• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN BARANG IMPOR PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN BARANG IMPOR (Studi di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Dumai)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN BARANG IMPOR PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN BARANG IMPOR (Studi di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Dumai)"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

LAW ENFORCEMENT TOWARD SMUGGLING OF GOODS IMPORTED CRIME

(Study on Customs Supervision and Service Office Madya Type PabeanB of Dumai)

By

BENNY SYAHPUTRA GINTING

Criminal offense of smuggling is caused by several factors including geographical factors Indonesia as a island country and public mindset in consuming products are internationally minded. The problem of this research are: (1) What is the mechanism of law enforcement smuggling of imported goods? (2) What is the applicable law enforcement against the smuggling of imported goods? (3) How does the criminal liability for the occurrence of criminal smuggling of imported goods?

The approach used is a problem normative juridical and juridical empirical approach. Data collected by literature and field studies, further data is analyzed qualitatively.

Research results and discussion indicate: (1) law enforcement mechanism to import contraband goods with the delivery of results of the investigation carried out directly to the public prosecutor in accordance with the provisions of the Criminal Procedure Law. In addition, through the imposition of sanctions, in the form of administrative sanctions or criminal penalties in accordance with the Customs Law. (2) Enforcement of applicable laws against smuggling of imported goods held by Customs and Excise investigators in accordance with their authority as stipulated in the Regulation of the Director General of Customs and Excise No. P-53 / BC / 2010 or by means of extermination, auctions or donated to institutions or communities it takes. (3) criminal liability enforceable against criminals, both individuals and legal entities, both in violation, the crime of smuggling and other customs criminal acts in accordance with the Customs Law.

Suggestions in this study were: (1) Combating the crime of smuggling can be preventive and repressive as well as more severe criminal penalties. (2) It should be an attempt to review the Customs Act, in particular Article 102 in the explanation, which is adapted to the development of flexible. (3) Require the addition of infrastructure such as marine patrol boat fleet better or advanced and equipped with weapons that are more numerous and sophisticated.

(2)

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN BARANG IMPOR

(Studi di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Dumai)

Oleh

BENNY SYAHPUTRA GINTING

Tindak pidana penyelundupan disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya faktor geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dan mindset masyarakat dalam mengkonsumsi produk bersifat international minded. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah mekanisme penegakan hukum terhadap barang impor selundupan? (2) Bagaimanakah penegakan hukum yang diterapkan terhadap penyelundupan barang impor? (3) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana atas terjadinya pidana penyelundupan barang impor?

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Mekanisme penegakan hukum terhadap barang impor selundupan dilaksanakan dengan penyampaian hasil penyidikan langsung kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Pidana. Selain itu melalui penerapan sanksi, baik berupa sanksi administratif maupun sanksi pidana sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan. (2) Penegakan hukum yang diterapkan terhadap penyelundupan barang impor dilaksanakan oleh PPNS Bea dan Cukai sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P- 53 /BC/2010 yaitu dengan cara pemusnahan, pelelangan atau dihibahkan kepada institusi atau masyarakat yang membutuhkan. (3) Pertanggungjawaban pidana dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana baik perorangan maupun badan hukum, baik yang melakukan pelanggaran, tindak pidana penyelundupan maupun tindak pidana kepabeanan lainnya sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Penanggulangan tindak pidana penyelundupan dapat dilakukan secara preventif (pencegahan) dan refresif (penindakan) serta pidana denda yang lebih berat. (2) Perlu upaya meninjau kembali Undang-Undang Kepabeanan terutama pada Pasal 102 di dalam penjelasannya, yang disesuaikan dengan perkembangan yang fleksibel. (3) Perlu diadakan penambahan sarana prasarana berupa armada kapal patroli laut yang lebih baik/canggih serta dilengkapi dengan persenjataan yang lebih banyak dan mutakhir.

(3)
(4)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN BARANG IMPOR

(Studi di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Dumai)

(Tesis)

Oleh

BENNY SYAHPUTRA GINTING NPM 13 220 11 058

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Pemikiran ... 11

E. Metode Penelitian ... 16

F. Sistematika Penulisan ... 20

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 22

A. Penegakan Hukum ... 22

B. Tindak Pidana Penyelundupan Impor ... 36

C. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bea dan Cukai ... 42

D. Pertanggungjawaban Pidana ... 44

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Gambaran Umum Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Dumai ... 52

B. Mekanisme Penegakan Hukum Terhadap Barang Impor Selundupan ... 59

C. Penegakan Hukum Terhadap Penyelundupan Barang Impor ... 73

D. Pertanggungjawaban Pidana Penyelundupan Barang Impor ... 86

IV. PENUTUP ... 110

A. Simpulan ... 110

B. Saran ... 111

(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Tesis ini kepada:

Ayah dan Ibuku tercinta

JK. Ginting dan Ibu Mayam. br. Barus

yang telah melahirkanku, membesarkanku, membimbingku dan selalu mendoakan untuk kesehatan dan

keberhasilanku

Ayah dan Ibu mertuaku

J. Sembiring Kembaren dan Anna. br. Saragih yang selalu memberikan dukungan dan doanya

untuk keberhasilanku

Istriku tersayang Rifka Sembiring Kembaren

engkau wanita yang luarbiasa, aku selalu mencintaimu

Anakku

Ciho Miller Bermana Ginting dan Holy Khuren Aquilar Ginting

yang kusayangi yang menjadi motivasi dan pemberi semangat, kalian adalah anak-anakku yang paling berharga dan paling hebat

Abang dan kakak kandungku Edy Marwan Ginting, Friyansen Ginting, Murniati Ginting, dan Robert Imanuel Ginting

Kakak, abang, dan adik iparku

Resliana Simanjuntak, Betty Tarigan, Mberngab Barus, Nurhayati Sembiring, Rehulina Sembiring, Syahriani Sembiring,

Dedi Sembiring, dan Erwin Sembiring Serta seluruh keponakanku Yang selalu membanggakanku

(13)

MOTO

“Janganlah memutarbalikkan keadilan,

janganlah memandang bulu dan janganlah menerima suap, sebab suap membuat buta mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang yang benar”

(Ulangan 16:19)

“Lagi kata Absalom : Sekiranya aku diangkat menjadi Hakim

di negeri ini! Maka setiap orang yang mempunyai perkara atau pertikaian hukum

boleh datang kepadaku, dan aku akan menyelesaikan perkaranya dengan adil”

(2 Samuel 15: 4)

“Pohon yang berbuah manis tidak pernah berteriak mengatakan buahnya manis, tetapi manusia dan hewan pemakan buahlah yang mengatakan

“buah pohon itu manis”,

jangan memuji dirimu sendiri, biarkan orang lain yang menilainya, walaupun tanpa dipuji teruslah berbuat adil dan baik”

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 25 September 1973, merupakan putra kelima

dari lima bersaudara, pasangan Bapak JK. Ginting, dan Ibu M. Br. Barus

Pendidikan formal yang penulis tempuh adalah SD Negeri 105324 Desa Ujung

Serdang - Tanjung Morawa (Deli Serdang Sumetera Utara) diselesaikan pada tahun

1985, SLTP Negeri 2 Tanjung Morawa (Deli Serdang Sumetera Utara) diselesaikan

pada tahun 1988, SMA Negeri 1 Tanjung Morawa (Deli Serdang Sumetera Utara)

diselesaikan pada tahun 1992, dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada tahun 2003

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Beredarnya produk-produk luar negeri di pasaran domestik yang merupakan

produk yang terkena ketentuan larangan dan pembatasan, seperti pakaian bekas,

elektronik bekas, rokok produk luar negeri yang tidak dilekati pita cukai

Indonesia, minuman keras (minuman yang mengandung etil alkohol) dan

produk-produk lainnya. Hal tersebut membuktikan masih terdapat praktik pemasukan

barang impor secara ilegal atau tindak pidana penyelundupan yang tidak

memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bidang kepabeanan ke

dalam wilayah Republik Indonesia.

Tindak pidana penyelundupan disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya

faktor geografis, pasar produksi dan masyarakat. Secara geografis, Indonesia

terdiri dari beribu-ribu pulau, letak Indonesia dipersimpangan jalan dua benua

dengan garis pantai yang luas dengan negara-negara yang sudah maju di bidang

Industri, memberikan kesempatan atau peluang, bahkan merangsang para

pengusaha di luar negeri untuk melakukan perbuatan melawan hukum dengan

cara memasukkan barang-barang secara ilegal ke wilayah hukum Republik

(16)

Indonesia sebagai negara berkembang, berkeinginan mengandalkan sektor

industrinya sendiri, namun sektor industri tersebut masih jauh dari yang

diharapkan, sedangkan negara-negara di sekitar Indonesia yang sudah maju di

bidang industrinya seperti Jepang, Taiwan, dan lainnya kesulitan dalam

pemasaran hasil industri.

Indonesia dengan jumlah penduduk yang padat, membuat negara-negara di sekitar

Indonesia yang maju dalam bidang industri tersebut mendapat kesempatan atau

peluang untuk memasarkan hasil industrinya tersebut ke Indonesia dengan

melakukan berbagai cara pemasarannya termasuk dengan perbuatan melawan

hukum, seperti dengan cara mengekspor barang dari negaranya dengan

memberikan data yang tidak benar pada saat membuat dokumen untuk

barang-barang yang masuk ke Indonesia atau bahkan melalui penyelundupan murni.

Upaya penanggulangan masalah penyelundupan, dihadapkan pada kendala yaitu

masyarakat kurang memberikan partisipasinya, meskipun media massa cukup

memuat berita-berita tentang penyelundupan, tetapi masyarakat masih tetap pasif,

karena merasa beruntung dapat membeli barang-barang secara murah dengan

mutu yang tinggi. Masyarakat Indonesia yang masih international minded, artinya

lebih memilih produk-produk luar negeri, yang sesungguhnya tidak kalah bagus

mutunya dengan hasil produksi dari dalam negeri.

Faktor kecenderungan masyarakat yang lebih memilih produk luar negeri tersebut

menimbulkan kesempatan atau peluang yang merangsang atau kehendak dari para

importir di Indonesia maupun eksportir di luar negeri untuk melakukan perbuatan

(17)

Eksistensi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,

telah mengatur ketentuan tentang memasukkan barang kedalam daerah pabean

termasuk sanksi pidana yang melekat atas perbuatan pidana kepabeanan, akan

tetapi tidak dapat membuat surut para pelaku penyelundupan (memasukkan

barang ke daerah pabean secara ilegal).

Sanksi pidana kepabeanan dapat dikenakan terhadap barang impor yang dibawa

oleh sarana pengangkut, apabila pengangkutan barang tersebut tidak dilindungi

oleh dokumen manifes (daftar rincian muatan/barang), membongkar barang impor

di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean,

menyembunyikan barang impor secara melawan hukum (termasuk

menyembunyikan di dalam sarana pengangkut).

Pengaturan mengenai tindak pidana penyelundupan juga tertuang dalam Pasal 11

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan Kepabeanan,

Perpajakan, dan Cukai serta Pengawasan atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang

ke dan dari serta Berada di Kawasan yang Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan

Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yaitu sebagai berikut:

(1) Barang yang diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1) wajib dibongkar di Kawasan Pabean di pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2).

(2) Pembongkaran barang di luar Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan penyelundupan dan dikenai sanksi di bidang kepabeanan.

(18)

bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, wajib membayar bea masuk atas barang yang kurang dibongkar dan dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

(4) Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), tetapi jumlah barang yang dibongkar lebih banyak dari yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Tindak pidana kepabenan merupakan tindak pidana berupa pelanggaran terhadap

aturan hukum di bidang kepabeanan. Salah satu bentuk tindak pidana kepabeanan

yang paling terkenal adalah tindak pidana penyelundupan. Sumber hukum tindak

pidana kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang

Kepabeanan. Undang-Undang Kepabeanan mulai berlaku 1 April 1996, dimuat di

dalam Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.

(19)

Tindak pidana penyelundupan barang impor ini tentu saja sangat merugikan

pemerintah dari segi pendapatan negara maupun sangat meresahkan masyarakat

dari segi stabilitas ekonomi pada saat sekarang. Mengingat tindak pidana

penyelundupan tersebut adakalanya dapat diketahui oleh aparat, akan tetapi

pelakunya tidak tertangkap, maka kenyataan ini juga semakin menggelisahkan

masyarakat. Perbuatan penyelundupan ini menimbulkan pengaruh yang sangat

negatif terhadap beberapa segi dalam kelangsungan hidup bangsa dan negara, baik

secara langsung yang mengakibatkan kerugian dalam penerimaan negara dari bea

masuk serta pungutan-pungutan lain yang seharusnya diterima oleh pemerintah

melalui Dirjen Bea dan Cukai, maupun kerugian yang tidak langsung yaitu

mengakibatkan kemacetan atau hambatan produksi dalam negeri sehingga

merugikan pihak pemerintah yang memproduksinya.1

Uraian di atas menunjukkan bahwa fenomena kejahatan di wilayah kepabeanan

khususnya penyelundupan barang impor merupakan kejahatan yang harus

ditanggulangi dengan serius, khususnya oleh instansi terkait yang dalam hal ini

adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui kantor-kantor wilayah maupun

kantor-kantor pelayanannya yang tersebar di berbagai daerah di wilayah NKRI

dengan membentuk bagian atau unit-unit khusus untuk menangani kasus

kejahatan kepabeanan yang bertanggung jawab terhadap tugas-tugas penegakan

hukum berkaitan tindak pidana kepabeanan.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki tiga tugas yang harus diemban yang

tertuang dalam misinya, yaitu: we facilitate trade and industry, we guard

1

(20)

Indonesia’s borders and community from smuggling and ilegal trading, we

optimize reveneu collection in customs and excise. Sebagai facilitate trade and

industry, Direktorat Jendral Bea dan Cukai diharuskan dapat meningkatkan

pertumbuhan industri dalam negeri melalui pemberian fasilitas di bidang

kepabeanan dan cukai yang tepat sasaran; mewujudkan iklim usaha dan investasi

yang kondusif dengan memperlancar logistik impor dan ekspor melalui

penyederhanaan prosedur kepabenan dan cukai serta penerapan sistem manajemen

risiko yang handal.

Sebagai guard Indonesia’s borders and community from smuggling and ilegal

trading Direktorat Jendral Bea dan Cukai dituntut untuk melindungi masyarakat,

industri dalam negeri, dan kepentingan nasional melalui pengawasan dan/ atau

mencegah masuknya barang impor dan keluarnya barang ekspor yang berdampak

negatif dan berbahaya yang dilarang dan/ atau dibatasi oleh regulasinya;

melakukan pengawasan kegiatan impor, ekspor dan kegiatan di bidang

kepabeanan dan cukai lainnya secara efektif dan efisien melalui penerapan sistem

manajemen risiko yang handal, intelijen dan penyidikan yang kuat, serta

penindakan yang tegas dan audit kepabeanan dan cukai yang tepat; membatasi,

mengawasi, dan/ atau mengendalikan produksi, peredaran dan konsumsi barang

tertentu yang mempunyai sifat dan karateristik dapat membahayakan kesehatan,

lingkungan, ketertiban dan keamanan masyarakat melalui instrumen cukai yang

memperhatikan aspek keadilan dan keseimbangan.

Terkait dengan tugas sebagai optimize reveneu collection in customs and excise,

(21)

negara, berupaya mengoptimalkan penerimaan negara dalam bentuk bea masuk,

bea keluar, dan cukai guna menunjang pembangunan nasional.

Melalui misinya sebagai guard Indonesia’s borders and community from

smuggling and ilegal trading, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menjaga

perbatasan untuk mencegah masuknya barang-barang selundupan ke Indonesia,

maraknya penyelundupan yang dilakukan oleh rakyat di perairan Pantai Timur

Sumatera merupakan salah satu titik yang menjadi perhatian Bea dan Cukai untuk

diberantas.

Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Dumai

yang bernaung di bawah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai merupakan salah satu

kantor pelayanan yang berperan penting dalam pemberantasan dan/ atau

mencegah terjadinya penyelundupan barang-barang impor yang masuk ke

Indonesia melalui perairan Pantai Timur Sumatera, Bea Cukai Dumai selalu sigap

dalam menghalau para penyelundup yang beroperasi di wilayah kerjanya. Namun

demikian, Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean

B Dumai juga sering menghadapi berbagai kendala ketika melakukan tindakan

dalam menumpas kegiatan para penyelundup tersebut, di antaranya terdapat

kendala dalam penegakan hukum pidana kepabeanan terhadap tindak pidana

penyelundupan tersebut. Hal itu disebabkan oleh masih terdapat titik lemah pada

pasal-pasal Undang-Undang Kepabeanan.

Titik kelemahan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang

Kepabeanan dapat diidentifikasi pada Pasal 102 huruf b yang menyatakan

(22)

kepala kantor pabean”. Berdasarkan kata “membongkar” tersebut Penyidik Bea

dan Cukai sering mendapatkan kesulitan untuk melakukan penegakan hukum atas

perbuatan tindak pidana penyelundupan itu, karena ketika kapal penyelundup

tersebut ditangkap, mereka belum melakukan pembongkaran muatan kapal, kapal

penyelundup tersebut baru hanya sandar atau berhenti di dekat sebuah dermaga

“rakyat” atau pulau-pulau kecil di seputar wilayah Dumai.

Adanya titik kelemahan tersebut, maka diperlukan suatu penegakan hukum oleh

Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Dumai

dalam rangka menanggulangi tindak pidana penyelundupan barang impor. Hal ini

penting dilakukan mengingat masih adanya celah bagi pelaku untuk melakukan

penyelundupan barang impor untuk menghindar dari jeratan hukum kepabeanan,

karena nomenklatur Pasal 102 huruf b menyebutkan bahwa penyelundupan yang

dapat diproses secara hukum adalah aktivitas membongkar barang impor di luar

kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean. Penegakan

hukum ini diperlukan dalam upaya penanggulangan tindak pidana penyelundupan

barang impor, khususnya pada wilayah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea

dan Cukai Tipe Madya Pabean B Dumai.

Berdasarkan uraian latar belakang maka penulis melaksanakan penelitian yang

berjudul: Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan Barang

Impor (Studi di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya

(23)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Bagaimanakah mekanisme penegakan hukum terhadap barang impor

selundupan?

b. Bagaimanakah penegakan hukum yang diterapkan terhadap penyelundupan

barang impor?

c. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana atas terjadinya pidana

penyelundupan barang impor?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup ilmu penelitian adalah hukum pidana, khususnya kajian tentang

penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan barang impor yang

belum dibongkar di dalam wilayah pabean Indonesia. Ruang lingkup lokasi

penelitian adalah di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe

Madya Pabean B Dumai, dengan waktu penelitian yaitu Tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan maka tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Untuk menganalisis mekanisme penegakan hukum terhadap barang impor

(24)

b. Untuk menganalisis penegakan hukum yang diterapkan terhadap

penyelundupan barang impor oleh Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan

Cukai Tipe Madya Pabean B Dumai.

c. Untuk menganalisis pertanggungjawaban pidana atas terjadinya pidana

penyelundupan barang impor.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan secara teoritis dan kegunaan secara

praktis sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu

hukum pidana, khususnya kajian tentang penegakan hukum terhadap tindak

pidana penyelundupan barang impor oleh Kantor Pengawasan dan Pelayanan

Bea dan Cukai;

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran

bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap

tindak pidana penyelundupan barang impor yang merugikan negara sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu diharapkan

berguna bagi pihak-pihak lain yang akan melakukan penelitian dengan kajian

(25)
(26)

2. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis pada dasarnya merupakan abstraksi pemikiran atau kerangka

acuan dalam penelitian ilmiah. Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian

ini teori mengenai penegakan hukum. Penegakan hukum adalah upaya aparat

penegak hukum untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan

hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila

berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan

dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di

dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai

pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan

untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana2

Menurut Joseph Goldstein dalam Mardjono Reksodiputro3, penegakan hukum sendiri, diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu:

1. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang

menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut

ditegakkan tanpa terkecuali

2. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept)

yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan

sebagainya demi perlindungan kepentingan individual

3. Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul

setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena

2

Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta,1994, hlm.75.

3

(27)

keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana, kualitas sumber daya

manusianya, perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.

Peranan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat penting

untuk mengatur hubungan masyarakat sebagai warga negara, baik hubungan

antara sesama manusia, hubungan manusia dengan kebendaan, manusia dengan

alam sekitar dan manusia dengan negara. Penegakan hukum memiliki peranan

yang besar dalam penyelengaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk

menjamin kepentingan mayoritas masyarakat atau warga negara, terjaminnya

kepastian hukum sehingga berbagai perilaku kriminal dan tindakan

sewenang-wenang yang dilakukan anggota masyarakat atas masyarakat lainnya akan dapat

dihindarkan. Penegakan hukum secara ideal akan dapat mendorong masyarakat

untuk menaati dan melaksanakan hukum.

Pentingnya masalah penegakan hukum dalam hal ini berkaitan dengan adanya

kejahatan baik yang mengalami kompleksitas baik pelaku, modus, bentuk, sifat,

maupun keadaannya. Tindak pidana merupakan suatu pelanggaran norma

(gangguan terhadap tertib hukum) dam penjatuhan hukuman terhadap pelaku

adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum4 Menurut Badra Nawawi Arief5, penegakan hukum sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan dapat dilaksanakan melalui menggunakan dua sarana,

yaitu:

4

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 25-27

5

(28)

a. Penegakan hukum dengan menggunakan sarana penal

Sarana penal adalah penggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum

pidana yang di dalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu:

(1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.

(2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar.

b. Penegakan hukum dengan menggunakan sarana non penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi

penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi sosial tertentu, namun

secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan. 6 3. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan

dalam melaksanakan penelitian, khususnya penelitian hukum7. Batasan pengertian tersebut maka beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Penegakan hukum adalah suatu proses yang dapat menjamin kepastian hukum,

ketertiban dan perlindungan hukum dengan menjaga keselarasan,

keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh

nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang

meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian

tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana

sebagai suatu sistem peradilan pidana8

6

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 25-27

7

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1986, hlm.103

8

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.

(29)

b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi

siapa yang melanggar larangan itu. Tindak pidana merupakan pelanggaran

norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak

sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku9

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan

melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib

hukum dan terjaminnya kepentingan umum.10

d. Penyelundupan adalah suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang dengan cara memasukkan (impor) atau mengeluarkan

(ekspor) barang dengan tidak memenuhi ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, melanggar hukum dan merugikan negara.11

e. Pengawasan pabean adalah salah satu model untuk mencegah dan mendeteksi

pelanggaran kepabeanan. Pengawasan Bea Cukai yang mampu mendukung

pendeteksian dan pencegahan penyelundupan paling tidak harus mencakup

kegiatan: penelitian dokumen, pemeriksaan fisik, dan audit pasca impor.12

9

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 23

10

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hlm.76

11

Mochammad Anwar, Segi-Segi Hukum Masalah Penyelundupan, Penerbit Alumni Bandung, 2001, hlm. 159

12

(30)

f. Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas

lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean sertapemungutan bea

masuk dan bea keluar13

g. Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah

darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di

Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku

Undang-Undang Kepabeanan 14

h. Kawasan pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan

laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang

yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan

Cukai. 15

i. Kantor pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan

Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang ini. 16 E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis

normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah

pendekatan melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca,

13

Pasal 1 Angka (1) Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

14

Pasal 1 Angka (2) Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

15

Pasal 1 Angka (3) Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

16

(31)

mengutip dan menganalisis teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan

yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian. Pendekatan yuridis

empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari

permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus (empiris)17 2. Sumber dan Jenis Data

Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam suatu penelitian

yang berasal dari berbagai sumber. Berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data

lapangan dan kepustakaan. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder18 Data yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut:

a. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library

research), dengan cara membaca, menelaah dan mengutip terhadap berbagai

teori, asas dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam

penelitian. Data sekunder terdiri dari:

1) Bahan Hukum Primer, terdiri dari:

a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73

Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana.

c) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

17

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1983, hlm.7

18

(32)

d) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan

Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Pengawasan atas Pemasukan

dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang

Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan

Bebas

e) Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-53/BC/2010

Tentang Tatalaksana Pengawasan

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan-bahan

hukum yang dapat membantu menganalisa permasalahan, dari berbagai

buku hukum, arsip dan dokumen, brosur, makalah dan sumber internet.

b. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan

penelitian dengan cara melakukan tanya jawab atau wawancara kepada

narasumber penelitian.

3. Penentuan Narasumber

Narasumber dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea

dan Cukai Tipe Madya Pabean B Dumai : 1 orang

b. PPNS di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea

dan Cukai Tipe Madya Pabean B Dumai : 2 orang

c. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Dumai : 1 orang

d. Akademisi Hukum Pidana Program Pascasarjana

Magister Hukum Universitas Lampung : 1 orang +

(33)

4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data a. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi

lapangan sebagai berikut:

2) Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan

melakukan serangkaian kegiatan membaca, menelaah dan mengutip dari

bahan kepustakaan serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan

3) Studi lapangan (field research), dilakukan dengan mengumpulkan data

melalui wawancara (interview) kepada narasumber penelitian.

b. Pengolahan Data

Tahap pengolahan data adalah sebagai berikut:

1) Seleksi Data

Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan

data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

2) Klasifikasi Data

Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan

dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat

untuk kepentingan penelitian.

3) Penyusunan Data

Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan

yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang

(34)

5. Analisis Data

Setelah pengolahan data selesai, dilakukan analisis data dengan melakukan

analisis kualitatif, artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk

penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk

diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan secara umum yang didasarkan

fakta-fakta yang bersifat khusus terhadap pokok bahasan yang diteliti. Penarikan

kesimpulan dilakukan secara induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat

khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika yang disajikan agar mempermudah dalam penulisan Tesis secara

keseluruhan diuraikan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN, berisi pendahuluan penyusunan Tesis yang terdiri dari

Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan

Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian serta Sistematika

Penulisan. Sistematika Bab I ini bertujuan untuk menggambarkan hal-hal

terkait dengan Tesis ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA, Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau

kajian yang berhubungan dengan penyusunan Tesis yaitu pengertian

penegakan hukum, tindak pidana penyelundupan dan dasar hukumnya

serta pertanggungjawaban pidana. Bab II ini merupakan bab kajian teoritik

guna mendukung pendapat atau argumentasi sehingga tidak bersifat

(35)

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, berisi penyajian hasil

penelitian dan pembahasaan mengenai mekanisme penegakan hukum

terhadap barang impor selundupan, penegakan hukum yang diterapkan

terhadap penyelundupan barang impor oleh Kantor Pengawasan dan

Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Dumai dan

pertanggungjawaban pidana atas terjadinya pidana penyelundupan barang

impor. Bab III ini merupakan jawaban permasalahan dengan sistematika

seperti ini diharapkan dapat tergambar dan terjawab seluruh permasalahan

yang ada dan pembahasannya.

IV. PENUTUP, berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis

dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan

permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan

(36)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penegakan Hukum

Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya

guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga

mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan.

Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna

(secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan

adil (secara filosofis), belum tentu berguna bagi masyarakat. 1

Masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya

suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan

apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa

pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis,

mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan

masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan

yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama, akibatnya

kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.

1

(37)

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan

hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila

berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan

dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di

dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai

pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan

untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana2

Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum

pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi

sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan

lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan

yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut

masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang

menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana

materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun

demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks

sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan

kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan

demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran

2

(38)

yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang

bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum. 3

Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut sebagai model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 4

Sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana

substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam

bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan

nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana

yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, menurut

Muladi yaitu due process of law yang dalam Bahasa Indonesia dapat

diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari

proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan

penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu negara pada seorang tersangka

atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar

penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.5

3

Ibid, hlm.78.

4

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 1986, hlm.7.

5

(39)

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap

batin penghormatan terhadap hak-hak warga masyarakat meski ia menjadi pelaku

kejahatan, namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk

mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar

pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum

dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk

disidang di muka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak.

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak ialah sistem

peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai

dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang

menghormati hak-hak masyarakat. Kebangkitan hukum nasional mengutamakan

perlindungan hak asasi manusia dalam mekanisme sistem peradilan pidana.

Penegakan hukum sebagai implementasi kebijakan penanggulangan tindak pidana

dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dikenal dengan istilah

“kebijakan hukum pidana” atau “politik hukum pidana”. Kebijakan hukum pidana

(penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan

praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih

baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan

yang menerapkan undang-undang dan kepada para pelaksana putusan pengadilan.

Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut merupakan salah satu komponen

dari modern criminal science disamping criminology dan criminal law. 6

6

(40)

Penal policy atau politik hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana

dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat

undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan

pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif). Kebijakan legislatif merupakan

tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika

peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang

hendak dituju atau dengan kata lain perbuatan-perbuatan apa yang dipandang

perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana.

Dalam kaitan ini kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana

yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan, sebagai

usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi

masyarakat. Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada

hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya

hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari

kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan

perundang-undangan pidana yang merupakan bagian integral dari politik sosial.7

Kata politik cendrung diartikan sebagai segala urusan dan tindakan

(kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara, atau

secara umum dan sederhana diartikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan

7

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan),

(41)

dengan kekuasaan8. Politik berada dalam ruang lingkup dunia “nyata” yang tentunya penuh dengan pragmatism.9

Politik kriminal menggunakan politik hukum pidana maka harus merupakan

langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan benar. Memilih dan menetapkan

hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan harus benar-benar

memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau

bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya. Pengaruh umum pidana hanya

dapat terjadi di suatu masyarakat yang mengetahui tentang adanya sanksi (pidana)

itu. Dan intensitas pengaruhnya tidak sama untuk semua tindak pidana. Terhadap

tindak pidana yang oleh masyarakat dianggap sepele, artinya kalau orang

melakukannya tidak dianggap tercela, misalnya dalam pelanggaran lalu lintas,

ancaman pidana berat merupakan mekanisme kontrol yang cukup ampuh untuk

mencegah perbuatan tersebut. Penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana

mempunyai hubungan yang erat dengan masalah “kriminalisasi”, yaitu proses

untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi

tindak pidana.

Masalah pidana sering dijadikan tolok ukur sampai seberapa jauh tingkat

peradaban bangsa yang bersangkutan. Dalam menghadapi masalah sentral yang

sering disebut masalah kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal yang intinya

sebagai berikut: 10

8

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P dan K, Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1976, hlm.763

9

Moh. Busyro Muqoddas, Salman Luthan, dan Muh. Miftahudin. Politik Pembangunan Hukum Nasional, Penerbit UII PRESS Yogyakarta 1992, hlm.88.

10

(42)

1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan

nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil

dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka

(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan

mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi

kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum

pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan

yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga

masyarakat.

3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan

hasil (cost benefit principle).

4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau

kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai

ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya

untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan

hukum. Di samping itu, karena tujuannya untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat pada umumnya maka kebijakan penegakan hukum termasuk dalam

bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah, penggunaan hukum pidana

sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam

(43)

dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam

alternatif.

Pembangunan hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di

Indonesia haruslah dilakukan secara terus menerus agar hukum dapat memainkan

peran dan fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam

hidup bersama yang imperatif dan efektif sebagai penjamin keadilan di dalam

masyarakat. Upaya pembangunan tatanan hukum yang terus menerus ini

diperlukan. Sebagai pelayan bagi masyarakat. Karena hukum itu tidak berada

pada kevakuman, maka hukum harus senantiasa disesuaikan dengan

perkembangan masyarakat yang dilayaninya juga senantiasa berkembang. Sebagai

alat pendorong kemajuan masyarakat. Secara realistis di Indonesia saat ini fungsi

hukum tidak bekerja secara efektif, sering dimanipulasi, bahkan jadi alat

(instrumen efektif) bagi penimbunan kekuasaan. 11

Pengembangan dan pemantapan hukum (dalam arti luas) merupakan masalah

yang umum, tapi mendesak dihampir semua negara berkembang termasuk

Indonesia yang berjalan dalam lingkungan nilai-nilai yang berkembang di dalam

diri warga masyarakat negara baik sebagai individu maupun sebagai anggota

kelompok. Fungsi hukum yang antara lain sebagai satu mekanisme sosial-politik

untuk mencapai fairness dalam masyarakat dan juga untuk mengawasi serta

mengendalikan setiap prilaku (individu atau institusi) dalam mencapai tujuan

hidup yang berkeadilan sosial. Dengan demikian hukum bertumpu pada

basis-basis politik dan sosial-kultural masyarakat.12

11

Ibid, hlm.57

12

(44)

Upaya pembaruan tatanan hukum itu haruslah tetap menjadikan Pancasila sebagai

paradigmanya, sebab Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar, ideologi, cita

hukum dan norma fundamental negara harus dijadikan orientasi arah, sumber

nilai-nilai dan karenanya juga kerangka berpikir dalam setiap upaya pembaruan

hukum. Menurut Muladi13, diperlukan parameter hukum yang baik agar tercapai penegakannya (enforceability) yang tinggi, oleh karena itu ketentuan yang

dibentuk harus memenuhi kriteria yaitu:

1) Necessity, bahwa hukum harus diformulasikan sesuai dengan kebutuhan

sistematis dan terencana;

2) Adequacy, bahwa rumusan norma-norma hukum harus memiliki tingkat dan

kadar kepastian yang tinggi,

3) Legal certainty, bahwa hukum harus benar-benar memuat kaidah-kaidah

dengan jelas dan nyata, tidak samar-samar dan tidak menimbulkan penafsiran;,

4) Actuality, bahwa hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan

perkembangan masyarakat dan zaman, tanpa mengabaikan kepastian hukum;

5) Feasibility, bahwa hukum harus memiliki kelayakan yang dapat

dipertanggungjawabkan terutama berkenaan dengan tingkat penataannya;

6) Verifiability, bahwa hukum yang dikerangkakan harus dalam kondisi yang

siap uji secara objektif;

7) Enforceability, bahwa pada hakikatnya terus memiliki daya paksa agar diaati

dan dihormati;

8) Provability, bahwa hukum harus dibuat sedemikian rupa agar mudah dalam

pembuktian.

13

(45)

Salah satu kelemahan dalam pembangunan hukum saat ini adalah dalam tataran

implementasinya bukan dalam tataran pembentukan hukumnya (penciptaan

hukum positif, karena soal penciptaan hukum normatif Indonesia luar biasa

hebatnya), karena begitu suatu undang-undang disahkan atau diberlakukan, maka

dengan berbagai macam kendala akan timbul, karena persoalan hukum bukan

sekedar hanya persoalan susunan norma-norma atau untaian kata-kata manis,

tetapi menjadi persoalan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Belum lagi kalau

berbicara mengenai kelemahan dalam berbagai substansi peraturan

perundang-undangan yang normanya kurang jelas sehingga sulit untuk diimplementasikan,

overlapping substansi antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya,

saling rebutan kewenangan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya.

Fenomena overlapping substansi tersebut tidak selayaknya/perlu terjadi, karena

sesama pejabat publik atau civil servant tidak perlu rebutan kewenangan, karena

tujuan keberadaan civil servant adalah melakukan tugas sebagai pelayan

masyarakat demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan oleh negara. Namun

karena kewenangan atau kekuasaan sering dijadikan sebagai sarana untuk

melakukan penyimpangan (abuse of power), maka ada kecenderungan untuk

selalu meminta kekuasaan yang lebih melalui suatu undang-undang.

Kebangkitan hukum nasional mengutamakan perlindungan hak asasi manusia

dalam sebuah mekanisme sistem peradilan pidana. Perlindungan hak-hak tersebut,

diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu

diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan undang-undang tersebut

(46)

semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada

pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur di dalamnya sebagai

suatu kesatuan dan saling interrelasi dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Hukum itu ekpresi dan semangat dari jiwa rakyat (volksgeist). Selanjutnya

dikatakan bahwa hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama

masyarakat. Konsep demikian ini memang didukung oleh kenyataan dalam

sejarah yaitu pada masyarakat yang masih sederhana sehingga tidak dijumpai

peranan pembuat undang-undang seperti terdapat pada masayarakat modern. Pada

masyarakat yang sedang membangun perubahan di bidang hukum akan

berpengaruh terhadap bidang-bidang kehidupan lainnya, begitu juga sebaliknya14 Penjelasan di atas menunjukkan fungsi hukum disatu pihak dapatlah dipergunakan

sebagai sarana untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik dan dilain pihak

untuk mempertahankan susunan masyarakat yang telah ada serta mengesahkan

perubahan-perubahan yang telah terjadi dimasa lalu. Jika mengetengahkan hukum

sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang sedang pada masa transisi, perlu

ada penetapan prioritas-prioritas dan tujuan yang hendak dicapai, sedangkan suber

atau datanya dapat diperoleh melalui penelitian-penelitian terhadap masyarakat

diberbagai bidang kehidupan. Data yang sudah diperoleh kemudian diabstraksikan

agar dapat dirumuskan kembali ke dalam norma hukum yang kemudian disusun

menjadi tata hukum.

14

(47)

Hukum berasal dari masyarakat dan hidup serta berproses di dalam masyarakat,

maka pembaharuan hukum tidak mungkin dilepaskan secara mutlak dari

masyarakat. Ini berarti bahwa yang dihadapi adalah kenyataan-kenyataan sosial

dalam arti yang luas. Kenyataan yang ada seperti yang dihadapi Indonesia yaitu

masyarakatnya yang heterogen dengan tingkat bentuk masyarakat yang

berbeda-beda, mulai dari yang sederhana sampai pada masyarakat yang komplek15

Masyarakat transisi yang mengalami proses dari yang sederhana ke komplek tidak

jarang dihadapkan pada sebagian nilai yang harus ditinggalkan, tetapi ada pula

yang harus dipertahankan karena mendukung proses penyelesaian masa transisi.

Memang setiap pembangunan merupakan proses menuju suatu tujuan tertentu

melalui berbagai terminal, selama terminal-terminal tadi masih harus dilalui maka

transisi masih akan tetap ada.

Hukum pada masyarakat yang sederhana, timbul dan tumbuh bersama-sama

dengan pengalaman-pengalaman hidup warga masyarakatnya. Disini penguasa

lebih banyak mengesahkan atau menetapkan hukum yang sebenarnya hidup

dimasyarakat, tetapi hal yang sebaliknya terjadi pada masyarakat yang kompleks.

Kebhinekaan masyarakat yang kompleks menyebabkan sulit untuk

memungkinkan timbulnya hukum dari bawah. Diferensiasi yang tinggi dalam

strukturnya membawa konsekuensi pada aneka macam kategori dan kepentingan

dalam masyarakat dengan kepentingan-kepentingan yang tidak jarang saling

bertentangan. Walaupun hukum datang dan ditentukan dari atas, sumbernya tetap

dari masyarakat.

15

(48)

Peranan nilai-nilai di dalam masyarakat harus dipertahankan untuk menetapkan

kaedah hukum apabila diharapkan kaedah hukum yang diciptakan itu dapat

berlaku efektif. Dengan demikian berhasil atau gagalnya suatu proses

pembaharuan hukum, baik pada masyarakat yang sederhana maupun yang

kompleks sedikit banyak ditentukan oleh pelembagaan hukum di dalam

masyarakat. Jelas bahwa usaha ini memerlukan perencanaan yang matang, biaya

yang cukup besar dan kemampuan memproyeksikan secara baik. Di dalam

masyarakat seperti Indonesia yang sedang mengalami masa peralihan menuju

masyarakat modern tentunya nilai-nilai yang ada mengalami proses perubahan

pula. Masyarakat yang melaksanakan pembangunan, proses perubahan tidak

hanya mengenai hal-hal yang bersifat fisik, tetapi juga pada nilai-nilai dalam

masyarakat yang mereka anut. Nilai-nilai yang dianut itu selalu terkait dengan

sifat dan sikap orang-orang yang terlibat di dalam masyarakat yang membangun 16 Peranan hukum dengan pendekatan fungsional tidak sama dengan hukum yang

berperan sebagai suatu alat (instrumen) belaka. Pendekatan secara fungsional,

hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan darimana

hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka

setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni

dari mana hukum dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannya atau

diwujudkan dalam bentuk manifestasinya harus selalu bernafaskan Pancasila. Jika

tidak, hukum itu tidak lagi berfungsi dalam arti sebenarnya sehingga lebih tepat

disebut sebagai instrumen.

16

(49)

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua)

macam, yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan

sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana

dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non penal policy). Pada

dasarnya penal policy lebih menitik beratkan pada tindakan represif setelah

terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan

pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Menurut

pandangan dari sudut politik kriminal secara makro, nonpenal policy merupakan

kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Karena bersifat

sebagai tindakan pencegahan terjadinya satu tindak pidana. Sasaran utama non

penal policy adalah mengenai dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang

menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.17

Berdasarkan uraian di atas maka diketahui bahwa penegakan hukum diberlakukan

oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa

pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini

penegakan hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem hukum yang

berlaku di negara yang bersangkutan yang dalam konteks Indonesia tujuan dan

sistem itu terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya Pancasila yang

melahirkan kaidah-kaidah hukum. Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku

manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum

menuruti perilakunya, sedangkan di lain pihak efektivitas hukum berkaitan erat

dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma.

17

(50)

B. Tindak Pidana Penyelundupan Impor

Tindak pidana penyelundupan adalah suatu tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang atau sekelompok orang dengan cara memasukkan (impor) atau

mengeluarkan (ekspor) barang dengan tidak memenuhi ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, melanggar hukum dan merugikan negara.18 Mengenai masalah penyelundupan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)

yang salah satu fungsinya sebagai fasilitator perdagangan, membuat suatu hukum

kepabeanan yang dapat mengantisipasi perkembangan dalam masyarakat dalam

rangka memberikan pelayanan dan pengawasan yang lebih cepat, lebih baik dan

lebih murah. Upaya untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan,

transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik, untuk mendukung upaya

peningkatan dan pengembangan perekonomian nasional yang berkaitan dengan

perdagangan global, untuk mendukung kelancaran arus barang dan meningkatkan

efektivitas pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah

pabean Indonesia dan lalu lintas barang tertentu dalam daerah pabean Indonesia,

serta untuk mengoptimalkan pencegahan dan penindakan penyelundupan, perlu

pengaturan yang lebih jelas dalam pelaksanaan kepabeanan.

Undang-undang yang mengatur penyelundupan terkait masuknya barang impor

secara ilegal ini adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

Yang tertuang dalam Pasal 102, yaitu setiap orang yang:

18

(51)

(1) mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A Ayat (2);

(2) membongkar barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean;

(3) membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A Ayat (3);

(4) membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan; (5) menyembunyikan barang impor secara melawan hukum;

(6) mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dari kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berikat atau dari tempat lain di bawah pengawasan pabean tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini;

(7) mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya; atau (8) dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor

dalam pemberitahuan pabean secara salah,

Dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang impor dengan pidana

penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)

tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Adanya penyelundupan yang terjadi selama ini tentunya menjadi kon sekuensi

tugas sebagai aparat DJBC untuk melakukan pemberantasan sesuai dengan

fungsi DJBC sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor

2/KMK.01/2001 tanggal 3 Januari 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Departemen Keuangan.19

Menurut pengertian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,

perbuatan pelaku baru dapat dikategorikan penyelundupan hanya apabila dalam

hal tanpa mengindahkan ketentuan undang-undang tersebut, dalam arti kata,

19

(52)

apabila seseorang mengimpor atau mengekspor barang yang telah

mengindahkan ketentuan undang-undang ini, walaupun tidak sepenuhnya,

tidak termasuk perbuatan tindak penyelundupan.

Seringkali apabila ada upaya penyelundupan atau beredarnya barangbarang

impor ilegal di kalangan masyarakat, maka masyarakat condong untuk

memojokkan bahkan memvonis aparat DJBC sebagai salah satu penyebab

timbulnya hal tersebut. Kalangan masyarakat umumnya menuding DJBC

sebagai part of the problem bukan sebagai solve the problem. Tudingan tersebut

walaupun sangat naif, tapi tentu dapat kita maklumi karena DJBC adalah

satu-satunya aparat yang berwenag dalam pengawasan keluar masuknya barang.

Penyelundupan adalah masalah yang sangat complicated dengan melibatkan

banyak kepentingan atau perorangan yang mempunyai kepentingan-kepentingan

tertentu (vested interest) yang bermain di sana. Mereka itulah yang berusaha

mengeruk keuntungan dengan adanya penyelundupan.20

Pengamat Ekonomi, Chatib Basri, bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi

Masyarakat Universitas Indonesia (LPEMUI) telah melakukan penelitian ihwal

penyelundupan yang terjadi di Indonesia, mulai dari dampak, akibat, penyebab,

hingga solusinya. Dari penelitian tersebut, Chatib menyimpulkan bahwa

penyelundupan bisa terjadi akibat tiga hal yang saling berkaitan, yaitu kegagalan

sistem bea dan cukai, aparat yang korup, serta kebijakan pemerintah yang

menuntun pada terciptanya perbedaan harga barang domestik dengan harga di

luar negeri. Kalau acuannya dari Pasal 102 Undang-Undang Nomor 10 Tahun

20

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur penindakan tindak pidana penyelundupan barang impor yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bea

Berdasarkan keterangan yang didapat penulis saat melakukan wawancara penelitian pada kantor Bea dan Cukai Tembilahan, Penyidikan penyelundupan pakaian bekas yang

Tiada kata yang patut diucapkan selain puji syukur kita kehadirat Allah SWT, karena atas berkah dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah karya ilmiah

Peran PPNS Bea dan Cukai dalam menangani tindak pidana penyelundupan MMEA, telah dilakukan dengan maksimal, terbukti banyaknya kasus penyelundupan MMEA yang

Bagaimanakah upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam penegakan hukum peredaran rokok ilegal tanpa cukai berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007

Koordinasi DJBC dengan instansi pemerintah lainnya yang terkait untuk menunjang kelancaran ekspor dan impor di Pelabuhan Belawan yakni koordinasi yang terkait dengan pengawasan

skripsi ini yang berjudul : “ Peran Kantor Pengawasan Dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean C Pangkalpinang Dalam Penegakan Tindak Pidana Peredaran Rokok Ilegal

keterangan yang didapat penulis saat melakukan wawancara penelitian pada kantor Bea dan Cukai Tembilahan, Penyidikan penyelundupan pakaian bekas yang dilakukan