah suatu organisasi yang

didirikan oleh seorang atau sekelompok orang yang kegiatannya adalah

melakukan produksi dan distribusi guna memenuhi kebutuhan ekonomis manusia

(Ely Suhayati, dkk, 2009). Tujuan dari suatu perusahaan didirikan adalah untuk

memperoleh laba (Ely Suhayati, dkk, 2009).

Perusahaan terbagi atas tiga jenis badan usaha, yaitu perusahaan jasa,

perusahaan dagang, dan perusahaan industri (Ely Suhayati, dkk, 2009). Tujuan

perusahaan adalah memaksimumkan keuntungan, maupun dalam prakteknya

pemaksimuman keuntungan bukanlah satu-satunya tujuan perusahaan (Sukirno,

2008). Ada perusahaan yang menekankan kepada volume penjualan dan ada pula

yang memasukkan pertimbangan politik dalam menentukan tingkat produksi yang

akan dicapai (Sukirno, 2008). Memang beberapa tujuan yang ditemui dalam

praktek tersebut memberikan suatu alasan untuk meragukan kesesuaian daripada

pemisalan keuntungan dalam menganalisi kegiatan perusahaan, tetapi di samping

itu perlu diingat bahwa pada sebagian besar perusahaan tujuan memaksimumkan

(8)

Pajak merupakan sumber penerimaan utama negara yang digunakan untuk

membiayai pengeluaran pemerintah dan pembangunan dan dalam rangka

mewujudkan tujuan utama suatu negara yaitu untuk mensejahterakan kehidupan

bangsa dan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dan

merata melalui pembangunan secara bertahap, terarah, terencana,

berkesinambungan dan berkelanjutan (Nurmantu, 2003). Semua tujuan tersebut

tidak akan dapat terselesaikan dengan memperhatikan semua pembiayaan

pembangunan tersebut (Nurmantu, 2003). Terdapat berbagai sumber penghasilan

suatu negara (Public Revenues), antara lain kekayaan alam, laba perusahaan

negara, royalti, retribusi, kontribusi, bea, cukai, denda dan pajak (Nurmantu, 2003).

Salah satu sumber pendapatan pemerintah yang cukup potensial adalah

melalui pajak (Nurmantu, 2003). Badan adalah sekumpulan orang dan/ atau modal

yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan

usaha yang meniputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan

Lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah

(BUMD) dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, dana pensiun,

persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik

atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak

investasi kolektif dan Bentuk Usaha Tetap (Undang-undang No. 17 Tahun 2000

Pasal 2 ayat 1). Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 yang terdapat pada pasal 1

angka 27 merumuskan pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah Bendaharawan

(9)

Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak terutang oleh

Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/

atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada Bendaharawan Pemerintah, Badan atau

Instansi Pemerintah tersebut (Wiston M, 2009).

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut berdasarkan

Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 merupakan pajak yang dikenakan terhadap

Pertambahan Nilai (Value Added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor

produksi setiap jalur (Rusdji, 2007). Pajak Pertambahan Nilai termasuk jenis

pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang)

yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak

(konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung

(Mardiasmo, 2008). Pajak Masukan merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang

seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang

Kena Pajak atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena

Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan/ atau pemanfaatan Jasa Kena

Pajak di luar Daerah Pabean dan/ atau impor Barang Kena Pajak (Undang-undang

Nomor 18 Tahun 2000 pasal 1 angka 24).

Pajak Keluaran merupakan Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib

dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena

Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak

(Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 pasal 1 angka 25). Kesalahan pada penomoran

(10)

transaksinya yang dilakukan, dimana pemungut Badan Usaha Milik Negara

dikatakan sebagai pemungut Bendaharawan Pemerintah (Firman Slamet, 2013).

Masih ditemui supplier yang belum paham atas penentuan kode pada faktur pajak

tersebut (Firman Slamet, 2013).

Dengan demikian penentuan kode dan nomor seri faktur pajak haruslah

sesuai dengan peraturan yang telah di buat oleh Direktur Jenderal Pajak yakni

pada Peraturan Diretur Jenderal Pajak Nomor PER-24/ PJ/ 2012 Tentang Bentuk,

Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka

Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan

Faktur Pajak.

Oleh karena itu dalam laporan kuliah kerja praktek ini penulis mengambil

judul “IMPLEMENTASI KODE DAN NOMOR SERI FAKTUR PAJAK

OLEH SUPPLIER PADA PT DIRGANTARA INDONESIA (PERSERO)”.

1.2 Maksud dan Tujuan Kuliah Kerja Praktek

1.2.1 Maksud Kuliah Kerja Praktek

Maksud kuliah kerja praktek ini adalah untuk mengetahui efektivitas

penggunaan kode dan nomor seri faktur pajak, sehingga diketahui hasil dari

perubahan peraturan Direktorat Jenderal Pajak mengenai tata cara penggunaan

kode dan nomor seri faktur pajak, apakah sudah dapat di pahami oleh pengusaha

(11)

1.2.2 Tujuan Kuliah Kerja Praktek

Tujuan kuliah kerja praktek di Departemen Pajak dan Asuransi pada PT

Dirgantara Indonesia (Persero) adalah untuk mengetahui :

1. Implementasi Kodefikasi Faktur Pajak oleh Supplier pada PT Dirgantara Indonesia (Persero).

2. Implementasi Nomor Seri Faktur Pajak oleh Supplier pada PT Dirgantara Indonesia (Persero).

1.3 Kegunaan Kuliah Kerja Praktek

Hasil kuliah kerja praktek ini merupakan sekumpulan informasi mengenai

efektivitas penggunaan kode dan nomor seri faktur pajak yang diharapkan dapat

berguna bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap permasalah diatas,

antara lain :

1. Bagi Penulis

Membuat penulis menjadi bisa membuat faktur pajak yang benar dengan

memperhatikan penggunaan kode dan nomor seri faktur pajak yang sesuai

dengan jenis transaksi yang dilakukan, penulis pun menjadi bisa

mengimplementasikan fungsi dari setiap jenis kode yang berbeda pada

faktur pajak.

2. Bagi Perusahaan

Dengan adanya kuliah kerja praktek yang dilakukan penulis membuat

pekerjaan pada departemen pajak dan asuransi menjadi terbantu. Dimana

(12)

pada masing-masing jenis ataupun mengurutkannya berdasarkan urutan

tanggal, dan bulan dokumen tersebut dibuat. Penulispun melakukan

verifikasi dokumen pajak pada sistem yang sudah terkomputerisasi di

perusahaan.

3. Bagi Universitas Komputer Indonesia

Dapat digunakan sebagai tambahan referensi, informasi dan pengetahuan

mengenai penggunaan kode dan nomor seri faktur pajak yang dapat

berguna bagi Fakultas Ekonomi pada Program Studi Akuntansi khususnya

pada mata kuliah yang mempelajari mengenai faktur pajak tersebut,

diantaranya mata kuliah perpajakan dan sistem informasi akuntansi. Serta

untuk Fakultas Teknik dimana dapat digunakan sebagai referensi dalam

pembuatan program aplikasi baru yang dapat digunakan oleh Pengusaha

Kena Pajak yang perlu membuat faktur pajak secara lebih mudah.

1.4 Metode Kuliah Kerja Praktek

Dalam menyusun dan menyelesaikan laporan kuliah kerja praktek ini

penulis melakukan pengamatan secara langsung dan mempelajari laporan-laporan

yang memiliki kaitan dengan masalah yang akan penulis bahas dengan terjun

langsung dalam pembuatan laporan yang akan diteliti serta mengumpulkan data

dan informasi sebagai materi pendukung yang penulis butuhkan dari perusahaan.

Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah

Penelitian Lapangan (Field Research), yang dilakukan dengan peninjauan

(13)

Data primer didapatkan melalui teknik-teknik sebagai berikut:

1. Studi Lapangan (Field Research) yaitu dengan mencari dan

memperoleh data dari Departemen Pajak dan Asuransi PT Dirgantara

Indonesia (Persero) dimana penulis melaksanakan kuliah kerja praktek

dengan cara :

a) Pengamatan, yaitu dengan mengamati secara langsung dan

mempelajari kegiatan-kegiatan mengenai masalah yang akan

penulis bahas, pengamatan dilakukan di Departemen Pajak dan

Asuransi pada bagian verifikasi pajak.

b) Wawancara, yaitu dengan mengadakan tanya jawab dengan

pihak-pihak yang mempunyai kaitan dengan objek laporan kuliah kerja

praktek, wawancara penulis lakukan dengan narasumbernya adalah

supervisior seksi verifikasi pajak dan karyawan pada seksi perencanaan dan pelaporan pajak.

c) Dokumentasi, yaitu pengumpulan data berupa dokumen-dokumen

yang diperlukan untuk mendukung pembuatan laporan kuliah kerja

praktek yang penulis susun, dokumen-dokumen tersebut

diantaranya adalah Faktur Pajak dengan kode 010, Faktur Pajak

dengan kode 020, Faktur Pajak dengan kode 030, Faktur Pajak

dengan kode 040, Faktur Pajak dengan kode 070, Faktur Pajak

dengan kode 080, BC 4.0, dan Surat Setoran Pajak.

2. Studi Kepustakaan (Library Research) yaitu untuk memperoleh data

(14)

kuliah kerja praktek, juga dengan pencarian data yang dilakukan secara

online melalui situs-situs yang berhubungan dengan laporan kuliah kerja praktek.

1.5 Lokasi dan Waktu Kuliah Kerja Praktek

1.5.1 Lokasi Kuliah Kerja Praktek

Lokasi Kuliah Kerja Praktek ini bertempat di PT Dirgantara Indonesia

(Persero) yang terletak di Jl. Pajajaran 154 Bandung 40174, Indonesia PO BOX

1714 BD, Phone (022) 6040606, 6031717, Fax (022) 6033912. Penulis

ditempatkan pada Departemen Pajak dan Asuransi.

1.5.2 Waktu Kuliah Kerja Praktek

Kuliah kerja praktek yang penulis laksanakan selama satu periode penuh

dimulai pada tanggal 20 Agustus 2013 sampai dengan 20 September 2013. Hari

kerja perusahan yang berlaku untuk karyawan maupun yang melaksanakan kuliah

kerja praktek adalah Senin sampai dengan Jumat, dengan jam kerja di mulai pukul

08.00 – 16.00 WIB.

(15)

Tabel 1.1

1. Meminta Surat Pengantar KKP

3. Sidang laporan KKP dengan dosen pembimbing

(16)

10

2.1 Sejarah Perusahaan

Pesawat merupakan sarana transportasi yang memiliki arti penting bagi

pembangunan ekonomi dan pertahanan, mengingat bahwa Indonesia adalah

sebuah negara kepulauan dengan kondisi geografis yang sulit untuk diakses tanpa

sarana transportasi yang memadai. Dari kondisi tersebut muncul pemikiran bahwa

sebagai sebuah negara kepulauan Indonesia berada dalam posisi untuk memiliki

industri maritim dan penerbangan. Hal ini yang mendorong lahirnya industri

pesawat terbang di Indonesia.

A. Industri Penerbangan Indonesia Sebelum Masa Kemerdekaan

Pada masa kolonial Belanda, penguasa waktu itu tidak memiliki program

perancangan pesawat terbang. Mereka hanya melakukan serangkaian kegiatan

yang berkaitan dengan pembuatan lisensi serta evaluasi teknis dan keselamatan

untuk semua pesawat terbang yang beroperasi di wilayah Indonesia.

Pada tahun 1914, di Surabaya didirikan lembaga penguji penerbangan

yang bertugas dalam pengkajian kinerja pesawat untuk pengoperasian di daerah

tropis. Lalu pada tahun 1930 dibentuk seksi produksi pesawat terbang yang

menghasilkan pesawat Canadian Avro-AL, sebuah pesawat yang bodinya terbuat

dari kayu lokal. Untuk selanjutnya fasilitas produksi seksi ini dipindahkan ke

(17)

tersebut penerbangan cukup banyak diminati dengan adanya beberapa pesawat

yang dibuat oleh perorangan.

Pada tahun 1937, atas permintaan seorang pengusaha lokal, beberapa

pemuda Indonesia yang dipimpin oleh Tossin membuat pesawat terbang di sebuah

bengkel yang terletak di Jl. Pasirkaliki, Bandung. Mereka menamai pesawat

buatanya dengan nama PK. KKH. Pesawat ini pernah mengejutkan dunia

penerbangan karena telah menunjukkan kemampuannya untuk terbang ke Belanda

dan daratan Chine Vice Versa. Sebelumnya, sekitar tahun 1922, Indonesia bahkan

telah terlibat dalam modifikasi pesawat di sebuah rumah pribadi di Jl.

Cikapundung, Bandung.

Pada tahun 1938, atas permintaan LW. Walraven dan MV. Patist, pesawat

PK. KKH didesain ulang menjadi pesawat yang lebih kecil dan diproduksi di

sebuah bengkel yang berlokasi di Jl. Kebon Kawung, Bandung.

B. Setelah Kemerdekaan Indonesia

Setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945,

kesempatan bagi Indonesia untuk mewujudkan impian memproduksi pesawat

buatan sendiri segera terbuka luas. Sejak saat itu orang Indonesia mulai sangat

menyadari bahwa sebagai sebuah negara kepulauan Indonesia selalu akan

membutuhkan sarana transportasi udara untuk kelancaran roda pembangunan,

pemerintahan, ekonomi dan pertahanan nasional.

Pada tahun 1946, Biro Perencanaan & Konstruksi didirikan oleh

TRI-Udara Angkatan TRI-Udara Indonesia (sekarang TNI-AU). Lalu dengan disponsori

(18)

lokakarya khusus didirikan di Magetan, dekat Madiun, Jawa Timur. Dari bahan

sederhana berupa sejumlah Zogling, mereka membuat pesawat ringan NWG-1 (pesawat layang). Pembuatan pesawat ini juga melibatkan Tossin yang dibantu

oleh Ahmad dan kawan-kawan. Enam unit pesawat jenis itu telah dibuat dan

digunakan untuk mengembangkan kepentingan penerbangan Indonesia dan pada

saat yang sama memperkenalkan dunia penerbangan untuk calon pilot yang

dipersiapkan untuk mengikuti pelatihan penerbangan di India.

Kemudian pada 1948 mereka berhasil membuat mesin pesawat pertama,

yang merupakan modifikasi dari mesin Harley Davidson, WEL-X. Mesin ini

dirancang oleh Wiweko Supono dan pesawat buatan mereka selanjutnya dikenal

dengan nama RI-X. Pada era ini ditandai dengan munculnya sejumlah klub

Aeromodelling. Tapi mereka terpaksa menghentikan kegiatan ini dikarenakan timbulnya pemberontakan komunis di Madiun dan agresi Belanda.

Pada periode ini kegiatan penerbangan di Indonesia lebih ditekankan

sebagai bagian dari revolusi fisik untuk pertahanan negara. Pada masa ini juga

lahir pesawat-pesawat yang dimodifikasi untuk misi tempur. Agustinus

Adisutjipto adalah tokoh yang sangat berperan dalam periode ini. Beliau telah

merancang dan menguji sendiri pesawat terbang hasil rancangannya pada medan

pertempuran udara yang sesungguhnya. Beliau memodifikasi pesawat Cureng ke

dalam versi serangan darat.

Setelah masa Agresi Belanda berakhir, kegiatan yang disebutkan di atas

kemudian dilanjutkan kembali di lapangan udara Andir (Bandar Udara Husein

(19)

menjadi Seksi Percobaan yang memiliki 15 orang anggota. Seksi Percobaan

berada di bawah pengawasan Komando Depot Perawatan Teknik Udara, dipimpin

oleh Mayor Udara Nurtanio Pringgoadisurjo.

Berdasarkan desain Nurtanio, pada tanggal 1 Agustus 1954 seksi ini

berhasil menerbangan prototipe pesawat 'Si Kumbang'. Sebuah pesawat terbang yang keseluruhan konstruksinya sudah dibuat dari bahan logam dengan kapasitas

satu orang. Pesawat ini diproduksi sebanyak tiga unit.

Pada 24 April 1957, berdasarkan keputusan Kepala Staf Angkatan Udara

Indonesia Nomor 68, Seksi Percobaan itu ditambahkan ke dalam sebuah

organisasi yang lebih besar yang disebut Sub Depot Penyelidikan, Percobaan &

Pembuatan.

Pada tahun 1958, prototipe pesawat latih "Belalang 89" berhasil diterbangkan. Pesawat ini diproduksi sebanyak 5 unit dan dimanfaatkan melatih

calon pilot pada Akademi Angkatan Udara dan Pusat Penerbangan Angkatan

Darat. Pada tahun yang sama, pesawat olah raga "Kunang 25" diterbangkan.

Tujuan dari pembuatan pesawat ini adalah untuk memotivasi generasi muda di

Indonesia agar tertarik dalam bidang pembuatan pesawat.

Untuk meningkatkan pengetahuan dalam bidang industri penerbangan,

selama periode 1960 hingga 1964, Nurtanio dan tiga orang Indonesia lainnya

dikirim ke Far Eastern Air Transport Incorporated (FEATI) Filipina, salah satu universitas penerbangan pertama di Asia. Setelah menyelesaikan studinya, mereka

kembali ke Bandung dan bekerja untuk LAPIP (Lembaga Persiapan Industri

(20)

C. Upaya Membangun Industri Pesawat Terbang

Sejalan dengan prestasi yang telah diperoleh dan dalam rangka

mengembangkan hasil yang sudah dibuat, berdasarkan Keputusan Kepala Staf

Angkatan Udara Indonesia No 488 bulan Agustus 1960, didirikanlah Lembaga

Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP). Lembaga ini diresmikan pada tanggal

16 Desember 1961 dan bertugas untuk mempersiapkan pendirian industri

penerbangan dengan kemampuan untuk mendukung kegiatan penerbangan

nasional di Indonesia.

Berkaitan dengan hal tersebut, pada tahun 1961 LAPIP menandatangani

perjanjian kerjasama dengan CEKOP, industri pesawat terbang Polandia, untuk

membangun industri pesawat terbang di Indonesia. Selanjutnya LAPIP berhasil

memproduksi pesawat di bawah lisensi yang bernama PZL-104 Wilga yang

kemudian dikenal sebagai Gelatik. Pesawat Gelatik diproduksi hingga 44 unit ini

digunakan untuk mendukung kegiatan pertanian, transportasi ringan dan aero-club.

Melalui Keputusan Presiden, KOPELAPIP (Komando Pelaksana Industri

Pesawat Terbang) atau Eksekutif Komando Persiapan Industri Penerbangan dan

PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari didirikan pada tahun 1965. Tapi sayang

sekali, pada bulan Maret 1966 Nurtanio meninggal dunia saat pengujian pesawat

terbang. Untuk menghargai kontribusinya yang berharga terhadap pengembangan

penerbangan di tanah air, KOPELAPIP dan PN. Industri Pesawat Terbang

Berdikari kemudian digabungkan menjadi LIPNUR (Lembaga Industri

(21)

menghasilkan pesawat latih dasar yang disebut LT-200. Dan lembaga ini

difungsikan untuk purna jual-jasa, pemeliharaan, serta perbaikan & overhaul pesawat terbang.

Pada tahun 1962, berdasarkan Keputusan Presiden, didirikanlah Teknik

Penerbangan ITB yang merupakan bagian dari Departemen Mesin. Oetarjo Diran

dan Liem Keng Kie adalah perintis dari bagian penerbangan ini. Kedua tokoh ini

termasuk dalam Overseas Student Scholarship Program. Pada awal 1958, melalui

program ini, sejumlah mahasiswa Indonesia dikirim ke luar negeri (Eropa dan

Amerika Serikat). Sementara itu beberapa usaha lain dalam merintis pendirian

industri pesawat terbang juga telah dilakukan oleh seorang pemuda Indonesia, BJ

Habibie, dari tahun 1964 hingga 1970-an.

D. Industri Penerbangan Indonesia

Lima faktor utama yang memimpin ke arah pendirian IPTN adalah:

1. Ada beberapa orang Indonesia yang telah lama bermimpi untuk

membangun pesawat terbang dan mendirikan sebuah industri pesawat

terbang di Indonesia.

2. Beberapa orang Indonesia yang memiliki penguasaan ilmu pengetahuan

dan teknologi untuk membangun pesawat dan industri pesawat terbang.

3. Beberapa orang Indonesia yang di samping menguasai ilmu pengetahuan

dan teknologi yang dibutuhkan mereka juga berdedikasi tinggi untuk

memanfaatkan keahlian mereka untuk pendirian industri pesawat terbang.

4. Beberapa orang Indonesia yang ahli di bidang pemasaran dan penjualan

(22)

5. Kemauan politik dari Pemerintah.

Integrasi menyelaraskan faktor tersebut di atas telah melahirkan industri

pesawat terbang IPTN dengan fasilitas yang memadai. Itu semua diawali oleh

seorang Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie) yang lahir di Pare-pare,

Sulawesi Selatan, pada tanggal 25 Juni 1936. Beliau lulusan Aachen Technical

High Learning, Aircraft Construction Department, dan kemudian bekerja di MBB (Masserschmitt Bolkow Blohm), industri pesawat terbang di Jerman sejak tahun

1965.

Ketika BJ Habibie akan mendapatkan gelar doktornya pada tahun 1964,

beliau memiliki keinginan yang kuat untuk kembali ke tanah air dan berpartisipasi

dalam program pembangunan bidang industri penerbangan di Indonesia. Tapi

pengelola KOPELAPIP menyarankan agar beliau melanjutkan studinya sambil

menunggu kemungkinan membangun industri pesawat terbang. Selanjutnya pada

tahun 1966 saat Adam Malik menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia

dan berkunjung ke Jerman, beliau meminta Habibie untuk menyumbangkan

pikirannya pada realisasi industri penerbangan di Indonesia.

Menyadari bahwa upaya mendirikan sebuah industri pesawat terbang tidak

akan mungkin dilakukan olehnya sendiri, Habibie memutuskan untuk mulai

merintis untuk mempersiapkan tenaga terampil yang tinggi pada waktu yang

ditentukan bisa setiap saat digunakan oleh industri pesawat terbang masa depan di

Indonesia. Habibie segera membentuk tim sukarela. Dan pada awal 1970 tim ini

(23)

teknologi di bidang penerbangan di HFB / MBB, di mana Habibie bekerja, untuk

melaksanakan perencanaan awal mereka.

Pada periode yang sama, kegiatan serupa juga dipelopori oleh Pertamina

dalam kapasitasnya sebagai agen pembangunan Indonesia. Dengan kapasitasnya

Pertamina berhasil mendirikan Krakatau Steel Industri. Ibnu Sutowo

menyumbangkan pemikirannya bahwa proses transfer teknologi dari negara maju

harus dilakukan dengan konsep yang jelas dan berorientasi nasional.

Pada awal Desember 1973, Ibnu Sutowo bertemu dengan Habibie di

Dusseldorf, Jerman, di mana ia memberikan penjelasan kepada Habibie tentang

rencana pendirian industri pesawat terbang di Indonesia. Hasil dari pertemuan

tersebut adalah penunjukan Habibie sebagai Penasihat Utama Pertamina, dan ia

diminta untuk segera kembali ke Indonesia.

Pada awal Januari 1974, langkah yang menentukan pendirian industri

pesawat terbang telah diambil. Realisasi pertama adalah pembentukan divisi baru

yang khusus dalam teknologi canggih dan teknologi penerbangan. Dua bulan

setelah pertemuan Dusseldorf, pada 26 Januari 1974, Habibie dipanggil oleh

Presiden Soeharto. Pada pertemuan tersebut Habibie diangkat sebagai Penasehat

Presiden di bidang teknologi. Ini adalah hari pertama bagi Habibie untuk memulai

misi resminya.

Pertemuan-pertemuan ini mengakibatkan kelahiran ATTP (Advanced

Technology & Teknologi Penerbangan Pertamina) Divisi yang menjadi tonggak untuk pembentukan BPPT dan bagian dari IPTN. Pada bulan September 1974,

(24)

dan CASA Spanyol untuk produksi helikopter BO-105 dan pesawat sayap tetap

NC-212.

Ketika upaya pendirian telah menunjukkan bentuknya, ada masalah yang

dihadapi oleh Pertamina yang berpengaruh terhadap keberadaan ATTP, proyek

dan program industri pesawat terbang. Namun menyadari bahwa Divisi ATTP dan

proyeknya adalah sebuah kendaraan untuk mempersiapkan Indonesia untuk 'lepas

landas' pada Pelita VI, Pemerintah memutuskan untuk melanjutkan pendirian

industri pesawat terbang dengan segala konsekuensinya.

Berdasarkan hal ini, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.12 tanggal 5

April 1976, penyusunan industri pesawat terbang dibuat. Melalui peraturan ini

semua penyediaan aset, fasilitas dan potensi adalah akumulasi dari aset Divisi

ATTP milik Pertamina yang telah disiapkan untuk pendirian industri pesawat

terbang dengan aset LIPNUR, Angkatan Udara Indonesia, sebagai modal dasar

bagi industri pesawat terbang. Modal dasar ini diharapkan untuk mendukung

pertumbuhan industri pesawat terbang yang mampu menjawab semua tantangan.

Pada tanggal 26 April 1976, berdasarkan Akte Notaris No 15 di Jakarta,

PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio secara resmi didirikan dengan Dr BJ.

Habibie sebagai Direktur Utama. Ketika sarana fisik industri ini selesai, pada

Agustus 1976 Presiden Soeharto meresmikan industri pesawat terbang ini. Pada

tanggal 11 Oktober 1985, PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio berganti nama

menjadi PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN.

IPTN memiliki pandangan bahwa transfer teknologi harus dilaksanakan

(25)

perangkat otak dimana manusia adalah inti. Manusia yang memiliki kemampuan

dan kemauan keras dalam bidang ilmu pengetahuan, teori dan keahlian serta

mengimplementasikannya dalam kerja keras. Nurtanio telah menerapkan filosofi

transfer teknologi yang disebut "Begin at the End and End at the Beginning". Ini

adalah filosofi untuk menyerap teknologi maju secara progresif dan bertahap

dalam suatu proses integral dan didasarkan pada kebutuhan objektif Indonesia.

Melalui filosofi ini kemudian dikuasai secara menyeluruh, bukan hanya secara

material tetapi juga kemampuan dan keahlian. Filosofi ini juga beradaptasi dengan

setiap perkembangan dan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara lain.

Filosofi ini mengajarkan bahwa di dalam bangunan pesawat tidak selalu

dimulai dari komponen, tetapi langsung mempelajari akhir suatu proses (pesawat

yang sudah dibangun), kemudian kebalikannya melalui tahapan manufaktur

komponen. Tahapan alih teknologi dibagi menjadi :

1) Tahap pemanfaatan teknologi yang ada / Lisensi Program.

2) Tahap Integrasi Teknologi.

3) Tahap Pengembangan Teknologi.

4) Tahap Penelitian Dasar.

Sasaran dari fase pertama adalah penguasaan kemampuan manufaktur, dan

pada saat yang sama menentukan jenis pesawat yang memenuhi kebutuhan dalam

negeri, hasil penjualan digunakan untuk mendukung kemampuan bisnis

perusahaan. Ini dikenal sebagai metode produksi yang progresif. Tahap kedua

bertujuan untuk menguasai desain serta kemampuan manufaktur. Tahap ketiga

(26)

adalah bertujuan untuk menguasai ilmu-ilmu dasar dalam rangka mendukung

pengembangan produk baru yang lebih baik.

E. Paradigma Baru, Nama Baru.

Selama 24 tahun terakhir berdirinya, IPTN telah mampu dan berhasil

melakukan transfer teknologi penerbangan canggih dan terbaru, kebanyakan dari

belahan bumi Barat, untuk Indonesia. IPTN telah berpengalaman dalam desain,

pengembangan, dan manufaktur pesawat kecil untuk komuter regional menengah.

Dalam menghadapi sistem pasar global yang baru, Nurtanio merumuskan

kembali dirinya untuk 'Nurtanio 2000' yang menekankan pada penerapan baru,

berorientasi bisnis, strategi untuk memenuhi situasi saat ini dengan struktur baru.

Program restrukturisasi meliputi reorientasi bisnis, Perampingan dan menyusun sumber daya manusia dengan beban kerja yang tersedia, dan berdasarkan

kapitalisasi pasar yang lebih terfokus dan misi bisnis terkonsentrasi.

PT. Nurtanio kini menjual kemampuan di bidang teknik, dengan

menawarkan jasa desain untuk menguji aktivitas, manufaktur, pesawat terbang

dan komponen non-pesawat, dan layanan purna jual. Seiring dengan

perkembangan berikutnya, nama IPTN telah diubah menjadi PT. Dirgantara

Indonesia yang diresmikan pada tanggal 24 Agustus 2000 di Bandung oleh Alm.

KH. Abdurrahman Wahid yang pada waktu itu menjabat sebagai Presiden

(27)

2.2 Struktur Organisasi Perusahaan

Struktur organisasi merupakan bagian kerja untuk mencapai suatu tujuan

yang efektif. Struktur organisasi Departemen Pajak dan Asuransi pada PT

Dirgantara Indonesia (Persero) adalah sebagai berikut :

Struktur Organisasi Departemen Pajak dan Asuransi Pada PT Dirgantara Indonesia (Persero)

Sumber : Departemen Pajak dan Asuransi, 2013

Gambar 2.1

Struktur Organisasi Departemen Pajak dan Asuransi Pada PT Dirgantara Indonesia (Persero)

Manager Pajak dan Asuransi | PD 4000

Dadang Darniwa (860194)

SPV Verifikasi Pajak | PD 4100

Firman Slamet (860190)

SPV Asuransi | PD 4300

Elin Rosliana (820803)

SPV Perencanaan dan Pelaporan Pajak | PD 4200

Alan Suwarlan (870033)

Sendy Febrianti S (107030)

Reydina Nurdinah (107031)

(28)

Pada Struktur Organisasi Departemen Pajak dan Asuransi, Manager Pajak

dan Asuransi membawahai Supervisior Verifikasi Pajak, Supervisior Perencanaan

dan Pelaporan Pajak, serta Supervisior Asuransi. Pada Supervisior Verifikasi Pajak berdiri sendiri karena tidak adanya karyawan pada bidang yang sama di

departemen pajak dan asuransi. Sedangkan Supervisior Perencanaan dan Pelaporan Pajak membawahi dua orang karyawan yang melaksanaan tugas. Dan

pada Supervisior Asuransi hanya membawahi satu karyawan saja.

2.3 Uraian Pekerjaan

Adapun uraian tugas yang akan penulis bahas adalah mengenai uraian

tugas di departemen pajak dan asuransi pada PT Dirgantara Indonesia secara

umum yaitu tugas Manager Pajak dan Asuransi, tugas Seksi Verifikasi Pajak, tugas Seksi Perencanaan dan Pelaporan Pajak, dan tugas Seksi Asuransi, dimana

penulis di tempatkan.

1. Manager Pajak dan Asuransi

Manager Pajak dan Asuransi bertanggung jawab atas laporan yang di buat oleh seksi verifikasi pajak, seksi perencanaan dan pelaporan pajak dan

seksi asuransi. Serta menandatangani dokumen yang diperlukan.

2. Supervisior Seksi Verifikasi Pajak

Supervisior pada seksi verifikasi pajak bertanggung jawab langsung kepada manager pajak dan asuransi. Adapun tugas yang dijalankan secara

(29)

a. Verifikasi dokumen

b. Bukti potong

c. Monitoring kurs pajak

d. Faktur pajak keluaran

e. Collect pajak

f. Monitoring hutang pajak

g. PBB

h. Audit pajak

3. Supervisior Seksi Perencanaan dan Pelaporan Pajak

Supervisior pada seksi perencanaan dan pelaporan pajak bertanggung jawab langsung kepada manager pajak dan asuransi. Adapun tugas yang dijalankan secara garis besar meliputi :

a. Perencanaan pajak

b. SPT masa PPN dan PPh

c. SPT Tahunan

d. Rekonsiliasi

e. Kompensasi pajak

f. Kredit pajak

g. Audit pajak

(30)

4. Supervisior Seksi Asuransi

Supervisior pada seksi asuransi bertanggung jawab langsung kepada manager pajak dan asuransi. Adapun tugas yang dijalankan secara garis besar meliputi :

a. Perencanaan asuransi

b. Pertanggungan asuransi

c. Invoicing asuransi

d. Monitoring pertanggungan

e. Klaim f. Surety bond

g. Monitoring tagihan asuransi

2.4 Kegiatan Perusahaan

Adapun kegiatan yang dilakukan oleh Departemen Pajak dan Asuransi

adalah sebagai berikut :

A. Pada Bagian Pajak

1. Memverifikasi seluruh dokumen yang berkaitan dengan perpajakan.

2. Membuat Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.

3. Membuat Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21, dan

Pajak Penghasilan Pasal 23.

4. Membuat Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Badan.

5. Membuat Surat Setoran Pajak.

(31)

7. Melakukan Pelaporan Surat Pemberitahuann kepada Kantor Pelayanan

Pajak dimana PT Dirgantara Indonesia (Persero) terdaftar.

8. Melakukan koreksi jika diperlukan.

B. Pada Bagian Asuransi

1. Membuat Surat Asuransi untuk kecelakaan pesawat.

2. Membuat Surat Asuransi untuk kecelakaan perorangan.

3. Melaporkan Surat Asuransi tersebut kepada pihak-pihak yang

(32)

26

3.1 Bidang Pelaksanaan Kuliah Kerja Praktek

Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Praktek pada PT Dirgantara Indonesia

(Persero) pada Departemen Pajak dan Asuransi. Pada departemen tersebut penulis

melaksanakan tugas mengenai verifikasi dokumen pajak pada jenis Pajak

Pertambahan Nilai (PPN). Diantaranya adalah memverifikasi kebenaran dari

penggunaan kode dan nomor seri faktur pajak oleh supplier.

3.1.1 Kodefikasi Faktur Pajak oleh Supplier pada PT Dirgantara Indonesia

(Persero)

Dalam melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha Kena

Pajak harus menggunakan Faktur Pajak. Faktur Pajak tersebut digunakan sebagai

bukti pungutan Pajak Pertambahan Nilai.

Pajak Pertambahan Nilai dan Dasar Hukumnya

Pengertian Pajak Pertambahan Nilai menurut B. Ilyas dan Suhartono

(2007:115) adalah sebagai berikut :

“Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak yang dikenakan terhadap nilai

tambahan suatu barang atau jasa dari kegiatan ekonomi di suatu negara,

(33)

Sedangkan menurut Mardiasmo (2008:270) Pajak Pertambahan Nilai

adalah :

“Pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST)”.

Dalam perhitungan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh

Pengusaha Kena Pajak, dikenal dengan istilah Pajak Keluaran dan Pajak

Masukan. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut ketika

Pengusaha Kena Pajak melakukan transaksi penjualan, sedangkan Pajak Masukan

adalah Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar ketika Pengusaha Kena Pajak

melakukan transaksi pembelian.

Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai menurut Pandiangan (2003:86)

merupakan pajak tidak langsung di Indonesia yang dikelola Direktorat Jenderal

Pajak Departemen Keuangan, mulai berlaku sejak 1 April 1985. Dasar hukum

pengenaannya didasarkan kepada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983. Telah

dilakukan dua kali perubahan yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 dan

terakhir Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.

Serta Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-24/ PJ/ 2012

Tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur

Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau

Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak.

Terdapat pula Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 38/

PMK.001/ 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/

(34)

Dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 85/

PMK.03/ 2012 Tentang Penunjukan Badan Usaha Milik Negara Untuk

Memungut, Menyetor, Dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak

Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Tata Cara

Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporannya.

Sujek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai

Subjek Pajak Pertambahan Nilai Menurut Undang-undang Nomor 18

Tahun 2000 dan versi terakhir Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 3A

sebagai berikut :

Pasal 3A ayat (1) :

Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 4 ayat (1) huruf a,huruf c, huruf f, huruf g dan huruf h, kecuai pengusaha

kecil yang batasannya ditetapkan oleh menteri keuangan, wajib melaporkan

usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut,

menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah yang terutang.

Pasal 3 Ayat (1a) :

Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat memilih untuk

dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pasal 3 Ayat (2) :

Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena

Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pasa ayat (1).

(35)

Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak

berwujud dari luar usaha Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 4

ayat (1) huruf d dan/ atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah

Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib memungut,

menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang perhitungan

dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Serta dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 85/

PMK.03/ 2012 yang Menunjukan Badan Usaha Milik Negara untuk melakukan

pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.

Sedangkan Objek Pajak Pertambahan Nilai menurut Herlina, R (2008:24)

adalah :

“Objek atau sasaran dalam pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

adalah „Penyerahan‟, yang biasanya dikatakan penjualan, namun tidak

semua proses penjualan dikenakan pajak”.

Dalam rangka pembenahan sistem administrasi Pajak Pertambahan Nilai,

pada akhir tahun 2012, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) menerbitkan

peraturan baru tentang ketentuan dan format Faktur Pajak. Peraturan tersebut

adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-24/ PJ/ 2012 Tentang

Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam

Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara

Pembatalan Faktur Pajak (Tim Pajak ORTax, 2013).

PER-24/ PJ/ 2012 merupakan perubahan dari peraturan sebelumnya, yaitu

(36)

bersama, Faktur Pajak merupakan sarana bagi Pengusaha Kena Pajak dalam

menjalankan mekanisme pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai. Fungsi Faktur

Pajak dapat dirasakan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual sebagai bukti Pajak

Pertambahan Nilai telah dipungut dan untuk Pengusaha Kena Pajak Pembeli

sebagai bukti bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang telah dibayar (Tim

Pajak ORTax, 2013).

Secara sederhana, penerbitan Faktur Pajak harus memenuhi 2 syarat yang

berlaku umum yaitu sebagai berikut :

1) Syarat formal.

Terkait dengan Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas dan benar serta

ditanda-tangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk

menandatanganinya.

2) Syarat material.

Terkait dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai

penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor

Brang Kena Pajak, pemanfaatan Jasa Kena Pajak, pemanfaatan Barang Kena

Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, impor

Barang Kena Pajak.

Ketentuan material dan formal dalam pembuatan Faktur Pajak ini

disebutkan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, pihak yang

menerbitkan atau menerima Faktur Pajak harus terus mengikuti ketentuan, dari

peraturan perundang-undangan yang baru, agar mekanisme kredit pajak dapat

(37)

PKP perlu pemahaman yang mendalam terhadap isi PER-24/PJ/2012. Hal tersebut

bertujuan agar dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan Pajak

Pertambahan Nilai dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Tim

Pajak ORTax, 2013).

3.1.2 Nomor Seri Faktur Pajak oleh Supplier pada PT Dirgantara

Indonesia (Persero)

Diterbitkannya PER-24/PJ/2012 membawa perubahan besar pada

ketentuan penerbitan Faktur Pajak. Perubahan yang paling signifikan terkait

dengan Nomor Seri Faktur Pajak. Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini Kantor

Pelayanan Pajak (KPP) akan memberikan Nomor Seri Faktur Pajak. Untuk

mendapatkan Nomor Seri Faktur Pajak, setiap Pengusaha Kena Pajak (PKP) harus

melakukan serangkaian tahap administrasi. Pertama, PKP harus mengajukan

permohonan kode aktivasi & password. Kemudian pada tahap kedua, PKP harus mengajukan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak. Setelah kedua tahap tersebut

dilakukan oleh PKP dan permohonan atas keduanya dikabulkan, maka PKP dapat

menerbitkan Faktur Pajak (Tim Pajak ORTax, 2013).

Penjelasan tentang permohonan kode aktivasi & password serta permintaan Nomor Seri Faktur Pajak, lebih rinci disebutkan pada PER-24/PJ/2012

dan SE-52/PJ/2012 tentang Tata Cara Permohonan Kode Aktivasi dan Password serta Permintaan, Pengembalian dan Pengawasan Nomor Seri Faktur Pajak (Tim

(38)

3.2 Teknis Pelaksanaan Kuliah Kerja Praktek

Teknis Pelaksanaan Kuliah Kerja Praktek yang penulis laksanakan di

Departemen Pajak dan Asuransi pada PT Dirgantara Indonesia adalah mengenai

Kodefikasi Faktur Pajak dan Nomor Seri Faktur Pajak, seperti berikut :

3.2.1 Teknis Kodefikasi Faktur Pajak oleh Supplier pada PT Dirgantara

Indonesia (Persero)

Pembuatan Faktur Pajak dilakukan jika Pengusaha Kena Pajak melakukan

penjualan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak, pada hal ini Supplier yang menjual barang maupun jasa kepada PT Dirgantara Indonesia adalah yang

membuat faktur pajak yang sifatnya sebagai faktur pajak masukan untuk PT

Dirgantara Indonesia.

Pada normalnya Pengusaha Kena Pajak adalah yang melakukan

pemungutan atas Pajak Pertambahan Nilai yang terdapat dalam sebuah transaksi,

namun karena PT Dirgantara Indonesia adalah Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) dimana berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/ PMK.03/

2012 Menteri Keuangan Menunjuk Badan Usaha Milik Negara untuk melakukan

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai pada setiap transaksi yang dilakukan

dengan Pengusaha Kena Pajak lainnya. Maka pada transaksi pembelian PT

Dirgantara Indonesia akan melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.

Tata Cara Penggunaan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak

Ketentuan Nomor Seri Faktur Pajak dalam PER-24/ PJ/ 2012 berbeda

(39)

sebelum 31 Maret 2013 terdiri dari 16 digit yaitu 2 digit Kode Transaksi, 1 digit

Kode Status, 3 digit Kode Cabang, 2 digit Tahun Penerbitan, dan 8 digit Nomor

Urut. Berikut ini merupaka gambar pembagian 16 digit Nomor Seri Faktur Pajak

berdasarkan PER-13/ PJ/ 2010 (Tim Pajak ORTax, 2013) :

Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak berdasarkan PER-13/ PJ/ 2010

Sumber : Tim Pajak ORTax, 2013

Gambar 3.1

Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak berdasarkan PER-13/ PJ/ 2010

Berdasarkan PER-24/ PJ/ 2012 kode faktur pajak terdiri dari 16 digit : 2

digit Kode Transaksi, 1 digit Kode Status, dan 13 digit Nomor Seri Faktur Pajak

yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Berikut merupakan gambar dari

pembagian ke 16 digit Nomor Seri Faktur Pajak bersadarkan PER-24/ PJ/ 2012

(40)

Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak berdasarkan PER-24/ PJ/ 2012

Sumber : Tim Pajak ORTax, 2013

Gambar 3.2

Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak berdasarkan PER-24/ PJ/ 2012

Ketentuan PER-24/PJ/2012 menyebutkan, bahwa Kantor Pelayanan Pajak

tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan akan memberikan nomor seri Faktur

Pajak sesuai dengan permintaan Pengusaha Kena Pajak. Pemberian Faktur Pajak

ditentukan mulai dari Nomor Seri 900- 13.00000001 untuk Faktur Pajak yang

diterbitkan tanggal 1 April 2013. Untuk tahun 2014 akan dimulai dari nomor seri

Faktur Pajak 000- 14.00000001 demikian seterusnya (Tim Pajak ORTax, 2013).

Adapun Tata Cara Penggunaan Kode Transaksi pada Faktur Pajak menurut

PER-24/ PJ/ 2012 Lampiran III adalah sebagai berikut :

Kode Transaksi diisi dengan ketentuan sebagai berikut :

a) 01 – digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang terutang PPN

dan PPNnya dipungut oleh PKP Penjual yang melakukan penyerahan BKP

dan/atau JKP.

Kode ini digunakan dalam hal bukan merupakan jenis penyerahan

(41)

b) 02 – digunakan unuk penyerahan BKP dan /atau JKP kepada pemungut

PPN Bendaharawan Pemerintah yang PPNnya dipungut oleh Pemungut

PPN Bendaharawan Pemerintah.

c) 03 – digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pemungut

PPN Lainnya (selain Bendaharawan Pemerintah) yang PPNnya dipungut

oleh Pemungut PPN Lainnya (selain Bendaharawan Pemerintah).

Pemungut PPN Lainnya selain Bendaharawan Pemerintah, dalam hal ini

Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas, Kontraktor

atau Pemegang Kuasa/ Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas

Bumi, Badan Usaha Milik Negara atau Wajib Pajak lainnya yang ditunjuk

sebagai Pemungut PPN, termasuk perusahaan yang tunduk terhadap

Kontrak Karya Pertambangan yang di dalam kontrak tersebut secara

ditunjuk sebagai Pemungutan PPN.

d) 04 – digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang menggunakan

DPP Nilai Lain yang PPNnya dipungut oleh PKP Penjual yang melakukan

penyerahan BKP dan/atau JKP.

e) 05- kode ini tidak digunakan.

f) 06 – digunakan untuk penyerahan lainnya yang PPNnya dipungut oleh

PKP Penjual yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP, dan

penyerahan kepda orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16E Undang-undang Pajak

(42)

Kode ini digunakan atas penyerahan BKP dan/atau JKP selain jenis

penyerahan pada kode 01 sampai dengan kode 04 dan penyerahan BKP

kepda orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing), antara lain :

1) Penyerahan yang menggunakan tariff selain 10%.

2) Penyerahan hasil tembakau yang dibuat di dalam negeri oleh Pengusaha

Pabrik hasil tembakau atau hasil tembakau yang dibuat di luar negeri

oleh importer hasil tembakau dengan mengacu pada ketentuan yang

diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 62/ KMK.03/ 2002

tentang Dasar. Perhitungan, Pemungutan dan Penyetoran Pajak

Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau.

3) Penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri

(turis asing) oleh PKP Toko Retail yang ditunjuk, terkait dengan

penerbitan Faktur Pajak Khusus.

g) 07 – digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat

fasilitas PPN Tidak Dipungut atau Ditanggung Pemerintah (DPT).

Kode ini digunakan atas penyerahan yang mendapat fasilitas PPN Tidak

Dipungut atau Ditanggung Pemeintah (DPT), berdasarkan peraturan

khusus yang berlaku, antara lain :

1) Ketentuan yang mengatur mengenai Bea Masuk, Bea Masuk

Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek

(43)

2) Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Perpajakan bagi

Pengusaha Kena Pajak Berstatus Entrepot Produksi Tujuan Ekspor

(EPTE) dan Perusahaan Pengolahan Di Kawasan Berikat (KB).

3) Ketentuan yang mengatur mengenai Tempat Penimbunan Berikat.

4) Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Perpajakan di Kawasan

Pengembangan Ekonomi Terpadu.

5) Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai

atas Penyerahan Avtur Untuk Keperluan Penerbangan Internasional.

6) Ketentuan yang mengatur mengenai Toko Bebas Bea.

7) Ketentuan yang mengatur mengenai Pajak Pertambahan Nilai

Ditanggung Pemerintah Atas Penyerahan Bahan Bakar Nabati di Dalam

Negeri.

8) Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Kepabeanan,

Perpajakan, dan Cukai Serta Pengawasan Atas dan Pengeluaran Barang

Ke dan Dari Serta Berada di Kawasan yang telah ditunjuk sebagai

Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

9) Ketentuan yang mengatur mengenai Tata Cara Pengawasan,

Pengadministrasian, Pembayaran, serta Pelunasan Pajak Pertambahan

Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pengeluaran

dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak dari

Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dan Pemasukan

dan/ atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak

(44)

10) Ketentuan yang mengatur mengenai Tata Cara Pemasukan dan

Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang telah ditunjuk sebagai

Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

h) 08 – digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat

fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN.

Kode ini digunakan atas penyerahan yang mendapat fasilitas dibebaskan

dari pengenaan PPN, berdasarkan peraturan khusus yang berlaku antara

lain :

1) Ketentuan yang mengatur mengenai Impor dan/atau Penyerahan Barang

Kena Pajak tertentu dan/ atau Penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu yang

dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

2) Ketentuan yang mengatur mengenai Impor dan/ atau Penyerahan

Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari

Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

3) Ketentuan yang mengatur mengenai pemberian pembebasan Pajak

Pertambahan Nilai dan / atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah

kepada Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional serta

pejabatnya.

i) 09 digunakan untuk penyerahan Aktiva Pasal 16D yang PPNnya

(45)

3.2.2 Teknis Nomor Seri Faktur Pajak oleh Supplier pada PT Dirgantara

Indonesia (Persero)

Dalam PER-24/ PJ/ 2012 dan SE-52/ PJ/ 2012 tentang Tata Cara

Permohonan Kode Aktivasi dan Password serta Permintaan, Pengembalian dan Pengawasan Nomor Seri Faktur Pajak. Berikut ini adalah hal-hal yang harus

dilakukan PKP pada saat menyampaikan Surat Permohonan Kode Aktivasi dan

Password (Tim Pajak ORTax, 2013) :

1. Ketentuan Pengajuan Surat Permohonan Kode Aktivasi

a. PKP mengajukan Surat Permohonan Kode Aktivasi dan Password

Langkah awal yang harus dilakukan Pengusaha Kena Pajak adalah

mengajukan Surat Permohonan Kode Aktivasi dan Password ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Surat permohonan

tersebut harus diisi dengan lengkap dan disampaikan secara langsung ke Kantor

Pelayanan Pajak. Berikut ini merupakan bentuk dari Surat Permohonan Kode

(46)

Surat Permohonan Kode Aktivasi dan Password

Sumber : Tim Pajak ORTax, 2013

Gambar 3.3

Surat Permohonan Kode Aktivasi dan Password

Bandung, 17.12.2012 12/2013/000101

Madya Bandung

Derry Dessyany

Manager

PT Makmur Subur

01.900.367.4-041.000

Cimareme 79

[email protected]

(47)

b. Petugas Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) menerima Surat

Permohonan Kode Aktivasi dan Password

Setelah Surat Permohonan Kode Aktivasi dan Password diisi dengan lengkap dan benar oleh Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha Kena Pajak dapat

menyerahkan Surat tersebut ke Petugas Tempat Pelayanan Terpadu (TPT).

Petugas Tempat Pelayanan Terpadu akan menerima dan meneliti atas kelengkapan

surat permohonan yang diberikan oleh Pengusaha Kena Pajak (Tim Pajak ORTax,

2013).

Hasil penelitian Tempat Pelayanan Terpadu dapat berupa :

a) Surat Permohonan Kode Aktivasi dan Password belum diisi secara lengkap, maka Petugas Tempat Pelayanan Terpadu akan meminta

Pengusaha Kena Pajak untuk melengkapinya ; atau

b) Surat Permohonan Kode Aktivasi dan Password telah diisi secara lengkap,

maka Petugas Tempat Pelayanan Terpadu :

1) Mencetak Bukti Penerima Surat (BPS) dan Lembar Pengawasan Arus

Dokumen (LPAD);

2) Memberikan BPS kepada PKP; dan

3) Menggabungkan surat permohonan dengan LPAD, lalu meneruskan

dokumen tersebut ke Petugas khusus yang ditunjuk.

c. Proses pembuatan konsep Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi/Surat

Penolakan Permohonan Kode Aktivasi dan Password

Petugas Tempat Pelayanan Terpadu akan memberikan dokumen terkait

(48)

Pajak ke Petugas Khusus yang Ditunjuk. Lalu petugas akan menginput dokumen

serta mencetak dan memaraf konsep surat, yang berupa (Tim Pajak ORTax,

2013):

1. Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi, serta mengirimkan Password, apabila:

a) Pengusaha Kena Pajak telah dilakukan registrasi ulang dan kesimpulan

Laporan Hasil Verifikasi menyatakan status Pengusaha Kena Pajak tetap, atau

Pengusaha Kena Pajak dibuatkan Berita Acara Verifikasi dalam rangka

pembatalan Surat Pencabutan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; atau

b) Pengusaha Kena Pajak telah dilakukan verifikasi dalam rangka Pengukuhan

Pengusaha Kena Pajak dan kesimpulan Laporan Hasil Verifikasi menyatakan

menerima permohonan Wajib Pajak untuk dikukuhkan sebagai Pngusaha

Kena Pajak.

2. Surat Penolakan Permohonan Kode Aktivasi dan Password, apabila:

a) Pengusaha Kena Pajak belum diregistrasi ulang/diverifikasi ;

b) Pengusaha Kena Pajak telah dilakukan registrasi ulang dan kesimpulan

Laporan Hasil Verifikasi menyatakan diterbitkan Surat Pencabutan

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; atau

c) Pengusaha Kena Pajak telah dilakukan verifikasi dalam rangka Pengukuhan

Pengusaha Kena Pajak dan kesimpulan Laporan Hasil Verifikasi menyatakan

menolak permohonan Wajib Pajak untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha

(49)

Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi/ Surat Penolakan Pemberian Kode

Aktivasi diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak

permohonan diterima secara lengkap. Kemudian Surat Pemberitahuan Kode

Aktivasi/ Surat Penolakan Pemberitahuan Kode Aktivasi dan Password, akan dibuat dua rangkap yaitu lembar pertama untuk Pengusaha Kena Pajak dan lembar

ke dua untuk arsip Kantor Pelayanan Pajak (Tim Pajak ORTax, 2013).

Apabila Surat Permohonan Kode Aktivasi dan Password tidak dikabulkan,

maka Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan kembali ke Kantor Pelayanan

Pajak. Akan tetapi Pengusaha Kena Pajak harus terlebih dahulu memenuhi syarat

sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Bila penolakan surat

permohonan tersebut akibat alamat yang tidak benar, maka Pengusaha Kena Pajak

harus mengajukan permohonan perubahan alamat sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku (Tim Pajak ORTax, 2013).

Berikut ini merupakan contoh Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi dan

(50)

Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi dan Password

Sumber : Tim Pajak ORTax, 2013

Gambar 3.4

Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi dan Password

Bandung, 20.12.2012 12/2013/01.009

Derry Dessyany

01.900.367.4-041.000

Bandung

Derry Dessyany

01.900.367.4-041.000

(51)

Surat Pemberitahuan Penolakan Kode Aktivasi dan Password

Sumber : Tim Pajak ORTax, 2013

Gambar 3.5

Surat Pemberitahuan Penolakan Kode Aktivasi dan Password

Derry Dessyany

01.900.367.4-041.000

Bandung

Bandung, 20.12.2012 12/2013/01.009

(52)

d. Penandatanganan Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi/ Surat

Penolakan Pemberian Kode Aktivasi

Setelah Petugas Khusus yang Ditunjuk merekam data Pengusaha Kena

Pajak, mencetak, dan memparaf konsep Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi/

Surat Penolakan Pemberian Kode Aktivasi. Petugas Khusus yang Ditunjuk

menyerahkan konsep surat tersebut kepada Kepala Seksi Pelayanan. Hal ini

dilakukan untuk meminta tanda tangan kepada Kepala Seksi Pelayanan, agar surat

dapat dikirimkan ke Pengusaha Kena Pajak (Tim Pajak ORTax, 2013).

e. Proses pengiriman Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi/ Surat

Penolakan Pemberian Kode Aktivasi dan Password

Setelah petugas menerima Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi/ Surat

Penolakan Pemberian Kode Aktivasi yang telah ditandatangani oleh Kepala Seksi

Pelayanan, maka surat tersebut akan diteruskan ke Sub Bagian Umum, untuk

dikirimkan ke Pengusaha Kena Pajak dengan menggunakan jasa pos tercatat/ jasa

ekspedisi/ kurir. Petugas akan mengarsipkan berkas permohonan tersebut. Jika

Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi, maka

Kantor Pelayanan Pajak juga akan mengirim password ke alamat email Pengusaha

Kena Pajak, yang sebelumnya telah dicantumkan dalam surat permohonan itu

(Tim Pajak ORTax, 2013).

f. Bila Pengusaha Kena Pajak tidak menerima Surat Pemberitahuan

Kode Aktivasi/Surat Pemberitahuan Penolakan dan Password

Jika Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi/ Surat Pemberitahuan Penolakan

(53)

Pelayanan Pajak akan memberitahukan informasi tersebut melalui email. Petugas harus menginputkan kembali Nomor Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi/ Nomor

Surat Penolakan Pemberian Kode Aktivasi ke dalam sistem yang telah disediakan

(Tim Pajak ORTax, 2013).

g. Bila Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi Hilang Dan Ingin

Mengajukan Permohonan Update Email

Saat Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi yang diterima Pengusaha Kena

Pajak hilang. Pngusaha Kena Pajak dapat meminta kembali ke Kantor Pelayanan

Pajak dengan mengajukan Surat Permohonan Cetak Ulang Kode Aktivasi serta

melampirkan (Tim Pajak ORTax, 2013) :

a) Fotocopy surat keterangan kehilangan dari kepolisian

b) Bukti penerimaan surat dari Kantor Pelayanan Pajak atas Surat

Permohonan Kode Aktivasi dan Password.

Setelah Kantor Pelayanan Pajak menerima fotocopy surat keterangan hilang dan bukti penerimaan surat dari Pengusaha Kena Pajak, maka Kantor

Pelayanan Pajak akan menerbitkan surat pemberitahuan kode aktivasi atau surat

pemberitahuan penolakan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja (Tim

Pajak ORTax, 2013).

(54)

update email ke Pengusaha Kena Pajak dan mengirimkan Password ke email Pengusaha Kena Pajak (Tim Pajak ORTax, 2013).

h. Re-aktivasi atas Kode Aktivasi

Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan

Kode Aktivasi dicetak, Direktorat Jenderal Pajak (dalam hal ini Kantor Pelayanan

Pajak) dapat melakukan aktivasi kembali (re-aktivasi) atas Kode Aktivasi yang

telah dimiliki oleh Pngusaha Kena Pajak. Kantor Pelayanan Pajak akan mencetak

Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi baru dan mengirim password baru ke email Pengusaha Kena Pajak (Tim Pajak ORTax, 2013).

2. Ketentuan Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak

a. Pengusaha Kena Pajak Mengajukan Surat Permintaan Nomor Seri

Faktur Pajak

Pengusaha Kena Pajak (PKP) mengajukan Permintaan Nomor Seri Faktur

Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.

Surat Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak harus diisi secara lengkap dan

disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pngusaha Kena Pajak

dikukuhkan. Berikut ini merupakan format Surat Permintaan Nomor Seri Faktur

(55)

Surat Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak

Sumber : Tim Pajak ORTax, 2013

Gambar 3.6

Surat Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak

12/2013/00012

Bandung, 10.12.2013

Madya Bandung

Derry Dessyany

Manager

PT Makmur Subur

01.900.367.4-041.000

Cimareme 79

100 (Seratus)

September

Oktober

November

75 (Tujuh Puluh Lima)

100 (Seratus)

100 (Seratus)

(56)

b. Penelitian Surat Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak

Surat Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak diserahkan langsung kepada

Petugas Khusus yang Ditunjuk. Kondisi saat surat tersebut diterima oleh Petugas,

adalah (Tim Pajak ORTax, 2013) :

a) Bila surat permintaan tersebut belum diisi lengkap, Petugas akan meminta

kepada Pengusaha Kena Pajak untuk melengkapinya ;

b) Kemudian jika surat permintaan sudah diisi lengkap, Petugas masuk ke

sistem pemberian Nomor Seri Faktur Pajak Nasional dan menginput data

permintaan Pengusaha Kena Pajak ;

Petugas Khusus yang Ditunjuk tidak hanya memeriksa kelengkapan Surat

Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak. Petugas dalam memberikan nomor seri

Faktur Pajak akan memperhatikan 2 (dua) syarat sebagaimana telah disebutkan

dalam PER-24/PJ/2012, PKP harus memenuhi 2 syarat, yaitu (Tim Pajak ORTax,

2013) :

a) Telah memiliki kode aktivasi dan password; dan

b) Telah melaporkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai

untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir yang telah jatuh tempo secara

berturut-turut pada tanggal permintaan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak.

Apabila Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi syarat tersebut, maka

Kantor Pelayanan Pajak tidak akan memberikan Nomor Seri Faktur Pajak (Tim

Gambar

Tabel 1.1 Waktu Kuliah Kerja Praktek
Gambar 2.1 Struktur Organisasi Departemen Pajak dan Asuransi
Gambar 3.1 Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak berdasarkan PER-13/ PJ/ 2010
Gambar 3.2 Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak berdasarkan PER-24/ PJ/ 2012
+7

Referensi

Dokumen terkait