• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan limbah Tebu menjadi briket dan biopelet

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan limbah Tebu menjadi briket dan biopelet"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN LIMBAH TEBU MENJADI BRIKET DAN

BIOPELET

NIRWAN HARTADI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanfaatan Limbah Tebu Menjadi Briket dan Biopelet adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ii

ABSTRAK

NIRWAN HARTADI. Pemanfaatan Limbah Tebu Menjadi Briket dan Biopelet. Dibimbing oleh MOHAMAD YANI dan GUSTAN PARI.

Tebu (Saccharum officinarum) merupakan salah satu komoditi utama Indonesia yang memberikan manfaat bagi kehidupan. Ampas dan daun tebu merupakan limbah utama dari pabrik gula. Kedua limbah tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan briket dari ampas tebu dan biopelet dari daun tebu. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi perekat terbaik pada pembuatan briket dan kondisi pengempaan optimal pada pembuatan biopelet. Pembuatan briket dilakukan dengan penambahan perekat tapioka dengan konsentrasi perekat 5, 10 dan 15%. Pembuatan biopelet menggunakan perlakuan suhu dan waktu pengempaan dengan suhu pengempaan 130 - 270oC dan waktu pengempaan 8 - 22 menit. Perlakuan briket terbaik diperoleh pada konsentrasi perekat 5% dengan nilai kadar air sebesar 3.87%, kadar abu 3.35%, zat terbang 76.35%, karbon terikat 20.29 dan nilai kalor 4155 kkal/kg. Pada pembuatan biopelet daun tebu diperoleh kondisi optimal yaitu perlakuan suhu pengempaan sebesar 250oC selama 20 menit. Pengempaan dengan kondisi tersebut menghasilkan kadar air 3.41%, kadar abu 12.19%, kuat tekan 119.22 kgf/cm2 dan kalor 4490 kkal/kg.

Kata Kunci : biopelet, briket, bioenergi, limbah tebu, bagasse

ABSTRACT

NIRWAN HARTADI. The Utilization of Sugarcane Waste for Briquette and Biopellet Processing. Supervised by MOHAMAD YANI and GUSTAN PARI

(5)

from 130 - 270oC and compression time consisted of 8 - 22 minutes. The best briquettes treatment obtained at a concentration of 5% adhesive, with value of 3.87% moisture content, 3.35% ash content, 76.35% volatile matter, 20.29 fixed carbon and heat level 4155 kcal/kg. Sugarcane leaves biopellet has optimal at compression temperature of 250oC for 20 minutes. Compression with these conditions produced moisture content of 3.41%, ash content of 12.19%, compressive strength of 119.22 kgf/cm2 and heat level of 4490 kcal/kg.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Teknologi Industri Pertanian

PEMANFAATAN LIMBAH TEBU MENJADI BRIKET DAN

BIOPELET

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2015

(8)
(9)
(10)

viii

PRAKATA

Rasa syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian mengenai pemanfaatan limbah tebu ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2014 sampai November 2014 dengan judul Pemanfaatan Limbah Tebu Menjadi Briket dan Biopelet.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada

1. Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng dan Prof. (R). Gustan Pari, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan kepada penulis dalam penyelesaian penelitian ini.

2. Bapak Machfudin dan Bapak Atin selaku kepala laboratorium kimia Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Laboran Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor yang telah membantu dan membimbing selama penelitian.

3. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda Teteng Ruhyadi, Ibunda Tiominar, Dina Berina, Netya Marsheli serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

4. Devi Umi P, Ratna Sucitra, Wibisono A, Sugiyono, Hafidzar Rohim, Ahmad Hidayat, Ryan Akbar , Hernanda Wisnu, M Wahyu dan M. Adhi yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian.

5. Keluarga besar TIN 47 seperjuangan serta Bastiyan dan Tri Wahyuni rekan bimbingan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk penulis dan pembaca.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

METODOLOGI 2

Alat dan Bahan 2

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Metode Penelitian 2

Karakterisasi Bahan Baku 2

Proses pembuatan briket dan biopelet 2

Karakterisasi Briket dan Biopelet 4

Rancangan Percobaan 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Krakteristik Bahan Baku 6

Briket Ampas Tebu 7

Biopelet Daun Tebu 13

Optimasi Respon Permukaan 23

SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 26

LAMPIRAN 28

(12)

x

DAFTAR TABEL

1 Rancangan desain rentang dan level variabel bebas 5

2 Hasil uji fisik kimia ampas tebu dan daun tebu 6

3 Standar biopelet beberapa negara 8

4 Standar kalor biopelet beberapa negara 9

5 Perbandingan nilai kalor briket 12

6 Uji fisik dan kimia biopelet daun tebu 13

7 Nilai parameter optimasi untuk respon kadar air 14 8 Nilai parameter optimasi untuk respon kadar abu 16 9 Nilai parameter optimasi untuk respon nilai kalor 19 10 Nilai parameter optimasi untuk respon kuat tekan 21 11 Uraian variabel dan respon yang akan dioptimasi 23 12 Solusi optimasi hasil analisis Design Expert 7.0.0 24 13 Perbandingan nilai respon prediksi solusi optimasi dengan nilai aktual 24

14 Perbandingan nilai kalor biopelet 24

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir proses pembuatan briket ampas tebu 3

2 Diagram alir proses pembuatan biopelet daun tebu 4 3 Ampas tebu (kiri), pengempa briket dan briket ampas tebu 8 4 Karakterisasi briket ampas tebu kadar air (a), kadar abu (b), zat terbang (c) dan

karbon terikat (d) 9

5 Nilai kalor briket ampas tebu 12

6 Kontur (a) dan 3D respon (b) permukaan nilai kadar air biopelet daun tebu

perlakuan suhu dan waktu pengempaan 15

7 Kontur (a) dan 3D repon (b) permukaan nilai kadar abu biopelet daun tebu

perlakuan suhu dan waktu pengempaan 17

8 Kontur (a) dan 3D respon (b) permukaan nilai kalor biopelet daun tebu

perlakuan suhu dan waktu pengempaan 20

9 Kontur (a) dan 3D respon (b) permukaan nilai kuat tekan biopelet daun tebu

perlakuan suhu dan waktu pengempaan 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data produksi tebu tahun 2008-2012 PG Subang 28

2 Prosedur uji sifat fisik dan kimia 28

3 Analisis varian kadar air briket ampas tebu 30

4 Hasil uji Duncan kadar air briket ampas tebu 30

5 Analisis varian uji kadar abu briket ampas tebu 31

6 Hasil uji Duncan kadar abu briket ampas tebu 31

7 Analisis varian zat terbang briket ampas tebu 31

8 Hasil uji Duncan zat terbang briket ampas tebu 31

(13)

10 Hasil uji Duncan karbon terikat briket ampas tebu 31

11 Analisis varian nilai kalor briket ampas tebu 32

12 Perbandingan uji kadar air biopelet 32

13 Analisis varian RSM kadar air biopelet daun tebu 32

14 Analisis varian RSM kadar abu biopelet daun tebu 32

15 Analisis varian RSM nilai kalor biopelet daun tebu 33

16 Analisis varian RSM kuat tekan biopelet daun tebu 33

17 Neraca massa pembuatan biopelet daun tebu 33

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tebu (Saccharum officinarum) merupakan salah satu komoditi utama Indonesia pada industri gula kristal. Seiring dengan peningkatan permintaan pasar, produksi gula terus meningkat. Limbah yang dihasilkan pada proses pembuatan gula dari tebu berupa ampas tebu (bagasse) dan daun tebu. Ampas tebu adalah salah satu limbah tanaman tebu yang dihasilkan dari proses penggilingan tebu untuk memperoleh nira. Pabrik gula memanfaatkan ampas tebu sebagai bahan bakar boiler untuk penghasil steam. Penggunaan ampas tebu sebagai bahan bakar steam kurang optimal karena pada kenyataannya ampas tebu yang dihasilkan tidak digunakan semua sebagai bahan bakar boiler melainkan dicampur dengan kayu untuk menghasilkan kalor yang lebih besar. Pada tahun 2011 dan 2012 Pabrik gula Subang dapat menghasilkan ampas tebu berturut-turut sebesar 11279.4 ton (22.64 ton/ha) dan 10736.4 ton (21.08 ton/ha) atau kurang lebih 30% dari produksi tebu.

Limbah lain yang dihasilkan tanaman tebu yaitu pucuk dan daun tebu. Limbah daun tebu yang dihasilkan dari proses pemanenan belum dimanfaatkan dengan optimal. Daun tebu yang dihasilkan hanya didiamkan dan dibakar setelah proses pemanenan, selain itu proses pembakaran limbah daun dapat menimbulkan polusi udara. Berdasarkan data pabrik, produksi tebu pada tahun 2011 dan 2012 berturut-turut sebesar 343693.76 ton dan 325897.41 ton (Lampiran 1). Daun tebu yang dihasillkan kurang lebih 5% dari total produksi tebu atau sebesar 3.44 ton/ha dan 3.20 ton/ha untuk tahun 2011 dan 2012. Berdasarkan ketersediaan limbah pabrik gula, kedua limbah tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif di Indonesia. Limbah ampas tebu dan daun tebu sebenarnya dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar di pabrik namun memiliki kelemahan berupa energi yang rendah dan permasalahan penanganan, penyimpanan serta transportasi (Saptoadi 2006).

Limbah tebu yang dihasilkan dapat diubah dan diolah terlebih dahulu menjadi produk berupa briket dan biopelet. Pembuatan produk briket dan biopelet dari limbah tebu dapat menambah nilai kalor dari bahan baku itu sendiri (limbah tebu). Nilai kalor merupakan salah satu parameter penentu kualitas dari produk bahan bakar alternatif, semakin tinggi nilai kalor yang dihasilkan maka semakin baik kualitas dari produk tersebut, begitu juga sebaliknya. Pada penelitian ini, briket ampas tebu dan biopelet daun tebu telah dibuat dengan beberapa perlakuan untuk mengetahui perlakuan terbaik sehingga diperoleh kualitas yang baik pada briket dan biopelet.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menentukan konsentrasi perekat terbaik pada pembuatan briket ampas tebu 2. Menentukan suhu dan waktu pencetakan optimal pada pembuatan biopelet

(16)

2

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memberi solusi pemanfaatan limbah tebu sebagai energi terbarukan untuk diaplikasikan di pabrik gula dan masyarakat.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah formulasi bahan baku briket dan biopelet dan uji fisik dan kimia produk briket dan biopelet.

METODOLOGI

Alat dan Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan briket yaitu ampas tebu, perekat tapioka dan air, sedangkan bahan pembuatan biopelet terdiri dari daun dan pucuk tanaman tebu. Bahan limbah tebu diperoleh dari PT PG Rajawali II Unit PG Subang.

Peralatan yang digunakan pada pembuatan briket dan biopelet terdiri dari wadah, alat pencetak briket, oven, pengaduk, hammer mill, bomb calorimeter, tungku, pelet mill, crusher, tanur, timbangan dan saringan 60 mesh.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2014 sampai November 2014. Proses pembuatan briket dan biopelet dilakukan di Balai Besar Litbang Kehutanan, Gunung Batu, Bogor dengan bahan baku yang berasal dari limbah tanaman tebu PG Subang.

Metode Penelitian

Karakterisasi Bahan Baku

Karakterisasi fisik dan kimia dilakukan terhadap ampas tebu dan daun tebu. Karakterisasi bahan meliputi pengujian kadar air, kadar abu, zat terbang, karbon terikat dan kalor yang dihasilkan. Prosedur uji fisik dan kimia bahan baku tersaji pada Lampiran 2.

Proses pembuatan briket dan biopelet

(17)

Gambar 1 Diagram alir proses pembuatan briket ampas tebu

Proses pembuatan briket dilakukan dengan perlakuan taraf perekat untuk mendapatkan perlakuan terbaik dari briket tersebut (5%, 10% dan 15%). Bahan briket ampas tebu yang digunakan sejumlah 300 g. Selanjutnya briket yang telah dikeringkan diuji karakteristiknya. Metode pengujian tersebut disajikan pada Lampiran 2.

Ampas tebu (300 g)

Pencampuran

Tapioka (5, 10 dan 15%)

Pencetakan (d=7-8 cm; t=5-6 cm)

Pengeringan (T=105oC; t=24 jam)

Briket (10 buah)

Uji kalor dan uji karakteristik

(18)

4

Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan biopelet daun tebu

Proses pembuatan biopelet (Gambar 2) dilakukan dengan perlakuan suhu dan waktu pengempaan yang berbeda untuk mendapatkan kondisi optimal dari biopelet tersebut. Untuk setiap perlakuan digunakan bahan 200 g daun tebu giling (60 mesh). Biopelet yang telah dicetak selanjutnya diuji karakteristiknya. Prosedur pengujian biopelet disajikan pada Lampiran 2.

Karakterisasi Briket dan Biopelet

Karakterisasi fisik dan kimia dilakukan terhadap briket ampas tebu dan biopelet daun tebu. Karakterisasi briket meliputi pengujian kadar air, kadar abu, zat terbang, karbon terikat dan kalor yang dihasilkan, sedangkan pengujian biopelet meliputi kadar air, kadar abu, nilai kalor dan nilai kuat tekan. Pengujian karakteristik briket dan biopelet mengacu pada standar biopelet negara eropa karena belum ada SNI yang menjelaskan standar biopelet dan briket tanpa pengarangan. Prosedur uji fisik dan kimia bahan baku tersaji pada Lampiran 2. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan pada briket adalah rancangan acak lengkap (RAL). Penggunaan rancangan acak lengkap bertujuan untuk menentukan perlakuan perekat terbaik pada pembuatan briket ampas tebu. Pembuatan briket ampas tebu menggunakan satu faktor yaitu faktor perekat dengan taraf konsentrasi

Biopelet (d=0.8-1.1cm; t=1.1-1.5 cm)

Uji kalor dan uji karakteristik

produk Daun Tebu

Pengeringan (sinar matahari)

Penggilingan (60 mesh)

Pengempaan

(T= 130-270 oC; t= 8-22 menit)

(19)

5%, 10% dan 15% dengan dua kali ulangan. Pengolahan data menggunakan uji univariate dari program statistik SPSS 10.0.

Menurut Ispriyanti (2007), model yang tepat untuk digunakan pada desain

ɛ

ij = pengaruh acak perlakuan konsentrasi perekat ke-i dan ulangan ke-j Untuk rancangan percobaan dari biopelet menggunakan metode RSM (Response Surface Methodology) (Myers dan Montgomery 2002). Penggunaan metode RSM bertujuan untuk menentukan kondisi optimum pembuatan biopelet daun tebu dengan perlakuan suhu dan waktu pengempaan. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Central Composite Design (CCD) dengan dua faktor yaitu X1 (suhu pengempaan= 130, 150, 200, 250 dan 270 oC) dan X2 (waktu pengempaan= 8, 10, 15, 20 dan 22 menit) (Tabel 1).

Tabel 1 Rancangan desain rentang dan level variabel bebas

Faktor Kode Taraf

Tabel 2 Desain matriks percobaan dan hasil respon Run

(20)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Bahan Baku

Ampas dan daun tebu merupakan hasil samping dari proses pembuatan gula. Ampas tebu yang dihasilkan digunakan sebagai bahan bakar boiler untuk kebutuhan proses produksi, sedangkan daun tebu yang dihasilkan tidak diproses atau digunakan sebagai kebutuhan produksi melainkan dibakar untuk mempermudah pembersihan lahan tanam. Hasil penelitian memperoleh rata-rata potensi ketersediaan ampas tebu pada PG Subang adalah 32.88% dari total tanaman tebu yang dipanen atau 22.64 dan 21.08 ton/ha untuk musim giling 2011 dan 2012. Dengan luas lahan 4981.069 dan 5092.147 ha, maka total potensi ampas tebu adalah 112793.8 dan 107363.8 ton/tahun pada tahun 2011 dan 2012. Untuk potensi daun tebu yang dihasilkan, rata-rata ketersediaan daun tebu pada PG Subang adalah 5% dari total tanaman tebu yang dipanen atau 3.44 dan 3.20 ton/ha untuk musim giling 2011 dan 2012. Potensi daun tebu yang dihasilkan mencapai 17184.69 dan 16294.87 ton/tahun pada musim giling tahun 2011 dan 2012. Berdasarkan ketersediaannya, limbah tebu berpotensi digunakan sebagai bahan bakar alternatif dengan melalui proses pengolahan lebih lanjut untuk peningkatan kualitas dari limbah tebu.

Untuk mengetahui kualitas dari ampas dan daun tebu dilakukan uji sifat fisik kimia dari kedua limbah tesebut. Pengujian sifat fisik dan kimia dari ampas tebu dan daun tebu disajikan pada pada Tabel 2. Pengujian ampas tebu dan daun tebu dilakukan sebagai parameter untuk mengetahui peningkatan kualitas dari limbah yang diolah menjadi bahan bakar alternatif.

Tabel 2 Hasil uji fisik kimia ampas tebu dan daun tebu

No. Parameter Satuan Ampas Tebu Daun Tebu

Pengujian sifat fisik dan kimia meliputi pengujian kadar air, kadar abu, zat terbang, karbon terikat dan nilai kalor. Kualitas bahan ampas dan daun tebu ditentukan oleh kadar air yang terkandung di dalam bahan baku. Kadar air yang terkandung dalam ampas tebu dan daun tebu sebesar 12.96% dan 9.81%. Tingginya kadar air pada ampas tebu dan daun tebu dapat menurunkan nilai kalor yang dihasilkan. Untuk pembuatan briket dan biopelet diharapkan memperoleh nilai kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan kadar air bahan baku yang digunakan.

(21)

ekstrakif, hemiselulosa, dan air yang mudah menguap saat pembakaran pada suhu tinggi (Fuwape dan Akindele 1997). Semakin tinggi kadar zat ekstraktif dan kadar air, maka kadar zat terbangnya akan semakin tinggi

Selain itu, kualitas bahan ampas tebu dan daun tebu juga ditentukan dari kadar abu dan karbon yang dihasilkan oleh bahan. Kadar abu yang dihasilkan ampas tebu sebesar 2.55% dan daun tebu sebesar 1.95%, sedangkan karbon terikat yang dihasilkan sebesar 21.28% untuk ampas tebu dan 26.51% untuk daun tebu. Kadar abu ditentukan oleh kandungan silika pada bahan baku yang digunakan. Kandungan silika yang tinggi dapat menghasilkan kadar abu yang tinggi. Menurut Masturin (2002), semakin tinggi kadar abu, kualitas bahan akan menurun karena keberadaan abu dapat menurunkan nilai kalor yang dihasilkan. Untuk nilai karbon terikat yang dihasilkan dari kedua bahan, semakin tinggi karbon yang dihasilkan maka kualitas dari bahan semakin baik, hal ini dikarenakan asap yang dihasilkan untuk pembakaran ampas tebu akan semakin sedikit.

Nilai kalor merupakan parameter utama dalam menentukan kualitas suatu bahan bakar. Ampas tebu dan daun tebu memiliki nilai kalor sebesar 3343 kkal/kg dan 3281 kkal/kg. Nilai kalor tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai kalor briket limbah biomassa stem tembakau yang berkisar antara 2789-2969 kkal/kg (Nugrahaeni 2008), akan tetapi nilai kalor ampas tebu dan daun tebu belum bisa mencapai standar nilai kalor untuk biomassa yang ditetapkan oleh Amerika, Jerman, Austria dan Prancis dengan nilai kalor 4752 kkal/kg, 4680 kal/kg, 4320 kkal/kg dan 4056 kkal/kg (Hahn 2004). Hasil dari pengujian sifat karakteristik bahan yang digunakan dapat dibandingkan dengan pengujian sifat karakteristik produk untuk membandingkan peningkatan kualitas mutu dari bahan yang digunakan.

Briket Ampas Tebu

Briket adalah produk bahan bakar alternatif yang dibuat dari biomassa pertanian. Pada umumnya briket merupakan bahan bakar alternatif yang menggunakan bahan baku yang telah diarangkan. Pembuatan briket diawali dengan proses densifikasi. Densifikasi merupakan salah satu cara untuk memperbaiki sifat fisik dari suatu bahan. Proses densifikasi bertujuan untuk mempermudah penggunaan dan pemanfaatannya, sehingga dapat meningkatkan efisiensi bahan yang digunakan (Abdullah et al. 1998). Proses densifikasi dilakukan pada bahan yang berbentuk curah dan tidak memiliki bentuk yang beraturan. Densifikasi dibagi menjadi tiga proses yaitu extruding, briquetting dan pelleting. Pada penelitian ini, dilakukan proses densifikasi briquetting dan pelleting.

(22)

8

Pembuatan perekat tapioka dengan pemanasan tapioka yang dicampur dengan air 1 liter. Penambahan perekat bertujuan untuk meningkatkan nilai kerapatan dari briket dan memudahkan untuk proses pencetakkan. Dengan menggunakan perekat, tekanan yang dibutuhkan akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan briket tanpa perekat (Boedjang 1973).

Setelah bahan baku tercampur dengan perekat, semua bahan dimasukkan ke dalam alat kempa manual dengan cetakan briket berbentuk tabung. Berikut ini gambar bahan ampas tebu dan alat pengempa yang digunakan dalam pembuatan briket disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Ampas tebu (kiri), pengempa briket dan briket ampas tebu Briket yang telah dicetak kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven bersuhu 105oC selama 24 jam. Briket yang telah dicetak masih mengandung air yang cukup tinggi. Kandungan air berasal dari perekat yang digunakan. Tujuan dari pengeringan adalah menurunkan kadar air dalam briket sehingga dapat meningkatkan kualitas briket tersebut.

Briket yang telah dicetak kemudian dikarakterisasi dan dibandingkan dengan standar bahan bakar alternatif (biopelet) negara eropa. Standar biopelet negara eropa merupakan standar biopelet yang memanfaatkan hasil hutan sebagai bahan baku dan tanpa proses pengarangan. Perbandingan parameter briket tidak mengacu pada SNI 01-6235-2000 karena bahan yang digunakan tidak melalui proses pengarangan. SNI 01-6235-2000 menjelaskan standar mutu briket arang kayu. Berikut disajikan standar biopelet dari negara eropa pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3 Standar biopelet beberapa negara

Parameter Unit Austria(a) Jerman(a) Amerika(b) Prancis(c) Kadar air % <10 <12 ≤8

(premium)

≤15

Kadar abu % <0.50 <1.50 ≤1

(premium)

≤6

(23)

Tabel 4 Standar kalor biopelet beberapa negara Sumber: Hahn (2004)

Perbandingan parameter briket bertujuan untuk menentukan kualitas dari briket ampas tebu. Parameter yang diujikan merupakan parameter untuk menentukan kualitas dari briket. Berikut ini disajikan karakterisasi briket ampas tebu untuk setiap parameter yang diujikan (Gambar 4).

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4 Karakterisasi briket ampas tebu kadar air (a), kadar abu (b), zat terbang (c) dan karbon terikat (d)

Kadar air yang dihasilkan mempengaruhi kualitas dari briket ampas tebu. Kadar air (Gambar 4a) briket ampas tebu terendah dihasilkan pada konsentrasi perekat 5%. Nilai kadar air yang dihasilkan berbanding lurus dengan penambahan jumlah konsentrasi perekat tapioka yang digunakan. Menurut Djeni (2011), semakin tinggi taraf perekat yang digunakan maka semakin tinggi kadar air yang dihasilkan. Kadar air juga mempengaruhi nilai kalor dari briket ampas tebu,

Negara Standar Nilai Kalor (kkal/Kg)

Austria (ONORM M 7135) ≥4299.5

Jerman (DIN 51371) ≥4036.6

Swedia (SS 18 71 70) 4179.9 – 4637.6

(24)

10

semakin tinggi kadar air yang dihasilkan maka semakin rendah nilai kalor yang dihasilkan.

Pada produk briket kadar air terendah dihasilkan pada briket dengan konsentrasi perekat terendah dan mengalami kenaikan untuk setiap penambahan konsentrasi perekat. Nilai kadar air yang diperoleh untuk konsentrasi perekat 5%, 10% dan 15% secara berturut-turut sebesar 3.87%, 4.93% dan 6.80%. Peningkatan kadar air briket ampas tebu disebabkan oleh konsentrasi perekat tapioka yang digunakan. Konsentrasi perekat tapioka yang tinggi menyulitkan proses pengeringan briket. Hal ini disebabkan semakin tinggi perekat tapioka yang digunakan maka kekentalan dari perekat tapioka semakin tinggi. Perekat tapioka dengan kekentalan yang tinggi menyulitkan proses penguapan kandungan air selama proses pengeringan sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk penguapan kadar air dibandingkan dengan penggunaan perekat tapioka dengan kekentalan yang rendah. Kadar air briket ampas tebu tidak melebihi standar memberikan celah rongga pada briket sehingga menghasilkan kerapatan yang rendah dan dapat menyebabkan fraksi air masuk ke dalam celah rongga tersebut. Faktor penyimpanan juga dapat mempengaruhi kadar air yang dihasilkan. Penyimpanan briket pada tempat lembab dapat menyebabkan briket menyerap air lebih banyak dibandingkan di tempat yang kering. Selain itu, kadar air briket juga dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tekanan pada proses densifikasi. Tekanan yang tinggi pada proses densifikasi akan menghasilkan briket yang padat dan halus. Semakin padat briket yang dihasilkan maka semakin rendah nilai kadar air yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena partikel bahan yang digunakan akan mengisi pori-pori hingga tidak bercelah dan dapat menurunkan molekul air yang terdapat pada pori-pori tersebut. Dari hasil analisis ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa konsentrasi perekat berpengaruh nyata terhadap kadar air briket ampas tebu. Hasil analisis varian dan uji Duncan disajikan pada Lampiran 4. Pada uji Duncan dihasilkan briket konsentrasi perekat 15% menghasilkan nilai kadar air tertinggi dan berbeda nyata dengan konsentrasi yang lainnya, sedangkan untuk konsentrasi perekat 5% dengan 10% diperoleh uji Duncan tidak berbeda nyata.

(25)

peningkatan kadar abu yang dihasilkan briket ampas tebu. Keberadaan abu pada briket sangat tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerak pada tungku pembakaran dan juga dapat menurunkan nilai kalor pembakaran karena abu tidak memiliki unsur karbon dan nilai kalor lagi. Selain konsentrasi perekat, kadar abu briket juga dipengaruhi faktor jenis bahan yang digunakan. Pembuatan briket dengan menggunakan bahan baku yang memiliki kandungan silika yang tinggi, dapat menghasilkan kadar abu yang tinggi (Meyer dan Keeping 2000). Menurut Wijayanti (2009), kandungan silika ampas tebu mencapai 3.01%.

Dari hasil analisis ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa konsentrasi perekat briket ampas tebu berpengaruh nyata terhadap kadar abu. Hasil analisis varian dan uji Duncan disajikan pada Lampiran 6. Pada uji Duncan dihasilkan briket konsentrasi perekat 15% memberikan nilai kadar abu tertinggi dan berbeda nyata dengan konsentrasi yang lainnya, sedangkan untuk konsentrasi perekat 5% dengan 10% dihasilkan uji Duncan tidak berbeda nyata. Kadar abu briket ampas tebu melebihi standar negara eropa (Tabel 3). Nilai kadar abu negara eropa terendah ditetapkan oleh negara Austria yaitu tidak lebih dari 0.05% namun kadar abu briket ampas tebu tidak melebihi standar negara Prancis yaitu tidak lebih dari 6%.

Pengujian karakterisasi selanjutnya adalah zat terbang. Zat terbang adalah zat yang dapat menguap sebagai hasil dekomposisi senyawa-senyawa di dalam suatu bahan. Semakin tinggi zat terbang pada briket maka semakin banyak pula asap yang dihasilkan pada proses pembakaran. Hal ini disebabkan karena adanya reaksi antara karbon monoksida (CO) dengan turunan alkohol (Hendra et al. 2000).

Zat terbang briket ampas tebu (Gambar 4c) untuk konsentrasi perekat 5%, 10% dan 15% secara berturut-turut sebesar 76.35%, 77.42% dan 77.74%. Menurut Djeni (2011), semakin tinggi konsentrasi perekat yang digunakan maka semakin tinggi zat terbang yang dihasilkan. Dari hasil analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa konsentrasi perekat briket ampas tebu berpengaruh nyata terhadap nilai zat terbang. Selanjutnya berdasarkan uji Duncan (Lampiran 8), konsentrasi perekat 15% menghasilkan zat terbang tertinggi dan berbeda nyata untuk setiap konsentrasi perekat lainnya. Untuk konsentrasi perekat 5% dengan 10% dihasilkan uji Duncan berbeda nyata, begitu juga konsentrasi perekat 5% dengan 15%.

Dari data yang dihasilkan, zat terbang briket ampas tebu berbanding lurus dengan konsentrasi perekat yang digunakan (Gambar 4c). Semakin tinggi konsentrasi perekat yang digunakan, semakin tinggi zat terbang yang dihasilkan briket ampas tebu. Parameter zat terbang belum ada standar yang ditentukan oleh negara-negara eropa namun zat terbang yang dihasilkan briket ampas tebu masih sangat tinggi. Hal ini disebabkan briket ampas tebu yang dibuat tidak melalui proses pengarangan, karena pada proses pengarangan zat terbang yang terkandung dalam ampas tebu telah terlepas atau menguap pada proses tersebut. Pembuatan briket dengan pengarangan bahan mampu menguapkan senyawa non karbon (zat terbang) pada bahan sehingga kadar zat terbang yang dihasilkan briket akan menurun.

(26)

12

sehingga keberadaan karbon terikat pada briket dipengaruhi oleh nilai kadar abu dan kadar zat terbang pada briket tersebut. Semakin tinggi nilai kadar abu dan zat terbang pada briket maka semakin rendah karbon terikat yang dihasilkan. Pengukuran karbon terikat menunjukkan jumlah material padat yang dapat terbakar setelah komponen zat terbang dihilangkan dari bahan tersebut (Speight 2005).

Pada analisis ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa konsentrasi perekat briket ampas tebu berpengaruh nyata terhadap karbon terikat yang dihasilkan. Karbon terikat tertinggi diperoleh pada konsentrasi 5% dengan nilai karbon terikat sebesar 20.29% sedangkan karbon terikat terendah diperoleh pada konsentrasi tertinggi yaitu 15% dengan nilai karbon terikat sebesar 17.76%. Karbon yang dihasilkan briket ampas tebu menurun seiring dengan penambahan konsentrasi perekat. Hal ini disebabkan konsentrasi perekat dapat meningkatkan kandungan zat terbang briket ampas tebu dan secara tidak langsung akan menurunkan karbon yang dihasilkan. Pada uji Duncan (Lampiran 10), untuk setiap konsentrasi memberikan pengaruh beda nyata pada semua konsentrasi. Parameter karbon terikat belum ada standar yang ditentukan oleh negara-negara eropa namun karbon terikat yang dihasilkan briket ampas tebu masih sangat rendah. Perhitungan karbon terikat dapat dihasilkan dengan melihat nilai kadar abu dan kadar zat menguap.

Karakterisasi briket yang terakhir adalah uji nilai kalor. Nilai kalor merupakan faktor utama yang mempengaruhi kualitas dari bahan bakar alternatif. Semakin tinggi kalor yang dihasilkan maka kualitas bahan bakar semakin baik. Nilai kalor berbanding terbalik dengan penambahan konsentrasi perekat yang digunakan. Peningkatan konsentrasi perekat tapioka dapat menurunkan nilai kalor yang dihasilkan karena perekat tapioka dapat menyerap fraksi air sehingga kalor yang dihasilkan akan terbuang untuk proses penguapan air. Nurhayati (1974) menambahkan bahwa semakin rendah nilai kadar air dan kadar abu maka nilai kalor yang dihasilkan semakin tinggi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperoleh nilai kalor tertinggi pada briket dengan konsentrasi perekat terendah yaitu 5%. Nilai kalor pada briket mengalami penurunan nilai kalor untuk setiap penambahan konsentrasi perekat dengan nilai kalor berturut-turut untuk konsentrasi 5%, 10% dan 15% sebesar 4155, 4087 dan 4022 kkal/kg. Berikut ini disajikan grafik nilai kalor briket ampas tebu (Gambar 5) dan perbandingan briket ampas tebu dengan beberapa jenis briket tanpa karbonisasi (Tabel 5).

Gambar 5 Nilai kalor briket ampas tebu Tabel 5 Perbandingan nilai kalor briket

(27)

Parameter Satuan Perekat Tapioka (%) Briket Biomassa

Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 11), menunjukkan bahwa konsentrasi perekat briket ampas tebu tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kalor yang dihasilkan. Briket konsentrasi 5% tidak berbeda nyata dengan briket konsentrasi 10% dan 15% begitu pula dengan briket konsentrasi 10% menunjukkan sidik ragam tidak berbeda nyata dengan briket konsentrasi 15%. Kalor briket ampas tebu yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan nilai kalor briket biomassa lainnya (Tabel 5) namun untuk standar negara-negara eropa (Tabel 4), nilai kalor briket ampas tebu melewati batas standar negara Jerman dan Italia.

Biopelet Daun Tebu

Biopelet merupakan produk bahan bakar alternatif yang menyerupai briket. Biopelet merupakan bahan bakar alternatif tanpa proses pengarangan. Biopelet memiliki keunggulan dibandingkan briket yaitu mudah dalam proses distribusi karena memiliki densitas kamba yang tinggi. Untuk proses pelleting, bahan baku dibentuk dengan ukuran diameter 0.8-1.1 cm dan tinggi 1.1-1.4 cm. Bahan baku yang telah disiapkan kemudian dicacah dan digiling hingga 60 mesh. Pengecilan ukuran bertujuan untuk mendapatkan kualitas biopelet yang lebih baik. Menurut Djeni (2012), semakin kecil ukuran partikel yang digunakan pada produk energi alternatif maka energi yang dihasilkan semakin besar. Bahan yang telah digiling kemudian ditimbang sebanyak 200 g dan dicetak dengan perlakuan yang disajikan pada Tabel 1.

Biopelet yang telah dicetak kemudian diuji fisik dan kimia untuk mengetahui kualitas biopelet daun tebu. Berikut ini disajikan uji fisik dan kimia biopelet daun tebu pada Tabel 6.

(28)

14

200 22 4.08 10.43 73.21 4216

250 10 3.94 11.34 99.18 4228

250 20 3.25 12.21 119.36 4491

270 22 3.18 11.82 132.97 4536

Perbandingan sifat fisik dan kimia yang dihasilkan biopelet tidak mengacu pada standar nasional di Indonesia. Hal ini dikarenakan belum ada standar Indonesia mengenai biopelet. Standar biopelet mengacu pada standar negara-negara eropa yang disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Kadar Air

Untuk pengujian nilai kadar air biopelet, biopelet diberikan dua jenis kondisi perlakuan berbeda sebagai pembanding untuk mengetahui proses conditioning biopelet. Perlakuan pertama, biopelet yang dihasilkan langsung diuji nilai kadar airnya. Perlakuan kedua, biopelet diletakan pada suhu ruang selama 7 hari. Dari data yang dihasilkan kadar air biopelet pada kondisi langsung uji kisaran 3.1% - 4.79%. Pengujian biopelet yang diletakkan di tempat terbuka selama 7 hari menghasilkan kadar air kisaran 3.18% - 7.24%. Berdasarkan data yang dihasilkan (Lampiran 12), biopelet terbuka mengalami kenaikan nilai kadar air dibandingkan dengan biopelet langsung uji. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari kelembaban udara selama masa penyimpanan.

Pada penelitian ini, produk yang digunakan untuk pengolahan data dengan menggunakan Design Expert 7.0.0 adalah biopelet yang diletakan pada suhu ruang selama 7 hari. Pemilihan prosedur conditioning pada produk biopelet bertujuan untuk mengetahui pengaruh lingkungan terhadap biopelet yang disimpan sebelum proses pendistribusian. Berdasarkan nilai kadar air biopelet terbuka dihasilkan kadar air sebesar 3.18 – 7.24 %. Berdasarkan hasil analisis SMSS, lack of fit, R2, dan adjusted-R2 (Tabel 7), model yang sesuai untuk

mengoptimasi kondisi proses dengan respon kadar air adalah model polinomial kuadratik.

Tabel 7 Nilai parameter optimasi untuk respon kadar air Parameter

Linier <0.0001 0.0516 0.9431 0.9317

2FI 0.1577 0.0605 0.9559 0.9400

Kuadratik 0.0071 0.4031 0.9913 0.9812 Cocok

Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa model kuadratik dan linier memiliki nilai SMSS yang signifikan (P<0.05) namun nilai model kuadratik dipilih karena nilai lack of fit dari model kuadratik menjelaskan kesesuaian antara respon kadar air dengan model. Berdasarkan Tabel 7, nilai lack of fit yang diperoleh tidak signifikan (P>0.05). Untuk itu dapat dikatakan respon kadar air sesuai dengan model yang dihasilkan. Berikut adalah model polinomial kuadratik yang diperoleh:

(29)

Berdasarkan persamaan model yang dihasilkan, kadar air yang dihasilkan akan menurun seiring dengan pertambahan suhu dan waktu pengempaan, kuadrat suhu pengempaan dan kuadrat waktu pengempaan. Hal tersebut ditunjukkan dengan konstanta yang bernilai negatif. Menurut analisis ragam (Lampiran 13), faktor suhu dan waktu pengempaan berpengaruh nyata terhadap respon kadar air. Dari Lampiran 13 menunjukkan bahwa nilai faktor suhu dan waktu pengempaan tidak lebih dari 0.05 (P<0.005).

Nilai R2 (R-squared) yang dihasilkan dapat dikatakan bahwa R2 merupakan pengaruh variabel X1 dan X2 terhadap perubahan variabel respon. Nilai R-squared untuk model respon kadar air sebesar 0.9913 yang mempunyai arti bahwa pengaruh variabel X1 dan X2 terhadap perubahan variabel respon adalah 99.13% sedangkan sisanya 0.87% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak diketahui. Menurut Asro (2009), R2>0.8 menunjukkan varian model bagus, namun nilai R2 dapat bertambah seiring dengan penambahan faktor yang digunakan. Nilai predicted R2 yang rendah dapat dipengaruhi oleh banyaknya variabel yang tidak signifikan terhadap model. Berikut ini disajikan grafik kontur dan 3D surface nilai kadar air pada Gambar 6.

(a)

(b)

Gambar 6 Kontur (a) dan 3D respon (b) permukaan nilai kadar air biopelet daun tebu perlakuan suhu dan waktu pengempaan

(30)

16

pusat dari rancangan yang dibuat pada penelitian ini. Pada respon kadar air, yang dicari adalah biopelet dengan nilai kadar air yang paling minimum. Daerah berwarna biru menunjukkan nilai kadar air terendah. Dari gambar dapat dilihat titik pusat tidak berada tepat pada titik pusat lingkaran terdalam melainkan berada di garis kontur lingkaran kedua dari dalam. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa nilai respon terbaik akan diperoleh dengan mengkondisikan faktor-faktor tidak pada titik pusat, tetapi bergeser ke arah kanan atas menuju daerah berwarna biru. Pada Gambar 6b menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan waktu yang digunakan pada proses pengempaan maka semakin rendah kadar air yang dihasilkan. Pada kontur diatas, terjadi penuruan nilai kadar air untuk tiap kenaikan suhu dan waktu pengempaan. Respon kadar air dipengaruhi oleh suhu dan waktu pengempaan serta proses penyimpanan. Tingginya suhu dan waktu yang digunakan pada proses pembuatan biopelet secara tidak langsung dapat menguapkan kandungan air pada bahan yang digunakan, semakin tinggi suhu dan waktu pengempaan maka semakin banyak air yang teruapkan.

Menurut Djeni (2012), kadar air yang tinggi menyebabkan proses pembakaran yang lambat dan menurunkan temperatur pada proses pembakaran. Kadar air yang tinggi menyulitkan pembakaran biopelet sehingga menyebabkan kalor terbuang untuk penguapan air pada pembakaran biopelet. Dari standar yang telah ditetapkan oleh beberapa negara seperti yang disajikan pada Tabel 3, nilai kadar air biopelet daun tebu tidak melebihi standar yang ditetapkan negara Austria (<10%), Jerman (<12%), Amerika (≤8%) dan Prancis (≤15%). Selain faktor suhu pengempaan, kadar air juga dipengaruhi oleh tempat penyimpanan biopelet. Biopelet yang disimpan pada tempat yang lembab akan mengalami kenaikan nilai kadar air dan dapat menyebabkan biopelet menyerap fraksi air dari lingkungan. Air yang terserap biopelet mempengaruhi kerekatan dari biopelet. Kerekatan biopelet mempengaruhi kualitas yang dihasilkan biopelet, semakin tinggi kerekatannya maka semakin baik biopelet yang dihasilkan. Berdasarkan data penelitian, proses conditioning biopelet meningkatkan nilai kadar air yang dihasilkan. Biopelet yang diletakkan pada suhu ruang rata-rata mengalami kenaikan kadar air dibandingkan dengan nilai kadar air biopelet langsung uji (Lampiran 12). Solusi optimasi yang direkomendasikan program Design Expert 7.0.0 untuk respon tunggal kadar air, yaitu X1= 250oC dan X2= 20 menit. Solusi tersebut didasarkan analisis statistika dan matematis program dengan melihat interaksi yang terjadi pada masing-masing faktor ketika menghasilkan respon nilai kadar air

Kadar Abu

Untuk nilai kadar abu yang dihasilkan pada penelitian biopelet sebesar 9.57

– 12.21 %. Berdasarkan hasil analisis SMSS, lack of fit, R2, dan adjusted-R2 (Tabel

8), model yang sesuai untuk mengoptimasi kondisi proses dengan respon kadar abu adalah model polinomial kuadratik.

Tabel 8 Nilai parameter optimasi untuk respon kadar abu

(31)

Linier 0.0386 0.0058 0.4785 0.3742 2FI 0.6643 0.0045 0.4899 0.3199

Kuadratik 0.0010 0.0946 0.9291 0.8784 Cocok Berdasarkan Tabel 8, nilai SMSS linier dan kuadratik bernilai signifikan (P<0.05) namun nilai model kuadratik dipilih karena nilai lack of fit dari model kuadratik menjelaskan kesesuaian antara respon kadar abu dengan model. Berikut adalah model polinomial kuadratik yang diperoleh:

y = 21.91615 – 0.11008X1 - 0.36719X2 + 6.20000E-004X1X2 + 2.85700E-004X12 + 9.57000E-003X22

Berdasarkan persamaan model yang dihasilkan, kadar abu yang dihasilkan akan menurun seiring dengan pertambahan suhu dan waktu pengempaan. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai konstanta yang bernilai negatif. Kadar abu akan meningkat dengan meningkatnya interaksi suhu dan waktu pengempaan, kuadrat dari suhu pengempaan dan kuadrat dari waktu pengempaan. Menurut analisis ragam (Lampiran 14), faktor suhu pengempaan berpengaruh nyata terhadap respon kadar abu sedangkan faktor waktu pengempaan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu yang dihasilkan. Dari Lampiran 14 menunjukkan bahwa nilai faktor suhu pengempaan tidak lebih dari 0.05 (P<0.005). Nilai R-squared untuk model respon kadar abu sebesar 0.9291 yang mempunyai arti bahwa pengaruh variabel X1 dan X2 terhadap perubahan variabel respon adalah 92.91% sedangkan sisanya 7.09% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak diketahui. Berikut ini disajikan grafik kontur respon dan grafik 3D surface pada Gambar 7.

(a)

(b)

(32)

18

Pada Gambar 7a terlihat garis-garis kontur melingkar dengan titik merah di lingkaran terdalam. Garis kontur melingkar bagian terdalam menunjukkan daerah nilai respon yang terbaik. Sebanyak lima titik merah pada gambar merupakan titik pusat dari rancangan yang dibuat pada penelitian ini. Pada respon kadar abu, yang dicari adalah biopelet dengan nilai kadar abu yang paling minimum. Daerah berwarna biru menunjukkan nilai kadar abu terendah. Dari gambar dapat dilihat titik pusat tidak berada tepat pada titik pusat lingkaran terdalam. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa nilai respon terbaik akan diperoleh dengan mengkondisikan faktor-faktor tidak pada titik pusat, tetapi sedikit bergeser ke arah kiri bawah.

Pada Gambar 7b menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan waktu yang digunakan pada proses pengempaan maka semakin tinggi kadar abu yang dihasilkan. Respon kadar abu dipengaruhi oleh suhu pengempaan dan kandungan silika pada bahan yang digunakan. Tingginya suhu yang digunakan pada proses pembuatan biopelet dapat mengubah bahan daun tebu menjadi arang. Secara tidak langsung, proses pengempaan dengan suhu tinggi menyerupai proses karbonisasi bahan. Hal ini didukung dengan penelitian Muharyani et al. (2012), berdasarkan data penelitiannya, kadar abu yang dihasilkan rata-rata meningkat seiring dengan peningkatan suhu karbonisasi. Pada penelitian ini dihasilkan kadar abu dengan suhu terendah sebesar 9.57% dan suhu tertinggi sebesar 12.21%.

Dari standar yang telah ditetapkan oleh beberapa negara seperti yang disajikan pada Tabel 3, nilai kadar abu biopelet daun tebu belum memenuhi standar. Dari Tabel 3, negara Prancis menetapkan standar kadar abu biopelet tidak lebih dari 6%. Pada Tabel 3, kadar abu negara Prancis memiliki nilai kadar abu tertinggi dibandingkan dengan negara lain. Kadar abu biopelet daun tebu yang dihasilkan masih jauh dari standar negara Prancis. Selain tingginya suhu pengempaan, hal ini juga dapat disebabkan karena kandungan silika yang tinggi pada daun tebu. Kandungan silika yang tinggi dapat mempengaruhi nilai kadar abu yang dihasilkan.

Menurut Meyer dan Keeping (2000), tanaman tebu merupakan jenis keluarga Gramineae yang dapat mengakumulasi unsur Si dalam bentuk silika gel dan disimpan di bagian tertentu seperti batang dan daun tebu. Selain itu, Si juga merupakan salah satu unsur utama dari cairan tebu dan penyusun utama dinding batang dan daun tebu. Untuk itu biopelet dari daun tebu menghasilkan nilai kadar abu yang cukup tinggi. Kandungan abu pada bahan biopelet dapat mempengaruhi proses pembakaran dan energi yang dihasilkan. Menurut Djeni (2012), penyusun utama kandungan abu adalah unsur silika. Unsur silika tidak ikut terbakar pada proses pembakaran sehingga dapat menurunkan energi dan mutu kualitas dari biopelet. Ohman et al. (2009) juga menambahkan kandungan abu akan menimbulkan kerak pada proses pembakaran. Solusi optimasi yang direkomendasikan program Design Expert 7.0.0 untuk respon tunggal kadar abu, yaitu X1= 225.34oC dan X2= 10.27 menit. Solusi tersebut didasarkan analisis statistika dan matematis program dengan melihat interaksi yang terjadi pada masing-masing faktor ketika menghasilkan respon nilai kadar abu.

Nilai Kalor

(33)

model yang sesuai untuk mengoptimasi kondisi proses dengan respon nilai kalor adalah model polinomial kuadratik.

Tabel 9 Nilai parameter optimasi untuk respon nilai kalor

SMSS Lack of Fit Adjusted Keterangan Parameter Prob > F Prob > F R2 R2

Linier <0.0001 0.0033 0.8787 0.8544 2FI 0.2515 0.0033 0.8960 0.8960

Kuadratik 0.0014 0.0576 0.9640 0.9640 Cocok Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa model kuadratik dan model linier memiliki nilai SMSS yang signifikan (P<0.05), sedangkan untuk model 2FI nilai SMSS tidak signifikan (P>0.05). Dari pemilihan model, dipilih model kuadratik karena nilai lack of fit dari model kuadratik menjelaskan kesesuaian antara respon kalor dengan model. Berikut adalah model polinomial kuadratik yang diperoleh: y = 2315.25302 + (9.57928) X1 + (59.59687) X2 + (0.1885) X1X2 - (0.019675)

X12 - (2.78250) X22

Berdasarkan persamaan model yang dihasilkan, kalor akan meningkat seiring dengan pertambahan suhu, waktu dan interaksi suhu dan waktu pengempaan. Menurut analisis ragam (Lampiran 15), faktor suhu dan waktu pengempaan berpengaruh nyata terhadap nilai kalor. Dari Lampiran 14 menunjukkan bahwa nilai faktor suhu dan waktu pengempaan tidak lebih dari 0.05 (P<0.005). Nilai R-squared untuk model respon kalor sebesar 0.9640 yang mempunyai arti bahwa pengaruh variabel X1 dan X2 terhadap perubahan variabel respon adalah 96.40% sedangkan sisanya 3.60% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak diketahui.

Pada Gambar 8a terlihat garis-garis kontur melingkar dengan titik merah di lingkaran ketiga terdalam. Garis kontur melingkar bagian terdalam menunjukkan daerah nilai respon yang terbaik. Sebanyak lima titik merah pada gambar merupakan titik pusat dari rancangan yang dibuat pada penelitian ini. Pada respon kalor, yang dicari adalah biopelet dengan nilai kalor yang paling maksimum. Daerah berwarna merah menunjukkan nilai kalor tertinggi. Dari gambar dapat dilihat titik pusat tidak berada tepat pada titik pusat lingkaran terdalam. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa nilai respon kalor kurang baik dan akan menghasilkan respon terbaik dengan mengkondisikan faktor-faktor tidak pada titik pusat, tetapi bergeser ke arah kanan atas menuju daerah berwarna merah.

Berikut in disajikan grafik kontur respon dan grafik 3D surface pada Gambar 8.

(34)

20

(b)

Gambar 8 Kontur (a) dan 3D respon (b) permukaan nilai kalor biopelet daun tebu perlakuan suhu dan waktu pengempaan

Pada Gambar 8b menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan waktu yang digunakan pada proses pengempaan maka semakin tinggi kalor yang dihasilkan. Pada kontur diatas, terjadi peningkatan nilai kalor untuk tiap kenaikan suhu dan waktu pengempaan. Respon nilai kalor biopelet dipengaruhi oleh suhu dan waktu pengempaan dan kandungan air pada biopelet. Suhu dan waktu pengempaan yang tinggi akan meningkatkan kalor biopelet pada bahan yang tidak melalui proses karbonisasi. Suhu dan waktu pengempaan yang tinggi akan mengubah bahan menjadi arang dan akan menghasilkan energi yang tinggi, namun hal tersebut dapat meningkatkan kandungan abu pada biopelet seperti penelitian yang telah dilakukan Muharyani et al (2012). Nilai kalor yang tinggi pada bahan arang disebabkan unsur karbon pada bahan yang dikarbonisasi akan terikat. Karbon yang terikat menunjukkan jumlah material padat yang ikut terbakar pada proses pembakaran (Speight 2005). Berdasarkan pengujian kalor biopelet daun tebu, biopelet dengan suhu dan waktu pengempaan tertinggi menghasilkan nilai kalor tertinggi karena semakin banyak bahan yang menjadi arang.

(35)

dengan melihat interaksi yang terjadi pada masing-masing faktor ketika menghasilkan respon nilai kalor.

Kuat Tekan Biopelet

Parameter kuat tekan diuji untuk mengetahui ketahanan tekan dari suatu produk. Nilai kuat tekan yang tinggi suatu produk dapat memudahkan proses distribusi dan transportasi produk. Semakin tinggi nilai keteguhan tekan yang dihasilkan maka semakin kuat pula daya tekan dari produk. Pada biopelet terbuka, kuat tekan yang dihasilkan bervariasi. Biopelet yang diletakkan secara terbuka selama masa penyimpanan cenderung dapat mengalami perubahan ukuran karena biopelet dipengaruhi oleh fraksi lain dari udara lingkungan.

Berdasarkan data yang diperoleh untuk nilai kuat tekan yang dihasilkan pada biopelet terbuka sebesar 18.43 – 132.97 kgf/cm2. Berdasarkan hasil analisis SMSS, lack of fit, R2, dan adjusted-R2 (Tabel 10), model yang sesuai untuk

mengoptimasi kondisi proses dengan respon kuat tekan adalah model polinomial linier.

Tabel 10 Nilai parameter optimasi untuk respon kuat tekan

SMSS Lack of Fit Adjusted Keterangan SMSS tidak signifikan (P>0.05). Dari pemilihan model, dipilih model linier karena nilai lack of fit dari model linier menjelaskan kesesuaian antara respon kuat tekan dengan model. Berikut adalah model polinomial liinier yang diperoleh:

y = -130.43365 + (0.78104) X1 + (2.23588) X2 + (1.37000E-003) X1X2

Berdasarkan persamaan model yang dihasilkan, kuat tekan yang dihasilkan akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan waktu pengempaan. Proses pengempaan dengan suhu tinggi dapat mengeluarkan kandungan lignin pada daun tebu dan dapat merekatkan partikel daun tebu sehingga meningkatkan nilai kuat tekan biopelet daun tebu. Menurut analisis ragam (Lampiran 16), faktor suhu dan waktu pengempaan berpengaruh nyata terhadap kuat tekan. Dari Lampiran 16 menunjukkan bahwa nilai faktor suhu dan waktu pengempaan tidak lebih dari 0.05 (P<0.005). Nilai R-squared untuk model respon kalor sebesar 0.8684 yang mempunyai arti bahwa pengaruh variabel X1 dan X2 terhadap perubahan variabel respon adalah 86.84% sedangkan sisanya 13.16% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak diketahui. Dari standar yang telah ditetapkan oleh beberapa negara seperti yang disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4, tidak ada standarisasi kuat tekan biopelet yang ditentukan. Berikut ini disajikan grafik kontur respon dan grafik 3D surface pada Gambar 9.

(36)

22

(b)

Gambar 9 Kontur (a) dan 3D respon (b) permukaan nilai kuat tekan biopelet daun tebu perlakuan suhu dan waktu pengempaan

Pada Gambar 9 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pengempaan maka semakin tinggi kuat tekan biopelet. Pada kontur diatas, nilai kuat tekan rata-rata mengalami peningkatan untuk tiap kenaikan suhu dan waktu pengempaan. Respon nilai kuat tekan biopelet dipengaruhi oleh suhu, kandungan lignin dan ukuran bahan yang digunakan. Faktor suhu pengempaan dan lignin bahan saling berkaitan terhadap nilai kuat tekan yang dihasilkan. Lignin pada biomassa dapat dimanfaatkan sebagai perekat alami dengan bantuan pemanasan. Pada proses pencetakkan biopelet daun tebu tidak menggunakan tambahan bahan perekat melainkan memanfaatkan lignin yang terkandung pada daun tebu. Menurut Santoso dan Jasni (2003), lignin terdiri dari molekul-molekul senyawa polifenol yang berfungsi sebagai pengikat sel-sel satu sama lain, sehingga menjadi keras dan kaku. Bahan yang mengandung lignin mampu meredam kekuatan mekanis yang dikenakan terhadapnya. Oleh karena itu memungkinkan untuk memanfaatkan lignin sebagai perekat dan bahan pengikat pada biopelet.

(37)

menambahkan timbulnya perekat alami lignin karena adanya perubahan komponen kimia seperti hidrolisis hemiselulosa dan pelarutan lignin.

Selain faktor tersebut, nilai kuat tekan yang tinggi disebabkan karena ukuran serbuk daun tebu yang cenderung lebih seragam. Permukaan yang seragam akan lebih memudahkan serbuk daun tebu menempel dan saling berikatan. Semakin kecil ukuran serbuk daun tebu, maka nilai keteguhannya akan semakin besar (Hendra dan Darmawan 2002).

Berdasarkan data yang dihasilkan, nilai kuat tekan terus naik seiring kenaikan suhu dan waktu pengempaan. Pada penelitian ini suhu dan waktu pengempaan tertinggi juga menghasilkan nilai kuat tekan tertinggi. Hal ini disebabkan perekat lignin dapat merekatkan bahan secara keseluruhan pada kondisi suhu dan waktu pengempaan tersebut sehingga tidak menimbulkan celah pada rongga biopelet. Celah rongga biopelet yang besar dapat menyebabkan biopelet rentan hancur. Solusi optimasi yang direkomendasikan program Design Expert 7.0.0 untuk respon tunggal kuat tekan, yaitu X1= 250oC dan X2= 20 menit. Solusi tersebut didasarkan analisis statistika dan matematis program dengan melihat interaksi yang terjadi pada masing-masing faktor ketika menghasilkan respon nilai kuat tekan.

Optimasi Respon Permukaan

Tujuan dilakukannya optimasi adalah untuk mendapatkan kombinasi model yang terbaik sehingga menghasilkan mutu dari biopelet daun tebu sesuai dengan yang diinginkan. Nilai optimasi terbaik ditunjukkan dengan nilai desirability yang mendekati satu. Tabel 11 menjelaskan variabel-variabel dan respon-respon yang ingin dioptimasi dari penelitian.

Tabel 11 Uraian variabel dan respon yang akan dioptimasi

Kriteria Satuan Goal Batas

Metode multirespon disebut juga sebagai desirability, kisaran dari desirability adalah 0-1. Pada tabel tersebut dapat diketahui goal dan bobot kepentingan dari setiap variabel dan respon untuk mendapatkan respon yang optimal.

(38)

24

menghasilkan nilai kuat tekan yang tinggi sehingga biopelet tidak mudah hancur pada proses distribusi. Penetapan goal yang diberikan untuk kadar air dan kadar abu adalah goal minimal dan goal in range. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan nilai kadar air dan kadar abu serendah mungkin sedangkan goal nilai kalor dan kuat tekan adalah goal maksimal. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan biopelet dengan nilai kalor yang tinggi dengan kuat tekan yang tinggi.

Setelah semua variabel dan respon diberikan bobot kepentingannya, dihasilkan solusi optimasi dari biopelet daun tebu dengan suhu pengempa 250oC selama 20 menit. Solusi optimum disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Solusi optimasi hasil analisis Design Expert 7.0.0 Suhu diperoleh nilai desirability 0.927. Tujuan dari melaukan solusi optimasi dengan menggunakan metode respon permukaan adalah untuk dapat menentukan kombinasi optimum dan faktor (peubah bebas) yang akan menghasilkan respon (peubah tidak bebas) yang diinginkan dan dapat menggambarkan bahwa respon mendekati optimum. Setelah itu dilakukan pembuktian aktual (validasi) dari solusi yang disarankan Design Expert 7.0.0 dan dibandingkan hasil antara solusi Design Expert 7.0.0 dengan nilai aktual.

Setelah dilakukannya validasi terhadap dugaan nilai respon-respon yang diberikan, didapatkan biopelet daun tebu yang memiliki nilai kadar air 3.41%, kadar abu 12.19%, kuat tekan 119.22 kgf/cm2 dan nilai kalor 4490 kkal/kg. Apabila dibandingkan dengan nilai respon solusi yang diberikan dari program Design Expert 7.0.0 nilai respon hasil validasi yang didapatkan tidak berbeda jauh dengan nilai respon solusi. Semua nilai respon yang didapatkan masih didalam selang nilai respon solusi. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa solusi optimasi yang direkomendasikan oleh program Design Expert 7.0.0 adalah baik. Berikut disajikan perbandingan nilai respon prediksi solusi optimasi dengan nilai aktual pada Tabel 13.

Tabel 13 Perbandingan nilai respon prediksi solusi optimasi dengan nilai aktual

Respon Aktual Prediksi 95% PI

Berikut ini juga disajikan perbandingan nilai kalor biopelet menggunakan bahan berbeda (Tabel 14).

(39)

No. Bahan Biopelet Kadar Air

Sumber: a) Ermy (2014) b) Djeni (2012) c) Rahman (2011) .

Berdasarkan Tabel 14, pembuatan biopelet dengan kondisi optimum yang disarankan Design Expert 7.0.0 menghasilkan nilai kalor lebih besar dibandingkan dengan biopelet pelepah sawit, campuran cangkang dan pelepah sawit, kayu sengon dan sekam padi. Hal ini dapat disebabkan oleh rendahnya kadar air yang dihasilkan biopelet daun tebu. Menurut Nurhayati (1974) nilai kalor dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kadar air dan kadar abu yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar air yang dihasilkan maka semakin rendah kalor yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena sebagian kalor pada biopelet digunakan untuk menguapkan air pada awal proses pembakaran (Rahman 2011).

Pada Tabel 14 juga menjelaskan nilai kadar air biopelet dari beberapa bahan yang berbeda. Biopelet kayu sengon menghasilkan nilai kadar air terendah (2.45%) diantara biopelet lainnya namun nilai kalor yang dihasilkan lebih kecil dari biopelet daun tebu yang memiliki nilai kadar air lebih besar dari biopelet kayu sengon yaitu 3.26%. Hal ini dapat disebabkan rendahnya kandungan lignin pada biopelet kayu sengon. Menurut Djeni (2012), nilai kalor biopelet juga dapat dipengaruhi oleh kandungan lignin dari bahan yang digunakan. Berdasarkan perhitungan energinya, energi yang dihasilkan biopelet lebih besar dibandingkan energi pembuatannya (3850.2 kkal/kg) (Lampiran 18). Perhitungan energi berdasarkan alat listrik yang digunakan untuk menunjang pembuatan biopelet daun tebu. Keuntungan energi yang dihasilkan tidak terlalu besar yaitu 729.6 kkal/kg mengingat pembuatan biopelet daun tebu menggunakan alat skala laboratorium. Untuk mendapatkan keuntungan energi yang lebih besar dapat menggunakan alat skala komersial.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(40)

26

kualitas dari limbah tersebut. Ketersediaan jumlah ampas dan daun tebu yang dihasilkan berpotensi untuk dimanfaatkan menjadi bahan bakar alternatif dengan jumlah rata-rata potensi ketersediaan ampas tebu pada pabrik adalah 32.88% dari total tanaman tebu yang dipanen. Untuk potensi daun tebu, ketersediaan daun tebu mencapai 3 ton/ha atau 5% dari total tanaman tebu yang dipanen. Briket dibuat dengan bahan baku ampas tebu dan menghasilkan perlakuan terbaik pada konsentrasi perekat tapioka 5%, dengan nilai kadar air sebesar 3.87%, kadar abu 3.35%, zat terbang 76.35%, karbon terikat 20.29% dan nilai kalor 4155 kkal/kg. Untuk biopelet berbahan daun tebu menghasilkan kondisi optimal dengan perlakuan suhu pengempaan 250oC selama 20 menit. Pengempaan dengan kondisi tersebut menghasilkan biopelet dengan kadar air 3.41%, kadar abu 12.19%, kuat tekan 119.22 kgf/cm2 dan kalor 4490 kkal/kg. Pembuatan biopelet daun tebu mampu menaikkan nilai kalor daun tebu sebesar 36.84%.

Saran

Melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pembuatan briket ampas tebu dengan proses karbonisasi atau pencampuran ampas tebu dengan bahan lain untuk pembuatan briket. Untuk biopelet, perlu uji lanjut dengan melakukan pencampuran bahan baku biopelet atau dengan perlakuan tekanan pengempaan biopelet untuk menghasilkan nilai kalor yang lebih tinggi (>5000 kkal/kg).

DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. SNI Briket Arang Kayu. Jakarta: Standar Nasional Indonesia.

Abdullah K, Irwanto AK, Siregar N, Agustina SE, Tambunan AH, Yamin M, Hartulistiyoso E, Purwanto YA, Wulandani D, Nelwan LO. 1998. Energi dan Elektrifikasi Pertanian. Bogor: Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor.

Asro. 2009. Penggunaan fungsi regresi excel untuk pemodelan dan inferential. [internet]. [diunduh 6Agustus 2014]. Tersedia pada : http://asro.wordpress.com.

Boedjang K. 1973. Pembuatan Arang Cetak. Laporan Karya Utama. Departemen Teknologi Kimia, Fakultas Teknologi Industri ITB, Bandung.

Djeni H. 2011. Pemanfaatan Eceng Gondok (Eichornia crassipes) Untuk Bahan Baku Briket Sebagai Bahan Bakar Alternatif. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 29(2):189-210.

Djeni H. 2012. Rekayasa Pembuatan Mesin Pelet Kayu dan Pengujian Hasilnya. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 30(2):144-154.

Douard F. 2007. Chalange in the Expanding French Pellet Market. ITEBE Pellet 2007 Conference. Wells, Austria.

(41)

Erbahari DS. 2003. Formulasi Biobriket dari Arang Sekam dan Blotong Menggunakan Perekat Gaplek [skripsi]. Purwokerto: Departemen Teknik Pertanian, Universitas Jendral Sudirman.

Ermy P. 2014. Karakteristik Biopelet Campuran Cangkang dan pelepah Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) [skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan.

Fuwape JA, Akindele SO. 1997. Biomass Yield and Energy Value of Some Fast Growing Multi Purpose Trees in Nigeria. Biomass Energy. 12(2):101-106

Hahn B. 2004. Existing Guidelines and Quality Assurance for Fuel Pellets. Austria: Umbera.

Hendra D, S. Darmawan. 2002. Pembuatan Briket Arang dari Serbuk Gergajian Kayudengan Penambahan Tempurung Kelapa. Buletin Penelitian Hasil Hutan 18(1):1-9.

Hendra D, Pari G. 2000. Penyempurnaan Teknologi Pengolahan Arang. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutan.

Ispriyanti D. 2007. Pemodelan Regresi untuk Rancangan Percobaan Faktor Tunggal. Jurnal Sains & Matematik (JSM). 15(2):61-67.

Jamilatun S. 2008. Sifat-Sifat Penyalaan dan Pembakaran Briket Biomassa, Briket Batubara dan Arang Kayu. Jurnal Rekayasa Proses. 2(2): 39-40 Masturin A. 2002. Sifat Fisik dan Kimia Briket Arang dari Campuran Kayu,

Bambu, Sabut Kelapa, dan Tempurung Kelapa Sebagai Sumber Energi Alternatif. Buletin Penelitian Hasil Hutan 25:242-255.

Meyer MH, Keeping MG. 2000. Review of Research Into the Role of Silicon for Sugarcane Production. Proc. S AfrSug Technol Ass74: 29-40.

Muharyani R, Pratiwi D, Asip F. 2012. Pengaruh Suhu Serta Komposisi Campuran Arang Jerami Padi dan Batubara Subbituminus Pada Pembuatan Briket Bioarang. Jurnal Teknik Kimia. 18(1):47-53

Myers RH, Montgomery DC. 2002. Response Surface Methodology: Process and Product Optimization Using Designed Experiments (2ndEdition), John Wiley & Sons, New York.

Nugrahaeni JI. 2008. Pemanfaatan Limbah Tembakau (Nicotiana tabacum l.) Untuk Bahan Pembuat Briket Sebagai Bahan Bakar Alternatif [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Nugroho MA. 2012. Analisis Mutu Briket Ampas Biji Jarak Pagar Berdasarkan Proses Karbonisasi dan Tanpa Proses Karbonisasi [skripsi]. Purwokerto: Departemen Teknik Pertanian, Unversitas Jendral Sudirman.

Nurhayati T. 1974. Catatan Singkat Tentang Kualitas Arang Kayu Sehubungan dengan kegunaannya. Kehutanan Indonesia 1.

Ohman M, Nystrom I, Gilbe C. 2009. Slag formation during combustion of biomassa fuels. International Conference on Solid Biofuels, Beijing. Okuda N, Sato M. 2004. Manufacture and Mechanical Properties of Binderless

Boards from Kenaf Core. J Wood Sciense 50: 53-61.

[PFI] Pellet Fuel Institute. 2011. Pellets: Industry Specifics.

(42)

28

Rahman. 2011. Uji Keragaan Biopelet dari Biomassa Limbah Sekam Padi (Oryza sativa sp.) Sebagai Bahan Bakar Alternatif Terbarukan [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Industri Pertanian.

Santoso Adi dan Jasni. 2003. Daya Tahan Garis Rekat LRF Pada Kayu Lamina Manii Terhadap Serangan Rayap Kayu Kering.

http://jurnalmapeki.biomaterial-lipi.org. [diunduh 28 Februari 2015] Saptoadi H. 2006. The Best Biobriquette Dimension and its Particle Size. The

2nd Joint International Conference on “Sustainable Energy and

Environment (SEE 2006)” 21-23 November 2006. Bangkok, Thailand.

Saputro DD, Widayat W, Rusiyanto, Saptoaddi S, Fauzun. 2012. Karakterisasi Briket dari Limbah Pengolahan Kayu Sengon dengan Metode Cetak Panas. dalam: Prosiding. Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST), Yogyakarta 3 November.

Speigth JG. 2005. Handbook of Coal Analysis. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Wijayanti R. 2009. Arang Aktif Dari Ampas Tebu Sebagai Adsorben Pada Pemurnian Minyak Goreng Bekas. (Skripsi). Departemen Kimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor : Bogor

Zulleha S. 2013. Pengaruh Jenis dan Persentase Perekat Terhadap Kualitas Briket dari Limbah Pelepah Nipah [skripsi]. Purwokerto: Departemen Teknik Pertanian, Unversitas Jendral Sudirman.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Data produksi tebu tahun 2008-2012 PG Subang Musim

2009 5321,967 296433.5619 14821.678 104548.3 35,27 2010 5384,764 359702.2352 17985.112 114779.6 31,91 2011 4981,069 343693.761 17184.688 112793.8 32,82 2012 5092,147 325897.408 16294.870 107363.8 32,94

Lampiran 2 Prosedur uji sifat fisik dan kimia A. Kadar air (SNI Briket 01-6235-2000)

(43)

Sebanyak satu gram sampel dimasukkan ke dalam cawan porselin yang bobotnya sudah diketahui. Kemudian dikeringkan dalam oven suhu 105-110 oC selama 2 jam. Kemudian didinginkan dalam eksikator selama 1 jam dan ditimbang. Kadar air dihitung menggunakan persamaan B. Kadar abu (SNI Briket 01-6235-2000)

Prinsip penetuan kadar abu adalah menentukan jumlah abu yang tertinggal setelah pembakaran menggunakan energi panas. Abu terdiri dari mineral-mineral yang tidak dapat hilang atau menguap pada proses pengabuan. Cawan porselen yang berisi sampel dari hasil penentuan kadar air digunakan untuk mentapkan kadar abu. Cawan dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600-900 oC selama 5-6 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu dihitung dengan persamaan:

Dimana: Ya = bobot abu (g) Yc = bobot sampel (g)

C. Kadar zat terbang (SNI Briket 01-6235-2000)

Prinsip penetapan kadar zat terbang adalah menguapkan bahan tanpa oksigen pada suhu 950oC. Kehilangan berat dihitung sebagai bagian yang hilang. Timbang dengan seksama 1-2 gram contoh ke dalam cawan porselen bertutup yang sudah diketahui bobotnya. Panaskan pada suhu 950oC pada tanur selama 7 menit. Setelah penguapan selesai, cawan didinginkan di dalam eksikator dan selanjutnya ditimbang. Kadar zat terbang dihitung menggunakan persamaan:

Keterangan:

Z1 = bobot awal (g), Z2 = bobot akhir (g)

D. Kadar karbon terikat (SNI Briket 01-6235-2000)

Prinsip penentuan kadar karbon terikat adalah menghitung fraksi karbon dalam bahan, tidak termasuk zat menguap dan abu . Kadar karbon terikat dihitung menggunakan persamaan:

(44)

30

Prinsip yang digunakan adalah mengukur kalor pembakaran bahan bakar padat. Kalor pembakaran ditentukan dengan dengan membakar sejumlah contoh uji dengan pengendalian kondisi dalam Oxygen Bomb Calorimeter. Kalor pembakaran dihitung dari temperatur sebelum percobaan, selama dan setelah pembakaran, dengan mempertimbangkan koreksi pindah panas dan koreksi termokimia.

Contoh uji sebanyak ±1 gram ditempatkan pada cawan silica dan diikat dengan kawat nikel. Contoh uji kemudian dimasukkan ke dalam tabung dan ditutup rapat. Tabung yang berisi contoh uji dialiri oksigen selama 30 detik. Tabung dimasukkan ke dalam Oxygen Bomb Calorimeter. Pembakaran dimulai pada saat suhu air sudah tetap. Pegukuran dilakukan sampai suhu mencapai suhu optimum. Besarnya nilai kalor suatu bahan sesuai dengan persamaan sebagai berikut:

Prinsip yang digunakan dalam mengukur keteguhan tekan adalah menentukan kekuatan briket yang dihasilkan dalam menahan beban yang diterima hingga briket pecah. Keteguhan tekan briket dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut:

Dimana: P = keteguhan tekan briket (kg/cm2) Mb = beban yang diterima briket (kg) A = Luas permukaan briket (cm2) Lampiran 3 Analisis varian kadar air briket ampas tebu

SK JK db RK F Hitung Sig

Koreksi model 8.800 2 4.400 13.902 0.030

Konsenntrasi 8.800 2 4.400 13.902 0.000

Galat 0.949 3 0,316 0.030

Lampiran 4 Hasil uji Duncan kadar air briket ampas tebu

Gambar

Gambar 1 Diagram alir proses pembuatan briket ampas tebu
Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan biopelet daun tebu
Tabel 2 Hasil uji fisik kimia ampas tebu dan daun tebu
Gambar 3 Ampas tebu (kiri), pengempa briket dan briket ampas tebu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Antara Komposisi Bahan Baku Terhadap Kadar Zat Terbang Biobriket Campuran Ampas Tebu dan Tempurung Kelapa ... Hubungan Antara Komposisi Bahan Baku Terhadap Kadar

Nilai kalor bawah (LHV) adalah nilai kalor yang diperoleh dari pembakaran 1 kg bahan bakar tanpa memperhitungkanpanas kondensasi uap (air yang dihasilkan dari pembakaran berada

Karbon aktif merupakan karbon amorf, yang dapat dihasilkan dari bahan-?. bahan yang mengandung karbon atau dari arang yang diperlakukan

Karbon aktif merupakan karbon amorf, yang dapat dihasilkan dari bahan- bahan yang mengandung karbon atau dari arang yang diperlakukan dengan cara khusus untuk mendapatkan

Briket dengan kadar bahan perekat 30% keatas memiliki nilai kalor yang rendah dikarenakan komposisi bahan bakar yang semakin berkurang.. Selain dari hasil

Batu bara memiliki kandungan kadar karbon terikat yang lebih tinggi daripada biomassa, tetapi setelah dipirolisis mengalami kenaikan karbon terikat, karena berkurangnya

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai variasi bahan baku yang memudahkan pada proses pembakaran briket arang dan biopelet sehingga tidak lagi

Karbon aktif adalah suatu padatan berpori yang mengandung 85-95% karbon, dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon dengan pemanasan pada suhu tinggi.Bahan