• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sintesis dan aplikasi kitoson dari cangkang rajungan (portunus pelagicus) sebagai penyerap ION besi(Fe) dan Mangan (Mn) untuk pemurnian natrium silikat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sintesis dan aplikasi kitoson dari cangkang rajungan (portunus pelagicus) sebagai penyerap ION besi(Fe) dan Mangan (Mn) untuk pemurnian natrium silikat"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

SINTESIS DAN APLIKASI KITOSAN DARI CANGKANG

RAJUNGAN (

Portunus pelagicus

) SEBAGAI PENYERAP

ION BESI (Fe) DAN MANGAN (Mn) UNTUK PEMURNIAN

NATRIUM SILIKAT

PIPIT PITRIANI

   

         

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

SINTESIS DAN APLIKASI KITOSAN DARI CANGKANG

RAJUNGAN (

Portunus pelagicus

) SEBAGAI PENYERAP

ION BESI (Fe) DAN MANGAN (Mn) UNTUK PEMURNIAN

NATRIUM SILIKAT

 

  Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta  

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

SINTESIS DAN APLIKASI KITOSAN DARI CANGKANG

RAJUNGAN (

Portunus pelagicus

) SEBAGAI PENYERAP

ION BESI (Fe) DAN MANGAN (Mn) UNTUK PEMURNIAN

NATRIUM SILIKAT

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains Program studi kimia

Fakultas sains dan teknologi

Universitas islam negeri syarif hidayatullah Jakarta  

  Oleh: PIPIT PITRIANI

106096003242  

  Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Florentinus Firdiyono Hendrawati M.Si NIP: 195602141982021001 NIP: 19720815 200312 2 001

 

 

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kimia

(4)

PENGESAHAN UJIAN

Skripsi yang berjudul “Sintesis dan Aplikasi Kitosan dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus) Sebagai Penyerap Ion Besi (Fe) dan Mangan (Mn) untuk Pemurnian Natrium Silikat” yang ditulis oleh Pipit Pitriani, NIM 106096003242 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Kamis, tanggal 9 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Kimia.

Menyetujui,

Penguji I Penguji II

Dr. Thamzil LAS Drs. Dede Sukandar M.Si NIP. 19490516 197703 1 001 NIP. 19650104 199103 1 001

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Florentinus Firdiyono Hendrawati M.Si NIP: 195602141982021001 NIP: 19720815 200312 2 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Kimia

(5)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH

HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Desember 2010

(6)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat, irodat dan rahmat-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:

“Sintesis dan Aplikasi Kitosan dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus) sebagai Penyerap Ion Besi (Fe) dan Mangan (Mn) untuk Pemurnian Natrium Silikat”.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis tidak dapat melupakan jasa-jasa dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya yang sangat berharga untuk memberikan petunjuk, bimbingan serta nasihat-nasihat yang sangat berguna bagi

penulis, maka dengan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Bapak Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis selaku Dekan fakultas Sains dan

Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Sri Yadial Chalid M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Hendrawati M.Si dan Bapak Dr. Ir. Florentinus Firdiyono selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingannya dalam

menyusun skripsi ini.

4. Ibu Murni Handayani S.Si yang banyak membantu dan memberikan bimbingan serta membagi pengetahuannya selama penelitian di LIPI.

(7)

6. Kepala dan para karyawan Laboratorium Metalurgi - LIPI yang telah memberikan segala fasilitasnya untuk melakukan penelitian ditempat ini. 7. Dosen-dosen program studi kimia yang telah banyak memberikan ilmunya.

8. Deny Sudrajat, ayangku yang telah memberikan bantuan, perhatian, semangat dan dukungan serta doanya.

9. Afit dan Qosim sebagai teman seperjuangan selama penelitian ini telah memberikan banyak bantuan, dorongan, dan semangatnya.

10.Indra Rani, teman yang selalu bisa bekerja sama dengan baik, bimbingan

bersama, berbagi cerita dan pengatur konsumsi terbaik 06.

11.Ami, dede dan teman-teman seperjuangan lainnya yang tidak disebutkan

namanya, telah banyak- banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak, khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi seluruh umat manusia yang

senantiasa cinta dan peduli terhadap ilmu pengetahuan.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Jakarta, Desember 2010

Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR ………. vi

DAFTAR ISI ……… viii

DAFTAR GAMBAR ……….. xi

DAFTAR TABEL ………... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……… xiv

ABSTRAK ……… xv

ABSTRACT ………. xvi

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang ……… 1

1.2. Perumusan Masalah ……… 3

1.3. Tujuan Penelitian ……… 4

1.4. Manfaat Penelitian ………. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 5

2.1. Pasir Kuarsa (Silika) ……….. 5

2.2. Rajungan (Portunus pelagicus) ……….. 9

2.3. Kitosan ……… 10

2.4. Adsorpsi ………. 14

2.5. Isoterm Adsorpsi ……… 16

2.4.1. Isoterm Adsorpsi Langmuir ……….. 17

2.4.2. Isoterm Adsorpsi Freundlich ……… 17

2.6. Logam Pengotor ……….... 19

2.6.1. Besi (Fe) ……… 19

(9)

2.7. Spektroskopi Infra Merah (Fourier Transform Infra Red/FTIR) ……... 23

2.7.1. Jenis Daerah Infra Red (IR) ………. 23

2.7.2. Jenis Vibrasi Molekul ……… 25

2.7.3. Daerah Spektrum Infra Red (IR) ……….. 26

2.7.4. Prinsip Kerja Alat FTIR ……… 27

2.7.5. Keunggulan FTIR ……… 28

2.8. Spektroskopi Serapan Atom (Atomic Adsorption Spectroscopy/AAS) .. 28

2.8.1. Prinsip Kerja AAS ………...………. 29

2.8.2. Komponen-komponen AAS ………. 30

2.8.3. Preparasi Sampel ……….. 31

2.8.4. Keuntungan AAS ………. 32

2.9. Scanning Electron Microscope (SEM) ……….. 32

BAB III METODE PENELITIAN ……… 34

3.1. Waktu dan Tempat ………. 34

3.2. Bahan dan Alat ……….. 34

3.2.1. Bahan ……… 34

3.2.2. Alat ………... 34

3.3. Metode Kerja ……….. 35

3.3.1. Persiapan Awal Roasting Pasir Kuarsa ……… 35

3.3.2. Pembuatan Larutan Natrium Silikat ………. 35

3.3.3. Persiapan Awal Pembuatan Kitosan ……… 36

3.3.4. Analisis FTIR ……….. 36

3.3.5. Analisis SEM ……… 37

3.3.6. Proses Adsorpsi dengan Metode Batch ……… 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 41

(10)

4.2. Isolasi Kitin dan Transformasi Kitosan ………. 42

4.3. Pengaruh variasi massa kitosan terhadap adsorpsi ion logam Fe & Mn.. 49

4.4. Pengaruh variasi waktu terhadap adsorpsi ion logam Fe & Mn ……… 50

4.5. Pengaruh Konsentrasi Asam terhadap adsorpsi ion logam Fe & Mn … 52 4.6. Pengaruh variasi suhu terhadap adsorpsi ion logam Fe & Mn ………... 54

4.7. Perbandingan kitosan sintesis dengan Produk BATAN ………. 55

4.8. Isoterm Adsorpsi ……… 56

4.9. Kemurnian Natrium Silikat ………. 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 60

5.1. Kesimpulan ……… 60

5.2. Saran ………... 61

DAFTAR PUSTAKA ………. 62

(11)

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 1. Pasir kuarsa ……… 5

Gambar 2. Rajungan ………. 9

Gambar 3. Struktur kitin dan kitosan ……….. 11

Gambar 4. Struktur senyawa kompleks kitosan dengan Fe2+ ..……….. 13

Gambar 5. Isoterm adsorpsi Langmuir ………. 17

Gambar 6. Isoterm adsorpsi Freundlich ………... 18

Gambar 7. Vibrasi regangan ……… 25

Gambar 8. Vibrasi bengkokan ……….. 26

Gambar 9. Diagram alir FTIR ……….. 27

Gambar 10. Diagram alir AAS ………. 31

Gambar 11. Diagram alir SEM ……… 33

Gambar 12. Bagan alir kerja penelitian ……….. 40

Gambar 13. Hasil analisa pasir kuarsa ……… 41

Gambar 14. Reaksi kitin menjadi kitosan ……… 45

Gambar 15. Spektrum FTIR bahan dasar cangkang rajungan ………. 46

Gambar 16. Spektrum FTIR kitosan ……… 47

Gambar 17. Spektrum FTIR kitin standar produksi Wako, Jepang ………. 48

Gambar 18. Variasi massa kitosan terhadap adsorpsi ion Fe & Mn ……… 49

Gambar 19. Variasi waktu terhadap adsorpsi ion Fe & Mn ………... 51

Gambar 20. Variasi konsentrasi asam terhadap adsorpsi ion Fe & Mn …… 52

Gambar 21. Variasi suhu terhadap adsorpsi ion Fe & Mn ……… 54

Gambar 22. Diagram perbandingan kitosan sintesis dengan kitosan BATAN 55 Gambar 23. (a) grafik isoterm Langmuir adsorpsi ion Fe ………... 56

(12)
(13)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1. Kualitas standar kitosan ……….. 13

Tabel 2. Perbedaan adsorpsi fisika dan kimia ……… 16

Tabel 3. Komposisi persentase rata-rata batuan pasir ……….. 19

Tabel 4. Daerah panjang gelombang ……… 24

Tabel 5. Daerah spektrum infra red serta jenis vibrasinya ……… 26

Tabel 6. Pengotor pada pasir kuarsa ……… 42

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal Lampiran 1. Bagan Kerja Pembuatan Kitosan ……….. 66 Lampiran 2. Bagan Kerja Pembuatan Natrium Silikat ……….. 67

Lampiran 3. Rendemen, Derajat Deasetilasi, dan Tekstur Kitosan ………... 68 Lampiran 4. Kurva Standar Logam Fe dan Mn ………... 70 Lampiran 5. Data Adsorpsi Logam Fe dan Mn ………. 71

Lampiran 6. Data Adsorpsi Logam dengan Persamaan Isoterm …………... 76 Lampiran 7. Foto-foto Hasil Penelitian ………. 78

(15)

ABSTRAK

PIPIT PITRIANI. Sintesis dan Aplikasi Kitosan dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus) Sebagai Penyerap Ion Logam Besi (Fe) dan Mangan (Mn) untuk Pemurnian Natrium Silikat. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Florentinus Firdiyono dan Hendrawati M.Si.

Kitosan dari cangkang rajungan (Portunus pelagicus) dapat digunakan untuk menurunkan kadar ion logam Fe dan Mn dalam sampel natrium silikat dengan proses adsorpsi. Percobaan ini dilakukan dalam skala laboratorium menggunakan metode batch. Penentuan kondisi optimum meliputi massa adsorben, waktu kontak, pH, dan suhu. Karakterisasi kitosan dilakukan dengan menggunakan FTIR, sedangkan hasil adsorpsi ion logam dalam natrium silikat dianalisis dengan AAS. Hasil transformasi kitin menjadi kitosan diperoleh derajat deasetilasi 75,99%. Massa kitosan terbaik 0,5 gram dengan persentase adsorpsi Fe 59,09% dan Mn 51,69%. Waktu kontak terbaik 30 menit dengan persentase adsorpsi Fe 72,07% dan Mn 52,50%. pH optimum yaitu pH 3 dengan persentase adsorpsi Fe 77,68% dan Mn 58,67%. Suhu optimum 70oC untuk Fe dengan persentase adsorpsi 85,39% dan suhu optimum 60oC untuk Mn dengan persentase adsorpsi 65,72%. Adsorpsi ion logam Fe dan Mn pada natrium silikat berlangsung secara kimia maupun fisika, akan tetapi lebih dominan secara kimia dengan nilai linearitas 99,9% (R2= 0,999).

(16)

ABSTRACT

PIPIT PITRIANI. Synthesis and Application of Chitosan from Crab Shell (Portunus pelagicus) as Adsorber for Metal Ion Fe and Mn for Sodium Silicate Purification. Supervised by Dr. Ir. Florentinus Firdiyono dan Hendrawati M.Si.

Chitosan made of the crab shell (Portunus pelagicus) can be used to reduce the level of metal Fe and Mn ions in sodium silicate sample by adsorption process. The experiment was conducted for laboratory scale using batch method. Determination for optimum conditions pervades variance of adsorbent mass, time contact, pH, and temperature. Characterization of chitosan performed by FTIR, and the adsorption of metal ions in sodium silicate was analyzed by AAS.the transformation from chitin into chitosan obtained deacetylation degree of 75,99%. The best mass of chitosan is 0.5 grams, it gives percentage adsorption for 59,09 % of Fe and 51,69 % of Mn. The best contact time is 30 minutes, it gives 72,07 % for Fe and 52,5 % for Mn. Optimum pH is pH 3 which gives percentage adsorption for 77,68% of Fe and 58,67% of Mn. The best temperature is 70oC for Fe gives 85,39% and is 60oC for Mn gives 65,72%. Adsorption of metal ions of Fe and Mn by sodium silicate occur by chemical and physical process, but dominantly for chemically with value of linearity 99,9% given (R2= 0,999).

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kebutuhan akan energi yang terus meningkat dan semakin menipisnya

cadangan minyak bumi memaksa manusia untuk mencari sumber-sumber energi alternatif. Negara-negara maju juga telah bersaing dan berlomba membuat terobosan-terobosan baru untuk mencari dan menggali serta menciptakan

teknologi baru yang dapat menggantikan minyak bumi sebagai sumber energi. Dalam upaya pencarian sumber energi baru harus memenuhi syarat-syarat

yaitu menghasilkan jumlah energi yang cukup besar, biaya ekonomis dan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Oleh karena itu pencarian tersebut diarahkan pada pemanfaatan energi matahari baik secara langsung maupun tidak

langsung dengan menggunakan panel sel surya yang dapat mengubah energi matahari menjadi energi listrik yang dinamakan solar cell (Sinamo, 2007).

Sel surya terbuat dari potongan silikon yang sangat kecil dengan dilapisi bahan kimia khusus untuk membentuk dasar dari sel surya. Bahan silikon terdapat banyak di bumi. Ia merupakan unsur kedua terbanyak di kulit bumi setelah

oksigen. Terdapat di alam dalam bentuk pasir silika atau yang dikenal juga dengan quartz dengan rumus kimia SiO2. Silikon yang digunakan untuk sel surya

membutuhkan kemurnian yang sangat tinggi diatas 99,99%. Di dunia semikonduktor, dikenal dengan “eleven-nine” atau 11 angka 9 yang menyatakan kadar kemurnian silikon dalam persen; 99,999999999% (Adhi, 2008). Silikon

(18)

silikon di bawah nilai nominal tersebut, dapat dijamin bahwa sebuah prosesor atau memori komputer atau sel surya tidak dapat berjalan dengan baik (Adhi, 2008).

Di Indonesia penambangan pasir silika ini dilakukan di Kalimantan

Tengah dan Jawa Tengah. Di pesisir pantai selatan Jawa juga diyakini memiliki kandungan pasir silika. Silikon yang dipakai untuk keperluan semikonduktor dan

sel surya diambil dari hasil pemisahan Si dan O. Saat ini, penghasil silikon terbesar di dunia ialah Cina, Amerika, Brazil, Norwegia dan Prancis. Cadangan sumber daya silika dan kebutuhan tenaga listrik yang cukup besar menjadi alasan

mengapa negara-negara di atas memimpin dalam menghasilkan silikon (Guntoro, 2008).

Pasir kuarsa dari Indonesia mengandung pengotor unsur Al, Fe, Ca, Mg, Ti dan lain-lain yang membentuk ikatan kompleks dengan senyawa SiO2. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memurnikan silika dari pasir kuarsa agar

terbebas dari pengotor, yaitu dengan memanfaatkan limbah rajungan sebagai adsorpsi melalui proses pengubahan cangkang rajungan menjadi kitin dan kitosan.

Menurut Rochima (2008), salah satu alternatif upaya pemanfaatan limbah cangkang rajungan agar memiliki nilai dan daya guna limbah cangkang rajungan menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi adalah pengolahan menjadi kitin

dan kitosan.

Wilayah perairan Indonesia merupakan sumber cangkang hewan

invertebrate laut berkulit keras (Crustacea) yang mengandung kitin secara

berlimpah. Kitin yang terkandung dalam Crustacea berada dalam kadar yang cukup tinggi berkisar 20-60% tergantung spesiesnya. Limbah berkitin di

(19)

Keberadaan gugus amida dalam kitin dan gugus amina dalam kitosan telah menjadikan kitin dan kitosan sebagai adsorben yang mampu mengikat logam berat seperti Cd, Cu, Pb, Fe, Mn dan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa kitosan dapat mengikat logam berat 4 sampai 5 kali lebih besar adsorpsinya dari kitin (Kusumawati, 2009). Hal ini terkait dengan adanya gugus

amina terbuka sepanjang rantai kitosan sehingga kitosan lebih mudah berinteraksi dengan larutan berpelarut air (lebih hidrofilik) dari pada kitin (Herwanto dan Santoso, 2006).

Penelitian ini dilakukan untuk menghilangkan logam-logam pengotor yang terdapat pada pasir kuarsa dengan metode adsorpsi menggunakan kitosan dari

cangkang rajungan serta analisis penyerapan ion logam pengotor menggunakan AAS (Atomic Adsorption Spectroscopy), agar diperoleh silika dari pasir kuarsa yang mempunyai kemurnian yang sangat tinggi untuk keperluan pembuatan sel

surya.

1.2. Perumusan Masalah

1. Bagaimana proses pembuatan kitosan dari limbah cangkang rajungan? 2. Bagaimana terjadinya proses adsorpsi ion logam Fe dan Mn oleh kitosan?

3. Bagaimana pengaruh variasi beberapa parameter (massa kitosan, waktu, pH, dan suhu) terhadap kemampuan adsorpsi ion logam Fe dan Mn oleh

(20)

1.3.Tujuan Penelitian

1. Mengetahui proses pembuatan kitosan dari limbah rajungan dan menghasilkan derajat deasetilasi kitosan yang optimum.

2. Mengetahui proses adsorpsi yang terjadi pada ion logam Fe dan Mn oleh kitosan.

3. Mengetahui kondisi optimum (massa kitosan, waktu, pH dan suhu) dari kitosan dalam menyerap ion logam Fe dan Mn.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai cara

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pasir Kuarsa (Silika)

Pasir kuarsa merupakan bahan galian yang terdiri atas kristal-kristal silika

(SiO2) dan mengandung senyawa pengotor yang terbawa selama proses pengendapan. Pasir kuarsa juga dikenal dengan nama pasir putih merupakan hasil pelapukan batuan yang mengandung mineral utama, seperti kuarsa dan bijih

batuan. Hasil pelapukan kemudian tercuci dan terbawa oleh air atau angin yang terendapkan di tepi-tepi sungai, danau atau laut (Kimung, 2008.).

Gambar 1. Pasir kuarsa

Butirannya secara khas di semen bersama-sama oleh tanah kerikil atau kalsit untuk membentuk batu pasir tersebut. Batu pasir paling umum terdiri atas butir kuarsa sebab kuarsa adalah suatu mineral yang umum yang bersifat

menentang laju arus. Batu pasir dapat memiliki berbagai jenis warna, dengan warna umum adalah coklat muda, coklat, kuning, merah, abu-abu dan putih.

Karena lapisan batu pasir sering kali membentuk karang atau bentukan topografis tinggi lainnya, warna tertentu batu pasir dapat diidentikkan dengan daerah tertentu. Sebagai contoh, sebagian besar wilayah di bagian barat Amerika Serikat

(22)

Sifat kimia batu pasir diantaranya konstitusi kimia dari batu pasir adalah sama dengan pasir, batu dengan demikian pada dasarnya terdiri dari kuarsa. Bahan penyemenan alam yang mengikat pasir bersama sebagai batu biasanya

terdiri dari silika, kalsium karbonat, atau oksida besi. Persentase masing-masing unsur adalah sebagai berikut:

¾ SiO2 93-94%

¾ Besi (Fe2O3) 1,5% -1,6%

¾ Alumina (Al2O3) 1,4 1,5%

¾ Soda (Na2O) & Potash (K2O) 1,0% menjadi 1,2%

¾ Kapur (CaO) 0,8% menjadi 0,9% ¾ Magnesia (MgO) 0,2-0,25%

¾ Lost of Ignition (LOI) 1,0% menjadi 1,2%

¾ Sangat tahan terhadap asam, alkali dan dampak termal.

Karakteristik Batu pasir diantaranya: • Warna

Warna bervariasi dari merah, hijau, kuning, abu-abu dan putih. Variasi tersebut adalah hasil dari materi yang mengikat dan persentase konstituen. • Penyerapan Air

Kapasitas penyerapan air tidak lebih dari 1,0% • Kekerasan

Terletak antara 6 sampai 7 pada Skala Moh's Kepadatan 2,32-2,42 kg/m3 • Porositas

Porositas bervariasi dari rendah sampai sangat rendah. • Kekuatan tekan

(23)

Batuan dan mineral yang mengandung silikon, umumnya merupakan zat padat yang mempunyai titik didih tinggi (2355oC), keras, yang setiap kepingnya merupakan suatu kisi yang kontinu terdiri dari atom-atom yang terikat erat.

Sebuah contoh dari zat padat demikian, adalah silikon dioksida, yang terdapat dialam dalam bentuk kuarsa, aqata (akik), pasir, dan seterusnya (Rohayati, 2009).

Batu pasir merupakan jenis batuan sedimen klastik. Batuan sedimen klastik merupakan batuan sedimen yang terbentuk oleh proses pembentukan kembali segala macam sumber batuan pada kondisi tekanan (P) dan temperatur

(T) normal di permukaan bumi. Proses pembentukan batuan sedimen klastika ini secara alami dapat dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu:

1. Proses pelapukan baik mekanis (proses penghancuran batuan secara desintegratif) maupun secara kimiawi (dekomposisi).

2. Proses erosi dan transportasi atau pengangkutan material sedimentasi dari

sumbernya melalui beberapa media, yaitu berupa air, angin, ataupun es. 3. Proses pengendapan, yang merupakan tahap terakhir dari perjalanan

material yang terangkut dari hasil pengangkutan batuan asal yang dikenal juga dengan bahan-bahan allogenik (Anonim, 2008).

Di Indonesia, khususnya Sumatera Utara keadaan industri pertambangan

bahan galian alam seperti pasir kuarsa belum berkembang pesat, salah satu penyebabnya karena pemakaian bahan galian tersebut belum optimum. Endapan

pasir kuarsa banyak tersebar di beberapa tempat di Indonesia dan beberapa tempat di Sumatera Utara yaitu sepanjang pantai Kabupaten Asahan (Asmuni, 2008).

Pasir kuarsa mempunyai komposisi gabungan dari SiO2, Fe2O3, Al2O3,

(24)

lebur 1715oC, bentuk kristal hexagonal, panas spesifik 0,185, dan konduktivitas panas 12–100oC (Kimung, 2008).

Pada umumnya hasil tambang berupa mineral industri seperti batu

gamping, tanah liat dan pasir kuarsa memiliki kualitas yang rendah, disebabkan banyaknya bahan pengotor yang mencampuri mineral tersebut. Bahan pengotor

ini dapat terjadi karena adanya proses sedimentasi endapan lumpur yang mungkin bercampur dengan mineral tersebut. Pasir kuarsa merupakan salah satu mineral industri yang mempunyai banyak pengotor terutama unsur besinya (Sulistiyono,

2005).

Dalam kegiatan industri, penggunaan pasir kuarsa sudah berkembang

meluas, baik langsung sebagai bahan baku utama maupun bahan ikutan. Sebagai bahan baku utama, misalnya digunakan dalam industri gelas kaca, semen, tegel, mosaik keramik, bahan baku fero silikon, silikon carbide bahan abrasit (ampelas

dan sand blasting) dan sekarang dipakai untuk bahan baku pembuatan sel surya

dengan cara memurnikan SiO2 yang terdapat pada pasir kuarsa. Sedangkan

sebagai bahan ikutan, misal dalam industri cor, industri perminyakan dan pertambangan, bata tahan api (refraktori), dan lain sebagainya (Kimung, 2008).

Pasir kuarsa (silika) dapat dibentuk menjadi kaca natrium silikat dengan

menambahkan natrium karbonat anhidrat pada suhu yang tinggi. SiO2 + Na2CO3 Na2SiO3 + CO2

(25)

2.2. Rajungan (Portunus pelagicus)

Jika dilihat dari morfologinya, rajungan termasuk hewan dasar laut/bentos yang umumnya berenang ke permukaan pada malam hari untuk mencari makan.

Rajungan hidup di daerah pantai berpasir lumpur dan di perairan depan hutan mangrove. Rajungan biasanya hidup dengan membenamkan tubuhnya ke dalam

pasir. Rajungan jantan berwarna dasar biru dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan rajungan betina berwarna dasar hijau kotor dengan bercak-bercak putih kotor (Ermawati dkk., 2009).

Gambar 2. Rajungan (Portunus pelagicus)

Taksonomi dari rajungan dapat dilihat sebagai berikut: Bangsa : Arthropoda

Kelas : Crustacea Sub Kelas : Malacostraca Super Ordo : Eucarida Ordo : Decapoda Famili : Portunidae Marga : Portunus

Jenis : Portunus pelagicus (Ermawati dkk., 2009).

Limbah rajungan biasanya dibuang begitu saja. Limbah industri

pengalengan rajungan (Portunus pelagicus) adalah berupa cangkang dan kaki rajungan yang mencapai 75% - 85%, dapat diolah menjadi kitin dan kitosan dengan rentang pemanfaatan yang luas, yaitu dapat diaplikasikan pada bidang

(26)

Selain itu juga, kitosan dari limbah cangkang rajungan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, salah satunya yang sedang marak diteliti saat ini adalah pemanfaatan kitosan sebagai penyerap (adsorben) logam berat pada air limbah.

Kitosan dapat berfungsi sebagai adsorben terhadap logam dalam air limbah karena kitosan mempunyai gugus amino (NH2) dan gugus hidroksil (OH) bebas yang

berfungsi sebagai situs chelation (situs ikatan koordinasi) dengan ion logam guna membentuk chelate (Ermawati dkk., 2009). Proses pengikatan logam (pengkelatan) merupakan proses keseimbangan pembentukan kompleks logam

dengan senyawa pengkelat.

2.3. Kitosan

Kitosan merupakan senyawa turunan kitin, senyawa penyusun rangka luar hewan berkaki banyak seperti kepiting, ketam, udang, dan serangga. Nama kitin (chitin) berasal dari bahasa Yunani yang artinya “Jubah” atau “amplop”. Kitosan

dan kitin termasuk senyawa kelompok polisakarida seperti zat pati (tepung) dan selulosa (komponen serat dari dinding sel tumbuhan) (Mahendra, 2007).

Secara kimiawi kitin merupakan polimer β -(1,4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa. Struktur kitin hampir sama dengan selulosa yang tidak dapat dicerna oleh vertebrata, perbedaannya gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon yang

kedua selulosa digantikan oleh gugus amida pada kitin (Sedjati, 2006). Kitin tidak larut dalam air sehingga penggunaannya terbatas. Salah satu turunan kitin adalah

kitosan, suatu senyawa yang mempunyai rumus kimia β -(1,4)-2-amino-2-dioksi-D-glukosa (Puspawati dan Simpen, 2010).

Perbedaan kitin dan kitosan hanya terdapat pada perbandingan gugus

(27)

(Sedjati, 2006). Kitosan didapatkan melalui proses deasetilasi dari kitin, dimana gugus asetil pada kitin, oleh hidrogen diubah menjadi gugus amin dengan penambahan larutan basa kuat berkonsentrasi tinggi (Herwanto dan Santoso,

2006). Secara struktur kimia, kitosan adalah kitin yang telah mengalami deasetilasi (kehilangan gugus asetil).

(a)

(b)

Gambar 3. Struktur (a) kitin dan (b) kitosan (Sedjati, 2006)

Kitosan dapat diperoleh dengan mengkonversi kitin melalui proses

deasetilasi. Sedangkan kitin dapat diperoleh dari kulit udang, kulit kepiting, dan serangga. Kitin banyak terdapat juga pada jamur. Isolasi kitin dari jamur pertama

kali dilakukan oleh peneliti asal Prancis, Henri Braconnot, pada tahun 1811. Isolasi kitin dari serangga pertama kali dilakukan oleh A. Odier, peneliti asal Prancis juga, pada tahun 1820. Sedangkan konversi kitin menjadi kitosan

ditemukan oleh C. Rouget pada tahun 1859. pada saat itu, Rouget berhasil menemukan bahwa kitin dapat menjadi senyawa yang lebih larut dalam air setelah

(28)

Kitosan tidak larut dalam larutan alkali dengan pH diatas 6,5. Kitosan mudah larut dalam asam organik seperti asam format, asam asetat, dan asam sitrat (Rahayu dan Purnavita, 2007). Kitosan merupakan polimer multifungsi karena

mengandung 3 jenis gugus fungsi yaitu gugus amino, gugus hidroksi primer dan sekunder. Adanya gugus fungsi tersebut menyebabkan kitosan mempunyai

reaktifitas kimia yang tinggi dan kitosan dapat berperan sebagai donor elektron (penyumbang elektron). Pada pembentukan kitosan-ion logam, ligan NH2 bertindak sebagai basa Lewis yang menyumbangkan sepasang elektron ke ion

logam (asam Lewis) membentuk ikatan kovalen koordinasi. Dengan gugus fungsi tersebut maka kitosan memiliki potensi sebagai adsorben, diduga dapat

berinteraksi dengan kation logam berat (Marganof, 2003; Rora, 2007; Rahayu dan Purnavita, 2007; Syahmani dan Arif Sholahuddin, 2009).

Selain sebagai bahan flokulan, kitosan juga dapat berfungsi sebagai

pengkelat logam-logam berat seperti Fe, Cu, Cd, Ag, Pb, Cr, Ni, Mn, Co, Zn, dan bahan-bahan radioaktif seperti uranium (Firdaus, 2008). Kitosan merupakan

biopolimer alam yang bersifat polielektrolit kationik yang berpotensi tinggi untuk penyerapan logam dengan mudah terbiodegradasi serta tidak beracun.

Rosita (2005) menyebutkan bahwa terdapat dua model pengikatan ion

logam menjadi ion kompleks. Model pertama yaitu pola rantai (perdant pattern) dimana ion-ion logam berikatan satu gugus amino pada kitosan seperti yang

ditunjukkan oleh gambar 4(1). Model yang kedua yaitu pola jembatan (bridge pattern) dimana ion logam mengikat dua atau lebih gugus amino dan satu atau

lebih gugus hidroksil pada kitosan seperti yang disajikan pada gambar 4(2) dan

(29)

Gambar 4. Struktur senyawa kompleks kitosan dengan Fe (Rosita, 2005)

Adapun reaksi pengikatan ion Fe dengan kitosan adalah sebagai berikut:

Kit-NH2 + H3O+ Kit-NH3+ + H2O ………. 2.1) Kit-NH3+ + H2O + Fe2+ (Kit-Fe)2+ + NH4OH……. .…. 2.2) Besarnya nilai parameter standar yang dikehendaki untuk kitosan dalam

dunia perdagangan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kualitas standar kitosan

Sifat – sifat Kitosan Nilai yang dikehendaki

Ukuran partikel

• paling tinggi (eps)

butiran – bubuk

Kitin dan kitosan dinegara maju telah diproduksi secara komersial

(30)

bioteknologi, kosmetika, biomedika, industri kertas, industri pangan, industri tekstil, dan lain-lain. Pemanfaatan tersebut didasarkan atas sifat-sifatnya yang dapat digunakan sebagai pengemulsi, koagulasi, pengkelat, dan penebal emulsi

(Hendri,2008).

Kitosan memiliki sifat reaktivitas kimia yang tinggi sehingga mampu

mengikat air dan minyak. Hal ini didukung oleh adanya gugus polar dan non polar yang dikandungnya. Alkaloida basa dan asam lemak larut dalam pelarut non polar kitosan yang bersifat basa, karena mengandung dua gugus fungsi amina setiap

unit berulangnya dapat mengikat asam lemak bebas melalui ikatan asam-basa. Karena kemampuan tersebut, kitosan dapat digunakan sebagai bahan pengental

atau pembentuk gel yang sangat baik, sebagai pengikat, penstabil, dan pembentuk tekstur (Firdaus, 2008).

2.4. Adsorpsi

Adsorpsi merupakan suatu proses penyerapan oleh padatan tertentu

terhadap zat tertentu yang terjadi pada permukaan zat padat karena adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan zat padat tanpa meresap ke dalam (Atkins,1999). Proses adsorpsi dapat terjadi karena adanya gaya tarik atom atau

molekul pada permukaan padatan yang tidak seimbang. Adanya gaya ini, padatan cenderung menarik molekul-molekul lain yang bersentuhan dengan permukaan

padatan, baik fasa gas atau fasa larutan ke dalam permukaannya. Akibatnya, konsentrasi molekul pada permukaan menjadi lebih besar dari pada dalam fasa gas atau zat terlarut dalam larutan. Adsorpsi dapat terjadi pada antarfasa padat-cair,

(31)

disebut adsorben. Pada adsorpsi, interaksi antara adsorben dengan adsorbat hanya terjadi pada permukaan adsorben.

Menurut Saniyyah (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi

antara lain:

1. Sifat fisika dan kimia adsorben, yaitu luas permukaan, pori-pori, dan

komposisi kimia.

2. Sifat fisika dan kimia adsorbat, yaitu ukuran molekul, polaritas molekul, dan komposisi kimia.

3. Konsentrasi adsorbat dalam fasa cair, seperti pH dan temperatur. 4. Lamanya proses adsorpsi tersebut berlangsung.

Berdasarkan besarnya interaksi antara adsorben dan adsorbat, adsorpsi dibedakan menjadi dua macam yaitu adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia.

Dalam adsorpsi fisika, molekul-molekul teradsorpsi pada permukan

adsorben dengan ikatan yang lemah (ikatan Van Der Waals). Adsorpsi ini bersifat reversibel, sehingga molekul-molekul yang teradsorpsi mudah dilepaskan kembali

dengan cara menurunkan tekanan gas atau konsentrasi zat terlarut. Panas adsorpsi yang menyertai adsorpsi fisika yaitu berkisar 10 kJ/mol.

Adsorpsi fisika umumnya terjadi pada temperatur yang rendah dan jumlah

zat yang teradsorpsi akan semakin kecil dengan naiknya suhu. Demikian juga kondisi kesetimbangan tercapai segera setelah adsorben bersentuhan dengan

adsorbat. Hal ini dikarenakan dalam fisika tidak melibatkan energi aktivasi.

Pada adsorpsi kimia, molekul-molekul yang teradsorpsi pada permukaan adsorben bereaksi secara kimia. Hal ini disebabkan pada adsorpsi kimia terjadi

pemutusan dan pembentukan ikatan. Oleh karena itu, panas adsorpsinya mempunyai kisaran yang sama seperti reaksi kimia, yaitu berkisar 100 kJ/mol.

(32)

tidak dapat ditemukan kembali. Adsorpsi ini bersifat irreversibel dan diperlukan energi yang banyak untuk melepaskan kembali adsorbat (dalam proses adsorpsi) karena ikatannya berupa ikatan kimia yang sangat kuat. Pada umumnya, dalam

adsorpsi kimia jumlah (kapasitas) adsorpsi bertambah besar dengan naiknya temperatur. Zat yang teradsorpsi membentuk satu lapisan monomolekuler dan

relatif lambat tercapai kesetimbangan karena dalam adsorpsi kimia melibatkan energi aktivasi (Oscik, 1982).

Secara singkatnya perbedaan adsorpsi secara fisika dan secara kimia dapat

dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2. Perbedaan adsorpsi fisika dan kimia

Adsorpsi Fisik Adsorpsi Kimia

Molekul terikat pada adsorben oleh gaya van der Waals

Molekul terikat pada adsorben oleh ikatan kimia

Mempunyai entalpi reaksi – 4 sampai – 40 kJ/mol

Mempunyai entalpi reaksi – 40 sampai – 800 kJ/mol

Dapat membentuk lapisan multilayer Membentuk lapisan monolayer

Adsorpsi hanya terjadi pada suhu di bawah

titik didih adsorbat Adsorpsi dapat terjadi pada suhu tinggi

Jumlah adsorpsi pada permukaan merupakan fungsi adsorbat

Jumlah adsorpsi pada permukaan merupakan karakteristik adsorben dan adsorbat

Tidak melibatkan energi aktifasi tertentu Melibatkan energi aktifasi tertentu

Bersifat tidak spesifik Bersifat sangat spesifik

2.5. Isoterm Adsorpsi

Percobaan adsorpsi yang paling umum adalah menentukan hubungan jumlah gas teradsorpsi (pada adsorben) dan tekanan gas. Pengukuran ini dilakukan

(33)

2.5.1. Isoterm Adsorpsi Langmuir

Isoterm adsorpsi Langmuir menggambarkan hubungan antara zat yang teradsorpsi dengan konsentrasi pada keadaan kesetimbangan dan temperatur yang

tetap dan adsorpsi yang terjadi pada permukaan monolayer.

Gambar 5. Isoterm adsorpsi Langmuir

Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dapat diturunkan secara teoritis dengan menganggap terjadi adsorpsi terlokalisasi pada molekul adsorbat, yaitu

molekul yang teradsorpsi tidak dapat bergerak di sekeliling adsorben. Isoterm adsorpsi Langmuir terjadi pada adsorben yang bersifat homogen. Selain itu, panas adsorpsi tidak bergantung pada luas permukaan yang ditutupi adsorbat

(Mahendra, 2007). Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dengan rumus (Oscik, 1982):

  ……… 2.3)

Keterangan:

C = konsentrasi molekul zat yang bebas (yaitu terdapat dalam larutan) x = jumlah mol zat yang terjerap per milligram penjerap

a = tetapan

x/m = kapasitas monolayer

2.5.2. Isoterm Adsorpsi Freundlich

Isoterm adsorpsi Freundlich merupakan hubungan antara zat yang

teradsorpsi dengan konsentrasi pada keadaan kesetimbangan pada temperatur yang tetap dan adsorpsi yang terjadi pada permukaan multilayer. Artinya

(34)

Gambar 6. Isoterm adsorpsi Freundlich

Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich dapat dinyatakan sebagai:

  ……… 2.4) 

Keterangan:

X = berat zat teradsorpsi (mg/L) M = berat adsorben (g)

C = konsentrasi zat terlarut setelah tercapai kesetimbangan adsorpsi (mg/L) k dan n = tetapan yang tergantung pada jenis adsorben, adsorbat, dan temperatur

Persamaan 2.4 juga dapat diturunkan menjadi:

Log (X/M) = Log k + 1/n Log C ………. 2.5)

Nilai k dan n dari persamaan ini adalah tetapan yang menyatakan keheterogenan pusat-pusat aktif permukaan suatu adsorben. Suatu permukaan adsorben dikatakan homogen jika memenuhi n ≤ 1 (Mahendra, 2007).

Isoterm adsorpsi Freundlich berbeda dengan isoterm adsorpsi Langmuir, dimana pada isoterm adsorpsi Freundlich gaya yang terjadi antara adsorbat

dengan permukaan adsorben merupakan gaya Van der Waals, sehingga adsorpsi yang terjadi pada isoterm adsorpsi Freundlich merupakan adsorpsi fisika. Sedangkan pada isoterm adsorpsi Langmuir ikatan yang terjadi antara adsorbat

dengan permukaan adsorben merupakan ikatan kimia, sehingga adsorpsi yang terjadi pada isoterm adsorpsi Langmuir merupakan adsorpsi kimia (Mahendra,

(35)

2.6. Logam Pengotor

Pasir kuarsa atau silika masih memiliki logam-logam pengotor diantaranya besi (Fe), aluminium (Al), kalsium (Ca), titanium (Ti), mangan (Mn), magnesium

(Mg), dan karbon (C) (Guntoro, 2008). Ikatan kompleks antara kristal silika dengan pengotor melibatkan pengotor oksida besi, aluminium, titanium, kalsium,

magnesium dan lain-lain. Pasir kuarsa mempunyai warna yang berbeda-beda tergantung pada pengotor oksida didalamnya. Selain itu komposisi pasir juga tergantung pada tempat penambangan pasir.

Tabel 3. Komposisi persentase rata-rata batuan pasir (Anonim, 2003)

Oksida Batuan pasir (%)

Besi merupakan logam transisi dan memiliki nomor atom 26. Bilangan oksidasi Fe adalah +3 dan +2. Besi memiliki berat atom 55,845 g/mol, titik leleh 1.5380 C, dan titik didih 2.8610 C. Besi mempunyai urutan sepuluh besar sebagai

unsur di bumi. Besi menyusun 5 - 5,6% dari kerak bumi dan menyusun 35% dari massa bumi. Besi menempati berbagai lapisan bumi. Konsentrasi tertinggi

(36)

terluar kerak bumi. Beberapa tempat di bumi bisa mengandung Fe mencapai 70% (Widowati dkk., 2008).

Logam Fe ditemukan dalam inti bumi berupa hematit. Fe hampir tidak

dapat ditemukan sebagai unsur bebas. Fe diperoleh dalam bentuk tidak murni sehingga harus melalui reaksi reduksi guna mendapatkan Fe murni. Fe ditemukan

terutama sebagai mineral hematit (Fe2O3); magnetit (Fe3O4); mineral lain yang merupakan sumber Fe adalah limonit (FeO(OH)nH2O), siderit (FeCO3), dan takonit.

Bijih besi yang dipanaskan dengan karbon (C) pada suhu 1100-1200oC akan menghasilkan lelehan alloy yang mengandung 95% Fe dam 3,5% C. Bijih

besi hematit (Fe2O3) mengandung 70% Fe; magnetit (Fe3O4) mengandung 72% Fe; limonit (Fe2O3 + H2O) mengandung 50-66% Fe; dan siderit (FeCO3) mengandung 48% Fe.

Besi diproduksi secara industri dari bijih besi, yaitu hematit (Fe2O3) dan magnetit (Fe3O4) dengan menggunakan reaksi karbotermik (reduksi menggunakan

C) pada tanur suhu tertentu. Reaksi yang terjadi adalah:

C + O2 CO2 (500-700oC) …….. 2.6)

C + CO2 2CO (>1500oC) ……... 2.7)

CO + 3Fe2O3 2Fe3O4 + CO2 (500oC) ……... 2.8) Fe3O4 + CO 3FeO + CO2 (850oC) ……... 2.9) FeO + CO2 Fe + CO2 (1000oC) ……... 3.0)

Logam besi (Fe) sebagian besar digunakan dalam pembuatan baja dan

menghasilkan hampir 95% baja di dunia dengan berbagai kombinasi kekuatan baja. Baja dikenal sebagai alloy besi.

Fe (II) oksida atau FeO, berupa bubuk berwarna hitam, dalam keadaan

(37)

dapat digunakan dalam pelapisan magnet audio dan komputer, dan dalam lingkungan basa mampu menghambat korosi. Senyawa fero teroksidasi menjadi feri cukup lama melalui oksigen atmosfer. Senyawa yang terbentuk adalah Fe2O3

atau dalam bentuk hidratnya. Feri oksida umumnya tidak berubah karena kelarutannya sangat kecil.

Pasir kuarsa merupakan salah satu mineral industri yang mempunyai banyak pengotor terutama unsur besinya (Sulistiyono, 2005). Butiran di dalam batu pasir tersement bersama dengan silika atau kalsium karbonat atau oksida

besi. Warna coklat dan belang pada batu pasir yang kasar disebabkan sejumlah kecil dari mineral mineral besi (Anonim, 2008). Kandungan besi dalam pasir

berbeda-beda. Kandungan mineral besi di daerah kawasan pantai (Selatan Lebak) desa Cibobos, Banten sebesar 2-6,2% (C. W. Hersenanto dkk, 2009).

2.6.2. Mangan (Mn)

Mangan (Mn) adalah logam berwarna abu-abu keputihan, memiliki sifat

mirip dengan besi (Fe), merupakan logam keras, mudah retak, serta mudah teroksidasi. Sebagian Mn memiliki bilangan oksidasi (biloks) +2, +3, +4, +6, dan +7. Contohnya MnO (biloks +2), Mn2O3 (biloks +3), MnO2 (biloks +4), Mn2O7

2-(biloks +6) dan Mn2O7 (biloks +7). Biloks +2 mudah bereaksi dengan asam hidroklorit membentuk MnCl2, sedangkan biloks +3 (manganit) bersifat tidak

stabil dan mudah berubah menjadi biloks +2. Status biloks +4 banyak sebagai MnO2, sedangkan biloks +4 bersifat amfoterik (bisa bersifat asam maupun basa) yang dapat mendonasikan dan menerima elektron dalam reaksi kimia. Bilangan

(38)

biloks +1 (pengompleks sianida), juga terdapat biloks +5 yang bersifat tidak stabil. Mn+7 merupakan oksidator yang kuat (Widowati dkk., 2008).

Mineral mangan tersebar secara luas dalam banyak bentuk; oksida, silikat,

karbonat adalah senyawa yang paling umum. Penemuan sejumlah besar senyawa mangan di dasar lautan merupakan sumber mangan dengan kandungan 24%,

bersamaan dengan unsur lainnya dengan kandungan yang lebih sedikit.

Mangan berwarna putih keabu-abuan, dengan sifat yang keras tapi rapuh. Mangan sangat reaktif secara kimiawi, dan terurai dengan air dingin

perlahan-lahan. Mangan digunakan untuk membentuk banyak alloy yang penting. Dalam baja, mangan meningkatkan kualitas tempaan baik dari segi kekuatan, kekerasan,

dan kemampuan pengerasan. Dengan aluminum dan bismut, khususnya dengan sejumlah kecil tembaga, membentuk alloy yang bersifat ferromagnetik. Logam mangan bersifat ferromagnetik setelah diberi perlakuan. Logam murninya terdapat

sebagai bentuk allotropik dengan empat jenis. Salah satunya, jenis alfa, stabil pada suhu luar biasa tinggi; sedangkan mangan jenis gamma, yang berubah menjadi

alfa pada suhu tinggi, dikatakan fleksibel, mudah dipotong dan ditempa (Widowati dkk., 2008).

Mangan bereaksi dengan air dan larut dalam larutan asam menghasilkan

garam mangan yang larut dan hydrogen (H2). Reaksi mangan sebagai berikut: Mn + 2HCl MnCl2 + H2

Mangan banyak digunakan pada berbagai alloy. Mangan digunakan sebagai bahan campuran logam karena mangan bisa menghasilkan logam sehingga mudah dibentuk, meningkatkan kualitas kekuatan logam, kekerasan dan ketahanan.

(39)

lain digunakan untuk membuat baterai kering, keramik, gelas, serta bahan kimia (Widowati dkk., 2008).

Jika air yang mengandung besi atau mangan dibiarkan terkena udara atau

oksigen maka reaksi oksidasi besi atau mangan akan timbul dengan lambat membentuk endapan atau gumpalan koloid dari oksida besi atau oksida mangan

yang tidak diharapkan. Menurut Widowati dkk (2008), keberadaan mangan (Mn) dalam suatu batuan itu kandungannya berbeda-beda. Seperti pada batuan kapur mengandung Mn 0,08%, batuan karbonat mengandung Mn 0,07%, batuan api

mengandung Mn 0,08%, sedangkan pada batuan pasir mengandung Mn 0,06%.

2.7. Spektroskopi Infra Merah (Fourier Transform Infra Red/ FTIR)

Spektroskopi inframerah merupakan suatu metode yang mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada daerah

panjang gelombang 0,75 – 1,000 µm atau pada bilangan gelombang 13.000 – 10 cm-1. Radiasi elektromagnetik dikemukakan pertama kali oleh James Clark

Maxwell, yang menyatakan bahwa cahaya secara fisis merupakan gelombang

elektromagnetik, artinya mempunyai vektor listrik dan vektor magnetik yang keduanya saling tegak lurus dengan arah rambatan (Giwangkara S., 2007).

 

2.7.1. Jenis Daerah InfraRed (IR)

Telah dikenal berbagai macam gelombang elektromagnetik dengan

rentang panjang gelombang tertentu. Spektrum elektromagnetik merupakan kumpulan spektrum dari berbagai panjang gelombang. Berdasarkan pembagian daerah panjang gelombang pada Tabel 2, sinar infra merah dibagi atas tiga daerah,

(40)

a. Daerah Infra Merah dekat b. Daerah Infra Merah pertengahan

c. Daerah infra merah jauh (Giwangkara S., 2007)

Tabel 4. Daerah panjang gelombang

Jenis Panjang Gelombang Interaksi Bilangan Gelombang

Sinar gamma < 10 nm Emisi Inti

sinar-X 0,01 - 100 A Ionisasi Atomik

Ultra ungu (UV) jauh 10-200 nm Transisi Elektronik

Ultra ungu (UV) dekat 200-400 nm Transisi Elektronik

sinar tampak (spektrum

optik)

400-750 nm Transisi Elektronik 25.000 - 13.000 cm-1

Inframerah dekat 0,75 - 2,5 µm Interaksi Ikatan 13.000 - 4.000 cm-1

Inframerah

pertengahan

2,5 - 50 µm Interaksi Ikatan 4.000 - 200 cm-1

Inframerah jauh 50 - 1.000 µm Interaksi Ikatan 200 - 10 cm-1

Gelombang mikro 0,1 - 100 cm serapan inti 10 - 0,01 cm-1

Gelombang radio 1 - 1.000 meter Serapan Inti

Dari pembagian daerah spektrum elektromagnetik tersebut di atas, daerah

panjang gelombang yang digunakan pada alat spektroskopi inframerah adalah pada daerah inframerah pertengahan, yaitu pada panjang gelombang 2,5 – 50 µm

atau pada bilangan gelombang 4.000 – 200 cm-1. Daerah tersebut adalah cocok untuk perubahan energi vibrasi dalam molekul. Daerah inframerah yang jauh (400-10 cm-1), berguna untuk molekul yang mengandung atom berat, seperti

(41)

2.7.2. Jenis Vibrasi Molekul

Vibrasi molekul dapat digolongkan atas dua golongan besar, yaitu: 1. Vibrasi Regangan (Streching)

2. Vibrasi Bengkokan (Bending) Vibrasi regangan ada dua macam, yaitu:

1. Regangan Simetri, unit struktur bergerak bersamaan dan searah dalam satu bidang datar.

2. Regangan Asimetri, unit struktur bergerak bersamaan dan tidak searah

tetapi masih dalam satu bidang datar.

Gambar 7. Vibrasi regangan

Vibrasi bengkokan ini terbagi menjadi empat jenis, yaitu :

1. Vibrasi Goyangan (Rocking), unit struktur bergerak mengayun asimetri tetapi masih dalam bidang datar.

2. Vibrasi Guntingan (Scissoring), unit struktur bergerak mengayun simetri dan masih dalam bidang datar.

3. Vibrasi Kibasan (Wagging), unit struktur bergerak mengibas keluar dari bidang datar.

4. Vibrasi Pelintiran (Twisting), unit struktur berputar mengelilingi ikatan

yang menghubungkan dengan molekul induk dan berada di dalam bidang datar (Giwangkara S., 2007).

(42)

Gambar 8. Vibrasi bengkokan

2.7.3. Daerah Spektrum Infra Red

Vibrasi suatu gugus fungsi spesifik pada bilangan gelombang tertentu.

Dapat dilihat pada tabel 5 dibawah ini masing-masing gugus fungsi memiliki bilangan gelombang tertentu.

(43)

2.7.4. Prinsip Kerja Alat FTIR

Prinsipnya didasarkan pada besarnya frekuensi sinar infra merah yang diserap dengan tingkat energi tertentu. Apabila frekuensi tertentu diserap ketika

melewati sebuah senyawa yang diselidiki, maka energi dari frekuensi tersebut akan ditransfer ke senyawa tersebut.

Radiasi dari sumber infra merah dipecah oleh pencacah sinar menjadi dua bagian yang sama dengan arah yang saling tegak lurus. Kemudian kedua radiasi tersebut dipantulkan kembali ke dua cermin sehingga bertemu kembali di

pencacah sinar untuk saling berinteraksi. Dari sini sebagian sinar diarahkan ke sampel menuju ke detektor, sedangkan sebagian dibalikkan ke sumber gerak,

maju mundur cermin akan menyebabkan sinar mencapai ke detektor berfluktuasi tetapi terkendali.

(44)

2.7.5. Keunggulan FTIR

Analisis menggunakan Spektrofotometer FTIR memiliki dua kelebihan utama dibandingkan metoda konvensional lainnya, yaitu:

a. Dapat digunakan pada semua frekuensi dari sumber cahaya secara simultan sehingga analisis dapat dilakukan lebih cepat daripada

menggunakan cara sekuensial atau scanning.

b. Sensitifitas dari metoda Spektrofotometri FTIR lebih besar daripada cara dispersi, sebab radiasi yang masuk ke sistem detektor lebih banyak karena

tanpa harus melalui celah (slitless) (Giwangkara, 2006).

2.8. Spektroskopi Serapan Atom (Atomic Adsorption Spectroscopy/AAS)

Peristiwa serapan atom pertama kali diamati oleh Fraunhofer, ketika menelaah garis-garis hitam pada spektrum matahari. Sedangkan yang

memanfaatkan prinsip serapan atom pada bidang analisis adalah seorang Australia bernama Alan Walsh pada tahun 1955. Sebelumnya ahli kimia banyak tergantung pada cara-cara spektrofotometrik atau analisis spektrografik. Beberapa cara ini

sulit dan membutuhkan waktu yang lama, kemudian digantikan dengan spektroskopi serapan atom. Metode ini sangat tepat untuk analisis zat pada

konsentrasi rendah. (Dewi Puspita, 2007).

Spektroskopi serapan atom atau yang biasa disebut dengan AAS mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode spektroskopi emisi

konvensional, contohnya spektroskopi nyala. Pada metode konvensional, emisi tergantung pada sumber eksitasi. Bila eksitasi dilakukan secara termal, maka ia

(45)

eksitasi yang rendah dapat dimungkinkan. Tentu saja perbandingan banyaknya atom yang tereksitasi terhadap atom yang berada pada tingkat dasar harus cukup besar, karena metode serapan atom hanya tergantung pada perbandingan ini dan

tidak bergantung pada temperatur. Logam-logam yang membentuk campuran kompleks dapat dianalisis dan selain itu tidak selalu diperlukan sumber energi

yang besar (Khopkar, 2003).

Perbedaan AAS dengan spektroskopi emisi yaitu AAS berdasarkan absorbsi yang merupakan pengukuran spektrum serapan cahaya dari suatu atom,

molekul atau bahan. Sedangkan spektroskopi emisi merupakan pengukuran spektrum frekuensi suatu cahaya.

2.8.1. Prinsip Kerja AAS

Metode ini berprinsip pada absorbsi cahaya oleh atom. Atom-atom

menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Dengan absorpsi energi, berarti memperoleh lebih banyak energi, suatu

atom pada keadaan dasar dinaikan tingkat energinya ketingkat eksitasi. Keberhasilan analisis ini tergantung pada proses eksitasi dan memperoleh garis resonansi yang tepat (Khopkar, 2003).

Secara proporsional konsentrasi atom bebas dalam nyala ditunjukkan menurut hukum Lambert-Beer:

A = -log lt / lo = bc Keterangan:

lo = Intensitas sumber sinar

lt = Intensitas sinar yang diteruskan = Absortivitas molar

c = Konsentrasi atom-atom yang menyerap sinar b = Panjang medium

(46)

2.8.2. Komponen-komponen AAS

a. Lampu katoda berongga (Hollow Cathode Lamp)

Lampu katoda berongga terdiri atas tabung gelas yang diisi dengan

gas argon (Ar) atau neon (Ne) bertekanan rendah (4-10 torr) dan di dalamnya dipasang sebuah katoda berongga dan anoda. Rongga katoda berlapis logam

murni dari unsur obyek analisis. Batang anoda terbuat dari logam wolfram/tungsten (W).

b. Ruang pengkabutan (Spray Chamber)

Merupakan bagian di bawah burner dimana larutan contoh diubah menjadi aerosol. Dinding dalam dari spray chamber ini dibuat dari

plastik/teflon. Dalam ruangan ini dipasang peralatan yang terdiri atas:

1. Nebulizer glass bead atau impact bead (untuk memecahkan larutan

menjadi partikel butir yang halus).

2. Flow spoiler (berupa baling-baling berputar, untuk mengemburkan

butir / partikel larutan yang kasar).

3. Inlet dari fuel gas dan drain port (lubang pembuangan). c. Pembakar (Burner)

Merupakan alat dimana campuran gas (bahan bakar dan oksida)

dinyalakan. Dalam nyala yang bersuhu tinggi itulah terjadi pembentukan atom-atom analit yang akan diukur. Alat ini terbuat dari logam yang tahan

panas dan tahan korosi. Desain burner harus dapat mencegah masuknya nyala ke dalam spray chamber. Hal ini disebut ”blow back” dan amat berbahaya.

Burner untuk nyala udara asetilen (suhu 2000-2200 0C) berlainan dengan

untuk nyala nitrous oksida-asetilen (suhu 2900-3000 0C). Burner harus selalu bersih untuk menjamin kepekaan yang tinggi dan kedapatulangan

(47)

d. Monokromator & Slit (Peralatan optik)

Fungsinya untuk mengisolir sebuah resonansi dari sekian banyak spektrum yang dihasilkan oleh lampu katoda berongga.

e. Detektor

Detektor yang biasa digunakan dalam AAS ialah jenis photomultiplier

tube, yang jauh lebih peka daripada phototube biasa dan responnya juga

sangat cepat (10-9 det). Fungsinya untuk mengubah energi radiasi yang jatuh pada detektor menjadi sinyal elektrik / perubahan panas.

f. Lain-lain

1. Pembuangan gas dan udara kotor (exhaust dust)

2. Pipa saluran gas

Gambar 10. Diagram alir AAS (Al Anshori, 2005)

2.8.3. Preparasi Sampel

Cara melakukan preparasi sampel untuk keperluan analisis dengan AAS, dapat dilakukan tahapan-tahapan kerja sebagai berikut:

(48)

b. Tambahkan 5 mL HNO3, kemudian panaskan diatas hotplate sampai larutan jernih dan volumenya kira-kira 25 mL.

c. Dinginkan, kemudian pindahkan larutan sampel kedalam labu takar

dan saring kembali menggunakan kertas saring untuk mengambil sisa- sisa endapan.

d. Larutan sampel yang menyusut dan telah disaring ditambahkan aquadest hingga volumenya sama dengan volume awal 50 mL

e. Larutan sampel siap diuji (Nurul Chaerani, 2010).

2.8.4. Keuntungan AAS

Keuntungan menggunakan metode AAS diantaranya adalah:

a. Dari satu larutan yang sama, beberapa unsur yang berlainan dapat diukur. b. Pengukuran dapat langsung dilakukan terhadap larutan contoh. Jadi berbeda

dengan kolorimetri (yang membutuhkan pembentukan senyawa berwarna), gravimetri (endapan perlu dikeringkan terlebih dahulu) dan sebagainya,

preparasi contoh sebelum pengukuran cukup sederhana. c. Output data (absorban) dapat langsung dibaca.

d. Dapat diaplikasikan kepada jenis unsur dalam banyak jenis (Apriliani, 2010).

2.9. Scanning Electron Microscope (SEM)

Scanning Electron Microscope (SEM) adalah mikroskop yang

menggunakan berkas elektron sebagai sumber pencahayaannya, mempunyai daya pisah yang tinggi sehingga dapat difokuskan ke titik (spot) yang sangat kecil.

(49)

 

Gambar 11. Diagram alir SEM

SEM memiliki perbesaran bervariasi mulai dari 500 kali sampai 10.000

kali pembesaran sehingga dapat menunjukan bagian-bagian yang tidak terlihat ketika diuji dengan mikroskop optik. Elektron ditembakkan ke lintasan yang memiliki kevakuman yang tinggi. Molekul gas (dalam hal ini gas nitrogen) akan

(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1 Maret sampai 1 Juli 2010.

Bertempat di Laboratorium Pusat Penelitian Metalurgi, LIPI, PUSPIPTEK Serpong.

3.2. Bahan dan Alat 3.2.1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain cangkang rajungan (Portunus pelagicus) dari Serang, pasir kuarsa dari Kalimantan Timur, Na2CO3 anhidrat, NaOH pa. 1M, NaOH pa. 50%, HCl pa. 1M, aquadest, dan larutan

standar Fe (1 ppm; 2 ppm; 3 ppm; dan 4 ppm), Mn (0,2 ppm; 0,5 ppm; 1,0 ppm; dan 2,0 ppm) dan kitosan produk BATAN (spesifikasi: derajat deasetilasi 91,12%,

ukuran 1 mm, rendemen 20%, kadar abu 0,2% dan kadar air 10%).

3.2.2. Alat

Alat yang digunakan diantaranya neraca analitik, muffle furnace (Carbolite),

cawan silikon karbida/krusibel, gelas beaker, gelas ukur, labu ukur, botol pereaksi,

botol semprot, hotplate magnetic (Nuova), timer, termometer, kertas saring Whatman

(51)

3.3. Metode Kerja

3.3.1. Persiapan Awal Roasting Pasir Kuarsa

Pasir kuarsa diambil, kemudian dicuci dengan menggunakan air bersih

sampai hilang kotoran berupa humus maupun lumpur. Setelah bersih, ditandai dengan air cucian yang sudah jernih, maka pasir kuarsa tersebut dikeringkan

dalam oven pada suhu 105oC ± 2 jam sehingga air cucian menguap sempurna.165 gram pasir kuarsa dan 135 gram natrium karbonat (Sulistiyono, 2005) dimasukkan ke dalam mixer, kemudian dilakukan proses pencampuran secara merata.Setelah

campuran merata kemudian campuran tersebut dimasukkan dalam krusibel dan dipanaskan sampai temperatur 1200oC, lalu setelah tercapai termperatur tersebut

kemudian ditahan sampai 2 jam. Pada percobaan ini diperoleh leburan natrium silikat dimana leburan tersebut langsung dikeluarkan dan dalam kondisi cair dituangkan dari dalam krusibel ke dalam loyang stainless steel.Kemudian lelehan

didinginkan dalam pendingin kipas agar cepat dingin, kemudian lelehan yang telah dingin digerus sehingga menjadi serbuk. Serbuk ini dinamakan dengan

Natrium Silikat Kotor (NSK) karena masih mengandung pengotor ion-ion logam.

3.3.2. Pembuatan Larutan Natrium Silikat

Serbuk Natrium Silikat Kotor (NSK) diperoleh, ditimbang sebanyak 20 gram dilarutkan dalam 200 mL air mendidih (1:10) (berdasarkan penelitian

sebelumnya) dan diaduk selama 2 jam.Larutan selanjutnya disaring dengan kertas saring Whatman no. 40, sehingga dapat dipisahkan masing-masing residu dan filtrat. Dilakukan proses analisa terhadap larutan dan residu untuk menentukan

(52)

3.3.3. Persiapan Awal Pembuatan Kitosan

Cangkang rajungan basah, dicuci dan dikeringkan dibawah sinar matahari. Kemudian dihaluskan lalu diayak dengan ukuran 100 mesh, maka jadilah tepung

rajungan.

a. Demineralisasi

Penghilangan mineral dilakukan pada suhu 25-30°C (suhu kamar) dengan menggunakan larutan HCl 1 M dengan perbandingan sampel dengan larutan HCl = 1:15 (gr serbuk/ml HCl) sambil diaduk selama 60 menit. Kemudian di dekantasi

dan dicuci dengan aquadest sampai pH netral, lalu dikeringkan endapannya.

b. Deproteinasi

Proses ini dilakukan pada suhu 80-90°C dengan menggunakan larutan NaOH 1 M dengan perbandingan NaOH = 1:15 (gr serbuk/ml NaOH) sambil diaduk selama 3 jam. Kemudian campuran didekantasi dan dicuci dengan

aquadest sampai pH netral, lalu disaring untuk diambil endapannya.

c. Deasetilasi Kitin menjadi Kitosan

Kitin yang telah dihasilkan pada proses diatas dimasukkan dalam larutan NaOH 50% 1:15 (gr serbuk/ml NaOH) pada suhu 90°C sambil diaduk dengan kecepatan konstan selama 60 menit. Hasilnya disaring, endapan dicuci dengan

aquadest lalu ditambah larutan HCl encer agar pH netral kemudian dikeringkan. Maka terbentuklah kitosan. Gambar proses dapat dilihat pada lampiran hal. 76.

3.3.4. Analisis FTIR

Sebanyak 2 mg sampel kitosan ditambahkan 200 mg KBr (1:100) lalu

(53)

yang ada. Film yang terbentuk kemudian dibaca dengan alat FTIR pada panjang gelombang 450-4000 cm-1.

3.3.5. Analisis SEM

Sampel yang telah bersih dan kering ditempelkan pada sample holder

dengan perekat dua sisi, dilanjutkan dengan pelapis tipis emas dalam mesin pelapis tipis (sputler). Kemudian dilakukan pengamatan struktur mikro dan komposisi kimianya dengan SEM pada 20 kV dan perbesaran 1000 kali.

3.3.6. Proses Adsorpsi dengan Metode Batch a. Pengaruh Massa Kitosan

Kitosan dengan massa yang berbeda (0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,5 dan 0,6 gram) dicampurkan dalam 50 mL larutan Natrium Silikat Kotor (NSK) dalam suasana

asam. Kemudian diaduk pada temperatur ruang selama 30 menit. Setelah itu campuran disaring dengan kertas saring Whatman no. 40. Filtrat yang dihasilkan

dianalisis dengan menggunakan AAS untuk mengetahui seberapa besar penyerapan kitosan. Analisis dilakukan secara berulang (duplo). Persen logam yang teradsorpsi/diserap dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Persentasi adsorpsi = C0 – C x 100%

C0

Keterangan:

C0 = konsentrasi awal logam (mg/L)

C = konsentrasi logam setelah adsorpsi pada fasa cair (mg/L)

b. Pengaruh Waktu Kontak

Kitosan dengan massa 0,2 gram dicampurkan dengan 50 mL larutan Natrium Silikat Kotor (NSK), kemudian diaduk pada temperatur ruang. Waktu

(54)

Setelah itu campuran disaring dengan kertas saring Whatman no. 40. Filtrat yang dihasilkan dianalisis dengan menggunakan AAS untuk mengetahui konsentrasi masing-masing ion logam yang masih tersisa dalam larutan. Analisis dilakukan

secara berulang (duplo). Waktu kontak dengan penyerapan yang terbaik digunakan untuk analisis selanjutnya.

c. Pengaruh Konsentrasi Asam

Sebanyak 50 mL larutan Natrium Silikat Kotor (NSK) dengan variasi pH

2, 3, 4, 5, 6, dan 7, dicampurkan dengan kitosan sebanyak 0,2 gram kemudian diaduk pada temperatur ruang dengan menggunakan waktu kontak yang terbaik.

Setelah itu campuran disaring dengan kertas saring Whatman no. 40. Filtrat yang dihasilkan dianalisis dengan menggunakan AAS untuk mengetahui konsentrasi masing-masing ion logam yang masih tersisa dalam larutan. Analisis dilakukan

secara berulang (duplo). pH dengan penyerapan yang terbaik digunakan untuk analisis selanjutnya.

d. Pengaruh Suhu

Kitosan dengan massa 0,2 gram dicampurkan dengan 50 mL larutan

Natrium Silikat Kotor (NSK) dengan pH yang terbaik, kemudian diaduk pada temperatur yang divariasikan (30oC, 40oC, 50oC, 60oC, 70oC, dan 80oC) dengan

menggunakan waktu kontak yang terbaik. Setelah itu campuran disaring dengan kertas saring Whatman no. 40. Filtrat yang dihasilkan dianalisis dengan menggunakan AAS untuk mengetahui konsentrasi masing-masing ion logam yang

(55)

e. Perbandingan Kitosan Sintesis dengan Kitosan Produk BATAN

Sebanyak 0,2 gram kitosan sintesis maupun kitosan produk BATAN, masing-masing dicampurkan dalam 50 mL larutan Natrium Silikat Kotor (NSK)

dengan kondisi pH, suhu dan waktu yang terbaik. Setelah itu campuran disaring dengan kertas saring Whatman no. 40. Filtrat yang dihasilkan dianalisis dengan

menggunakan AAS untuk mengetahui konsentrasi masing-masing ion logam yang masih tersisa dalam larutan. Analisis dilakukan dua kali pengulangan (duplo). Hasil adsorpsi antara kitosan sintesis dengan kitosan produk BATAN

(56)
(57)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakterisasi Pasir Kuarsa dan Preparasi Natrium Silikat

Pasir kuarsa merupakan bahan baku pada penelitian ini. Pasir kuarsa yang

digunakan diharapkan mempunyai kemurnian yang tinggi, sehingga perlu dilakukan karakterisasi terhadap pasir kuarsa dengan menggunakan SEM dan AAS. Analisis dengan menggunakan SEM dilakukan untuk mengetahui bentuk

(morfologi) dari suatu permukaan pasir kuarsa. Adapun gambar hasil analisis SEM sebagai berikut:

100 µm100 µm 100 µm 100 µm

100 µm

Gambar 13. Hasil analisa pasir kuarsa

Selain itu, untuk mengetahui pengotor apa saja yang terdapat pada pasir

kuarsa, maka dilakukan analisis terhadap pasir kuarsa dengan menggunakan AAS dari laboratorium pengujian tekMIRA Bandung. Hasil analisis AAS (lihat pada

(58)

Tabel 6. Pengotor pada pasir kuarsa

Pengotor pasir kuarsa Massa (%)

SiO2 99,2

Natrium silikat dibuat dari campuran pasir kuarsa (silika) dengan natrium

karbonat (Na2CO3). Pasir yang digunakan berasal dari Samboja, Kalimantan Timur. Campuran pasir kuarsa dengan Na2CO3 dibakar dalam tanur pada suhu

1200 oC selama ± 2 jam. Pada pencampuran ini terjadi reaksi sebagai berikut:

Na2CO3 (s) + SiO2 (s) Na2SiO3 (s) + CO2 (g) ………4.1)

Pasir kuarsa dengan natrium karbonat dapat membentuk kaca jika

dipanaskan di atas titik lelehnya dan kemudian harus didinginkan dengan cepat untuk menghindari kristalisasi. Setelah dingin natrium silikat dijadikan serbuk

dengan cara digrinding. Natrium silikat yang dihasilkan kemudian dilarutkan dengan air mendidih, lalu direaksikan dengan kitosan untuk menghilangkan ion-ion logam pengotornya.

4.2. Isolasi Kitin dan Transformasi Kitosan

Bahan awal yang digunakan untuk membuat kitin dan kitosan adalah

limbah cangkang rajungan (Portunus pelagicus) yang telah dikeringkan dan telah dibuat serbuk. Limbah cangkang rajungan ini berasal dari Serang, Banten-Jawa

(59)

dan deproteinasi, kemudian untuk mendapatkan kitosan dilakukan proses deasetilasi.

Tahap demineralisasi dilakukan untuk menghilangkan mineral yang

terkandung dalam cangkang rajungan. Pada tahap demineralisasi ini dilakukan dengan menambahkan HCl 1 M karena mineral yang terdapat dalam bahan,

terutama CaCO3 dan sedikit Ca3(PO4)2 mudah hilang dengan penambahan HCl dan dapat menghasilkan kitin dengan kandungan mineral yang lebih rendah (Ruswanti dkk, 2007). Pada tahap ini, ketika HCl 1M direaksikan dengan serbuk

rajungan akan terbentuk buih yang terkumpul pada permukaan larutan. Setelah 1 jam buih berkurang dan larutan berwarna kuning keruh. Terbentuknya buih

tersebut menandakan adanya gas karbon dioksida (CO2) dan uap air. Reaksi yang terjadi sebagai berikut:

CaCO3 (s) + 2HCl (aq) CaCl2 (aq) + H2O (l) + CO2 (g) …..(4.2)

Ca3(PO4)2 (s)+ 4HCl (aq) 2CaCl2 (aq)+ Ca(H2PO4)2 (aq) …..(4.3)

Tahap kedua yaitu deproteinasi yang merupakan suatu proses pemisahan

atau pelepasan ikatan antara protein dan kitin. Deproteinasi dilakukan dengan menggunakan NaOH 1 M selama 1 jam pada suhu 80-90 oC. Pada tahap ini, protein akan terlepas dan membentuk Na-proteinat yang dapat larut dan hilang

selama proses pencucian dan penyaringan (Ruswanti dkk, 2007). Hal ini ditunjukan dengan perubahan warna larutan dari jernih menjadi coklat. Filtrat

yang dihasilkan berwarna coklat dan endapan putih kecoklatan. Reaksi yang terjadi sebagai berikut:

(60)

Pada setiap tahap dilakukan pencucian sampai larutan netral, bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa dari larutan reagen. Pencucian yang kurang sempurna akan mengakibatkan mineral yang terlepas dapat melekat kembali pada

permukaan molekul kitin. Pencucian juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya degradasi produk selama proses pengeringan. Karena kitin juga

mengandung beberapa gugus amino bebas baik disebabkan adanya sedikit deasetilasi selama proses pengeringan atau akibat pembentukan asetilasi yang tidak sempurna (Hendri, 2008).

Tahap terakhir adalah deasetilasi yang diperlukan untuk mengubah kitin menjadi kitosan dengan proses hidrolisis. Pada tahap ini digunakan larutan NaOH

50% disebabkan pada kondisi tersebut merupakan kondisi optimum pada proses transformasi gugus asetil yang berikatan dengan atom nitrogen membentuk gugus amina (Rochima dkk, 2007). Perendaman dalam NaOH konsentrasi tinggi (≥40%)

akan meningkatkan derajat deasetilasi dan mengakibatkan terjadinya depolimerisasi memutuskan ikatan rangkap antara gugus karboksil dengan atom

nitrogen Rochima dkk, 2007). Larutan NaOH berfungsi membantu pemutusan (katalis) ikatan antara gugus asetil dengan atom nitrogen sehingga berubah menjadi gugus amino (-NH2). Pada tahap ini tidak menggunakan air atau alkohol

untuk mendeasetilasi, karena dikhawatirkan akan menghidrolisis hidroksidanya atau ikatan glikosidik yang terdapat pada struktur kitosan dapat putus. Reaksi

(61)

Gambar 14. Reaksi kitin menjadi kitosan (Rahayu dan Purnavita, 2007)

Dengan adanya sifat-sifat kitin dan kitosan yang dihubungkan dengan gugus amino dan hidroksil yang terikat, maka menyebabkan kitin dan kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit

kation sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion exchanger) dan dapat berperan sebagai adsorben logam berat dalam air limbah (Marganof, 2003).

Kitosan yang didapatkan dari hasil sintesis sebesar 34,89 gram (57 % berat) dari 200 gram cangkang rajungan (lihat lampiran 3).

Sulitnya menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi

diduga karena kitin secara alami berbentuk kristalin yang mengandung rantai-rantai polimer kitin berkerapatan sangat tinggi, yang satu sama lain terikat dengan

ikatan hidrogen yang sangat kuat, sehingga menghalangi enzim berpenetrasi mencapai substrat spesifiknya (Rochima, 2008). Deasetilasi yang terjadi pada kitin hampir tidak pernah selesai sehingga dalam kitosan masih ada gugus asetil

yang terikat pada beberapa gugus N (Kusumawati, 2009). Derajat deasetilasi juga dipengaruhi oleh waktu. Menurut Purnawan dkk (2009), bahwa semakin lama

(62)

tinggi. Hal ini disebabkan semakin lama waktu reaksi hidrolisis kitin, gugus asetil yang tersubstitusi menjadi gugus amina semakin banyak sehingga DD kitosan semakin tinggi. Pada penelitian ini, ketika masih sebagai serbuk rajungan

memiliki derajat deasetilasi 21,39%. Akan tetapi setelah menjadi kitosan, derajat deasetilasinya meningkat menjadi 75,99%.

Kitosan yang terbentuk diidentifikasi dengan menggunakan spektrofotometer infra merah (FTIR). Hasil analisis kuantitatif spektrum FTIR yang didapatkan untuk menghitung derajat deasetilasi (DD) kitosan. Derajat

Deasetilasi menunjukkan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari kitin sehingga dihasilkan kitosan. Makin berkurangnya gugus asetil pada kitosan maka

interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan akan semakin kuat. Spektrum FTIR hasil analisis dapat dilihat sebagai berikut:

4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.0

0.0

Laborat ory Test Result

Ser buk Raj ungan

Gambar

Gambar 25. Pengurangan kadar ion Fe dan Mn …………………………… 59
Tabel 1. Kualitas standar kitosan ………………………………………….. 13
Gambar 2. Rajungan (Portunus pelagicus)
Gambar 3. Struktur (a) kitin dan (b) kitosan (Sedjati, 2006)
+7

Referensi

Dokumen terkait