• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAYA SAING USAHATANI PADI SAWAH DENGAN SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) DI PROPINSI LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DAYA SAING USAHATANI PADI SAWAH DENGAN SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) DI PROPINSI LAMPUNG"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh Amir Hakim

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER SAINS

Pada

Program Studi Pascasarjana Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

COMPETITIVENESS OF WETLAND-PADDY FARMING WITH INTEGRATED MANAGEMENT SYSTEM IN LAMPUNG PROVINCE

Amir Hakim1), Ali Ibrahim Hasyim2), Dyah Aring Hepiana L2)

Master of Agribusiness, the Faculty of Agriculture, the University of Lampung, Jalan Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145

This study aimed to analyze incomes and farming competitiveness of wetland-paddy farmers who followed SLPTT program as well as toanalyze price sensitivities when outputs’ prices dropped and the government did not provide subsidies for seeds and fertilizers. This research was conducted in two regencies: Central Lampung (i.e., Seputih Raman and Trimurjo Sub-District) and North Lampung (i.e., Abung Semuli and Abung Timur Sub-District). The total sample in this study was148 paddy farmers which consist of 26 respondents from Trimurjo, 48 respondents from Seputih Raman, 32 respondents from Abung Semuli and 42 respondents from Abung Timur. The analytical tools used were the analysis of farm income, policy analysis matrix (PAM), and sensitivity analysis.

Based on the results, the wetland-paddy farming’s incomes with a PTT system were 11.385.177,36 rupiahs with R/C value is 2,32. The policy analysis matrix suggested that wetland-paddy farming in Lampung province was financially feasible because the farming have comparative and competitive advantages in term of productions. This could be seen from the values of PCR (Private Cost Ratio) and DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) which were equal to 0,3734 and 0,2747 respectively. The Sensitivity analysis for the farming’s competitive advantages showed that, with a PTT system, an increase in the prices of both paddy seeds and fertilizers (Urea, NPK, TSP, Organic, KCL and manure) by one hundred percent was inelastic. Meanwhile, the decline in the price of output (rice) by ten percent was elastic to a competitive advantage.

Keywords: wetland-paddy, SLPTT, competitiveness

1) Head of Economic Affairs and Development of Bapeda of Pesisir Barat District

(3)

DAYA SAING USAHATANI PADI SAWAH DENGAN SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) DI PROPINSI LAMPUNG

Amir Hakim1), Ali Ibrahim Hasyim2), Dyah Aring Hepiana L2) Magister Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Jalan

Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pendapatan usahatani padi sawah program SLPTT di Propinsi Lampung, menganalisis daya saing padi sawah program SL-PTT di Propinsi Lampung dan menganalisis sensitivitas daya saing padi sawah program SL-PTT di Propinsi Lampung, apabila harga output turun serta tidak ada subsidi benih dan pupuk dari pemerintah. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Seputih Raman dan Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah serta di Kecamatan Abung Semuli dan Kecamatan Abung Timur Kabupaten Lampung Utara. Jumlah responden pada penelitian ini adalah 148 responden yang terdiri dari 26 responden dari Kecamatan Trimurjo, 48 responden dari Kecamatan Seputih Raman Kabupaten Lampung Tengah serta 32 responden dari Kecamatan Abung Semuli dan 42 responden dari Kecamatan Abung Timur Kabupaten Lampung Utara. Alat analisis yang digunakan adalah analisis pendapatan usahatani, Policy Analysis Matrix (PAM), dan analisis sensitivitas.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pendapatan usahatani padi sawah dengan sistem PTT sebesar Rp 11.385.177,36 /ha dengan nilai R/C 2,32. Berdasarkan analisis policy analysis matrix usahatani padi sawah SLPTT di Propinsi Lampung memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam produksi padi sehingga usahatani padi layak untuk terus dikembangkan, hal ini dilihat dari nilai PCR (Private Cost Ratio) sebesar 0,3734 dan DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) sebesar 0,2747. Analisis sensitivitas terhadap keunggulan kompetitif pada usahatani padi sawah dengan sistem PTT menunjukkan bahwa kenaikan harga benih, harga pupuk urea, pupuk NPK, pupuk TSP, pupuk organik, pupuk KCL dan pupuk kandang sebesar seratus persen bersifat inelastis. Adapun penurunan harga output padi sebesar sepuluh persen bersifat elastis terhadap keunggulan kompetitif.

Kata kunci: padi sawah, SLPTT, daya saing

1) Kepala Bidang Perekonomian dan Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Pesisir Barat

(4)
(5)
(6)
(7)

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Kegunaan Penelitian... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 11

A. Tinjauan Pustaka ... 11

1. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) ... 11

2. Kebijakan harga output ... 17

3. Kebijakan subsidi ... 19

4. Teori Daya Saing ... 21

5. KonsepPolicy Analysis Matrix(PAM) ... 25

6. Keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif ... 33

7. Tinjauan penelitian terdahulu... 35

B. Kerangka Pemikiran ... 43

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 48

A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional ... 48

B. Lokasi Penelitian ... 55

C. Metode Pengambilan Sampel ... 56

D. Jenis Data... 58

E. Analisis Data ... 59

1. Analisis pendapatan usahatani... 59

2. PAM (Policy Analysis Matrix) ... 60

(8)

6. Analisis sensitivitas ... 72

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 74

A. Kondisi Wilayah Propinsi Lampung ... 74

B. Gambaran Umum Kabupaten Lampung Tengah ... 77

C. Gambaran Umum Kabupaten Lampung Utara ... 82

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 86

A. Keadaan Umum Responden ... 86

1. Umur petani responden ... 86

2. Tingkat pendidikan ... 87

3. Pengalaman berusahatani ... 87

4. Tanggungan keluarga... 88

5. Luas lahan garapan ... 89

B. Analisis Usahatani Padi Sawah dengan Sistem PTT ... 90

1. Analisis input dan biaya usahatani ... 90

2. Analisis pendapatan usahatani... 94

C. Analisis Daya Saing ... 97

1. Analisis inputtradabledannontradable ... 97

2. Analisis harga privat dan harga sosial output dan input ... 98

3. Analisis pendapatan ... 102

4. Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif ... 106

5. Analisis divergensi... 110

6. Analisis sensitivitas ... 115

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 119

A. Kesimpulan... 119

B. Saran ... 120

DAFTAR PUSTAKA ... 121

(9)

A. Latar Belakang

Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan capital, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bioenergi, penyerap tenaga kerja, sumber devisa negara, sumber pendapatan, serta pelestarian lingkungan melalui praktek usahatani yang ramah lingkungan. Berbagai peran strategis pertanian dimaksud sejalan dengan tujuan pembangunan perekonomian nasional yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, mempercepat

pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, menyediakan lapangan kerja, serta memelihara keseimbangan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

(10)

menciptakan sistem penyuluhan pertanian yang efektif, membudayakan penggunaan pupuk kimiawi dan organik secara berimbang untuk memperbaiki dan meningkatkan kesuburan tanah, mengupayakan adaptasi terhadap

perubahan iklim dan pelestarian lingkungan hidup, menciptakan kebijakan harga (pricing policies) yang proporsional untuk produk-produk pertanian khusus, mengupayakan pencapaianMillenium Development Goals(MDG’s) yang mencakup angka kemiskinan, pengangguran, dan rawan pangan, memperkuat kemampuan untuk bersaing di pasar global serta mengatasi pelemahan pertumbuhan ekonomi akibat krisis global, serta memperbaiki citra petani dan pertanian agar kembali diminati generasi penerus (Kementerian Pertanian, 2009).

(11)

jual komoditas yang ditanam secara mono kultur, untuk itulah maka pada tahun 2008 pemerintah mencanangkan program sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SL-PTT).

Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat penting bagi Indonesia, hal ini dikarenakan rakyat Indonesia masih mempunyai

ketergantungan yang berlebihan terhadap satu jenis makanan saja yaitu beras. Kebutuhan terhadap beras terus meningkat setiap tahunnya, hal tersebut disebabkan meningkatnya jumlah penduduk dan terjadinya peralihan pola konsumsi ke beras sehingga pemerintah merasa perlu mengeluarkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan jumlah produksi padi di Indonesia.

Berdasarkan data BPS tahun 2011, angka tetap (ATAP) produksi padi tahun 2011 sebesar 65,76 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau turun 0,71 juta ton (1,07%) dibandingkan produksi tahun 2010. Penurunan produksi terjadi di Pulau Jawa, yaitu sebesar 1,97 juta ton. Namun, di luar Pulau Jawa justru terjadi peningkatan sebesar 1,26 juta ton (Anonim, 2012). Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas padi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas padi di Indonesia tahun 2007-2011

Tahun Luas Panen Produksi Produtivitas

(Ha) (Ton) (Kw/Ha)

2007 12.147.637 57.157.435 47,05

2008 12.327.425 60.325.925 48,94

2009 12.883.576 64.398.890 49,99

2010 13.253.450 66.469.394 50,15

2011 13.203.643 65.756.904 49,80

Rataan 12.763.146 62.821.710 49,19

(12)

Berdasarkan data BPS (2011), Propinsi Lampung berada pada urutan ke tujuh penghasil padi terbesar di Indonesia. Sentra produksi padi nasional masih terpusat di Pulau Jawa seperti Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Luas Pulau Jawa hanya sebagian kecil dari luas Indonesia dan jumlah

penduduk Pulau Jawa sangat besar. Hal ini menyebabkan lahan di Pulau Jawa mengalami degradasi seiring meningkatnya kebutuhan permukiman dan peralihan pada komoditas yang memilki nilai ekonomi yang lebih tinggi

seperti hortikultura sehingga produksi di luar Jawa perlu ditingkatkan, salah satunya adalah Propinsi Lampung. Produksi padi di Propinsi Lampung perlu terus ditingkatkan dikarenakan produksi padi Propinsi Lampung terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun walaupun kenaikannya tidak cukup signifikan. Pada tahun 2010 produksi padi mencapai 2.623.873 ton atau naik sekitar 5,88 persen dibandingkan tahun 2009. Luas panen, produksi dan produktivitas padi per kabupaten di Propinsi Lampung tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 2.

Sejak tahun 2008 upaya peningkatan produksi padi difokuskan pada penerapan sistem usahatani dengan sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan telah berhasil menjadi salah satu pemicu dalam meningkatkan produksi padi dengan rata-rata peningkatan produksi padi 2008–2011 sebesar 2,78%. Dalam program SL-PTT petani dapat belajar langsung di lapangan melalui pembelajaran dan penghayatan langsung (mengalami),

mengungkapkan, menganalisis, menyimpulkan dan menerapkan

(13)

bersama-sama. Melalui penerapan PTT petani akan mampu mengelola sumberdaya yang tersedia (varietas, tanah, air dan sarana produksi) secara terpadu dalam melakukan budidaya di lahan usahataninya berdasarkan kondisi spesifik lokasi sehingga petani menjadi lebih terampil serta mampu

mengembangkan usahataninya dalam rangka peningkatan produksi padi.

Tabel 2. Luas panen, produksi, dan produktivitas padi sawah per kabupaten di Propinsi Lampung, Tahun 2010

No. Kabupaten/Kota Produksi Luas Panen Produktivitas

(Ton) (Ha) (Ton/Ha)

1. Lampung Barat 160.080 35.531 4,51

2. Tanggamus 208.553 40.377 5,17

3. Lampung Selatan 370.060 71.998 5,14

4. Lampung Timur 431.981 83.834 5,15

5. Lampung Tengah 580.968 109.193 5,32

6. Lampung Utara 117.088 25.711 4,55

7. Way Kanan 120.487 27.011 4,46

8. Tulang Bawang 187.412 41.499 4,52

9. Pesawaran 139.159 27.045 5,15

10. Pringsewu 111.239 21.515 5,17

11. Mesuji 113.622 25.194 4,51

12. Tulang Bawang Barat 60.245 13.269 4,54

13. Bandar Lampung 9.336 1.784 5,23

14. Metro 23.443 4.416 5,31

Rata-rata 188.120 37.741 4,91

Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2011

Hasil yang diharapkan dari program usahatani dengan sistem PTT ini adalah petani dapat mengaplikasikan berbagai teknologi usaha tani melalui

penggunaan input yang efisien menurut spesifik lokasi (sumber). Berdasarkan tabel 2 di atas produktivitas padi di Provinsi Lampung bervariasi antar

(14)

Sedangkan Kabupaten dengan produktivitas diatas rata-rata Provinsi adalah Kabuapten Lampung Tengah, Metro, Bandar Lampung, Lampung Timur, Lampung Selatan, Tanggamus. Pringsewu dan Pesawaran.

Usahatani padi sawah dengan sistem PTT juga telah dilaksanakan di seluruh kabupaten dan kota di Propinsi Lampung guna meningkatkan produksi padi. Kabupaten Lampung Tengah yang telah sukses melaksanakan usahatani dengan sistem PTT merupakan sentra padi di Propinsi Lampung dudukung sistem irigasi yang sejak zaman penjajahan Belanda dan masyarakat petani padi sawah yang sudah cukup lama melaksanakan budidaya padi. Sedangkan Kabupaten Lampung Utara merupakan daerah penghasil padi yang memiliki potensi untuk terus dikembangkan merupakan daerah pengembangan irigasi yang dibangun pada tahun 1980an dan masyarakat petani padi sawah juga relatif lebih baru diharapkan agar menjadi sentra padi di Propinsi Lampung dimasa akan datang.

B. Perumusan Masalah

Optimalisasi produktivitas padi di lahan sawah merupakan salah satu peluang peningkatan produksi gabah nasional, hal ini sangat dimungkinkan bila dikaitkan dengan hasil padi. Pada agroekosistem sawah saat ini masih

beragam antar lokasi dan belum optimal. Belum optimalnya produktivitas padi di lahan sawah, antara lain disebabkan oleh : 1) rendahnya efisiensi

pemupukan; 2) belum efektifnya pengendalian hama penyakit; 3) penggunaan benih kurang bermutu dan varietas yang dipilih kurang adaptif; 4) miskin

(15)

pengendalian gulma kurang optimal (Makarim, dkk, 2000). Selanjutnya menurut Adnyana dan Kariyasa (2006), penggunaan teknologi baru yang efisien memberi peluang bagi petani produsen untuk memproduksi lebih banyak dengan korbanan lebih sedikit.

Strategi yang dapat ditempuh dalam meningkatkan produksi padi nasional adalah: (1) mendorong sinergi antar subsistem agribisnis, (2) meningkatkan akses petani terhadap sumberdaya, modal, teknologi, pasar, (3) mendorong peningkatan produktivitas melalui inovasi baru, (4) memberikan insentif berusaha, (5) mendorong diversifikasi produksi, (6) mendorong partisipasi aktif seluruh stake holder, (7) pemberdayaan petani dan masyarakat, (8) pengembangan kelembagaan (kelembagaan produksi dan penanganan pasca panen, irigasi, koperasi, lumbung pangan desa,keuangan dan penyuluhan).

Kebijakan pengembangan padi dapat diarahkan pada: (1) pembangunan dan pengembangan kawasan agribisnis padi yamg modern, tangguh, dan

pemberian jaminan kehidupan yang lebih baik bagi petani, (2) peningkatan efisiensi usaha tani melalui inovasi unggul dan berdaya saing, (3) pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal, efisien dan produktif .

(16)

untuk konsumsi di indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah berhasil mengembangkan berbagai inovasi teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas pertanian. Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, Badan Litbang Pertanian juga telah menghasilkan dan mengembangkan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang ternyata mampu meningkatkan produktivitas padi dan efisiensi input produksi.

Pengelolaan Tanaman Terpadu adalah pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman (OPT), dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya peningkatan produktivitas, pendapatan petani, dan kelestarian lingkungan. Pengembangan inovasi teknologi dengan

pendekatan PTT diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan produksi beras nasional. Komponen teknologi yang dapat dikembangkan dalam sistem PTT antara lain adalah varietas unggul, benih bermutu, penyiapan lahan hemat tenaga, populasi tanaman optimal,

pemupukan yang efisien, pengendalian OPT dengan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan, pengelolaan dan pasca panen yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Sistem pendekatan PTT memberikan panduan lengkap tahapan pelaksanaan budidaya tanaman padi sesuai dengan spesifik agroekologi, Mulai dari varietas unggul yang digunakan, perlakuan benih, cara pemupukan,

(17)

pengolahan pasca panen sehingga padi yang dihasilkan memiliki daya saing yang lebih baik.

Kabupaten Lampung Tengah sebagai sentra padi di Propinsi Lampung terus berupaya meningkatkan produksinya dengan cara melaksanakan program SL-PTT yang telah dicanangkan oleh pemerintah, begitu juga Kabupaten

Lampung Utara dalam rangka menjadi sentra padi di Propinsi Lampung juga terus berupaya meningkatkan produksinya, hal ini dapat dilihat dari

pelaksanaan program PTT yang dilaksanakan di Kabupaten Lampung Utara.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan pokok permasalahan yang perlu diteliti sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pendapatan usahatani padi sawah dengan sistem PTT di Propinsi Lampung ?

2. Bagaimanakah daya saing usahatani padi sawah dengan sistem PTT di Propinsi Lampung?

3. Bagaimanakah sensitivitas daya saing usahatani padi sawah dengan sistem PTT di Propinsi Lampung apabila harga produksi turun serta tidak ada subsidi benih dan pupuk dari pemerintah?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

(18)

2. Menganalisis daya saing usahatani padi sawah dengan sistem PTT di Propinsi Lampung.

3. Menganalisis sensitivitas daya saing usahatani padi sawah dengan sistem PTT di Propinsi Lampung, apabila harga output turun serta tidak ada subsidi benih dan pupuk dari pemerintah.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1) Petani sebagai masukan dalam menetapkan langkah-langkah usahanya untuk peningkatan daya saing produksinya.

2) Pemerintah sebagai pembuat kebijakan usahatani padi sawah dengan sistem PTT agar penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan dalam program PTT. 3) Peneliti lain sebagai bahan referensi bagi yang melakukan penelitian

(19)

A. Tinjauan Pustaka

1. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)

Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) merupakan suatu pendekatan inovatif dalam upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani melalui perbaikan sistem/pendekatan dalam perakitan paket teknologi yang sinergis antar komponen teknologi, dilakukan secara partisipatif oleh petani serta bersifat spesifik lokasi. Komponen teknologi dasar PTT adalah teknologi yang dianjurkan untuk diterapkan di semua lokasi. Komponen teknologi pilihan adalah teknologi pilihan disesuaikan dengan kondisi, kemauan, dan kemampuan.

Prinsip-prinsip yang terdapat dalam PTT adalah: (1) terpadu: PTT merupakan suatu pendekatan agar sumber daya tanaman, tanah dan air dapat dikelola dengan sebaik-baiknya secara terpadu, (2) sinergis: PTT memanfaatkan teknologi pertanian terbaik, dengan memperhatikan

(20)

yang sesuai dengan kondisi setempat dan kemampuan petani melalui proses pembelajaran dalam bentuk laboratorium lapangan.

Untuk tahapan penerapan PTT adalah: pemandu lapang bersama petani melakukan Pemahaman Masalah dan Peluang (PMP) atau Kajian

Kebutuhan dan Peluang (KKP). Identifikasi masalah peningkatan hasil di wilayah setempat dan membahas peluang mengatasi masalah tersebut, berdasarkan cara pengelolaan tanaman, analisis iklim/curah hujan, kesuburan tanah, luas pemilikan lahan, lingkungan sosial ekonomi. Lalu, merakit berbagai komponen teknologi PTT berdasarkan kesepakatan kelompok untuk diterapkan di lahan usahataninya yang kemudian disusun dalam rencana usahatani kelompok yang merupakan hasil dari kesepakatan kelompok. Lalu, dimulailah penerapan PTT. Apabila pelaksaan telah berjalan baik maka dilakukan pengembangan PTT ke petani lainnya.

Komponen teknologi unggulan PTT padi terdiri dari komponen teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan. Untuk komponen teknologi dasar terdiri dari: (1) Varietas unggul baru, inbrida (non hibrida), atau hibrida, (2) benih bermutu dan berlabel, (3) pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami ke sawah atau dalam bentuk kompos, (4) pengaturan populasi tanaman secara optimum, (5) pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah, (6) Pengendalian OPT (organisme

(21)

hari), (3) tanam bibit 1-3 batang per rumpun, (4) pengairan secara efektif dan efisien, (5) penyiangan dengan landak atau gasrok, (6) panen tepat waktu dan gabah segera dirontok.

Tidak semua tempat bisa dijadikan lokasi untuk program SL-PTT ini. Dalam penentuan calon Lokasi SL-PTT ada beberapa aspek yang harus dilaksanakan, seperti:

a) Lokasi dapat berupa persawahan yang beririgasi, sawah tadah hujan, lahan kering dan pasang surut yang produktivitas dan Indeks

Pertanamannya masih dapat ditingkatkan. Priotas pertama lokasi SL-PTT tahun anggaran 2012 ditempatkan pada lokasi yang IP (Indeks Pertanaman) paling rendah dan atau pada lokasi yang produktivitasnya rendah (dibawah produktivitas kabupaten).

b) Diprioritaskan bukan daerah endemis hama dan penyakit, bebas dari bencana kekeringan, kebanjiran dan sengketa.

c) Unit SL-PTT, diusahakan agar berada dalam satu hamparan yang strategis dan mudah dijangkau petani.

d) Lokasi SL-PTT diberi papan nama sebagai tanda lokasi pelaksanaan SL/LL.

(22)

Selain lokasi penentuan calon petani/kelompoktani SL-PTT memiliki beberapa aspek yang harus diperhatikan, seperti:

a) Kelompoktani/petani yang dinamis dan bertempat tinggal dalam satu wilayah yang berdekatan dan diusulkan oleh Kepala Desa dan atau Penyuluh.

b) Petani yang dipilih adalah petani aktif yang memiliki lahan ataupun penggarap/penyewa dan mau menerima teknologi baru.

c) Bersedia mengikuti seluruh rangkaian kegiatan SL-PTT.

d) Kelompoktani SL-PTT ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan/yang membidangi tanaman pangan Kabupaten/Kota.

Adapun ketentuan pelaksana SL-PTT sebagai berikut :

1) Lokasi SL-PTT diusahakan berada pada satu hamparan, mempunyai potensi peningkatan produktivitas dan IP, serta anggota

kelompoktaninya responsif terhadap penerapan teknologi.

2) Luas satu unit SL-PTT padi non hibrida adalah ± 25 ha yang didalamnya terdapat satu unit LL seluas minimal 1 ha.

3) Luas satu unit SL-PTT padi hibrida adalah ± 10 ha yang didalamnya terdapat satu unit LL seluas minimal 1 ha.

4) Luas satu unit SL-PTT padi gogo adalah ± 25 ha yang didalamnya terdapat satu unit LL seluas minimal 1 ha, namun jika keadaan tidak memungkinkan untuk SL-PTT padi gogo luasan satu unit SL 25 Ha dapat ditempatkan dalam beberapa lokasi masing-masing minimal 5

(23)

5) Luas satu unit SL-PTT Spesifik Lokasi padi non hibrida Peningkatan Produktivitas dan IP adalah ± 25 ha yang keseluruhannya merupakan lokasi LL.

6) Luas satu unit SL-PTT Spesifik Lokasi padi hibrida peningkatan Produktivitas adalah ± 10 ha yang keseluruhannya merupakan lokasi LL.

7) Luas satu unit SL-PTT diatas (poin 2 s/d 7) dapat disesuaikan pada kondisi luasan setempat, dengan ketentuan :

a. Luasan setiap unit SL-PTT bisa bervariasi disesuaikan dengan kondisi setempat namun total luasan dan unit SL-PTT tidak boleh kurang dari yang dibiayai.

b. Total luasan dan unit SL-PTT bisa lebih dari yang dibiayai. Kelebihan luasan ataupun unit SL-PTT ditanggung anggaran lain ataupun swadana petani.

c. Khusus untuk SL-PTT Reguler, Luas areal LL bisa lebih dari 1 ha apabila dananya masih memungkinkan tetapi tidak boleh kurang dari 1 ha.

8) Peserta tiap unit SL-PTT idealnya terdiri dari 15–25 petani yang

berasal dari satu kelompoktani yang sama, namun jumlah peserta dapat dengan luas pemilikan lahan serta situasi dan kondisi setempat.

(24)

Kelompok tani pelaksana SL-PTT dipilih berdasarkan syarat-syarat berikut ini:

1) Kelompoktani tersebut masih aktif dan mempunyai kepengurusan yang lengkap yaitu Ketua, Sekretaris dan Bendahara.

2) Telah menyusun RUK.

3) Kelompoktani penerima bantuan SL-PTT reguler dan SL-PTT spesifik lokasi ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota.

4) Memiliki rekening yang masih berlaku/masih aktif di Bank

Pemerintah (BUMN atau BUMD/ Bank Daerah) yang terdekat dan bagi kelompoktani yang belum memiliki, harus membuka rekening di bank.

5) Rekening bank dapat berupa rekening bank setiap kelompoktani ataupun rekening bank gabungan kelompoktani (gapoktan). Jika menggunakan rekening gapoktan mekanisme pengaturan antar kelompoktani dan jumlah kelompok yang digabung rekeningnya ditentukan dan disesuaikan dengan kondisi kabupaten setempat serta diatur lebih lanjut oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang

bersangkutan.

6) Membuat surat pernyataan bersedia dan sanggup menggunakan dana bantuan SL-PTT sesuai peruntukannya dan sanggup mengembalikan dana apabila tidak sesuai peruntukannya.

(25)

8) Bersedia mengikuti seluruh rangkaian kegiatan SL-PTT. (Kementerian Pertanian, 2011)

2. Kebijakan Harga Output

Kebijakan harga merupakan salah satu kebijakan yang terpenting di banyak negara dan biasanya digabung dengan kebijakan pendapatan, sehingga disebut dengan kebijakan harga dan pendapatan (price and income policy). Dari segi harga, kebijakan ini bertujuan untuk

mengadakan stabilisasi harga, sedangkan dari segi pendapatan bertujuan

agar pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi dari musim ke musim dan dari tahun ke tahun. Kebijakan harga dapat mengandung pemberian suatu penyangga atas harga-harga hasil pertanian supaya tidak terlalu merugikan petani atau langsung mengandung sejumlah subsidi tertentu bagi petani (Mubyarto, 1989).

Mubyarto (1989) menyatakan bahwa secara teoritis, kebijakan harga dapat dipakai untuk mencapai tiga tujuan, yaitu : (1) stabilisasi harga hasil --hasil pertanian terutama pada tingkat petani, (2) meningkatkan pendapatan petani melalui perbaikan dasar tukar (term of trade), dan (3) memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi. Kebijakan harga di Indonesia ditekankan pada tujuan yang pertama.

(26)

dimana jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan) tidak akan berpengaruh, karena titikekuilibrium tetap bisa dicapai dan akan tetap konsisten dengan harga dasar yang resmi. Akan tetapi jika harga dasar ditetapkan lebih tinggi dari harga ekuilibrium, harga dasar ini akan mengikat atau efektif.

Penetapan harga dasar tersebut pada awalnya mengikuti rumus tani yaitu dengan perbandingan harga 1 kg padi dengan 1 kg pupuk urea, kemudian tahun 1972-1973 penetapan harga diubah dengan IBCR (Incremental

Benefit Cost Ratio) sehingga dapat memberi peluang ikutnya teknologi lain selain pupuk untuk dihitung dalam penetapan harga dasar.

Berdasarkan Inpres RI No.13 Tahun 2012 tentang kebijakan pengadaan gabah/beras dan penyaluran beras oleh pemerintah maka harga pembelian pemerintah untuk gabah/beras dalam negeri adalah sebagai berikut:

1. Harga Pembelian Gabah Kering Panen dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 25% (dua puluh lima perseratus) dan kadar hampa/kotoran maksimum 10% (sepuluh perseratus) adalah Rp 3.300 (tiga ribu tiga ratus rupiah) per kilogram di petani, atau Rp 3.350 (tiga ribu tiga ratus lima puluh rupiah) per kilogram di penggilingan

2. Harga Pembelian Gabah Kering Giling dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 14% (empat belas perseratus) dan kadar

(27)

penggilingan, atau Rp 4.200 (empat ribu dua ratus rupiah) per kilogram di gudang Perum BULOG

3. Harga Pembelian Beras dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 14% (empat belas perseratus), butir patah maksimum 20% (dua puluh perseratus), kadar menir maksimum 2% (dua perseratus) dan derajat sosoh minimum 95% (sembilan puluh lima perseratus) adalah Rp 6.600 (enam ribu enam ratus rupiah) per kilogram di

gudang Perum BULOG.

3. Kebijakan Subsidi

Subsidi adalah salah satu bentuk pengeluaran pemerintah yang juga diartikan sebagai pajak negatif yang akan menambah pendapatan mereka yang menerima subsidi atau mengalami peningktan rill apabila mereka mengkonsumsi atau membeli barang-barang yang disubsidi pemerintah dengan harga jual yang rendah (Suparmoko, 2003 dalam Zulkarnain, 2010). Pupuk merupakan salah satu komponen dalam struktur biaya usahatani, pemerintah mulai memberikan subsidi harga pupuk sejak tahun

(28)

Input pupuk merupakan komponen pengeluaran biaya usahatani yang terbesar setelah tenaga kerja dan benih. Penghapusan subsidi pupuk mempunyai konsekuensi terhadap perubahan harga pupuk di tingkat petani. Perubahan harga pupuk akan mempengaruhi struktur biaya usahatani tanaman pertanian dalam hal ini padi. Dengan mengasumsikan faktor lain tetap, kenaikan harga pupuk akan menyebabkan permintaan pupuk petani menurun. Namum demikian, hal ini masih tergantung dari faktor lainnya yaitu apakah kenaikan harga pupuk ini diikuti oleh kenaikan harga tanaman padi. Penghapusan subsidi pupuk akan mengakibatkan harga pupuk di tingkat petani meningkat dan berpengaruh terhadap produksi padi.

Sejak Repelita I pemerintah telah memberikan subsidi pupuk. Dengan adanya subsidi tersebut harga pupuk menjadi lebih rendah dari harga ekonominya. Krisis ekonomi yang berkepanjangan berakibat menurunnya penerimaan negara sehingga mengharuskan pemerintah untuk mengurangi pengeluaran pemerintah. Guna mengurangi beban anggaran, pemerintah mengumumkan Paket Kebijakan Desember 1998 yang antara lain meliputi

(29)

berkompetisi secara sehat; dan (5) menghapus kuota ekspor dan kontrol pada impor pupuk (Sudaryanto, 2001 dalam Zulkarnain, 2010).

Terdapat beberapa alasan dari penghapusan subsidi pupuk antara lain: (1) penghapusan subsidi pupuk secara total telah berdampak positif terhadap struktur aplikasi penggunaan berbagai jenis pupuk (penggunaan berimbang) dimana penggunaan urea dan TSP menurun, sebaliknya penggunaan jenis pupuk lain meningkat; (2) alokasi penggunaan pupuk yang cenderung berimbang berdampak positif terhadap produkivitas padi (Nurmanaf dan Darwis, 2004). Secara makro kebijakan penghapusan subsidi pupuk merupakan upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana pembangunan, akan tetapi kenaikan harga pupuk sebagai akibat penghapusan subsidi tersebut diharapkan dapat menjadi dorongan pada petani agar dapat menggunakan pupuk secara lebih efisien. Penggunaan pupuk yang semakin efisien merupakan inovasi baru yang menjanjikan keuntungan, karena mendorong petani untuk berupaya membiayai input usahataninya sendiri (Darmawan et al, 1995 dalam Nurmanaf dan Darwis, 2004).

4. Teori daya saing

(30)

dalam memproduksi kedua komoditas jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam memproduksi komoditas ekspor yang mempunyai kerugian absolut lebih kecil. Dipihak lain negara terebut sebaliknya akan mengimpor komoditas yang mempunyai kerugian absolut lebih besar (Salvatore, 1997 dalam Pakpahan, 2005).

Konsep daya saing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang diperkenalkan oleh Ricardo pada tahun 1823, yang selanjutnya dikenal dengan Model Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law of Comparative Advantage). Ricardo menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien dibandingkan negara lain dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan

perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki

kerugian absolut lebih besar atau memiliki kerugian komparatif (Salvatore, 1997 dalam Pakpahan, 2005).

(31)

kedua terbaik yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumber daya yang cukup untuk memperoleh satu unit tambahan komoditas pertama.

Menurut Simatupang (1991) dalam Zulkarnain (2010), konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial dalam arti daya saing akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali, komoditas yang memiliki keunggulan komparatif (efisiensi secara ekonomi). Keunggulan komparatif menggambarkan efisiensi penggunaan sumberdaya untuk memproduksi suatu produk tertentu yang diukur pada kondisi perdagangan internasional. Asumsi perekonomian yang tidak mengalami hambatan atau distorsi sama sekali sulit ditemukan pada dunia nyata, khususnya di Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang. Oleh karena itu, keunggulan komparatif tidak dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur keuntungan suatu aktivitas ekonomi dari sudut pandang badan atau orang-orang yang berkepentingan langsung dalam suatu proyek. Konsep yang lebih cocok untuk mngukur kelayakan secara finansial adalah keuntungan kompetitif.

(32)

ekonomi (produksi) pada kondisi ekonomi aktual atau pada suatu perusahaan individu.

Konsep keunggulan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh Porter pada tahun 1980 bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Porter menyatakan bahwa keunggulan perdagangan antara negara dengan negara lain di dalam perdagangan internasional secara fisik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada. Keunggulan kompetitif dapat dicapai dan dipertahankan dalam suatu sub sektor tertentu di suatu negara, dengan meningkatkan produktivitas penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang ada (Warr, 1994 dalam Suryana, 1995). Menurut Asia Development Bank (1993) dalam Suryana (1995), menyatakan bahwa di bawah asumsi adanya sistem pemasaran dan intervensi pemerintah, maka suatu negara akan dapat bersaing di pasar internasional jika negara tersebut mempunyai keunggulan kompetitif

dalam menghasilkan suatu komoditas. Dengan demikian, keunggulan kompetitif mulai digunakan sebagai alat ukur kelayakan suatu aktivitas berdasarkan keuntungan privat yang dihitung atas harga pasar dan nilai uang resmi yang berlaku.

(33)

menganalisis secara finansial berdasarkan harga pasar dari faktor input dan output pada kondisi pasar terdistorsi.

Suatu komoditas dapat mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif sekaligus, berarti komoditas tersebut menguntungkan untuk diproduksi atau diusahakan dan dapat bersaing di pasar internasional. Apabila komoditas yang diproduksi di suatu negara hanya mempunyai keunggulan komparatif namun tidak memiliki keunggulan kompetitif, maka di negara tersebut dapat diasumsikan terjadi distorsi pasar atau terdapat hambatan-hambatan yang mengganggu kegiatan produksi sehingga merugikan produsen seperti prosedur administrasi, perpajakan, dan lain-lain. Untuk itu pemerintah perlu melakukan deregulasi yang dapat menghilangkan hambatan (distorsi pasar tersebut). Bila suatu komoditas hanya memiliki keunggulan kompetitif dan tidak memilki keunggulan komparatif, maka kondisi ini akan terjadi apabila pemerintah memberikan proteksi terhadap komoditas tersebut, seperti melalui jaminan harga, kemudahan perizinan, dan kemudahan fasilitas lainnya (Sudaryanto, et al 1993).

5. KonsepPolicy Analisys Matrix(PAM)

Policy Analysis Matrix (PAM)digunakan untuk menganalisis secara menyeluruh dan konsisten terhadap kebijakan mengenai penerimaan, biaya usahatani, tingkat perbedaan pasar, sistem pertanian, investasi pertanian, dan efisiensi ekonomi. Metode PAM mempunyai 3 tujuan utama, yaitu pertama, memberikan informasi dan analisis untuk membantu

(34)

sentral sebagai berikut; Pertama, apakah sebuah sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada (apakah petani, pedagang, dan pengolah mendapatkan keuntungan pada tingkat harga aktual. Kedua, dampak investasi publik dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Ketiga, dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Tujuan kedua dari analisis PAM ialah menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani yang dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisien (social opportunity costs). Dan tujuan yang ketiga ialah menghitung

transfer effects, sebagai dampak dari sebuah kebijakan.

Matrik PAM terdiri dari dua identitas yaitu identitas tingkat keuntungan (profittability) dan identitas penyimpangan (divergences identity). Identitas keuntungan ada dua yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Keuntungan privat merupakan selisih antara penerimaan dan biaya yang dihitung berdasarkan harga privat. Perhitungan keuntungan privat dari data usahatani dan pengolahan hasil dilakukan untuk mengukur daya saing. Keuntungan sosial sama dengan keuntungan privat, perbedaannya hanya terletak pada dasar penggunaan harga yaitu harga sosial atau

ekonomi. Identitas penyimpangan timbul karena adanya distorsi kebijakan atau kegagalan pasar (market failure), pasar dikatakan gagal apabila tidak mampu menciptakan harga yang kompetitif yang dapat mencerminkan

(35)

Beberapa analisis yang dapat dijelaskan berdasarkan Matrik PAM yang disarikan dari Monke dan Pearson (1995) adalah :

(1) Kebijakan terhadap input

Kebijakan padainput tradabledapat berupa pajak, subsidi, dan hambatan perdagangan. Dampak kebijakan tersebut dapat dijelaskan melalui IT (Input Transfer), NPCI (Nominal Protection On Input) dan TF (Transfer Faktor).

Input Transfer (IT) merupakan selisih antara biayainput tradable privat dengan biaya input tradablesosial. Nilai IT menunjukkan kebijakan pemerintah yang diterapkan padainput tradable privat dan sosial. Nilai IT negatif menunjukkan kebijakan pemerintah memberikan subsidi pada

input tradable, subsidi yang diberikan pemerintah menyebabkan

keuntungan yang diterima secara privat lebih kecil dibandingkan jika tanpa adanya kebijkan, hal sebaliknya akan terjadi jika IT bernilai positif.

Koefisien proteksi input nominal (NPCI) adalah rasio biayainput tradable

berdasarkan harga privat dan biayainput tradableberdasarkan harga sosial. Perbedaan antara kedua biaya tersebut menunjukkan adanya proteksi pemerintah yang mengakibatkan harga privat input tradable

(36)

Kebijakan terhadap input non tradable dapat dilihat dari Transfer Faktor (FT) adalah nilai perbedaan harga input non tradable privat dengan harga

input non tradable sosial yang diterima oleh produsen. Campur tangan pemerintah terhadap input non tradabledilakukan dalam bentuk kebijakan subsidi atau pajak, karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi didalam negeri, sehingga intervensi pemerintah berupa hambatan perdagangan tidak tampak. Nilai FT > 0, mengandung arti bahwa ada transfer dari petani produsen kepada produsen input non

tradeable, hal sebaliknya akan terjadi jika FT < 0.

(2) Kebijakan terhadap output

Kebijakan terhadap output akan menyebabkan harga bayangan barang, jumlah barang, surplus konsumen dan surplus produsen berubah, hal ini dapat dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (OT) danNominal Protection Coefficient on Output (NPCO). Transfer Output merupakan selisih antara penerimaan privat (finansial) dengan penerimaan sosial (ekonomi).

Transfer Output (OT) menunjukkan kebijakan yang diterapkan pada output mengakibatkan harga output privat dan harga output sosial berbeda. Nilai OT positif menunjukkan besarnya insentif masyarakat atau

(37)

Koefisien proteksi output nominal (NPCO) adalah harga privat dibagi dengan harga sosial yang dapat dibandingkan. NPCO dapat digunakan untuk mengukur dampak insentif kebijakan pemerintah yang

menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output yang diukur dengan harga privat dan harga sosial. Nilai NPCO < 1 menunjukkan bahwa akibat kebijakan pemerintah, harga privat lebih kecil dari harga sosial sehingga dapat dikatakan bahwa produsen output memberikan transfer kepada pemerintah.

(3) Kebijakan tehadap input-output

Dampak kebijakan secara keseluruhan terhadap input-output dilihat dari nilai Koefisien Proteksi Efektif (EFC), Transfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi Produsen (SRP). Analisis EFC tidak memperhitungkan dampak kebijakan yang mempengaruhi hargainput non tradable, sedangkan NT, PC, dan SRP memperhitungkan dampak

kebijakan terhadap harga input tradable dannon tradable.

Koefisien Proteksi (EPC) adalah analisis gabungan koefisien proteksi output (NPCO) dengan koefisien proteksi input nominal (NPCI). Nilai EPC menggambarkan arah kebijakan pemerintah terhadap input tradable

apakah bersifat melindungi atau menghambat produksi secara efektif. Nilai EFC merupakan rasio perbedaan antara penerimaan dan biaya input

(38)

menunjukkan bahwa keuntungan privat lebih besar daripada tanpa kebijakan, yang berarti kebijakan yang ada memberikan insentif untuk berproduksi. Sedangkan EFC < 1 berarti kebijakan pemerintah menghambat produksi.

Nilai Transfer Bersih (NT) dapat digunakan untuk melihat

ketidakefisienan dalam sistem pertanian. NT adalah selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan

keuntungan bersih sosial. Nilai NT juga menggambarkan selisih antara

transfer output dengan transfer input dan transfer faktor. Jika nilai NT > 0 maka nilai tersebut menunjukkan tambahan surplus produsen yang

disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang dilakukan pada input dan output. Jika nilai NT < 0 maka yang terjadi adalah sebaliknya.

Koefisien Keuntungan (PC) adalah perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial. Nilai PC <1 menunjukkan

kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima produsen lebih kecil bila dibandingkan tanpa ada kebijakan, artinya produsen harus mengeluarkan sejumlah dana kepada masyarakat atau konsumen. Jika nilai PC < 1 maka yang terjadi adalah sebaliknya.

(39)

dari biaya imbangan untuk berproduksi. Jika nilai SRP positif maka yang terjadi adalah sebaliknya.

Menurut Monke dan Pearson (1995) ada tiga bahasan pokok yang dapat dijelaskan melalui pendekatan PAM, yaitu;

1) PAM dapat digunakan untuk mengukur dampak kebijakan terhadap tingkat persaingan pada berbagai tingkat keuntungan (finansial dan ekonomi), pengaruh efisiensi ekonomi dan keunggulan komperatif terhadap kebijakan investasi dan efek dari perubahan teknologi terhadap pengembangan pertanian.

2) Efisiensi ekonomi atau keunggulan komparatif dalam investasi pertanian berdasarkan kesesuaian atau keunggulan teknologi dan kondisi alam (agroklimat). Berdasarkan keunggulan tersebut kebijakan penggunaan sumberdaya alam layak atau tidak

dikembangkan melalui investasi dalam negeri atau luar negeri. Daya tarik investasi akan berdampak kepada peningkatan efisiensi dan percepatan pertumbuhan pendapatan nasional.

3) PAM erat kaitannya dengan rangkaian persoalan atau masalah, dalam pengalokasian dana penelitian atau riset dibidang pertanian. Dengan PAM seorang peneliti dapat menentukan kebijakan utama terhadap peningkatan produksi pertanian dan mengurangi biaya sosial atau peningkatan keuntungan.

(40)

1) Mengidentifikasikan input yang digunakan dan output yang dihasilkan dalam kegiatan yang akan dianalisis (evaluation of input and output ).

2) Memisahkan seluruh biaya kegiatan tersebut ke dalam komponen domestik dan asing atautradabledannon tradable (disaggregating input cost into domestic faktor and tradable input component). 3) Menetukan harga pasar dan menakir harga bayangan input dan output

(estimating private and social prices).

Perhitungan model PAM dilakukan melalui analisis matriks, dimana baris pertama adalah perhitungan berdasarkan harga privat atau harga setelah kebijakan. Baris ke dua adalah perhitungan berdasarkan harga sosial dan baris ke tiga merupakan selisih antara harga privat atau harga sosial yang menunjukkan adanya kebijakan terhadap input dan output, yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Policy Analysis Matrix (PAM)

Harga Privat

Sumber : Monke dan Pearson, 1995 Keterangan :

Pendapatan Privat (D) = A-(B+C)

Pendapatan Sosial (H) = E-(F+G)

Transfer Output (OT) (I) = A-E

Transfer Input Tradable/Input (IT) (J) = B-F Transfer Input non Tradable (FT) K) = C-G

Transfer Bersih (NT) (L) = D-H

(41)

Rasio BSD (DRCR) = G/(E-F) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A/E Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) = B/F

Koefisien Proteksi Efektif (EPC) = (A-B)/(E-F)

Koefisien Keuntungan (PC) = D/H

Rasio Subsidi Bagi Produsen = L/E

6. Keunggulan Kompetitif dan Keunggulan Komparatif

Konsep keunggulan kompetitif (Relieved Competitive advantage) digunakan untuk mengukur kebijakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku atau berdasarkan analisis finansial. Suatu negara akan menghasilkan komoditi yang memilki keunggulan kompetitif apabila biaya produksi komparatif, bermutu, berdesain, dan berkemampuan.

Keunggulan kompetitif timbul didasarkan pada kenyataan bahwa

perekonomian yang tidak mengalami distorsi sulit sekali ditemui di dunia nyata, yang menyebabkan keunggulan komparatif tidak dapat digunakan untuk mengukur daya saing suatu kegiatan ekonomi pada kondisi perekonomian aktual. Keunggulan kompetitif bukan merupakan konsep yang sifatnya menggantikan konsep keunggulan komparatif, tetapi merupakan konsep yang bersifatnya melengkapi (Warr, 1994 dalam Hartati, 2001).

Dalam matrik PAM keunggulan kompetitif diterangkan melalui PCR atau

(42)

Keunggulan komparatif adalah kondisi pasar persaingan sempurna baik untuk pasar input maupun pasar output. Keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing potensial yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Keunggulan komperatif dapat digunakan membandingkan beragam kegiatan ekonomi (produksi) di dalam negara terhadap perdaganagan dunia (Gray et al, 1986).

Keunggulan komparatif suatu komoditi diukur berdasarkan harga sosial atau berdasarkan analisis ekonomi yang akan menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya dari unsur biaya maupun hasil. Dengan demikian suatu komoditi yang memiliki keunggulan komparatif menunjukkan bahwa kegiatan dalam menghasilkan komoditi tersebut efisien secara ekonomi.

Konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Konsep keunggulan komparatif dianggap menpunyai dua aplikasi yang berbeda yaitu; (1) sebagai dasar untuk menjelaskan pola spesialisasi internasional dalam produksi dan perdagangan, (2) sebagai petunjuk pemerintah dalam menentukan kebijaksanaan yang berhubungan dengan sumber-sumber dan perdagangan. Dalam matrik PAM keunggulan komparatif diterangkan melalui Domestic Resources Cost Ratio (DRCR)

(43)

output atau selisih antara penerimaan ekonomi dengan input asing ekonomi.

7. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Budi Iriana (2005), meneliti tentang Analisis Dampak Kebijakan Tarif Impor Beras Terhadap Daya Saing dan Profitabilitas Usahatani Padi Sawah di Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan periode 2002-2003. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk Menganalisis dampak kebijakan tarif impor beras terhadap dayasaing dan profitabilitas usahatani padi yang difokuskan pada komoditas padi sawah di propinsi Jawa

Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan Periode 2002-2003. Hasil yang didapat adalah Kebijakan tarif impor beras yang telah diimplementasikan sejak tahun 2000 hingga saat ini memberikan dampak positif terhadap peningkatan daya saing dan profitabilitas usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada periode 2002-2003.

Desliana (2005), melakukan penelitian tentang analisis daya saing dan efesiensi usahatani padi organik di Propinsi Lampung. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui dampak kebijakan padi organik terhadap usahatani padi organik dan mengetahui daya saing dan efisiensi usahatani padi organik di Propinsi Lampung. Hasil penelitian

(44)

terhadap perubahan harga output, biaya pupuk kandang, biaya tenaga kerja, dan biaya sewa lahan.

Makarim dkk (2006), meneliti tentang peningkatan produktivitas padi pada lahan sawah tadah hujan melalui pengelolaan tanaman terpadu. Tujuan

dari penelitian tersebut adalah mendapatkan model usahatani berbasis padi yang optimal (hasil tinggi, menguntungkan, dan input sesuai kemampuan petani) pada lahan sawah tadah hujan di wilayah sumber daya rendah. Hasil dari penelitian tersebut adalah pada lahan sawah tadah hujan dengan pola tanam padi gogorancah - padi walik jerami, perbaikan cara budi daya dengan (1) penggunaan varietas introduksi Situ Patenggang untuk sistem gogorancah dan Fatmawati untuk sistem walik jerami, (2) jarak tanam legowo 2:1, (3) pupuk organik 2 t/ha, dan (4) pemberian pupuk N berdasarkan BWD dengan takaran 120 kg N/ha (267 kg urea/ha), 36 kg P2O5/ha (100 kg SP36/ha) dan 60 kg K2O/ha (100 kg KCl/ha).

Malia, dkk (2008), meneliti tentang kelayakan usahatani padi sawah melalui penerapan PTT dengan penekanan pada optimalisasi bahan organik di Sulawesi Utara. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk Mengetahui kelayakan teknis dan finansial usahatani padi berbasis bahan organik yang tersedia di lokasi usahatani. Hasil dari penelitian

(45)

Rohman (2008), meneliti tentang analisis daya saing beras pandan wangi dan varietas unggul baru (Oryza sativa) (Kasus Desa Bunikasih

Kecamatan Warungkondang Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani padi Pandan Wangi dan Varietas Unggul Baru di Desa Bunikasih, Kecamatan Warung kondang, Kabupaten Cianjur dan juga menganalisis daya saing usahatani padi pandan wangi dan varietas unggul baru akibat adanya perubahan variabel penerimaan dan variabel biaya di Desa Bunikasih, Kecamatan

Warungkondang, Kabupaten Cianjur. Hasil yang didapat adalah 1.

Pengusahaan beras Pandan Wangi dan beras Varietas Unggul Baru di desa Bunikasih Kecamatan Warungkondang Kabupaten Cianjur memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Pengusahaan kedua komoditi tersebut memberikan keuntungan baik secara finansial dan ekonomi. Hasil analisis sensitivitas berdasarkan perubahan 16 persen pada masing-masing variabel, menunjukan bahwa pengusahaan kedua komoditi beras yang dianalisis lebih peka terhadap perubahan harga jual output, terutama jika terjadi penurunan harga.

(46)

Marsudi, (2010), meneliti tentang evaluasi petani peserta program sekolah lapangan pengelolaan tanaman terpadu (SLPTT) padi di Kabupaten Ngawi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat perbedaan efisiensi dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terhadap produksi dan pendapatan usahatani padi sebelum dan sesudah pelaksanaan Program SL-PTT padi di Kabupaten Ngawi. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat efisiensi usahatani sebelum dan sesudah penerapan program SL-PTT padi terlihat dari perbandingan R/C sebelum SL-PTT adalah sebesar 1,56, sedangkan setelah SL-PTT adalah sebesar 1,88. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi berbeda antara sebelum dan sesudah penerapan program SL-PTT padi. Penggunaan benih unggul, pestisida dan keikutsertaan petani dalam program SL-PTT

berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi padi. Penggunaan pupuk, tenaga kerja (pengendalian gulma) dan biaya lain-lain (sewa lahan, biaya pengairan, pajak dan iuran) penggunaannya (khususnya pengairan) sudah tidak efisien lagi sehingga berpengaruh negatif.

(47)

harga output dan tidak ada kepekaan terhadap perubahan harga input. Hal ini dapat dilihat dari nilai elastisitas PCR dan DRCR untuk harga output yang bernilai lebih dari satu dan harga input kurang dari satu.

Dewi, (2011) meneliti tentang dampak kebijakan subsidi pupuk terhadap keunggulan kompetitif dan tingkat keuntungan usahatani padi di

Kabupaten Tabanan (pendekatan metode policy analysis matrix-PAM). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keunggulan kompetitif usahatani padi sawah sebagai dampak dari subsidi pupuk di Kabupaten Tabanan dan menganalisis tingkat keuntungan usahatani padi sawah sebagai dampak dari akibat adanya subsisi pupuk di Kabupaten Tabanan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif pada musim kemarau dan musim hujan. Tingkat keuntungan finansial usahatani padi sawah pada musim kemarau di Kabupaten Tabanan sebesar Rp 5.625.704,23/ha dengan nilai PBCR = 1,40,

sedangkan keuntungan finansial usahatani padi sawah pada musim hujan sebesar Rp 5.802.663,42/ha dengan nilai PBCR = 1,39, atau terjadi perbedaan keuntungan relatif tipis yakni sebesar 3,15 %. Sedangkan keuntungan ekonomi usahatani padi sawah pada musim kemarau sebesar Rp 3.052.706,47/ha dan musim hujan sebesar Rp 1.234.146,40/ha, dengan nilai SBCR masing-masing 1,28 dan 1,08.

(48)

Mengetahui tingkat adopsi teknologi SLPTT dan dampak SLPTT terhadap pendapatan petani padi di Kecamatan Tayu Kabupaten Pati Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa komponen teknologi seperti bibit muda, sistem tanam, pemupukan N berdasarkan tingkat kehijauan warna daun, pemupukan organik, pengairan berselang dan pengendalian gulma masuk dalam kategori adopsi sedang artinya adopsi teknologi belum maksimal. Kedepan penyuluh Sekolah Lapang Pengelolaan

Tanaman Terpadu (SLPTT) harus mencari metode pendekatan penyuluhan yang lebih baik lagi agar semua komponen teknologi terserap secara maksimal.

Rahmawati (2011), melakukan penelitian tentang evaluasi program sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SL-PTT) padi di Kabupaten Bantaeng. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimana proses dan mekanisme implementasi program Sekolah Lapang

(49)

Sekolah Lapang PTT, pelaksanaannya kurang baik. Perubahan sikap terhadap tingkat pengetahuan, keterampilan dan sikap responden setelah intens mengikuti Sekolah Lapang PTT padi sebanyak 8 kali pertemuan, dikatakan efektif dalam upaya percepatan adopsi inovasi PTT padi.

Laksmi, dkk (2012), menganalisis tentang efisiensi usahatani padi sawah (studi kasus di Subak Guama, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan). Tujuan dari penelitian ini adalah Menganalisis efisiensi usahatani padi sawah di Subak Guama Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil analisis efisiensi penggunaan input usahatani padi sawah di Subak Guama, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan pada satu musim tanam dari bulan Maret-Juni 2011 menunjukkan bahwa input pupuk Urea, pupuk NPK (Phosnka dan Pelangi), pupuk organik dan tenaga kerja sudah efisien, sedangkan secara ekonomis penggunaan pestisida tidak efisien, maka perlu mengurangi jumlah penggunaan secara tepat jenis, dosis, waktu dan cara pemberian sehingga menghasilkan produksi padi yang optimal dan petani memperoleh keuntungan yang maksimum.

Sugiarti (2012) menganalisis tentang keunggulan komparatif dan kompetitif produksi padi dengan metode sistem intensifikasi padi di Propinsi Lampung. Tujuan dari penelitian tersebut adalah mengetahui apakah Propinsi Lampung memeiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam produksi padi dengan metode system of rice

(50)

harga output dan harga input terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif dalam produksi padi dengan metode system of rice

intensification (SRI). Hasil dari penelitian tersebut adalah usahatani padi dengan metode system of rice intensification (SRI) di Propinsi Lampung memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani padi dengan metode system of rice intensification

(SRI) di Propinsi Lampung peka terhadap perubahan harga output pada harga privat dan pada harga sosial. Kenaikan atau penurunan dari harga output akan mempengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani padi dengan metode SRI di Propinsi Lampung.

Hutapea (2012), menganalisis tentang efisiensi usahatani dengan

pelaksanaan sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu padi (Kasus di Desa Pagarsari Kecamatan Purwodadi Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan). Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk Membandingkan efisiensi usahatani padi akibat penerapan inovasi, biaya yang dikeluarkan, produksi dan pendapatan usahatani padi yang diperoleh sebelum

dan sesudah pelaksanaan SL-PTT Padi dan antara petani peserta dan bukan peserta SL-PTT Padi. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada musim tanam yang sama petani peserta lebih efisien dibandingkan dengan yang bukan peserta. Biaya pokok pokok untuk menghasilkan

(51)

B. Kerangka Pemikiran

Dalam rangka pembangunan pertanian, maka sumberdaya yang terbatas ketersediaannya harus dialokasikan seoptimal mungkin untuk kegiatan pertanian yang dapat menghasilkan produk-produk unggulan berdaya saing tinggi. Dalam lingkungan ekonomi dunia maupun domestik dapat

mempengaruhi ketersediaan dan harga pasar input dan output usahatani padi. Apabila ketersediaan input pasar terbatas atau tidak ada sama sekali, maka input dapat diperoleh dari impor atau perdagangan antar daerah, walaupun harga yang terbentuk lebih mahal.

Suatu negara akan sulit untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhannya tanpa bekerja sama dengan negara lain karena tidak semua sumberdaya yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang dapat diperoleh dari dalam negeri. Negara-negara yang akan melakukan perdagangan (trading)

mempunyai tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economic of scale) dalam produksi komoditas yang dihasilkannya. Hal ini berarti bahwa suatu negara akan cenderung memproduksi suatu komoditas dengan skala yang lebih besar dan efisien.

Proses produksi dalam rangka meningkatkan daya saing komoditas yang diandalkan tidak terlepas dari kemampuan sumberdaya domestik. Prinsip-prinsip efisiensi dalam penggunaan lahan, tenaga kerja, modal serta

(52)

komoditas yang mampu bersaing di pasar internasional akan mampu bersaing dan memberikan kontribusi bagi negara yaitu berupa devisa serta peningkatan kesejahteraan petani namun kesemuanya juga tergantung dari pihak

pemerintah berupa kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah.

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan suatu pendekatan inovatif dalam upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani melalui perbaikan sistem/pendekatan dalam perakitan paket teknologi yang sinergis antar komponen teknologi, dilakukan secara partisipatif oleh petani serta bersifat spesifik lokasi. Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) adalah suatu tempat pendidikan non formal bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengenali potensi, menyusun rencana usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis dan berwawasan lingkungan sehingga usahataninya menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan. Agar sasaran peningkatan produksi dapat tercapai maka penentuan areal SL-PTT diharapkan mengacu kepada daerah yang tingkat produktivitasnya masih rendah (di bawah produktivitas kabupaten) serta pada daerah yang masih berpeluang untuk ditingkatkan indeks pertanamannya (IP) dengan tetap melaksanakan prinsip-prinsip laboratorium lapangan. Berdasarkan persyaratan tersebut diatas, maka pelaksanaan SL-PTT dapat dibedakan menjadi:

(53)

memperhatikan aspek produktivitas serta Indeks Pertanaman (IP) yang memiliki potensi untuk ditingkatkan.

b) SL-PTT Spesifik Lokasi peningkatan produktivitas adalah seluruh areal SL-PTT mendapat dukungan sarana produksi lengkap pada areal yang produktivitasnya masih memiliki potensi untuk ditingkatkan.

c) SL-PTT Spesifik Lokasi peningkatan Indeks Pertanaman (IP) adalah seluruh areal SL-PTT mendapat dukungan sarana produksi lengkap pada areal yang indeks pertanamannya (IP) masih memiliki potensi untuk ditingkatkan.

Komponen teknologi unggulan PTT padi terdiri dari komponen teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan. Untuk komponen teknologi dasar terdiri dari: (1) Varietas unggul baru, inbrida (non hibrida), atau hibrida, (2) benih bermutu dan berlabel, (3) pemberian bahan organik melalui

pengembalian jerami ke sawah atau dalam bentuk kompos, (4) pengaturan populasi tanaman secara optimum, (5) pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah, (6) Pengendalian OPT (organisme

(54)

Menurut Departemen Pertanian (2012). Fokus utama peningkatan

produktivitas padi melalui SL-PTT adalah upaya pencapaian sasaran produksi padi tahun 2012 yang difokuskan pada kegiatan peningkatan produktivitas di kawasan areal tanam padi, yang terdiri dari: .SL-PTT padi sawah non hibrida dan hibrida.

a) SL-PTT padi sawah non hibrida Spesifikasi Lokasi Peningkatan IP seluas 14,75 ribu ha dengan melibatkan 590 kelompoktani/unit di 17 provinsi, 31 kabupaten/kota.

b) SL-PTT padi hibrida seluas 290.700 ha dengan melibatkan 29.000 kelompoktani/unit di 22 provinsi, 201 kabupaten/kota.

c) SL-PTT padi sawah hibrida Spesifikasi Lokasi Peningkatan

Produktivitas seluas 9.300 ha dengan melibatkan 930 kelompoktani/unit di 13 provinsi, 148 kabupaten/kota.

d) SL-PTT padi lahan kering seluas 500.000 ha dengan melibatkan 20.000 kelompoktani/unit di 30 provinsi, 262 kabupaten/kota.

(55)

Pertanian Produksi Padi

Sistem PTT Inovasi Teknologi Dasar:

• Varietas dan Benih Bermutu

• Pupuk Organik berdasarkan kebutuhan tanaman

• Pengaturan populasi tanaman

• PHT

• Pengelolaan pasca panen yang tepat Inovasi teknologi pilihan:

• Pengelolaan tanah sesuai musim dan pola tanam

• Penggunaan bibit muda

• Tanam bibit 1-3 batang per rumpun,

• Pengairan secara efektif dan efisien,

• Penyiangan dengan landak atau gasrok,

• Panen tepat waktu

Harga jual Harga Input

Produksi Padi

Total biaya usahatani Penerimaan

maka digunakan alat analisis PAM, dimana alat analisis ini merupakan alat analisis untuk mengukur tingkat keunggulan kompetitif dan komparatif serta kebijakan pemerintah terhadap input dan output, disamping itu juga

diperlukan analisis sensitivitas yang digunakan untuk mengukur elastisitas

dari input dan output yang digunakan dalam usahatani tersebut.

Perdagangan Internasional

Ekspor Impor Padi

Pembangunan Peningkatan Daya Saing dan

PAM

Daya saing padi sawah • Komparatif • Kompetitif

(56)

A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan

memperoleh laba yang mencukupi sehingga dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksi.

Usahatani padi sawah adalah suatu organisasi produksi komoditi padi sawah yang dilakukan dengan cara mengelola faktor-faktor produksi untuk

memperoleh penerimaan usahatani.

Petani padi sawah adalah semua petani yang berusahatani padi sawah dan memperoleh pendapatan dari usahataninya.

(57)

Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) adalah suatu tempat pendidikan non formal bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengenali potensi, menyusun rencana usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis dan berwawasan lingkungan sehingga usahataninya menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan.

Luas lahan adalah luas lahan yang digunakan untuk usahatani padi dan diukur dalam satuan hektar.

Produktivitas padi adalah jumlah padi yang dihasilkan permusim tanam oleh petani responden dalam satu hektar dan diukur dalam satuan ton per hektar.

Harga padi adalah harga jual padi yang diterima oleh petani dan diukur dalam satuan rupiah per kilogram.

Jumlah benih adalah jumlah benih padi yang digunakan petani untuk satu kali musim tanam yang diukur dalam satuan kilogram.

Harga benih padi adalah harga beli benih padi oleh petani padi dalam satu kali musim tanam dan diukur dalam satuan rupiah per kilogram.

Pupuk Urea adalah pupuk kimia yang mengandung Nitrogen (N) berkadar tinggi.

(58)

Harga pupuk urea adalah harga beli pupuk urea oleh petani padi dalam satu kali musim tanam dan diukur dalam satuan rupiah per kilogram.

Pupuk TSP adalah nutrient anorganik yang digunakan untuk memperbaiki hara tanah untuk pertanian.

Jumlah pupuk TSP adalah jumlah pupuk TSP yang digunakan petani untuk satu kali musim tanam yang diukur dalam satuan kilogram.

Harga pupuk TSP adalah harga beli pupuk TSP oleh petani padi dalam satu kali musim tanam dan diukur dalam satuan rupiah per kilogram.

Pupuk NPK adalah pupuk majemuk yang mengandung tiga unsur sekaligus (NPK).

Jumlah pupuk NPK adalah jumlah pupuk NPK yang digunakan petani untuk satu kali musim tanam yang diukur dalam satuan kilogram.

Harga pupuk NPK adalah harga beli pupuk NPK oleh petani padi dalam satu kali musim tanam dan diukur dalam satuan rupiah per kilogram.

Pupuk KCL adalah pupuk tunggal yang hanya mengandung unsur Kalium Clorida (KCL).

(59)

Harga pupuk KCL adalah harga beli pupuk KCL oleh petani padi dalam satu kali musim tanam dan diukur dalam satuan rupiah per kilogram.

Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan, antara lain pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos (humus) berbentuk padat yang telah mengalami dekomposisi.

Jumlah pupuk organik adalah jumlah pupuk organik yang digunakan petani untuk satu kali musim tanam yang diukur dalam satuan kilogram.

Harga pupuk organik adalah harga beli pupuk organik oleh petani padi dalam satu kali tanam dan diukur dalam satuan rupiah per kilogram.

Pestisida adalah bahan yang digunakan untuk mengendalikan, menolak, atau membasmi organisme pengganggu tanaman.

Harga pestisida adalah harga beli pestisida oleh petani padi dalam satu kali musim tanam dan diukur dalam satuan rupiah per liter.

Tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang ikut serta dalam usahatani padi dalam satu kali musim tanam dan diukur dalam satuan HOK (Hari Orang Kerja).

(60)

Biaya produksi padi sawah adalah seluruh biaya pemakaian faktor-faktor produksi yang dikeluarkan dalam usahatani padi sawah, secara tunai maupun yang diperhitungkan dalam satu musim tanam yang diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Biaya total adalah seluruh biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi, terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan dalam usahatani yang besar-kecilnya tidak tergantung dari output yang diperoleh, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Biaya variabel adalah biaya dalam proses produksi yang selalu berubah dengan berubahnya keluaran yang dihasilkan dan berhubungan langsung dengan jumlah produksi, merupakan biaya yang dipergunakan untuk

memperoleh faktor produksi berupa tenaga kerja, benih, pupuk, dan pestisida, diukur dalam satuan Rupiah (Rp).

Biaya tunai adalah jumlah uang yang dikeluarkan oleh petani secara tunai yang berupa biaya pembelian benih, pupuk, pestisida, upah tenaga kerja, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

(61)

Biaya penyusutan adalah biaya yang dikeluarkan akibat dari penggunaan peralatan (alat olah) yang diukur dalam satuan rupiah/tahun (Rp/thn) dikonversi ke per MT.

Penerimaan usahatani adalah penjualan total gabah kering panen yang diperoleh petani selama satu musim tanam (MH 2012/2013) sebagai hasil produksi, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Policy Analysis Matrixadalah suatu alat analisis efisiensi ekonomi dan finansial serta insentif intervensi pemerintah terhadap suatu komoditas.

Input tradableadalah sejumlah input yang diperdagangkan seperti pupuk dan pestisida sehingga memiliki harga pasar internasional.

Input non tradable adalah sejumlah input yang tidak diperdagangkan sehingga tidak memiliki harga pasar internasional seperti lahan dan tenaga kerja.

Biaya asing adalah kumpulan biaya tradabledalam usahatani, diukur dalam satuan rupiah (Rp.)

Biaya domestik adalah kumpulan biaya nontradable (lahan, tenaga kerja dan modal) dalam usahatani, diukur dalam satuan rupiah (Rp.)

(62)

Pendapatan finansial adalah selisih antara penerimaan usahatani dengan biaya total usahatani yang dihitung menggunakan harga privat, diukur dalam satuan rupiah (Rp.)

Pendapatan ekonomi adalah selisih antara penerimaan usahatani dengan biaya total usahatani yang dihitung dengan menggunakan harga sosial, diukur dalam satuan rupiah (Rp.)

Efek divergensi adalah selisih antara usahatani yang diukur dengan harga privat dengan usahatani yang diukur dengan harga sosial dan dihitung dalam satuan rupiah (Rp).

Harga privat adalah harga yang benar-benar dihadapi petani dalam penjualan hasil produksinya, diukur dalam satuan rupiah (Rp.)

Harga sosial adalah harga dunia atau harga internasional yang sesuai (harga c.i.f untuk komoditas yang diimpor dan harga f.o.b untuk komoditas yang diekspor) yang mewakili biaya imbangan sosial, diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Keunggulan kompetitif adalah keunggulan suatu komoditas yang dihasilkan dalam kegiatan produksi yang efisien sehingga memiliki daya saing di pasar lokal maupun internasional dan diukur berdasarkan harga privat atau finansial.

(63)

biaya untuk komoditas yang sama di daerah lain dan diukur berdasarkan harga ekonomi.

Analisis sensivitas merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui akibat dari perubahan parameter-parameter produksi terhadap perubahan kinerja sistem produksi dalam menghasilkan pendapatan.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Lampung Utara. Kabupaten Lampung Tengah dipilih karena merupakan sentra padi di Propinsi Lampung dengan sistem irigasi yang dibangun sejak zaman penjajahan Belanda dan dengan produktivitas di atas rata-rata Provinsi Lampung. Kabupaten Lampung Utara dipilih karena merupakan produsen padi dengan sistem iragasi yang dibangun zaman orde baru tahun 1980an dengan produktivitas padi di bawah rata-rata Propinsi Lampung yang

diharapkan terus berkembang untuk menjadi sentra padi di Propinsi Lampung. Lokasi penelitian untuk Kabupaten Lampung Tengah dilaksanakan di

Gambar

Tabel 1. Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas padi diIndonesia tahun 2007-2011
Tabel 2. Luas panen, produksi, dan produktivitas padi sawah per kabupaten diPropinsi Lampung, Tahun 2010
Tabel 3. Policy Analysis Matrix (PAM)
Gambar 1.Kerangka pemikiran daya saing padi sawah dengan sistem
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat Penerapan Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dalam Meningkatkan Produktivitas Padi Sawah di Kecamatan Moncongloe Kabupaten Maros. Penelitian ini

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pendapatan finansial dan ekonomi usahatani padi di Kabupaten Ponorogo, menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani

Di Indonesia laju peningkatan produktivitas tanaman padi sawah cenderung melandai. Sistem intensifikasi padi sawah yang selama ini diterapkan tidak dapat lagi diharapkan

Penerapan PTT pada padi sawah irigasi dengan cara tanam legowo dapat memberikan keuntungan dalam bentuk pendapatan dan hasil panen antara 20 - 30 % lebih

Berdasarkan struktur biaya usahatani padi sawah baik pada MH maupun MK pada petani SL-PTT maupun non SL- PTT ada beberapa temuan yang sejalan dengan hasil penelitian Nurasa

Variabel yang secara konsisten berpengaruh terhadap pendapatan usahatani padi sawah, baik terhadap petani SLPTT ataupun non SLPTT adalah luas lahan, harga pupuk N, status lahan dan

Pendekatan model PTT padi sawah dengan menerapkan komponen- komponen teknologi budidaya sinergis mampu meningkatkan produktivitas usahatani padi berupa peningkatan

Berdasarkan struktur biaya usahatani padi sawah baik pada MH maupun MK pada petani alumni PTT maupun bukan alumni PTT ada beberapa temuan yang sejalan dengan hasil