• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inaktivasi pirit dan jarosit terlapuk melalui pelindian dan penggunaan biofilter di tanah sulfat masam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Inaktivasi pirit dan jarosit terlapuk melalui pelindian dan penggunaan biofilter di tanah sulfat masam"

Copied!
357
0
0

Teks penuh

(1)

INAKTIVASI PIRIT DAN JAROSIT TERLAPUK

MELALUI PELINDIAN DAN PENGGUNAAN

BIOFILTER DI TANAH SULFAT MASAM

Oleh:

Muhammad Alwi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “ Inaktivasi Pirit dan Jarosit Terlapuk melalui Pelindian dan Penggunaan Biofilter Di Tanah Sulfat Masam” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

Bogor, Pebruari 2011

(3)

iii

ABSTRACT

MUHAMMAD ALWI. Pyrite and Weathered Jarosite Inactivation of Acid Sulphate Soil by Leaching and Biofilter Use. Under the direction of SUPIANDI SABIHAM, SYAIFUL ANWAR, SUWARNO, and ACHMADI

The experiments were conducted in the Laboratory of Soil Chemistry and Fertility, Faculty of Agriculture, IPB from March to July 2009, and greenhouse of Indonesian Research Institute for Swampland Agriculture (IRISA), Banjarbaru, South Kalimantan, from October until May 2010. The study was aimed to: (1) investigate the effectiveness of leaching water sources for reducing Fe2+, total-Fe, SO42-, and Al3+ concentration in leachate and soil at Eh values of -100 to 400 mV,

(2) study the effect of leaching water source (fresh water, brackish water, and peat water) on concentrations of Fe2+, total-Fe, and SO42- in leached and soil of acid

sulphate soil, and (3) study the effect of leaching water source, root volume (biofilter plant area/pot) and kind of biofilter plants on reducing concentration of Fe2+, total-Fe, and SO42- in leached and soil. The results showed that brackish

water increased concentration of Fe2+, total-Fe, and Al3+ in leachate, while peat water increased concentration of SO42- in leachate. The higher concentration of

Fe2+ was found at Eh condition of 100 mV in leachate, while the higher concentration of total-Fe, SO42-, and Al3+ was found at Eh condition of 400 mV.

Chemical analysis of soil after leaching for eight weeks showed that brackish water decreased concentration of Fe2+ and Al 3+ in soil, while peat water decreased concentration of total-Fe and SO42- in soil. Eh condition at 200-300 mV reduced

lower concentration of Fe2+ in soil, while at 400 mV reduced concentration of total-Fe, SO42-, and Al3+ in soil. During the leaching process, the concentration of

Fe2+, total-Fe, and SO42- in leachate were decreased. The decrease of that

concentrations in the first period was greater than that in the second period. Leaching by brackish water was more effective than by fresh water or peat water in lowering the concentration of Fe2+ and total-Fe in leached. Whereas, leaching by using peat water was more effective to decrease the concentration of SO4

2-compared other treatments. Leaching water sources had no significant effect in improving growth and yield components of Margasari rice variety, but significantly increased dry weight and yield of rice. Dry weight and yield of rice were higher on soil leached by peat water and fresh water than those on soil leached by brackish water. Eliocharis dulcis showed greater ability than Eleocharis retroflaxa to decrease the concentration Fe2+, total-Fe, dan SO42- in

leachate. Increasing root volume (biofilter plant area/pot) of biofilter plants increased the plant ability in reducing the concentration of those ions in leachate. The leaching water sources had no consistent effect on the difference of Fe2+, total-Fe, and SO42- concentration in leachate.

(4)

iv

RINGKASAN

MUHAMMAD ALWI. Inaktivasi Pirit dan Jarosit Terlapuk melalui Pelindian dan Penggunaan Biofilter di Tanah Sulfat Masam. Dibimbing oleh SUPIANDI SABIHAM, SYAIFUL ANWAR, SUWARNO, DAN ACHMADI

Salah satu areal alternatif yang memiliki prospek dan potensi besar untuk dijadikan areal produksi padi adalah lahan rawa pasang surut. Pengembangan sistem usahatani di lahan rawa, khususnya lahan pasang surut tanah sulfat masam perlu kehati-hatian mengingat sifat tanahnya yang rapuh. Kesalahan dalam reklamasi dan pengelolaan lahan dapat berakibat pada rusaknya lahan dan pencemaran lingkungan, sedang untuk memperbaikinya diperlukan biaya tinggi. Oleh karena itu, pengembangan sistem usahatani di lahan ini hendaknya memenuhi tiga syarat, yaitu: (1) secara teknis bisa dilaksanakan dan diterima masyarakat, (2) secara ekonomi layak dan menguntungkan, dan (3) dari aspek ekologis tidak merusak lingkungan baik setempat maupun lingkungan di tempat lain, sehingga sumberdaya alam tetap terpelihara baik dan pengembangan pertanian dapat berkelanjutan.

Kerusakan tanah sulfat masam terjadi karena kesalahan dalam reklamasi lahan, pengelolaan lahan, dan pembuatan saluran drainase berskala besar. Selama ini perbaikan lahan yang telah mengalami kerusakan dilakukan dengan memper-tahankan lapisan pirit dalam keadaan tereduksi dan pelindian secara alami, sehingga diperlukan waktu puluhan tahun. Upaya untuk mempercepat perbaikan lahan ini dilakukan melaui dua pendekatan, yakni: (1) membuat kondisi awal pirit dalam keadaan reduksi dan (2) membiarkan pirit teroksidasi, kemudian dilindi. Air hasil lindian dinetralisir dengan biofilter yang terdiri dari tumbuhan purun tikus (Eleocharis dulcis) dan bulu babi (Eleocharis retroflaxa) dengan (Luas Tumbuhan Biofilter/pot = LTB/pot) yang sesuai sehingga tidak menyebab-kan pencemaran lingkungan sekitarnya.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mempelajari pengaruh kondisi awal potensial redoks (Eh) tanah sulfat masam dan sumber air pelindi (air hujan, air payau, dan air gambut) terhadap konsentrasi Fe2+, Fe-total, SO42-, dan Al3+ pada

air hasil lindian serta tanah yang dilindi, (2) mempelajari pengaruh pelindian bahan sulfidik tanah sulfat masam menggunakan air hujan, air payau, dan air gambut terhadap konsentrasi Fe2+, Fe-total, dan SO42- pada air hasil lindian, tanah

yang dilindi, dan pertumbuhan serta hasil padi varietas Margasari, dan (3) mempelajari pengaruh (LTB/pot) serta jenis tumbuhan biofilter dan sumber air pelindi terhadap penurunan konsentrasi Fe2+, Fe-total, dan SO42- pada air hasil

lindian.

(5)

v

payau, dan (3) air gambut. Sedangkan faktor II terdiri dari beberapa kondisi awal Eh tanah sulfat masam masing-masing: (1) -100 ± 25; (2) 0 ± 25; (3) 100 ± 25; (4) 200 ± 25; (5) 300 ± 25; dan (6) 400 ± 25 mV.

Penelitian rumah kaca I merupakan lanjutan dari penelitian laboratorium, menggunakan Rancangan Acak Kelompok faktorial dengan tiga ulangan. Sebagai faktor I adalah: (1) air hujan; (2) air payau; dan (3) air gambut. Faktor II adalah (LTB/pot) serta jenis tumbuhan biofilter meliputi: (1) tanpa tumbuhan biofilter; (2) Biofilter dengan (LTB/pot) dan rasio luas masing-masing: (a) P-314 cm2 (40%); (b) P-177 cm2 (20%); (c) P-78,6 cm2 (10%); (d) B-314 cm2 (40%); (e) B-177 cm2 (20%); dan (f) B-78,6 cm2 (10%).

Penelitian rumah kaca II merupakan lanjutan dari penelitian rumah kaca I menggunakan Rancangan Acak Kelompok faktorial dengan tiga ulangan. Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini sama seperti pada penelitian rumah kaca I. Namun, pada penelitian rumah kaca II ini setiap pot berisi tanah yang telah dilindi selama delapan minggu ditanami padi varietas Margasari yang dapat beradaptasi dengan kondisi tanah masam.

Air hasil lindian menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi Fe2+ terbesar (362,48 ppm Fe2+) selama delapan minggu pelindian terjadi pada kondisi Eh 100 mV, sedang kondisi Eh 400 mV menyebabkan rata-rata konsentrasi Fe-total, SO42-, dan Al3+ terbesar (427,21 ppm Fe-total; 741,95 ppm SO42-; dan 91,13 ppm

Al3+). Kemudian tanah yang telah dilindi selama delapan minggu, kondisi Eh 400 mV dapat menyebabkan konsentrasi Fe2+, Fe-total, SO42- dan Al3+ terkecil (350,11

ppm Fe2+; 3.095,00 ppm Fe-total; 345,25 ppm SO42-; dan 1.061,10 ppm Al3+).

Pelindian menggunakan air payau dapat menyebabkan rata-rata konsentrasi Fe2+ dan Fe-total pada air hasil lindian (137,51 ppm Fe2+ dan 218,95 ppm Fe-total) lebih besar dibandingkan dengan menggunakan air hujan (127,46 ppm Fe2+ dan 211,63 ppm Fe-total) dan air gambut (112,29 ppm Fe2+ dan 180,88ppm Fe-total). Namun, pelindian menggunakan air gambut dapat menyebabkan rata-rata konsentrasi SO42- pada air hasil lindian (601,37 ppm SO42) lebih besar

dibandingkan dengan air hujan (561,03 ppm SO42-) dan air payau (553,35 ppm

SO42-). Kemudian tanah yang dilindi menggunakan air payau dapat menyebabkan

konsentrasi Fe2+ dan Fe-total tanah (1.010 ppm Fe2+ dan 2.440 ppm Fe-total) lebih kecil dibandingkan dengan air hujan (1.110 ppm Fe2+ dan 2.390 ppm Fe-total) dan air gambut (1.190 ppm Fe2+ dan 2.480 ppm Fe-total). Sedangkan tanah yang dilindi menggunakan air gambut konsentrasi SO42- tanah (180 ppm SO42) lebih

rendah dibandingkan dengan menggunakan air payau (300 ppm SO42) dan air

hujan (220 ppm SO42). Sumber air pelindi tidak berpengaruh nyata terhadap

(6)

vi

Semakin besar (LTB/pot) tumbuhan purun tikus (78,6, 117, dan 314 cm2/pot) dan tumbuhan bulu babi (78,6, 117, dan 314 cm2/pot), maka kemampuannya menurunkan rata-rata konsentrasi Fe2+, Fe-total, dan SO4

2-semakin besar masing-masing: (5,03, 7,04, dan 8,88 ppm Fe2+; 6,09, 7,80, dan 9,73 ppm Fe-total; dan 6,78, 15,37, dan 18,79 ppm SO42-) tumbuhan purun tikus

dan (1,95, 4,44, dan 5,99 ppm Fe2+; 3,16, 5,25, dan 6,77 ppm Fe-total; dan 6,33, 11,50, dan 15,34 ppm SO42-) tumbuhan bulu babi. Tumbuhan puruntikus dengan

(LTB/pot) 314 cm2 dan air gambut mampu menurunkan konsentrasi Fe2+ dan Fe-total pada air hasil lindian terbesar (12,21ppm Fe2+ dan 13,14 ppm Fe-total), sedang dengan air payau menurunkan konsentrasi SO42- pada air hasil lindian

terbesar (23,05 ppm).

Hasil baru yang diperoleh pada penelitian ini adalah:

1. Bahan sulfidik tanah sulfat masam yang dioksidasi terlebih dahulu kemudian dilindi dapat mempercepat ion-ion Fe-total, SO42-, & Al terlindi dari tanah.

Berdasarkan prediksi curah hujan, pelindian, dan kandungan pirit, perbaikan lahan ditingkat petani yang umumnya memerlukan waktu 20-30 tahun dapat dipercepat menjadi 5-10 tahun berdasarkan perhitungan dari penelitian ini. 2. Rasio luas tumbuhan purun tikus dan bulu babi dengan tanah yang dilindi

20% telah cukup untuk menurunkan konsentrasi Fe2+ , Fe-total, dan SO4

(7)

vii

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang:

1). Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Institut

Pertanian Bogor

(8)

INAKTIVASI PIRIT DAN JAROSIT TERLAPUK

MELALUI PELINDIAN DAN PENGGUNAAN

BIOFILTER DI TANAH SULFAT MASAM

Oleh:

Muhammad Alwi

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

ix

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Inaktivasi Pirit dan Jarosit Terlapuk melalui Pelindi- an dan Penggunaan Biofilter Di Tanah Sulfat Masam

Nama : Muhammad Alwi

NRP : A 161070061

Prorgam Studi : Ilmu Tanah

Menyetujui 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. Ketua Anggota

Dr. Ir. Suwarno, M.Sc. Dr. Ir. H. Achmadi, MS. Anggota Anggota

Mengetahui

2. Ketua Program Studi Ilmu Tanah 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(10)

x

PRAKATA

Puji sukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayahNya, sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.

Disertasi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam penyelesaian Program Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sejak pembuatan usulan penelitian dan memulai proses penelitian untuk disertasi ini berbagai pihak telah banyak berperan dalam melancarkan pelaksanaan kegiatan ini, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr. sebagai Ketua Komisi Pembimbing atas bimbingan, arahan, dan dorongannya dalam penulisan disertasi dan penyelesaian studi;

2. Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc., Dr. Ir. Suwarno, MSc, dan Dr. Ir. Achmadi, MS. sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas perhatian, arahan, dan dorongan semangat dari mereka untuk menyelesaikan studi;

3. Rizki Putri Sari Maliala, SP dan Sita Norlatifah, SP atas bantuan dan kerjasamanya dalam pelaksanaan penelitian di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Faperta, IPB;

4. Prof. Dr. Ir. Djunaedi A. Rachim, MS. dan Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi. sebagai penguji luar komisi pada ujian kualifikasi tertulis dan lisan.

5. Prof. ®. Dr. Ir. Didi Ardi Suriadikarta, MS. Dan Dr. Ir. Iskandar, MSc. sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup.

6. Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, MSc. Dan Dr. Ir. Basuki Sumawinata, MAgr. Sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka.

(11)

xi

8. Dr. Ir. Gunawan Jayakirana, MSc. dan Dr. Ir. Sri Djuniwati, MSc. atas izin penggunaan sarana dan prasarana Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Faperta, IPB;

9. Dadi Djunaedi dan semua staf laboratorium-laboratorium di lingkungan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan atas segala bantuannya; 10. Kepala Kebun Percobaan Balandean dan semua pegawainya, atas segala

bantuannya dalam pelaksanaan penelitian;

11. Kepala Kebun Percobaan Banjarbaru dan semua pegawainya, atas segala bantuannya dalam pelaksanaan penelitian;

12. Kepala Laboratorium Tanah, Tanaman, dan Air Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa beserta semua pegawainya, atas segala bantuannya dalam pelaksanaan penelitian;

13. Bapak Bambang Hendro Prasetyo, MSc. (Almarhum), atas kesediaannya dalam membantu melakukan analisis mineral tanah sulfat masam;

14. Semua Kakak-kakak dan keluarganya atas dorongan semangat dan bantuannya;

15. Isteriku Dra. Ruswelianti, anakku Iskandar Wiradinata dan Muhammad Jayawinata atas pengertian dan kesabarannya selama ini.

Penulis menyadari akan ketidak sempurnaan tulisan ini, namun penulis berharap bermanfaat bagi yang memerlukan. Akhirnya penulis berharap melalui tulisan yang disajikan dalam bentuk disertasi ini dapat bermanfaat sebagai langkah awal bagi pengembangan ilmu pertanian khususnya pertanian di lahan rawa pasang surut.

Bogor, Pebruari 2011

(12)

xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Marabahan tanggal 3 Juli 1962, dari ayah yang bernama H. Amiruddin (Alm) dan ibu bernama Hj. Latifah (Alm). Penulis merupakan anak ke empat dari empat bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 1986, kemudian melanjutkan ke Sekolah Pascasarjana S2 di Universitas Padjadjaran dan lulus tahun 1992. Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana S3 di Institut Pertanian Bogor.

Sejak tahun 1987 penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

(13)

DAFTAR ISI

halaman

DAFTAR TABEL ... ... xv

DAFTAR GAMBAR ... ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... ... xxi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 4

Kerangka Pemikiran ... 4

Kerangka Penyajian Tulisan ... 7

Daftar Pustaka ... 7

TINJAUAN PUSTAKA ... 10

Bahan Sulfidik dan Pembentukannya ... 10

Tanah Sulfat Masam ... 11

Oksidasi dan Reduksi Pirit pada Tanah Sulfat Masam ... 12

Pelindian dan Biofilter ... 16

Pengaruh Pelindian terhadap Tanaman Padi ... 19

Daftar Pustaka ... 21

METODOLOGI PENELITIAN ... 25

Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

Lokasi Pengambilan Contoh Tanah ... 25

Tahapan Pelaksanaan Penelitian ... 27

Daftar Pustaka... 31

PELINDIAN TANAH SULFAT MASAM PADA BEBERAPA KONDISI POTENSIAL REDOKS MENGGUNAKAN SUMBER AIR INSITU ... 32

Abstrak ... 32

Pendahuluan ... 33

Metode ... 34

Hasil dan Pembahasan ... 37

Kesimpulan ... 59

Daftar Pustaka ... 59

PELINDIAN TANAH SULFAT MASAM MENGGUNAKAN SUMBER AIR INSITU SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI... 62

Abstrak ... 62

Pendahuluan ... 63

Metode ... 64

Hasil dan Pembahasan ... 67

Kesimpulan ... 78

(14)

xiv

halaman KEMAMPUAN BIOFILTER DAN SUMBER AIR INSITU

DALAM MENURUNKAN KONSENTRASI Fe DAN SO4 PADA

AIR HASIL LINDIAN... 80

Abstrak ... 80

Pendahuluan ... 81

Metode ... 82

Hasil dan Pembahasan ... 84

Kesimpulan ... 105

Daftar Pustaka ... 106

PEMBAHASAN UMUM ... 108

Pembahasan ... 108

Daftar Pustaka ... 113

KESIMPULAN DAN SARAN ... 115

Kesimpulan ... 115

Saran ... 115

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Nomor halaman

1. Hasil analisis kimia tanah pada setiap lapisan yang diambil dari profil tanah di KP Balandean, Kabupaten Barito Kuala,

Kalimantan Selatan...…………... 27 2. Hasil analisis contoh tanah pada kedalaman 85-125 cm dari KP

Balandean, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan tahun 2009 serta air hujan, air payau, dan air gambut yang digunakan

sebagai sumber air pelindi...…………... 36 3. Pengaruh sumber air pelindi dan kondisi Eh tanah sulfat masam

terhadap konsentrasi Fe2+ pada air hasil lindian setiap minggu

selama delapan minggu pelindian...…………... . 42 4. Persamaan regresi hubungan antara konsentrasi Fe2+ pada air

hasil lindian dengan waktu pengukuran pada setiap sumber air

pelindi dan kondisi Eh tanah sulfat masam... ...…………... . 43 5. Pengaruh sumber air pelindi dan kondisi Eh tanah sulfat masam

terhadap konsentrasi Fe-total pada air hasil lindian setiap minggu

selama delapan minggu pelindian...…………... . 46 6. Persamaan regresi hubungan antara konsentrasi Fe-total pada air

hasil lindian dengan waktu pengukuran pada setiap sumber air

pelindi dan kondisi Eh tanah sulfat masam.. ...…………... . 47 7. Pengaruh sumber air pelindi dan kondisi Eh tanah sulfat masam

terhadap konsentrasi SO42- pada air hasil lindian setiap minggu

selama delapan minggu pelindian...…………... . 49 8. Persamaan regresi hubungan antara konsentrasi SO42- pada air

hasil lindian dengan waktu pengukuran pada setiap sumber air

pelindi dan kondisi Eh tanah sulfat masam...…………... . 51 9. Pengaruh sumber air pelindi dan kondisi Eh tanah sulfat masam

terhadap konsentrasi Al3+ pada air hasil lindian setiap minggu

selama delapan minggu pelindian...…………... . 53 10. Persamaan regresi hubungan antara konsentrasi Al3+ pada air

hasil lindian dengan waktu pengukuran pada setiap sumber air

(16)

xvi

Nomor halaman

11. Pengaruh sumber air pelindi dan kondisi Eh tanah sulfat masam terhadap konsentrasi Fe2+, Fe-total, SO42-, dan Al tanah setelah

dilindi selama delapan minggu..………... . 57 12. Hasil analisis bahan sulfidik tanah sulfat masam pada

kedalam-an 85-125 cm di KP Balkedalam-andekedalam-an, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan tahun 2009 serta air hujan, air payau, dan air

gambut yang digunakan sebagai sumber air pelindi…... . 65 13. Pengaruh sumber air pelindi terhadap konsentrasi Fe2+ pada air

hasil lindian setiap minggu selama dua puluh satu minggu... 68 14. Pengaruh sumber air pelindi terhadap konsentrasi Fe-total pada

air lindian setiap minggu selama dua puluh satu minggu.…... 70 15. Pengaruh sumber air pelindi terhadap konsentrasi SO42- pada air

lindian setiap minggu selama dua puluh satu minggu..…... 72 16. Hasil analisis kimia bahan sulfidik tanah sulfat masam setelah

dilindi menggunakan air hujan, air payau, dan air gambut selama

delapan minggu...…... 75 17. Pengaruh sumber air pelindi terhadap tinggi tanaman, jumlah

anakan, jumlah gabah/malai, berat 1000 biji dan berat gabah kering giling padi varietas Margasari yang ditanam pada tanah yang telah dilindi selama delapan minggu menggunakan air

hujan, air payau dan air gambut... 76 18. Pengaruh (LTB/pot) serta jenis biofilter dan sumber air pelindi

terhadap selisih konsentrasi Fe2+ pada air hasil lindian yang

masuk dan keluar pot biofilter pada pertanaman I... 85 19. Pengaruh (LTB/pot) serta jenis biofilter dan sumber air pelindi

terhadap selisih konsentrasi Fe2+ pada air hasil lindian yang

masuk dan keluar pot biofilter pada pertanaman II... 86 20 Persamaan regresi hubungan antara selisih konsentrasi Fe2+ pada

air hasil lindian yang masuk dan keluar pot biofilter pada pertanaman II dengan waktu pengukuran pada setiap (LTB/pot)

dan sumber air pelindi... 88 21. Pengaruh (LTB/pot) serta jenis biofilter dan sumber air pelindi

terhadap selisih konsentrasi Fe-total pada air hasil lindian yang

(17)

xvii

Nomor halaman

22. Pengaruh sumber air pelindi dan (LTB/pot) serta jenis biofilter terhadap selisih konsentrasi Fe-total pada air hasil lindian yang

masuk dan keluar pot biofilter pada pertanaman II... 92 23. Persamaan regresi hubungan antara selisih konsentrasi Fe-total

pada air hasil lindian yang masuk dan keluar pot biofilter pada pertanaman II dengan waktu pengukuran pada setiap (LTB/pot)

dan sumber air pelindi... 94 24. Pengaruh (LTB/pot) serta jenis biofilter dan sumber air pelindi

terhadap selisih konsentrasi SO42- pada air hasil lindian yang

masuk dan keluar pot biofilter pada pertanaman I... 97 25. Pengaruh (LTB/pot) serta jenis biofilter dan sumber air pelindi

terhadap selisih konsentrasi SO42- pada air hasil lindian yang

masuk dan keluar pot biofilter pada pertanaman II... 98 26. Persamaan regresi hubungan antara selisih konsentrasi SO4

2-pada air hasil lindian yang masuk dan keluar pot biofilter 2-pada pertanaman II dengan waktu pengukuran pada setiap (LTB/pot)

dan sumber air pelindi... 99 27. Pengaruh sumber air pelindi dan (LTB/pot) terhadap berat

kering tanaman biofilter pada pertanaman I... 101 28. Pengaruh sumber air pelindi dan (LTB/pot) terhadap berat

(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Nomor halaman

1. Profil Eh bahan sulfidik dalam kondisi reduksi kuat pada kedalaman 40 cm, variasi Eh terjadi di jaringan perakaran

mangrof di atas 40 cm...…………... 15 2. Konsentrasi Fe2+, Al3+, H+, dan SO42- pada lahan rawa pasang

surut yang didrainase dan tidak didrainase... 17 3. Dampak negatif pelindian terhadap konsentrasi Fe2+, Ca2+, dan

Mg2+ pada kedalaman tanah 0-20 cm yang berpotensi sebagai

penyebab degradasi lahan... 18 4. Lokasi KP Balandean dilihat dari peta Kabupaten Barito Kuala,

Kalimantan Selatan...…………... 25 5. Jenis-jenis tanah yang dijumpai di KP Balandean, Kabupaten

Barito Kuala, Kalimantan Selatan... 26 6. Pelindian bahan sulfidik tanah sulfat masam pada beberapa

kondisi awal Eh tanah menggunakan air hujan, air payau, dan air

gambut di laboratorium...…………... 28 7. Pelindian bahan sulfidik tanah sulfat masam menggunakan air

hujan, air payau, dan air gambut beserta pot penampung air, pot

berisi biofilter, dan tabung penampung air hasil lindian... 29 8. Pelindian bahan sulfidik tanah sulfat masam yang ditanami padi

menggunakan air hujan, air payau, dan air gambut beserta pot penampung air, pot berisi biofilter, dan tabung penampung air

hasil lindian... 30 9. Pertumbuhan purun tikus dan bulu babi di lapang, KP

Balandean, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan... 30 10. Hubungan antara pH dengan Eh (x 100 mV) bahan sulfidik tanah

sulfat masam yang dioksidasi pada kondisi laboratorium selama

sebelas minggu...…………... 38 11. Hasil analisis difraksi sinar X terhadap bahan sulfidik tanah

sulfat masam yang diambil pada kedalaman 85-125 cm di KP.

Balandean, Kalimantan Selatan... 39 12. Hasil analisis menggunakan sinar X terhadap bahan sulfidik

tanah sulfat masam yang telah dioksidasi pada kondisi

(19)

xix

Nomor halaman

13. Hubungan antara konsentrasi Fe2+ pada air hasil lindian dengan waktu pengukuran pada setiap sumber air pelindi dan kondisi Eh

tanah sulfat masam...…………... 44 14. Hubungan antara konsentrasi Fe-total pada air hasil lindian

dengan waktu pengukuran pada setiap sumber air pelindi dan

kondisi Eh tanah sulfat masam...…………... 48 15. Hubungan antara konsentrasi SO42- pada air hasil lindian dengan

waktu pengukuran pada setiap sumber air pelindi dan kondisi Eh

tanah sulfat masam...…………... 52 16. Hubungan antara konsentrasi Al3+ pada air hasil lindian dengan

waktu pengukuran pada setiap sumber air pelindi dan kondisi Eh

tanah sulfat masam...…………... 56 17. Hubungan antara konsentrasi Fe2+ pada air hasil lindian dengan

waktu pengukuran pada setiap sumber air pelindi...…... 69 18. Hubungan antara konsentrasi Fe-total pada air hasil lindian

dengan waktu pengukuran pada setiap sumber air pelindi... 71 19. Hubungan antara konsentrasi SO42- pada air hasil lindian dengan

waktu pengukuran pada setiap sumber air pelindi... 73 20. Konsentrasi Fe2+, Fe-total, dan SO42- pada tanah setelah dilindi

selama 21 minggu pada setiap sumber air pelindi....…... 74 21. Kandungan Fe dan S pada akar dan batang tanaman padi varietas

Margasari pada setiap sumber air pelindi...…... 77 22. Hubungan antara selisih konsentrasi Fe2+ pada air hasil lindian

yang masuk dan keluar pot biofilter pada pertanaman II dengan waktu pengukuran pada setiap (LTB/pot) dan sumber air

pelindi... 89 23. Hubungan antara selisih konsentrasi Fe-total pada air hasil

lindian yang masuk dan keluar pot biofilter pada pertanaman II dengan waktu pengukuran pada setiap (LTB/pot) dan sumber air

(20)

xx

Nomor halaman

24. Hubungan antara selisih konsentrasi SO42- pada air hasil lindian

yang masuk dan keluar pot biofilter pada pertanaman II dengan waktu pengukuran pada setiap (LTB/pot) dan sumber air

pelindi... 100 25. Kandungan Fe dan S pada akar dan batang tumbuhan purun tikus

pertanaman I pada setiap sumber air pelindi...…... 103 26. Kandungan Fe dan S pada akar dan batang tumbuhan bulu babi

pertanaman I pada setiap sumber air pelindi... 104 27. Kandungan Fe dan S pada akar dan batang tumbuhan purun tikus

pertanaman II pada setiap sumber air pelindi... 104 28. Kandungan Fe dan S pada akar dan batang tumbuhan bulu babi

(21)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor halaman

1. Pengaruh sumber air pelindi dan kondisi Eh bahan sulfidik tanah sulfat masam terhadap konsentrasi Fe2+ pada air hasil lindian

minggu I hingga minggu VIII....…………... 117 2. Sidik ragam pengaruh sumber air pelindi dan kondisi Eh bahan

sulfidik tanah sulfat masam terhadap konsentrasi Fe2+ pada air

hasil lindian minggu I hingga minggu VIII...…………... 119 3. Pengaruh sumber air pelindi dan kondisi Eh bahan sulfidik tanah

sulfat masam terhadap konsentrasi Fe-total pada air hasil lindian

minggu I hingga minggu VIII...…………... 120 4. Sidik ragam pengaruh sumber air pelindi dan kondisi Eh bahan

sulfidik tanah sulfat masam terhadap konsentrasi Fe-total pada

air hasil lindian minggu I hingga minggu VIII...…………... 122 5. Pengaruh sumber air pelindi dan kondisi Eh bahan sulfidik tanah

sulfat masam terhadap konsentrasi SO42- pada air hasil lindian

minggu I hingga minggu VIII...…………... 123 6. Sidik ragam pengaruh sumber air pelindi dan kondisi Eh bahan

sulfidik tanah sulfat masam terhadap konsentrasi SO42- pada air

hasil lindian minggu I hingga minggu VIII...…………... 125 7. Pengaruh sumber air pelindi dan kondisi Eh bahan sulfidik tanah

sulfat masam terhadap konsentrasi Al pada air hasil lindian

minggu I hingga minggu VIII...…………... 126 8. Sidik ragam pengaruh sumber air pelindi dan kondisi Eh bahan

sulfidik tanah sulfat masam terhadap konsentrasi Al pada air

hasil lindian minggu I hingga minggu VIII...…………... 128 9. Pengaruh sumber air pelindi dan kondisi Eh bahan sulfidik tanah

sulfat masam terhadap konsentrasi Fe2+, Fe-total, SO42-, Al, dan

pH tanah setelah dilindi selama delapan minggu…... 129 10. Sidik ragam pengaruh sumber air pelindi dan kondisi Eh bahan

sulfidik tanah sulfat masam terhadap konsentrasi Fe2+, Fe-total,

SO42-, Al, dan pH tanah setelah dilindi selama delapan minggu... 131

11. Pengaruh sumber air pelindi terhadap konsentrasi Fe2+ pada air

(22)

xxii

Nomor halaman

12. Sidik ragam pengaruh sumber air pelindi terhadap konsentrasi

Fe2+ pada air hasil lindian dari minggu I hingga minggu XXI... 133 13. Pengaruh sumber air pelindi terhadap konsentrasi Fe-total pada

air hasil lindian minggu I hingga minggu XXI... 134 14. Sidik ragam pengaruh sumber air pelindi terhadap konsentrasi

Fe-total pada air hasil lindian dari minggu I hingga minggu

XXI... 135 15. Pengaruh sumber air pelindi terhadap konsentrasi SO42- pada air

hasil lindian minggu I hingga minggu XXI... 136 16. Sidik ragam pengaruh sumber air pelindi terhadap konsentrasi

SO42- pada air hasil lindian dari minggu I hingga minggu

XXI... 137 17. Pengaruh sumber air pelindi terhadap tinggi tanaman dan jumlah

anakan padi umur enam minggu setelah tanam (MST), tinggi tanaman umur 13 MST dan jumlah anakan produktif, berat kering tanaman, jumlah gabah per malai, berat 1000 biji, dan

hasil per dua rumpun tanaman padi... 138 18. Sidik ragam pengaruh sumber air pelindi terhadap tinggi

tanaman dan jumlah anakan padi umur enam minggu setelah tanam (MST), tinggi tanaman umur 13 MST dan jumlah anakan produktif, berat kering tanaman, jumlah gabah per malai, berat

1000 biji, dan berat gabah kering giling/pot... 139 19. Pengaruh sumber air pelindi dan (LTB/pot) serta jenis biofilter

terhadap selisih konsentrasi Fe2+ pada air hasil lindian masuk dan keluar pot biofilter minggu IV hingga minggu

VIII... 140 20. Pengaruh sumber air pelindi dan (LTB/pot) serta jenis biofilter

terhadap selisih konsentrasi Fe2+ pada air hasil lindian masuk dan keluar pot biofilter pada minggu I hingga minggu

XIII... 142 21. Sidik ragam pengaruh sumber air pelindi dan (LTB/pot) serta

jenis biofilter terhadap selisih konsentrasi Fe2+ pada air lindian

(23)

xxiii

Nomor halaman

22. Pengaruh sumber air pelindi dan (LTB/pot) serta jenis biofilter terhadap selisih konsentrasi Fe-total pada air lindian masuk dan

keluar pot biofilter minggu IV hingga minggu VIII... 147 23. Pengaruh sumber air pelindi dan (LTB/pot) serta jenis biofilter

terhadap selisih konsentrasi Fe-total pada air lindian masuk dan

keluar pot biofilter minggu I hingga minggu XIII... 149 24. Sidik ragam pengaruh sumber air pelindi dan (LTB/pot) serta

jenis biofilter terhadap selisih konsentrasi Fe-total pada air

lindian masuk dan keluar pot biofilter pertanaman I dan II... 153 25. Pengaruh sumber air pelindi dan (LTB/pot) serta jenis biofilter

terhadap selisih konsentrasi SO42- pada air lindian masuk dan

keluar pot biofilter pada minggu IV hingga minggu VIII... 154 26. Pengaruh sumber air pelindi dan (LTB/pot) serta jenis biofilter

terhadap selisih konsentrasi SO42- pada air lindian masuk dan

keluar pot biofilter minggu I hingga minggu XIII... 156 27. Sidik ragam pengaruh sumber air pelindi dan (LTB/pot) serta

jenis biofilter terhadap selisih konsentrasi SO42- pada air lindian

masuk dan keluar pot biofilter pertanaman I dan II... 160 28. Pengaruh sumber air pelindi dan (LTB/pot) serta jenis biofilter

terhadap berat kering tumbuhan biofilter pertanaman I dan II... 161 29. Sidik ragam pengaruh sumber air pelindi dan (LTB/pot) serta

jenis biofilter terhadap berat kering tumbuhan biofilter pertanam

(24)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut semakin penting dan strategis dalam kaitannya dengan perkembangan penduduk, industri, dan berkurangnya lahan subur karena berbagai penggunaan non pertanian. Potensi lahan pasang surut di Indonesia sekitar 20,1 juta hektar, yang terdiri dari 2,07 juta hektar lahan potensial, 6,72 juta hektar lahan sulfat masam, 10,8 juta hektar lahan gambut, dan 0,44 juta hektar lahan salin (Nugroho et al. 1992). Lahan pasang surut yang berpotensi untuk dijadikan areal pertanian sekitar 9,53 juta hektar, yang sudah direklamasi sampai tahun 2000 baru sekitar 4,18 juta hektar (Alihamsyah, 2002), sisanya masih merupakan lahan yang belum dimanfaatkan.

Karakteristik mineralogi tanah sulfat masam penting diketahui karena komposisi bahan kimianya memegang peranan penting dalam mengendalikan perilaku ion-ion dalam larutan tanah. Mulyanto et al. (1999) menyatakan bahwa hasil analisis mineral liat dari semua contoh tanah sulfat masam yang dianalisis dengan penjenuhan K+, Mg2+, dan Mg2+ ditambah glycol menunjukkan bahwa tanah sulfat masam mengandung mineral kaolinit, mika, mineral liat campuran mika-smektit, mika-vermikulit, smektit-kaolinit dan smektit. Dent (1986) menyatakan bahwa selain mineral-mineral di atas, dijumpai juga mineral kuarsa dan markasit. Mineral markasit (FeS2) merupakan volimorf dari mineral pirit

yang terbentuk sehubungan dengan lingkungan air payau.

Reaksi oksidasi pirit merupakan penyebab utama munculnya permasalahan di tanah sulfat masam. Menurut Van Mensvoort dan Dent (1998); Dent (1986); Jaynes et al. (1984) oksidasi pirit akan menghasilkan Fe(OH)3 (s), SO42-(aq), dan

H+(aq). Oksidasi pirit secara kimia berlangsung lambat, tetapi reaksi yang

dimediasi oleh bakteri pengoksidasi besi, khususnya Thiobacillus ferrooxidans menjadikan kondisi optimum untuk oksidasi pirit dengan konsentrasi oksigen (1%), temperatur (30 oC), dan pH (3,2). Sedangkan proses reduksi pada tanah sulfat masam akan menghasilkan Fe2+(aq) dan H2S(aq, g). Reduksi besi (Fe III

(25)

2 yang juga menyebabkan pH naik mencapai 7. Pirit adalah bentuk umum dan sangat stabil yang merupakan produk akhir dari reduksi sulfat.

Hasil oksidasi pirit adalah mineral berwarna kuning yang dikenal sebagai jarosit yang mengendap. Keberadaan mineral ini umumnya pada kondisi oksidasi kuat (Eh > + 400 mV) dan menyebabkan tanah menjadi sangat masam (pH < 3,7). Pembentukan K-jarosit dari pirit akan menghasilkan KFe3(SO4)2 (OH)6(s), SO4 2-(aq), dan H+(aq). Pada pH lebih tinggi, jarosit terhidrolisis menjadi goetit

(FeO.OH(s)), H+(aq), dan SO42-(aq). Menurut Breemen (1993) pada pH sangat

rendah (< 4) kelarutan Al3+ cukup tinggi menyebabkan cukup besarnya mobilitas Al3+ dalam tanah.

Secara alami tanah sulfat masam dalam keadaan tergenang namun masih terjadi oksidasi. Reklamasi lahan pasang surut dengan tanah sulfat masam untuk pertanian umumnya dimulai dengan pembuatan saluran drainase. Drainase berlebih dapat mempercepat proses oksidasi, oleh karena itu upaya pengelolaan tanah dan air di tanah sulfat masam lebih difokuskan pada upaya mempertahan-kan lapisan pirit tetap dalam kondisi reduksi (Multilaksono et al., 2001). Jika telah terjadi oksidasi, maka air drainase pada tanah sulfat masam akan membawa hasil oksidasi dan reduksi seperti ion-ion H+, SO42-, Al3+, dan Fe2+ serta unsur hara

Ca2+, Mg2+ dan K+, kondisi ini dapat mencemari lingkungan sekitarnya (Rachim et al., 2000). Upaya perbaikan kualitas air drainase tesebut dapat dilakukan dengan mengalirkan air drainase melewati tumbuhan biofilter berupa purun tikus (Eleocharis dulcis) dan bulu babi (Eleocharis retroflaxa) yang dapat menyerap atau menetralisir unsur-unsur tersebut. Mulyanto et al. (1998) menyatakan bahwa purun tikus mengandung Fe dan S masing-masing 273 dan 4.500 ppm. Sedangkan Anwar (2006) menyatakan bahwa bulu babi mengandung Fe dan S masing-masing 884 dan 340 ppm.

Pelindian tanah sulfat masam merupakan salah satu upaya untuk membuang asam dan ion-ion seperti Fe-bebas, SO42-, Al3+, dan Mn2+ yang berada pada

(26)

3 produksi tanaman. Keadaan ini terbukti dari kandungan Ca2+ dan Mg2+ di dalam tanah pada lahan yang dilindi lebih rendah dari pada lahan yang digenangi.

Sumber air yang umum dijumpai di lingkungan tanah sulfat masam adalah air laut di daerah pantai, air tawar di daerah lebih ke pedalaman, dan air gambut di daerah bagian tengah kawasan atau delta. Air gambut memiliki kelebihan dibandingkan dengan air tawar karena mengandung asam-asam organik yang terlarut. Van Breemen dan Brinkman (1978) menyatakan bahwa air gambut mengandung senyawa organik berbobot molekul rendah (asam-asam sitrat, oksalat, vanillat dan p-hidroksibenzoat), sebagaimana asam fulvat yang lebih kompleks memainkan peranan penting sebagai pengkelat. Gugus fenolat dan karboksilat dari asam fulvat membentuk semacam cakar yang mempunyai affinitas sangat kuat bagi ion-ion logam trivalen seperti Al3+ dan Fe3+. Senyawa padatan dan larutan dari asam fulvat dengan Al3+ atau Fe2+ membentuk kelat yang dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat kelarutan ion-ion tersebut.

Bourbonniere dan Creed (2006) menyatakan bahwa asam humat dan fulvat yang ada pada air gambut dapat menyumbangkan muatan negatif tanah dan berfungsi sebagai koloid organik. Asam humat dan fulvat berturut-turut memiliki muatan negatif rata-rata 670 dan 1.030 me 100 g-1 .

Berdasarkan paparan di atas terlihat bahwa proses oksidasi dan reduksi pirit akan menyebabkan larutnya ion-ion Fe2+, Al3+, dan SO42-. Oleh karena itu, dalam

penelitian ini dilakukan dua pendekatan yakni membuat pirit berada dalam kondisi reduksi atau membiarkan pirit teroksidasi kemudian dilindi, namun air hasil lindian dinetralisir dengan tumbuhan biofilter yang terdiri dari tumbuhan purun tikus dan bulu babi dengan (LTB/pot) yang sesuai sehingga tidak menyebabkan pencemaran lingkungan sekitarnya.

Tujuan

1. Mempelajari dan menemukan kondisi awal Eh tanah sulfat masam dan sumber air pelindi (air hujan, air payau, dan air gambut) yang dapat mempercepat ion-ion Fe2+, Fe-total, SO42-, dan Al3+ terlindi dari tanah.

(27)

4 dilindi, dan memperbaiki pertumbuhan serta produksi padi varietas Margasari.

3. Mempelajari dan menemukan (LTB/pot) serta jenis tumbuhan biofilter dan sumber air pelindi yang dapat menurunkan konsentrasi Fe2+, Fe-total, dan SO42- pada air hasil lindian.

Hipotesis

1. Pelindian dengan pengeringan terlebih dahulu akan lebih cepat melindi ion-ion Fe2+, Fe-total, dan SO42- dari tanah dibandingkan dengan tanpa

pengeringan.

2. Sumber air pelindi dapat menurunkan konsentrasi ion-ion Fe2+, Fe-total, dan SO42- pada air hasil lindian dan tanah yang dilindi, baik sebelum

maupun sesudah ditanami padi varietas Margasari.

3. (LTB/pot) serta jenis tumbuhan biofilter dapat menurunkan konsentrasi ion-ion Fe2+, Fe-total, dan SO42- pada air hasil lindian.

Kerangka Pemikiran

Lahan rawa pasang surut pada awalnya merupakan rawa pantai pasang surut di muara sungai besar, yang dipengaruhi secara langsung oleh air laut. Di bagian agak ke pedalaman, pengaruh sungai besar makin kuat sehingga wilayah ini memiliki lingkungan air payau. Adanya proses sedimentasi, kini wilayah ini berwujud daratan yang merupakan bagian dari delta sungai. Wilayah ini terletak relatif agak jauh dari garis pantai sehingga kurang terjangkau secara langsung oleh air laut pada waktu pasang. Oleh karena itu, wilayah ini sekarang lebih banyak dipengaruhi oleh air sungai dari pada air laut akibat pasang surut harian (Subagjo, 2006).

(28)

5 terdapat bahan sulfidik (yang mengandung pirit tinggi), proses pengendapan lumpur bahan tanah didominasi oleh air laut (Widjaja Adhi et al., 2000).

Tanah ini disebut tanah sulfat masam karena berkaitan dengan adanya pirit dalam tanah dan bila teroksidasi akan menghasilkan asam sulfat sehingga menyebabkan tanah menjadi sangat masam (pH 2-3). Menurut Van Breemen dan Pons (1978) berdasarkan kemasaman dan kematangannya, tanah sulfat masam dibagi menjadi dua kelompok yaitu: (1) tanah sulfat masam potensial dan (2) tanah sulfat masam aktual. Tanah sulfat masam potensial digolongkan dalam great grup Sulfaquent, yang dicirikan oleh warna kelabu, masih mentah (n > 0,7), dan tingkat kemasaman sedang sampai masam (pH 4,0). Subgrup lain dari tanah sulfat masam potensial adalah Sulfic Fluvaquent,Sulfic Hydraquent, Sulfihemist, dan Sulfisaprist. Tanah sulfat masam aktual digolongkan dalam great grup Sulfaquept, yang dicirikan oleh warna kecoklatan, cukup matang (n < 0,7), dan sangat masam (pH < 3,5). Subgrup lain dari tanah sulfat masam aktual adalah Sulfohemist dan Sulfosapris. Tanah ini memiliki horizon sulfurik yang disebabkan oleh teroksidasinya pirit akibat drainase berlebih. Apabila pH tanah < 3,5 dapat mengakibatkan kisi-kisi liat hancur sehingga ion Al3+ sangat dominan dalam kompleks jerapan.

Degradasi tanah sulfat masam dimulai dari reklamasi lahan menggunakan alat-alat berat, pembuatan salaruran drainase berukuran besar, dan kesalahan dalam pengelolaan lahan sehingga terjadi proses oksidasi pirit. Oksidasi pirit merupakan penyebab utama munculnya permasalahan di tanah sulfat masam. Menurut Van Mensvoort dan Dent (1998) proses oksidasi pirit pada tanah sulfat masam menghasilkan ion-ion Fe3+, SO42-, dan H+. Adanya ion H+ menyebabkan

(29)

6 lahan tipe C dan D memungkinkan lahan untuk dibiarkan teroksidasi selama musim kemarau, kemudian dilindi pada musim hujan.

Terdapat dua cara tumbuhan mengatasi cekaman Al3+ dan Fe2+, yaitu melalui mekanisme eksternal dan internal. Pada mekanisme eksternal, tumbuhan mencegah Al dan Fe masuk ke dalam jaringan antara lain dengan mengeksudasi asam organik pada akar yang dapat berikatan dengan Al3+ dan Fe2+ di rhizosfer sehingga membentuk kompleks dan tidak bersifat racun bagi tumbuhan (Ryan et al., 2001). Mekanisme kedua adalah secara internal dimana tumbuhan dapat mentolerir kehadiran Al dan Fe di dalam jaringan dengan cara menghasilkan asam organik atau ligan organik yang dapat berikatan dengan Al3+ dan Fe2+ sehingga terbentuk kompleks yang tidak bersifat racun (Watanabe dan Osaki, 2002). Crolak (2001) yang melakukan penelitian di lahan basah sub tropika Polandia menunjukkan bahwa tanaman dari jenis rerumputan (Taraxacum offinalle Webb) mampu menyerap logam-logam berat yang diakumulasi dalam jaringan tanaman tanpa menampakkan efek fisiologi. Suriawiria (2003) menunjukkan beberapa jenis tanaman yang mampu berfungsi sebagai biofilter antara lain: enceng gondok (Eichornia crassipes), kayambang (Lemna menor), ki apu (Spirodella polyrhiza), mendong (Fimbristylis exp), paku air (Azolla pinnata), kangkung (Ipomoea aquatica), genjer (Limnocharis flava) dan selada air (Nosturfium offinale). Tanaman-tanaman ini umumnya mempunyai mikrob rhizosfer yang mampu menguraikan bahan organik dan anorganik di sekitar akarnya sehingga dapat memperbaiki kualitas air dari pencemaran logam berat.

Proses pelindian di tanah sulfat masam berlangsung secara alami karena adanya pergantian pasang dan surut air serta musim kemarau dan hujan. Air drainase pada awal musim hujan akan membawa hasil oksidasi dan reduksi, seperti ion-ion H+, Fe2+, Al3+, dan SO42- yang berakibat pada pencemaran lahan

(30)

7 mengikat Al3+ dan Fe2+ membentuk kelat, sehingga pencemaran lingkungan akibat kelarutan ion-ion ini dapat dikurangi.

Kerangka Penyajian Tulisan

Hasil penelitian akan disajikan dalam kerangka tulisan yang terdiri dari delapan bagian yaitu:

BAB I Pendahuluan: terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan, hipotesis, kerangka pemikiran, dan kerangka penyajian tulisan. BAB II Tinjauan Pustaka: memuat tulisan-tulisan ilmiah hasil penelitian

sebelumnya yang berkaitan dengan aspek yang diteliti

BAB III Metodologi Penelitian: memuat penjelasan tentang tempat dan waktu penelitian, lokasi pengambilan contoh tanah, dan tahapan pelaksanaan kegiatan penelitian.

BAB VI Pelindian Tanah Sulfat Masam pada Beberapa Kondisi Potensial Redoks Menggunakan Sumber Air Pelindi

BAB V Pelindian Tanah Sulfat Masam Menggunakan Sumber Air Insitu serta Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi

BAB VI Kemampuan Biofilter dan Sumber Air Insitu dalam Menurunkan Konsentrasi Fe2+, Fe-total, dan SO42- pada Air Hasil Lindian

BAB VII Pembahasan Umum: memuat hubungan antar bab yang masih belum dibahas

BAB VIII Kesimpulan dan Saran: memuat kesimpulan hasil penelitian secara menyeluruh dan saran yang diberikan untuk penelitian selanjutnya

Daftar Pustaka

Alihamsyah, T. 2002. Optimalisasi pendayagunaan lahan rawa pasang surut. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pendayagunaan Sumberdaya Lahan di Cisarua tanggal 6-7 Agustus 2002. Puslitbang Tanah dan Agroklimat.

(31)

8 Bourbonniere, R. A. and I. F. Creed. 2006. Biodegradability of dissolved organic matter extracted from a chronosequence of forest-floor materials. Journal of Plant Nutrition and Soil Sci. 169:101-107.

Crolak, E. 2001. Heavy metal content in falling dust, soil and dandelion (Taraxacum offinale Webb) in southern Poddlasie lowland. In. Series Environmental Development. Polandia: Electronic Journal of Polish Agricultural University. Vol. 4, Issue 1. Hptt://www.ejpau.media.pl/series /volume4/issue1/enviroment/art-01.html.

Dent, D. L. 1986. Acid sulphate soils: A baseline for research and development, Pub. 39, Int. Inst. Land Reclamation and Improvement, Wageningen. ISBN 90 70260 980.

Jaynes, D. B., A. S. Rogowski, and H. B. Pionke. 1984. Acid mine drainage from reclaimed coal strip mines, I. Model description. Water Resources Research 20:233-242.

Mulyanto, B., Suwardi, dan B. Sumawinata. 1998. Hubungan asosiasi vegetasi dengan sifat-sifat tanah dalam sekuen suksesi pada Sistem Pengelolaan Lahan Orang Banjar (SPLOB) di Kalimantan Selatan. Jurnal Ilmiah Pertanian. Gakuryoku 2:24-33.

Mulyanto, B., B. Sumawinata, Suwardi, dan G. Djajakirana. 1999. Sifat mineralogi liat tanah berpotensi sulfat masam pada Sistem Pengelolaan Lahan Orang Banjar (SPLOB) di Kalimantan Selatan. Jurnal Ilmiah Pertanian. Gakuryoku 4:273-281.

Murtilaksono, K., Sudarmo, A. Sutandi, G. Djajakirana, dan U. Sudadi. 2001. Model sistem drainase dalam hubungannya dengan oksidasi pirit serta pengaruhnya terhadap sifat kimia tanah dan kualitas air pada tanah sulfat masam. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi T. A. 1998-2001. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nugroho, K. Alkasuma, Paidi, W. Wahdini, Abdurachman, H. Suhardjo, dan IPG. Widjaja Adhi. 1992. Peta areal potensial untuk pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut, rawa dan pantai. Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Rachim, A., K. Murtilaksono, A. Sastiono, dan Sudradjad. 2000. Peningkatan produktivitas tanah sulfat masam untuk budidaya tanaman palawija melalui pencucian dan penggunaan amelioran. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi T. A. 1997-2000. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

(32)

9 Van Bremen, N. 1993. Environmental aspects of acid sulpahate soil. p. 391-402. In. Dent, D. L. and M. E. F. van mensvoor (ed.) Selected Paper of the Ho Chi Minh City Simposium on Acid Sulphate Soils. Vietnam. March 1992. Van Bremeen, N. and R. Brinkman. 1978. Chemical aquilibria and soil

formation. In. Soil Chemistry. A Elsilvier Sciencetific Pub. Co.

Van Bremeen, N. and L. J. Pons. 1978. Soil ripening and soil classification. Pub. 13, Int. Inst. Land Reclamation and Improvement. Wageningen.

Van Mensvoort, M. E. F. and D. L. Dent. 1998. Acid Sulphate Soil. p. 301-337. In. Lal, R., W. H. Blum, C.Valentine, and B. A. Steward (ed.). Method for Assessment of Soil Degradation. Florida. CRC Prees LLC. Subagjo. 2006. Lahan rawa pasang surut. p. 23-98. Dalam. Karakteristik dan

pengelolaannya. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

Subagyono, K. H. Suwardjo, A. Abas, dan I.P.G. Widjaja-Adhi. 1994. Pengaruh pencucian, kapur dan pemupukan K terhadap sifat kimia tanah , kualitas air dan hasil padi pada lahan sulfat masam di Unit Tatas, Kalimantan Tengah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 12:35-47.

Suriawira, O. 2003. Mikrobiologi Air dan Dasar-dasar Pengolahan Buangan secara Biologis. Cetakan ke 3. PT. Alumni. Bandung.

Watanabe, T. and M. Osaki. 2002. Mechanisms of adaptation to high aluminum condition in native plant species growing in acid soils. Communication Soil Science Plant Analysis 33:1247-1260.

(33)

TINJAUAN PUSTAKA

Bahan Sulfidik dan Pembentukannya

Soil Survey Staff (1990) mendifinisikan bahan sulfidik sebagai bahan tanah mineral atau organik yang tergenang, mengandung belerang ≥ 0,75 % berdasarkan bobot kering dan sebagian besar dalam bentuk sulfida. Belerang yang berada dalam bentuk unsur sulfur (S) tidak lebih dari tiga kali kandungan karbonat dalam bahan tanah tersebut. Kemudian Soil Survey Staff (1999) mendefinisikan bahan sulfidik sebagai bahan tanah mineral atau organik yang mengandung senyawa belerang mudah teroksidasi, memiliki pH > 3,5 dan jika diinkubasi dengan ketebalan 1 cm pada keadaan kapasitas lapang, aerob, dan suhu ruangan selama delapan minggu, akan mengalami penurunan pH ≥ 0,5 satuan dan penurunan pH tersebut mencapai nilai ≤ 4,0. Sedangkan Widjaja Adhi et al. (1992) mendifinisikan bahan sulfidik sebagai bahan tanah yang mengandung pirit > 2 %.

Bahan sulfidik yang keberadaannya merupakan salah satu penciri tanah sulfat masam dapat terbentuk pada beberapa kondisi lingkungan seperti di lembah berdrainase buruk dan mendapat aliran air yang mengandung sulfat tinggi, dasar danau, laguna, atau laut, atau dataran pantai dan rawa pasang surut berair salin atau payau. Dari beberapa kondisi lingkungan tersebut, lingkungan dataran pantai dan rawa pasang surut merupakan lingkungan yang paling sesuai untuk pembentukan bahan sulfidik (Pons dan Van Breemen, 1982).

(34)

11 menjadi unsur S atau ion polisulfida. Selanjutnya unsur S atau ion polisulfida tersebut bereaksi dengan FeS membentuk pirit (FeS2) (Dent, 1986).

Tanah Sulfat Masam

Tanah sulfat masam adalah tanah yang berhubungan erat dengan adanya pirit dalam tanah dan bila teroksidasi akan menghasilkan asam sulfat sehingga menyebabkan tanah menjadi sangat masam (pH 2-3). Banyak istilah yang digunakan dalam penamaan jenis tanah ini secara sederhana di lapang seperti: water logged soils, submarged soils, mud soils, ferrolysis soils, dan sulphidic soils. Penamaan ini berkaitan erat dengan sifat dan lingkungan dari tanah ini seperti: selalu basah, tergenang permanen, melumpur, dan kadar besi atau sulfur yang tinggi (Bloomfield dan Coulter, 1973).

(35)

12 kemasaman sedang sampai masam (pH 4,0). Sub grup dan subgrup lain dari tanah sulfat masam potensial adalah Sulfic Fluvaquent, Sulfic Hydraquent, Sulfihemist, dan Sulfisaprist. Sedangkan tanah sulfat masam aktual digolongkan dalam great grup Sulfaquept, yang dicirikan oleh warna kecoklatan, cukup matang (n < 0,7), dan sangat masam (pH < 3,5). Subgrup lain dari tanah sulfat masam aktual adalah Sulfohemist dan Sulfosapris.

Karakteristik mineralogi tanah sulfat masam merupakan hal penting yang perlu diketahui, karena komposisi bahan kimianya memegang peranan penting dalam mengendalikan perilaku ion-ion dalam larutan tanah. Mulyanto et al. (1999) menyatakan bahwa hasil analisis mineral liat dari semua contoh tanah sulfat masam yang diperlakukan dengan penjenuhan K+, Mg2+, dan Mg2+ ditambah glycol menunjukkan nilai-nilai puncak 3,33; 3,45; 3,56; 5; 7,15; 10; 14, dan puncak-puncak lain yang intensitasnya lebih kecil dengan nilai lebih besar dari 14 nm. Puncak sekitar 7,12 nm yang orde keduanya 3,56 nm bergeser ke 10 nm adalah petunjuk adanya mineral kaolinit. Sementara puncak 10 nm yang orde keduanya 5 nm dan puncak ini tetap pada semua perlakuan menunjukkan mineral mika. Selain kaolinit dan mika terdapat juga jenis mineral liat lain yang diindikasikan oleh puncak sekitar 14 nm atau lebih. Puncak 14 nm dan bergeser ke 10 nm pada perlakuan penjenuhan K+ dan pemanasan pada suhu 550 oC menunjukkan mineral liat yang mempunyai lapisan campuran mika-smektit, mika- vermikulit, smektit-kaolinit, dan smektit yang diperkirakan juga ada tetapi jumlahnya sedikit. Oleh karena itu puncak refleksinya ditutupi oleh puncak-puncak mineral lain.

Dent (1986) mengatakan bahwa disamping mineral-mineral di atas, dijumpai pula mineral kuarsa yang terindikasi oleh puncak 3,33 dan 4,24 nm pada perlakuan penjenuhan K+ dan Mg2+ dan mineral markasit yang ditunjukkan oleh puncak 3,44 – 3,47 nm. Mineral markasit (FeS2) merupakan volimorf dari mineral

pirit yang terbentuk sehubungan dengan lingkungan pengendapan air payau. Oksidasi dan Reduksi Pirit pada Tanah Sulfat Masam

(36)

13 Netherland, meningkatkan Eh dari kondisi reduktif (-250 – 0 mV) menjadi kondisi oksidatif (500-700 mV). Pada kolom tanah dari Pulau Petak segera setelah drainase dimulai, Eh tanah meningkat dari -50 mV menjadi (500-800 mV). Aribawa et al. (1993) melakukan pengukuran terhadap Eh tanah dan memperoleh nilai yang berbeda-beda antar lokasi, kedalaman tanah, dan musim. Perbedaan nilai Eh tersebut terutama disebabkan karena adanya perbedaan kondisi drainase tanah. Nilai Eh pada tanah guludan yang berdrainase baik lebih tinggi dari pada tanah sawah, dan pada lapisan atas lebih tinggi dari pada lapisan bawah. Pada musim hujan lapisan atas tanah sawah di Unit Tatas, Barambai, dan Tabunganen, tereduksi kuat dengan nilai Eh < 0 mV, sedang pada musim kemarau menjadi teroksidasi kuat dengan nilai Eh > 400 mV. Selanjutnya dikatakan bahwa pada tanah sawah di Unit Tatas yang tidak didrainase, Eh > 200 mV hanya sampai pada kedalaman 65 cm, sedang pada tanah yang didrainase Eh tanah > 400 mV terjadi hingga kedalaman 105 cm.

Reaksi oksidasi dan reduksi pirit merupakan penyebab utama munculnya permasalahan di tanah sulfat masam. Menurut Van Mensvoort dan Dent (1998); Dent (1986); Jaynes et al. (1984) proses reduksi dan oksidasi pirit pada tanah sulfat masam terjadi dalam beberapa tahap dan melibatkan proses kimia serta mikrob. Energi yang dibebaskan dari dekomposisi bahan organik merupakan sumber elektron yang berasal dari molekul organik. Pada kondisi aerobik sebagai sumber elektron adalah oksigen yang direduksi menjadi air:

O2 (aq) + 4H+(aq) + 4e- ↔ 2H2O(l) (1)

Jika tidak ada oksigen, sumber elektron lain adalah oksida atau hidroksida besi (melalui reduksi Fe2+) dan ion sulfat (melalui reduksi sulfida):

Fe(OH)3(s) + 3H+ + 3e- ↔ Fe2+(aq) + 3H2O(l) (2)

SO42-(aq) + 10 H+ + 8e- → H2S(aq, g) + 4H2O(l) (3)

Reduksi sulfur mencakup H2S, unsur sulfur, sulfida terlarut, dan ion polisulfida.

Pirit adalah bentuk umum dan sangat stabil merupakan produk akhir dari reduksi sulfat tetapi dijumpai juga sulfida lain dalam tanah dan endapan hitam monosulfida dari besi (FeS), greigit (Fe2S3), dan sulfida organik. Pembentukan

(37)

14 Fe2O3 (s) + 4SO42-(aq) +8CH2O(s, aq) + ½ O2 (aq) → 2FeS2 (s) + 8HCO3-(aq) +

4H2O(l) (4)

Redok potensial dalam sistem ini berhubungan dengan muatan negatif yang berasal dari elektron dan dapat diukur melalui elektroda platinum yang dihubungkan dengan mV meter. Potensial relatif dari hidrogen dalam 1 mol larutan asam, ditetapkan pada mV nol:

2H+ + 2e- H2

Reduksi besi (persamaan 2) terjadi pada pH 7 dan Eh -180 mV, dan reduksi sulfat (persamaan 3) terjadi pada pH 7 dan Eh -220 mV. Gambar 2 memperlihatkan pengukuran Eh di lapang menggunakan elektroda platinum yang sangat berguna dalam menduga kemungkinan oksidasi atau reduksi dari besi dan sulfat. Sulfida stabil pada kondisi tergenang (anaerobik) tetapi bila ada oksigen masuk ke dalam sistem tersebut, maka sulfida akan teroksidasi menjadi asam sulfat. Oksidasi pirit terjadi mengikuti persamaan:

FeS2 (s) + 15/4 O2 +7/2 H2O(l) → Fe(OH)3 (s) + 2 SO42-(aq) + 4 H+(aq)

Oksidasi pirit secara kimia akan berlangsung lambat, tetapi reaksi yang dimediasi oleh bakteri pengoksidasi besi, khususnya Thiobacillus ferrooxidans menjadikan kondisi optimum untuk oksidasi sulfida dengan konsentrasi oksigen > 0.01 fraksi mol (1 %), temperatur 5-55 oC (optimal 30 oC), dan pH 1,5-5 (optimal 3,2). Menurut Konsten at al. (1990) kemasaman tanah terjadi jika proses oksidasi pirit menghasilkan feri hidroksida Fe(OH)3 dalam hal ini oksidasi 1 mol pirit akan

menghasilkan 4 mol H+. Sedangkan Dent (1986) menyatakan apabila pH tanah turun hingga < 4, maka Fe3+ melarut dan menjadi oksidator pirit dengan laju reaksi yang lebih cepat, setiap mol pirit akan menghasilkan 16 mol H+. Reaksi ini kelihatannya jauh lebih berperan dalam mengakibatkan proses pemasaman tanah sulfat masam dibanding reaksi di atas, namun reaksi di atas dapat dianggap sebagai pemicu reaksi berikutnya dengan persamaan reaksi sebagai berikut:

(38)

15

Gambar 1. Profil Eh bahan sulfidik dalam kondisi reduksi kuat pada kedalaman 40 cm, variasi Eh terjadi di jaringan perakaran mangrof di atas 40 cm (Sumber: Van Mensvoort dan Dent, 1998)

Moses dan Hermann (1991) menunjukkan beberapa tahapan penyebab kemasaman yang diringkas menurut reaksi: oksidasi pirit menjadi besi II dan sulfat, oksidasi besi II menjadi besi III, oksidasi pirit melalui besi III, dan akhirnya oksidasi dari sisa besi II menjadi goetit.

FeS2(s) + 7/2 O2 + H2O(l) → Fe2+(aq) + 2H+(aq) + 2SO42-(aq) (1)

Fe2+(aq) + 1/4 O2(aq) + H+(aq) → Fe3+(aq) + 1/2H2O(l) (2)

FeS2(s) + Fe3+(aq) + 8H2O(l) → 2 Fe2+(aq) + 16H+(aq) + 2SO42-(aq) (3)

Fe2+(aq) + 1/4 O2(aq) + 3/2 H2O(l) → FeO.OH(s) + 2H+(aq) (4)

(39)

16 pengendapan goetit (persamaan 4) merupakan oksidasi pirit cepat yang hanya terjadi pada pH rendah (Wakao et al., 1984).

Hasil intermediat dari oksidasi pirit yaitu mineral berwarna kuning jarosit yang mengendap dan terbentuk pada kondisi oksidasi kuat (Eh > + 400 mV) dan menyebabkan kondisi sangat masam (pH < 3,7). Pembentukan jarosit dari pirit diperlihatkan pada reaksi berikut:

FeS2(s) + 15/4 O2(aq) + 5/2 H2O(l) + 1/3 K+(aq)→ 1/3 KFe3(SO4)2 (OH)6(s) +

4/3 SO42-(aq) + 3 H+(aq)

Pada pH lebih tinggi, jarosit terhidrolisis menjadi goetit

KFe3(SO4)2 (OH)6(s) → 3 FeO.OH(s) + 3H+(aq) + 2 SO42-(aq) + K+

Jika dalam oksidasi pirit terbentuk jarosit, kemasaman yang dihasilkannya hanya 3 mol H+ setiap 1 mol pirit teroksidasi. Menurut Van Breemen (1993) kecepatan penurunan pH akibat oksidasi pirit ditentukan oleh jumlah pirit, kecepatan oksidasi , kecepatan hasil oksidasi , dan kapasitas netralisasi.

Pembebasan aluminium dari matriks tanah dapat juga melalui reaksi hidrogenase untuk mengurangi kemasaman tanah. Reaksi ini berlangsung secara bertahap mengikuti reaksi:

Al(OH)2+ + H+ Al3+ + H2O

Al(OH)2+ + H+ → Al(OH)2+ + H2O

Al(OH)3 + H+ → Al(OH)2+ + H2O

Persamaan ini menunjukkan rangkaian dari reaksi mineral penting pada oksidasi pirit. Pada pH sangat rendah (< 4) kelarutan Al cukup tinggi menyebabkan cukup besarnya mobilitas Al dalam tanah. Asam-asam organik seperti ferulat, fulvat, stearat, malonat dan sitrat merupakan pengkelat yang dapat mengikat Al, sehingga mobilitas Al menurun. Jika kebanyakan gugus karboksilat dan fenolat ditempati oleh Al dan Fe, maka kelarutan komplek sangat berkurang dan komplek dapat mengendap (Kollmeier at al., 2001).

Pelindian dan Biofilter

(40)

17 dua saluran sekunder dengan panjang 8 sampai 12 km. Di ujung saluran sekunder dilengkapi kolam berukuran 300 m x 300 m. Jarak antara dua saluran sekunder mencapai 3 sampai 4 km. Setiap saluran sekunder dilengkapi dengan saluran tersier yang berjarak 200 m. Hal ini mengakibatkan terjadinya drainase yang berlebih (over drain) yang sangat potensial untuk teroksidasinya pirit hingga menyebabkan tanah menjadi masam.

Sekali pirit teroksidasi, oksigen akan masuk ke dalam tanah dan pirit bereaksi dengan oksigan. Inilah awal rusaknya lahan rawa pasang surut akibat kemasaman tanah dan air yang meningkat dan munculnya unsur-unsur yang bersifat racun ke lingkungan perairan. Kandungan besi (Fe2+), aluminium (Al3+), ion hidrogen (H+), dan sulfat (SO42-) pada lahan yang didrainase lebih

tinggi dibandingkan dengan yang tidak didrainase (Gambar 2). Hal ini memberikan implikasi bahwa setelah lahan direklamasi dengan membangun sistem dan jaringan drainase akan mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan tanah dan air. Konsten et al. (1990) menunjukkan total SO42- yang tercuci

(leached) dari lahan yang didrainase adalah 3,34 mol/m2/tahun, sebanding dengan 1,17 mol FeS2/m2/tahun atau 140 g pirit/m2/tahun. Pada lahan yang tidak

didrainase, total SO42- yang tercuci 1,18 mol pirit/m2/tahun yang sebanding

dengan 0,59 mol FeS2/m2/tahun atau 71 g pirit/m2/tahun.

Gambar 2. Konsentrasi Fe2+, Al3+, H+, dan SO42- pada lahan rawa pasang surut

yang didrainase dan tidak didrainase (Sumber: Subagyono et al., 1994)

(41)

18 kandungan pirit dalam tanah masih tinggi. Pelindian sebagai salah satu strategi pengelolaan air tidak hanya mengurangi kemasaman, tetapi berdampak pada tercucinya basa-basa yang diperlukan untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Subagyono et al. (1994) menemukan bahwa selain melindi asam-asam, Ca2+ dan Mg2+ juga ikut terlindi. Hal ini terbukti bahwa kandungan Ca2+ dan Mg2+ di dalam tanah pada lahan yang dilindi lebih rendah dari pada lahan yang digenangi (Gambar 3). Tanpa introduksi kapur dolomit sebagai sumber Ca2+ dan Mg2+ , tanah akan mengalami defisiensi unsur hara tersebut.

Gambar 3. Dampak negatif pelindian terhadap konsentrasi Fe2+, Ca2+, dan Mg2+ pada kedalaman tanah 0-20 cm yang berpotensi sebagai penyebab degradasi lahan (Sumber: Subagyono et al., 1994)

Pengelolaan tanah dan air di tanah sulfat masam lebih difokuskan pada upaya mempertahankan lapisan pirit tetap dalam kondisi reduksi (Multilaksono et al., 2001). Air drainase pada tanah sulfat masam akan membawa unsur hara Ca2+, Mg2+, dan K+ serta hasil oksidasi dan reduksi pirit seperti H+, SO42-, Al3+, dan

Fe2+. Keadaan ini dapat mencemari lingkungan sekitarnya (Rachim et al., 2000). Untuk memperbaiki kualitas air tesebut dapat dilakukan dengan mengalirkan air melewati media biofilter berupa purun tikus (Eleocharis dulcis) dan bulu babi (Eleocharis retroflaxa) yang dapat menyerap atau menetralisir unsur-unsur tersebut.

(42)

19 eksternal, tumbuhan mencegah Fe dan Al masuk ke dalam jaringan antara lain dengan mengeksudasi asam organik dari akar yang dapat berikatan dengan Fe dan Al di rhizosfer. Asam organik tersebut dapat membentuk kompleks dengan Fe dan Al di rhizosfer sehingga tidak bersifat racun bagi tumbuhan (Ryan et al. 2001). Mekanisme kedua adalah secara internal dalam hal ini tumbuhan dapat mentolerir kehadiran Fe dan Al di dalam jaringan dengan cara menghasilkan asam organik atau ligan organik yang dapat berikatan dengan Fe dan Al sehingga terbentuk kompleks yang tidak bersifat racun (Watanabe dan Osaki, 2002).

Crolak (2001) yang melakukan penelitian di lahan basah sub tropika Polandia menunjukkan bahwa tanaman dari jenis rerumputan (Taraxacum offinalle Webb) mampu menyerap logam-logam berat yang diakumulasi dalam jaringan tanaman tanpa menampakkan efek fisiologi. Suriawira (2003) menunjukkan beberapa jenis tanaman yang mampu berfungsi sebagai biofilter antara lain: enceng gondok (Eichornia crassipes), kayambang (Lemna menor), ki apu (Spirodella polyrhiza), mendong (Fimbristylis exp.), paku air (Azolla pinnata), kangkung (Ipomoea aquatica), genjer (Limnocharis flava) dan selada air (Nosturfium offinale). Tanaman-tanaman ini umumnya mempunyai mikroba rhizosfera yang mampu menguraikan bahan organik dan anorganik di sekitar akarnya sehingga dapat memperbaiki kualitas air dari pencemaran logam berat. Mulyanto et al. (1998) menyatakan bahwa purun tikus (Eleocharis dulcis) dapat dijadikan biofilter karena mampu menyerap unsur-unsur Fe dan S masing-masing 273,4 dan 4.500 ppm. Sedangkan Anwar (2006) menyatakan bahwa selain purun tikus, rumput bulu babi (Eleocharis retroflaxa) dapat menyerap unsur-unsur Fe dan S masing-masing 884 dan 340 ppm.

Pengaruh Pelindian terhadap Tanaman Padi

Gambar

Gambar  1. Profil Eh bahan sulfidik dalam kondisi reduksi kuat pada kedalaman 40 cm,  variasi Eh terjadi di jaringan perakaran mangrof di atas 40 cm (Sumber: Van Mensvoort dan Dent, 1998)
Gambar 3. Dampak negatif pelindian terhadap konsentrasi Fe2+, Ca2+, dan Mg2+ pada kedalaman tanah 0-20 cm yang berpotensi sebagai penyebab degradasi lahan (Sumber: Subagyono et al., 1994)
Gambar 4. Lokasi KP Balandean dilihat dari peta Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan
Gambar 5. Jenis-jenis tanah yang dijumpai di KP Balandean, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan (Sumber: Mawardi, 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada pengolahan bentuk landmark , secara khusus terdapat empat tahap utama yaitu pengolahan tata masa umum, pemilihan aspek formal bangunan yang akan diterapkan, pengolahan

a. Tidak terintegrasi antara data yang masih berstatus mahasiswa dan data yang alumni. Jangkauan penyebaran informasi dan komunikasi yang sangat terbatas dan proses update

Begitu pula ketika informasi mengenai prosedur, persyaratan, dan cara memperoleh pelayanan dapat diperoleh dengan mudah oleh para pengguna, maka penyelenggaraan

Mengakhiri ucapan, saya dengan sukacitanya mengisytiharkan bahawa semua 576 graduan yang diijazahkan dalam Sesi Kedua, Majlis Konvokesyen Ke-11 pada petang ini secara

Dari paparan data hasil pelaksanaan tindakan menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT pada siswa kelas VII A SMP Negeri I Pardasuka

Bapak Dr.Ir.Haryono Soeparno, M.Sc, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, memberikan sumbangan pikiran, dan membimbing penulis dalam menyelesaikan masalah-masalah

Homepage komunikasi antara pakar pendidikan jasmani dan guru pendidikan jasmani memuat berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pakar dan guru pendidikan jasmani dalam bentuk

Hasil analisa nilai OR 24.571 dapat disimpulkan bahwa remaja yang pengetahuannya baik mempunyai peluang 24,571 kali berisiko dibandingkan dengan remaja yang pengetahuan