• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Mengenai Pencurian Ikan (Illegal Fishing) Oleh Kapal Asing di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004Tentang Perikanan Juncto Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Hukum Mengenai Pencurian Ikan (Illegal Fishing) Oleh Kapal Asing di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004Tentang Perikanan Juncto Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan "

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat pada Program Strata-1 Jurusan Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

Oleh :

ANDI HIDAYAT 3.16.09.013 Pembimbing : Hetty Hassanah S.H., MH

NIP 4127.33.00.005

JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG

(2)

iv

LEMBAR PENGESAHAN

SURAT PERNYATAAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT………... viii

BAB I PENDAHULUAN ... A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 5

E. Kerangka Pemikiran ... 6

F. Metode Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN DALAM RUANG LINGKUP ZONA EKONOMI EKSKLUSIF... A. Aspek Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dan Tindak Pidana Internasional... 1. Aspek Hukum Tindak Pidana... 16

(3)

2. Aspek Hukum Tindak Pidana Internasional.... a. Pengertian Hukum Pidana Internasional... 21 b. Subjek dan Objek Hukum Pidana

Internasional... 23 c. Kejahatan Internasional... 23 B. Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal Fishing)...

1. Pengertian Illegal Fishing... 25 2. Ruang Lingkup Illegal Fishing... 26 C. Tinjauan Umum Tentang Zona Ekonomi Eksklusif

1. Zona Ekonomi Eksklusif... 28 2. Berlakunya Zona Ekonomi Eksklusif... 32 BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN SEBAGAI TINDAK

PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA

EKONOMI EKSKLUSIF Indonesia ...

A. Kasus Pencurian Ikan Terhadap Indonesia Di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia... 39 B. Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Pencurian Ikan (illegal fishing) Di Wilayah Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia... 45

BAB IV TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENCURIAN IKAN

OLEH KAPAL ASING DIPERAIRAN ZONA EKONOMI

EKSKLUSIF BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN.... A. Tindakan Hukum Yang Dapat Dilakukan Terhadap

(4)

Ekonomi Eksklusif (ZEE) Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan ... 48 B. Bentuk Perlindungan Wilayah Perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Sebagai Tindakan Pencegahan Pencurian Ikan (illegal fishing) Di Wilayah Indonesia... 52

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ... 67 B. Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA ... DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(5)

i Assalamualaikum wr.wb

Segala puji serta syukur peneliti panjatkan kepada Allah S.W.T yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya, shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Rasul kita Muhammad S.A.W, bahwa Peneliti masih diberikan kesempatan untuk dapat mensyukuri segala nikmat-Nya, berkat taufik dan hidayah-Nya, Peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “TINJAUAN HUKUM MENGENAI PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) OLEH KAPAL

ASING DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA (ZEE)

DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004

TENTANG PERIKANAN JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN

1985 TENTANG PENGESAHAN THE UNITED NATIONS CONVENTION ON

THE LAW OF THE SEA (UNCLOS)

Peneliti sangat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi subtansi maupun tata bahasa, sehingga kiranya masih banyak yang perlu didalami dan diperbaiki. Peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang insya Allah dengan jalan ini dapat memperbaiki kekurangan dikemudian hari.

(6)

pikiran dan kesabarannya untuk membimbing dalam penulisan Skipsi ini, selain itu penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, Msc selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia;

2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Umi Narimawati, Dra. S. E. M. Si. selaku Wakil Rektor I Universitas Komputer Indonesia;

3. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E., M.S., A.k selaku Wakil Rektor II Universitas Komputer Indonesia

4. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Aelina Surya, selaku Wakil Rektor III Universitas Komputer Indonesia

5. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, S.H., MS. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

6. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan dan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

7. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

8. Yth. Ibu Febilita Wulan Sari, S.H selaku Dosen Wali angkatan 2009 sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

9. Yth. Bapak Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

10. Yth. Ibu Muntadhiroh Alchujjah, S.H., LLM. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

(7)

12. Yth. Ibu Dr. Farida Yulianti, S.H., S.E., M.M selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

13. Yth. Ibu Rachmani Puspitadewi., S.H., M.Hum selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

14. Yth. Ibu Rika Rosilawati, A.Md selaku Staff Administrasi Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

15. Yth. Bapak Muray Selaku Karyawan Fakultas Hukum Universitas Kompter Indonesia

Akhir kata peneliti mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah S.W.T, karena atas ijin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Skipsi ini. Terima kasih sebesar-besarnya kepada :Ramadhani Fathima Zahra, Firdausi Mahaputra, Maychal Saut, Franky Butar-butar, Diki Maulana, Rimei Suminar, Charles, Daun Asprianto dan teman-teman yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan peneliti khususnya.

Bandung, Juli 2013

(8)

69 A. BUKU-BUKU

Chairyl Anwar, ZEE di Dalam Hukum Internasional dan ZEE Asia Pasifik, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.

Darji Darmodiharjo & Shidarta,Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2011.

Divera Wicaksono, Menutup Celah Pencurian Ikan, yayasan penerbit nusantara, jakarta, 2007.

Gatot Supramono, Hukum Pidana Di Bidang Perikanan, Rineka Cipta, Jakarta, 2011.

I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, Bandung, 2004.

Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984.

Marhaeni Ria siombo, Hukum Perikanan Nasional dan Internasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010.

Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1976.

N.H.T. Siahaan dan H. Suhendi, Hukum Laut Nasional, Djambatan, Jakarta,1989.

Otje Salman Soemadiningrat dan Anton F.S, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007.

S.K Wahyono, Indonesia Negara Maritim, Yayasan Penerbit Nusantara, Jakarta, 2007.

(9)

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002.

Tedjo Edhy Purdijanto, Mengawal Perbatasan Negara Maritim, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.

Yesmil Anwar, Pembaruan hukum pidana, Grasindo, Jakarta, 2008.

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003.

B. UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Dasar 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Peubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

C. INTERNET

http://www.tnial.mil.id/ Pokok-pokok Pikiran TNI Angkatan Laut http://hukum.tvonenews.tv/ Pencurian ikan

http://hukum.tvonenews.tv/berita/view/polri_tangkap_11_kapal_vietnam_ pencuri_ikan_di_natuna_tvOne

http://www.walhi.or.id/Krisis Ikan di Indonesia

(10)

16

A. Aspek Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dan Tindak Pidana

Internasional

1. Aspek Hukum Tindak Pidana

a. Pengertian Hukum Pidana

Banyak pengertian dari hukum pidana yang diberikan oleh para ahli hukum pidana diantaranya adalah sebagai berikut :

1. W.L.G. Lemaire

Hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusankeharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.10

10

(11)

2. Simons

Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti objek tif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjectieve zin. Hukum pidana dalam arti objek tif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif.11 Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai:

a. Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati

b. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan

c. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana.

Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi bisa diartikan secara luas dan sempit, yaitu sebagai berikut :12

a. Dalam arti luas:

Hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu;

b. Dalam arti sempit:

Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan-badan

11

Ibid, hlm 3. 12

(12)

peradilan. Jadi ius puniendi adalah hak mengenakan pidana. Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) yang merupakan peraturan yang mengatur hak negara dan alat perlengkapan negara untuk mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melanggar larangan dan perintah yang telah diatur di dalam hukum pidana itu diperoleh negara dari peraturanperaturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif (ius poenale). Dengan kata lain ius puniendi harus berdasarkan kepada ius poenale.

3. W.F.C. Van Hattum

Hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturanperaturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturanperaturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.13

4. Van Kan

Hukum pidana tidak mengadakan norma-norma baru dan tidak menimbulkan kewajiban-kewajiban yang dulunya belum ada. Hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan. Hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya

13

(13)

norma-norma hukum yang telah ada. Tetapi tidak mengadakan norma baru. Hukum pidana sesungguhnya adalah hukum

sanksi (het straf-recht is wezenlijk sanctie-recht).14

hukum pidana adalah bagian dari hukum positif yang berlaku di suatu negara dengan memperhatikan waktu, tempat dan bagian penduduk, yang memuat dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan mengenai tindakan larangan atau tindakan keharusan dan kepada pelanggarnya diancam dengan pidana. Pemahaman tentang tindak pidana tidak terlepas dari pemahaman tentang pidana itu sendiri. Pengertian dari tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh kitab undang-undang hukum pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana.15

Wiryono Projodiko menyatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang berlakunya dapat dikenakan hukum pidana dan berlakunya ini dapat dikenakan subjek pidana.16 Berbicara mengenai tindak pidana, pada dasarnya harus ada subjek dan orang itu melakukannya dengan kesalahan. Apabila telah terjadi suatu tindak pidana, hal tersebut berarti bahwa ada orang sebagai subjeknya dan pada orang itu terdapat kesalahan. Sebaliknya jika seseorang telah melakukan suatu tindakan yang memenuhi unsur sifat melawan hukum, tindakan yang dilarang serta diancam dengan pidana oleh undang-undang dan faktor-faktor lainya, tanpa adanya unsur keslahan, berarti

14

Ibid, hlm 6. 15

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hlm 204.

16

(14)

tidak telah terjadi suatu tindak pidana, melainkan yang terjadi hanya suatu peristiwa pidana.

Peristiwa pidana merupakan suatu tindak pidana yang telah terjadi dan dapat dipertanggungjawabkan pidananya kepada subjek, jika salah satu unsur tersebut tidak terbukti dapat disimpulkan bahwa tindak pidana tersebut belum atau tidak terjadi tetapi bukan suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang diancam suatu pidana, tindakan tersebut telah terjadi sesuai dengan tindakan dalam pasal yang bersangkutan dan tindakan tersebut tidak melawan hukum.

b. Subjek Hukum

Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung (dapat memiliki) hak dan kewajiban, yang dapat dijadikan sebagai subjek hukum adalah manusia (Natuurlijk persoon) dan Badan Hukum (Rechts persoon).17

1. Manusia (Natuurlijk persoon)

Manusia sebagai subjek hukum (Natuurlijk persoon) adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban.

2. Badan Hukum (Rechts persoon)

Badan hukum sebagai subjek hukum (Rechts persoon) adalah suatu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukum dan mempunyai tujuan tertentu ang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban.

17

(15)

Badan hukum terbagi atas 2 (dua) macam yaitu badan hukum privat dan bandan hukum publik yang berarti badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil yang menyangkut kepentingan pribadi orang di dalam badan hukum itu, sedangkan badan hukum publik adalah hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau yang menyangkut kepentingan orang banyak dan negara umumnya.18

c. Objek Hukum

Objek hukum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi subjek hukum dan dapat menjadi objek dalam suatu hubungan hukum.

2. Aspek Hukum Tindak Pidana Internasional

a. Pengertian Hukum Pidana Internasional

Pengertian hukum pidana internasional yang diberikan oleh para ahli pidana Internasional diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Rolling

Menurut Rolling hukum pidana internasional adalah hukum yang menentukan hukum pidana nasional yang akan diterapkan terhadap kejahatan yang telah jelas dilakukan, bilamana terdapat unsur-unsur Internasional di dalamnya.19

2. George Schwazenberger

Menurut george schwazenberger hukum pidana internasional memberikan 6 (enam) ciri mengenai hukum pidana internasional yaitu sebagai berikut :20

18

Ibid, hlm 17. 19

Sumaryo Suryokusumo, Hukum Pidana Internasional, Tatanusa, jakarta, 2010, hlm 7.

20

(16)

a. Hukum pidana internasional dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasional.

b. Hukum pidana internasional dalam arti aspek hukum Internasional yang ditetapkan sebagai ketentuan dalam hukum pidana nasional.

c. Hukum pidana internasional dalam arti kewenangan Internasional yang terdapat di dalam hukum pidana nasional.

d. Hukum pidana internasional dalam arti ketentuan hukum pidana nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa-bangsa yang beradab.

e. Hukum pidana internasional dalam arti kerjasama Internasional dalam mekanisme administrasi peradilan. f. Hukum pidana internasional dalam arti kata materiil. 3. Edward.M.Wise

Hukum pidana internasional memberikan 3 (tiga) ciri mengenai hukum pidana internasional yaitu :21

a. Kekuasaan mengadili dari pengadilan tertentu (unsur asing).

b. Prinsip hukum publik internasional (kewajiban transformasi ke dalam hukum nasional).

c. Keutuhan hukum pidana internasional (instrumen penegakan hukum).

21

(17)

4. Bassiouni

Hukum pidana Internasional adalah suatu hasil pertemuan dua disiplin hukum yang telah muncul dan berkembang secara berbeda serta saling melengkapi dan mengisi.22

b. Subjek dan Objek Hukum Pidana Internasional Subjek hukum pidana internasional yaitu :

1. Negara

2. Oragnisasi Internasional 3. Palang Merah Internasional 4. Tahta Suci Vatikan

5. Kelompok Pemberontakan 6. Individu

7. Perusahaan Multinasional Objek hukum pidana internasional yaitu :

1. Kejahatan internasional dan transnasional 2. Yurisdiksi kriminal negara

3. Ekstradisi

4. Interpol (International Criminal Police Organizations) c. Kejahatan internasional

Kejahatan internasional adalah perbuatan yang secara internasional diakui sebagai kejahatan, dimana hal itu dianggap sebagai masalah serius yang menjadi perhatian Internasional.23

22

Ibid, hlm 11. 23

(18)

Statuta roma tahun 1998 tentang mahkama pidana Internasional, kejahatan yang termasuk dalam lingkun kejahatan Internasional yaitu :

1. Kejahatan Genosida

Perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan seluruhnya atau sebagian suatu kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan.

2. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui serangan tersebut.

3. Kejahatan Perang

Perbuatan melawan hak seseorang atau kepemilikan seseorang yang diatur dalam konvensi jenewa.

Kejahatan transnasional merupakan bagian dari kejahatan Internasional yang mempunyai dampak melewati batas territorial suatu negara dan kejahatan transnasional dapat dilakukan secara individu atau sekelompok terorganisir. Beberapa contoh kejahatan transnasional antara lain yaitu :24

1. Kejahatan narkotika 2. Money laundering 3. Cyber crime 4. Human trafficking 5. Illegal fishing

24

(19)

B. Tindak Pidana Pencurian Ikan (illegal fishing)

1. Pengertian Illegal Fishing

Secara etimologis illegal fishing teridir dari kata illegal berarti pelanggaran dan kata fishing diartikan sebagai penangkapan ikan, maka pengertian illegal fishing ialah penangkapan ikan secara ilegal. Illegal fishing diartikan sebagai kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal perikanan berbendera asing atau bendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tanpa izin atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.25

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan yang menyebutkan bahwa penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengelolah, dan/atau mengawetkannya. Penangkapan ikan secara ilegal berarti segala bentuk kegiatan penangkapan ikan yang melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tantang perikanan dan peraturan perundangan lainya yang masih berlaku.

25

IKAHI, Varia Peradilan Masalah Hukum Tahun Ke XXIII No. 266, Januari

(20)

Pengaturan illegal fishing sering disamakan dengan tindak pidana perikanan lainnya yaitu, Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing yang secar harfia dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelolan perikanan yang tersedia.

Illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan yang termasuk dalam kategori sebagai berikut :

a. Dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang menjadi yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlakau.

b. Bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban Internasional.

c. Dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan hukum Internasional yang berlaku. 2. Ruang Lingkup Illegal Fishing

(21)

2004 Tentang Perikanan menyebutkan bahwa Wilayah pengelolaan, perikanan Republik Indonesia terdiri dari :26

a. Perairan Indonesia

b. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

c. Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia.

Faktor-faktor pendorong terjadinya illegal fishing di perairan Indonesia, diantaranya adalah :27

a. Letak Indonesia yang silang sehingga diapit oleh dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Hindia)

b. Banyak celah hukum yang dengan mudah dapat dilewati oleh pelaku illegal fishing untuk memasuki wilayah perairan Indonesia

c. Kurangnya penanganan bagi para pelaku illegal fishing

d. Kurangnya perhatian pemerintah, hal ini dapat dilihat dari tidak adanya agenda yang serius untuk mengatasi masalah tindak pidana illegal fishing secara komprehensif, sehingga masalah yang menyangkut laut dan potensi yang dimilikinya tidak ditangani secara profesional.

e. Banyaknya oknum petugas yang terkait, baik oknum sipil maupun militer yang menjadi backing para pelaku illegal fishing

f. Dalam media massa illegal fishing tidak mendapatkan tempat yang proporsional, sehingga hal ini tidak dapat dijadikan alat penekan bagi

26

Ibid, hlm 188. 27

(22)

pemerintah dalam menangani masalah tindak pidana illegal fishing secara serius

g. Kurangnya koordinasi antar Departemen yang terkait dalam mengatasi masalah yang menyangkut tindak pidana illegal fishing di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari tumpang tindihnya dalam penanganan antara Departemen Perhubungan.

Salah satu bentuk illegal fishing yang terjadi adalah penangkapan ikan oleh kapal-kapal asing atau yang berbendera Indonesia di perairan nusantara dengan berbagai modus operandi, seperti tanpa dokumen izin, pelanggaran daerah penangkapan (fishing ground), menyalahi ketentuan alat tangkap, melabuhkan hasil tangkapannya di negara lain.

C. Tinjauan Umum Tentang Zona Ekonomi Eksklusif

1. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

(23)

Pasal 55 UNCLOS (The United Nations Convention On The Law Of The Sea) 1982 di jelaskan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial dan tunduk pada rezim hukum khusus yang di tetapkan UNCLOS 1982 hak-hak dan yurisdiksi negara pantai serta kebebasan-kebebasan negara lain yang di atur oleh ketentuan yang relevan dengan konvensi hukum laut, maka lebar Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal pantai.28 Ketentuan batas maksimal mengenai lebar Zona Ekonomi Eksklusif sejuah 200 mil laut mengisyaratkan, bahwa tidak setiap negara pantai meski memiliki Zona Ekonomi Eksklusif dan hanya negara pantai yang memiliki wilayah laut lebih dari 24 mil laut yang memungkinkan memiliki Zona Ekonomi Eksklusif, sepanjang tidak berbatasan langsung dengan pantai negara lain pada jarak 24 mil laut tersebut.29

Berdasarkan Pasal 56 Tentang The United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) Tahun 1982 :

“Dalam zona ekonomi eksklusif negara pantai mempunyai :

1. Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan ekspoitas, konserfasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus, dan angin.

2. Yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan konvensi ini berkenan dengan :

a. Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan

b. Riset ilmiah kelautan

c. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.”

28

Gatot Supramono, Hukum Pidana Di Bidang Perikanan, Rineka Cipta, Jakarta, 2011, hlm 166.

29

(24)

Pasal 56 di atas menjelaskan bahwa setiap Zona Ekonomi Eksklusif negara pantai mempunyai hak-hak dan kewajiban berdasarkan konvensi hukum laut. Berbeda dengan kedaulatan suatu negara pantai atas laut teritorial atau suatu negara kepulauan atas perairan kepulauannya, kekuasaan negara pantai atas sumber daya ikan yang terkandung di dalam Zona Ekonomi Eksklusif ditetapkan sebagai hak-hak berdaulat. Berdasarkan rezim hak-hak berdaulat ini, negara pantai tidak memiliki kedaulatan, hak- hak berdaulat yang dimiliki oleh suatu negara pantai di Zona Ekonomi Eksklusif bersifat residu, yang berarti hanya berlaku terhadap sumber daya hayati yang terkandung di dalam zona tersebut dan tidak meliputi perairan dan ruang udara di atasnya.30 Hak-hak dan kewajiban berdasarkan konvensi ini dalam Zona Ekonomi Eksklusif, negara pantai harus memperhatikan hak-hak dan kewajiban negara lain dan harus bertindak dengan satu cara sesuai dengan ketentuan konvensi ini.

Negara pantai memiliki kewenangan hukum untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif. Kewenangan ini mencakup kewenagan negara pantai untuk memaksakan agar semua orang menaati peraturan hukum yang berlaku di Zona Ekonomi Eksklusif, kewenangan lainnya dari negara panatai terdapat dalam Pasal 60 ayat (1) yang memberikan hak eksklusif kepada negara pantai untuk mengatur pembuatan dan pengoperasian dalam penggunaan :

30

(25)

1. Pulau-pulau buatan

2. Instalasi dan bangunan untuk kegiatan-kegiatan yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 56 UNCLOS 1982 dan tujuan ekonomi lainya 3. Instalasi dan bangunan yang dapat mengakibatkan gangguan

terhadap pelaksaan hak-hak berdaulat negara pantai dalam Zona Ekonomi Eksklusifnya.

Negara pantai mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pulau buatan, instalasi dan bangunan, termasuk pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal, dan imigrasi.31 Berdasarkan Pasal 60 ayat (4) membolehkan negara pantai menetapkan safety zone (zona pengaman) di sekeliling pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan, dimana negara pantai dapat mengambil tindakan yang tepat untuk menjamin keselamatan pelayaran maupun keselamatan pulau buatan, instalasi dan bangunan tersebut.

Lebar zona keselamatan harus di tentukan oleh negara pantai dengan memperhatikan standar-standar Internasional yang berlaku. Zona keselamatan harus dibangun untuk menjamin bahwa zona keselamatan tersebut sesuai dengan sifat dan fungsi pulau buatan, instalasi dan bangunan tidak boleh lebih dari 500 meter sekeliling bangunan tersebut dan di ukur dari titik terluar, jika apabila diizinkan oleh standar Internasional yang diterima secara umum atau direkomendasikan oleh organisasi internasional yang berwenang.

31

(26)

2. Berlakunya Zona Ekonomi Eksklusif

Berlakunya Zona Ekonomi Eksklusif merupakan pranata laut Internasional yang masih baru, di dalam konferensi hukum laut yang diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan mulai tahun 1973 sampai dengan 1982. The United Nations Convention on the Law Of the Sea 1982 (UNCLOS) ditandatangani 10 Desember 1982 dan dinyatakan berlaku 14 November 1994 melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Indonesia menyatakan dirinya terikat dengan ketentuan UNCLOS 1982, suatu perkembangan baru dalam hukum laut Internasional yaitu diterimanya hukum Negara Kepulauan dan Zona Ekonomi Eksklusif, dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia meliputi :

a. Laut Teritorial Indonesia

(27)

Perairan teritorial laut Indonesia mempunyai kewenangan mutlak atas wilayah perairan, dasar laut, dan tanah dibawahnya serta udara diatasnya, Perairan Teritorial Laut kedaulatannya dibatasi dengan adanya hak lintas damai bagi kapal asing dan dijamin keberadaannya oleh The United Nations Convention on the Law Of the Sea 1982 (UNCLOS) berdasarkan Pasal 17 sampai dengan Pasal 32.

b. Perairan Kepulauan

Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus Kepulauan Indonesia tanpa memperhatikan kedalaman atau jarak dari pantai, panjang garis lurus tidak melebihi 100 (seratus) mil laut kecuali 3% (tiga persen) dari jumlah keseluruhan garis pangkal yang mengelilingi Kepulauan Indonesia hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) meter.

c. Perairan Pedalaman

(28)

Indonesia juga mempunyai hak-hak berdaulat atau kedaulatan terbatas meliputi :

a. Perairan (zona tambahan)

Zona tambahan yang dirumuskan dalam Pasal 33 The United Nations Conventions on the Law Of the Sea 1982 (UNCLOS) adalah suatu jalur laut yang berbatasan dengan jalur laut teritorial yang terletak di laut lepas sejauh 24 mil dari garis pangkal laut teritorial. Diperairan zona tambahan negara pantai mempunyai kewenangan-kewenangan yaitu :

1. Mencegah terjadinya pelanggaran hukum berkenaan dengan pabean, fiskal, imigrasi, bea cukai dan kesehatan.

2. Menghukum pelanggaran Peraturan Perundang-undangan tersebut yang dilakukan di wilayah atau di laut teritorialnya.

Status hukum dari zona tambahan tunduk pada prinsip-prinsip kebebasan di laut lepas, tetapi dengan diterimanya konsepsi Zona Ekonomi Eksklusif dalam UNCLOS 1982 maka prinsip kelautan tidak sepenuhnya berlaku di zona tambahan, karena perairan zona tambahan telah menjadi perairan Zona Ekonomi Eksklusif.

b. Perairan Di atas Landas Kontinen

(29)

hayati termasuk jenis ikan serta kekayaan non-hayati temasuk minyak dan gas bumi.

c. Perairan Zona Ekonomi Eksklusif

Zona ekonomi mempunyai hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber kekayaan alam, serta yurisdiksi-yurisdiksi tertentu dan hak lainnya yang berkaitan dengan hak berdaulat tersebut. Disamping hak berdaulat Indonesia berkewajiban untuk menghormati hak-hak Negara lain seperti kebebasan pemasangan pipa dan kabel bawah laut.

Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 mengatur mengenai beberapa hal, pertama mengenai laut teritorial. Penarikan garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial harus sesuai dengan ketentuan garis pangkal lurus, mulut sungai dan teluk atau garis batas yang diakibatkan oleh ketentuan-ketentuan itu dan garis batas yang ditarik sesuai dengan tempat berlabuh di tengah laut. Penerapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang memiliki pantai berhadapan atau berdampingan harus dicantumkan dalam peta dengan

skala-skala yang memadai untuk penetapan garis posisinya.

(30)

Zona Ekonomi Eksklusif merupakan suatu daerah yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, menunjukkan bahwa Zona Ekonomi eksklusif berada di luar wilayah negara bukan merupakan wilayah negara, lebar Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh lebih dari 200 mil laut yang diukur dari garis pangkal sebagai titik atau tempat pengukuran lebar laut teritorial.

Garis pangkal menurut UNCLOS 1982 terdiri atas garis pangkal biasa dan garis pangkal lurus. Garis pangkal biasa adalah garis yang ditarik pada saat air surut terjauh dari pantai, sedangkan garis pangkal lurus adalah garis yang ditarik dengan menghubungkan titik terluar dari pulau-pulau terluar. Indonesia merupakan salah satu negara pantai yang pengajuan klaim landas kontinen eksentensinya telah di setujui oleh komisi batas landas kontinen, maka klaim landas Indonesia ekstensi ini belum diikuti dengan tindakan merevisi Undang-Undang No.1 tahun 1973 yang masih mengacu pada ketentuan pasal 1 Konvesi Jenewa IV 1958, hal ini yang dipersoalkan dengan pelaksanan hak-hak berdaulat dan

(31)

Berdasarkan Pasal 76 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982 memuat difinisi mengenai pengertian landas kontinen sebagai berikut :

“Landasan kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah dari wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga lebar yang mencapai jarak 200mil laut dari garis pangkal yang di pakai untuk menetapkan lebar laut teritorialnya, apabila pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut.”

Landas kontinen dapat digunakan untuk menetapkan batas terluar untuk menggantikan kriteria kedalaman sampai 200 meter dan exploitability (kemampuan mengeksplotasi). Pasal 76 ayat (4) menetapkan bahwa apabila landas kontinen melebihi batas jarak 200 mil laut, lebar maksimun landas kontinen adalah 350 mil dari garis pangkal lebar laut teritorial. Batas terluar landas kontinen dapat mencapai sejauh 100 mil laut dari garis kedalaman 2500 meter, jadi pinggiran terluar tepi kontinen berjarak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal laut teritorial.32 Penetapan batas terluar landas kontinen sangat penting, berdasarkan ketentuan pasal 76 sebuah negara pantai berhak atas landas kontinen melebihi 200 mil laut yang diukur dari garis pangkalnya. Landas kontinen ekstensi negara pantai harus melakukan dealineasi batas terluar landas kontinen ekstensi dan mengajukannya kepada komisi batas landas kontinen (commission on the limits of continental shelf) melalui sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

32

(32)

Indonesia sebagai negara peserta Konvensi Hukum Laut 1982 masih memberlakukan Undang-Undang No.1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Berdasarkan Pasal 1 (a) Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia membuat definisi landas kontinen Indonesia yang berarti dasar laut dan tanah di bawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia sebagaiman diatur dalam Undang-Undang No.4 Prp. Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, di mana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Ketentuan ini merupakan pencerminan dari pengertian landas kontinen berdasarkan konvensi Jenewa IV 1958, yang didasarkan pada kriteria atau kedalaman hingga jarak yang masih bisa dieksploitasi.

(33)

39 INDONESIA

A. Kasus Pencurian Ikan Di Perairan Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia

(34)

8 2008 13 35 70

Sumber : DKP dari berbagai sumber Tabel-1

Daftar Kapal illegal fishing Asing yang di proses di Kepulauan Riau Tahun 2001-2011

Keterangan :

1. Kapal illegal fishing asing yang di proses di Kepulauan Riau pada tahun 2001 berjumlah 4 buah kapal, Anak Buah Kapal (ABK) Yustisia berjumlah 4 orang, Anak Buah Kapal (ABK) non Yustisia berjumlah 5 orang, dan kedudukan perkaranya sudah selesai.

2. Kapal illegal fishing asing yang di proses di Kepulauan Riau pada tahun 2002 berjumlah 31 buah kapal, Anak Buah Kapal (ABK) Yustisia berjumlah 29 orang, Anak Buah Kapal (ABK) non Yustisia berjumlah 227 orang, dan kedudukan perkaranya sudah selesai.

3. Kapal illegal fishing asing yang di proses di Kepulauan Riau pada tahun 2003 berjumlah 20 buah kapal, Anak Buah Kapal (ABK) Yustisia berjumlah 45 orang, Anak Buah Kapal (ABK) non Yustisia berjumlah 250 orang, dan kedudukan perkaranya sudah selesai.

(35)

76 orang, dan kedudukan perkaranya 4 kapal asing masih dalam proses pemeriksaan.

5. Kapal illegal fishing asing yang di proses di Kepulauan Riau pada tahun 2005 berjumlah 18 buah kapal, Anak Buah Kapal (ABK) Yustisia berjumlah 20 orang, Anak Buah Kapal (ABK) non Yustisia berjumlah 112 orang, dan kedudukan perkaranya sudah selesai

6. Kapal illegal fishing asing yang di proses di Kepulauan Riau pada tahun 2006 berjumlah 12 buah kapal, Anak Buah Kapal (ABK) Yustisia berjumlah 9 orang, Anak Buah Kapal (ABK) non Yustisia berjumlah 100 orang, dan kedudukan perkaranya sudah selesai.

7. Kapal illegal fishing asing yang di proses di Kepulauan Riau pada tahun 2007 berjumlah 15 buah kapal, Anak Buah Kapal (ABK) Yustisia berjumlah 20 orang, Anak Buah Kapal (ABK) non Yustisia berjumlah 120 orang, dan kedudukan perkaranya sudah selesai.

8. Kapal illegal fishing asing yang di proses di Kepulauan Riau pada tahun 2008 berjumlah 13 buah kapal, Anak Buah Kapal (ABK) Yustisia berjumlah 35 orang, Anak Buah Kapal (ABK) non Yustisia berjumlah 70 orang, dan kedudukan perkaranya sudah selesai.

(36)

10. Kapal illegal fishing asing yang di proses di Kepulauan Riau pada tahun 2010 berjumlah 19 buah kapal, Anak Buah Kapal (ABK) Yustisia berjumlah 19 orang, Anak Buah Kapal (ABK) non Yustisia berjumlah 30 orang, dan kedudukan perkaranya masih dalam proses pemeriksaan.

11. Kapal illegal fishing asing yang di proses di Kepulauan Riau pada tahun 2011 berjumlah 25 buah kapal, Anak Buah Kapal (ABK) Yustisia berjumlah 25 orang, Anak Buah Kapal (ABK) non Yustisia berjumlah 45 orang, dan kedudukan perkaranya masih dalam proses pemeriksaan.

No Tahun Kasus Pencurian Ikan

1 2005 216 Kasus

2 2006 170 Kasus

3 2007 198 Kasus

4 2008 130 Kasus

5 2009 180 Kasus

6 2010 195 Kasus

7 2011 230 Kasus

Sumber : DKP dari berbagai sumber Tabel-2

(37)

Keterangan :

1. Pada tahun 2005 angka pencurian ikan di perairan Indonesia berjumlah 216 kasus.

2. Pada tahun 2006 angka pencurian ikan di perairan Indonesia berjumlah 170 kasus.

3. Pada tahun 2007 angka pencurian ikan di perairan Indonesia berjumlah 198 kasus.

4. Pada tahun 2008 angka pencurian ikan di perairan Indonesia berjumlah 130 kasus.

5. Pada tahun 2009 angka pencurian ikan di perairan Indonesia berjumlah 180 kasus.

6. Pada tahun 2010 angka pencurian ikan di perairan Indonesia berjumlah 195 kasus.

7. Pada tahun 2011 angka pencurian ikan di perairan Indonesia berjumlah 230 kasus.

(38)

asing yang mencuri ikan itu, negara diperkirakan rugi Rp 20 miliar.33 Pelaku pencurian ikan (illegal fishing) di Indonesia tidak juga jera, meski berkali-kali di tangkap aparat keamanan Indonesia kapal-kapal asing tanpa izin tetap nekat mencuri ikan di laut Indonesia. Kapal Departemen Kelautan dan Perikanan menangkap sebelas kapal Vietnam tanpa dokumen di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) perairan natuna.

“beroprasinya sebelas kapal Vietnam yang mencuri di perairan Zona

Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara diperkirakan rugi Rp 20 miliar,” kata Kepala

Satuan Kerja Pengawas dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Ahmad kepada wartawan di Batam. Kesebelas awak kapal asing itu disidangkan di peradilan ad hock perikanan di natuna kepulauan riau, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Menurut Ahmad, modus operandi yang dilakukan para pelaku pencurian ikan (illegal fishing) dengan memalsukan dokumen izin, melanggar batas fishing area yang diperbolehkan, dan menggunakan alat tangkap di luar peraturan yang ditetapkan.

Perairan yang selama ini menjadi tempat pencurian ikan (illegal fishing) nelayan asing diantaranya, kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Laut Natuna, Laut Arafuru, dan Laut Sulawesi Utara. Pencurian ikan di Laut Natuan pada umumnya dilakukan kapal-kapal Vietnam, Malaysia, dan Thailand, di Sulawesi Utara dilakukan oleh kapal-kapal Philipina, sedangkan di Laut Arafuru dilakukan oleh kapal-kapal Taiwan.

33

(39)

B. Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Pencurian Ikan (illegal fishing) Di Wilayah

Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

Sanksi hukum terhadap pelaku pencurian ikan di wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dari yang terberat hingga yang paling ringgan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan :

1. Pidana Penjara

Berdasarkan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, sanksi pidana penjara adalah dipidanakan kepada pelaku yang melakukan perbuatan berikut :

a. Setiap orang yang memiliki atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ataupun di laut lepas, yang tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

(40)

c. Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait, yang tidak Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) diberikan hukuman dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

2. Pidana Denda

Pidana denda dimaksudkan sebagai pidana untuk mendapatkan tujuan dari pemidanaan yaitu berupa pencegahan perbuatan kejahatan dan mengembalikan kerugian yang telah diderita oleh negara sebagai pihak yang dirugikan secara langsung oleh kejahatan illegal fishing tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan menjelaskan pidana denda merupakan pidana tambahan yang melekat dari setiap sanksi pidana penjara yang dibebankan kepada pelaku illegal fishing, sehingga setiap pasal yang menyebutkan pidana penjara pastilah ditambahkan dengan pidana denda.

Terdapat kelemahan dalam pidana denda yaitu :34

a. Bahwa pidana denda ini dapat dibayarkan atau ditanggung oleh pihak ketiga, sehingga pidana yang dijatuhkan tidak secara langsung dirasakan oleh terpidana sendiri. Sehingga tidak mendidik terpidana untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

34

Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan

(41)

b. Bahwa pidana denda juga membebani pihak ketiga yang tidak bersalah

c. Bahwa pidana denda ini lebih menguntungkan bagi orang yang mampu, terlebih jika pidana yang dijatuhkan tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh terpidana.

3. Penyitaan

Sanksi berupa penyitaan termasuk kedalam sanksi tambahan yang dibebankan pada pelaku illegal fishing yaitu berupa penyitaan kapal dan peralatan penangkapan ikan, dan perampasan hasil tangkapan oleh pengadilan dan penyidik sebagai barang bukti, yang kemudian dalam efektifitasnya dapat dilakukan pelelangan untuk menjadi kekayaan negara, tentunya sesuai keputusan berkekuatan hukum tetap pengadilan yang memeriksa perkara illegal fishing.

4. Pencabutan Izin

(42)

48

UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

A. Tindakan Hukum Yang Dapat Dilakukan Terhadap Pelaku Pencurian Ikan

(illegal fishing) Yang Dilakukan Oleh Kapal Asing Di Perairan Zona Ekonomi

Eksklusif (ZEE) Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004

Tentang Perikanan

Berdasarkan contoh kasus yang telah diuraikan sebelumnya, beberapa ketentuan hukum pidana menyebutkan salah satu unsur khusus dari suatu tindak pidana tertentu adalah wederrechtelijkheid atau sifat melawan atau melanggar hukum. Tindak pidana itu sendiri adalah perbuatan yang dilakukan oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barang siapa melanggar larangan tersebut. Penyebutan ini ditekankan bahwa sifat melanggar hukum ini terutama merupakan satu bagian dari suatu tindak pidana.

Tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pelaku pencurian ikan (illegal fishing) tersebut adalah :

(43)

Pencurian ikan (illegal fishing) yang dilakukan tanpa Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan Pasal 93 ayat (2) yaitu :

“Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, yang tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dipidan dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar

rupiah)”.

Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 93 ayat (2) yaitu : 1. Setiap orang

Setiap orang adalah orang perseorangan/korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum, dalam kasus pencurian ikan (illegal fishing) adalah pelaku (nelayan-nelayan). 2. Mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing

Unsur dalam melakukan suatu perbuatan atau mengoperasikan kapal penangkapan ikan yang dilakukan oleh pihak asing atau pelaku berkebangsaan warga negara asing.

3. Di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia

Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi :

a. Perairan Indonesia

(44)

Berdasarkan ketentuan di atas bahwa kapal penangkapan ikan berbendera Indonesia dan asing melakukan penangkapan ikan di dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), akan mendapat sanksi pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

Izin perikanan merupakan alat kontrol pemerintah dalam pengelolaan sumber daya dan usaha perikanan, dengan mengeluarkan dan mengalokasikan izin perikanan, pemerintah dapat mengetahui seberapa besar sumber daya perikanan yang suda ada dikelola dan dimanfaatkan.

Izin adalah paspor untuk menangkap ikan dan berusaha dibidang perikanan. Pemerintah telah menetapkan dua macam surat izin yang harus dimiliki oleh seseorang untuk menjalankan usaha penangkapan ikan di Indonesia yaitu :35

1. Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) 2. Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI)

Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) adalah suatu izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia dengan menggunakan sarana produksi (kapal dan alat tangkap ikan) maka usaha yang dilakukan tanpa Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) adalah suatu tindak pidana kejahatan dan diancam dengan hukuman penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan hukuman denda maksimum Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

35

(45)
(46)

B. Bentuk Perlindungan Wilayah Perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

Sebagai Tindakan Pencegahan Pencurian Ikan (illegal fishing) Di Wilayah

Indonesia

Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut sebagai bentuk perlindungan wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berkewajiban menjaga kedaulatan Indonesia serta melindungi sumber daya alam laut dari tindakan-tindakan yang dapat menghambat stabilitas keamanan Indonesia dan beberapa kasus pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif terdapat beberapa faktor antara lain :

1. Tingkat Konsumsi Ikan Yang Semakin Meningkat

Ikan mengandung sumber protein yang sangat besar dan tidak terlalu banyak mengandung lemak berbahaya bagi tubuh manusia, sehingga ikan sangat banyak diburu oleh para konsumen baik di Indonesia maupun di dunia, data dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menujukan bahwa dalam kurun 5 tahun konsumsi ikan di Indonesia melonjak hingga lebih dari 1,5 juta ton seiring pertumbuhan penduduk di Indonesia mencapai 1,36% pertahun, persentase kenaikan nilai impor perikanan Indonesia menduduki angka 13,2% pada tahun 2008 dan masih berada di bawah nilai rata-rata ekspor perikanan yang hanya sebesar 1,6%.36 Meningkatnya konsumsi ikan secara global mengakibatkan krisis ikan, sehingga memicu praktek pencurian ikan (illegal fishing) di perairan Indonesia yang diperdiksikan masih minyampan sumber ikan yang melimpah.

36

(47)

2. Sumber Daya Ikan di Negara Lain Semakin Berkurang

Perkembangan teknologi selama beberapa dekade ini mempengaruhi terhadap persediaan ikan di laut Internasional, sehingga teknologi yang digunakan para nelayan dapat menambah jumlah tangkapan ikan yang sangat besar, maka produksi ikan tidak seimbang antara penangkapan dan pembibitan.

Perikanan di negara-negara teknologi cangih telah mengalami krisis ikan di laut mereka, sehingga terjadi kebutuhan ikan laut yang meningkat di negara-negara maju yang mengakibatkan terjadinya ekspansi penangkapan ikan terhadap negara lain yang masih memiliki stok ikan begitu banyak, salah satu tujuan ekspansi negara-negara maju adalah Indonesia.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak tepat di titik pertemuan jalur komunikasi dunia antara samudra Pasifik dan samudra Hindia, sehingga negara-negara maju mengekspansi sumber daya alam yang terdapat di wilayah perairan Indonesia secara ilegal dan tidak memenuhi syarat, maka yang terjadi adalah pratek pencurian ikan (illegal fishing) yang dilakukan di wilayah perairan Indonesia.

3. Lemahnya Pengawasan Aparat di Laut Indonesia

(48)

ikan dengan alat transmitor yang berfungsi untuk mengawasi proses penangkapan ikan yang dilakukan di wilayah perairan Indonesia.

Pengawasan Vessel Monitoring System (VMS) dilakukan di darat melalui bantuan satelit yang mengawasi kegiatan kapal penangkapan ikan yang telah terpasang transmitter, sehingga pengawasan Vessel Monitoring System (VMS) dapat menanggulangi praktek pencuria ikan di perairan Indonesia.

Kejahatan pencurian ikan (illegal fishing) menghasilkan kerugian yang berdampak semua sektor kehidupan, negara, masyarakat, dan lingkungan laut adalah korban langsung dari tindakan pencurian ikan. Pencurian ikan merupakan kejahatan yang seharusnya ditindak tegas karena sudah memberikan kerugian sangat besar terhadap semua sektor kehidupan masyarakat Indonesia, beberapa kerugian kejahatan pencurian ikan di perairan Indonesia antara lain :

1. Merusak Kelestarian Ikan di Laut Indonesia

(49)

2. Merugikan Ekonomi Negara

Negara adalah pihak yang dirugikan langsung oleh adanya kejahatan pencurian ikan (illegal fishing), sehingga kerugian ekonomi yang di akibatkan oleh pencurian ikan di Indonesia mencapai angka Rp 300 trilyun hampir mendekati setengah anggaran belanja negara Indonesia,37 maka itu akan lebih besar dari pada anggaran biaya pendidikan di Indonesia.

3. Kerusakan Lingkungan

Pelaku pencurian ikan (illegal fishing) dalam praktek penangkapan ikan menggunakan alat yang bisa merusak lingkungan laut, misalnya penangkapan ikan yang menggunakan bom ikan, dan penggunaan racun sianida. Penangkapan ikan dengan cara menggunakan bom ikan, dan racun sianida dapat merusak habitat laut sebagai tempat ikan-ikan hidup dan melakukan reproduksi. Beberapa kegiatan merusak lingkungan laut yang di lalukan antara lain :

a. Menggunakan Bom Ikan

Penggunaan bahan peledak seperti bom dapat memusnahkan seluruh jenis biota disekitar tempat peledakan dan merusak lingkungan, penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan disekitar daerah terumbuh karang menimbulkan efek samping yang sangat besar, selain rusaknya terumbu karang yang ada disekitar lokasi peledakan, juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan.

37

(50)

b. Menggunakan Racun Sianida

Bahan beracun yang sering dipergunakan dalam penangkapan ikan ilegal adalah racun berjenis sianida. Penangkapan dengan cara ini dapat menyebabkan kepunahan jenis-jenis ikan karang, racun tersebut dapat menyebabkan ikan besar dan kecil menjadi mati karena efek racun sianida, disamping mematikan ikan-ikan yang ada, sisa racun dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan terumbu karang yang ditandai dengan perubahan warna karang yang berwarna warni menjadi putih dan lama kelamaan terumbu karang menjadi mati.

Berdasarkan Pasal 56 konvensi hukum laut 1982 bahwa negara pantai memiliki hak berdaulat atas sumber daya alam, baik hayati maupun non hayati, dalam yurisdiksinya. Negara memiliki hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alam, sesuai dengan kebijakan lingkungannya dan menetapkan kewajiban bagi negara pantai untuk melaksanakan konservasi atas sumber daya hayati serta menjaga lingkungannya.

(51)

Pasal 18 dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif.

Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif mengatur tentang :38

1. Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konserfasi sumber daya alam hayati non hayati dari dasar laut, tanah dibawahnya dan air diatasnya serta kegiatan lain diatasnya.

2. Yurisdiksi yang berhubungan dengan pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi dan bagunan lainnya, penelitian ilmiah perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, hak-hak dan kewajiban lainya berdasarkan konvensi hukum laut yang berlaku.

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif mengatur tentang pelaksanan hak berdaulat bagi pemerintah Indonesia yaitu mengambil tindakan penegakan hukum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana bagi aparatur penegak hukum Indonesia, dengan pengecualian yaitu :39

1. Penangkapan terhadap kapal asing yang diduga telah melakukan pelanggaran di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif melalui tindakan penghentian kapal sampai dengan diserahkannya kapal dan awaknya dipelabuhan dimana perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut.

2. Penyerahan kapal dan awaknya harus dilakukan secepat mungkin, dan tidak boleh lebih dari 7 hari.

(52)

Status hukum dari rezim Zona Ekonomi Eksklusif adalah suatu pengaturan baru yang telah menimbulkan perubahan mendasar didalam hukum laut dan didalam pembagian tradisional antara laut teritorial yang merupakan Zona kedaulatan negara pantai dan laut lepas yang terbuka bagi semua negara. Dalam kaitan dengan status hukum dari rezim Zona Ekonomi Eksklusif biasanya dikemukakan dua pendapat tentang Zona Ekonomi Eksklusif.40

1. Sebagai bagian dari laut lepas

Zona Ekonomi Eksklusif sebagai bagian dari laut lepas mengemukakan bahwa kepada negara pantai diberikan hak-hak yurisdiksi yang meliputi hal-hal tertentu didalam zona maritim seluas 200 mil dari garis pangkal untuk mengukur laut teritorial. keadaan ini tidak mengubah status hukum dari zona maritim yang disebut laut lepas, hal yang sama dijumpai pada zona tambahan sebagai laut lepas. Pemegang hak pada laut lepas termasuk Zona Ekonomi Eksklusif adalah masyarakat Internasional yang kemudian atas dasar kekuasaan mereka melakukan penyerahan hak kepada negara pantai.

Status hukum dari Zona Ekonomi Eksklusif ditentukan oleh perjanjian antar negara peserta UNCLOS dan telah menetapkan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif adalah rezim hukum khusus yang berbeda dan terpisah dari laut teritorial, sehingga laut lepas menerapkan status laut lepas terhadap Zona Ekonomi Eksklusif.41

40

Chairyl Anwar, ZEE di Dalam Hukum Internasional dan ZEE Asia Pasifik, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm 21.

41

(53)

2. Sebagai zona yurisdiksi nasional

Zona yurisdiksi nasional meliputi zona-zona yang berada dalam kawasan laut tersebut, negara pantai melaksanakan kedaulatan penuh, hak berdaulat serta yurisdiksi dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam untuk kebutuhan rakyat negara yang bersangkutan pada kawasan laut yang bersambung dengan laut teritorial.42

Kawasan laut dalam zona yurisdiksi nasional sebagai berikut: a. Perairan pedalaman dan laut teritorial sampai sejauh 12 mil b. Perairan kepulauan yang terdiri dari perairan di dalam garis

pangkal yang menghubungkan titik-titik paling luar dari pulau paling luar dan batu-batu karang dari suatu kepulauan, yang pada perairan tersebut negara kepulauan melaksanakan kedaulatannya secara penuh.

c. Zona Ekonomi Eksklusif sampai sejauh 200 mil, pada zona tersebut negara pantai melaksanakan hak berdaulat atas sumber daya alam serta aktifitas ekonomi lainnya dan yurisdiksi yang berkaitan dengan berbagai instalasi, riset ilmiah dan pemeliharaan lingkungan kelautan. Zona tambahan adalah dalam Zona Ekonomi Eksklusif sampai sejauh 24 mil.

d. Landas kontinen sampai sejauh 200 mil atau sampai kepada batas paling luar tepi kontinen yang pada kawasan laut ini negara pantai melaksanakan hak berdaulat dan yurisdiksinya.

42

(54)

Kedudukan dan tindakan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) sebagai aparat penegak hukum utama pertahanan negara di laut berkewajiban untuk menjaga intergritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan mempertahankan stabilitas keamanan di laut serta melindungi sumber daya alam di laut dari berbagai bentuk gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di wilayah perairan yurisdiksi nasional Indonesia, dengan tetap mempertimbangkan konsepsi dasar bahwa perwujudan keamanan di laut pada hakikatnya memiliki dua dimensi yaitu penegakan kedaulatan dan penegakan hukum yang saling berkaitan satu dengan lainnya.

Persepsi keamanan di laut tidak hanya masalah penegakan kedaulatan dan hukum tetapi keamanan di laut mengandung pemahaman, bahwa laut aman digunakan bagi pengguna dan bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktifitas penggunaan atau pemanfaatan laut, yaitu :43

1. Laut bebas dari ancaman kekerasan, yaitu ancaman dengan menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisir dan memiliki kemampuan untuk menggangu serta membahayakan personel atau negara, ancaman tersebut dapat berupa pembajakan, perampokan, sabotase objek vital,peranjauan dan aksi teror.

2. Laut bebas dari ancaman navigasi, yaitu ancaman yang ditimbulkan oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu navigasi sehingga dapat menbahayakan keselamatan pelayaran.

43

(55)

3. Laut bebas dari ancaman terhadap sumber daya laut, berupa pencemaran dan perusakan ekosistem laut, serta konflik pengelolaan sumber daya laut.

4. Laut bebas dari ancaman pelanggaran hukum, yaitu tidak dipatuhinya hukum nasional maupun Internasional yang berlaku di perairan, seperti pencurian ikan (illegal fishing), penyelundupan dan lain-lain.

Mewujudkan stabilitas keamanan di laut diperlukan upaya untuk menghadapi segala bentuk gangguan dan ancaman di laut dengan mengerahkan kekuatan dari berbagai instalasi yang berwenang melaksanakan penegakan kedaulatan hukum di laut.

TNI Angakatan Laut diseluruh dunia memiliki peran yang berlaku secara universal, yaitu peran militer, peran polisionil dan peran diplomasi yang lebih di

kenal dengan “Trinitas Peran Angkatan Laut”.44

a. Peran Militer

Peran militer dilaksanakan dalam rangka menegakan kedaulatan negara di laut dengan cara pertahanan negara dan penangkalan, menyiapkan kekuatan untuk persiapan perang, menangkal setiap ancaman militer melalui laut, melindungi dan menjaga perbatasan laut dengan negara tetangga, serta menjaga stabilitas keamanan kawasan maritim.

44

(56)

b. Peran Polisionil

Peran polisionil dilaksanakan dalam rangka menegakan hukum di laut, melindungi sumber daya dan kekayaan laut nasional, memelihara ketertiban di laut, serta mendukung pembangunan bangsa dalam memberikan kontribusi terhadap stabilitas dan pembangunan nasional.

Peran polisionil ini dilaksanakan di seluruh perairan laut yurisdiksi nasional dalam rangka memelihara ketertiban di laut dan peran untuk melaksanakan tugas penegakan hukum di laut diselenggarakan secara mandiri atau gabungan dengan komponen kekuatan laut lainnya.

c. Peran Diplomasi

Peran diplomasi Angkatan Laut merupakan peran yang sangat penting bagi setiap Angkatan Laut di seluruh dunia. Peran ini dikenal

sebagai “tunjuk kekuatan Angkatan Laut” yang telah menjadi peran

tradisonal Angkatan Laut.

Diplomasi merupakan dukungan terhadap kebijakan luar negri pemeintah yang dirancang untuk mempengaruhi kepemimpinan negara lain dalam keadaan damai atau pada situasi bermusuh.

(57)

“Aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di Zona

Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima

Angkatan bersenjata Republik Indonesia.”

Pasal 14 ayat (1) bahwa yang dimaksud dengan perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) yang dapat ditunjuk sebagai penyidik adalah Komandan Kapal, Panglima daerah Angkatan Laut, Komandan Pangkalan dan Komandan Stasion Angkatan Laut. Bedasarkan tugas-tugas pokok Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) sebagai pengawas sekaligus aparat penegak hukum antara lain:45

1. Menghentikan, memeriksa dan menahan kapal yang di curigai Syarat-syarat penghentian kapal adalah sebagai berikut:

a. Penghentian kapal-kapal yang dicurigai di perairan Indonesia dapat dilakukan apabila terdapat bukti atau petunjuk yang kuat bahwa : 1. Melakukan suatu tindak pidana yang diatur dalam

perundang-undangan Indonesia.

2. Melakukan salah satu kegiatan pelanggaran atau diminta bantuan penguasa setempat oleh nakhoda kapal atau wakil diplomatik atau pejabat konsuler negara bendera, yang diatur dalam pasal 27 UNCLOS 1982

3. Kapal dagang yang mengangkut senjata/amunisi selama dalam lintas pelayaran tidak menimbulkan ancaman terhadap keamanan integritas wilayah dan kedaulatan Indonesia, pada

45

(58)

waktu berlabuh harus melaporkan jumlah dan jenisnya serta harus dalam keadaan tersimpan di atas kapal.

b. Penghentian dan pemeriksaan kapal-kapal yang dicurigai di Zona Ekonomi Eksklusif Indoneisa dapat dilaksanakan apabila terdapat bukti atau petunjuk yang kuat bahwa:

1. Melakukan penelitian kelautan tanpa persetujuan pemerintah Republik Indonesia.

2. Melakukan eksplorasi/eksploitasi sumber daya di Zona Ekonomi Eksklusif/landas kontinen tanpa izin pemerintah Republik Indonesia.

3. Melakukan/membongkar kabel dasar laut/pipa saluran tanpa persetujuan pemerintah Republik Indonesia.

4. Melakukan kegiatan-kegiatan yang mengakibatkan tercemarnya lingkungan laut.

5. Melakukan kejahatan Internasional

6. Kapal dagang yang mengangkut senjata/amunisi dan ditunjukan untuk mengancam keamanan integritas wilayah atau kedaulatan Republik Indonesia.

2. Meminta surat-surat kapal untuk diperlihatkan, a. Perizinan di bidang perikanan.

(59)

1. SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan) 2. SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) 3. SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan)

b. Dokumen perizinan yang wajib berada di atas kapal, yaitu:

1. SIPI asli bagi kapal penangkapan ikan atau kapal lampu dan SIKPI asli bagi kapal pengangkut ikan

2. Striker barcode pada kapal perikanan yang telah memperoleh izin 3. Tanda pelunasan pungutan perikanan asli

4. Surat Laik Operasi (SLO) yang diterbitkan oleh pengawas perikanan

5. Surat Izin Berlayar (SIB) yang diterbitkan oleh syah bandar yang diangkat oleh menteri.

3. Menyita alat-alat yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana Benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah :

a. Benda atau tagihan tersangka yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana misalnya : ikan, barang-barang elektronik dan lain-lain.

b. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidan atau untuk mempersiapakannya misalnya : kapal, jaring, dan lain-lain.

c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.

(60)

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan misalnya : potasium, racun dan lain-lain. 4. Mengadakan penyegelan terhadap alat-alat pengangkutan atau

ruangan-ruangan kapal dan barang-barang yang sedang diangkut.

5. Mengadakan tindakan preventif menjamin keamanan lalu lintas pelayaran.

6. Memberi perintah kepada kapal yang melanggar ketentuan pidana menuju pelabuhan yang ditentukan, karena kewenangan-kewenangan tersebut Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) berwenang membuat berita acara pemeriksaan terhadap kapal/awak kapal yang melakukan kejahatan dan pelanggaran di laut.

(61)

67 A. SIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Tindakan hukum yang dapat dijatuhkan kepada pelaku berdasarkan Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang mengatur langkah-langkah konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia bahwa Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dapat di hukum dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 2000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Gambar

Tabel-2 Daftar Angka Pencurian Ikan di Perairan Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Pada periode beliau merupakan masa kemajuan pondok baik dari sarana prasarana maupun pendidikan, sehingga ribuan santri dari berbagai daerah mulai dari Madura, Surabaya,

Apabila uji pengguna dilakukan survei kepada unit eksternal, kepala bagian, tim perbaikan produk, ahli sistem dan manajer pada PT Petrokimia Gresik dengan menggunakan

Topik yang dipilih dalam karya tulis ini adalah hipoglikemia yang dialami oleh penderita diabetes dirasa cukup relevan untuk didalami mengingat bahaya yang dapat

Sebelum siswa mempraktikan bermain musik di alat musik electrophone tersebut, mereka dikenalkan dulu dengan bagian-bagian tuts keyboard, beserta nada dan letak akor pada

Tidak maksimalnya kepemimpinan Kepala Bagian dan Subbagian di Lingkungan Sekretariat Daerah Kabupaten Kayong Utara dalam pengawasan disiplin pegawai, memberikan pembinaan dan

Serta memperhatikan Peraturan Presiden Nomor : 70 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor : 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan

Selanjutnya, penilai Ditlitabmas melakukan kunjungan lapangan ( site visit ) dan evaluasi terpusat terhadap pelaksanaan penelitian pada perguruan tinggi setelah menelaah

Metode yang digunakan untuk kegiatan ini adalah metode pelatihan dan pendampingan, karena kegiatan ini adalah melatih dan mendampingi Anggota Gapoktan Ayodya Pura,