• Tidak ada hasil yang ditemukan

Takdir dalam pandangan fakhr al-din al-razi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Takdir dalam pandangan fakhr al-din al-razi"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

TAKDIR DALAM PANDANGAN

FAKHR AL-DIN AL-RAZI

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Ushuluddin (S.Ud.)

Oleh

Djaya Cahyadi

NIM: 104034001199

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 3 Maret 2011

(3)

TAKDIR DALAM PANDANGAN

FAKHR AL-DIN AL-RAZI

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Ushuluddin (S.Ud.)

Oleh Djaya Cahyadi 104034001199

Pembimbing.

Dr. Edwin Syarif, M.A. NIP. 19670918 199703 1 001

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)
(5)

ABSTRAK

Djaya Cahyadi

Takdir dalam Pandangan Fakhr al-Din al-Razi

Problematika takdir merupakan salah satu tema urgen yang telah menjadi topik pembahasan secara luas dalam Islam. Pemahaman mengenai takdir itu sendiri berdeda-beda tergantung pada perspektif yang digunakan. Setidaknya pengertian takdir terpecah kepada dua definisi antara yang mengatakan bahwa takdir merupakan suatu ketentuan yang telah ditetapkan sejak zaman azali dan takdir yang bermakna suatu aturan yang berlaku pada alam semesta, termasuk manusia. Definisi pertama menghasilkan konsep bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dan ditetapkan. Dengan kata lain manusia terpaksa dalam setiap perbuatannya. Sedangkan definisi kedua melahirkan pemikiran bahwa manusia bebas menentukan keinginan dan perbuatannya. Namun dalam merealisasikan perbuatannya tersebut manusia mesti memperhatikan dan memenuhi aturan yang berlaku tersebut. Kedua pengertian ini telah berlaku dalam Islam dan masing-masing memiliki dalil dalam al-Quran yang menguatkan pendapatnya.

Penelitian ini memfokuskan diri pada pemahaman Fakhr al-Din al-Razi terhadap takdir sebagai salah satu dari warisan keilmuan yang ada pada Islam. Pemahaman al-Razi terhadap takdir tidak dapat dilihat begitu saja tanpa memperhatikan juga berbagai kondisi yang terjadi pada masanya, aktifitas keilmuannya, dan mazhab fiqh, filsafat, maupun teologi yang dipegangnya. Al-Razi

dikenal sebagai pembela aliran Asy‟ariah yang terkemuka pada masanya. Namun

demikian ia tidak segan berbeda dengan al-Asy‟ari sendiri maupun Muktazilah yang sangat ditentangnya. Dengan berbagai referensi yang didapatnya al-Razi mengeluarkan pendapatnya sendiri yang menurutnya objektif dan dapat dibuktikan. Al-Razi merupakan seorang pemikir bebas yang berani berbeda dengan para pendahulunya dan mengeluarkan pemikiran orisinil yang diperolehnya dari berbagai kajiannya terhadap suatu permasalahan.

Dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat seputar takdir al-Razi terlihat memiliki kecenderungan determinis. Perbuatan manusia dipengaruhi atau bergantung kepada faktor-faktor yang berada di luar kekuasaannya. Takdir dipandang sebagai suatu ketetapan yang telah ditentukan sejak azali. Apa yang diinginkan dan diperbuat manusia bergantung kepada kehendak ketuhanan.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt., yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “TAKDIR DALAM PANDANGAN FAKHR AL-DIN AL-RAZI”.

Salawat beserta salam semoga tetap berlimpah kepada junjungan Nabi Muhammad saw., kepada keluarga dan para sahabat-sahabatnya serta seluruh umat Muslim yang mengikuti langkah-langkah mereka hingga akhir jaman.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengalami berbagai ujian yang banyak menyita waktu dan materi sehingga kadang-kadang mengendorkan semangat penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Walaupun demikian, penulis menyadari bahwa usaha penulisan skripsi ini masih menyisakan banyak hal yang tidak dapat penulis hadirkan di dalamnya, hal itu karena keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Namun patut disyukuri karena banyak sekali pengalaman yang berharga telah penulis dapatkan dalam penyelesaian skripsi ini. Tugas akhir ini dapat terselesaikan berkat kontribusi dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal Fakih, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak Dr. Bustamin, M.Si. selaku ketua Jurusan Tafsir Hadis dan Ibu Dr. Lilik Umi Kalsum, M.A. selaku sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.

(7)

2. Bapak Dr. Edwin Syarif, M.A. sebagai dosen pembingbing skripsi. Penulis ucapkan terima kasih atas kesabaran dan ketelitian beliau dalam membimbing penulis.

3. Pimpinan dan seluruh staf perpustakaan Fakultas Ushuluddin, perpustakaan Utama

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan perpustakaan Iman Jama‟.

4. Para dosen selama masih aktif di bangku kuliah dari tahun 2004-2008 yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu. Terima kasih atas ketulusan ilmu yang telah diberikannya, semoga ilmu yang telah diajarkan menjadi amal salih bagi mereka semua dan membawa berkah dan manfaat bagi penulis.

5. Kedua orang tua tercinta, Zakiah dan Junaidi yang merupakan motivator utama penulis dalam penyusunan skripsi ini, yang tulus telah memberikan kasih sayang

dan dorongan baik moril maupun materil, serta do‟a yang tak henti-hentinya

dipanjatkan guna keberhasilan dan kebahagiaan anaknya. Terima kasih yang tak terhingga dari lubuk hati yang paling dalam. Mohon maaf kepada keduanya, juga saudara penulis Zuhriah dan Abdul Aziz Rijal jika orang yang diharapkan terlalu lama merampungkan tugasnya.

6. Teman-teman senasib dan seperjuangan angkatan 2004 Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat: Aang Setiawan, Muhammad Mahsun, Ahmad

Khozin, Ja‟far Shodiq, Muhammad Mukhlis, Muhammad Ridwan, Engkus

Kusnandar, Matrozi, Haromain, Ahmad Iskandar, Nurfadhilah, Muhammad Fajar Faqihuddin, Fikri, Subur Abdurrahman, Amelia, Ida Nurmala, Een Hendrawati, Eni Nuraeni, dan lainnya yang tidak dapat penulis sebut semua namanya. Terima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan kepada penulis selama aktif kuliah

(8)

dan penulis mohon maaf yang sedalam-dalamnya jika tak dapat memenuhi harapan mereka.

7. Soulmate penulis satu harapan dan tujuan, Nurulloh, Syaifulloh, dan teman-teman lainnya yang tak hentinya memberikan motivasi dan pengertian mereka untuk tetap menjalankan tanggung jawab penulis sepenuh hati. Juga Bang Syu‟bah, guru sekaligus teman yang selalu mendoakan kebaikan kepada penulis.

Sekali lagi penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang ikut serta memberikan partisipasinya sehingga akhirnya skripsi ini terselesaikan. Semoga bantuan, dukungan dan do‟a restu mereka semua menjadi amal salih yang mendapatkan curahan rahmat dan ampunan serta balasan yang berlipat ganda dari Allah swt. Amin. Harapan penulis skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis pribadi maupun pada semua orang yang membacanya. Wallâhu A‘lamu bi

Murâdih

Jakarta, 3 Maret 2011

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 10

D. Tujuan Penelitian ... 10

E. Manfaat Penelitian ... 10

F. Metodologi Penelitian ... 10

G. Kajian Pustaka ... 11

H. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II BIOGRAFI A. Biografi ... 14

B. Karir Intelektual ... 21

C. Karya Tulis ... 27

D. Metode Penafsiran ... 30

BAB III TAKDIR DALAM ISLAM A. Pengertian Takdir ... 34

B. Seputar Takdir dalam Islam ... 37

BAB IV TAFSIR FAKHR AL- DIN AL-RAZI TENTANG TAKDIR A. Kajian Mengenai Takdir Menurut al-Razi ... 59

B. Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 6 ... 67

C. Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 26 ... 70

D. Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-Kahfi Ayat 29 ... 77

E. Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-A‟raf Ayat 178 ... 79

F. Analisis... ... 82

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 87

B. Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(10)

PEDOMAN TRANSLITERASI

ا : ض : d

ب : b ط : t

ت : t ظ : z

ث : ts ع : ‘

ج : j غ : gh

ح : h ف : f

خ : kh ق : q

د : d : k

ذ : dz ل : l

ر : r م : m

: z : n

س : s و : w

ش : sy ه : h

: s ء : ‘

ي : y

Vokal Tunggal Vokal Panjang

Fathah : a ا : â

Kasrah : i ي : î

Dammah : u و : û

Kata Sandang لا : al-Qamar

(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Membahas tentang takdir bagaikan menyelami sebuah samudera tak bertepi. Permasalahan ini telah menjadi pembahasan dari zaman klasik hingga kontemporer, baik di Timur maupun di Barat. Bahkan problematika takdir yang diantaranya membahas apakah manusia memiliki kebebasan kehendak atau perbuatannya telah ditentukan sebelumnya (ditakdirkan) telah menjadi suatu permasalahan filsafat tertua yang mencapai puncaknya pada pemikiran filsafat Islam.1 Terlepas dari permasalahan itu, pandangan mengenai takdir membawa dampak yang tidak kecil dalam kehidupan. Banyak orang berkeyakinan salah mengenai takdir menyalahkan Tuhan atas berbagai kesulitan dan kemalangan yang menimpanya. Ini membuktikan bahwa pandangan mengenai takdir akan mempengaruhi sikap dan mental seseorang dalam kehidupan. Setidaknya terdapat perbedaan dalam bersikap antara orang yang mempercayai bahwa dirinya adalah wujud yang terbelenggu dengan orang yang meyakini bahwa dia sendirilah yang berkuasa sepenuhnya atas masa depan dan nasibnya.2

Problem pertama yang timbul dari permasalahan takdir ialah makna dari takdir itu sendiri. Jika secara harfiah takdir ditetapkan sebagai ukuran atau batas tertentu dalam diri atau sifat sesuatu,3 secara terminologis pengertian takdir masih

1 Abbas Muhajirani, „Pemikiran Teologis dan Filosofis Syi‟ah Dua Belas Imam‟, dalam

Sayyid Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (Buku Pertama);

terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003) 2

Syahrin Harahap, Islam: Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, (Yogyakarta: Tiara

Wacana Yogya, 1999), h. 29.

(12)

menjadi perdebatan. Secara umum pandangan terhadap takdir terpecah kepada dua kutub besar di mana satu sisi berarti ketetapan perbuatan manusia telah ditentukan sejak zaman azali, sebelum ia lahir ke dunia. Di sisi lain manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan dan perbuatan yang hendak dilakukannya, walaupun tetap ada keterbatasan sesuai kodratnya sebagai manusia. Dalam istilah Barat, problem ini dikenal dengan istilah Free Will and Predestination.4

Tak pelak lagi penyatuan tema takdir dan kebebasan kehendak, ataupun free will and predestination membawa kesan pereduksian makna dari takdir menurut

Islam itu sendiri. Penyatuan ini membuat seakan-akan takdir dan kebebasan kehendak merupakan dua hal yang bertentangan. Seorang yang percaya akan adanya takdir tidak mengakui adanya kebebasan kehendak pada dirinya, begitupun sebaliknya. Hipotesis awal penulis mengatakan bahwa kedua hal tersebut tidak bertentangan. Tentu saja ini sangat berkaitan dengan atau tergantung pada pendefinisian kedua term tersebut juga pendekatan yang digunakan dalam mengkajinya.

Pertanyaan selanjutnya yang timbul dari permasalahan ini apakah takdir dalam Islam identik dengan paham predestinasi yang menganggap manusia hanya bagaikan bulu yang bertebaran mengikuti angin bertiup atau seperti wayang yang dimainkan oleh dalang. Tidak salah jika Muhammad Ali mengatakan bahwa paham seperti inilah yang menjadi pandangan umum mayoritas umat Islam saat ini.5 Hal ini pula yang menjadi sasaran kritik pedas Barat bahwa Islam adalah agama yang

4 Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), cet. ketiga h. 169.

5

Maulana Muhammad Ali, Islamologi. Penerjemah: R. Kaelan dan H.M. Bachrun (Jakarta:

(13)

membawa ajaran predestinasi yang mengajarkan paham fatalistik kepada umatnya.6 Tetapi kemudian yang menjadi pertanyaan ialah apakah Islam mengajarkan umatnya bertindak fatalistik atau menyerah kepada takdir. Pantaskah umat Islam menyalahkan takdir atas apa yang terjadi pada mereka berupa kemunduran dalam beberapa abad terakhir.

Telah umum diketahui bahwa Islam pada masa awal telah menjadi kekuatan

yang mengguncang dunia, bahkan sempat menjadi “penguasa” dunia sampai sekitar

abad ke-7 H./13 M. Kepercayaan terhadap takdir telah mem-pengaruhi umat Islam awal untuk bangkit berjuang menghadapi tantangan yang membentang di hadapannya. Jika kepercayaan kepada takdir dianggap sebagai hal yang membuat umat Islam terbelakang saat ini, mengapa kepercayaan ter-hadapnya tidak membuat kaum Muslimin generasi awal tidak terbelakang, bahkan menjadi generasi yang paling maju diantara manusia pada masanya.7 Apakah mereka—kaum Muslimin awal—tidak memiliki kepercayaan terhadap takdir, atau apakah takdir hanya direkayasa oleh para teolog untuk mendukung paham mereka. Mengatakan kaum Muslimin awal tidak percaya takdir merupakan asumsi tak berdasar, sebab term takdir telah menjadi keyakinan dasar umat Islam yang landasannya dapat ditemukan baik dalam ayat-ayat al-Quran maupun hadis Nabi saw.

Islam sebagai agama setidaknya memiliki dua hal yang menjadi sumber ajarannya, yakni al-Quran dan hadis. Setiap Muslim tentu menginginkan keya-kinan atau pahamnya sejalan dengan keduanya. Karena al-Quran bersifat umum, maka ia

6 Ibid., catatan kaki no. 61, h. 219.

7

Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci, edisi 2. Editor:

(14)

terbuka terhadap berbagai penafsiran yang tentu saja tidak melenceng dari maknanya. Setiap paham teologi, baik yang mengatakan manusia sebagai makhluk terbelenggu ataupun makhluk yang bebas menggunakan ayat-ayat al-Quran maupun hadis sebagai dalil. Sebagai contoh paham kebebasan kehendak menggunakan ayat:

―Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin

(kafir) Biarlah ia kafir." (al-Kahfi: 29)

Sedangkan paham yang mengatakan manusia sebagai makhluk terpaksa (majbûr) menggunakan ayat:













Artinya: ―Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu." (al-Shaffat: 96)

Kedua ayat tersebut terkesan bertentangan padahal tidak ada pertentangan dalam al-Quran. Hal inilah yang mesti dikaji lebih dalam agar tidak terjadi kesalahpahaman atau terlebih lagi menuduh tanpa disertai bukti yang otentik.

Dalam khazanah intelektual Islam, permasalahan ini juga menjadi perhatian para ulama disebabkan kepercayaan akan takdir (qadâ` dan qadar) disebutkan dalam suatu hadis yang menjadi acuan dalam menentukan rukun iman.8 Setidaknya terdapat tiga paham yang memiliki definisi yang berbeda mengenai takdir. Paham pertama disebut Jabariyah yang—dengan menggunakan kiasan—mengatakan bahwa manusia

8

Hadis yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim tentang kedatangan Jibril dalam bentuk manusia yang menanyakan kepada Nabi hal-hal yang berkaitan dengan iman, islam, dan ihsan. Diantara poin keimanan disebutkan kepercayaan kepada takdir, baik dan buruknya. Dikarenakan

kepercayaan kepada takdir tidak secara jelas tertera dalam al-Quran, maka kaum Syi‟ah tidak

(15)

tidak lain adalah bulu yang berterbangan, mengikuti angin yang membawanya ke kanan dan ke kiri. Dengan kata lain paham ini mendefinisikan takdir sebagai telah ditentukan pada zaman azali, manusia hanya bisa menerima ketentuan tersebut. Paham kedua disebut Qadariyah yang selanjutnya diwakili oleh para pengikut

Mu‟tazilah. Paham ini mengatakan bahwa manusia bisa merubah nasibnya sendiri

dengan segala potensi yang telah diberikan Tuhan. Paham ini memahami takdir dalam arti harfiah, yakni batasan, yang berarti manusia tidak dapat melewati batasnya dalam kapasitasnya sebagai manusia. Batasan ini dapat dilihat dalam fenomena hukum alam atau sunnatullah. Paham ketiga timbul sebagai reaksi dari pertentangan kedua paham sebelumnya yang dalam satu sisi menempatkan manusia sebagai makhluk yang tak berdaya terhadap ketentuan Tuhan, di sisi lain sebagai makhluk yang secara bebas dan dinamis menentukan sendiri arah hidupnya. Paham ini dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy‟ari yang kemudian menjadi acuan dalam sekte

Ahlussunnah wal Jama‘ah. Al-Asy‟ari mengatakan bahwa tidak ada satupun usaha

manusia yang tidak dikehendaki Tuhan. Ini berarti bahwa setiap usaha manusia merupakan ciptaan Tuhan. Dalam hal ini al-Asy‟ari menciptakan teori kasab. Yang dimaksud dengan kasab ialah tindakan yang diusahakan, seperti berjalan, berlari, berpikir, dan sebagainya. Kasab ini berbeda dengan perbuatan yang niscaya, seperti menggigil karena kedinginan atau gemetar karena demam. Jadi, Tuhan men-ciptakan pada manusia kekuatan untuk bertindak sekaligus tindakan itu sendiri. Di tempat lain al-Asy‟ari mengatakan bahwa jika Tuhan dideskripsikan berkuasa menjadikan sesuatu sebagai usaha manusia, Tuhan juga berkuasa memaksakan usaha tersebut.9

9

(16)

Fakhr al-Din al-Razi merupakan mufasir Islam terkemuka pada abad keenam Hijriah. Sebagai seorang mufasir al-Razi dapat dikatakan unik dengan metodologinya sehingga penafsirannya dapat dikategorikan baik dalam corak al-ra‘yi, ilmi, maupun falsafi,10 suatu hal yang tentunya jarang terjadi pada masanya. Tafsirnya yang monumental dikenal dengan Mafâtih al-Ghaib yang juga meru-pakan karya teologis terbesar dari al-Razi. Dalam kitab ini al-Razi meletakkan ayat al-Quran dalam diskusi filosofis, walaupun ia terkenal sebagai salah seorang penentang keras filsafat. Para pengkritiknya seperti Abu Hayyan dan Ibn Taymiyah mengatakan bahwa di dalamnya (Mafâtih al-Ghaib) terdapat segala sesuatu kecuali tafsir.11 Kritik ini justru merefleksikan keluasan dari penafsiran yang dianggap melenceng sehingga penafsirannya tidak dapat dikategorikan sebagai penafsiran. Di sisi lain, para pembelanya seperti Tajuddin al-Subki membantah kritik ini dan mengatakan bahwa di dalamnya terdapat segala sesuatu disertai tafsir.12

Disamping sebagai ahli tafsir dan fiqh, al-Razi juga merupakan seorang teolog dan filosof. Ibrahim Madkour mengatakan bahwa ia adalah filosof Timur yang pertama pada abad keenam Hijriah. Al-Razi konsern dalam menggeluti filsafat, logika, kosmologi, dan metafisika. Ia berusaha memadukan agama dan filsafat dan mencampur filsafat dengan ilmu kalam (teologi Islam).13 Dengan karya-karyanya dari berbagai disiplin keilmuan seperti filsafat, teologi, hukum, pengobatan, astronomi,

Dunia Islam jilid 4, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), cet. II, h.135-136. 10

Mohammad Anwar Syarifuddin, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis: Laporan Penelitian

Individual—naskah tidak diterbitkan (Jakarta: FUF UIN Syahid, 2006), h. 33-34. 11

W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinberg: Edinberg University

Press, 1985), h. 94-95.

12 Ibid., h. 95.

13

Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam. Penerjemah: Yudian Wahyudi Asmin

(17)

logika, astrologi, dan fisiognomi (ilmu firasat), tak dapat disangkal lagi bahwa al-Razi merupakan sarjana (ulama) paling terkemuka pada masanya.14

Sebagai seorang mufasir dan juga teolog, isu takdir juga menarik perhatian al-Razi. Ia dihadapkan pada kenyataan berbagai pandangan mengenai takdir. Uniknya,

walaupun dikenal sebagai teolog Asy‟ariyah—sebagian juga mengatakan

Mu‟tazilah—al-Razi tidak mengambil suatu pendapat secara taklid atau membabi

buta. Dalam beberapa isu teologis al-Razi terlihat memiliki kecenderungan

Mu‟tazilah, seperti dalam pertanyaan tentang sifat-sifat ketuhanan dan kemungkinan

Tuhan untuk dilihat dengan mata kepala (di alam akhirat).15 Hal ini membawa kepada kemungkinan al-Razi untuk bersikap netral dan sikap ini pula yang mesti dimiliki para ulama dan cendekiawan Islam.

Beberapa prolog di atas melatarbelakangi penulis untuk menyusun skripsi

dengan judul “TAKDIR DALAM PANDANGAN FAKHR AL-DIN AL-RAZI”.

B. Batasan Masalah

Dikarenakan studi ini merupakan studi pemikiran Fakhr al-Din al-Razi mengenai takdir yang difokuskan pada penafsirannya terdahap ayat-ayat al-Quran, maka studi ini membatasi diri pada kajian terhadap ayat-ayat tersebut. Di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang berbicara mengenai takdir, baik menggunakan kata qadâ‘, qadar, maupun taqdîr. Ayat-ayat tersebut digunakan oleh masing-masing

sekte untuk mendukung ajarannya, baik yang mengatakan bahwa manusia itu

14

Yasin Ceylan, Theology and Tafsir in Major Works of Fakhr al-Din al-Razi (Kuala

Lumpur: ISTAC, 1996), h. 4.

(18)

terpaksa, manusia memiliki kebebasan kehendak, maupun paham yang berdiri diantara keduanya. Semua sekte dalam Islam, baik kaum Jabariah, Muktazilah,

Asy‟ariah, maupun Maturidiah menggunakan ayat-ayat al-Quran untuk menguatkan

paham mereka.

Kata taqdîr dalam berbagai bentuknya digunakan al-Quran sebanyak 133 kali. Kata qadâ` dalam berbagai bentuknya disebut sekitar 63 kali. Kata qadar dalam berbagai derivasinya, tidak termasuk bentuk fâ‘il (qâdir) disebut sekitar 73 kali.16

Di samping ayat-ayat yang secara tekstual menggunakan kata taqdîr, terdapat pula ayat-ayat yang berkaitan erat dengan permasalahan takdir. Ayat-ayat tersebut dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan penggunaannya oleh masing-masing sekte. Ayat-ayat kelompok pertama yang secara letterlek menguatkan golongan yang berpendapat bahwa perbuatan manusia telah ditetapkan sebelumnya (majbûr, determinis, fatalistik) terdapat pada surat Ali Imran: 26, al-A‟raf: 155, al-Ra‟d: 11, al -Isra`: 16, al-Baqarah: 253, al-An‟am: 125, al-Anfal: 24, dan ayat-ayat serupa.17







―Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada

orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki.

di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.‖ (Ali Imran: 26)

16

Sulaiman Ibrahim, Konsep Takdir menurut al-Quran: Suatu Kajian Teologis dengan

Pendekatan Tafsir Tematik (Tesis S2 UIN Syahid Jakarta, 2003), h. 64.

(19)

Ayat-ayat kedua demikian juga secara zhahir mendukung golongan yang berpendapat adanya kebebasan berkehendak pada manusia, diantaranya al-Kahfi: 29, al-An‟am: 148, Ali Imran: 145, dan selainnya yang serupa.



















―Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin

(beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling

jelek.‖ (al-Kahfi: 29)

Kelompok ayat terakhir manguatkan golongan ketiga yang berdiri antara paham predestinasi dan free will. Diantara ayat-ayat yang mendukungnya ialah al-Insan: 28-31 dan al-A‟raf: 156.

























―Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka, apabila Kami

menghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa dengan mereka. Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, Maka Barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya Dia mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan memasukkan siapa yang dikehendakiNya ke dalam rahmat-Nya (surga). dan bagi orang-orang zalim disediakan-Nya azab yang pedih.‖

(20)

menyebutkan kata qadara ataupun taqdîr, melainkan ayat-ayat yang biasa digunakan sebagai dalil bagi paham-paham teologi. Ayat-ayat yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini ialah al-Baqarah ayat 6 dan 26, al-Kahfi ayat 29, dan al-A‟raf ayat 178.

C. Rumusan Masalah

Adapun rumusan permasalahan yang menjadi fokus pembahasan ialah bagaimana penafsiran al-Razi mengenai ayat-ayat seputar takdir.

D. Tujuan Penelitian

Diantara tujuan studi ini ialah mengetauhi pandangan Fakhr al-Din al-Razi mengenai takdir, juga untuk melihat lebih dalam khazanah klasik warisan ulama Islam, khususnya al-Razi, di mana aktivitas keilmuan pada saat itu tidak dapat dikatakan kalah dari aktivitas keilmuan kontemporer, bahkan pada masa-masa tersebut—abad I sampai VI H—disebut sebagai zaman keemasan dari Islam itu sendiri.

E. Manfaat Penelitian

(21)

F. Metodologi Penelitian

Metode penelitian terdiri dari metode pengumpulan data dan metode penulisan.

Dalam pengumpulan data, studi ini melakukan penelitian pustaka (library research). Ini berarti bahwa studi ini memfokuskan diri pada sumber-sumber

kepustakaan baik dalam bentuk buku, jurnal, dan berbagai referensi lainnya. Sumber utama dalam studi ini ialah kitab Mafâtih al-Ghaib karya Fakhr al-Din al-Razi, juga dikenal dengan al-Tafsîr al-Kabîr atau Tafsîr Fakhrurrâzi. Adapun referensi sekunder terdiri dari kitab-kitab tafsir selainnya dan buku-buku yang membahas tentang teologi dan takdir.

Metode Penulisan studi ini berdasar kepada buku Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2008-2009.

G. Kajian Pustaka

Terdapat beberapa kajian yang membahas mengenai takdir dan Fakhr al-Din al-Razi, diantara kajian yang penulis temukan ialah sebagai berikut:

Konsep Takdir dalam al-Quran, oleh Sulaiman Ibrahim. Tesis UIN Syahid

Jakarta yang membahas takdir dalam ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan metode maudhû‘i.

Pemahaman Dosen Agama Perguruan Tinggi Umum Kotamadya Padang

tentang Takdir, oleh Ahmad Kosasih. Disertasi UIN Syahid Jakarta yang merupakan

(22)

Takdir dan Kebebasan Manusia (Telaah atas Penafsiran al-Zamakhsyari

Terhadap Surat al-Furqan Ayat 2 dan Surat al-Ra‘d Ayat 11), oleh Hamka. Skripsi

FUF UIN Syahid yang membahas tentang penafsiran al-Zamakhsyari mengenai dua ayat tentang takdir.

Takdir Menurut Perspektif Hadis: Sebuah Kajian Tematik, oleh Sakinah.

Skripsi FUF UIN Syahid yang membahas secara tematis hadis-hadis yang berkaitan dengan takdir.

Takdir dalam perspektif al-Quran: Kajian Tafsir Maudhû‘i, oleh Rudiyanto.

Skripsi FUF UIN Syahid yang membahas takdir dalam al-Quran dengan metode

madhû‘i.

Theology and Tafsir in Major Works of Fakhr al-Din al-Razi, oleh Yasin

Ceylan. Disertasi ISTAC Kuala Lumpur yang membahas tema-tema teologi dan penafsiran al-Razi.

Fakhr al-Din al-Razi‘s Methodology in Interpreting the Qur‘an, oleh

Shalahuddin Kafrawi. Tesis Mc Gill University Kanada yang membahas mengenai metodologi al-Razi dalam menafsirkan al-Quran.

Metode Penafsiran Fakhr al-Din al-Razi, oleh Ibnu Zam Zam. Skripsi FUF

UIN Syahid yang membahas mengenai metode al-Razi dalam menafsirkan al-Quran. Metode Penafsiran Fakhr al-Din al-Razi dalam Tafsir Mafâtih al-Ghaib

(tentang Keistimewaan Lebah, oleh Ihat Malihatun. Skripsi FUF UIN Syahid yang

(23)

Kajian Isra‘ dan Mi‘raj: Pandangan Fakhr al-Din al-Razi dalam Tafsir

Mafâtih al-Ghaib, oleh Adi Amir Zainun. Skripsi FUF UIN Syahid yang membahas

penafsiran al-Razi terhadap ayat-ayat Isra‟ dan Mi‟raj.

Ruh dalam Perspektif Fakhr al-Din al-Razi (Studi Penafsiran Ayat tentang

Ruh), oleh Abdul Rahman. Skripsi FUF UIN Syahid yang membahas penafsiran

al-Razi terhadap ayat-ayat tentang ruh.

Berbeda dengan berbagai kajian-kajian sebelumnya, studi ini memfokuskan diri pada penafsiran Fakhr al-Din al-Razi mengenai ayat-ayat takdir dalam kitab Mafâtih al-Ghaib.

H. Sistematika Penulisan

Secara sistematis studi ini terdiri dari lima bab. Bab pertama berisi pendahuluan yang membahas seputar latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penulisan.

Bab kedua membahas tentang biografi dan karir intelektual al-Razi. Bab ini memfokuskan diri pada perjalanan hidup al-Razi, karya-karya yang dihasilkannya, dan metode al-Razi dalam menafsirkan al-Quran.

Bab ketiga membahas takdir dalam Islam. Bab ini diisi dengan pengertian takdir dan pembahasan seputar takdir dalam Islam.

(24)

penafsiran al-Razi terhadap ayat-ayat seputar takdir serta analisis dari penafsiran tersebut.

(25)

1

A. Biografi

Abu „Abdillah Muhammad bin Umar bin Husain bin Hasan bin Ali al-Taimi al-Bakri al-Thibristani, terkenal dengan nama Fakhr al-Din al-Razi. Diberi julukan Ibn Khatib al-Ray karena ayahnya, Dhiya‟ al-Din Umar, adalah seorang

khatib di Ray. Ray merupakan sebuah desa yang banyak ditempati oleh orang „ajam

(selain Arab).18 Di Herat Fakhr al-Din mendapat julukan Syaikh al-Islam.19 Al-Razi merupakan anak keturunan Quraisy yang nasabnya bersambung kepada Abu Bakr al-Shiddiq.20

Fakhr al-Din al-Razi dilahirkan pada 25 Ramadhan 544 H,21 bertepatan dengan 1150 M, di Ray—sebuah kota besar di wilayah Irak yang kini telah hancur dan dapat dilihat bekas-bekasnya di kota Taheran Iran.22 Ray adalah sebuah kota yang banyak melahirkan para ulama yang biasanya diberi julukan al-Razi setelah nama belakang sebagaimana lazim pada masa itu. Diantara ulama sebangsa yang juga diberi gelar al-Razi ialah Abu Bakr bin Muhammad bin Zakaria, seorang filosof dan dokter kenamaan abad X M/IV H.23

18

Fakhr al-Din al-Razi, Roh Itu Misterius. Editor: Muhammad Abd al-Aziz al-Hillawi.

Penerjemah: Muhammad Abdul Qadir al-Kaf (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001), h. 17. 19

Ibn Khallikan, Wafâyât al-A‘yân wa Anbâ‘ Abnâ‘ al-Zamân jilid IV (Beirut: Dar

al-Tsaqafah, tt), h. 250.

20 Fakhr al-Din al-Razi, Roh..., h. 17.

21 Ibn Khallikan, Wafâyât al-A‘yân, h. 252.

22 Fakhr al-Din al-Razi, Roh, h. 17-18.

23

Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (Newyork: Columbia University Press,

1970), h. 355.

(26)

Beberapa sumber lain mengatakan bahwa al-Razi dilahirkan pada tahun 543 H/1149 M. Ibn al-Subki mengatakan bahwa menurut pendapat yang kuat al-Razi dilahirkan pada tahun 543 H. Tetapi pendapat ini menjadi lemah jika dikaitkan dengan fakta melalui tulisan yang dibuat al-Razi sendiri. Al-Razi menulis dalam tafsir surah Yusuf bahwa ia telah mencapai usia 57 tahun dan pada akhir surah

menyebutkan bahwa tafsirnya telah selesai pada bulan Sya‟ban tahun 601 H. Jika

dikurangi, maka kelahiran al-Razi ialah tahun 544 H/1150 M.24

Fakhr al-Din memiliki seorang kakak yang bernama Rukn al-Din. Dikatakan bahwa Rukn al-Din memiliki kedengkian terhadap al-Razi dikarenakan kemasyhuran dan ketinggian ilmunya. Rukn senantiasa mengikuti kemanapun al-Razi hendak pergi dan berusaha menyebat fitnah agar masyarakat menjadi simpati kepadanya. Alih-alih mendapat simpati usaha Rukn al-Din malah membuatnya dibenci masyarakat. Di samping perasaan sedih—karena memiliki saudara yang dengki—al-Razi menanggapinya dengan senantiasa menasihati sebisa mungkin dan tidak memutuskan tali persaudaraan.25

Al-Razi menikah di Ray sepulang dari perjalanan ke Khawarizm karena ditolak oleh masyarakat di sana. Di Ray ada seorang dokter ahli yang memiliki kekayaan melimpah dan juga dua anak perempuan. Ketika dokter itu sakit dan yakin akan datangnya ajal, ia menikahkan salah seorang putrinya kepada al-Razi. Sejak

24

Ali Muhammad Hasan al-„Umâri, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; Hayâtuhû wa Atsâruhû

(al-Majlis al-A‟la li al-Syu‟un al-Islamiyah, 1969), h. 17.

(27)

masa itu terjadi perubahan ekonomi pada al-Razi dari seorang yang miskin dan kekurangan menjadi berkecukupan.26

Dari pernikahannya itu al-Razi dikaruniai tiga orang anak lelaki dan dua anak perempuan. Salah seorang anak lelaki yang bernama Muhammad meninggal pada saat al-Razi masih hidup. Muhammad dikatakan sebagai anak yang saleh sehingga benar-benar bersedih sepeninggalnya. Kesedihannya itu diungkapkan dengan menyebutkannya—Muhammad—berkali-kali dalam tafsirnya, yakni bertutut-turut dalam tafsir surah Yunus, Hud, Yusuf, al-Ra‟d, dan Ibrahim. Muhammad meninggal dalam usia muda beranjak dewasa di perantauan, jauh dari teman dan keluarga.27

Dua anak lelaki lainnya ialah Dhiya‟ al-Din dan Syams al-Din. Dhiya‟ al-din

merupakan anak tertua yang bernama asli Abdullah. Ia dikenal sebagai orang yang sangat perhatian kepada ilmu pengetahuan. Selanjutnya ia menjadi tentara dan mengabdi kepada sultan Muhammad bin Taksy.28 Adapun Syams al-Din ialah yang termuda dari ketiganya. Ia memiliki banyak kelebihan dan kepandaian yang luar biasa. Syams al-Din mengikuti jejak al-Razi setelah kematiannya, menyan-dang gelar Fakhr al-Din, dan banyak ulama yang menuntut ilmu kepadanya.29

Salah satu anak perempuan al-Razi dinikahi dengan Ala‟ al-Mulk, seorang wazîr (menteri) sultan Khawarazmsyah Jalal al-Din Taksy bin Muhammad bin Taksy

yang terkenal dengan julukan Minkabari. „Ala‟ al-Mulk adalah seorang pakar dalam

bidang sastra, khususnya dalam bahasa Arab dan Persia. Sedangkan anak perempuan

26 Ibid., h. 20

27 Ibid., h. 24-26.

28

Ibn al-Katsîr al-Dimasyqi, Bidâyah wa Nihâyah, jilid VII juz XIII (Beirut: Dar

al-Kutub al-Ilmiyah, tt), h. 61.

(28)

lainnya hanya disebutkan dalam riwayat ketika pasukan Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan memasuki kota Herat, kediaman al-Razi dan keluarga. „Ala‟ al-Mulk meminta perlindungan kepada Jengis Khan atas anak-anak Syaikh Fakhr al-Din dan permohonannya itu dikabulkan. Ketika itu disebutkan bahwa anak perempuan yang terakhir ini termasuk di dalamnnya.30

Al-Razi meninggal di Herat pada hari Senin tanggal 1 Syawal 606 H/1209 M, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Sesuai dengan amanatnya, al-Razi dimakamkan di gunung Mushaqib di desa Muzdakhan, sebuah desa yang terletak tidak jauh dari Herat.31 Sebelum meninggal al-Razi sempat mendiktekan wasiat yang ditulis oleh salah seorang muridnya, Ibrahim al-Asfahani. Wasiatnya berisi tentang penyerahan diri sepenuhnya (tawakal) kepada kasih sayang Tuhan. Al-Razi mengakui bahwa ia telah banyak menulis dalam berbagai cabang lapangan ilmu tanpa cukup memperhatikan mana yang berguna dan mana yang merusak. Dalam wasiatnya al-Razi juga menyatakan ketidakpuasannya dengan filsafat dan teologi (ilmu kalam). Dalam mencari kebenaran ia lebih menyukai metode al-Quran dibandingkan metode filsafat. Ia juga menasihati untuk tidak melakukan perenungan-perenungan filosofis pada problem-problem yang tak terpecahkan. Pernyataan terakhir al-Razi mengenai nilai filsafat dan teologi ini masti dicatat dalam meneliti pemikiran al-Razi terutama dalam isu-isu kontroversial yang bermacam-macam.32

30 Ibid., h. 27.

31 Ibn Khallikan, Wafâyât al-A‘yân, h. 252

32

Yasin Ceylan, Theology and Tafsir in Major Works of Fakhr al-Din al-Razi (Kuala

(29)

Al-Razi hidup pada pertengahan terakhir abad keenam Hijriah atau kedua belad Masehi. Masa-masa ini merupakan masa-masa kemunduran di kalangan umat Islam, baik dalam bidang politik, sosial, ilmu pengetahuan, dan akidah.33 Kelemahan Khalifah Abbasiyah telah mencapai puncaknya hingga Baghdad sebagai pusat pemerintahan saat itu hancur luluh hanya dengan sekali serangan dari tentara Mongol di bawah pimpinan Hulago Khan pada 656 H/1258 M.34 Secara efektif, tidak ada kesatuan politik yang benar-benar memerintah dunia Islam saat itu. Kekuasaan khalifah di Baghdad hanya diakui secara simbolis karena dalam prekteknya masing-masing daerah diperintah secara independen oleh para sultan Bani Abbas. Situasi ini disebut Karen Amstrong sangat mirip dengan apa yang disebut monarki absolut. Sejak 1055 M praktis kekuasaan di Baghdad dipegang oleh orang-orang Turki Seljuk. Salah satu peristiwa besar yang terjadi pada masa hidup al-Razi ialah kemenangan Shalahuddin al-Ayyubi melawan pasukan Salib pada 1187 M.35

Selama hidupnya, al-Razi mengalami tiga kali pergantian khalifah di Baghdad. Pertama, al-Mustanjîd Billâh (555-556 H) yang pada masa kekua-saannya belum ada pengaruh dari orang-orang Turki Seljuk. Kedua, al-Mustadhi Billâh (566-575 H) yang merupakan anak al-Mustanjîd yang memegang kekua-saan setelah ayahnya meninggal. Ketiga, al-Nâshir li Dînillâh (575-622 H), anak al-Mustadhi yang merupakan khalifah Abbasiyah dengan masa kekuasaan terpanjang.36 Khalifah inilah yang berusaha mengembalikan kebesaran dinasti Abbasiyah dengan mengadakan

33

Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 28. 34

Karen Armstrong, Sepintas Sejarah Islam. Penerjemah Ira Puspita Rini (Surabaya: Ikon

Teralitera, 2004), cet. keempat h. 115.

35 Ibid., h. 97-111

36

(30)

“kompromi” dengan syari‟ah yang saat itu biasa dikembangkan untuk memprotes

para khalifah. Al-Nâshir juga bergabung dengan kelompok futuwwah37 di Baghdad. Namun kebijakan al-Nâshir sudah amat terlambat, sebab dunia Islam sudah dilanda bencana yang akan membawa kepada keruntuhan dinasti Abbasiyah.38

Sementara di Khawarizmi, Khurasan, dan daerah-daerah sekitarnya dikuasai oleh bani Khawarazamsyah. Pada masa hidup al-Razi sultan yang menguasai daerah ini ialah Taksy bin Arselan (568-596 H), „Ala‟ al-Din Muhammad bin Taksy (596-615 H), dan kemudia diikuti oleh anaknya Jalal al-Din sampai tahun 628 H. Kabar mengenai perang salib di Syam dan serangan bangsa Mongol di Timur selalu menyelimuti pikiran kaum Muslimin saat itu di mana bayangan kehancuran berada di depan mata.39

Mazhab empat (Maliki, Hanafi, Syafi‟i, dan Hanbali) masih menjadi

mayoritas mazhab yang diterima oleh sebagian besar umat Islam saat itu. Di Ray, kota al-Razi, terdapat setidaknya tiga mazhab yang berpengaruh, yakni Syafi‟i, yang

merupakan minoritas, Hanafi sebagai mazhab mayoritas, dan Syi‟ah yang berjumlah

sangat sedikit. Sebelumnya terjadi pertentangan antara Syi‟ah dan Ahlussunnah yang

akhirnya dimenangkan oleh mazhab Syafi‟iyah dari Ahlussunnah.40 Hal ini tentu tidak terlepas dari peran Bani Seljuk yang cenderung kepada Sunni dan sufisme.41

37

Persatuan kelompok pemuda urban, dibentuk setelah abad ke-12, dengan upacara dan ritual khusus serta bersumpah untuk setia kepada pemimpin, yang sangat dipengaruhi oleh prinsip dan praktik sufi (Karen Armstrong).

38 Karen Armstrong, Sepintas Sejarah Islam, h. 114.

39

Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 29.

40 Ibid.

(31)

Pada masa itu terdapat banyak aliran teologi. Ibn al-Subki menyebutkan tidak kurang dari 27 golongan. Adapun yang termasyhur daripadanya ialah Syi‟ah,

Muktazilah, Murji‟ah, Batiniyah, dan Karamiyah.42

Keilmuan didominasi pada pelajaran agama dan bahasa Arab, tidak sedikit pula yang mempelajari ilmu hikmah (filsafat) yang pembahasannya mencakup logika, fisika, dan metafisika. Termasuk cabang ilmu filsafat ialah ilmu ukur, musik, dan astronomi.43

Kaum Muslimin masih bergelut dengan filsafat yang banyak dipelopori oleh kaum Muktazilah. Diantara para filosof terkenal yang berpengaruh ialah Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Maskawaih yang lahir di Ray dan meninggal di Isfahan pada tahun 1030 M.44 Pengaruh filsafat terus meningkat hingga datang masa al-Ghazali pada akhir abad V H/X M. Kritik al-al-Ghazali terhadap filsafat tertuang dalam kitabnya, Tahâfut al-Falâsifah. Sejak saat itu timbul kebencian kaum Muslimin— khususnya para fuqahâ` dan golongan Asy‟ariyah yang menjadi mazhab mayoritas— terhadap filsafat.45 Keadaan ini ditambah dengan dukungan khalifah Abbasiyah dalam menentang filsafat, sehingga filsafat seakan punah dari tradisi umat Islam kecuali di beberapa tempat seperti Iran dan Andalusia (Spanyol).

Abad keenam Hijriah juga merupakan puncak dari ajaran Bathiniyah yang telah dirintis sejak abad ketiga. Diantara aliran Bathiniyah ini—sebagaimana dikatakan al-Ghazali—ialah golongan Rafidhah yang merupakan sekte dalam Syi‟ah.

42

Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 29.

43 Ibid.

44 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, edisi kedua (Jakarta:

UI-Press, 2002), h. 43-37. 45

(32)

Golongan ini menganggap tercapainya ilmu itu melalui perkataan Imam yang

ma‘shûm, Imam yang mengetahui semua rahasia syari‟ah dan pada setiap zaman pasti

terdapat seorang Imam yang dapat menjadi sandaran dalam permasalahan keagamaan.46

Sebelum masa al-Ghazali tasawuf masih belum dapat diterima oleh mayoritas

ulama dan bahkan dianggap bid‟ah. Al-Ghazali berperan besar dalam

“mendamaikan” ajaran para sufi yang dianggapnya wali dengan para ulama yang

mengajarkan syariat formal, seperti ilmu fiqh dan tauhid. Pengaruh ini telah sampai hampir ke seluruh pelosok negeri Islam dari timur sampai barat. Pengaruh ini juga tak pelak dirasakan oleh al-Razi karena masanya tidak terlampau jauh dari al-Ghazali.47

Dalam kondisi politik, sosial, dan keilmuan seperti inilah al-Razi hidup. Faktor-faktor tersebut menjadi penting dalam mengkaji suatu pemikiran—dalam hal ini al-Razi—sebab tidak ada pemikiran yang dapat lepas dari pengaruh-pengaruhnya. Atau dengan bahasa Edward Said “belum ada seorang pun yang menciptakan metode untuk melepaskan cendekiawan dari lingkungan kehidupannya, dari fakta keterlibatannya baik secara sadar maupun tidak—dengan suatu kelompok, seperangkat keyakinan, kedudukan sosial, ataupun sekedar aktivitasnya sebagai

anggota masyarakat”.48

Pembahasan lebih dalam ke arah itu—kondisi politik, sosial, dan keilmuan—akan membawa pengetahuan mengenai kecenderungan seorang ulama atau cendekiawan. Penerimaan masyarakat terhadap suatu karya merupakan indikasi bahwa pemikiran tersebut sesuai dengan konsep kebenaran, minimal pada saat itu.

46 Ibid., h. 31.

47 Ibid., h. 32

(33)

B. Karir Intelektual

Sebagaimana lazim dilakukan oleh para pelajar Muslim, al-Razi melakukan pengembaraan intelektual secara luas ke seluruh Persia. Dari Khawarizm ke Ghaznah, lalu ke Herat, dan akhirnya menetap di sana di bawah perlindungan Sultan „Ala al -Din Khawarazmsyah.49 Sebelum itu, al-Razi kecil terlebih dahulu menimba ilmu

pengetahuan pertamanya dari ayahnya sendiri, Dhiyâ‟ al-Din „Umar. Dhiyâ‟ al-Din

merupakan seorang ulama besar di Ray—terkenal dengan julukan Khâtib al-Rayy— khususnya dalam bidang ilmu fiqh dan ushul. Setelah ayahnya meninggal pada 559 H al-Razi kemudian menimba ilmu kepada para ulama besar pada masanya, diantaranya Muhammad al-Baghawi dan Majd al-Din al-Jîli.50

Kepada Jîli Razi mempelajari teologi dan filsafat. Dari Kamal al-Simnâni al-Razi mempelajari ilmu fiqh dan kepada Yahyâ al-Suhrâwardi al-Razi belajar filsafat dan ushul fiqh. Dalam proses belajarnya al-Razi menghapal beberapa kitab, diantaranya al-Syâmil Imam al-Haramain mengenai ilmu kalam, al-Mustasyfâ al-Ghazali dalam ushul fiqh, dan al-Mu‘tamâd Abu al-Hasan al-Bashri. Dalam pada itu al-Razi mensyarah (memberi komentar) beberapa kitab ulama sebelumnya, diantaranya al-Mufashshal al-Zamakhsyari dalam ilmu nahw (tata bahasa), al-Wajiz al-Ghazali dalam ilmu fiqh, dua kitab Abd al-Qahir dalam bidang balaghah, dan mengkhususkan pembahasan keduanya dalam karyanya, Nihâyah al-Îjaz fi Dirâyah al-I‘jâz.51

49

Madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (Newyork: Columbia University Press,

1970), h. 355. 50

Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 19.

(34)

Al-Razi menaruh perhatian lebih terhadap filsafat dan kedokteran (al-Thibb) sehingga memiliki pandangan yang luas mengenai keduanya. Dalam bidang filsafat al-Razi mensyarah kitab al-Isyârât karya Ibn Sina dan dalam ilmu kedokteran ia menulis kitab Syarh al-Kulliyyât li al-Qânûn karya penulis yang sama.52

Dalam karyanya, Munâzharat Fakhr al-Din fi Bilâd ma Warâ‘ al-Nahr al-Razi mendokumenter tempat-tempat yang telah ia kunjungi dan para ulama yang ditemuinya. Kemudian ia membuat ikhtisar mengenai diskusi yang telah dilakukannya dengan para ulama tersebut. Dikatakan bahwa al-Razi melakukan perdebatan dengan para ulama terkemuka dengan menggunakan dialektika filosofis. Penjelasan mengenai lawan debatnya penuh dengan ironi. Sebagai contoh dikatakan bahwa al-Radhi al-Naisaburi sebagai orang yang jujur, tetapi lambat dalam berpikir. Qadhi dari Ghazna sebagai orang yang iri hati dan bodoh. Syaraf al-Din Muhammad al-Mas‟udi, seorang teolog terkemuka di Bukhara, sebagai orang yang arogan dan terlalu percaya diri dengan karya al-Ghazali. Di samping itu, di Bukhara ia memarahi Nur al-Shabuni dikarenakan perjalanannya ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Setelah diskusi panjang, al-Razi “memaksa” lawan-lawannya untuk menerima kebodohan mereka.53

Selanjutnya al-Razi melakukan perjalanan ke Khawarazm dan Transoxania, nampaknya dalam rangka mengubah para pengikut Muktazilah dan Karamiyah kepada Sunni. Alih-alih mencapai tujuan al-Razi dipaksa keluar dari keduanya karena berselisih dengan ulama-ulama lokal. Al-Razi membangun hubungan baik dengan

52 Ibid.

53

(35)

Syihab al-Din al-Ghuri, sultan al-Ghur dan Ghaznah, yang nantinya membangunkan madrasah untuk al-Razi di Herat. Di Ghaznah al-Razi sempat dicap kafir oleh kaum Karamiyah setelah melakukan perdebatan dengan pimpinannya Abd Majid bin al-Qudwa. Bahkan Ibn al-Qudwa, dengan dukungan keponakan sultan Dhiya‟ al-Din al-Ghûri, menyerangnya dalam khut-bah Jumat, menuduhnya kafir karena telah membaca karangan Ibn Sina dan Aristoteles. Peristiwa ini menimbulkan kegoncangan pada masyarakat yang mayoritas pengikut Karamiyah ini dan berujung pada hasutan yang berkembang untuk membunuh al-Razi. Melihat hal ini sultan berusaha menenangkan masyarakat bahwa ia akan mengeluarkan al-Razi dari kota itu. Tahun kejadian ini kemudian tercatat sebagai sanât al-fitnâ (tahun fitnah)54

Setelah peristiwa itu al-Razi kembali ke Khurasan dan menetap di Herat di bawah perlindungan sultan Muhammad bin Taksy yang terkenal dengan gelar Khawarazmsyah. Di sana al-Razi mendapat kedudukan tinggi dan derajat mulia yang bahkan tidak ada ulama yang dapat melebihi posisinya dalam kedekatannya kepada sultan.55

Dalam fiqh dan ushul, al-Razi mengikuti mazhab Syafi‟i yang diterimanya dari ayahnya hingga bersambung—sanadnya—ke Imam al-Syafi‟i. Dalam teologi

menganut paham Asy‟ariyah yang juga diterima melalui ayahnya hingga sampai ke

Imam Abu al-Hasan al-Asy‟ari.56 Dalam bidang filsafat al-Razi nampaknya mendapat pengaruh kuat dari Ibn Sina dan Abu al-Barakat al-Baghdadi (m. 560/1166), penulis

54 Ibid., h. 3-4. Ibn al-Atsîr, al-Kâmil fi al-Târikh jilid XII (Beirut: Dar al-Shadir, tt), h.

151-152.

55 Ibn Khallikan, Wafâyât al-A‘yân, h. 250.

(36)

ikhtisar tentang fisika, logika, dan metafisika “al-Mu‘tabâr fî al-Hikmah‖ yang juga

seorang penulis penting mengenai ilmu kedokteran pada abad VI/XII. Walaupun demikian dalam perkembangannya al-Razi tidak segan-segan untuk mengkritik Ibn Sina dalam beberapa tema penting. Komentarnya terhadap al-Isyârât lebih dekat kepada kritik daripada syarah (penjelasan).57

Hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam memahami al-Razi, menurut Ceylan, ialah skeptisismenya. Al-Razi tidak pernah bisa mengatasi keraguannya. Skeptisisme inilah yang membuat al-Razi mempertanyakan segala hal hingga ia tidak menerima pendapat begitu saja secara taklid (membabi buta).

Meskipun seorang Asy‟ariah al-Razi tidak ragu untuk berbeda pendapat dengan

al-Asy‟ari dalam beberapa hal. Sikap liberal al-Razi membuatnya dituduh oleh para

oponennya sebagai Muktazilah dan mereka memang memiliki justifikasi untuk itu berdasarkan perkataan al-Razi sendiri. Beberapa pendapat al-Razi memperlihatkan tendensi Muktazilah, seperti pertanyaan mengenai sifat-sifat Tuhan dan kemungkinan untuk melihat Tuhan dengan mata kepala—di alam akhir, dan dalam kerangka bukti-bukti dogmatis. Dalam elaborasinya mengenai tema-tema ini, al-Razi terlihat sedikit ragu dalam meminjam pendapat dari non-Muslim maupun sarjana Muslim yang dianggap bid`ah, seperti Abu Barakat Baghdadi, seorang Yahudi; Tsabit bin al-Qurra`, seorang Kristen; dan Abu al-A‟la al-Ma‟arri, sastrawan yang terkenal dengan pandangan-pandangan bid`ahnya.58

57 Madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, h. 355-356.

58

(37)

Satu aspek yang paling mencolok dari al-Razi ialah rekonsiliasinya antara filsafat dan dogma.59 Ibn Khaldun mengatakan bahwa Razi, bersamaan dengan al-Ghazali, adalah barisan terdepan dalam memperkenalkan pendekatan filosofis baru terhadap kajian teologis.60 Meskipun al-Razi membuktikan kesalahan argumen para filosof dalam banyak tempat, kritisismenya timbul dari pemikiran yang independen dan rasionalitas yang unik. Ketidaksetujuannya kepada para filosof lebih banyak timbul dikarenakan respeknya terhadap argumen filosofis daripada posisinya sebagai teolog. Ini sejalan dengan jalan berpikirnya yang lebih dekat kepada filosof daripada teolog. Pernyataan tegas al-Razi merupakan aspek signifikan dalam posisinya menanggapi kontroversi antara filsafat dan teologi.61

Pengetahuan al-Razi yang demikian luas mengenai filsafat dan teologi membuat tak ada ulama sezaman yang setara dengannya dan dapat dibandingkan dengan keluasan pengetahuan al-Ghazali. Al-Razi merupakan salah satu penulis ensiklopedik terakhir umat Islam.62 Tidak diragukan lagi bahwa al-Razi ialah seorang

ulama Asy‟ariyah terakhir jika dilihat bahwa tidak ada figur penting lainnya dalam

lapangan teologi hingga satu abad setelahnya.63

Al-Razi memiliki banyak pengikut. Dikatakan tidak kurang dari tiga ratus murid dari berbagai belahan dunia Islam menyertainya ketika ia berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Diantara murid-muridnya yang terkenal ialah Quthb al-Din al-Mishri, Zain al-„Abidin al-Kasysyi, Syihab al-Din al-Naisaburi, Muhammad bin

59 Ibid.

60 W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology, h. 94.

61 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…

, h. 6.

62 Madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, h. 355.

(38)

Ridhwan, Syaraf al-Din al-Harawi, Atsir al-Din al-Abhari, Afdhal al-Din al-Khunji, Taj Din Armawi, Syams Din Khuwayya, dan Syaikh Muhammad al-Khusrawsyahi.64

Pemikiran al-Razi sebagai teolog yang memaparkan pemikiran secara filosofis memberi pengaruh yang tidak sedikit kepada para pemikir Muslim sesudahnya, seperti Nashir al-Din al-Thusi, Ibn Taymiyyah (m. 729/1328), al-Taftazani (m. 791/1389), dan al-Jurjani (m. 816/1413), khususnya dalam bidang teologi dan filsafat. Penjelasan dan kritiknya terhadap filsafat Ibn Sina nantinya berguna bagi filosof belakangan seperti Ibn Khaldun (m. 808/1406) dalam menghadapi sistem pemikiran Ibn Sina.65

Sebagai penulis yang produktif dan melontarkan pemikirannya sedemikian bebas al-Razi tak dapat terlepas dari kontroversi ulama yang mendukung dan menentangnya, baik pada masa hidup maupun setelahnya. Diantara penentangnya ialah al-Dzahabi (penulis Mîzân al-I‘tidâl), Siraj al-Din al-Sirmiyahi, Abu Hayyan, dan Rasyid Ridha. Sedangkan para pembelanya ialah Taj al-Din al-Subki, Ibn Abi

„Ushaibi‟ah, Ibn Khallikan, Ibn Khaldun, Ibn al-Atsir, al-Yafi‟i, dan al-Qifti.66

Perlu dicatat bahwa al-Razi sebagai mufasir tidak hanya ahli dalam bidang teologi dan al-Quran, melainkan juga menguasai berbagai macam bidang keilmuan seperti filsafat, kedokteran, matematika, hukum Islam, dan linguistik. Al-Razi menulis dalam bahasa Arab—beberapa dalam bahasa Persia—sebagaimana diakuinya

64

Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 11-12.

65

Shalahuddin Kafrawi, Fakhr al-Dîn al-Râzi‘s Methodology in Interpreting the Qur`an

(Montreal: The Institut of Islamic Studies Faculty of Graduate Studies and Research Mc Gill University, 1998), h. 24.

66

Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 95-97. M. Quraish Shihab, Rasionalitas

(39)

sebagai bahasa yang paling utama. Namun demikian dalam menyampaikan kuliah-kuliahnya al-Razi kerap kali menggunakan juga bahasa Persia untuk menarik lebih banyak audiens.67

C. Karya Tulis

Dalam dunia Islam al-Razi merupakan salah satu penulis produktif dalam sejarah. Tulisannya terdiri dari berbagai macam cabang keilmuan mulai dari tafsir, teologi, filsafat, kedokteran, linguistik, fisika, astronomi, sejarah, heresiografi (kebid`ahan), astrologi (nujum/ramalan), dan fisiognomi (firasat).68 Dikatakan bahwa karya al-Razi tidak kurang dari dua ratus buah karangan69 baik berupa risalah, syarah, maupun kitab yang berjilid-jilid. Al-Baghdadi mengklasifikasikan karya-karya al-Razi menjadi sepuluh kategori:1) tafsir; 2) teologi; 3) logika, filsafat, dan etika; 4) kombinasi antara teologi dan filsafat; 5) fiqh dan ushul; 6) sejarah dan biografi; 7) matematika dan astronomi; 8) kedokteran dan fisiognomi; 9) sihir dan astrologi; dan 10) karya umum dan ensiklopedia.70

Diantara karya-karya yang masih terlacak sebagai tulisan al-Razi, dalam studi al-Quran: al-Tafsîr al-Kabîr (Mafâtih al-Ghaib), Asrâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Tafsîr (Tafsîr al-Qur‘ân al-Shaghîr), Tafsîr Sûrah al-Fâtihah, Tafsîr Sûrah al-Baqarah, Tafsîr Sûrah al-Ikhlâsh, dan (Risâlah fi) al-Tanbîh ‗alâ Ba‘d al-Asrâr al-Mudî‘ah fî

Ba‘d Âyât al-Qur`ân al-Karîm; teologi (kalam): al-Arba‘în fî Usûl al-Dîn, Asas

al-Taqdîs, Tahsîl al-Haqq, al-Qadâ wa al-Qadar, Syarh al-Asmâ` Allâh al-Husnâ,

67 Kafrawi, Fakhr al-Din al-Razi‘s Methodology…, h. 22.

68

Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 13.

69 Ibn al-Katsir al-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâayah, h. 60.

70 Kafrawi, Fakhr al-Din al-Razi‘s Methodology…,

(40)

‗Ismah al-Anbiyâ`, al-Mahsûl (fi ‗Ilm Kalâm), al-Ma‘âlim fî Usûl al-Dîn, Nihâyah

al-‗Uqûl fi Dirâyah al-Usûl, dan Ajwibât al-Masâ`il al-Najjâriyah; logika, filsafat, dan

etika: al-Âyât al-Bayyinât fî al-Mantîq, al-Mantîq al-Kabîr, Ta‘jîz al-Falâsifah, Syarh al-Isyârâh wa al-Tanbîhât (li Ibn Sina), Syarh ‗Uyûn al-Hikmah (li Ibn Sina), al-Mabâhits al-Masyriqiyyah, Muhassal afkâr al-Mutaqaddimîn wa al-Muta`akhkhirîn min al-‗Ulamâ‘ wa al-Hukamâ‘ wa al-Mutakallimîn, al-Mathâlib al-‗Âliyah, dan al-Akhlâq; permasalahan hukum: Ibtâl al-Qiyâs, Ihkâm al-Ahkâm, al-Ma‘âlim fî Usûl Fiqh, Muntakhab al-Mahsûl fî Usûl Fiqh, al-Barâhin al-Barâhiyah, dan al-Nihâyah al-Baha`iyyah fi al-Mabâhits al-Qiyâsiyyah; bahasa Arab dan ilmu-ilmunya: Syarh Nahj al-Balâghah dan al-Muharrir fî Haqâ`iq (atau Daqâ`iq) al-Nahw; sejarah: Fadâ`il al-Shahâbah al-Râsyidîn dan Manâqib al-Imâm al-Syâfi‘î; matematika dan

astronomi: al-Handasah dan al-Risâlah fî ‗Ilm Hay`ah; kedokteran: al-Tibb al-Kabîr, al-Asyribah, al-Tasyrîh, Syarh al-Qânûn li Ibn Sina, dan Masâ`il fi al-Tibb; sihir dan

astrologi: al-Ahkâm al-‗Alâ`iyyah fî A‘lân al-Samâwiyyah, Kitâb fî Raml, dan Sirr al-Maktûm; dan karya umum: I‘tiqâd Firâq al-Muslimîn wa al-Musyrikîn71

Dari karya-karya tersebut yang menjadi magnum opus atau masterpiece al-Razi ialah kitab Mafâtih al-Ghaib atau al-Tafsîr al-Kabîr yang demikian fenomenal. Kitab ini merupakan salah satu kajian paling komprehensif dari tafsir bi al- ra‘y.72 Terdiri dari tiga puluh dua juz, kitab ini ditulis pada masa-masa akhir dari kehidupan

71 Ibid., catatan kaki no. 99

72

Thameem Ushama, Methodologies of The Qur`anic Ezegesis (Kuala Lumpur: AS

(41)

al-Razi.73 Melihat kronologisnya, kitab ini ditulis pada saat al-Razi telah mancapai kematangan dalam keilmuannya.

Berbagai pendapat kuat mengatakan bahwa al-Razi tidak menyelesaikan tafsirnya. Bagian pertama ditulis oleh al-Razi dan bagian kedua oleh kedua dua orang pengikutnya, yakni al-Syaikh Najm al-Din Ahmad bin Muhammad al-Qammuli (m. 767 H) dan Syihab al-Din bin Khalil al-Khuwayya.74 Secara berurutan, al-Razi menulis hingga surat al-Anbiya (surat ke-21). Di samping itu, secara acak—tidak mengikut mushaf—al-Razi menafsirkan surat-surat lainnya seperti al-Syu‟ara, al -Qiyamah, al-Humazah, al-Qalam, al-Ma‟arij, dan al-Naba`.75

Walaupun diyakini bahwa al-Razi tidak menyelesaikan seluruh tafsirnya, namun kitab yang sekarang dinisbahkan kepadanya ini tetap memiliki kesatuan ruh dalam pandangan, gaya bahasa, dan pemaparannya, sebagai buah karya dari satu orang.76 Dengan kata lain tidak terdapat kontradiksi antara satu bagian dan bagian lainnya dengan ide serta pemikiran al-Razi.77

D. Metode Penafsiran

Mafâtih al-Ghaib merupakan tafsir yang menawarkan pendekatan unik

terhadap al-Quran. Kitab ini mencakup ruang yang begitu luas dalam pembahasan setiap subjeknya, seperti teologi, filsafat, logika, fiqh, dan astronomi.78 Al-Razi mendasarkan penafsirannya dengan ayat al-Quran lainnya (tafsîr Qur`ân bi

73

Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 15.

74 Ibid.

75

Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 161-174.

76 Ibid., h. 187.

77

Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 16.

(42)

Qur`ân), hadis Nabi, dan secara luas dengan pertimbangan rasional atau hasil

ijtihad.79 Dengan memasukkan ijtihad (pendapat atau ra`y) sebagai sumber penafsiran, maka Mafâtih al-Ghaib termasuk ke dalam kategori tafsîr bi al-ra`y80 dengan kecenderungan terhadap permasalahan teologis di dalamnya. Meskipun terkenal sebagai seorang penentang keras filsafat, al-Razi menggunakan model pemaparan secara filosofis untuk menjustifikasi rasionalitas (baca: kemasuk-akalan) prinsip-prinsip dogmatis (akidah) dan ini sangat terlihat dalam kese-luruhan tafsirnya.81

Dalam prosedur penulisan Mafâtih al-Ghaib menggunakan metode tahlîlî walaupun Kafrawi menyatakan bahwa al-Razi juga menggunakan metode tafsir maudû‘i.82 Tafsir tahlîlî sendiri didefinisikan dengan menafsirkan ayat-ayat al-Quran

dengan cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai dengan uraian makna kosakata, makna k

Referensi

Dokumen terkait

Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada Manusia (65). Ayat pertama diakhiri dengan kalimat: lat}if al-khabi>r , menunjukan bahwa Allah

Ayat-ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa orang-orang yang benar-benar bahagia adalah orang yang hidup dalam keadaan taat kepada Allah yaitu dengan cara melaksanakan

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa sungguh bahagia dan beruntung orang-orang yang beriman, dan sebaliknya sangat merugi orang- orang kafir yang tidak beriman, karena

Berdasarkan huraian ayat di atas, timbul persoalan siapakah malaikat yang dimaksudkan dalam helah iblis tersebut sedangkan kita ketahui bahawa para malaikat telah

Menjelaskan orang-orang kafir Mekah yang menghalang-halangi kegiatan agama Islam dan mendurhakai Nabi Muhammad saw oleh karena itu Nabi memohon kepada Allah agar diturunkan

Alfatih Suryadilaga, dkk, 2010: 48 yang berpendapat bahwa langkah-langkah teori tematik dalam tafsir adalah memilih atau menetapkan masalah Alquran yang akan dikaji secara tematik,

Jadi yang dimaksud al-bara’ adalah memutuskan hubungan atau ikatan hati dengan orang-orang kafir, sehingga tidak lagi mencintai mereka, membantu dan menolong mereka serta tidak tinggal

Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir musyrik Mekah, bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.. Barangsiapa yang