SURVEI PENYAKIT KERITING (Cladosporium cladosporioides)
PADA TANAMAN PEPAYA DI BOGOR
MARIA ULFA PUTRI YOESHINDA
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ABSTRAK
MARIA ULFA PUTRI YOESHINDA. Survei Penyakit Keriting (Cladosporium cladosporioides) pada Tanaman Pepaya di Bogor. Dibimbing oleh WIDODO.
Pepaya termasuk salah satu tanaman buah yang banyak ditanam dan dikonsumsi di Indonesia. Serangan hama dan penyakit dapat menurunkan hasil produksi tanaman pepaya. Salah satunya penyakit yang baru dilaporkan tahun 2011 di daerah Bogor adalah penyakit keriting (Cladosporium cladosporioides). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keadaan serangan penyakit keriting (C. cladosporioides) pada tanaman pepaya dan faktor-faktor cara budidaya yang mungkin berpengaruh. Penelitian dilakukan di dua kecamatan di Bogor yaitu Kecamatan Rancabungur dan Sukaraja, dimana banyak tanaman pepaya dibudidayakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit keriting (C. cladosporioides) sudah menyebar secara merata di dua kecamatan seperti yang ditunjukkan oleh kejadian penyakit, kejadian penyakit Rancabungur dan Sukaraja masing-masing adalah 86.7% dan 95.7%. Meskipun keparahan penyakit masih sedang dengan rata-rata berkisar 24.2-27.6%. Umumnya tingkat kejadian penyakit pada pepaya tipe sedang (Caliporan) dan pola tanam monokultur lebih rendah dibandingkan dengan pepaya tipe besar (Bangkok) dan pola tanam tumpang sari. Sementara itu tingkat keparahan penyakit tidak menunjukkan perbedaan yang jauh jika dilihat dari jenis pepaya dan pola tanam yang dilakukan. Cara-cara budidaya yang lain tidak menunjukkan pengaruh yang menonjol, baik terhadap tingkat kejadian maupun keparahan penyakit.
ABSTRACT
MARIA ULFA PUTRI YOESHINDA. Survey of Papaya Curl Disease (Cladosporium cladosporioides) in Bogor. Guided by WIDODO.
Papaya is one fruit crops which are widely grown and consumed in Indonesia. Some pests and diseases in papaya are known to be limiting factor on the papaya production. Among o the diseases existing, the new disease namely leaf curl disease caused by Cladosporium cladosporioides has been reported since 2011 in Bogor. The objectives of this survey was to determine the status of this disease in the fields and same agricultural practices that may affect its development. The survey was conducted in two subdistricts Rancabungur and Sukaraja where papaya mostly cultivated. The results showed that leaf curl disease is widely spread in those two districts as indicated by the disease incidence, the disease incidence in Rancabungur and Sukaraja was 86.7% and 95.7% respectively. However, the disease severity is still moderate with average ranging from 24.2 to 27.6%. Generally the disease incidence in moderate type (Caliporan) and monoculture cropping system was lower than the large type (Bangkok) and multiple cropping system. Meanwhile, the disease severity did not show much differences due to the fruit type and cropping system. Other cultivated practices did not show much differences effect, both to the disease incidence and severity.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
SURVEI PENYAKIT KERITING (Cladosporium cladosporioides)
PADA TANAMAN PEPAYA DI BOGOR
MARIA ULFA PUTRI YOESHINDA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul skripsi : Survei Penyakit Keriting (Cladosporium cladosporioides) pada Tanaman Pepaya di Bogor
Nama : Maria Ulfa Putri Yoeshinda
NRP : A34060870
Disetujui oleh, Pembimbing
Dr. Ir. Widodo, MS. NIP. 19591115 198503 1 003
Diketahui oleh, Ketua Departemen
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si. NIP. 19650621 198910 2 001
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ’’ Survei Penyakit Keriting (Cladosporium cladosporioides) pada Tanaman Pepaya di Bogor’’ ini dengan baik.
Dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan baik materi maupun spiritual dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Keluarga tercinta, Papa H.Muhammad Nasir, Mama Mardiyah Hayati, Kakakku Nadya, dan Adik-adikku (Alvandy, Rini, dan Annisa). Terima kasih untuk doa, dukungan, kasih sayang dan perhatian yang tak pernah berhenti.
2. Bapak Dr. Ir. Widodo, MS selaku pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan dan nasehatnya dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, MS selaku pembimbing akademik atas bimbingan dan nasehat dalam menyelesaikan studi di IPB.
4. Bapak. Dr. Ir. R. Yayi Munara Kusumah, MSi selaku dosen penguji atas saran dan masukan untuk skripsi ini.
5. Pemerintah Dumai yang telah memberikan beasiswa pendidikan.
6. Teman seperjuangan Aisah, Susi, Immah, Wajay, Laras, Indri, Didah, dan teman DPT angkatan 43 lainnya atas kebersamaan, bantuan dan dukungannya selama ini. Terima kasih juga untuk teman sedaerah, Handayani dan Yulia riza.
7. Pondok Iswara’ers Fya, Jayanti, Wulan, Hesti, Dinda, Teteh Ratih dan
Ratih untuk dukungan dan bantuannya.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan saran diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang.
Bogor, Januari 2013
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 1
BAHAN DAN METODE 2
Tempat dan Waktu 2
Metode Penelitian 2
HASIL DAN PEMBAHASAN 4
Keadaan Umum Lahan Pertanaman Pepaya di Dua Kecamatan 4
Cara Budidaya 4
Penyakit Keriting 6
Kejadian dan Keparahan Penyakit pada Lahan Pepaya 7
Keadaan Penyakit dan Beberapa Cara Budidaya 9
PENUTUP 11
Simpulan 11
Saran 11
DAFTAR PUSTAKA 12
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Nilai kategori kerusakan 3
2. Cara-cara budidaya yang dilakukan petani responden 6
3. Keadaan penyakit keriting pada pepaya di Kecamatan Rancabungur 8 4. Keadaan penyakit keriting pada pepaya di Kecamatan Sukaraja 8 5. Kejadian dan keparahan penyakit berdasarkan cara-cara budidaya 9
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Metode pengambilan tanaman sampel 2
2. Pola tanam 5
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pepaya merupakan tanaman hortikutura yang banyak dibudidayakan oleh petani. Tanaman ini memiliki banyak manfaat yaitu sebagai buah segar yang bisa langsung dikonsumsi, sebagai bahan baku industri yaitu penghasil papain, dan daunnya dapat berfungsi sebagai obat.
Serangan hama dan penyakit pada tanaman tersebut menyebabkan berkurangnya hasil produksi. Penyakit-penyakit penting yang sudah dilaporkan menyerang tanaman pepaya yaitu busuk akar dan pangkal batang, bercak daun cercospora, bercak daun corynespora, penyakit tepung, penyakit bakteri, antraknosa, mosaik, bercak cincin dan busuk rhizopus (Semangun 2000). Hama-hama penting yang menyerang tanaman pepaya yaitu kutu putih Paracoccus marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) dan tungau Tetranychus cinnabarinus (Acarina: Tetranychidae), (Miller & Miller 2002; Evayani 1990).
Selain beberapa hama dan penyakit tersebut di atas; akhir-akhir ini dilaporkan adanya penyakit baru di pertanaman pepaya di daerah Bogor yaitu penyakit keriting yang disebabkan Cladosporium cladosporioides. Gejala serangan penyakit ini terutama terlihat pada daun muda berupa bintik-bintik kuning yang selanjutnya bintik tersebut mengalami nekrosis sehingga daun berlubang. Jika serangan berat daun-daun muda tersebut akan mengeriting dan tajuk tanaman tidak berkembang sempurna (Widodo & Wiyono 2012).
Karena penyakit ini di Indonesia masih relatif baru, maka survei awal untuk mengetahui status serangan dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan penyakit di lapang perlu dilakukan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keadaan serangan penyakit keriting (Cladosporium cladosporioides) pada tanaman pepaya di beberapa sentra pertanaman pepaya di daerah Bogor dan faktor-faktor cara budidaya yang mungkin berpengaruh terhadap penyakit tersebut.
Manfaat Penelitian
2
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di lahan milik petani di dua kecamatan di Bogor yaitu Kecamatan Rancabungur yang meliputi Desa Rancabungur, Desa Pasir Gaok, dan Desa Mekarsari; Kecamatan Sukaraja yang meliputi Desa Cikeas, Desa Nagrak dan Desa Sukatani. Survei dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2012.
Metode Penelitian Lahan Pengamatan
Dalam survei ini lahan-lahan yang diamati berada di dua kecamatan yaitu Kecamatan Rancabungur dan Kecamatan Sukaraja. Dari setiap kecamatan ditentukan masing-masing 3 desa yang memiliki kebun pepaya paling banyak, dan dari setiap desa pada masing-masing kecamatan ditentukan 3 kebun pepaya, dengan luas lahan berkisar antara 200 sampai 2000 m2.
Pengamatan Penyakit
Penelitian dilakukan dengan pengamatan langsung pada lahan milik petani di dua kecamatan di Bogor. Pengamatan penyakit diamati di 18 kebun pepaya yang terdiri dari dua varietas pepaya yaitu Caliporan dan Bangkok. Pengamatan penyakit dilakukan dengan menghitung kejadian dan keparahan penyakit. Untuk menghitung kejadian dan keparahan penyakit tanaman contoh ditentukan secara sistematis yaitu pada baris genap (Gambar 1).
baris genap baris ganjil
Gambar 1 Metode pengambilan tanaman sampel
Pengamatan keadaan penyakit dilakukan secara langsung terhadap gejala yang muncul. Gejala yang terjadi pada tiap baris tanaman contoh dihitung untuk mengetahui tingkat kejadian dan keparahan penyakit dengan menggunakan rumus. Persentase kejadian penyakit tersebut dihitung dengan rumus-rumus dibawah ini. Kejadian penyakit dihitung dengan menggunakan rumus:
DI = n/N x 100% Keterangan:
DI = Kejadian penyakit (Disease Incidence) n = Jumlah tanaman yang terserang
3
Sedangkan tingkat keparahan penyakit dihitung dengan rumus sebagai berikut: DS = ∑(ni.vi)/N.V x 100%
Keterangan:
DS = Keparahan penyakit (Disease Severity)
ni = Jumlah tanaman yang terserang pada kategori ke-i vi = Kategori kerusakan ke-i
N = Jumlah tanaman yang diamati V = Nilai kategori serangan tertinggi
Nilai kategori kerusakan tanaman (v) ditentukan berdasarkan tingkat kerusakan tiap tanaman contoh sebagai berikut:
Tabel 1 Nilai kategori kerusakan
Skor Keadaan serangan Kriteria
0 Tidak ada daun yang terserang Sehat
1 0-25 % tajuk terlihat gejala serangan Ringan
2 26-50% tajuk terlihat gejala serangan Sedang
3 51-75% daun terkena serangan Berat
4 76-100% daun terkena serangan Sangat berat
Wawancara dengan Petani
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lahan Pertanaman Pepaya di Dua Kecamatan
Kecamatan Rancabungur dan Sukaraja terletak pada ketinggian 200-250 meter di atas permukaan laut. Tanaman pepaya yang ditanam oleh petani adalah varietas Caliporan (tipe sedang) dan Bangkok (tipe besar). Varietas Caliporan banyak dibudidayakan oleh petani di Kecamatan Rancabungur. Sedangkan varietas Bangkok banyak dibudidayakan petani di Kecamatan Sukaraja. Petak lahan pertanaman pepaya di Kecamatan Rancabungur dan Sukaraja umumnya berkisar antara 200-2000 m2, dengan populasi berkisar 40-500 tanaman per petak lahan.
Cara Budidaya Varietas
Varietas yang ditanam oleh petani di Kecamatan Rancabungur yaitu varietas Caliporan (46.2%) dan Bangkok., sedangkan varietas yang ditanam oleh petani di Kecamatan Sukaraja yaitu varietas Bangkok (53.8%). Varietas Caliporan memiliki keunggulan yaitu keseragaman bentuk dan ukuran buah serta harga yang lebih mahal dibandingkan varietas Bangkok. Menurut petani responden varietas Bangkok lebih mudah perawatannya dan lebih tahan terhadap penyakit dibanding varietas Caliporan. Sebagian besar petani (76.9%) memperoleh benih dari hasil panen sebelumnya. Benih yang dibuat sendiri oleh petani biasanya diambil dari buah pepaya yang penampilannya bagus, sedangkan sebagian 23.1% petani membeli benih dari petani yang lain (Tabel 2).
Persiapan Sebelum Tanam
Tindakan persiapan sebelum tanam meliputi pengolahan tanah dan pembuatan lubang tanam. Sebelum penanaman, tanah diolah dengan pencangkulan kemudian dibuat bedengan dengan ukuran lebar bedengan 1-1.5 m dengan ketinggian 30-40 cm dan jarak antar bedengan 0.5-1 m. Pada bedengan tersebut kemudian dibuat lubang tanam dengan ukuran 50 x 50 x 50 cm dengan jarak antar lubang 2.5 m x 2.5 m.
Pola Tanam
Sebanyak 30.8% petani menanam pepaya secara monokultur (Gambar 2a) dan lainnya dengan pola tanam tumpang sari (69.2%). Pola tanam tumpang sari (Gambar 2b) dilakukan dengan tujuan memanfaatkan lahan sebelum tanaman pepaya berproduksi sehingga menambah pendapatan petani. Biasanya tanaman yang dijadikan tumpang sari memiliki masa panen yang lebih cepat diantaranya yaitu cabe, terong, kunyit, talas, singkong, bengkoang dan pisang.
Pemupukan
5
susulan dilakukan antara 3-4 bulan sekali. Selain itu petani juga menggunakan pupuk daun yaitu Gandasil B dan Gandasil D.
a b
Gambar 2 Pola tanam: a, monokultur; b, tumpang sari
Pengendalian Gulma
Seluruh petani responden melakukan pengendalian gulma. Frekuensi penyiangan gulma yang dilakukan petani responden adalah < 3 bulan sekali (38.5%), 3 bulan sekali (38.5%) dan tidak tentu (23.1%). Pengendalian gulma dilakukan dengan cara manual menggunakan cangkul dan tidak ada yang memakai herbisida.
Pengendalian Hama dan Penyakit
6
Tabel 2 Cara-cara budidaya yang dilakukan petani responden
Cara budidaya Jumlah petani Persentase
Varietas
Tipe sedang (Caliporan) 6 46.2
Tipe besar (Bangkok) 7 53.8
Asal Benih
Hasil panen sebelumnya 10 76.9
Beli dari petani lain 3 23.1
Penyakit keriting (Cladosporium cladosporioides)
Gejala penyakit ini diawali dengan terbentuknya bercak-bercak kecil berwarna kuning pada daun, kemudian diikuti dengan nekrosis pada bagian tengah bercak. Selanjutnya bagian nekrosis tadi akan luruh dan terbentuk lubang-lubang. Jika bercak-bercak yang berdekatan bergabung akan timbul lubang dengan ukuran yang lebih besar (Gambar 3a). Meskipun serangan hanya terlihat pada daun pepaya, penyakit ini dapat mengakibatkan kehilangan hasil, karena jika serangan berat terjadi pada daun muda menyebabkan daun yang baru terbentuk tidak dapat berkembang dengan sempurna, sehingga proses fotosintesis juga tidak berjalan maksimum. Dengan demikian buah yang dihasilkan tanaman papaya juga tidak maksimal.
7
umumnya tidak bersekat, konidium dibentuk berantai pada ujung konidiofor, tetapi mudah terurai (Widodo & Wiyono 2012). Pengamatan peneliti lainnya di Taiwan spesies cendawan yang sama menyerang bagian buah pada tanaman pepaya dengan gejala penggabusan jaringan sehingga dinamakan penyakit kudis (Chen et al. 2009).
a b c
Gambar 3 Gejala penyakit keriting: a, gejala bercak-bercak kuning dan jaringan berlubang; b, keadaan lembar daun yang terserang berat; c, cendawan C. cladosporioides yang tumbuh pada sisi jaringan nekrosis
Pada tanaman tomat ada penyakit kapang daun (leaf mold) yang disebabkan cendawan Fulvia fulva atau juga disebut sebagai Cladosporium fulvum. Gejala penyakit terdapat pada permukaan atas daun berupa bercak berwarna kuning dengan batas yang kurang jelas. Pada permukaan bawah daun terdapat satu lapisan beledu ungu kehijauan, yang terdiri dari konidiofor dan konidium jamur. Bercak-bercak dapat bersatu menjadi bercak yang besar dan daun yang sakit lebih cepat mengering. Konidium disebarkan oleh angin dan dapat bertahan berbulan-bulan pada sisa tanaman yang sakit. Penyakit ini sangat dibantu oleh kelembaban nisbi udara yang tinggi (Semangun 2004).
Kejadian dan keparahan penyakit pada lahan pepaya
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, penyakit keriting pada pepaya menyebar pada seluruh lahan dengan kejadian dan keparahan penyakit yang hampir seragam. Namun demikian terdapat perkecualian di Desa Rancabungur (kebun 3) kejadian dan keparahan penyakitnya rendah yaitu sebesar 4.3% dan 15.4%. Rata-rata kejadian penyakit tertinggi yaitu di Desa Mekarsari yang mencapai 100 % (Tabel 3).
Di Kecamatan Rancabungur rata-rata keparahan penyakit tertinggi terjadi di Desa Pasir Gaok sebesar 31.9%. Rata-rata kejadian dan keparahan penyakit di Kecamatan Rancabungur sebesar 86.7% dan 27.6%. Tingginya kejadian dan keparahan penyakit keriting dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu teknik budidaya dan keadaan sekitar lahan.
8
masing sebesar 96.9% dan 24.7%. Hal ini disebabkan karena Desa Cikeas, petani responden tidak menggunakan pestisida dalam mengendalikan hama dan penyakit. Rata-rata kejadian dan keparahan penyakit keriting di Kecamatan Sukaraja yaitu sebesar 95.7% dan 24.2% (Tabel 4).
Tabel 3 Keadaan penyakit keriting pada pepaya di Kecamatan Rancabungur Desa Kebun Kejadian Penyakit (%) Keparahan Penyakit (%)
Rancabungur 1 86.5 22.9
Tabel 4 Keadaan penyakit keriting pada pepaya di Kecamatan Sukaraja
Desa Kebun Kejadian Penyakit (%) Keparahan Penyakit (%)
9
Berdasarkan pengamatan penyakit keriting pada tanaman pepaya di dua Kecamatan Rancabungur dan Sukaraja, diperoleh bahwa penyakit ini sudah menyebar secara merata yang ditunjukkan dengan tingkat kejadian penyakit yang sudah melebihi 90% (Tabel 3 dan 4). Sedangkan tingkat keparahan penyakit ini di dua kecamatan masih dalam kategori serangan sedang. Meskipun penyakit keriting dianggap tidak terlalu penting, tetapi sebaiknya tetap diwaspadai karena dapat mengurangi hasil produksi, terutama jika serangan terjadi pada bagian daun pucuk yang mengakibatkan terhambatnya perkembangan daun yang baru.
Keadaan penyakit dan beberapa cara budidaya
Dari hasil pengamatan terhadap 18 kebun, diperoleh bahwa kejadian penyakit pada varietas Caliporan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan varietas Bangkok, sedangkan tingkat keparahannya tidak terlalu jauh berbeda. Sementara itu, tingkat kejadian dan keparahan penyakit berdasarkan pola tanam tidak terlalu jauh berbeda. Pola tanam monokultur, kejadian dan keparahan penyakit yaitu sebesar 82.5% dan 28.3% (Tabel 5). Kriteria serangan pada pola tanam monokultur adalah sedang. Sedangkan pola tanam tumpang sari, kejadian dan keparahan penyakit yaitu sebesar 95.5% dan 24.7%. Pola tanam tumpang sari kriteria serangannya adalah ringan, tetapi sudah mendekati kriteria sedang. Pola tanam tumpang sari lebih tinggi kejadian penyakit dibandingkan pola tanam monokultur. Hal ini mungkin disebabkan kelembaban di pertanaman lebih tinggi sehingga mendukung perkembangan penyakit.
Tabel 5 Kejadian dan keparahan penyakit berdasarkan cara-cara budidaya Cara-cara budidaya Kejadian Penyakit (%) Keparahan Penyakit (%)
Varietas
10
pupuk sintetis masih dalam kriteria sedang. Pemberian pupuk kandang saja, tingkat kejadian penyakit lebih tinggi dibandingkan pemberian pupuk kandang dan sintetis. Hal ini mungkin dikarenakan tanaman pepaya tidak tercukupi unsur haranya sehingga tidak tumbuh optimal dan mudah diserang patogen.
Frekuensi penyiangan gulma yang dilakukan oleh petani responden yaitu < 3 bulan sekali, 3 bulan sekali dan tidak tentu. Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh bahwa frekuensi penyiangan gulma tidak tentu, tingkat kejadian penyakit tertinggi yaitu sebesar 96.0%. Hal ini disebabkan kondisi lahan yang kurang terawat sehingga cocok untuk perkembangan penyakit ini Sedangkan tingkat keparahan penyakit tertinggi yaitu sebesar 26.9% pada frekuensi penyiangan gulma 3 bulan sekali. Hal ini mungkin disebabkan mekanisme penyebaran cendawan C. cladosporioides lebih banyak oleh angin sehingga mendukung perkembangan penyakit ini Kriteria keparahan penyakit berdasarkan frekuensi penyiangan gulma < 3 bulan sekali maupun 3 bulan sekali masih dalam kriteria sedang. Sedangkan frekuensi penyiangan gulma tidak tentu, kriteria serangan adalah ringan tetapi hampir mendekati kriteria sedang.
11
PENUTUP
Simpulan
Survei penyakit keriting (Cladosporium cladosporioides) di dua kecamatan yaitu Kecamatan Rancabungur dan Kecamatan Sukaraja dapat disimpukan bahwa penyakit ini sudah menyebar secara merata di dua kecamatan ini. Hasil survei rata-rata kejadian dan keparahan penyakit di Kecamatan Rancabungur yaitu sebesar 86.7% dan 27.6%. Hasil survei rata-rata kejadian dan keparahan penyakit keriting di Kecamatan Sukaraja yaitu sebesar 95.7% dan 24.2%. Meskipun secara umum tingkat kejadian penyakit sudah tinggi yaitu di atas 80%, tingkat kejadian penyakit pada pepaya tipe sedang (Caliporan) dan pola tanam monokultur lebih rendah dibandingkan dengan pepaya tipe besar (Bangkok) dan pola tanam tumpang sari. Sementara itu tingkat keparahan penyakit tidak menunjukkan perbedaan yang jauh jika dilihat dari jenis pepaya dan pola tanam yang dilakukan. Cara-cara budidaya yang lain tidak menunjukkan pengaruh yang menonjol, baik terhadap tingkat kejadian maupun keparahan penyakit.
Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
Bensch K, Groenewald JZ, Dijksterhuis J, Starink-Willemse M, Andersen B, Summerell BA, Shin HD, Dugan FM, Shcroers HJ, Braun U, Croups PW. 2010. Species and ecological diversity within the Cladosporium cladosporioides complex (Davidiellaceae, Capnodiales). Studies Mycol. 67:1-94.
Chen RS, Li JC, Wang YY, Tsay JG. 2009. First report of papaya scab caused by Cladosporium cladosporioides in Taiwan. Plant Dis. 93(4):426.
Evayani L. 1990. Siklus hidup tungau Tetranychus cinnabarinus (Boisd)(Acarina: Tetranychidae) pada daun muda dan daun tua tanaman papaya [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Li YH. 2012. Leaf mold of tomato. The Connecticut Agricultural Experiment Station. [internet]. [diunduh 2013 Jan 15]. Tersedia pada: http:// www.ct.gov/caes/lib/caes/...and.../leaf_mold_of_tomato_03-29-12.pdf. Miller DR, Miller GL. 2002. Redescription of Paracoccus marginatus Williams
and Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae), including descriptions of the immature stage and adult male. Proc Entomol. 104(1): 1-23.
Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Semangun H. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura Di Indonesia. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Widodo, Wiyono S. 2012. Penyakit keriting daun pepaya yang disebabkan Cladosporium cladosporioides. Jurnal Fitopatologi Indonesia.8(2):28-29.
13
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Dumai pada tanggal 2 Oktober 1988 dari Bapak H. Muhammad Nasir SH dan Ibu Mardiyah Hayati S.Pd.I. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Pada tahun 1994, penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 014 Dumai dan pada tahun 2000 melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) YKPP Dumai. Pada tahun 2003, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) YKPP Dumai. Penulis menyelesaikan pendidikan di SMA YKPP DUMAI tahun 2006. Tahun 2006 juga penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD). Tahun 2007 penulis diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian. Penulis pernah mengikuti kepanitian yaitu Masa Perkenalan Departemen (MPD) sebagai komisi displin.
ABSTRAK
MARIA ULFA PUTRI YOESHINDA. Survei Penyakit Keriting (Cladosporium cladosporioides) pada Tanaman Pepaya di Bogor. Dibimbing oleh WIDODO.
Pepaya termasuk salah satu tanaman buah yang banyak ditanam dan dikonsumsi di Indonesia. Serangan hama dan penyakit dapat menurunkan hasil produksi tanaman pepaya. Salah satunya penyakit yang baru dilaporkan tahun 2011 di daerah Bogor adalah penyakit keriting (Cladosporium cladosporioides). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keadaan serangan penyakit keriting (C. cladosporioides) pada tanaman pepaya dan faktor-faktor cara budidaya yang mungkin berpengaruh. Penelitian dilakukan di dua kecamatan di Bogor yaitu Kecamatan Rancabungur dan Sukaraja, dimana banyak tanaman pepaya dibudidayakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit keriting (C. cladosporioides) sudah menyebar secara merata di dua kecamatan seperti yang ditunjukkan oleh kejadian penyakit, kejadian penyakit Rancabungur dan Sukaraja masing-masing adalah 86.7% dan 95.7%. Meskipun keparahan penyakit masih sedang dengan rata-rata berkisar 24.2-27.6%. Umumnya tingkat kejadian penyakit pada pepaya tipe sedang (Caliporan) dan pola tanam monokultur lebih rendah dibandingkan dengan pepaya tipe besar (Bangkok) dan pola tanam tumpang sari. Sementara itu tingkat keparahan penyakit tidak menunjukkan perbedaan yang jauh jika dilihat dari jenis pepaya dan pola tanam yang dilakukan. Cara-cara budidaya yang lain tidak menunjukkan pengaruh yang menonjol, baik terhadap tingkat kejadian maupun keparahan penyakit.
ABSTRACT
MARIA ULFA PUTRI YOESHINDA. Survey of Papaya Curl Disease (Cladosporium cladosporioides) in Bogor. Guided by WIDODO.
Papaya is one fruit crops which are widely grown and consumed in Indonesia. Some pests and diseases in papaya are known to be limiting factor on the papaya production. Among o the diseases existing, the new disease namely leaf curl disease caused by Cladosporium cladosporioides has been reported since 2011 in Bogor. The objectives of this survey was to determine the status of this disease in the fields and same agricultural practices that may affect its development. The survey was conducted in two subdistricts Rancabungur and Sukaraja where papaya mostly cultivated. The results showed that leaf curl disease is widely spread in those two districts as indicated by the disease incidence, the disease incidence in Rancabungur and Sukaraja was 86.7% and 95.7% respectively. However, the disease severity is still moderate with average ranging from 24.2 to 27.6%. Generally the disease incidence in moderate type (Caliporan) and monoculture cropping system was lower than the large type (Bangkok) and multiple cropping system. Meanwhile, the disease severity did not show much differences due to the fruit type and cropping system. Other cultivated practices did not show much differences effect, both to the disease incidence and severity.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pepaya merupakan tanaman hortikutura yang banyak dibudidayakan oleh petani. Tanaman ini memiliki banyak manfaat yaitu sebagai buah segar yang bisa langsung dikonsumsi, sebagai bahan baku industri yaitu penghasil papain, dan daunnya dapat berfungsi sebagai obat.
Serangan hama dan penyakit pada tanaman tersebut menyebabkan berkurangnya hasil produksi. Penyakit-penyakit penting yang sudah dilaporkan menyerang tanaman pepaya yaitu busuk akar dan pangkal batang, bercak daun cercospora, bercak daun corynespora, penyakit tepung, penyakit bakteri, antraknosa, mosaik, bercak cincin dan busuk rhizopus (Semangun 2000). Hama-hama penting yang menyerang tanaman pepaya yaitu kutu putih Paracoccus marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) dan tungau Tetranychus cinnabarinus (Acarina: Tetranychidae), (Miller & Miller 2002; Evayani 1990).
Selain beberapa hama dan penyakit tersebut di atas; akhir-akhir ini dilaporkan adanya penyakit baru di pertanaman pepaya di daerah Bogor yaitu penyakit keriting yang disebabkan Cladosporium cladosporioides. Gejala serangan penyakit ini terutama terlihat pada daun muda berupa bintik-bintik kuning yang selanjutnya bintik tersebut mengalami nekrosis sehingga daun berlubang. Jika serangan berat daun-daun muda tersebut akan mengeriting dan tajuk tanaman tidak berkembang sempurna (Widodo & Wiyono 2012).
Karena penyakit ini di Indonesia masih relatif baru, maka survei awal untuk mengetahui status serangan dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan penyakit di lapang perlu dilakukan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keadaan serangan penyakit keriting (Cladosporium cladosporioides) pada tanaman pepaya di beberapa sentra pertanaman pepaya di daerah Bogor dan faktor-faktor cara budidaya yang mungkin berpengaruh terhadap penyakit tersebut.
Manfaat Penelitian
2
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di lahan milik petani di dua kecamatan di Bogor yaitu Kecamatan Rancabungur yang meliputi Desa Rancabungur, Desa Pasir Gaok, dan Desa Mekarsari; Kecamatan Sukaraja yang meliputi Desa Cikeas, Desa Nagrak dan Desa Sukatani. Survei dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2012.
Metode Penelitian Lahan Pengamatan
Dalam survei ini lahan-lahan yang diamati berada di dua kecamatan yaitu Kecamatan Rancabungur dan Kecamatan Sukaraja. Dari setiap kecamatan ditentukan masing-masing 3 desa yang memiliki kebun pepaya paling banyak, dan dari setiap desa pada masing-masing kecamatan ditentukan 3 kebun pepaya, dengan luas lahan berkisar antara 200 sampai 2000 m2.
Pengamatan Penyakit
Penelitian dilakukan dengan pengamatan langsung pada lahan milik petani di dua kecamatan di Bogor. Pengamatan penyakit diamati di 18 kebun pepaya yang terdiri dari dua varietas pepaya yaitu Caliporan dan Bangkok. Pengamatan penyakit dilakukan dengan menghitung kejadian dan keparahan penyakit. Untuk menghitung kejadian dan keparahan penyakit tanaman contoh ditentukan secara sistematis yaitu pada baris genap (Gambar 1).
baris genap baris ganjil
Gambar 1 Metode pengambilan tanaman sampel
Pengamatan keadaan penyakit dilakukan secara langsung terhadap gejala yang muncul. Gejala yang terjadi pada tiap baris tanaman contoh dihitung untuk mengetahui tingkat kejadian dan keparahan penyakit dengan menggunakan rumus. Persentase kejadian penyakit tersebut dihitung dengan rumus-rumus dibawah ini. Kejadian penyakit dihitung dengan menggunakan rumus:
DI = n/N x 100% Keterangan:
DI = Kejadian penyakit (Disease Incidence) n = Jumlah tanaman yang terserang
3
Sedangkan tingkat keparahan penyakit dihitung dengan rumus sebagai berikut: DS = ∑(ni.vi)/N.V x 100%
Keterangan:
DS = Keparahan penyakit (Disease Severity)
ni = Jumlah tanaman yang terserang pada kategori ke-i vi = Kategori kerusakan ke-i
N = Jumlah tanaman yang diamati V = Nilai kategori serangan tertinggi
Nilai kategori kerusakan tanaman (v) ditentukan berdasarkan tingkat kerusakan tiap tanaman contoh sebagai berikut:
Tabel 1 Nilai kategori kerusakan
Skor Keadaan serangan Kriteria
0 Tidak ada daun yang terserang Sehat
1 0-25 % tajuk terlihat gejala serangan Ringan
2 26-50% tajuk terlihat gejala serangan Sedang
3 51-75% daun terkena serangan Berat
4 76-100% daun terkena serangan Sangat berat
Wawancara dengan Petani
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lahan Pertanaman Pepaya di Dua Kecamatan
Kecamatan Rancabungur dan Sukaraja terletak pada ketinggian 200-250 meter di atas permukaan laut. Tanaman pepaya yang ditanam oleh petani adalah varietas Caliporan (tipe sedang) dan Bangkok (tipe besar). Varietas Caliporan banyak dibudidayakan oleh petani di Kecamatan Rancabungur. Sedangkan varietas Bangkok banyak dibudidayakan petani di Kecamatan Sukaraja. Petak lahan pertanaman pepaya di Kecamatan Rancabungur dan Sukaraja umumnya berkisar antara 200-2000 m2, dengan populasi berkisar 40-500 tanaman per petak lahan.
Cara Budidaya Varietas
Varietas yang ditanam oleh petani di Kecamatan Rancabungur yaitu varietas Caliporan (46.2%) dan Bangkok., sedangkan varietas yang ditanam oleh petani di Kecamatan Sukaraja yaitu varietas Bangkok (53.8%). Varietas Caliporan memiliki keunggulan yaitu keseragaman bentuk dan ukuran buah serta harga yang lebih mahal dibandingkan varietas Bangkok. Menurut petani responden varietas Bangkok lebih mudah perawatannya dan lebih tahan terhadap penyakit dibanding varietas Caliporan. Sebagian besar petani (76.9%) memperoleh benih dari hasil panen sebelumnya. Benih yang dibuat sendiri oleh petani biasanya diambil dari buah pepaya yang penampilannya bagus, sedangkan sebagian 23.1% petani membeli benih dari petani yang lain (Tabel 2).
Persiapan Sebelum Tanam
Tindakan persiapan sebelum tanam meliputi pengolahan tanah dan pembuatan lubang tanam. Sebelum penanaman, tanah diolah dengan pencangkulan kemudian dibuat bedengan dengan ukuran lebar bedengan 1-1.5 m dengan ketinggian 30-40 cm dan jarak antar bedengan 0.5-1 m. Pada bedengan tersebut kemudian dibuat lubang tanam dengan ukuran 50 x 50 x 50 cm dengan jarak antar lubang 2.5 m x 2.5 m.
Pola Tanam
Sebanyak 30.8% petani menanam pepaya secara monokultur (Gambar 2a) dan lainnya dengan pola tanam tumpang sari (69.2%). Pola tanam tumpang sari (Gambar 2b) dilakukan dengan tujuan memanfaatkan lahan sebelum tanaman pepaya berproduksi sehingga menambah pendapatan petani. Biasanya tanaman yang dijadikan tumpang sari memiliki masa panen yang lebih cepat diantaranya yaitu cabe, terong, kunyit, talas, singkong, bengkoang dan pisang.
Pemupukan
5
susulan dilakukan antara 3-4 bulan sekali. Selain itu petani juga menggunakan pupuk daun yaitu Gandasil B dan Gandasil D.
a b
Gambar 2 Pola tanam: a, monokultur; b, tumpang sari
Pengendalian Gulma
Seluruh petani responden melakukan pengendalian gulma. Frekuensi penyiangan gulma yang dilakukan petani responden adalah < 3 bulan sekali (38.5%), 3 bulan sekali (38.5%) dan tidak tentu (23.1%). Pengendalian gulma dilakukan dengan cara manual menggunakan cangkul dan tidak ada yang memakai herbisida.
Pengendalian Hama dan Penyakit
6
Tabel 2 Cara-cara budidaya yang dilakukan petani responden
Cara budidaya Jumlah petani Persentase
Varietas
Tipe sedang (Caliporan) 6 46.2
Tipe besar (Bangkok) 7 53.8
Asal Benih
Hasil panen sebelumnya 10 76.9
Beli dari petani lain 3 23.1
Penyakit keriting (Cladosporium cladosporioides)
Gejala penyakit ini diawali dengan terbentuknya bercak-bercak kecil berwarna kuning pada daun, kemudian diikuti dengan nekrosis pada bagian tengah bercak. Selanjutnya bagian nekrosis tadi akan luruh dan terbentuk lubang-lubang. Jika bercak-bercak yang berdekatan bergabung akan timbul lubang dengan ukuran yang lebih besar (Gambar 3a). Meskipun serangan hanya terlihat pada daun pepaya, penyakit ini dapat mengakibatkan kehilangan hasil, karena jika serangan berat terjadi pada daun muda menyebabkan daun yang baru terbentuk tidak dapat berkembang dengan sempurna, sehingga proses fotosintesis juga tidak berjalan maksimum. Dengan demikian buah yang dihasilkan tanaman papaya juga tidak maksimal.
7
umumnya tidak bersekat, konidium dibentuk berantai pada ujung konidiofor, tetapi mudah terurai (Widodo & Wiyono 2012). Pengamatan peneliti lainnya di Taiwan spesies cendawan yang sama menyerang bagian buah pada tanaman pepaya dengan gejala penggabusan jaringan sehingga dinamakan penyakit kudis (Chen et al. 2009).
a b c
Gambar 3 Gejala penyakit keriting: a, gejala bercak-bercak kuning dan jaringan berlubang; b, keadaan lembar daun yang terserang berat; c, cendawan C. cladosporioides yang tumbuh pada sisi jaringan nekrosis
Pada tanaman tomat ada penyakit kapang daun (leaf mold) yang disebabkan cendawan Fulvia fulva atau juga disebut sebagai Cladosporium fulvum. Gejala penyakit terdapat pada permukaan atas daun berupa bercak berwarna kuning dengan batas yang kurang jelas. Pada permukaan bawah daun terdapat satu lapisan beledu ungu kehijauan, yang terdiri dari konidiofor dan konidium jamur. Bercak-bercak dapat bersatu menjadi bercak yang besar dan daun yang sakit lebih cepat mengering. Konidium disebarkan oleh angin dan dapat bertahan berbulan-bulan pada sisa tanaman yang sakit. Penyakit ini sangat dibantu oleh kelembaban nisbi udara yang tinggi (Semangun 2004).
Kejadian dan keparahan penyakit pada lahan pepaya
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, penyakit keriting pada pepaya menyebar pada seluruh lahan dengan kejadian dan keparahan penyakit yang hampir seragam. Namun demikian terdapat perkecualian di Desa Rancabungur (kebun 3) kejadian dan keparahan penyakitnya rendah yaitu sebesar 4.3% dan 15.4%. Rata-rata kejadian penyakit tertinggi yaitu di Desa Mekarsari yang mencapai 100 % (Tabel 3).
Di Kecamatan Rancabungur rata-rata keparahan penyakit tertinggi terjadi di Desa Pasir Gaok sebesar 31.9%. Rata-rata kejadian dan keparahan penyakit di Kecamatan Rancabungur sebesar 86.7% dan 27.6%. Tingginya kejadian dan keparahan penyakit keriting dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu teknik budidaya dan keadaan sekitar lahan.
8
masing sebesar 96.9% dan 24.7%. Hal ini disebabkan karena Desa Cikeas, petani responden tidak menggunakan pestisida dalam mengendalikan hama dan penyakit. Rata-rata kejadian dan keparahan penyakit keriting di Kecamatan Sukaraja yaitu sebesar 95.7% dan 24.2% (Tabel 4).
Tabel 3 Keadaan penyakit keriting pada pepaya di Kecamatan Rancabungur Desa Kebun Kejadian Penyakit (%) Keparahan Penyakit (%)
Rancabungur 1 86.5 22.9
Tabel 4 Keadaan penyakit keriting pada pepaya di Kecamatan Sukaraja
Desa Kebun Kejadian Penyakit (%) Keparahan Penyakit (%)
9
Berdasarkan pengamatan penyakit keriting pada tanaman pepaya di dua Kecamatan Rancabungur dan Sukaraja, diperoleh bahwa penyakit ini sudah menyebar secara merata yang ditunjukkan dengan tingkat kejadian penyakit yang sudah melebihi 90% (Tabel 3 dan 4). Sedangkan tingkat keparahan penyakit ini di dua kecamatan masih dalam kategori serangan sedang. Meskipun penyakit keriting dianggap tidak terlalu penting, tetapi sebaiknya tetap diwaspadai karena dapat mengurangi hasil produksi, terutama jika serangan terjadi pada bagian daun pucuk yang mengakibatkan terhambatnya perkembangan daun yang baru.
Keadaan penyakit dan beberapa cara budidaya
Dari hasil pengamatan terhadap 18 kebun, diperoleh bahwa kejadian penyakit pada varietas Caliporan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan varietas Bangkok, sedangkan tingkat keparahannya tidak terlalu jauh berbeda. Sementara itu, tingkat kejadian dan keparahan penyakit berdasarkan pola tanam tidak terlalu jauh berbeda. Pola tanam monokultur, kejadian dan keparahan penyakit yaitu sebesar 82.5% dan 28.3% (Tabel 5). Kriteria serangan pada pola tanam monokultur adalah sedang. Sedangkan pola tanam tumpang sari, kejadian dan keparahan penyakit yaitu sebesar 95.5% dan 24.7%. Pola tanam tumpang sari kriteria serangannya adalah ringan, tetapi sudah mendekati kriteria sedang. Pola tanam tumpang sari lebih tinggi kejadian penyakit dibandingkan pola tanam monokultur. Hal ini mungkin disebabkan kelembaban di pertanaman lebih tinggi sehingga mendukung perkembangan penyakit.
Tabel 5 Kejadian dan keparahan penyakit berdasarkan cara-cara budidaya Cara-cara budidaya Kejadian Penyakit (%) Keparahan Penyakit (%)
Varietas
10
pupuk sintetis masih dalam kriteria sedang. Pemberian pupuk kandang saja, tingkat kejadian penyakit lebih tinggi dibandingkan pemberian pupuk kandang dan sintetis. Hal ini mungkin dikarenakan tanaman pepaya tidak tercukupi unsur haranya sehingga tidak tumbuh optimal dan mudah diserang patogen.
Frekuensi penyiangan gulma yang dilakukan oleh petani responden yaitu < 3 bulan sekali, 3 bulan sekali dan tidak tentu. Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh bahwa frekuensi penyiangan gulma tidak tentu, tingkat kejadian penyakit tertinggi yaitu sebesar 96.0%. Hal ini disebabkan kondisi lahan yang kurang terawat sehingga cocok untuk perkembangan penyakit ini Sedangkan tingkat keparahan penyakit tertinggi yaitu sebesar 26.9% pada frekuensi penyiangan gulma 3 bulan sekali. Hal ini mungkin disebabkan mekanisme penyebaran cendawan C. cladosporioides lebih banyak oleh angin sehingga mendukung perkembangan penyakit ini Kriteria keparahan penyakit berdasarkan frekuensi penyiangan gulma < 3 bulan sekali maupun 3 bulan sekali masih dalam kriteria sedang. Sedangkan frekuensi penyiangan gulma tidak tentu, kriteria serangan adalah ringan tetapi hampir mendekati kriteria sedang.
11
PENUTUP
Simpulan
Survei penyakit keriting (Cladosporium cladosporioides) di dua kecamatan yaitu Kecamatan Rancabungur dan Kecamatan Sukaraja dapat disimpukan bahwa penyakit ini sudah menyebar secara merata di dua kecamatan ini. Hasil survei rata-rata kejadian dan keparahan penyakit di Kecamatan Rancabungur yaitu sebesar 86.7% dan 27.6%. Hasil survei rata-rata kejadian dan keparahan penyakit keriting di Kecamatan Sukaraja yaitu sebesar 95.7% dan 24.2%. Meskipun secara umum tingkat kejadian penyakit sudah tinggi yaitu di atas 80%, tingkat kejadian penyakit pada pepaya tipe sedang (Caliporan) dan pola tanam monokultur lebih rendah dibandingkan dengan pepaya tipe besar (Bangkok) dan pola tanam tumpang sari. Sementara itu tingkat keparahan penyakit tidak menunjukkan perbedaan yang jauh jika dilihat dari jenis pepaya dan pola tanam yang dilakukan. Cara-cara budidaya yang lain tidak menunjukkan pengaruh yang menonjol, baik terhadap tingkat kejadian maupun keparahan penyakit.
Saran
SURVEI PENYAKIT KERITING (Cladosporium cladosporioides)
PADA TANAMAN PEPAYA DI BOGOR
MARIA ULFA PUTRI YOESHINDA
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
13
DAFTAR PUSTAKA
Bensch K, Groenewald JZ, Dijksterhuis J, Starink-Willemse M, Andersen B, Summerell BA, Shin HD, Dugan FM, Shcroers HJ, Braun U, Croups PW. 2010. Species and ecological diversity within the Cladosporium cladosporioides complex (Davidiellaceae, Capnodiales). Studies Mycol. 67:1-94.
Chen RS, Li JC, Wang YY, Tsay JG. 2009. First report of papaya scab caused by Cladosporium cladosporioides in Taiwan. Plant Dis. 93(4):426.
Evayani L. 1990. Siklus hidup tungau Tetranychus cinnabarinus (Boisd)(Acarina: Tetranychidae) pada daun muda dan daun tua tanaman papaya [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Li YH. 2012. Leaf mold of tomato. The Connecticut Agricultural Experiment Station. [internet]. [diunduh 2013 Jan 15]. Tersedia pada: http:// www.ct.gov/caes/lib/caes/...and.../leaf_mold_of_tomato_03-29-12.pdf. Miller DR, Miller GL. 2002. Redescription of Paracoccus marginatus Williams
and Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae), including descriptions of the immature stage and adult male. Proc Entomol. 104(1): 1-23.
Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Semangun H. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura Di Indonesia. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Widodo, Wiyono S. 2012. Penyakit keriting daun pepaya yang disebabkan Cladosporium cladosporioides. Jurnal Fitopatologi Indonesia.8(2):28-29.