• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meningkatkan pelepasan unsur hara dari batuan beku dengan senyawa humat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Meningkatkan pelepasan unsur hara dari batuan beku dengan senyawa humat"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

MENINGKATKAN PELEPASAN UNSUR HARA DARI

BATUAN BEKU DENGAN SENYAWA HUMAT

ASMITA AHMAD

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Meningkatkan Pelepasan Unsur Hara dari Batuan Beku dengan Senyawa Humat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2011

(3)

ABSTRACT

ASMITA AHMAD. Increasing of Nutrient Elements Release from Igneous Rocks with Humic Substances. Under direction of ISKANDAR, BASUKI SUMAWINATA, and SUDARSONO.

One of alternatives that can be used to increase the nutrient elements release from igneous rocks is reaction with humic substances. This research aims to study the ability of humic substances to increase the nutrient elements release and improve the release from igneous rocks. The humic substances, in the form of salt and acid, are extracted from peat and lignite. Three kinds of igneous rocks were treated i.e. basalt porphyry, diorite porphyry and trachyte porphyry with three grain size i.e. 60 - <2000 µm, <60µm and (1x1x0,3)cm3. the rocks were impregnated with humic substances for 5 weeks. The result showed that the peat humic substances in the form of peat humate can increase the nutrient elements release from igneous rocks in size <1000µm. Nutrient elements release in basalt porphyry showed better results than diorite porphyry and trachyte porphyry. Release process of element from minerals in igneous rocks occur in the field boundaries between crystals, crystals cleavage, and the crystals surface.

(4)

RINGKASAN

ASMITA AHMAD. Meningkatkan Pelepasan Unsur Hara dari Batuan Beku dengan Senyawa Humat. Dibimbing oleh ISKANDAR, BASUKI SUMAWINATA, dan SUDARSONO.

Pupuk yang berasal dari batuan beku dikenal dengan nama rock dust atau tepung batuan. Konsentrasi unsur hara makro dan mikro yang terdapat dalam tepung batuan sangatlah besar, tetapi proses pelepasan unsur hara yang lambat dari batuan menyebabkan tepung batuan tidak dapat dimanfaatkan untuk tanaman jangka pendek. Bertolak dari hal tersebut, maka untuk meningkatkan proses pelepasan hara dari batuan beku digunakan senyawa humat yang efektivitasnya telah terbukti dalam meningkatkan pengkelatan unsur hara dari mineral di dalam tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemampuan senyawa humat dalam meningkatkan pelepasan unsur hara dari batuan beku serta cara untuk meningkatkan intensitas pelepasan unsur hara dari batuan beku.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi; analisis ukuran butir, analisis kimia batuan beku dengan menggunakan metode Total Chemical Analysis (TCA) dan X–Ray Flouresence (XRF), analisis mikroformologi batuan dengan Scanning Electron Microscope (SEM), analisis unsur hara dengan Atomic Absorption Spectrophtometer (AAS) dan Flamephotometer. Analisis senyawa humat meliputi: ekstraksi senyawa humat dengan menggunakan 0,1 N NaOH, purifikasi, analisis total kemasaman, analisis kandungan karbon, nitrogen dan belerang dengan menggunakan Elemental Analyzer.

pH dan komposisi kimia pelarut sangat mempengaruhi proses pelepasan unsur hara dari batuan beku. Reaksi batuan dengan penambahan pelarut air hujan (kontrol), asam humat gambut (AHG) dan asam humat lignit (AHL) menunjukkan kenaikan nilai pH, sedangkan dengan pelarut garam humat gambut (GHG) dan garam humat lignit (GHL) menunjukkan gejala sebaliknya. Kenaikan pH larutan dengan pelarut air hujan, menunjukkan terjadinya proses hidrolisis antara pelarut dengan batuan, yang menyebabkan penambahan konsentrasi ion-ion hidroksida di dalam larutan, sehingga menurunkan kemasaman larutan, sedangkan dengan pelarut asam humat (AH) disebabkan oleh proses pengkelatan kation logam dari struktur mineral silikat oleh gugus karboksilat yang telah terdisosiasi. Proses ini menyebabkan penambahan ion hidroksida di dalam larutan. Garam humat (GH) dengan pH yang tinggi serta kandungan gugus karboksilat dan fenolat yang telah terdisosiasi menyebabkan meningkatnya pengkelatan kation dari mineral silikat dan penghancuran ikatan silikat. Proses ini meningkatkan konsentrasi ion hidrogen di dalam larutan.

(5)

konsentrasi yang lebih besar pada batuan beku yang berukuran ukuran < 60µm dan sebagian kecil pada batuan yang berukuran 60 - <2000µm. Tetapi air hujan tidak efektif dalam melarutkan unsur hara mikro dibandingkan dengan pelarut AHL dan AHG. Jumlah konsentrasi pelepasan unsur pada batuan beku diorit porfiri lebih tinggi dibanding batuan beku basalt porfiri dan trakit porfiri. Pelarut GHL dan GHG dapat melarutkan unsur dengan jumlah konsentrasi lebih besar pada batuan beku basalt porfiri yang berukuran 60 - <2000µm dibanding <60µm. Tetapi pada batuan diorit porfiri dan trakit porfiri menunjukkan hasil yang berlawanan. GHL dan GHG dapat meningkatkan pelepasan unsur hara dari batuan beku basalt porfiri > batuan beku diorit porfiri > batuan beku trakit porfiri. GHL dapat meningkatkan pelepasan unsur seng lebih tinggi dibanding pelarut lainnya. Tetapi GHG memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam meningkatkan jumlah konsentrasi pelepasan unsur hara dari batuan beku dibandingkan pelarut lainnya.

Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak semua pelepasan unsur dari batuan beku menunjukkan peningkatan dengan semakin kecilnya ukuran butir. Di mana unsur kalsium, magnesium besi dan seng lebih mudah larut pada batuan yang berukuran 60 - < 2000µm, dibanding batuan yang berukuran < 60 µm. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan total konsentrasi unsur yang terdapat di dalam batuan beku, jenis struktur silikat yang mengikat unsur hara tersebut, dan jumlah mikroporositas yang terdapat di dalam batuan beku. Oleh karena itu ukuran butir yang paling efektif digunakan untuk mempercepat pelepasan unsur dari batuan beku adalah ukuran butir < 1000µm, dengan berbagai variasi distribusi ukuran butir yang terdapat di dalamnya.

Hasil Analisis SEM, didapatkan data bahwa proses pelepasan unsur hara dari batuan beku terjadi pada bidang batas kristal, bidang belahan kristal dan permukaan kristal yang tidak rata. Bidang kontak antara dua ukuran butir kristal yang berbeda merupakan celah bagi pelarut untuk masuk ke dalam ruang antar butir kristal dan menghancurkan hubungan interlocking antar kristal dan melepaskan unsur hara dari struktur kristal. Sedangkan bidang belahan kristal merupakan bidang lemah yang dimiliki oleh suatu kristal dimana kristal mineral akan mudah hancur melalui bidang ini. Pemberian pelarut akan memudahkan pelarut untuk memasuki ruang antar bidang belah dan melepaskan unsur hara yang terikat dalam struktur kristal. Permukaan kristal yang tidak rata, akibat proses penghancuran dan pengamplasan akan mengakibatkan mikromorfologi permukaan batuan menjadi tidak sama (memiliki beda tinggi), ketidakseragaman permukaan ini akan menyebabkan mineral mudah mengalami pelarutan (pelepasan unsur hara) pada bagian permukaaannya.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

MENINGKATKAN PELEPASAN UNSUR HARA DARI

BATUAN BEKU DENGAN SENYAWA HUMAT

ASMITA AHMAD

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Agroteknologi Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Penelitian : Meningkatkan Pelepasan Unsur Hara dari Batuan Beku dengan Senyawa Humat.

Nama : Asmita Ahmad

NRP : A152080011

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua Dr Ir Iskandar

Dr Ir Basuki Sumawinata, M.Agr.

Anggota Anggota

Prof. Dr Ir Sudarsono, M.Sc.

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Agroteknologi Tanah

Dr Ir Suwardi, M.Agr. Prof. Dr Ir Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. atas rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian maupun penulisan

tesus ini tepat pada waktunya sesuai dengan harapan dan keinginan penulis.

Tesis yang berjudul “Meningkatkan Pelepasan Unsur Hara dari Batuan

Beku dengan Senyawa Humat” ini disusun sebagai salah satu syarat tugas akhir

dalam usaha mencapai gelar Magister Sains pada Program Studi Agroteknologi

Tanah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Iskandar selaku

pembimbing I yang senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk kepada

penulis dengan penuh kesabaran, Bapak Dr Ir Basuki Sumawinata, M.Agr. selaku

pembimbing ke II yang selalu memberikan arahan dan bimbingan yang bersifat

membangun, Bapak Prof. Dr Ir Sudarsono, M.Sc. selaku pembimbing III yang

selalu memberikan motivasi dan masukan kepada penulis, serta kepada semua

pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan hingga selesainya

penulisan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis

ini. Untuk itu segala keterbukaan kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan

demi kesempurnaan penelitian ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi

masyarakat, Amin.

Bogor, Januari 2011

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ujungpandang pada tanggal 16 Desember 1973 dari

Ayah Ahmad Sirua (Alm) dan ibu Nurhayati. Penulis merupakan putri kelima dari

tujuh bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknik Geologi,

Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1998. Selama

mengikuti perkuliahan penulis menjadi asisten pada beberapa mata kuliah mulai

tahun 1995 sampai tahun 1998. Bekerja pada LSM yayasan Lintang Makassar

sampai tahun 2004 dan menjadi staf pengajar pada Program Studi Ilmu Tanah,

(12)

xii

Faktor yang Memepengaruhi Kestabilan Mineral Silikat ... 5

Batuan ... 7

Pengaruh pH dan Komposisi Kimia Pelarut serta Ukuran Butir Batuan 27 Proses Pelepasan Unsur dari Batuan Beku ... 39

SIMPULAN ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(13)

xiii DAFTAR TABEL

Halaman

1 Energi pembentukan ikatan antar kation - oksigen ... 6

2 Fraksi senyawa humat ... 13

3 Karakteristik dan cadangan batuan beku di daerah penelitian ... 18

4 Komposisi senyawa kimia batuan beku basalt porfiri, diorit porfiri dan trakit porfiri dari hasil analisis X-Ray Flouresence ... 20

5 Persentase distribusi ukuran butir batuan 60 - < 2000 µm ... 21

6 Persentase kandungan unsur dalam contoh air hujan... 22

7 Hasil purifikasi bahan humat ... 23

8 Kandungan karbon, nitrogen dan belerang dari gambut dan lignit ... 23

9 Kandungan kemasaman senyawa humat gambut dan lignit ... 23

10 Pelepasan unsur hara dari batuan beku dengan pelarut air hujan setelah 5 kali inkubasi ... 29

11 Pelepasan unsur hara dari batuan beku dengan pelarut AHL setelah 5 kali inkubasi ... 30

12 Pelepasan unsur hara dari batuan beku dengan pelarut AHG setelah 5 kali inkubasi ... 31

13 Pelepasan unsur hara dari batuan beku dengan pelarut GHG setelah 5 kali inkubasi ... 33

14 Pelepasan unsur hara dari batuan beku dengan pelarut GHL setelah 5 kali inkubasi ... 34

(14)

xiv DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Proses coalification (pembatubaraan), merupakan proses perubahan

material gambut menjadi lignit dan batubara ... 12

3 Diagram alir penelitian... 26

4 Nilai rata – rata pH pada batuan beku basalt porfiri, diorit porfiri dan trakit porfiri dengan berbagai pelarut setelah 5 kali inkubasi ... 27

DAFTAR FOTO Halaman 1 Kenampakan lapangan batuan beku basalt porfiri ... 19

2 Kenampakan lapangan batuan beku diorit porfiri ... 19

3 Kenampakan lapangan batuan beku trakit porfiri ... 19

4 Kenampakan batuan yang telah digiling dan dipotong ... 21

5 Kenampakan hasil SEM mineral yang memperlihatkan zona hancuran pada bidang kontak mineral ... 41

6 Kenampakan hasil SEM mineral feldspar ... 42

(15)

xv DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Total kemasaman ... 57

2 Gugus karboksilat ... 57

3 Data pH selama 5 kali masa inkubasi ... 58

4 Data kandungan unsur kalium (K) ... 64

5 Data kandungan unsur natrium (Na) ... 67

6 Data kandungan unsur kalsium (Ca) ... 69

7 Data kandungan unsur magnesium (Mg) ... 72

8 Data kandungan unsur besi (Fe)... 75

9 Data kandungan unsur mangan (Mn) ... 78

10 Data kandungan unsur tembaga (Cu) ... 81

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pelapukan kimia batuan dan mineral sangat penting peranannya dalam

bidang pertanian, utamanya sebagai sumber hara makro dan mikro di dalam tanah.

Faktor iklim dan pengelolaan/penggunaan lahan yang berlangsung secara kontinu,

menyebabkan hara–hara yang terdapat di dalam tanah menjadi menurun bahkan

terjadi defisiensi oleh proses pencucian. Tanah–tanah yang terbentuk dari hasil

pelapukan batuan dan mineral yang kaya akan unsur hara berubah menjadi tanah

yang miskin hara dan bersifat masam. Penambahan bahan organik merupakan

salah satu cara untuk mengurangi tingginya proses pencucian hara tanah.

Sedangkan kekurangan hara tanah dapat dilakukan dengan penambahan pupuk

kimia. Tetapi kebutuhan akan pupuk semakin lama semakin meningkat, hal ini

diikuti dengan semakin tingginya kenaikan harga pupuk di pasaran. Bukan hanya

mahalnya harga pupuk, tetapi terjadi kelangkaan persediaan pupuk dipasaran.

Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan penemuan bahan pupuk yang baru dan

peningkatan efektivitas bahan pupuk yang sudah ada. Salah satu alternatif bahan

pupuk yang memerlukan peningkatan efektivitas dalam pemanfaatannya, adalah

pupuk yang berasal dari tepung batuan. Konsentrasi unsur hara makro dan mikro

yang terdapat dalam tepung batuan sangatlah besar, tetapi proses pelepasan unsur

hara yang lambat dari batuan menyebabkan tepung batuan tidak dapat

dimanfaatkan untuk tanaman jangka pendek. Oleh karena itu inovasi baru dalam

meningkatkan pelepasan unsur hara dari batuan beku sangatlah diperlukan.

Pupuk dari batuan beku dikenal dengan nama rock dust (Bolland dan Baker 2000; Conventry et al. 2001), rock fertilizer (Fyfe et al. 1983; Leonardos et al. 1987; van Straaten 2002), Petro fertilizer (Leonardos et al. 2000). Beberapa peneliti telah menggunakan berbagai cara untuk meningkatkan pelepasan unsur

hara dari batuan beku. Proses peningkatan pelepasan unsur hara dari batuan beku

paling banyak dilakukan adalah dengan cara modifikasi fisik dan modifikasi

kimia. Modifikasi fisik dilakukan dengan menciptakan berbagai variasi ukuran

batuan. Proses ini belum memberikan hasil yang maksimal untuk semua jenis

(17)

2 fisik pada batuan basal, terbukti meningkatkan hara tanah (Goldich 1938; Harley

dan Gilkes 2000; Gilman et al. 2001), sedangkan pada batuan beku granit tidak memberikan efek yang positif (Bakken et al. 2000; Bolland dan Baker 2000). Modifikasi kimia umumnya dilakukan dengan menggunakan: pengasaman

(Weerasuriya et al. 1993), variasi pH (Nagy 1995), karbon dioksida (CO2) dan asam sulfat (H2SO4

Penelitian tentang pemanfaatan asam organik utamanya asam organik yang

telah terhumifikasi (senyawa humat), dalam bidang pertanian memberikan hasil

yang positif dalam hal: meningkatkan serapan akar dan ketersediaan unsur hara

dalam tanah (Nikbakht et al. 2008), meningkatkan kapasitas tukar kation di tanah (Demirbas et al. 2006), tingginya muatan negatif senyawa humat menyebabkan asam humat bersifat pseudo penukaran ion (Setiawan 2008), meningkatkan kelarutan unsur – unsur logam dan berperan aktif dalam proses pelapukan mineral

tanah (Stevenson 1985), disosiasi pada gugus asam humat meningkatkan muatan

negatif dan pengkelatan (Tan 1978), tingginya pengkelatan meningkatkan aliran

massa unsur hara mikro ke akar tanaman (Lindsay 1974). Asam humat dapat

melepaskan kation logam dari beberapa mineral silikat (Schnitzer dan Kodama

1977). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kandungan gugus fungsional

senyawa humat dan proses disosiasi pada gugus fungsionalnya akan

meningkatkan muatan negatif senyawa humat, sehingga dapat berperan aktif

dalam pengkelatan kation (Harley dan Gilkes 2000).

) (Lerman dan Wu 2006). Proses modifikasi fisik dan kimia

yang telah dilakukan tidak memberikan hasil yang maksimal untuk semua jenis

batuan.

Efektivitas senyawa humat dalam meningkatkan pengkelatan unsur dari

mineral di dalam tanah adalah hal yang sangat menarik dipelajari, utamanya jika

dihubungkan dengan sifat kimia gugus fungsionalnya. Senyawa humat dapat

dijadikan agen dalam meningkatkan pelepasan unsur hara dari mineral silikat

(18)

3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mempelajari kemampuan senyawa humat dalam meningkatkan pelepasan

unsur hara dari batuan beku.

2. Mempelajari cara meningkatkan intensitas pelepasan unsur hara dari batuan

beku.

Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini :

1. Senyawa humat dan modifikasi fisik batuan nyata dalam meningkatkan

pelepasan unsur hara dari batuan beku.

2. Ukuran butir batuan menentukan tingkat pelepasan unsur hara dari batuan

(19)

TINJAUAN PUSTAKA Mineral Silikat

Silika merupakan penyusun utama kerak bumi (Holmes 1964). Kombinasi

silika dengan unsur yang lain membentuk mineral golongan silikat. Mineral

golongan silikat dikelompokkan berdasarkan perbandingan unsur silikon dan

oksigen. Mineral silikat terbagi dua jenis, yaitu mineral silikat primer dan mineral

silikat sekunder (Loughnan 1969). Mineral silikat primer adalah mineral silikat

yang terbentuk dari hasil pembekuan magma, contohnya grup mineral piroksin,

sedangkan mineral silikat sekunder terbentuk dari hasil pelapukan batuan atau dari

hasil ubahan mineral primer, contohnya grup mineral liat (clay)

Menurut Loughnan (1969), dalam struktur silikat, oksigen merupakan

anion yang paling penting. Ikatan antara kation dan oksigen meningkat sesuai

dengan jarak (radius) kation – oksigen, semakin kecil jarak radius kation dan

oksigen maka ikatan mineralnya akan semakin kuat.

Faktor yang Mempengaruhi Kestabilan Mineral Silikat

Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi kestabilan mineral silikat,

baik secara kimia dan fisik terhadap proses degradasi, yaitu :

1. Stabilitas mineral silikat ditentukan oleh kekuatan, panjang dan arah ikatan

yang terbentuk antara unsur penyusunnya (Hibbard 2002). Mineral silikat di

dominasi oleh ikatan ionik dan kovalen. Ikatan ionik dan kovalen membentuk

struktur yang kuat dan titik lebur yang tinggi (Tan 1982).

2. Kestabilan ikatan kation – oksigen dalam mineral silikat ditentukan oleh

energi pembentukannya. Semakin besar energinya semakin tinggi

kestabilannya. Pembentukan ikatan Si – O, membutuhkan energi yang besar,

sekitar 3110 sampai 3142 kg cal/mol (Tabel 1). Ikatan Al – O membutuhkan

energi pembentukan sebesar 1793 – 1878 kg cal/mol. Ikatan antara ion logam

dan oksigen membutuhkan energi pembentukan sebesar 299 – 919 kg

(20)

6 Tabel 1 Energi pembentukan ikatan antar kation – oksigen

Kation Energi pembentukan (kg cal/mol)

Si4+ (nesosilikat) 3142

Si4+ (Inosilikat, rantai tunggal) 3131 Si4+ (Inosilikat, rantai ganda) 3127

Si4+ (Phyllosilikat) 3123

Si4+ (Tektosilikat) 3110

Al3+ (Struktur rangka) 1878

Al3+ (Tidak memliki struktur rangka) 1793

Fe3+ 919

Besarnya energi pembentukan sama dengan besarnya energi peleburan,

tetapi untuk mineral kuarsa memiliki pengecualian. Hal ini dikarenakan

antara kation dan oksigen memiliki konfigurasi yang stabil, jumlah muatan

negatif dan positifnya seimbang, sehingga tidak membutuhkan kation lain

untuk menyeimbangkannya.

3. Perbandingan banyaknya ikatan antara unsur silikon (Si) dan oksigen (O)

akan mempengaruhi struktur silikat yang terbentuk. Semakin besar

perbandingan antara unsur Si dan O, maka mineral silikat akan memiliki

struktur yang lebih kuat. Stabilitas struktur tektosilikat (Si : O = 1 : 2) >

struktur filosilikat (Si : O = 2 : 5) > struktur inosilikat (Si : O = 1 : 3) >

struktur nesosilikat (Si : O = 1 : 4). Adanya kandungan ion hidroksida di

dalam struktur silikat juga mempengaruhi stabilitas mineral silikat. Mineral

silikat yang mengandung ion hidroksida memiliki stabilitas yang lebih rendah

dibanding mineral yang tidak mengandung ion hidroksida.

4. Stabilitas mineral juga ditentukan oleh ukuran dan bentuk kristalnya (Tan

1994). Bentuk kristal yang pipih cenderung lebih stabil dibanding yang

prismatik. Mineral yang berukuran besar cenderung lebih stabil dibanding

mineral yang kecil. Semakin kecil ukurannya semakin mudah terdegradasi.

Ukuran butir kristal yang kecil akan menambah luas permukaan spesifik

kristal. Hal ini menyebabkan timbulnya reaksi dengan lingkungan, sehingga

(21)

7 lebih intensif dan kristal akan lebih mudah mengalami pelarutan (Lim et al. 2003). Batuan dengan komposisi mineral yang sama, dengan pengecilan

ukuran batuan yang berbeda, akan menghasilkan kecepatan pelarutan yang

berbeda (Wang et al. 2000). Ukuran butir yang lebih kecil memiliki kecepatan pelarutan yang lebih tinggi dibanding yang berukuran lebih besar

(Shivay et al. 2009).

Batuan

Batuan yang terdapat di permukaan bumi sangat bervariasi jenis dan

keterdapatannya. Batuan beku merupakan penyusun utama kerak bumi, tetapi

batuan sedimen merupakan menyusun permukaan bumi yang paling luas

penyebarannya secara horisontal. Penyebaran batuan metamorf tidak seluas

batuan beku dan sedimen. Hal ini disebabkan karena batuan ini terbentuk jauh di

bawah permukaan bumi dan hanya berhubungan dengan proses tektovulkanisme.

Batuan terbentuk dalam berbagai kondisi pembentukan. Lingkungan

pembentukan batuan dipengaruhi oleh pH, komposisi magma asal (batuan beku),

komposisi batuan asal (sedimen dan metamorf), temperatur pembentukan, proses

dekomposisi (rekristalisasi, lithifikasi), tekanan, dan waktu. Pembentukan dan

keterdapatannya di permukaan bumi memerlukan berbagai proses geologi. Batuan

beku memerlukan proses tektovulkanisme, batuan sedimen proses sedimentasi

dan tektonik, batuan metamorf proses pembebanan dan tektonik. Tekstur dan

komposisi mineral batuan beku pada suatu daerah, dapat sama dan dapat berbeda,

tergantung dari temperatur, larutan kimia (fluida), konsentrasi, komposisi host

rock dan waktu pembentukannya (Browne 1991, diacu dalam Corbett dan Leach 1996).

Batuan beku

Batuan beku (igneous rocks) adalah batuan yang terbentuk dari hasil pembekuan magma pada temperatur 600°C - 1500°C. Menurut Travis (1955),

berdasarkan sifat kimia dan komposisi mineralnya, batuan beku dibagi atas :

1. Batuan beku ultra basa; dengan kandungan mineral: olivin dan Ca-plagioklas.

(22)

8 2. Batuan beku basa; dengan kandungan mineral: Ca-Plagioklas, piroksin.

Memberikan warna yang gelap. Contoh batuannya: gabro dan basal

3. Batuan beku intermediat; dengan kandungan mineral: biotit, Ca - Na

plagioklas, hornblende/amphibol. Contoh batuannya diorit dan andesit

4. Batuan beku masam; dengan kandungan mineral: kuarsa, K – feldspar.

Memberikan warna yang terang. Contoh batuannya: granit dan riolit.

Berdasarkan tempat terbentuknya batuan beku dibagi atas :

1. Batuan beku luar/ekstrusif/eruptif (vulcanic rocks), memiliki tekstur holohialin

2. Batuan beku korok/gang (hypabysal rocks), memiliki tekstur hipokristalin 3. Batuan beku dalam/intrusif (plutonic rocks), memiliki tekstur holokristalin

Tingkat pelapukan batuan beku dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan

pembentukan dengan iklim (suhu) keterdapatannya. Semakin berbeda lingkungan

pembentukannya dengan lingkungan sekarang, akan semakin mudah melapuk.

Batuan beku yang bersifat basa lebih mudah melapuk dibandingkan dengan

batuan beku yang bersifat masam. Batuan beku yang bertekstur holohialin lebih

mudah melapuk dibanding yang bersifat hipokristalin ataupun holokristalin.

Batuan Beku Basalt Porfiri

Batuan beku basalt porfiri adalah batuan beku yang bersifat basa dan

terbentuk pada zona hipabisal (gang/korok). Porfiri menunjukkan tekstur

hipokristalin, dimana terdapat kristal sulung (Phenocryst) di dalam massa dasar gelas/kristal. Tekstur ini menunjukkan adanya dua tahap pembekuan magma,

yaitu tahap pembentukan fenokris dan tahap pembentukan massa dasar (Rogers

dan Adams 1966).

Komposisi kimia batuan beku basalt porfiri terdiri dari: SiO2 < 45%, mineral utama Ca-Plagioklas > Na-Plagioklas, mineral kuarsa dan felsdpatoid

< 10% atau bahkan tidak ada, dengan mineral tambahan yang khas Piroksin dan

Olivin, juga terdapat tambahan mineral dalam jumlah yang kecil, yaitu;

Hornblende, Biotit, Aegerin dan Amphibol (Travis 1955). Komposisi mineral

Plagioklas terdiri dari Anorthit, Bytownit dan Labradorit, dengan presentasi

(23)

9 Berdasarkan komposisi kimianya batuan basaltik dibagi menjadi tiga grup

(Kushiro dan Kuno 1963), yaitu; grup pertama mengandung silika (SiO2) yang tinggi tanpa memiliki kandungan senyawa Mg2SiO4 dan Fe2SiO4. Grup ini terbentuk pada kedalaman yang dangkal dari mantel bumi. Grup kedua, tidak

mengandung kadar silika yang berlebih dan tidak mengalami kekurangan kadar

silika serta mengandung senyawa; Mg2SiO3, FeSiO3, Mg2SiO4, dan Fe2SiO4. Grup ini terbentuk pada kedalaman yang intermediat dari mantel bumi. Grup

ketiga, mengalami kekurangan kadar silika dan tidak mengandung senyawa

MgSiO3 and FeSiO3

Batuan beku basalt porfiri yang terdapat di Kecamatan Camba Kabupaten

Maros Propinsi Sulawesi Selatan memperlihatkan warna hitam hingga hitam

kehijauan, bertektstur porfiritik dengan kandungan mineral Piroksin sebagai

fenokris yang berukuran ≥ 1 cm (Sukamto 1982).

. Grup ini terbentuk pada kedalaman yang besar/jauh dari

mantel bumi.

Batuan Beku Diorit Porfiri

Batuan beku diorit porfiri, merupakan batuan beku yang bersifat

intermediat, terbentuk pada zona hipabisal (gang/korok) dan bertekstur porfiritik.

Batuan ini memiliki kandungan silika (SiO2

Batuan beku diorit porfiri yang terdapat di Kecamatan Camba Kabupaten

Maros Propinsi Sulawesi Selatan memperlihatkan warna kelabu muda hingga

kelabu, bertektstur porfiritik dengan kandungan mineral Amphibol sebagai

fenokris (Sukamto 1982).

) 45 – 66% dengan kandungan

mineral utama; Na-Plagioklas > Ca-Plagioklas, mineral kuarsa dan feldspatoid

< 10%, dengan mineral tambahan utama; Hornblende, Biotit dan Piroksin (Travis

1955). Kandungan mineral Plagioklasnya didominasi oleh Andesin dan Oligoklas

(Raymond 1995).

Batuan Beku Trakit Porfiri

Batuan beku trakit porfiri merupakan batuan beku yang bersifat masam,

terbentuk pada zona hipabisal (gang/korok) dan bertekstur porfiritik. Batuan ini

(24)

K-10 Feldspar > 2/3 seluruh feldspar, Kuarsa dan Feldspatoid < 10%, dengan mineral

tambahan utama; Hornblende, Biotit, Piroksin dan muskovit. Mineral tambahan

dalam jumlah yang kecil berupa; Amphibol, Aegerin dan Turmalin (Travis 1955).

Kandungan mineral Plagioklas didominasi oleh Oligoklas dan Albit (Raymond

1995).

Batuan beku trakit porfiri yang terdapat di Kecamatan Bungoro Kabupaten

Pangkep Propinsi Sulawesi Selatan memperlihatkan warna putih keabuan hingga

kelabu muda, bertektstur porfiritik dengan kandungan mineral K-Feldspar dan

Biotit sebagai fenokris. Ukuran fenokris mineral K-feldspar mencapai panjang

hingga 3 cm (Sukamto 1982).

Gambut

Istilah gambut pertama kali digunakan oleh suku Banjar dari Kalimantan

Selatan. Gambut merupakan akumulasi bahan organik yang terbentuk secara

alami, mengalami beberapa tahap dekomposisi dan berwarna coklat hingga

kehitaman (Stanley 2007). Dalam bahasa Inggris gambut memiliki padanan arti

dengan kata peat dan muck (Notohadiprawiro 2006). Peat memiliki arti sebagai penimbunan bahan organik dalam keadaan basah berlebih, bersifat tidak mampat

(unconsolidated) dan sedikit atau belum mengalami dekomposisi. Sedangkan muck adalah penimbunan bahan organik yang telah terdekomposisi, sehingga bahan asalnya sudah tidak dikenali, bersifat tidak mampat (unconsolidated), mengandung banyak bahan mineral dan berwarna lebih hitam dibandingkan peat.

Proses dekomposisi/humifikasi gambut berhubungan linear dengan bahan

pembentuknya. Bahan gambut dari kayu-kayuan mengandung lebih banyak lignin

dibanding selulosa dan hemiselulosa, sehingga lebih tahan terhadap dekomposisi.

Bahan gambut ini banyak menyusun gambut tropika yang ada di Indonesia

(Wershaw et al. 1996).

Menurut Barchia (2002), bahan gambut lignin banyak mengandung asam

humat dengan senyawa aromatik lebih tinggi dibanding senyawa alifatiknya.

Jumlah humus yang dapat terekstraksi dari bahan gambut akan meningkat bila

proses dekomposisi bahan gambut terus berlanjut. Demikian juga dengan jumlah

(25)

11 tingginya proses dekomposisi. Kedua gugus tersebut merupakan gugus yang

sangat penting untuk mengikat logam. Berdasarkan tingkat dekomposisinya,

bahan gambut diklasifikasikan ke dalam 3 jenis (Soil Survey Staff 1990) , yaitu :

1. Gambut fibrik: gambut jenis ini memiliki kandungan serat setelah peremasan

adalah tiga perempat bagian atau lebih dari volume tanah, tidak termasuk

fragmen kasar dan lapisan mineral.

2. Gambut hemik: gambut jenis ini memiliki sifat antara gambut fibrik yang

kurang terdekomposisi dan gambut saprik yang lebih terdekomposisi.

3. Gambut saprik: gambut jenis ini memiliki kandungan serat setelah peremasan

adalah kurang dari seperenam bagian dari volume tanah, tidak termasuk

fragmen kasar dan lapisan mineral.

Lignit

Lignit dikenal dengan nama batubara muda, batubara coklat (brown coal) dan leonardite (Karr 2001). Lignit terbentuk dari proses akumulasi bahan organik dalam jumlah yang berlebih, tergenang, mengalami dekomposisi dan

pengompakan (consolidated) (Lawson dan Stewart 1989). Proses perubahan material organik menjadi lignit terjadi melalui dua fase pembentukan. Fase

pertama adalah proses akumulasi bahan organik dalam lingkungan yang

tergenang. Kemudian oleh aktivitas mikroba, akumulasi bahan organik mengalami

proses dekomposisi (humifikasi). Dekomposisi bahan organik ini merupakan

proses pembentukan bahan gambut. Pada fase kedua, bahan gambut yang telah

terbentuk mengalami proses penimbunan oleh material sedimen (sedimentasi),

sehingga bahan gambut mengalami pemanasan hingga mencapai suhu ≥200 oC. Proses pematangan bahan gambut menjadi batubara membutuhkan waktu 2 x 106 sampai 250 x 106

1. Batubara antrasit, merupakan batubara yang tingkat kematangannya paling

tinggi dan nilai kalorinya berada > 7100 kal/gram.

tahun (Gambar 1). Dari proses pematangan tersebut batubara

diklasifikasikan menjadi 4 tingkatan (Sembiring 2006), yaitu :

2. Batubara bituminous, memiliki nilai kalori 6100 – 7100 kal/gram.

(26)

12 4. Batubara lignit, merupakan batubara yang tingkat kematangannya paling

rendah dan memiliki nilai kalori < 5100 kal/gram.

Gambar 1 Proses coalification (pembatubaraan), merupakan proses perubahan material gambut menjadi lignit dan batubara. (sumber

Susilawati 2008).

Senyawa Humat

Humus adalah campuran antara senyawa non humat dan senyawa humat

(Tan 2003). Senyawa non humat adalah senyawa yang dikenal dalam biokimia

seperti asam amino, karbohidrat, lemak, lilin, resin dan asam organik yang belum

terhumuskan. Senyawa humat adalah senyawa berbobot molekul (BM) tinggi

(asam organik yang telah terhumuskan), berwarna coklat – hitam yang merupakan

hasil reaksi sintesa sekunder. Menurut Tan (1982), senyawa humat mengandung

asam humat, asam fulvat, humin, dan asam himatomelanat, yang dapat diekstrak

dengan cara berbeda (Tabel 2). Asam humat dan fulvat merupakan senyawa

utama dalam bahan organik tanah, karena konsentrasinya di dalam tanah paling

(27)

13 Tabel 2 Fraksi senyawa humat

Fraksi Alkali Asam Alkohol

Asam Fulvat Larut Larut -

Asam Humat Larut Tidak Larut Tidak Larut

Himatomelanat Larut Tidak Larut Larut

Humin Tidak larut Tidak larut Tidak larut

Senyawa humat tidak hanya terdapat di dalam tanah, tetapi juga terdapat di

dalam batuan, endapan sedimen sungai, laut, dan danau. Berdasarkan hal tersebut

senyawa humat diklasifikasikan ke dalam 5 tipe (Tan 2003), yaitu :

1. Senyawa humat yang berasal dari Terrestrial atau tanah, dibedakan berdasarkan asal dari bahan organiknya; kayu daun jarum (softwood), kayu daun lebar (hardwood), rumput dan bambu.

2. Senyawa humat dari aquatic, merupakan senyawa humat yang berasal dari endapan sungai, laut dan danau, yang materialnya dapat berasal dari luar

maupun dalam cekungan. Jika bahannya berasal dari luar cekungan, maka

komposisi senyawa humatnya mirip dengan terrestrial. 3. Senyawa humat dari gambut atau endapan rawa.

4. Senyawa humat dari endapan geologi, berupa batubara dan serpih (shale) 5. Senyawa humat dari Anthropogenic; senyawa humat yang berasal dari aktivitas

pertanian, industri, ternak, unggas dan sisa pembuangan (sampah).

Menurut Lobartini et al. (1992), perbedaan tipe tersebut mempengaruhi jumlah gugus fungsional dan total kemasaman yang terbentuk. Menurut Tan

(2003), komposisi kimia senyawa humat dari tipe di atas berbeda – beda,

dipengaruhi oleh bahan asal dan iklimnya. Perbedaan tingkat dekomposisi bahan

organik akan mempengaruhi sifat, fungsi dan kandungan senyawa humat yang

terbentuk (Gambar 2). Dekomposisi bahan organik yang rendah berbanding lurus

dengan kandungan senyawa humatnya. Dekomposisi bahan organik yang sangat

tinggi akan menurunkan kandungan gugus fungsional dari senyawa humat.

(28)

14 Purifikasi garam humat akan menghasilkan senyawa humat dalam bentuk

asam humat. Asam humat mempengaruhi tingkat pelepasan hara dari mineral

tanah. Asam humat dapat memperbesar konsentrasi pelepasan hara kalium yang

terfiksasi oleh mineral illit dan montmorillonit (Tan 1978). Senyawa humat yang

tidak difraksionasi lebih efektif dibandingkan dengan senyawa humat yang

difraksionasi, utamanya dalam mencegah pemecahan hormon indoleacetic acid (IAA) tanaman (Mato et al. 1971, 1972) dan meningkatkan serapan air (Piccolo et al. 1993).

Asam humat dari lignit bersifat lebih hydrophobic, mengalami kondensasi yang tinggi sehingga jumlah gugus rantai dan gugus fungsionalnya lebih sedikit

dibandingkan asam humat dari gambut, kandungan hidrogen, oksigen dan

nitrogen rendah (Francioso et al. 2003), serta C/N rationya lebih tinggi dibanding asam humat gambut. Hal ini menunjukkan tingkat pembatubaraan yang cukup

tinggi (Zavodska dan Lesny 2006). Kandungan alifatik lignit lebih tinggi

dibanding gambut (Francioso et al. 2003). Asam humat gambut bersifat lebih hidrophillic, tingkat dekomposisi lebih rendah dibanding lignit, dan masih mengandung bahan organik yang belum terdekomposisi dalam jumlah yang kecil,

seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, lilin dan resin. Jumlah gugus karboksil lebih

tinggi dibanding gugus hidroksilnya. Gugus karboksil gambut lebih tinggi

dibanding gugus karboksil lignit tetapi gugus hidroksilnya lebih kecil dibanding

gugus hidroksil yang terdapat di lignit (Lawson dan Stewart 1989; Stefanova et al. 1993).

Disosiasi gugus pada asam humat terjadi pada gugus karboksilnya,

sehingga asam humat memiliki kemampuan untuk mengabsorpsi logam.

Efektivitas penggunaan asam humat lignit dan gambut terbukti meningkatkan

serapan hara fosfor (P), besi (Fe) dan nitrogen (N) (Adani et al. 1998).

Garam Humat Gambut dan Garam Humat Lignit

Garam humat gambut dan garam humat lignit adalah hasil ekstraksi bahan

organik dengan senyawa alkali. Garam humat dengan kandungan kation logam

monovalent bersifat mudah larut dalam air, tetapi tidak akan larut dalam air jika

(29)

15 yang berbeda untuk setiap perbedaan pH larutan (Demirbas et al. 2006). Garam humat, utamanya dalam bentuk natrium humat memiliki daya adsorpsi yang tinggi

(Yi dan Zhang 2008). Disosiasi gugus fenolat pada garam humat menyebabkan

tingginya daya adsorpsi garam humat (Alimin et al. 2005).

Efektivitas penggunaan garam humat lignit dapat meningkatkan serapan

hara phosfor (P), kalium (K) dan besi (Fe) (Lee dan Bartlett 1976; Reynolds et al.

1995; Adani et al. 1998). Pemberian senyawa humat dalam bentuk ikatan kation logam–humat, dapat mengurangi defisiensi hara tanah (Ozkutlu et al. 2006)

(30)

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Kegiatan penelitian dilaksanakan di beberapa tempat. Untuk analisis batuan dengan alat X-Ray Flouresence (XRF) dilaksanakan di laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung. Analisis Mikromorfologi permukaan batuan dengan Scanning Electron Microscope (SEM) dilaksanakan di Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor. Freeze Dry dilaksanakan di laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) dan di laboratorium terpadu Fakultas Pertanian IPB. Untuk pengukuran unsur hara dilaksanakan di laboratorium Balai Penelitian Tanah Bogor. Kegiatan lainnya dilaksanakan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai dengan Juni 2010.

Bahan dan Alat Penelitian

Contoh batuan yang digunakan dalam penelitian ini, berasal dari Propinsi Sulawesi Selatan. Batuan Trakit Porfiri berasal dari Desa Mangilu, Kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkep, Diorit Porfiri dari Desa Mariopulana, Kecamatan Camba, Kabupaten Maros dan Basalt Porfiri dari Desa Kappang, Kecamatan Camba, Kabupaten Maros. Senyawa humat diekstrak dari gambut yang berasal dari Taman Nasional Berbak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Propinsi Jambi dan lignit berasal dari Kecamatan Tarakan Tengah, Kota Tarakan, Propinsi Kalimantan Timur. Contoh Air hujan berasal dari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.

Metodologi Umum

(31)

18 perubahan fisik batuan (mikromorfologi batuan) akibat proses pelepasan unsur digunakan batuan yang berukuran (1 x 1 x 0,3)cm3.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu :

I. Tahap persiapan dan analisis

Pada tahap ini dilakukan persiapan dan analisis terhadap bahan yang akan digunakan dalam penelitian, meliputi :

1. Persiapan dan analisis contoh batuan :

 Karakterisasi batuan beku, meliputi pengamatan sifat makroskopis batuan beku, jumlah cadangan batuan di daerah penelitian (Tabel 3) dan kenampakan fisik batuan beku di lapangan (Foto 1, 2 dan 3).

Tabel 3 Karakteristik dan cadangan batuan beku di daerah penelitian

Makroskopis Batuan Beku

Basalt Diorit Trakit

Struktur Massive (pejal) Massive (pejal) Massive (pejal)

(32)

19 Foto 1 Kenampakan lapangan batuan beku basalt (A). Kenampakan

makroskopis (B) yang memperlihatkan kenampakan mineral piroksin sebagai fenokris (p), massa dasar (md), plagioklas (pl), dan olivin (o).

Foto 2 Kenampakan lapangan batuan diorit (A) dan kenampakan makroskopis (B), dengan komposisi mineralnya: plagioklas (pl), olivin (o), piroksin (p) dengan fenokris mineral hornblende (h) dan massa dasar (md).

(33)

20  Analisis kandungan mineral (senyawa dan unsur) batuan dilakukan dengan alat XRF. Analisis ini digunakan untuk mengetahui persentase kandungan senyawa (Tabel 4) yang terdapat di dalam batuan dan hasilnya dijadikan parameter untuk mengukur besarnya konsentrasi pelepasan unsur hara dari batuan beku.

Tabel 4 Komposisi senyawa kimia batuan beku basalt porfiri, diorit porfiri dan trakit porfiri dari hasil analisis X-Ray Flouresence

Senyawa Basalt Porfiri

(% bobot)

ZnO 0,0082 (0,0066) 0,0072 (0,0058) 0,0055 (0,0044)

Ket : (…) % bobot unsur

(34)

21 Foto 4 Kenampakan batuan yang telah digiling dan dipotong. A. ukuran

60 - < 2000 µm dan ukuran < 60 µm. B. ukuran (1 x 1 x 0,3) cm3.

 Pengamatan SEM pada contoh ukuran (1 x 1 x 0,3)cm3

 Analisis grain size pada batuan yang berukuran 60 - <200µm untuk mengetahui persentase distribusi ukuran butir batuan yang terdapat di dalamnya (Tabel 5).

dari batuan beku untuk melihat mikromorfologi batuan sebelum batuan diinkubasi. Hal ini menjadi parameter untuk mengetahui proses pelepasan unsur hara dari batuan beku setelah batuan diinkubasi.

Tabel 5 Persentase distribusi ukuran butir batuan 60 - <2000µm

Ukuran Trakit Diorit Basal

(mikron) (%)

<2000 - >1000 3,60 0,50 3,00 <1000 - >500 23,30 10,80 22,40

<500 - >200 45,60 41,00 41,20 <200 - >125 13,50 21,20 15,90 <125 - >60 12,80 25,10 16,70

2. Analisis contoh air hujan

Analisis unsur–unsur yang terdapat di dalam contoh air hujan dengan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). Hasil analisis air hujan disajikan dalam Tabel 6.

(35)

22 Tabel 6 Persentase kandungan unsur dalam contoh air hujan

Unsur Konsentrasi (mg/L)

K 0,25

3. Persiapan dan analisis senyawa humat

 Bahan humat gambut dan lignit diekstrak dengan larutan 0,1 N NaOH dengan perbandingan bobot contoh: NaOH = 1 : 5 (Tan, 2003). Masing – masing contoh dibuat dengan perbandingan 800g : 4000ml NaOH dikocok hingga 3 jam dengan kecepatan 175 rpm. Untuk memisahkan bahan yang larut dan yang tidak larut dilakukan sentrifuse I dengan 2500 rpm selama 15 menit dan sentrifuse II dengan 1500 rpm selama 10 menit (untuk memastikan bahwa larutan dan bahan yang tidak terlarut benar – benar telah memisah).

(36)

23 Tabel 7 Hasil purifikasi bahan humat

Bahan Humat Hasil ekstraksi dengan NaOH (ml)

Bobot kering purifikasi (g)

Asam Humat Lignit 1000 4,74

Asam Humat Gambut 1100 5,57

 Karakterisasi senyawa humat dilakukan dengan : CHNS Elemental Analyzer (Tabel 8) dan analisis kemasaman total dengan cara mengekstrak 50 mg senyawa humat dengan 0,2N Ba(OH)2 sebanyak 20 ml, dikocok dan

titrasi dengan 0,5N HCl hingga pH larutan mencapai 8,4 (Lampiran 1). Analisis gugus karboksilat dengan cara mengekstrak 50 mg senyawa humat dengan 1N Ca(CH3COO)2

Tabel 8 Kandungan karbon, nitrogen dan belerang dari gambut dan lignit sebanyak 10 ml ditambahkan 40 ml aquades, dikocok dan titrasi dengan 0,1N NaOH hingga pH larutan mencapai 9,8 (Lampiran 2). Gugus fenolat didapatkan dengan mengurangkan hasil total kemasaman dengan gugus karboksilat (Tabel 9).

Sampel % C % N % S

Asam Humat gambut 50,97 1,97 0,26 Asam Humat lignit 52,12 1,48 0,22 Garam humat gambut 38,82 1,61 0,25 Garam humat lignit 35,30 1,18 0,17

Tabel 9 Kandungan kemasaman senyawa humat gambut dan lignit Senyawa Humat Total Kemasaman

(37)

24

II. Tahap inkubasi, pengukuran dan analisis data

Pada tahap ini dilakukan inkubasi batuan dengan senyawa humat dan air hujan, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran dan analisis data. Tahapannya meliputi :

1. Inkubasi : Tepung batuan ukuran 60 - <2000µm dan <60µm dari batuan Basalt porfiri, Diorit porfiri dan Trakit porfiri, masing – masing direndam dalam senyawa humat dengan konsentrasi 500 ppm (500 mg senyawa humat dalam 1 liter aquades) dari AHL, AHG, GHL, GHG dan air hujan, dengan dua kali ulangan. Perbandingan tepung batuan dan larutan = 1 : 3 (batuan 20 g : larutan 60 ml). Untuk mendapatkan keadaan setara antara masing-masing pelarut senyawa humat dalam melepaskan unsur hara, maka kadar karbon masing – masing larutan pengesktrak disamakan. AHG memiliki konsentrasi 500 ppm dalam 61,35 ml larutan, AHL memiliki konsentrasi 500 ppm dalam 60,00 ml larutan, GHG memiliki konsentrasi 500 ppm dalam 80,56 ml larutan, dan GHL memiliki konsentrasi 500 ppm dalam 88,59 ml larutan. Sebelum diinkubasi, batuan dan pelarut dikocok horisontal selama 2 jam dengan kecepatan 175 rpm, kemudian dipindahkan ke inkubator bergoyang (shaker) dengan kecepatan 80 rpm selama tujuh hari.

2. Setiap interval waktu 7 hari, larutan dipisahkan dari tepung batuan dengan kertas saring, dan digantikan dengan larutan yang baru. Kemudian di kocok kembali selama 2 jam dengan kecepatan 175 rpm dan dipindahkan ke inkubator bergoyang dengan kecepatan 80 rpm. Hal ini dilakukan terus sampai didapatkan data pelepasan unsur hara yang substansial.

3. Larutan yang telah dipisahkan kemudian diukur pH (Lampiran 3) dan dianalisis kandungan haranya dengan Flamephotometer untuk unsur K dan Na (Lampiran 4 dan 5) dan AAS untuk unsur Ca (Lampiran 6), unsur Mg (Lampiran 7), unsur Fe (Lampiran 8), unsur Mn (Lampiran 9), unsur Cu (Lampiran 10) dan unsur Zn (Lampiran 11).

(38)

25

III. Tahap analisis data

Pada tahap ini dilakukan analisis data dari hasil yang didapatkan pada tahap pertama dan kedua, meliputi :

1. Perhitungan jumlah dan persentase pelepasan unsur hara dari batuan beku basalt porfiri, diorit porfiri dan trakit porfiri.

(39)

26 Gambar 3 Diagram alir penelitian

1 x 1 x 0,3 cm3

Air Hujan

TESIS

Batuan : Trakit, Diorit, dan Basalt Bahan Humat : gambut dan lignit

60 - <2000µm <60µm

Purifikasi Garam Humat

Elemental Analyser Total Kemasaman

Inkubasi SEM

pH, K, Na, Ca, Mg, Fe, Mn, Cu, Zn Scanning Electron Microscope

Analisis Data XRF

AAS Ekstrak dengan NaOH

(40)

27

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh pH dan Komposisi Kimia Pelarut serta Ukuran Butir Batuan

Reaksi batuan dengan penambahan pelarut air hujan (kontrol), asam humat

gambut (AHG) dan asam humat lignit (AHL) menunjukkan kenaikan nilai pH,

sedangkan dengan pelarut garam humat gambut (GHG) dan garam humat lignit

(GHL) menunjukkan gejala sebaliknya (Gambar 4). Kenaikan pH larutan dengan

pelarut air hujan, menunjukkan terjadinya proses hidrolisis antara pelarut dengan zat

terlarut, yang menyebabkan penambahan konsentrasi ion-ion hidroksida di dalam

larutan (Persamaan 1), sehingga menurunkan kemasaman larutan.

Gambar 4 Nilai rata–rata pH pada batuan beku basalt porfiri, diorit porfiri dan trakit porfiri dengan berbagai pelarut setelah 5 kali inkubasi.

M+[mineral] + H2O → H+[mineral] + M+ + OH⁻ ………. (1)

Kenaikan pH larutan dengan pelarut asam humat (AH) disebabkan oleh

pengkelatan kation logam dari struktur mineral silikat oleh gugus karboksilat yang

telah terdisosiasi. Proses ini menyebabkan penambahan ion hidroksida di dalam

larutan (Persamaan 2). Hal ini sejalan dengan penelitian dengan menggunakan 0

Pelarut Basalt Porfiri Diorit Porfiri Trakit Porfiri

pH

Jenis Pelarut, Ukuran Batuan dan Jenis Batuan

Air Hujan

GHG

AHG

GHL

(41)

28

proses asidifikasi (Tan 1986; Blum 1994; Iskandar & Irwanti 2003), dimana terjadi

adsorpsi proton ke dalam jembatan hidrogen di dalam struktur tektosilikat yang

menyebabkan pertambahan jarak ikatan (bond distance), dan menurunnya energi yang dibutuhkan untuk pelarutan (White 1995). Proses ini mengakibatkan

bertambahnya pelepasan unsur hara di dalam larutan dan naiknya pH larutan.

M⁺[mineral] + –COO⁻H⁺ + H2O → –COO⁻M⁺ + H2[mineral] + OH⁻ …..

(2)

Reaksi batuan dengan larutan yang berasal dari garam humat (GH)

menunjukkan penurunan nilai pH. Hal ini disebabkan adanya penambahan ion

hidrogen di dalam larutan (Persamaan 3). Penambahan ion hidrogen dipengaruhi oleh

proses pengkelatan kation logam oleh gugus karboksilat dan gugus fenolat dari garam

humat. Gugus fenolat dari GH mulai terdisosiasi pada pH 8 – 10 (Alimin et al. 2005) akan meningkatkan muatan negatif GH menjadi dua kali lipat dibanding AH. Muatan

negatif GH akan mengintensifkan proses pengkelatan kation dan penghancuran ikatan

silikat.

–COO⁻Na⁺+–O⁻Na⁺+5H2O+2M⁺[Si−O−Al]→–COO⁻M⁺+−O⁻M⁺+2NaAlO(OH)2+SiO(OH)2+4H⁺

(3)

Reaksi batuan dengan penambahan pelarut air hujan dan AH terbukti dapat

menaikkan pH larutan pada semua jenis batuan, di mana pH larutan dari batuan beku

basalt porfiri memiliki nilai pH yang lebih tinggi dibanding batuan beku diorit porfiri

dan trakit porfiri. Demikian juga dengan pH larutan dari diorit porfiri yang lebih

tinggi dari pH larutan trakit porfiri. Sedangkan reaksi dengan pelarut GH

menunjukkan penurunan nilai pH, dimana penurunan nilai pH pada batuan beku

basalt porfiri < diorit porfiri < trakit porfiri.

Ukuran butir batuan juga mempengaruhi kenaikan nilai pH larutan, di mana

(42)

29

yang berukuran 60 - <2000µm dengan pelarut air hujan dan AH. Sedangkan dengan

pelarut GH menunjukkan penurunan lebih besar pada batuan yang berukuran 60 -

<2000µm dibanding batuan yang berukuran < 60µm (Gambar 4).

Selain mempengaruhi nilai pH, ukuran butir dan komposisi kimia pelarut juga

mempengaruhi proses pelepasan unsur dari mineral silikat yang terdapat di dalam

batuan beku. Pelarut air hujan dapat melarutkan unsur dengan jumlah yang lebih

besar pada batuan beku yang berukuran < 60µm dan sebagian kecil pada batuan yang

berukuran 60 - <2000µm (Tabel 10). Air hujan dapat meningkatkan jumlah pelepasan

unsur dari batuan beku diorit porfiri lebih tinggi dibanding batuan beku basalt porfiri

dan trakit porfiri.

Tabel 10 Total pelepasan unsur hara dari batuan beku dengan pelarut air hujan setelah 5 kali inkubasi

Unsur

Basalt Diorit Trakit

60 - <2000 µm <60µm 60 - <2000 µm <60µm 60 - <2000 µm <60µm

Urutan pelepasan unsur yang dapat larut dengan pelarut air hujan pada batuan

beku basalt porfiri, yaitu Na > Ca > K > Fe > Mg > Mn > Cu, unsur Zn tidak dapat

terukur. Urutan pelepasan unsur pada batuan beku diorit porfiri yaitu: Na > Ca > K >

Mg > Fe > Cu > Mn, unsur Zn tidak dapat terukur. Pada batuan beku trakit, urutan

(43)

30

Cu tidak dapat terukur. Air hujan tidak efektif dalam melarutkan unsur mikro dari

batuan beku.

Pelarut AHL dan AHG dapat melepaskan unsur dengan jumlah yang lebih

tinggi pada batuan beku yang berukuran < 60µm dan pada beberapa unsur tertentu

dari batuan beku yang berukuran 60 - <2000µm (Tabel 11 dan 12). Keduanya juga

dapat meningkatkan pelepasan unsur dari batuan beku diorit porfiri lebih tinggi

dibanding batuan beku basalt porfiri dan trakit porfiri.

Tabel 11 Total pelepasan unsur hara dari batuan beku dengan pelarut AHL setelah 5 kali inkubasi

Basalt Diorit Trakit

Unsur 60 - <2000 µm < 60µm 60 - <2000 µm < 60µm 60 - <2000 µm < 60µm

(mg/L)

K 6,53 20,70 14,43 27,53 5,48 11,88

Na 26,32 85,22 21,72 69,50 7,49 16,55

Ca 34,37 27,14 33,10 26,55 2,13 5,26

Mg 3,48 1,90 9,97 3,60 0,86 0,95

Fe 4,85 7,97 10,59 13,09 4,31 5,16

Mn 0,08 0,11 0,30 0,26 0,05 0,21

Cu 0,08 0,13 0,26 0,26 0,04 0,16

Zn 0,02 0,01 0,04 0,02 0,03 0,04

Total 75,73 143,18 90,41 140,81 20,39 40,21

Urutan pelepasan unsur dengan pelarut AHL pada batuan beku basalt porfiri,

yaitu Na > Ca > K > Fe > Mg > Cu > Mn > Zn. Pada batuan beku diorit porfiri urutan

pelepasan unsur yaitu Na > Ca > K > Fe > Mg > Mn > Cu > Zn. Pada batuan beku

trakit porfiri menunjukkan urutan pelepasan unsur Na > K > Fe > Ca > Mg > Mn >

(44)

31

Urutan pelepasan unsur yang dapat terlarut dengan pelarut AHG dari batuan

beku basalt porfiri, yaitu Na > Ca > Fe > K > Mg > Mn > Cu > Zn. Pada batuan beku

diorit porfiri menunjukkan urutan pelepasan unsur Na > Ca > K > Fe > Mg > Mn >

Cu > Zn, dan batuan beku trakit porfiri menunjukkan urutan pelepasan unsur Na > K

> Fe > Ca > Mg > Cu > Zn > Mn (Tabel 12).

Tabel 12 Total pelepasan unsur hara dari batuan beku dengan pelarut AHG setelah 5 kali inkubasi

Basalt Diorit Trakit

Unsur 60 - <2000 µm <60µm 60 - <2000 µm <60µm 60 - <2000 µm <60µm

(mg/L)

K 7,35 22,58 16,83 31,88 6,78 18,08

Na 30,70 97,44 27,36 81,78 9,35 23,76

Ca 42,40 30,60 43,76 35,56 2,76 5,70

Mg 4,37 2,23 10,64 4,74 2,06 1,25

Fe 23,00 11,34 12,08 17,66 8,97 11,50

Mn 0,20 0,20 0,28 6,68 0,09 0,00

Cu 0,15 0,22 0,10 0,59 0,22 0,50

Zn 0,02 0,02 0,03 0,03 0,06 0,04

Total 108,19 164,63 111,08 178,92 30,29 60,83

Tabel 10, 11 dan 12 jelas menunjukkan bahwa batuan beku diorit porfiri

menunjukkan pelepasan unsur yang lebih besar dibanding batuan beku basalt porfiri

dan trakit porfiri. Hal ini disebabkan oleh kondisi masam dari pelarut air hujan dan

asam humat yang banyak mengandung ion hidrogen, akan menyebabkan ion hidrogen

bereaksi lebih reaktif terhadap mineral yang di dalam struktur kristalnya mengandung

ion hidroksida. Ion hidroksida banyak terdapat dalam mineral grup amphibol dan

biotit. Kedua mineral ini lebih banyak terdapat di dalam batuan beku yang bersifat

intermediat dibandingkan dengan batuan beku yang bersifat basa dan masam.

(45)

32

yang bersifat intermediat. Faktor lain yang ikut mempengaruhi tingkat pelepasan

unsur hara dari batuan beku diorit adalah distribusi ukuran butir yang terdapat pada

batuan yang berukuran 60 - <2000 µm, dimana batuan beku diorit memiliki

presentase jumlah ukuran butir yang berukuran <125 - >60 µm lebih besar dibanding

batuan beku basalt porfiri dan trakit porfiri (Tabel 5) hal ini akan memperbesar laju

pelepasan hara dari batuan beku diorit porfiri.

Batuan beku basalt porfiri dengan pelarut AHL memiliki kemampuan yang

lebih tinggi dalam melarutkan unsur kalsium, magnesium, besi, mangan, dan tembaga

dibandingkan air hujan. Tetapi pelarut air hujan dapat melepaskan unsur kalium dan

natrium lebih tinggi dibanding AHL pada semua batuan. Sedangkan pelarut AHG

memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam melarutkan semua unsur. Pada batuan

beku diorit porfiri, pelarut AHL memiliki kemampuan melarutkan unsur magnesium,

besi, mangan, tembaga dan seng lebih tinggi daripada pelarut air hujan dan lebih

rendah dibanding pelarut AHG. Sedangkan pelarut air hujan dapat meningkatkan

kelarutan kalium, natrium dan kalsium lebih tinggi dibandingkan AHL, tetapi lebih

rendah dibandingkan AHG. Air hujan juga dapat meningkatkan pelepasan unsur hara

lebih tinggi dari pelarut AHL pada batuan beku trakit porfiri, tetapi lebih rendah pada

batuan beku basalt porfiri dan diorit porfiri. Hal ini bertentangan dengan hasil yang

dikemukakan oleh Huang dan Keller (1970), Arshad et al. (1972), Kodama dan Schnitzer (1973), Grandstaff (1986) serta Welch dan Ullman (1993), bahwa senyawa

organik memiliki kemampuan meningkatkan pelepasan unsur lebih tinggi dibanding

senyawa anorganik dalam pelarutan mineral silikat.

Secara garis besar AHG lebih efektif dalam melarutkan unsur dari batuan

beku dibanding AHL dan air hujan. Kemampuan daya larut AHG yang lebih tinggi

dari AHL dipengaruhi oleh kandungan gugus fungsionalnya. AHG memiliki

kandungan gugus fungsional karboksilat dan fenolat yang lebih tinggi dibanding

AHL. Semakin tinggi kandungan gugus fungsional senyawa humat, maka

kemampuan mengkelat logamnya juga akan semakin tinggi (Tabel 9).

Pelepasan unsur dengan pelarut GHG dan GHL dengan nilai yang tinggi

(46)

33

pada batuan beku diorit dan trakit porfiri, pelepasan tertinggi terdapat pada batuan

yang berukuran < 60 µm (Tabel 13 dan 14).

Tabel 13 Total pelepasan unsur hara dari batuan beku dengan pelarut GHG setelah 5 kali inkubasi

Basalt Diorit Trakit

Unsur 60 - <2000 µm <60µm 60 - <2000 µm <60µm 60 - <2000 µm <60µm

(mg/L)

K 16,15 33,16 18,39 32,15 9,43 12,48

Ca 79,58 64,61 68,70 76,08 18,90 21,84

Mg 6,07 3,57 13,10 6,82 3,23 2,15

Fe 117,66 62,29 32,25 54,54 15,05 51,11

Mn 0,81 0,51 0,63 1,74 1,17 11,23

Cu 0,91 1,85 0,99 2,98 0,58 3,03

Zn 0,04 0,02 0,05 0,04 0,03 0,03

Total 221,22 166,01 134,11 174,35 48,39 101,87

Urutan pelepasan unsur dari batuan beku basalt porfiri dengan pelarut GHG

menunjukkan unsur Fe > Ca > K > Mg > Cu > Mn > Zn, pada batuan beku diorit

porfiri menunjukkan urutan pelepasan unsur Ca > Fe > K > Mg > Cu > Mn > Zn, dan

batuan beku trakit menunjukkan urutan pelepasan unsur Fe > Ca > K > Mg > Mn >

Cu > Zn (Tabel 13). Sedangkan pelepasan unsur dengan pelarut GHL menunjukkan

urutan pelepasan yang sama dengan pelarut GHG pada batuan diorit porfiri, tetapi

pada batuan basalt porfiri dan batuan trakit porfiri menunjukkan hasil yang berbeda.

Pada batuan basalt urutan pelepasan unsur Ca > Fe > K > Mg > Cu > Mn > Zn. Pada

batuan beku trakit porfiri menunjukkan urutan pelepasan unsur Fe > Ca > K > Mn >

Mg > Cu > Zn (Tabel 14). GHG dan GHL dapat meningkatkan pelepasan unsur lebih

tinggi pada batuan beku basalt porfiri dibandingkan dengan batuan beku diorit porfiri

(47)

34

Tabel 14 Total pelepasan unsur hara dari batuan beku dengan pelarut GHL setelah 5 kali inkubasi

Tabel 10 sampai 14 jelas menunjukkan bahwa senyawa humat dalam bentuk

GH memiliki kemampuan yang lebih baik dalam meningkatkan pelepasan unsur dari

batuan beku dibanding AH dan air hujan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian

Gudbrandsson et al. (2008), yang melaporkan bahwa pH alkali akan meningkatkan pelepasan unsur hara. Namun hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil yang

didapatkan oleh Tan (1986) serta Iskandar dan Irwanti (2003), dimana kondisi

masamlah (pH rendah) yang sangat mempengaruhi proses pelepasan unsur hara dari

mineral silikat.

Kemampuan GH dalam meningkatkan pelepasan unsur hara dari batuan

dipengaruhi oleh faktor :

1. Gugus fenolat pada senyawa humat akan terdisosiasi pada pH 8 – 10 (Alimin et al. 2005), sehingga meningkatkan muatan negatif GH dan meningkatkan pengkelatan unsur hara dari batuan beku

2. GH dalam bentuk natrium humat memiliki daya adsorpsi yang tinggi (Yi dan

Zhang 2008), sehingga meningkatkan daya kelat senyawa humat. Garam Humat

dengan kadar garam natrium yang tinggi akan mempengaruhi proses pertukaran

(48)

35

berada di dalam larutan dibanding berada dalam kompleks khelat senyawa

humat. Demikian juga untuk kation logam alkali tanah (Ca2+ dan Mg2+) akan lebih tertarik ke dalam kompleks khelat senyawa humat dibandingkan kation

logam alkali (K+ dan Na+

3. Garam natrium dapat meningkatkan pelarutan unsur hara dari mineral

aluminosilikat lebih tinggi dibanding garam kalium dan kalsium

(Panagiotopoulou et al. 2007).

). Sedangkan ion hidrogen akan lebih tertarik terikat

dalam kompleks khelat senyawa humat daripada berada di dalam larutan

(Zadmard 1939, di acu dalam Stevenson 1982).

Secara umum jumlah pelepasan unsur dari batuan beku yang berukuran

< 60µ m menunjukkan hasil yang signifikan untuk semua pelarut. Tetapi ada beberapa

unsur yang menunjukkan hasil pelepasan yang lebih tinggi pada batuan yang

berukuran 60 - <2000µm dibandingkan dengan batuan yang berukuran <60 µm

(Tabel 15). Data dari Tabel 15 juga menunjukkan bahwa pelarut GH terbukti dapat

meningkatkan pelepasan unsur hara dari batuan beku lebih banyak hingga 567,9 kali

lebih besar dibanding pelarut alami yaitu air hujan. Pelepasan unsur kalsium dan

magnesium dari batuan beku diorit porfiri lebih banyak pada batuan yang berukuran

60 - <2000µm dengan pelarut air hujan dan AH. Unsur seng banyak larut pada batuan

beku yang berukuran 60 - <2000µm dengan pelarut GHL.

Batuan beku basal porfiri yang berukuran 60 - <2000µm menunjukkan data

pelepasan unsur hara yang lebih tinggi dibanding yang berukuran <60µm. Hal ini

berbeda pada batuan beku diorit porfiri dan trakit porfiri (Tabel 15). Pelepasan unsur

kalium, natrium dan tembaga yang tinggi terjadi pada semua batuan beku yang

berukuran <60 µm, sedangkan unsur seng dan magnesium pelepasan tertinggi terjadi

pada batuan beku yang berukuran 60 - <2000µm.

GHG merupakan pelarut yang efektif dalam meningkatkan pelepasan unsur

hara dari batuan beku basalt porfiri, batuan beku diorit porfiri dan batuan beku trakit

porfiri (Tabel 15)). GHG dapat meningkatkan pelepasan unsur besi dari batuan beku

(49)

36

dapat meningkatkan pelepasan unsur kalium pada batuan beku basalt porfiri dan

diorit porfiri hingga 1,8 kali lebih tinggi dibanding pada batuan beku trakit porfiri

dengan pelarut AHG.

Tabel 15 Presentase pelepasan tertinggi unsur hara dari batuan beku setelah 5 kali inkubasi

Unsur Batuan Ukuran butir Pelarut Kandungan tertinggi dalam larutan

seteleh 5 kali inkubasi

(mg/L)

K Basalt porfiri <60µm Air Hujan 21,68

<60µm GHG 33,16

Diorit porfiri <60µm Air Hujan 31,07

<60µm GHL 33,68

Trakit porfiri <60µm Air Hujan 15,73

<60µm AHG 18,08

Na Basalt porfiri <60µm Air Hujan 86,72

<60µm AHG 97,44

Diorit porfiri <60µm Air Hujan 82,25

Trakit porfiri <60µm Air Hujan 23,24

(50)

37

Total pelepasan unsur hara natrium, kalsium, besi dan seng yang tertinggi

setelah 5 kali inkubasi menunjukkan jumlah pelepasan unsur hara pada batuan beku

basalt porfiri lebih besar dibanding pada batuan beku diorit porfiri dan trakit porfiri,

demikian juga dengan pelepasan unsur hara magnesium lebih besar pada batuan beku

diorit porfiri dibanding pada batuan beku basalt porfiri dan trakit porfiri. Sedangkan

pelepasan unsur hara tembaga dan mangan lebih besar pada batuan beku trakit porfiri

dibanding pada batuan beku diorit porfiri dan basalt porfiri. Pelepasan unsur hara

kalium pada batuan beku basalt porfiri dengan pelarut GHG dan diorit porfiri dengan

pelarut GHL menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda (Tabel 15). Pelepasan unsur

hara tertinggi pada batuan beku basalt porfiri yang berukuran 60 - <2000µm terjadi

sekitar >60% dari semua unsur yang dianalisis. Pada batuan beku diorit porfiri dan

trakit porfiri pelepasan unsur hara tertinggi terjadi pada batuan yang berukuran

<60µm sebesar 85% dari semua unsur yang dianalisis.

Perbedaan peningkatan pelepasan unsur terhadap ukuran butir batuan

(51)

38

larut dari batuan beku seharusnya akan menunjukkan peningkatan dengan semakin

kecilnya ukuran butir. Hal ini ditunjang dari hasil penelitian dari Niwas et al. (1987), Arshad et al. (1972) serta Huang dan Keller (1970). Tetapi pendapat tersebut berbeda dari data yang didapatkan, di mana ukuran butir yang lebih kecil tidak menunjang

besarnya unsur yang akan larut (Tabel 15). Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian

sebelumnya dari Ugolini et al. (1996) dan Blum et al. (1989), yang juga membuktikan bahwa pelepasan unsur tidak dikontrol oleh ukuran butir. Ukuran butir

yang lebih besar justru dapat menghasilkan pelepasan unsur yang lebih besar dari

mineral silikat.

Perbedaan hasil ini menunjukkan bahwa setiap batuan beku memiliki sifat

fisik dan kimia yang khas, yang akan mempengaruhi proses pelepasan unsurnya.

Jumlah konsentrasi unsur dalam tubuh batuan, struktur dari mineral silikat serta

jumlah mikro porositas pada batuan beku akan mempengaruhi laju pelepasan

unsurnya. Batuan beku dengan tekstur porfiritik memiliki mikro porositas (Hocella

dan Banfield 1995) atau mikro struktur (Putnis 1992) yang jauh lebih tinggi

dibanding batuan yang bertekstur fanerik dan afanitik. Jumlah mikro porositas ini

akan mempengaruhi daya sangga mineral terhadap aspek pelarutan. Pengecilan

ukuran butir dapat mengurangi mikro porositas sehingga daya larut batuan menjadi

menurun. Oleh karena itu untuk mendapatkan jumlah pelepasan unsur hara makro

maupun unsur hara mikro yang besar, sebaiknya digunakan ukuran butir yang

bervariasi antara ukuran butir 60 - <2000µm dan <60µm. Hal ini disebabkan karena

unsur magnesium dan seng lebih banyak dapat terlarut pada batuan beku yang

berukuran 60 - <2000µm. Hasil analisis distribusi ukuran butir pada batuan yang

berukuran 60 - <2000µm (Tabel 5), di dapatkan data bahwa presentase ukuran butir

<2000µm - >1000µm jumlahnya kurang dari 4%, yang berarti ukuran butir tersebut

tidak berpengaruh nyata terhadap proses pelepasan unsur hara dari batuan beku.

Sehingga untuk mendapatkan pelepasan unsur hara yang tinggi dari semua unsur hara

makro dan mikro yang dianalisis maka ukuran butir yang paling efektif digunakan

untuk mempercepat pelepasan unsur hara adalah ukuran butir < 1000µm, dengan

(52)

39 Proses Pelepasan Unsur dari Batuan Beku

Hasil uji SEM sebelum dan setelah percobaan memperlihatkan bahwa proses

pelepasan unsur dari batuan beku dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia dari mineral

silikat sebagai penyusun utama batuan beku. Proses pelepasan unsur dari mineral

silikat yang terdapat dalam batuan beku terjadi pada :

1. Bidang batas antar kristal

Hasil uji SEM setelah perlakuan menunjukkan adanya kerusakan pada bidang

batas (bidang kontak) antar kristal. Kerusakan ini menunjukkan bahwa perbedaan

ukuran butir kristal mineral antara fenokris (mineral sulung) dengan massa dasar

kristal dapat menjadi celah bagi pelarut untuk masuk ke dalam ruang antar kristal

dan mendegradasi hubungan interlocking antara kristal sulung dengan massa dasar (Foto 5). Menurut Lowe (1986), tekstur batuan dengan derajat ukuran butir

kristal yang tidak seragam (inequigranular) memiliki daya sangga yang rendah terhadap usaha penghancuran dibandingkan dengan batuan yang ukuran butirnya

seragam (equigranular). Perbedaan waktu pembentukan antara mineral sulung dengan massa dasar memberikan tingkat resistensi yang berbeda. Mineral sulung

terbentuk dengan perubahan waktu yang relatif lambat, sehingga dapat

membentuk kristal yang sempurna dengan ukuran yang lebih besar, berbeda

dengan massa dasar kristal yang terbentuk dari proses diferensiasi kristal yang

berjalan cepat sehingga tidak dapat membentuk kristal yang sempurna dengan

ukuran yang jauh lebih kecil dari mineral sulung. Perubahan yang terjadi secara

tiba – tiba akan memberikan tekanan pada mineral sulung (fenokris) dan massa

dasar yang terbentuk. Tekanan akan menyebabkan terbentuknya mikro struktur

(Putnis 1992). Terbentuknya mikro struktur dalam tubuh mineral akan menjadi

salah satu faktor yang dapat mempercepat pelarutan pada batuan.

Mineral biotit sebagai fenokris yang terdapat di antara massa dasar kristal

memiliki resistensi yang berbeda. Perlakuan dengan pelarut asam humat dan

garam humat yang mengandung gugus organik menyebabkan terjadinya

degradasi pada bidang kontak antara mineral sulung dengan massa dasar kristal.

Gambar

Tabel  1   Energi pembentukan ikatan antar kation – oksigen
Gambar 1  Proses coalification (pembatubaraan), merupakan proses perubahan material gambut menjadi lignit dan batubara
Tabel  2   Fraksi senyawa humat
Tabel 4  Komposisi senyawa kimia batuan beku basalt porfiri, diorit porfiri dan trakit porfiri dari hasil analisis X-Ray Flouresence
+7

Referensi

Dokumen terkait