• Tidak ada hasil yang ditemukan

The policy model of business development of the environmentally sound micro-scale dairy cattle In Subang Regency

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The policy model of business development of the environmentally sound micro-scale dairy cattle In Subang Regency"

Copied!
503
0
0

Teks penuh

(1)

PERAH SKALA MIKRO BERWAWASAN LINGKUNGAN

DI KABUPATEN SUBANG

PETRUS F.T.P. TAMPUBOLON NRP. P062059394

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Kebijakan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang adalah karya saya dengan arahan dari Komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

(3)

PETRUS F.T.P.TAMPUBOLON. The Policy Model of Business Development of the Environmentally Sound Micro-Scale Dairy Cattle in Subang Regency. Under the Direction of HERMANTO SIREGAR, MULADNO, and MACHFUD.

Until now, the development of micro-scale dairy cattle business in the District of Sagalaherang and Ciater of the Subang Regency not fully reached the desired level yet. This study intends to build a model of business development policy of the environmentally sound micro-scale dairy cattle in Subang Regency by using System Approach, Quantitative and Qualitative Analysis, Analytical Hierarchy Process (AHP), and Interpretative Structural Modeling (ISM) with 253 respondents during 6 months (January to June 2011). Statistical tests of this study show that factors significantly associated (p-value Alpha  0.05) with the development of environmentally sound micro-scale dairy cattle business (USPSMWL) are: (1) frequency of attending breeding extension, (2) farmers’ knowledge, (3) breeding management behaviour; (4) time length to run the business; and (5) time allocated to manage the business each day. Based on AHP, the main strategy of developing USPSMWL is "improving the readiness of the community/farmers". Based on ISM, the key factor of developing USPSMWL is “harmonious team-work among farmers, bankers and government officials”.

The model simulation result can give a description of the real system behaviour. Of the three formulated scenarios (optimistic, moderate, and pesimistic), the implementation of the optimistic scenario is the most appropriate one.

This study concludes that the policy of USPSMWL development should be focused on: (a) strengthening harmonious cooperation among government institutions, (b) increasing community readiness, (c) designing spatial management for fodder availability, and (d) increasing the number of waste processed to produce bio-gas and organic fertilizer products, including the marketing of those products.

(4)

PETRUS F.T.P. TAMPUBOLON. Model Kebijakan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR, MULADNO, dan MACHFUD.

Tingkat pertumbuhan dan perkembangan usaha sapi perah (USP) skala mikro di Kecamatan Sagalaherang dan Ciater Kabupaten Subang dalam periode 2005-2010 masih belum sepenuhnya memadai. Pertambahan populasi sapi per tahun sebesar 1% per tahun masih di bawah rata-rata nasional kurun waktu 1997-2004 sebesar 1,29%. Di samping kecilnya pertambahan populasi sapi, juga mutu pengelolaan USP berwawasan lingkungan belum 100% baik. Proporsi USP yang memiliki lahan tanaman hijauan pakan ternak seluas 1.000 m2 per sapi masih belum ada. Proporsi USP yang mengelola limbah sapi (feses dan urin) menjadi biogas baru mencapai 25,94% dari 212 USP dengan cakupan pengguna gas rata-rata 1 – 2 keluarga. Dengan demikian ratio jumlah USP dengan jumlah keluarga pengguna biogas saat ini baru 1 : 0,52; masih jauh lebih kecil dari ratio optimal yang dapat dicapai yaitu 1 : 4,17. Sementara itu proporsi USP yang mengolah limbah sapi menjadi pupuk organik, selain teknik biogas, juga masih di bawah 2%.

Banyak upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten, bersama perbankan dan Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPSBU) untuk mengembangkan USP ini termasuk penyelesaian masalah yang dihadapi, namun masih bersifat parsial atau belum dengan pendekatan sistem sehingga hasil yang dicapai belum sepenuhnya sampai pada taraf yang diinginkan.

Penelitian ini bertujuan membangun model kebijakan pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan (USPSMWL) di Kabupaten Subang menggunakan pendekatan sistem, analisis kuantitatif dan kualitatif, Analytical Hierarchy Process, Interpretative Structural Modelling. Kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan itu: mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang; mengidentifikasi kebutuhan stakeholder dalam pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang; dan merumuskan kebijakan dan strategi pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang. Nilai kebaruan dari penelitian ini ialah terbangunnya model kebijakan USPSMWL di Kabupaten Subang menggunakan pendekatan sistem mencakup aspek ekonomi, sosial, dan ekologis dengan melibatkan stakeholder. Penelitian dilakukan di Kecamatan Sagalaherang dan Ciater Kabupaten Subang selama 6 bulan (Januari sampai Juni 2011). Jumlah responden 253 orang terdiri atas peternak sapi perah 115 orang (random sampling), bukan peternak sapi perah 115 orang (random sampling), pejabat dinas dan instansi tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa 16 orang (purposive sampling), dan pakar 7 orang (purposive sampling). Data dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner, kemudian dianalis secara deskriptif dan bivariat dengan bantuan software komputer.

(5)

oleh faktor-faktor: (1) intensitas keikutsertaan peternak dalam penyuluhan dan bimbingan teknis tentang usaha sapi perah, (2) pengetahuan peternak tentang usaha sapi perah, (3) praktek atau perilaku peternak dalam mengelola usaha sapi perah, (4) lamanya usaha sapi perah berjalan, dan (5) durasi atau alokasi waktu pengurusan usaha sapi perah per hari.

Usaha yang perlu ditingkatkan untuk pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang ialah: (1) peningkatan kerjasama harmonis para pelaku usaha sapi perah dengan stakeholder, (2) peningkatan kerjasama lintas program dan sektoral tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa atau kelurahan, (3) peningkatan frekuensi dan mutu penyuluhan dan bimbingan teknis tentang usaha sapi perah, dan (4) peningkatan dukungan dana, sarana, dan prasarana usaha sapi perah.

Urutan tingkat kepentingan elemen strategi pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang berdasarkan Analytical Hierarchy Process (AHP) ialah: (1) peningkatan kesiapan masyarakat peternak untuk usaha sapi perah, (2) peningkatan layanan bimbingan teknis oleh pemerintah, (3) peningkatan layanan penyuluhan oleh pemerintah, dan (4) peningkatan layanan perbankan kepada peternak. Faktor kunci pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang berdasarkan Interpretative Structural Modelling (ISM) ialah pembinaan kerjasama yang harmonis antara para peternak dengan pihak perbankan dan Pemerintah. Empat faktor penting berikutnya secara berurut yaitu (1) penyediaan tenaga pembimbing teknis usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan, (2) peningkatan kerjasama lintas program dan lintas sektoral tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa, (3) penyediaan dana dan sarana bimbingan teknis pengelolaan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan sesuai kebutuhan, dan (4) peningkatan frekuensi dan mutu penyuluhan dan bimbingan teknis kepada peternak dalam hal pemeliharaan kesehatan peternak, kesehatan sapi perah, dan penyehatan lingkungan usaha sapi perah”.

Model kebijakan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang dibangun dengan dasar pemikiran bahwa tingkat pertumbuhan dan perkembangan USP ditentukan oleh faktor kesiapan masyarakat, dukungan bantuan Pemerintah, dukungan bantuan perbankan, dan kondisi lingkungan. Hasil simulasi berdasarkan kondisi optimistik bahwa jumlah USP pada tahun 2011 sebanyak 212 unit menjadi 685 unit pada tahun 2030; atau pertambahan rata-rata 24 unit per tahun. Populasi sapi pada tahun 2011 sebanyak 883 ekor menjadi 1.895 ekor pada tahun 2030; atau pertambahan rata-rata 51 ekor per tahun. Lahan yang dapat digunakan untuk tanaman hijauan pakan ternak pada tahun 2030 seluas 769 hektar. Jumlah limbah sapi yang tidak terkelola pada tahun 2011 sebanyak 883.011 kilogram per tahun menjadi 117.269 kilogram per tahun pada tahun 2030; atau pengurangan rata-rata 38.287 kilogram per tahun. Jumlah CH4 dari limbah yang tidak terkelola

(6)

Berdasarkan model yang dibangun, disusun beberapa kebijakan dalam rangka pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang, yaitu: (1) Peningkatan kerjasama yang harmonis antara para peternak dengan pihak perbankan dan Pemerintah; (2) Penyediaan pembimbing teknis USPSMWL; (3) Peningkatan kerjasama lintas program dan lintas sektoral tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa; (4) Penyediaan dana dan sarana bimbingan teknis pengelolaan USPSMWL sesuai kebutuhan; (5) Peningkatan frekuensi dan mutu penyuluhan dan bimbingan teknis kepada peternak dalam hal pemeliharaan kesehatan peternak, kesehatan sapi perah, dan penyehatan lingkungan USP; (6) Pengelolaan lahan untuk “tumbuhan pakan” USPSMWL; dan (7) Peningkatan pengelolaan pemanfaatan limbah sapi perah berwawasan lingkungan.

Pemerintah Pusat (Kementerian Pertanian) agar segera menjabarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun produk hukum turunan lainnya, terutama berkaitan dengan dukungan permodalan masyarakat peternak, penyediaan lahan untuk tumbuhan hijau pakan sapi perah, dan pemasaran biogas serta pupuk organik hasil olahan limbah sapi perah. Bupati Subang agar menyempurnakan kebijakan pengembangan usaha sapi perah yang ada di Kabupaten Subang saat ini dengan mempertimbangkan masukan-masukan kebijakan yang disusun dari penelitian ini.

Pihak perbankan agar terus meningkatkan dukungan bantuan pendanaan terhadap usaha sapi perah skala mikro melalui pemberian kemudahan dalam hal persyaratan kecukupan agunan dan penetapan tingkat suku bunga di bawah tingkat suku bunga komersial. Pihak perbankan dapat menjadikan aspek lingkungan hidup sebagai salah satu pertimbangan dalam menilai kelayakan usaha peternak, dalam arti bahwa kelayakan finansial atas hasil produksi biogas dan pupuk organik olahan dari limbah sapi diperhitungkan untuk kepentingan repayment capacity ke bank. Seiring dengan itu dilakukan pula upaya untuk menginternalisasi karakteristik USP mikro ke dalam skim kredit yang ditawarkan bank.

Adapun saran penelitian lanjutan ialah tentang prospek USPSMWL di Kecamatan Ciater dan Sagalaherang sebagai agrowisata, dan tentang peningkatan produksi dan pemasaran biogas dan pupuk organik hasil olahan limbah sapi perah untuk mendukung pendapatan peternak sapi perah.

(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

(8)

PERAH SKALA MIKRO BERWAWASAN LINGKUNGAN

DI KABUPATEN SUBANG

PETRUS F.T.P. TAMPUBOLON

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Bidang Minat Kebijakan dan Manajemen Lingkungan Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Etty Riani, MS

2. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec

(11)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas selesainya penulisan disertasi ini berjudul Model Kebijakan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang. Penulisan disertasi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat studi akhir program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mendesain pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang.

Atas tersusunnya disertasi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing penulis; Bapak Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing penulis; Bapak Dr. Ir. Machfud, MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing penulis; Bapak Prof Dr.Ir.Cecep Kusmana, MS, selaku Ketua Program Studi PSL-IPB; beserta Staf dan para Dosen di lingkungan Program Studi PSL Sekolah Pascasarjana IPB yang telah banyak membimbing penulis; Ibu Dr. Ir. Rita N. Suryana dan Ibu Dr. Ir. Sri. Mulatsih selaku penguji Ujian Pra Kualifikasi yang telah banyak membimbing penulis; Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS dan Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec, selaku Penguji Ujian Tertutup; Bapak Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr dan Bapak Dr. Ir. Muhammad Said Didu, selaku Penguji Ujian Terbuka.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna; karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak.

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Medan pada tanggal 23 Agustus 1972, anak kedua dari enam bersaudara, putra dari pasangan Bapak Drs. Maruhum Tampubolon, MS dan Ibu Gustina Marbun.

Pada tahun 1990 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA St. Thomas 1, Medan. Penulis menamatkan Sarjana (S1) di Institut Pertanian Bogor (IPB), Program Studi Agribisnis pada tahun 1994 dan Pascasarjana (S2) di IPB, Program Studi Industri Kecil Menengah pada tahun 2004.

Sejak tahun 1995 penulis bekerja di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. dan posisi saat ini sebagai Pemimpin Sentra Kredit Kecil (SKC) Pecenongan, Jakarta dengan jenjang jabatan Assistant Vice President.

Penulis menikah dengan Susanti Mauli Risma Simatupang, SE. pada tahun 1999 dan telah dikaruniai tiga orang anak: Hariara Daniel Parlindungan Tampubolon, Filia Rosalina Tampubolon, dan Natanael Rogate Pandapotan Tampubolon.

Karya ilmiah dengan judul: (1) “Masalah dan Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang” sedang dalam proses untuk dimuat dalam Jurnal Ilmiah Forum Pascasarjana IPB pada Vol.35, No.1, Januari 2012; dan (2) “Strategi Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang” dimuat dalam Jurnal Manajemen Pengembangan Industri Kecil Menengah, ISSN: 2085-8418, Volume 6 No.2 bulan Oktober 2011.

Bogor, Nopember 2011

(13)

xiii

2.1 Pembangunan Berkelanjutan... 18

2.2 Usaha Peternakan Sapi Perah Berwawasan Lingkungan ... 19

2.2.1 Manfaat dan Pentingnya Usaha Peternakan Sapi Perah ... 22

2.2.2 Pengembangan Usaha Peternakan Sapi Perah Skala Mikro dan Faktor-Faktor yang Berhubungan ... 28

2.2.3 Hasil Penelitian Berkaitan dengan Usaha Peternakan Sapi Perah ... 31

2.2.4 Kebijakan Pemerintah untuk Pengembangan Usaha Peter- nakan Sapi Perah Skala Mikro ... 37

2.2.5 Kebijakan Perbankan untuk Pengembangan Usaha Peter- nakan Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan ... 45

2.3 Analytical Hierarchy Process (AHP) ... 48

2.4 Interpretative Structural Modelling (ISM) ... 51

2.5 Pendekatan Sistem ... 52

2.5.1 Analisis Kebutuhan ... 55

2.5.2 Formulasi Permasalahan ... 55

2.5.3 Identifikasi Sistem ... 55

2.5.4 Pemodelan Sistem ... 56

2.5.5 Validitas dan Sensitivitas Model ... 57

2.6 Kebijakan ... 57

3.5 Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data... 71

3.5.1 Pengumpulan Data ... 71

3.5.2 Pengolahan dan Analisis Data... 74

3.5.2.1 Analisis Deskriptif dan Bivariat (Chi-square) ... 74

(14)

xiv

4.2.1 Karakteristik Responden Masyarakat Peternak ... 83

4.2.2 Karakteristik Responden Masyarakat Bukan Peternak ... 86

4.2.3 Responden Pejabat Dinas/Instansi/Institusi ... 89

4.3 Gambaran Umum Tentang Usaha Sapi Perah di Kabupaten Su- bang ... 89

4.4 Gambaran Keadaan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang Berhubungan dengan Usaha Sapi Perah di Ka- bupaten Subang ... 94

4.4.1 Keadaan dan Pengelolaan Sumberdaya Air dan Lahan Ta- naman Pakan Hijauan Ternak ... 94

4.4.2 Keadaan dan Pengelolaan Kesehatan Lingkungan Kandang 95

4.4.3 Keadaan dan Pengelolaan Limbah Sapi Perah ... 95

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 96

5.1 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Usaha Sapi Perah dan Kebutuhan-Kebutuhan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang ... 96

5.1.1 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Usaha Sapi Pe- rah ... 96

5.1.1.1 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan “Minat Menjadi Pelaku Usaha Sapi Perah” ... 96

5.1.1.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan “Perkem- bangan atau Kemajuan Usaha Sapi Perah” ... 99

5.1.2 Pendapat Responden Dinas/Instansi/Institusi Tentang Per- kembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang ... 104

5.2 Hierarki Tingkat Kepentingan Elemen-Elemen Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang ... 117

5.3 Faktor Kunci atau Faktor Penting Untuk Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang ... 123

5.4 Pendekatan Sistem dalam Pengembangan Usaha Sapi Perah Ska- la Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang... 128

5.4.1 Analisis kebutuhan ... 128

5.4.2 Formulasi Permasalahan ... 128

(15)

xv

5.4.3.1 Diagram Lingkar Sebab Akibat ... 130

5.4.3.2 Diagram Input-Output ... 133

5.4.3.3 Diagram Alir Model Kebijakan Pengembangan Usa- ha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang ... 134

5.4.4 Simulasi Model ... 141

5.4.4.1 Model Ekonomi ... 141

5.4.4.2 Model Sosial ... 144

5.4.4.3 Model Ekologi ... 148

5.4.5 Validasi Model ... 152

5.4.5.1 Validasi Struktur Model ... 153

5.4.5.2 Validasi Kinerja atau Output Model ... 154

5.4.6 Skenario Model Kebijakan Pengembangan Usaha Sapi Pe- rah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang ... 155

5.4.6.1 Penyusunan Skenario ... 155

5.4.6.2 Simulasi Skenario Sub-Model Ekonomi ... 161

5.4.6.3 Simulasi Skenario Sub-Model Sosial ... 164

5.4.6.4 Simulasi Skenario Sub-Model Ekologi ... 165

5.4.6.5 Perbandingan Antar Skenario ... 169

5.5 Desain Kebijakan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang ... 171

5.5.1 Kebijakan Pengembangan Usaha Sapi Perah di Kabupaten Subang dan Masalah yang Dihadapi ... 171

5.5.2 Kebijakan Alternatif Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan Kabupaten Subang. 177

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 200

6.1 Kesimpulan ... 200

6.2 Saran ... 201

6.3 Saran Penelitian Lanjutan ... 202

DAFTAR PUSTAKA ... 203

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan ... 50 2. Perincian waktu penelitian model kebijakan pengembangan usaha sa-

pi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang .. 60 3. Perincian responden penelitian model kebijakan pengembangan usa-

ha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten

Subang ... 62 4. Form penilaian perkembangan usaha sapi perah skala mikro berwa-

wasan lingkungan di Kabupaten Subang ... 65 5. Form penilaian pengetahuan responden masyarakat peternak tentang

usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan ... 68 6. Form penilaian perilaku responden masyarakat peternak dalam

mengelola usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan ... 69 7. Distribusi responden masyarakat peternak menurut pengeluaran kon-

sumsi rata-rata anggota keluarganya per bulan ... 85 8. Distribusi responden masyarakat bukan peternak menurut pengeluar-

an konsumsi rata-rata anggota keluarganya per bulan ... 87 9. Alasan responden tidak ikut serta melakukan usaha sapi perah ... 87 10. Distribusi responden menurut jumlah waktu pengurusan per ekor sa-

pi per hari ... 90 11. Distribusi responden menurut hasil perolehan susu segar per hari .. 92 12. Distribusi responden menurut kontribusi pendapatan usaha sapi pe-

rah terhadap upaya pemenuhan kebutuhan konsumsi keluarganya .... 93 13. Matriks perbandingan antar elemen “aktor” berdasarkan “kebijakan

pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkung-

an di Kabupaten Subang” ... 118 14. Matriks perbandingan antar elemen “faktor” berdasarkan “aktor”

pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkung-

an di Kabupaten Subang ... 121 15. Matriks perbandingan antar elemen “tujuan” berdasarkan “faktor”

pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkung-

an di Kabupaten Subang ... 121 16. Matriks perbandingan antar elemen “strategi” berdasarkan “tujuan”

pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkung-

an di Kabupaten Subang ... 122 17. Nilai driver power (DP) dan dependence (D) sub-elemen “strategi”

pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkung-

(17)

xvii

18. Analisis kebutuhan stakeholder dalam pengembangan usaha sapi

perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang ... 129 19. Hasil simulasi jumlah tenaga kerja pengelola sapi perah, pengelola

sapi perah, pengolah biogas dan pengolah pupuk tahun 2003-2030.... 142 20. Hasil simulasi perkembangan persentase kontribusi pendapatan usa-

ha sapi perah terhadap kebutuhan konsumsi rumah tangga peternak

tahun 2003-2030 ... 143 21. Hasil simulasi jumlah penduduk dan peternak sapi perah tahun

2003-2030 ... 145 22. Kesehatan penduduk, peternak, perbandingan kesehatan peternak

terhadap penduduk, pendidikan penduduk, pendidikan peternak, perbandingan pendidikan peternak terhadap penduduk tahun 2003-

2030 ... 147 23. Hasil simulasi perilaku berusaha sapi perah tahun 2010-2030 ... 148 24. Hasil simulasi perkembangan sapi perah dan sapi non perah tahun

2003-2030 ... 149 25. Hasil simulasi perkembangan sisa lahan tahun 2010-2030 ... 150 26. Hasil simulasi perkembangan limbah kotoran kering sapi dan limbah

sapi yang tidak terkelola tahun 2003-2030 ... 151 27. Hasil simulasi perkembangan gas metana yang lepas ke atmosfir ta-

hun 2003-2030 ... 152 28. Kondisi perubahan faktor-faktor penentu tingkat kepentingan faktor-

faktor yang berpengaruh ... 158 29 Nilai faktor-faktor pengembangan usaha sapi perah skala mikro ber-

wawasan lingkungan menurut skenario eksisting, optimistik, mode-

rat, dan pesimistik ... 160 30. Keterkaitan faktor-faktor penentu dengan variabel-variabel sub sis-

tem ekonomi, sosial, dan ekologi dalam model yang dibangun ... 160 31. Perbandingan hasil simulasi antar skenario kondisi optimistik, ske-

nario kondisi moderat, skenario kondisi pesimistik dalam rangka pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkung-

(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ... 9

2. Sistem ekonomi sederhana dengan lingkungan alam sebagai kompo- nen integral ... 20

3. Interaksi usaha kecil dengan lingkungan ... 39

4. Siklus produksi pendekatan agribisnis sapi perah... 44

5. Keterkaitan lima sub sistem dalam sistem agribisnis sapi perah ... 45

6. Diagram teknik Interpretative Structural Modelling ... 53

7. Metodologi pemecahan masalah dengan pendekatan sistem ... 54

8. Proses perumusan kebijakan berdasarkan model Eastonian ... 58

9. Diagram alir penelitian ... 61

10. Struktur hierarki antar elemen pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan dengan dukungan perbankan di Ka- bupaten Subang ... 123

11.Nilai driver power sub elemen strategi pengembangan usaha sapi pe- rah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang ber- dasarkan Interpretative Structural Modelling ... 125

12. Matriks driver power-dependence sub elemen strategi pengembang- an usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupa- ten Subang ... 126

13. Diagram hierarki peringkat nilai pendapat responden tentang sub elemen strategi pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwa- wasan lingkungan di Kabupaten Subang ... 127

14. Diagram lingkar sebab-akibat sub sistem ekonomi ... 131

15. Diagram lingkar sebab-akibat sub sistem sosial ... 131

16. Diagram lingkar sebab-akibat sub sistem ekologi ... 132

17. Diagram lingkar sebab-akibat model kebijakan pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Su- bang ... 132

18. Diagram black box (input-output) model kebijakan pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang ... 133

19. Diagram alir sub model ekonomi ... 135

20. Diagram alir sub model sosial ... 137

(19)

xix

22. Jumlah tenaga kerja pengelola sapi, pengelola pupuk dan biogas ... 141

23. Grafik kontribusi pendapatan usaha sapi perah terhadap kebutuhan konsumsi rumah tangga peternak ... 143

24. Grafik perkembangan jumlah penduduk ... 144

25. Grafik perkembangan jumlah peternak ... 144

26. Perbandingan tingkat kesehatan penduduk dengan kesehatan peternak 146 27. Perbandingan tingkat pendidikan peternak dengan penduduk ... 146

28. Grafik perilaku positif peternak dalam mengurus usaha sapi perah .... 147

29. Perkembangan jumlah sapi ... 148

30. Grafik luas lahan yang dapat dikembangkan untuk keperluan tanam tumbuhan pakan sapi ... 149

31. Jumlah limbah kotoran kering sapi dan jumlah limbah yang tidak terkelola ... 150

32. Jumlah CH4 yang lepas ke atmosfir ... 151

33. Simulasi jumlah peternak sapi perah ... 162

34. Simulasi jumlah peternak pengolah biogas ... 163

35. Simulasi jumlah peternak pengolah pupuk organik ... 162

36. Simulasi kontribusi pendapatan usaha sapi perah terhadap kebutuhan konsumsi keluarga peternak ... 164

37. Simulasi tingkat perilaku berusaha sapi perah ... 165

38. Simulasi jumlah sapi piaraan ... 166

39. Simulasi jumlah sapi perah ... 166

40. Simulasi jumlah sapi non perah ... 167

41. Simulasi jumlah sisa lahan untuk tanam pakan sapi ... 168

42. Simulasi limbah kotoran sapi yang tidak terkelola ... 168

(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Tabel validasi model kebijakan pengembangan usaha sapi perah skala

mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang ... 215 2. Hasil simulasi kondisi eksisting, skenario optimistik, skenario mode-

rat, dan skenario pesimistik, model kebijakan pengembangan usaha

sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang . 217 3. Persamaan (equation) Powersim model kebijakan pengembangan

usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten

Subang... 228 4. Kontribusi pendapatan usaha sapi perah terhadap kebutuhan kon-

(21)

1.1 Latar Belakang

Pemerintah terus memberikan dukungan kepada masyarakat untuk menumbuhkan dan mengembangkan usaha peternakan sapi perah (USP) di daerah pedesaan dalam rangka meningkatkan jumlah produksi susu di Indonesia. Di Kabupaten Subang Jawa Barat, USP tumbuh dan berkembang sejak tahun 1980 di sejumlah kecamatan, terutama di daerah pegunungan, di antaranya Kecamatan Sagalaherang dan Kecamatan Ciater (Badan Pusat Statistik atau BPS Kabupaten Subang 2011). USP di Kecamatan Sagalaherang dan Kecamatan Ciater pada awalnya, tahun 1980, berjumlah 5 unit dengan populasi sapi perah 10 ekor; kemudian pada tahun 2008, dengan adanya bantuan permodalan dari bank setempat berupa fasilitas kredit, jumlah USP bertambah banyak menjadi 230 unit dengan populasi sapi perah 828 ekor. Pada tahun 2010 jumlah USP bertambah menjadi 232 unit dengan jumlah populasi sapi perah 865 ekor. Pada tahun 2010 ada 20 USP yang tidak aktif dan pindah lokasi, dengan demikian jumlah USP pada awal tahun 2011 menjadi 212 unit dengan jumlah populasi sapi perah 883 ekor. Produksi susu per ekor sapi laktasi per hari adalah bervariasi dalam kisaran 8 sampai 15 liter dengan rata-rata 9 liter (Dinas Peternakan Kabupaten Subang atau Disnakkab. Subang dan Koperasi Peternak Susu Bandung Utara atau KPSBU 2011). Hasil dari USP tersebut, menurut hasil wawancara dengan beberapa pelaku USP, dirasakan telah memberikan manfaat dan berdampak positif bagi kehidupan diri dan keluarga pelaku USP. Mereka menilai USP telah menjadi lapangan kerja khusus atau sebagai bagian sumber mata pencaharian bagi masyarakat desa yang cukup memadai.

(22)

2008); (2) rendahnya persentase peningkatan status skala usaha dari “mikro” ke skala yang lebih tinggi per tahun; dalam arti bahwa selama periode 2008-2011 kepemilikan sapi per USP pada sebagian besar (99%) USP relatif tetap pada angka rata-rata 3-4 ekor; (3) pertambahan USP dalam periode 2008-2010 rata-rata sebesar 0,87% per tahun masih di bawah target Kabupaten Subang sebesar 10% per tahun atau masih di bawah rata-rata nasional kurun waktu 1997-2004 sebesar 1,29%; dan (4) minimnya jumlah USP yang berwawasan lingkungan (Disnakkab. Subang 2011).

Masalah-masalah tersebut yang dihadapi selama ini diduga berhubungan dengan banyak faktor yang saling mempengaruhi dan saling ketergantungan satu sama lain, di antaranya ialah: (a) kesiapan masyarakat dalam mengembangkan USP yang kurang optimal; (b) pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk mendukung pengembangan USP yang kurang optimal; (c) kebijakan atau dukungan bantuan dari pemerintah dan pihak perbankan yang kurang optimal. Dengan demikian masalah yang dihadapi tidak sederhana, tetapi bersifat kompleks atau sistemik, sehingga untuk penyelesaiannyapun perlu menggunakan pendekatan sistem (holistik, berorientasi pada tujuan, efektif) yang berbasis pada data dan informasi yang relevan serta bertolak dari kebutuhan stakeholder. Kebijakan yang dirumuskan kemudian diharapkan dapat diimplementasikan dengan baik dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Dengan terselesaikannya masalah tersebut maka diharapkan perkembangan USP di kedua kecamatan semakin maju ke arah tujuan yang diharapkan dan pada akhirnya berdampak positif bagi kehidupan seluruh masyarakat.

Memperhatikan keadaan, masalah, dan tujuan pengembangan USP di Kecamatan Sagalaherang dan Kecamatan Ciater penulis merasa tertarik atau termotivasi untuk melakukan penelitian menggunakan pendekatan sistem berdasarkan kebutuhan para stakeholder. Topik yang dipilih dan ditetapkan untuk penelitian ini ialah Model Kebijakan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang.

1.2 Tujuan Penelitian

(23)

Subang. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, ditetapkan tujuan khusus yaitu (1) teridentifikasinya faktor-faktor yang berhubungan dengan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang; (2) teridentifikasinya kebutuhan-kebutuhan stakeholder dalam pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang; dan (3) terumuskannya model kebijakan dan strategi pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang.

1.3 Kerangka Pemikiran

(24)

memperluas jaringan sehingga dapat di akses oleh UMKM; (3) memberikan kemudahan dalam memperoleh pendanaan secara cepat, tepat, murah, dan tidak diskriminatif dalam pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan; dan (4) membantu para pelaku UMKM untuk mendapatkan pembiayaan dan jasa atau produk keuangan lainnya yang disediakan oleh perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, baik yang menggunakan sistem konvensional maupun sistem syariah dengan jaminan yang disediakan oleh pemerintah.

Kebijakan lain yang mendukung penumbuhan dan pengembangan (UMKM) di Indonesia ialah dari Bank Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/2/PBI/2001 tentang pemberian kredit usaha kecil; yang intinya menganjurkan bank untuk menyalurkan kredit UMKM sesuai business plan. Kebijakan yang terkait tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/39/PBI/2005 perihal Pemberian Bantuan Teknis Dalam Pengembangan UMKM; yang intinya Bank Indonesia memberikan bantuan teknis berupa pelatihan dan penyediaan informasi kepada perbankan, lembaga pembiayaan dan Business Development Service Provider (BDSP).

(25)

Subang, berdasarkan pada kriteria Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, hingga saat ini belum ada secara tertulis. Selama ini aturan yang digunakan bersumber dari aturan umum yang berkaitan (Disnakkab. Subang 2011).

Keseluruhan aturan atau kebijakan yang telah ditetapkan itu pada umumnya telah dan sedang diimplementasikan sesuai dengan kebutuhan daerah berdasarkan situasi dan kondisi masing-masing. Banyak hasil yang telah diperoleh searah dengan tujuan; namun demikian belum sepenuhnya sampai pada taraf yang dikehendaki. Berdasarkan pada data dan informasi dari pejabat Dinas Peternakan Kabupaten Subang dan hasil pengamatan di lokasi bahwa akselerasi perkembangan jumlah dan kualitas USP skala mikro di Kabupaten Subang relatif kurang jika dilihat dari sisi jumlah peternak sapi perah, jumlah populasi ternak sapi perah, jumlah dan kualitas produksi susu per sapi perah per hari, pengolahan limbah sapi perah, pengelolaan hijauan pakan ternak, bimbingan atau dukungan teknis, dukungan dana usaha, kesehatan kandang serta lingkungannya, dan pendapatan peternak sapi perah. Hal ini merupakan masalah dan diduga berkaitan dengan banyak faktor, di antaranya ialah: (1) faktor kesiapan masyarakat, (2) faktor kebijakan pemerintah kabupaten dan kecamatan, (3) faktor kebijakan perbankan, dan (4) faktor kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi, saling ketergantungan, dan tidak terpisahkan satu sama lain.

(26)

penyebab rendahnya produktivitas sapi perah ialah faktor manajemen. Hasil penelitian Siregar (1993) mengemukakan bahwa rendahnya tingkat pendidikan peternak sapi perah mengakibatkan tidak tergarapnya sumberdaya usaha tani sapi perah secara optimal dan rendahnya daya serap peternak-peternak sapi perah itu terhadap teknologi baru. Suprapto et al. (1999) mengemukakan bahwa di daerah Bali pada umumnya petani kecil dengan tingkat perekonomian yang lemah dan tingkat pendidikan yang rendah sehingga sangat berpengaruh terhadap cara berusaha tani ataupun beternak.

(27)

melibatkan berbagai sektor. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peranan pemerintah sebagai regulator dalam hal penentuan harga susu, transportasi, sebagai pembimbing teknik, dan pembina kerjasama lintas sektoral adalah penting dan turut menentukan kelancaran perkembangan USP di daerah.

Kebijakan perbankan mencakup kelayakan finansial, persyaratan dan prosedur kredit, jangka waktu pinjaman, suku bunga pinjaman, dan aspek hukum. Sistem pembiayaan perbankan tetap merupakan sumber pembiayaan utama bagi usaha kecil, menengah, dan koperasi (UKMK). Prawiradiputra et al. (2008) mengemukakan bahwa pada umumnya peternak menghadapi kendala kurangnya modal; bukan hanya untuk pengadaan sapi perahnya saja tetapi untuk pengadaan hijauan pakan. Harpini (2008) juga mengemukakan bahwa kendala yang dihadapi dalam pengembangan sapi perah rakyat adalah keterbatasan modal usaha dan lahan hijauan pakan ternak. Apabila kedua kendala ini dapat diatasi kemungkinan populasi sapi dapat ditingkatkan. Permasalahan klasik yang selalu muncul dalam rangka pemberdayaan UKMK, salah satunya adalah masalah permodalan, yang umumnya disebabkan oleh keterbatasan akses ke sumber-sumber permodalan, terutama akses ke lembaga keuangan formal seperti bank, di samping keterbatasan pengetahuan atau kemampuan dalam memenuhi prosedur dan persyaratan perbankan. Pelayanan pembiayaan kepada UKMK baik dalam bentuk kredit atau pinjaman, sampai sekarang tetap merupakan topik urgen. Menurut Prasetyo (2008) peningkatan penyediaan dan aksesibilitas kredit perbankan dan program bagi peternak dengan tingkat bunga maksimum 6 persen per tahun perlu dikembangkan. Skim kredit investasi bagi peternak tetap perlu difasilitasi dengan pendampingan teknologi, manajemen usaha, dan pembinaan kemandirian kelompok peternak.

(28)

komoditas susu. Sarwanto (2004) menyatakan bahwa dataran tinggi lebih berpotensi untuk mewujudkan peternakan sapi perah berkelanjutan dibandingkan dengan dataran rendah; berkenaan dengan ketersediaan air, ketersediaan hijauan pakan, dan produksi susu. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor tahun 1990, menetapkan kesimpulan area pengembangan peternakan sapi perah dalam 3 area yaitu: area yang berada di atas ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (MDPL) dijadikan sebagai pusat produksi susu, dan di tempat ini dikembangkan sapi perah Friesian Holstein (FH) murni sebagai bibit utama (grand parent stock–GPS atau parent stock-PS); antara 300 dan 700 MDPL dikembangkan sapi perah hasil budidaya yang baik yang berasal dari PS yaitu final stock (FS); sedangkan yang berada di bawah 300 MDPL dikembangkan sapi perah persilangan dengan lokal.

(29)

dasar pemikiran bahwa baik tidaknya perkembangan usaha sapi perah berhubungan erat dengan faktor kesiapan masyarakat, faktor sumberdaya alam dan lingkungan, faktor kebijakan pemerintah, dan faktor kebijakan perbankan. Model ini kemudian divalidasi hingga diperoleh keabsahan sebagai salah satu kriteria penilaian keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah lalu direkomendasikan menjadi kebijakan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang. Kerangka pemikiran penelitian ini ditampilkan dalam Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

Disain Kebijakan pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang  Persyaratan dan Prosedur

Kredit atau Pinjaman  Jangka Waktu dan Bunga  Aspek Hukum

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Peraturan Daerah Kabupaten Subang Nomor 14

Tahun 2006 tentang Izin Usaha Peternakan

(30)

1.4 Perumusan Masalah

Masalah yang berhubungan dengan USP di Kecamatan Sagalaherang dan Kecamatan Ciater ialah (1) hingga saat ini jumlah produksi susu per sapi laktasi rata-rata per hari pada sebagian besar USP belum optimal atau masih di bawah jumlah produksi ideal sebesar 20 liter per sapi per hari; (2) laju peningkatan status skala USP dari “mikro” (jumlah 1-5 ekor sapi) ke skala USP yang lebih tinggi (jumlah > 5 ekor sapi) selama periode 2008-2011 masih relatif lambat (sekitar 1% per tahun); (3) laju pertambahan USP dalam periode 2008-2010 masih rendah; rata-rata sebesar 0,87% per tahun masih di bawah target Kabupaten Subang sebesar 10% per tahun atau di bawah rata-rata nasional kurun waktu 1997-2004 sebesar 1,29%; dan (4) minimnya jumlah USP yang berwawasan lingkungan. Masalah-masalah ini diduga berkaitan dengan faktor: kesiapan masyarakat, kebijakan pemerintah, sumberdaya alam dan lingkungan, dan kebijakan perbankan.

1.4.1 Kesiapan Masyarakat

Kesiapan masyarakat yang dimaksud mencakup: pendidikan formal masyarakat, kesehatan masyarakat, pendapatan masyarakat, pengetahuan dan sikap masyarakat tentang USP, praktek atau perilaku mengelola USP, keterampilan teknis dan kemampuan dana para peternak sapi perah.

1.4.1.1 Pendidikan Formal Masyarakat

(31)

atas SLA berturut-turut 1,26% dan 2,31%. Tingkat pendidikan sebagian besar penduduk hanya tamat SD dan tidak tamat SD; hal ini sedikit banyak mengakibatkan tidak tergarapnya sumberdaya usaha tani sapi perah secara optimal dan rendahnya daya serap peternak-peternak sapi perah itu terhadap teknologi baru (Siregar et al. 2003).

1.4.1.2 Kesehatan Masyarakat

Salah satu indikator kesehatan masyarakat ialah umur harapan hidup (UHH). Pada saat ini UHH masyarakat di kedua kecamatan adalah berturut-turut 68 tahun dan 70,28 tahun atau masih di bawah standar UNDP yaitu 88 tahun. Rendahnya UHH tersebut berkaitan dengan angka kematian ibu melahirkan (AKIM) di kedua kecamatan yang relatif tinggi sebesar 9 dan 10 per seratus ribu atau masih di bawah target nasional yaitu 6 per seratus ribu ibu melahirkan. Rendahnya UHH juga berkaitan dengan angka kematian bayi (AKB) yang masih tinggi, berturut-turut sebesar 46 dan 47 per seribu kelahiran hidup atau masih di bawah target nasional 23 per seribu kelahiran hidup (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2010). Keadaan ini merupakan masalah yang perlu diselesaikan bersamaan dengan peningkatan pendidikan dan ekonomi masyarakat dalam rangka percepatan peningkatan IPM.

1.4.1.3 Pendapatan Masyarakat

Proporsi keluarga tergolong miskin di kedua kecamatan pada akhir 2010 adalah berturut-turut 6,26% dan 16,93% total seluruh keluarga. Khusus tentang pendapatan USP di kedua kecamatan ini walaupun telah memberi kontribusi besar terhadap pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga pelaku USP namun belum seluruhnya sampai pada taraf yang diharapkan. Rendahnya pendapatan peternak disebabkan karena selisih harga jual susu segar per liter di tingkat peternak dengan biaya untuk memproduksi per liter susu segar terlalu kecil (Disnakkab. Subang 2010). Rendahnya pendapatan peternak sedikit banyak akan mempengaruhi tingkat pemenuhan kebutuhan hidup diri dan keluarganya, dan pada gilirannya dapat pula menghambat perkembangan USP.

1.4.1.4 Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Tentang USP

(32)

umumnya belum optimal, terutama tentang pembibitan, pengeloaan pakan ternak; pengelolaan kesehatan ternak, kesehatan lingkungan USP; dan pengelolaan atau pemanfaatan limbah ternak untuk memperoleh nilai tambah ekonomi, sosial, dan lingkungan. Walaupun demikian sikap para peternak dalam rangka USP pada umumnya cukup positif ditunjukkan oleh semangat, antusiasme, ketekunan, dan keseriusan mereka yang baik dalam beternak.

1.4.1.5 Keterampilan Teknis

Keterampilan teknis dari para pelaku USP dalam beberapa aspek belum optimal, hal ini tampak dari belum mampunya mereka menggunakan strategi efisiensi penggunaan pakan di antaranya ialah penggunaan bahan baku berupa limbah pertanian dan agroindustri yang dikombinasikan dengan penggunaan probiotik, defaunasi, maupun melalui teknis suplementasi (Umiyasih et al. 2008); padahal mereka memerlukan pakan olahan berupa konsentrat atau silase yang murah dalam jumlah yang cukup untuk meningkatkan produksi susu sapi mereka. Di samping itu kemampuan teknis mereka dalam mengolah susu segar menjadi aneka produksi makanan relatif masih kurang. Kondisi inipun turut mempengaruhi sulitnya meningkatkan pendapatan para pelaku USP.

1.4.1.6 Praktek atau Perilaku Mengelola USP

Praktek atau perilaku pelaku USP dalam mengelola usahanya pada umumnya relatif baik walaupun belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini tampak dari wujud penampilan para pelaku USP dalam: (a) penempatan kandang sapi perah yang belum memenuhi syarat kesehatan

dan syarat-syarat yang ditentukan oleh UURI Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; yakni sebagian besar kandang sapi perah di lokasi ini berjarak kurang dari 3 meter dari rumah penduduk; (b) pemeliharaan kebersihan dan kesehatan kandang sapi perah yang masih

kurang optimal dan berisiko menjadi gangguan kesehatan; ditunjukkan oleh saluran limbah yang terbuka yang mudah terjangkau oleh serangga dan tikus sebagai perantara penular atau penyebar penyakit;

(33)

4 km dari tempat tinggal mereka. Setiap hari mereka harus mengeluarkan biaya angkutan relatif besar dan menggunakan waktu relatif lama;

(d) pengelolaan atau pemanfaatan limbah sapi yang belum optimal, hal ini tampak dari banyaknya limbah sapi lama dan baru bercampur dan menumpuk di areal sekitar kandang. Hingga saat ini baru 55 USP (25,94%) yang memanfaatkan limbah sapi menjadi biogas; itupun rata-rata masih dalam skala kecil, artinya hanya untuk memenuhi kebutuhan rata-rata satu sampai dua keluarga saja; atau hanya menyerap limbah dari satu atau dua sapi saja (asumsi: biogas hasil satu ekor sapi memenuhi kebutuhan satu keluarga beranggota 5-6 orang). Dengan penghitungan keseluruhan, maka proporsi limbah sapi yang terserap untuk biogas selama ini baru sebagian kecil saja yaitu tidak lebih dari 12,46% (110 ekor/883ekor*100%). Ratio jumlah USP dengan jumlah keluarga pengguna biogas pada saat ini baru 1 : 0,52 (atau 212 USP memenuhi kebutuhan gas 110 keluarga); masih lebih kecil dari ratio jika seluruh USP dioptimalkan memproduksi biogas yaitu 1 : 4,17 (212 USP memenuhi kebutuhan gas 883 keluarga). Sementara itu proporsi USP yang mengolah limbah sapi menjadi pupuk organik, selain teknik biogas, juga masih relatif kecil, di bawah 2%. Limbah sapi perah yang tidak terserap atau tidak dikelola dengan baik per USP per hari adalah rata-rata 85,54%.

Limbah yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi faktor risiko: (a) peningkatan emisi gas CH4 (metana) yang masuk ke atmosfir sebesar

(34)

Meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer pada akhirnya menyebabkan meningkatnya suhu permukaan bumi secara global; yang menimbulkan dampak negatif berupa (1) mencairnya es dan gletser di seluruh dunia, terutama di Kutub Utara dan Selatan, yang kemudian menyebabkan peningkatan permukaan air laut; (2) pergeseran musim; (3) krisis persediaan makanan akibat tingginya gagal panen, (4) krisis air bersih, (5) meluasnya penyebaran penyakit tropis: malaria, demam berdarah dan diare; (6) kebakaran hutan, serta (7) hilangnya jutaan spesies flora dan fauna karena tidak dapat beradaptasi dengan perubahan suhu di bumi.

Salah satu penyebab kurangnya pemanfaatan atau penyerapan limbah sapi perah tersebut ialah karena kurangnya gairah pelaku USP membuat atau mengolah biogas dan pupuk organik akibat hasil yang diperoleh kemudian tidak dapat dipasarkan seperti halnya elpiji.

1.4.1.7 Kemampuan Dana

Kemampuan dana sebagian besar pelaku USP untuk pengembangan USP pada dapat dikatakan rendah, hal ini tercermin dari perkembangan populasi sapi per USP dalam kurun waktu 2008-2010 relatif tetap rata-rata 3-4 ekor. Hasil pendapatan USP pada umumnya digunakan sebagian besar pelaku USP untuk keperluan konsumsi (belanja pangan, listrik, air, telepon, pajak, retribusi, iuran sosial, transport, pendidikan, kesehatan, dan lainnya); akibatnya pemupukan modal untuk pengembangan USP dalam bentuk simpanan sangat rendah.

1.4.2 Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah yang dimaksud ialah berkaitan dengan sarana dan prasarana, keamanan lingkungan, dan layanan penyuluhan dan bimbingan teknis tentang USP.

1.4.2.1 Sarana dan Prasarana

(35)

kepada pelaku USP hingga saat ini belum digunakan oleh pelaku USP karena alasan teknis dan kesulitan pemasaran hasil produksinya.

Dukungan pemerintah dalam hal pengelolaan pakan masih kurang; padahal pakan merupakan faktor penting dalam USP (Eastridge 2006); semakin memadai kuantitas dan kualitas pakan yang diberikan, semakin memadai pula jumlah dan kualitas sapi dan produknya; dan semakin menambah pendapatan para pelaku USP dan keluarganya. Pakan sapi perah yang tersedia sesuai dengan jumlah dan jenis yang dibutuhkan, langsung atau tidak langsung akan menggairahkan peternak memajukan USP ke arah yang diharapkan; dan sekaligus dapat merangsang atau memotivasi anggota masyarakat umum lainnya turut serta mengembangkan USP.

Dukungan pemerintah dalam hal penyaluran atau pemasaran biogas dan pupuk organik hasil olahan limbah sapi perah belum ada; karenanya pelaku USP yang memiliki instalasi pengolahan selama ini memproduksi biogas bukan untuk komersial tetapi terbatas untuk keperluan konsumsi keluarga sendiri dan tetangga dekatnya.

1.4.2.2 Keamanan Lingkungan

Layanan pemerintah kecamatan atau desa dalam sistem keamanan lingkungan USP dirasakan masyarakat masih kurang; hal ini tampak dari kondisi penempatan kandang sapi pada umumnya berdekatan dengan rumah pemilik masing-masing dengan alasan belum optimalnya keamanan lingkungan.

1.4.2.3 Layanan Penyuluhan dan Bimbingan Teknis

(36)

Menurut keterangan petugas Dinas Peternakan Kabupaten Subang, kurangnya layanan penyuluhan dan bimbingan teknis tersebut ialah karena keterbatasan dana, sarana, dan tenaga; di samping itu kerjasama lintas program sektoral tingkat kabupaten dan kecamatan masih kurang optimal.

1.4.3 Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Permasalahan yang berkaitan dengan sumberdaya alam dan lingkungan di antaranya ialah belum optimalnya penggunaan lahan untuk penanaman tumbuhan hijau untuk pakan ternak sapi perah. Dalam beberapa tahun belakangan ada wacana untuk memanfaatkan lahan PERHUTANI di sekitar Kecamatan Sagalaherang dan Kecamatan Ciater namun hingga kini belum terwujud.

1.4.4 Kebijakan Perbankan

Permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan perbankan ialah bahwa hingga saat ini belum ada suatu kebijakan khusus dari perbankan tentang bantuan pengembangan USPSMWL. Masalah yang dihadapi ialah bahwa para peternak yang membutuhkan pada umumnya ingin memperoleh dana dalam waktu cepat, persyaratan dan prosedur yang mudah, dan bunga yang ringan; sementara pihak perbankan atau lembaga keuangan berpegang teguh pada persyaratan atau prosedur baku untuk mendapatkan profit secara proporsional.

Berdasarkan tujuan, keadaan dan masalah yang dihadapi tersebut penulis mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang?

2. Bagaimana pendapat pejabat dinas dan institusi tentang upaya yang perlu ditingkatkan dalam rangka pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang?

3. Bagaimana urutan tingkat kepentingan elemen-elemen pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang berdasarkan pendapat pakar?

(37)

5. Model kebijakan seperti apakah yang perlu dibangun untuk pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang? 1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini penulis harapkan bermanfaat:

1. Sebagai bahan masukan untuk Pemerintah Kabupaten Subang Jawa Barat dalam rangka pengambilan keputusan tentang pengembangan USPSMWL; 2. Sebagai bahan masukan bagi pihak perbankan dalam merumuskan kebijakan

pengembangan USPSMWL; dan

3. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang kebijakan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang.

1.6 Kebaruan (Novelty) Penelitian

(38)

2.1 Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya (World Commission on Environment and Development - WCED 1987). Komisi Brundtland pada tahun 1987 (Our Common Future), menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah “pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang”. Dalam Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai: “upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi kini dan generasi depan”.

Pembangunan berkelanjutan secara sederhana dimaknai sebagai sebuah pendekatan pembangunan untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik untuk masa kini dan mendatang. Dalam pelaksanaannya, pembangunan berkelanjutan senantiasa berlandaskan “tiga pilar utama” (ekonomi, sosial dan lingkungan) yang berlaku secara simultan yakni bahwa setiap kegiatan pembangunan haruslah layak secara ekonomi (economically viable), dapat diterima secara sosial (socially acceptable), serta ramah lingkungan (environmentally-friendly).

(39)

dalam ekosistem dunia; (4) prinsip berhati-hati, yaitu adanya ancaman yang serius atau kerusakan yang tidak dapat diperbaiki jika pemanfaatan sumberdaya alam tidak hati-hati, dan kesenjangan atau keterbatasan ilmu pengetahuan jangan menjadi alasan untuk mencegah penurunan kualitas lingkungan.

Munasinghe (1993) menyebutkan paradigma pembangunan berkelanjutan adalah dilihat dari tiga pilar yang saling berkaitan yaitu: tujuan ekonomi yang berkaitan dengan efisiensi dan pertumbuhan, tujuan ekologis yang berkaitan dengan pemeliharaan sumberdaya alam dan tujuan sosial yang berkaitan dengan hak kepemilikan dan keadilan.

2.2 Usaha Peternakan Sapi Perah Berwawasan Lingkungan

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1977 dikemukakan bahwa usaha peternakan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum yang melaksanakan kegiatan menghasilkan ternak (ternak bibit atau ternak potong), telur, susu, serta usaha menggemukkan suatu ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan, dan memasarkannya. Usaha peternakan rakyat adalah suatu usaha di bidang peternakan yang dapat diselenggarakan sebagai usaha sampingan dan cabang usaha yang jumlah maksimum kegiatannya untuk tiap jenis maksimal jumlah minimum yang ditetapkan untuk perusahaan peternakan.

(40)

Usaha sapi perah sebagai salah satu bentuk usaha perekonomian rakyat tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan. Djajadiningrat (1997) mengemukakan peran pendukung dari lingkungan alam dapat digolongkan dalam tiga kategori: (1) persediaan bahan baku; (2) wadah untuk limbah; dan (3) penyedia fasilitas. Keterkaitan ekonomi dengan lingkungan secara skematis digambarkan seperti tampak pada Gambar 2.

Ketika limbah dibuang ke dalam lingkungan dalam batas-batas tertentu dapat diassimilasikan oleh lingkungan dan mempertahankan mutu lingkungan; namun jika melebihi maka akan mengurangi kemampuan assimilasi hingga lingkungan tidak mampu memenuhi fungsinya sebagai wadah pembuangan limbah, dan juga berarti tidak mampu memenuhi fungsinya sebagai penyedia bahan baku dan fasilitas. Hal ini akan mengganggu kelancaran proses usaha dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Peternakan sapi perah yang berkelanjutan dengan perhatian ke arah pelestarian sumberdaya alam dan kesehatan masyarakat telah dikembangkan sejak tahun 1997 di Swedia yang dikenal dengan peternakan sapi perah organik. Adapun ciri-ciri peternakan sapi perah organik adalah: (1) mengutamakan

Sumber: Djajadiningrat (1997)

(41)

pemberian hijauan pakan yang tinggi; (2) tersedianya lahan hijauan pakan atau padang pengembalaan; (3) mengutamakan keamanan dan kualitas air susu; dan (4) meningkatkan perilaku ternak secara alami (Cederberg dan Mattsson 2000).

Webster (2001) mengemukakan "lima kebebasan" sehubungan dengan kesejahteraan hewan, yaitu bahwa hewan harus bebas dari: (1) kehausan, kelaparan dan makanan yang tidak tepat; (2) ketidaknyamanan fisik dan fisiologis; (3) nyeri, cedera, penyakit; (4) takut, tertekan, stres kronis; (5) keterbatasan fisik mengekspresikan perilaku normal (Webster 2001, diacu dalam Noordhuizen et al. 2005). Noordhuizen et al. (2005) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa dalam konteks perkembangan saat ini pada tingkat Uni Eropa dan pengecer Eropa dapat disimpulkan bahwa perlindungan konsumen dan keamanan pangan, telah menjadi gerakan yang paling relevan dalam kaitannya dengan produksi makanan berasal dari hewan. Kesehatan dan kesejahteraan hewan mengikuti sebagai prioritas berikutnya. Perlindungan di daerah ini diperlukan dan pertanggungjawaban atau jaminan produk harus dipaksakan. Peternak harus menunjukkan status peternakan mereka sehubungan dengan keamanan pangan dan kesehatan masyarakat serta kesehatan dan kesejahteraan hewan. Sehubungan dengan itu pula maka perlu ditetapkan lokasi yang sesuai dan memenuhi kebutuhan penting seperti dikemukakan Stirm et al. (2003) yaitu: (1) kemampuan pasokan air tawar; (2) ketersediaan lahan untuk pengelolaan limbah; (3) rata-rata harga susu; (4) kualitas pasokan air tawar; dan (5) kompleksitas hukum yang mengatur pengelolaan limbah.

(42)

berkembang pada beberapa wilayah di Indonesia. Tingkat produksi ternak dalam sistem ini ditentukan oleh ketersedian sumberdaya lokal. Peningkatan permintaan akan hasil ternak menyebabkan penggunaan sumberdaya yang dapat melampaui daya dukung wilayah tersebut. Untuk menjamin keberlanjutan pengembangan sistem budidaya sapi perah jangka panjang dan lintas generasi, maka penerapan konsep pembangunan berkelanjutan perlu dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab dari generasi sekarang terhadap hak-hak generasi yang akan datang. Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam suatu kegiatan pembangunan menjadi lebih komprehensif untuk menjelaskan pengertian dari suatu kegiatan dikatakan berkelanjutan. Dengan demikian usaha ternak sapi perah berkelanjutan jika memenuhi kriteria dari masing-masing dimensi dari konsep pembangunan berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya.

2.2.1 Manfaat dan Pentingnya Usaha Peternakan Sapi Perah

Suzuki et al. (2005) mengemukakan bahwa usaha peternakan sapi perah merupakan salah satu sektor yang paling diatur di banyak negara karena berbagai alasan. Pertama, susu secara historis telah dianggap sebagai produk makanan dasar, terutama untuk anak-anak. Kedua, susu merupakan produk dengan karakterisitik yang unik: bersifat bulky, mudah rusak, dan karena itu harus segera dibawa ke pasar untuk diolah dan didistribusikan. Ketiga, struktur pasar susu bersifat oligopsoni, artinya jumlah pembeli susu relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah penghasil susu. Dalam hal ini, para peternak berada dalam posisi sebagai price taker dan tidak memiliki kendali dalam menentukan harga susu yang mereka hasilkan. Keempat, perbedaan daya saing yang sangat besar pada tingkat global. Untuk menjaga harga susu dalam negeri, pemerintah memberlakukan kebijakan kuota impor dan tarif untuk menghindari masuknya susu impor dengan harga yang lebih murah ke pasar domestik. Kelima, kekuatan lobi secara politis. Para peternak sapi perah bergabung dalam koperasi, dimana koperasi memiliki pengaruh suara dalam proses legislasi atau kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

(43)

dalam pasokan makanan. Selain itu makanan susu menyediakan sejumlah besar nutrisi penting lainnya, termasuk kalium, fosfor, riboflavin, vitamin B12, protein, seng, magnesium, dan vitamin A (Huth et al. 2006).

Saat ini produksi susu nasional baru mencapai 30% konsumsi nasional. Produksi susu pada peternakan tradisional rata-rata hanya sekitar 8 sampai 10 liter per ekor per hari, padahal idealnya dapat mencapai sekitar 20 liter per ekor per hari. Bahkan di negara maju produksi susu rata-rata dapat mencapai lebih dari 30 liter per ekor per hari (Sembiring 2008). Sapi perah merupakan ternak yang sangat tepat untuk dikembangkan mengingat ternak tersebut dapat menghasilkan sekaligus dua produk utama yaitu susu dan daging. Sapi perah adalah paling efisien dalam mengonversi pakan menjadi produk pangan. Hal ini juga sangat sesuai dengan kondisi sekarang di mana banyak sekali terjadi kasus gizi buruk yang untuk pemulihan status gizi tersebut pemberian susu nampaknya paling tepat. Setiawati (2008) mengemukakan bahwa usaha budidaya sapi perah merupakan salah satu industri berbasis pedesaan dan padat karya sehingga dapat membangkitkan perekonomian masyarakat di pedesaan yang merupakan jumlah terbesar dari penduduk Indonesia. Prawiradiputra (2008) mengemukakan hal serupa bahwa dengan melaksanakan usaha budaya sapi perah, peternak bukan hanya memperoleh hasil penjualan dari susu segar yang dihasilkan setiap harinya tetapi juga mendapat hasil samping berupa ternak hidup (pedet dan induk afkir) dan pupuk kandang.

(44)

berupa bahan organik akan berfungsi sebagai sumber karbon yang merupakan sumber kegiatan dan pertumbuhan bakteri. Dalam keadaan tanpa oksigen, bahan organik akan diubah oleh bakteri untuk menghasilkan campuran gas methan (CH4), karbondioksida (CO2), dan sedikit gas lain. Campuran gas-gas tersebut

disebut biogas (Santoso 2001). Proses pembuatan pupuk organik dari kotoran ternak sapi potong dibuat dengan komposisi sebagai berikut: kotoran sapi 87,5%, abu organik atau sekam 10%, serbuk gergaji 5%, kalsit atau dolokit 2% dan stardek 0,1%. Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Cakung di Jakarta sudah membuat pilot project pembuatan pupuk organik dari limbah yang dihasilkan oleh RPH. Dari 5 m3 limbah yang dihasilkan per hari dapat diolah menjadi pupuk organik sebanyak 1,25 m3 atau 0,75 ton per hari, yang terjual dengan harga Rp. 150 per kilogram (SEMAI 1998).

Penggunaan pupuk organik pada lahan pertanian, menurut SEMAI (1998), mampu memperbaiki struktur tanah sehingga aerasi di dalamnya menjadi lancar dan dapat mengikat unsur Al, Mg dan Fe, sehingga unsur pospornya menjadi bebas dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Di samping itu, penggunaan pupuk organik dapat mengikat cita rasa dari produk pertanian menjadi lebih enak, biaya produksi menjadi lebih rendah, lebih tahan terhadap serangan hama, dan aman untuk dikonsumsi (SEMAI 1998). Dengan demikian, produk pertanian organik memiliki harga jual yang lebih tinggi dari pada produk pertanian yang menggunakan pupuk anorganik. Ini berarti, limbah yang dihasilkan oleh kegiatan peternakan sapi potong jika diolah menjadi pupuk organik tidak akan mencemari lingkungan, akan tetapi justru memberikan manfaat terhadap perbaikan mutu lingkungan dan peningkatan pendapatan petani.

(45)

pertimbangan lokasi, pertimbangan wilayah pembuangan, selera operator, fleksibilitas sistem dan dapat dipertanggung jawabkan (Rusdi dan Kurnani 1994).

Lanyon (1994) menjelaskan bahwa pengelolaan limbah ternak untuk melindungi kualitas air bergantung pada manajemen setiap usaha peternakan yang meliputi sumberdaya alam, struktur dan fasilitas yang tersedia dan tujuan dari usaha peternakan. Pencemaran air terjadi pada air permukaan dan air tanah. Upaya untuk mengatasinya adalah melaksanakan perbaikan pemeliharaan ternak mulai dari perkandangan, pemberian pakan sampai pemanfaatan limbah ternak. Upaya untuk mengurangi pencemaran lingkungan juga dapat dilakukan dengan pengurangan produksi limbah melalui peningkatan efisiensi dalam proses produksi, sehingga akan menurunkan produksi limbah berupa cair, padat dan limbah gas yang dibuang secara langsung ke lingkungan. Namun demikian, di dalam pengelolaan limbah sangat bergantung pada tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat.

Van Horn et al. (1994) menyatakan bahwa pada saat ini upaya yang harus dilakukan adalah melindungi kualitas air dari pencemaran limbah ternak terutama nitrogen. Pemberian pupuk dari limbah ternak dalam jumlah yang memadai dapat menghindari larutnya nitrogen melalui air permukaan dan air tanah serta mempunyai nilai ekonomis. Satu ekor sapi perah dewasa setiap harinya dapat menghasilkan feses sebanyak 30-40 kg dan urin sebanyak 20-25 kg dengan kandungan bahan organik 6,3 kg/hari, total nitrogen 0,273 kg dan ammonia 0,050 kg. Oleh karena itu, supaya pengelolaan limbah dapat optimal perlu diketahui beberapa faktor yaitu (1) produksi dan karakteristik serta komponen limbah, (2) komponen lingkungan, antara lain ketersediaan dan kualitas air, bau yang ditimbulkan, emisi NH3 dan CH4 serta (3) metode proses dan pemanfaatan

sumberdaya yang meliputi pengelolaan limbah untuk padang pengembalaan dan tanaman pertanian, pengomposan dan biogas.

(46)

ternak dan memanipulasi fermentasi dalam rumen melalui pakan.

Muller (1980) menyatakan bahwa proses yang dapat dilakukan dalam menangani limbah ternak adalah dengan cara dehidrasi atau mengurangi kadar air, feses, menggunakan feses sebagai campuran pembuatan silase, penambahan bahan kimia seperti para-formaldehid, lumpur aktif, pengomposan dan diproses sebagai pakan yang terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan kalkun dan meningkatkan produksi telur. Penggunaan dalam ransum ternak unggas memberikan pengaruh yang baik apabila diberikan sekitar 5-10% dari total ransum. Haga (1999) mengklasifikasikan limbah ternak menjadi tiga macam, yaitu limbah padat, semi padat dan cair. Limbah padat dimanfaatkan sebagai kompos yang mempunyai kualitas tinggi. Limbah ternak sapi perah yang limbahnya semi padat dan cair dibuang langsung ke lahan pertanian, namun jumlahnya sangat terbatas, sehingga perlu dilakukan pengelolaan limbah berupa pengomposan yang mengandung N=2,1%, P2O5 = 2,2% dan K2O = 2,3%.

Pengolahan limbah ternak yang paling umum dilakukan adalah dengan cara pengomposan. Pengomposan adalah dekomposisi biologis bahan organik yang terkendali, sehingga menjadi bahan yang stabil (Merkel 1981). Tujuan utama pengomposan adalah untuk mengubah feses ternak menjadi produk yang mudah ditangani dan aman untuk kesehatan manusia. Feses yang masih basah tidak cocok untuk pemupukan oleh baunya yang menjijikkan karena adanya senyawa sulfur seperti hidrogen sulfida. Pada proses pengomposan suhu akan naik lebih dari 600C, sehingga akan dapat menumbuhkan bakteri patogen, parasit dan rumput liar. Tujuan lain dari pengomposan adalah mengubah feses menjadi pupuk organik yang aman untuk tanah dan tanaman (Harada et al. 1993). Menurut Haga (1998) kompos merupakan produk utama dari limbah peternakan di Jepang, karena kompos dapat menstabilkan bahan organik, mengurangi bau yang menyengat, membunuh benih rumput liar, menghilangkan mikroorganisme patogen dan cocok untuk lahan pertanian. Oleh karena itu, dalam pembuatan kompos perlu memperhatikan kondisi untuk pengomposan, fasilitas pengomposan dan kualitas kompos.

(47)

hara makro seperti N,P,K, Ca dan Mg serta beberapa unsur hara mikro yaitu Cu, Zn dan Mn (Wong et al. 1999). Nisizhaki et al. (1997) telah menggunakan teknologi maju dalam pembuatan kompos di Jepang yaitu dengan menggunakan window farming car dan compos turner dengan reaktor yang dapat menekan biaya pemrosesan, mengurangi tenaga kerja dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Hasil penelitian Hall (1991) menunjukkan bahwa pengomposan yang baik akan dapat mengurangi tingkat pencemaran lingkungan sebesar 11%. Padang rumput yang luas dapat mengurangi pencemaran nitrogen apabila pembuangan limbah dalam jumlah optimum. Kekurangan nitrogen menyebabkan rumput mempunyai produktivitas yang rendah, sedangkan apabila berlebihan dapat mencemari air dan meningkatkan kadar nitrat hijau pakan. Tingginya kadar nitrat dalam hijau pakan dapat meracuni ternak ruminansia karena dalam lambung nitrat diubah menjadi nitrit. Padang rumput pada umumnya dapat menyerap nitrogen limbah sampai 23% (Kimura dan Kurasima, 1991).

Limbah ternak mengandung bahan organik tinggi yaitu 80% dari bahan kering. Pemanfaatan limbah ternak sebagai energi pada umumnya sebagai bahan bakar ternak kering mengandung energi sekitar 3.000 kkal/kg, dapat menghemat bahan bakar sampai 70% dan abunya dapat digunakan sebagai pupuk organik yang kaya unsur kalsium dan fosfor. Biogas dapat dihasilkan dengan memanfaatkan fermentasi mikroorganisme dalam kondisi anaerob, dengan suhu 350C, dan pH netral (6-8). Produksi biogas terdiri atas 60% metana dan 40% CO2

Gambar

Gambar 2  Sistem ekonomi sederhana dengan lingkungan
Gambar 4.
Gambar 5  Keterkaitan Lima Sub Sistem dalam Sistem Agribisnis Sapi
Gambar 6  Diagram teknik  ISM.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Buku ini mengarahkan kegiatan pembelajaran yang harus dilakukan siswa bersama guru dan teman-teman sekelasnya untuk mencapai kompetensi tertentu.. Sesuai dengan pendekatan

Under the Naı¨ve Approach, the DoD estimates the total US dollar equivalent of its overseas commitments for the upcoming fiscal year by using the spot exchange rate at some point in

Dari peta – peta yang sudah dianalisis sehingga diperolehlah peta wilayah kesesuaian tanaman kelapa di Provinsi Bangka Belitung dapat diketahui bahwa luas kesesuaian tanaman

Selain dapat mencukupi kebutuhan gizi keluarga dengan protein nabati (kacang- kacangan, sayuran, buah-buahan) maupun protein hewani (ikan, unggas, maupun

panas yang tinggi karena bahan bakar yang diberikan dapat di dibakar. dengan batuan O2 dari udara

Apabila pimpinan kantor sendiri yang meminta administrasi Kantor atau sekretaris sendiri yang mempersiapkan perjalanan bisnisnya, maka Administrasi Kantor atau

According to the ORCHESTRA Reference Model as introduced in section 5.3, the Engineering View- point specifies the mapping of the ORCHESTRA service specifications and

 Owns the only Naphtha Cracker, Styrene Monomer, and Butadiene plant in Indonesia..  Strategic/adjacent plant location with customers in the industrial estate