• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Tingkat Risiko Bencana Kebakaran Di Pemukiman Padat (Studi Kasus Pemukiman Lebak Gede Coblong Bandung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Tingkat Risiko Bencana Kebakaran Di Pemukiman Padat (Studi Kasus Pemukiman Lebak Gede Coblong Bandung)"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus: Pemukiman Padat Lebakgede Coblong Bandung)

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Menempuh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota

Disusun Oleh :

TRI NOFANSYAH PUTRA 1.06.07.012

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG

(2)

PEMUKIMAN PADAT

(Studi Kasus: Pemukiman Padat Lebakgede Coblong Bandung)

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Menempuh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Pada Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota

Disusun Oleh :

TRI NOFANSYAH PUTRA 1.06.07.012

Menyetujui, Bandung, Agustus 2011

Pembimbing I,

Tatang Suheri, ST., MT. NIP. 4127 70 17 005

Pembimbing II,

Hari Wibowo, ST.

Mengetahui,

Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota

(3)

i

ABSTRAK

Bencana Kebakaran menjadi salah satu bencana yang sering terjadi di Perkotaan Indonesia .Kelurahan Lebakgede Kota Bandung merupakan kawasan padat melebihi rata-rata yang sangat rawan terhadap bencana kebakaran. Studi ini dilakukan untuk mengkaji tingkat risiko bencana kawasan permukiman padat terhadap bencana kebakaran di Kelurahan Lebakgede. Aspek yang diteliti meliputi aspek sumber bahaya, kerentanan dan ketahanan terhadap bahaya kebakaran.

Analisis dilakukan dengan pendekatan deskriptif dan pembobotan (scoring) sebagai tools teknis(metode) penelitian. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data kependudukan, perekonomian dan lainnya yang berhubungan dengan tingkat risiko bencana kebakaran . Kemudian menggunakan data primer hasil obeservasi penelitian berupa data mengenai Fire History. Hasil analisis menunjukkan bahwa keseluruhan kawasan permukiman padat Kelurahan Lebakgede memiliki tingkat risiko bencana yang tinggi dilihat dari variabel penelitian yang telah ditentukan. Adapun RW yang memiliki Tingkat Risiko Bencana Kebakaran tertinggi ialah RW 15.

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah didapat, peneliti memberikan rekomendasi untuk melakukan manajemen penggunaan dan penempatan BBM dan LPG dengan baik dan benar agar tidak terjadi bencana kebakaran karena variabel keberadaan BBM dan LPG menjadi variabel yang memiliki nilai ancaman yang paling tinggi di wilayah studi. Membangun pembatas disetiap rumah berupa dinding pembatas agar perambatan api tidak terlalu cepat terurutama di RW 15 yang memiliki nilai kerentanan yang sangat tinggi dari variabel ketiadaan jarak antar bangunan. Meningkatkan nilai kemampuan dengan membangun fasilitas hidrant dan fasilitas ruang terbuka..

(4)

ii

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, tidak ada Tuhan

melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus -menerus mengurus makluk -Nya.

KepunyaanNya apa yang ada di Langit dan di Bumi dan semua bertasbih kepada

-Nya. Dia yang Maha Mengetahui, Dia yang Maha Berkehendak. Ata s ridha-Nya

pula Tugas Akhir dengan judul “Tingkat Risiko Bencana Kebakaran di Pemukiman (Studi Kasus: Pemukiman Padat Lebakgede Coblong

Bandung)” ini bisa diselesaikan. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman.

Penulisan Tugas Akhir ini merupakan bagian dari proses yang tak

terpisahkan dari kegiatan menuntut ilmu, namun ini bukan merupakan proses

akhir melainkan sebagai gerbang awal untuk terus berk arya demi kesejahteraan

umat manusia khususnya bangsa Indonesia. Banyak pihak yang telah membantu

dalam penyelesaian Tugas Akhir ini. Tanpa jasa-jasa mereka, sulit rasanya Tugas

Akhir ini bisa diselesaikan. Sehingga dalam kesempatan ini, saya ingin

menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang mendalam kepada:

1. Yang tercinta Ayahand a dan Ibunda yang telah membesarkan,

membimbing dan mendoakan dengan penuh kasih sayang serta untuk

Kakak-kakakku yang selama ini menemani, memb erikan semangat

maupun dorongan hingga selesainya penulisan laporan ini ;

2. Bapak Dr.Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, selaku Rektor Universitas

Komputer Indonesia;

3. Bapak Dr. Arry Akhmad Arman, selaku Dekan Fakultas Teknik

Universitas Komputer Indonesia;

4. Ibu Ir. Romeiza Syafriharti, M.T., sela ku Ketua Program Studi

Perencanaan Wilayah dan Kota yang telah memberikan kepercayaan dan

kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini;

5. Bapak Tatang Suheri, ST., MT., selaku Dosen Pembimbing 1 yang telah

(5)

iii

7. Ibu Dr. Ir. Lia Warlina, M.Si., selaku Dosen Wali sekaligus Dosen Penguji

yang selalu memberikan support masukan terhadap saya;

8. Ibu Rifiati Syafariah, ST., MT ., selaku Koordinator Tugas Akhir sekaligus

Dosen Penguji yang selalu memberikan support dan masukan terhadap

saya;

9. Bapak Teguh Widodo, ST., MT., selaku Dosen Pembahas yang selalu

memberikan support dan masukan terhadap saya;

10. Rekan-rekan seperjuangan Murni, Endy, Rahadiyan, Dira, Kani, Gayatri

yang selalu memberikan support terhadap saya;

11. Planologi angkatan 07, yang selalu memberikan doa dan semangat pada

saya ;

12. Mahasiswa Planologi, yang selalu memberikan doa dan semangat pada

saya dan Teh Vitri makasih atas kemudahan dalam mengurus surat -surat

ijin;

13. Komunitas Fixie Raba yang selalu memberikan doa dan semangat pada

saya;

14. Segenap pribadi yang mungkin terlupakan.

Akhir kata, saya menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan

yang ada dalam Tugas Akhir ini. Oleh karena itu saran dan kritikan yang

membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan. Semoga Allah SWT

memberikan rahmatnya kepada semua pihak yang telah membantu kami selama

menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Bandung, Agustus 2011

(6)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

Terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara terus menerus, baik yang disebabkan oleh faktor alam (gempa bumi, tsunami, banjir, letusan gunung api, tanah longsor, angin ribut, dll), maupun oleh faktor non alam seperti berbagai akibat kegagalan teknologi dan ulah manusia. Umumnya bencana yang terjadi tersebut mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat, baik berupa korban jiwa manusia kerugian harta benda, maupun kerusakan lingkungan serta musnahnya hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.

(7)

mengingat kondisi daerah Jawa Barat dan Banten merupakan daerah perbukitan yang padat penghuninya dan memiliki curah hujan yang tinggi.

Berdasarkan potensi bencana dan tingkat kerentanan yang ada, maka dapat diperkirakan risiko bencana’yang akan terjadi di perkotaan Indonesia tergolong tinggi. Risiko bencana pada wilayah perkotaan Indonesia yang tinggi tersebut disebabkan oleh potensi bencana yang dimiliki wilayah-wilayah tersebut yang memang sudah tinggi, ditambah dengan tingkat kerentanan yang sangat tinggi pula. Sementara faktor lain yang mendorong semakin tingginya risiko bencana ini adalah menyangkut pilihan masyarakat. Banyak penduduk yang memilih atau dengan sengaja tinggal di kawasan yang rawan/rentan terhadap bencana dengan berbagai alasan seperti kesuburan tanah, atau opportunity lainnya yang dijanjikan oleh lokasi tersebut.

Sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang No.26 tahun 2007 mengenai perencanaan tata ruang bahwa “secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan.” , ini dapat diartikan bahwa secara langsung undang-undang telah mengamanatkan bahwa menjadikan mitigasi bencana menjadi salah satu basis perencanaan penataan ruang di Indonesia. Namun di Undang-Undang Penataan Ruang No.26 tahun 2007 tidak secara spesifik menjelaskan mengenai mitigasi bencana hanya sebatas penetapan jalur dan ruang evakuasi. Untuk itu penelitian ini lebih menspesifikkan menjadi mitigasi bencana di kawasan padat perkotaan. Selain itu, penanganan bencana di kawasan dengan kepadatan yang tinggi cenderung lebih memiliki masalah yang kompleks dibandingkan dengan kawasan dengan kepadatan yang rendah, baik dalam hal penentuan jalur evakuasi bencana maupun lokasi evakuasi bencana dan lain sebagainya. Oleh karena itu, diperlukan suatu pola pengelolaan penanganan bencana yang dapat mengatasi masalah bencana perkotaan terutama bencana perkotaan di kawasan dengan kepadatan yang tinggi.

(8)

bencana (Disaster Risk) kebakaran di kawasan padat Kelurahan Lebakgede Kota Bandung sebagai salah satu proses mitigasi bencana.

1.2.RUMUSAN PERMASALAHAN

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana alam yang tinggi. Dengan adanya potensi-potensi bencana alam tersebut maka dibutuhkan suatu upaya mitigasi bencana alam. Akibat perencanaan yang kurang memperhatikan aspek potensi bencana maka timbul berbagai kerentanan (vulnerability) terhadap aktivitas yang berlangsung pada penggunaan lahan. Dengan adanya kerentanan ini maka dapat mengurangi nilai dari penggunaan lahan tersebut ataupun jika lebih buruknya yaitu akan mengganggu atau merusak aktivitas yang berlangsung pada penggunaan lahan tersebut. Di dalam Undang-Undang Penataan Ruang No.26 tahun 2007 mencantumkan bahwa mitigasi bencana menjadi salah satu basis perencanaan dan penataan ruang di Indonesia khususnya untuk jalur dan ruang evakuasi mitigasi bencana, akan tetapi tidak menetapkan secara spesifik lokasi yang akan diterapkan. Untuk itu penelitian ini terpusat di kawasan padat perkotaan yang sebagaimana kita ketahui rentan akan timbulnya bencana. Oleh karena itu perlu adanya suatu penelitian mengenai identifikasi tingkat risiko bencana (Disaster Risk) sebagai salah satu proses mitigasi bencana pada saat sebelum bencana.

Permukiman dengan kepadatan yang tinggi menjadi salah satu kawasan rawan bencana perkotaan dimana kondisi permukiman yang begitu padat yang sebagaimana kita ketahui kondisi sarana dan prasarana di permukiman dengan kepadatan yang tinggi sangat kurang baik. Penanggulangan bencana di kawasan dengan kepadatan yang tinggi akan lebih kompleks dibandingkan dengan kawasan kepadatan rendah baik dalam segi penentuan jalur evakuasi maupun lahan evakuasi sementara. Kel. Lebakgede menjadi fokus perhatian dalam konteks bencana perkotaan karena di kawasan tersebut pernah terjadi bencana perkotaan seperti kebakaran dan akan berpotensi lagi terjadi bencana kebakaran. Akan timbul permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

(9)

2. Bagaimana tingkat kerentanan terhadap ancaman kebakaran di kawasan permukiman padat Kelurahan Lebakgede Kota Bandung.

3. Bagaimana tingkat kemampuan terhadap ancaman kebakaran di kawasan permukiman padat Kelurahan Lebakgede Kota Bandung.

4. Bagaimana tingkat risiko bencana di kawasan permukiman padat Kelurahan Lebakgede Kota Bandung.

1.3.TUJUAN & SASARAN 1.3.1 Tujuan

Tujuan kajian ini adalah mengidentifikasi potensi risiko bencana(Disaster Risk) kebakaran dikawasan permukiman padat Kelurahan Lebakgede Kecamatan Coblong Kota Bandung.

1.3.2 Sasaran

Sasaran yang ditempuh guna mengetahui tingkat risiko bencana (Disaster Risk) kebakaran di kawasan permukiman padat Kelurahan Lebakgede adalah sebagai berikut:

 Mengidentifikasi faktor sumber ancaman kebakaran di wilayah studi  Mengidentifikasi faktor kerentanan terhadap ancaman kebakaran di

wilayah studi.

 Mengidentifikasi faktor kemampuan terhadap ancaman kebakaan di wilayah studi.

 Mengidentifikasi tingkat risiko bencana kebakaran berdasarkan nilai faktor-faktor penentu.

1.4.MANFAAT PENELITIAN

(10)

1.5.RUANG LINGKUP

Adapun ruang lingkup dalam penelitian mengenai Tingkat Risiko Bencana Kebakaran di Kawasan Perkotaan Khususnya Kawasan Kepadatan Tinggi:

1.5.1Ruang Lingkup Wilayah

Kelurahan Lebakgede Kecamatan Coblong (studi kasus: RW 01, RW 02, RW 03, sebagian RW 07, RW 12, RW 13, RW 14, RW 15) merupakan salah satu bagian wilayah kelurahan di kota bandung dengan memiliki luas lahan sebesar 29,8 Ha. Dengan pertimbangan waktu dan biaya serta kondisi eksisting wilayah studi(salah satu kawasan dengan kepadatan yang sangat tinggi di Kel.Lebakgede), maka tidak mungkin untuk melakukan kajian secara keseluruhan. Oleh karena itu wilayah kajian perlu dipersempit sehingga pembahasan lebih terfokus. Secara administratif kelurahan Lebakgede (wilayah studi) dibatasi oleh :

 Bagian selatan : dibatasi oleh RW 07

 Bagian utara : dibatasi oleh Kelurahan Dago

 Bagian timur : dibatasi oleh Kelurahan Sadangserang  Bagian barat : dibatasi oleh RW 10

1.5.2 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam hal ini bencana yang akan dibahas dalam penelitian ini ialah bencana perkotaan kebakaran. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini melingkupi tiga aspek utama yaitu:

 Penentuan faktor-faktor penentu tingkat risiko bencana kebakaran di permukiman padat Kelurahan Lebakgede

(11)
(12)

9 1.6.METODOLOGI PENELITIAN

Untuk mencapai tujuan penelitian diperlukan metode dan pendekatan yang tepat agar dapat memperoleh data yang relevan serta pelaksanaan penelitian yang tepat. Oleh karena itu, pelaksanaan penelitian menggunakan beberapa teknik metode penelitian, yaitu :

1.6.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu dengan survei data sekunder dan survei data primer. Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Dalam penelitian ini peneliti akan melakukan beberapa teknik pengumpulan data, diantaranya yaitu observasi, wawancara, dokumentasi dan gabungan. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada kondisi yang alamiah, sumber data primer dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan serta, wawancara mendalam dan dokumentasi.

Gambar 1.2

Macam-macam Teknik Pengumpulan Data

a) Survei data primer terdiri dari observasi lapangan.

 Observasi lapangan untuk mengamati secara visual terhadap objek/persoalan dalam wilayah dimana observator langsung terlibat dalam menilai kondisi pemukiman di Kawasan Lebakgede Kota Bandung.

Macam teknik pengumpulan data

gabungan dokumentasi wawancara

(13)

Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Sanafiah Faisal (1990) mengklasifikasikan observasi menjadi observasi berpartisipasi, observasi secara terang-terangan dan tersamar, dan observasi tak berstruktur.

 Wawancara untuk menggali informasi dari warga sekitar mengenai potensi bencana, intensitas terjadinya bencana, upaya pengelolaan yang pernah dilakukan dan lain sebagainya yang mendukung untuk penelitian ini. Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang atau lebih untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topic tertentu. Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin menemukan permasalahan yang diteliti, tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam.

b) Teknik Pengumpulan Data dengan Dokumen.

Hasil penelitian dari observasi atau wawancara akan lebih kredibel/dapat dipercaya ketika didukung oleh sejarah objek, kondisi objek penelitian dan dapat didapatkan juga melalui dokumen-dukumen/literatur yang berkaitan dengan objek penelitian. Hasil penelitian juga akan semakin kredibel apabila didukung oleh foto-foto atau karya tulis akademik yang telah ada.

 Triangulasi/gabungan

(14)

Tabel 1.1

Data tentang jenis data primer & sekunder yang diperlukan

No Jenis data Aspek instansi/sumber

1 Data primer Wawancara:

 mengamati secara visual terhadap objek/persoalan dalam wilayah dimana observator langsung terlibat dalam menilai kondisi pemukiman di Kawasan Lebakgede Kota Bandung

2 Data Sekunder

Kependudukan:

 penduduk berdasarkan jenis kelamin

 penduduk berdasarkan mata pencaharian

Teori, konsep, referensi mengenai mitigasi bencana perkotaan

Perpustakaan, internet

1.6.2 Teknik Analisis Data a. Metode penelitian deskriptif

(15)

hipotesis-hipotesis, membuat prediksi serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan (Nazir, 1988:64).

b. Pembobotan (Skoring)

Adalah proses memberikan penilaian relatif pada tiap variabel untuk mengetahui potensi gua atau luweng di daerah penelitian. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel sumber ancaman kebakaran, kerentanan, dan kemampuan sesuai yang ditetapkan dalam naskah Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Proses scoring akan dihitung dari persentase keberadaan masing-masing tolak ukur kemudian dikalikan dengan bobot yang sudah ditetapkan. Dengan menjumlahkan semua niai tolak ukur dapat kita ketahui jumlah nilai setiap variabel untuk menghitung tingkat risiko bencana di permukiman padat Kelurahan Lebakgede dengan rumus sebagai berikut berdasarkan naskah Undang-Undang Penanggulangan Bencana.

Disaster risk (R) = Ancaman (A) x kerentanan (K) Kemampuan (M)

Tabel 1.3

Bobot Variabel Penelitian

No Faktor Variabel Nilai

1 sumber

ancaman

sistem pemasangan kawat sambungan listrik yang

buruk 2

keberadaan minyak tanah dan LPG 10

bahan kimia mudah terbakar 6

penerangan non listrik 8

penyalaan api secara langsung 4

2 kerentanan kondisi ekonomi 6

kepadatan penduduk 4

penduduk usia rentan 2

penduduk penyakit permanen 2

(16)

No Faktor Variabel Nilai

ketiadaan jarak antar bangunan 8

kepadatan bangunan 6

3 kemampuan sosial kependudukan 4

Hydrant 10

sumber air bukan hydrant 8

ruang terbuka 6

(17)

14 Tabel 1.2 Tahapan Penelitian

Tujuan Tahapan Variabel output

Nilai risiko

sistem pemasangan kawat sambungan listrik

nilai variabel sumber ancaman keberadaan kompor/tabung minyak tanah dan

LPG

keberadaan bahan kimia yang mudah terbakar

penerangan non listrik

kondisi tingkat ekonomi masyarakat setempat

nilai variabel kerentanan kepadatan penduduk

penduduk usia balita dan lansia

penduduk berpenyakit permanen

bahan bangunan tidak tahan api

konstruksi bangunan yang tidak tahan api

kepadatan bangunan

budaya masyarakat dan kebiasaan masyarakat

(18)

15 1.7. SISTEMATIKA PENULISAN

1. BAB 1 PENDAHULUAN

Bab ini berisikan mengenai latar belakang Tugas Akhir, maksud tujuan dan sasaran Tugas Akhir, ruang lingkup materi, ruang lingkup wilayah dan ruang lingkup waktu Tugas Akhir, metodologi penelitian Tugas Akhir dan lain-lain.

2. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan mengenai definisi/teori, pedoman pelaksanaan pembangunan RDTR Cibeunying, kebijakan pemerintah daerah mengenai penanggulangan bencana. Standar-standar mengenai penghitungan bobot variabel untuk menghitung tingkat risiko bencana di Kelurahan Lebakgede.

3. BAB 3 GAMBARAN UMUM

Bab ini berisikan mengenai gambaran umum wilayah penelitian dalam hal ini sebagian Kelurahan Lebakgede Kecamatan Coblong Kota Bandung.

4. BAB 4 ANALISIS & PEMBAHASAN

Bab ini berisikan mengenai sistematika analisis dan pembahasan

5. BAB 5 PENUTUP

(19)
(20)

17

PERMUKIMAN PADAT & BENCANA KEBAKARAN

2.1 Permukiman Padat di Kawasan Pusat Kota

Kawasan pusat kota pada umumnya merupakan pusat kegiatan ekonomi (perdagangan dan industri), pusat pemerintahan maupun pusat kegiatan budaya dan pariwisata. Dengan adanya peningkatan ekonomi saat ini mengakibatkan pusat-pusat kota tersebut menjadi sasaran investasi atau penanaman modal masyarakat baik dalam skala besar maupun kecil (sektor informal). Dengan didukung oleh kebijakan ekonomi suatu daerah akan mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Hal ini akan menyebabkan perkembangan kegiatan di pusat kota berjalan sangat pesat. Pertumbuhan pusat kota ini akan menjadikan daya tarik bagi masyarakat untuk mencari uang di pusat kota tersebut. Baik untuk masyarakat pencari kerja maupun yang ingin membuka usaha. Masyarakat yang bekerja di pusat kota akan mencari tempat tinggal tidak jauh dari tempat dia bekerja. Maka dipilihlah permukiman di pusat kota. Adapun kelebihan permukiman di pusat-pusat kota ini adalah ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap dan memadai disamping aksesibilitas yang mudah. Nilai dari suatu kualitas permukiman sangat ditentukan oleh fasilitas dan kondisi lingkungannya. Kelengkapan fasilitas di lingkungan sekitar permukiman sangat mempengaruhi kualitas permukiman itu sendiri. Menurut Patrick I. Wakely, Hartmut Schemetzer and Babar K. Muntaz menyebutkan bahwa ada beberapa indikator yang mempengaruhi nilai suatu perumahan antara lain yaitu:

 Kondisi dari bangunan-bangunannya,

 Ketersediaan supply air, sistem drainase yang baik, tersedianya pembuangan

 sampah yang memadai,

(21)

 sekolah dan mudah dicapai dengan angkutan umum,

 Ketersediaan fasilitas umum seperti tempat ibadah dan rekreasi,  Kepadatan penduduk yang tidak terlalu tinggi,

 Keamanan dan kesehatan yang terjamin.

Secara singkat, faktor yang dapat menjadi daya tarik pusat kota bagi masyarakat untuk memilih tinggal di pusat kota tersebut yang dapat menyebabkan permukiman tumbuh dan berkembang sebagai hunian dan tempat usaha adalah:

a. Lokasi, Maksudnya adalah posisi daerah tersebut dalam tata ruang kota, makin memungkinkan daerah tersebut untuk berkembang.

b. Aksesibilitas, maksudnya adalah pencapaian terhadap daerah tersebut. Makin aksibel, makin mungkin untuk berkembang.

c. Pelayanan, maksudnya adalah kebutuhan hidup bagi penghuninya. Untuk permukiman, pelayanan itu meliputi sarana dan prasarana. Sedangkan untuk tempat usaha, pelayanan itu meliputi kemudahan mendapat bahan baku, tenaga kerja dan

d. pemasaran atau konsumen dari hasil produksi, baik jasa maupun barang.

Menurut Clay (1979: 15-16) ada beberapa pengaruh yang mendorong masyarakat untuk bermukim di pusat kota yaitu:

a. Pusat kota adalah pusat semua kegiatan. Masyarakat usia muda tertarik untuk mencari kesempatan kerja maupun mencari hiburan serta berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama di pusat kota. Dan mereka ingin bermukim di kawasan pusat kota untuk kemudahan mencapai tempat kerja.

b. Pusat kota adalah tempat yang nyaman untuk mencari kerja.

c. Tinggal di pusat kota adalah life-style. Tinggal di permukiman kawasan pusat kota lebih berkelas daripada tinggal di permukiman pinggiran kota. d. Memiliki rumah di pusat kota adalah investasi yang bernilai tinggi.

(22)

Menurut Bintarto (1983: 33) bahwa percepatan urbanisasi di Indonesia tergantung dari beberapa faktor:

a. Tingkat pendidikan penduduk yang terlibat, b. Tingkat kesehatan masyarakat,

c. Persentase penduduk miskin,

d. Latar belakang pertanian di daerah pedesaan, e. Kondisi geografis

f. Fungsi serta peranan kota-kota sebagai faktor penarik dan masih ada faktor-faktor lain.

Tabel 2.1

Standar Minimal Komponen Fisik Prasarana Lingkungan Permukiman

No komponen kriteria teknis Keterangan

1 jaringan jalan

jarak minimum setiap rumah 100 m dari jalan kendaraan satu arah dan 300m dari jalan 2 arah

Pada prinsipnya, jaringan jalan harus mampu melayani kepentingan mobil kebakaran. Disamping itu, maksimal 15 menit jalan kaki harus terlayani oleh angkutan umum. Dimensi m/ha untuk jalan 2 arah pedestrian yang diperkeras minimal berjarak 20 m, dengan perkerasan 1-3m fire hidrant dalam radius 60 m-120 m

3 sanitasi tangki septic individu, resapan, individu

(23)

No komponen kriteria teknis Keterangan lingkungan ditangani

masyarakat setempat.

dikelola oleh lingkungan yang yang bersangkutan

5 drainase Jaringan drainase dibangun memanfaatkan jaringan jalan dan badan air yang ada

Bentuk penangananya dapat

Sumber : Dasar-dasar Perencanaan Perumahan oleh Dpusbindiklatren Bappenas (2003: 2-4)

2.2 Konsep Bencana

(24)

pesentase bangunan kayu (utamanya didaerah permukiman kumuh perkotaan), dan jumlah industry ancaman, yang tinggi.

Berdasarkan penyebabnya, bencana dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok (UU RI No.24 tahun 2007) yaitu:

1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, dan lainnya.

2. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa non alam yang diantaranya berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemic dan wabah penyakit.

3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan terror.

Bencana tidak lepas dari adanya beberapa faktor penyebab yaitu hazard/ancaman yang ada di dalam suatu lingkungan serta adanya kerentanan dan kemampuan yang dimiliki suatu lingkungan. Bencana merupakan hasil dari ancaman bertemu dengan kerentanan (Awotona, 1997:150).

1 Menurut Sanderson (1997)

Pada model yang digambarkan oleh sanderson, dijelaskan bahwa risiko atau bencana merupakan hasil dari kerentanan yang bertemu dengan ancaman yang ada. Bahay dapt dilihat berdasarkan tipe, frekuensi, dan kehebatan ancaman yang akan muncul, sedangkan kerentanan dilihat berdasarkan kondisi social, ekonomi, infrastruktur, dan organisasi yang dimiliki suatu kawasan dalam menghadapi ancaman yang ada.

2 Menurut Naskah UU Penanggulangan bencana

(25)

terdapat kerentanan dan ancaman, nilai risiko yang dihasilkan adalah 0. Tetapi sebaliknya jika suatu kawasan memiliki nilai risiko bencana lebih dari 100, ini berarti kawasan tersebut memiliki risiko bencana yang tinggi.

Disaster risk (R) = Ancaman (A) x kerentanan (K) Kemampuan (M)

Dengan menggunakan beberapa metode diatas, hubungan antara ancaman, kerentanan dan kemampuan dapat terlihat dengan mudah. Risiko bencana akan semakin besar jika ancaman bertemu dengan kerentanan tanpa adanya kemampuan, sebaliknya risiko bencana semakin kecil jika nilai kemampuan lebih besar dari ancaman dan kerentanan. Pada tugas akhir Firmansyah (2004: 62-68) ,2004 nilai risiko bencana dapat dikatakan tinggi apabila melebihi angka 1000. Ini dijabarkan dari nilai harkat yang semula di undang-undang penanggulangan bencana pada rentang nilai 1-10 menjadi nilai persentase 1-1-100 %.

Gambar 2.1

(26)

2.2.1 Ancaman(hazard)

Ancaman adalah kejadian jarang atau ekstrim dari lingkungan karena ulah manusia atau karena alam yang secara merugikan mempengaruhi kehidupan manusia, property atau aktivitas pada tingkat yang menyebabkan satu bencana (UNDP, 1992). Pada tugas akhir Firmansyah (2004: 62-68), Untuk mengetahui tingkat sumber ancaman kebakaran dilakukan pembobotan berdasarkan kejadian kebakaran sebelumnya diberikan rentang 1-10 untuk bobot setiap variabel. Hazard dapat pula diartikan suatu kejadian yang dapat mengarah pada kehilangan dan kesakitan (Tearfund,2006). Ancaman dapat dklasifikasikan kedalam tiga jenis (Rice,1999) yaitu :

1. Natural Hazard, yaitu yang disebabkan oleh kejadian alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan lain sebagainya.

2. Man-made hazard, yaitu yang disebabkan oleh tindakan secara langsung atau tidak langsung manusia.

3. Technology Hazard

Dapat dibedakan menjadi lima kelompok yaitu:

 Ancaman beraspek geologi, antara lain gempa bumi, tsunami, gunung api, longsor

 Ancaman beraspek hidromteorologi, antara lain banjir, kekeringan, angin topan, gelombang pasang.

 Ancaman beraspek biologi, antara lain wabah penyakit, hama, dan penyakit tanaman.

 Ancaman beraspek teknologi, antara lain kecelakaan transportasi, industry, kegagalan teknologi.

 Ancaman beraspek lingkungan, antara lain kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, pencemaran limbah.

2.2.2 Kerentanan

(27)

ancaman. Masyarakat dikatakan memiliki kerentanan jika mereka tidak dapat mengantisipasi dan bertahan dari suatu ancaman. Kerentanan muncul karena tekanan tindakan dari individual atau komunitas (Teartund, 2006). Tekanan tersebut merupakan struktur dan proses yang menciptakan kondisi rentan, yang perlu diidentifikasi siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya kondisi kerentanan dan bagaimana struktur (kebijakan dan tindakan) mempengaruhi kondisi kerentanan. Beberapa elemen yang terdapat di sekitar masyarakat sering kali memilii tingkat kerentanan dalam menghadapi ancaman ancaman. Kerentanan(Tearfund, 2006) dapat berupa:

1. Ekonomi, seperti kehidupan yang rapuh atau tidak adanya fasilitas kredit dan tabungan.

2. Alam, seperti ketergantungan pada sumber daya alam yang terbatas jumlahnya.

3. Konstruksi, seperti rancangan struktural dan lokasi rumah yang terletak pada kemiringan yang tidak stabil.

4. Individual, seperti kurangnya keterampilan dan pengetahuan, kurangnya kesempatan terhadap gender tertentu, usia lanjut da usia yang terlalu muda, atau kehidupan dengan penyakit

5. Sosial, sperti kurangnya kepemimpinan atau organisasi yang baik

Berbeda dengan Tearfund, pada tugas akhir Firmansyah (2004: 62-68) faktor kerentanan terdiri dari 3 sub faktor, yaitu:

1 Kerentanan fisik/infrastruktur

(28)

2 Kerentanan sosial kependudukan

Menunjukkan perkiraan kerentanan terhadap keselamatan jiwa/kesehatan penduduk apabila terjadi bencana. Indikator dari kerentanan social/kependudukan adalah persentase penduduk usia tua dan balita. dan di beri bobot 2-4 disesuaikan dengan kejadian kebakaran sebelumnya untuk variabel yang berhubungan dengan sosial kependudukan. Kemudian bobot tersebut dikalikan dengan persentase kondisi sosial kependudukan.

3 Kerentanan ekonomi

Menggambarkan besar kerugian/gangguan terhadap aktivitas ekonomi komunikasi sehari-hari. Indikator kerentanan ekonomi adalah persentase rumah tangga miskin dan persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan. dan di beri bobot 4-6 disesuaikan dengan kejadian kebakaran sebelumnya untuk variabel yang berhubungan dengan kondisi ekonomi. Kemudian bobot tersebut dikalikan dengan persentase kondisi ekonomi.

Menuut Oetomo (2007), faktor kerentanan dapat berupa:

1 Sosial (kepadatan penduduk, struktur umur balita dan lansia, segregasi sosial, disparitas sosial-ekonomi)

2 Ekonomi (Tingkat kemiskinan penduduk, dan lain-lain) 3 Budaya

4 Organisasi/politis

5 Kondisi fisik bangunan (kepadatan, konstruksi bangunan, bahan bangunan dan lain-lain)

Menurut Davidson (1997), kerentanan ditentukan oleh:

1 Persentase bangunan yang terbuat dari kayu, yaitu menjelaskan jumlah bahan bakar yang ada yang dapat mudah terbakar.

2 Kepadatan Penduduk, yaitu menjelaskan kemudahan tingkat evakuasi 3 Persentase penduduk berusia 0-4 dan 60+, penduduk sakit, cacat, dan

(29)

Urban Research Institute pada Leo Urban Disaster Mitigatian Project tahun 2004 menyebutkan bahwa kerentanan dapat dilihat berdasarkan:

1 Fire history, yaitu kejadian kebakaran diarea tersebut di masa lalu. 2 Material bangunan. Kualitas material yang terbakar merupakan penentu

utama terhadap intensitas api. Kualitas bangunan dapat dilihat dari tipologi bangunan, material konstruksi dan kedekatan lokasi antar bangunan. Selain itu kemungkinan munculnya api juga berawal dari aktivitas yang dilakukan di lokasi tersebut, baik karena kelalaian atau kesalahan.

Mantra (2005) menuliskan bahwa yang termasuk kedalam kerentanan adalah:

1 Kondisi lingkungan (lebar jalan masuk, ketersediaan lapangan/parker, masyarakat). Kondisi lingkungan berguna untuk melihat bentuk akses yang ada dibandingkan dengan persyaratan dalam peraturan, apakah mobil dapat bergerak menerus tanpa harus memutar terlebih dahulu untuk keluar areal. Kondisi ini dari segi pemadaman api dapat memudahkan petugas dalam melaksanakan tugasnya sehingga benturan antar petugas dapat dihindari.

2 Bahan bangunan. Penggunaan bahan bangunan yang tahan terhadap api sangat efektif untuk menghambat penyebaran api kebangunan lainnya. Sebaliknya dengan penggunaan bahan bangunan seperti triplek atau sejenisnya yang mudah terbakar akan mempercepat perambatan api. 3 Struktur bangunan

4 Jarak antar bangunan. Dengan jarak yang rapat maka kebakaran akan sulit dikendalikan dn akan mudah menyebar kebangunan lain dan menyebabkan kabakaran yang sangat besar.

BAKORNAS PBP (2002) menyebutkan bahwa kerentanan suatu kawasan terhadap bencana dipengaruhi oleh:

(30)

berbagai indicator sebagai berikut: persentase kawasan terbangun; kepadatan bangunan; persentase bangunan konstruksi darurat; jaringan listrik; jaringan telekomunikasi, dan PDAM.

2 Kerentanan sosial menujukkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa/kesehatan penduduk apabila ada ancaman. Dari beberapa indicator antara lain kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, pesentase penduduk usia tua-balita dan penduduk wanita. 3 Kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya

kegiatan ekonomi (proses ekonomi) yang terjadi bila terjadi ancaman ancaman.

2.2.3 Kemampuan

Kemampuan adalah gabungan antara kekuatan dan sumber daya yang ada dalam suatu komunitas, social atau organisasi yang dapt mengurangi tingkat risiko atau dampak dari bencana (UNISDR, 2002). Kemampuan yang ada dalam suatu lingkungan tidak terlepas dari kekuatan yang dimiliki pihak-pihak yang ada didalamnya (Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia).

Terdapat beberapa pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan atau kapasitas dalam suatu lingkungan, yaitu:

1) Menurut Oetomo (2007)

a) Kemampuan wilayah dari segi kelengkapan fasilitas fisik prasarana ( fasilitas gawat darurat/kesehatan, fasilitas pemadam kebakaran, ruang evakuasi, dan lain-lain)

b) Kelengkapan sarana dan utilitas (sistem jaringan komunikasi, sarana transportasi, ambulans, mobil pemadam kebakaran yang sesuai dengan kebutuhann hydrant, dan lain-lain)

c) Ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih

2) Menurut Davidson (1997)

a) Personel pemadam kebakaran

(31)

c) Ketersediaan peralatan pemadam kebakaran( mobil pemadam kebakaran, pos pemadam kebakaran, dan hydrant).

3) Menurut Urban Research Institute pada Leo Urban Disaster Mitigatian Projct tahun 2004

Kemampuan dipengaruhi oleh Fire fighting scenario. Kemampuan atau keefektifan pelayanan pemdam kebakaran pada lokasi kebakaran dapat ditentukan oleh keberadaan sumber air da ruang gerak/lebar jalan tim pemadam kebakaran dengan waktu yang cepat dan memungkinkan untuk menangani kebakaran.

4) Menurut Mantra (2005:1-16), kemampuan ditentukan oleh ketersediaan sensor pencegah kebakran, ketersediaa springkler, ketersediaan hydrant. Ketersediaan detector, ketersediaan sarana komunikasi sarana komnikasi mempermudah masyarakat menyampaikan informasi terjadinya kabakaran kepada petugas sehingga petugas lebih cepat menangani kebakaran, serta area parker.

pada tugas akhir Firmansyah (2004: 62-68) faktor kemampuan terdiri dari 2 sub faktor, yaitu:

1. Kemampuan fisik/infrastruktur

Menggambarkan perkiraan tingkat kerusakan yang ditimbulkan jika bencana terjadi dan di beri bobot 6-10 disesuaikan dengan kejadian kebakaran sebelumnya untuk variabel yang berhubungan dengan fisik bangunan ataupun infrastruktur. Kemudian bobot tersebut dikalikan dengan persentase fisik bangunan ataupun infrastruktur.

2. Kemampuan sosial kependudukan

(32)

sosial kependudukan. Kemudian bobot tersebut dikalikan dengan persentase kondisi sosial kependudukan.

Berikut dibawah ini tabel pembobotan nilai yang dilakukan firmansyah dan hasil adaptasi dari peneliti terhadap bobot sumber ancaman berdasarkan fire history di wilayah studi.

Tabel 2.2

Bobot Variabel Penelitian

No Faktor Variabel bobot Hasil

adaptasi 1 sumber ancaman sistem pemasangan kawat sambungan listrik

yang buruk 4 2

keberadaan minyak tanah dan LPG 2 10

bahan kimia mudah terbakar 8 6

penerangan non listrik 10 8

penyalaan api secara langsung 6 4

2 Kerentanan

kondisi ekonomi 6 6

kepadatan penduduk 4 4

penduduk usia rentan 2 2

penduduk penyakit permanen 2 2

bahan bangunan tidak tahan api 10 10

ketiadaan jarak antar bangunan 8 8

kepadatan bangunan 6 6

3 Kemampuan sosial kependudukan 4 4

Hydrant 10 10

sumber air bukan hydrant 8 8

ruang terbuka 6 6

Sumber: Firmansyah (2004) dengan adaptasi (2011)

2.3 Bencana Kebakaran

(33)

proses penyalaan api yang dapat terjadi dimana saja dan kapan saja dan didukung ketersediaan material sebagai bahan bakar. Sedangkan Kepmen PU Nomor 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Ancaman Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan menyebutkan bahwa ancaman yang diakibatkan oleh adanya ancaman potensial dan derajat terkena pancaran api sejak dari awal terjadi kebakaran hingga penjalaran api, asap dan gas yang ditimbulkan. ancaman ini akan menimbulkan kerugian semakin besar ketika terjasi pada keadaan yang lebih rentan. Kebakaran dengan proporsi yang tinggi dapat merugikan lingkungan sekitar oleh karena adanya pembakaran secara besar-besaran serta adanya gas dan asap pembakaran (Masellis, Annals of Burns and fire Disasters vol XII-n0 2-june 1999).

2.3.1 Konsep terjadinya kebakaran

Sama dengan ancaman pada umumnya, ancaman kebakaran disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor alam dan faktor kelalaian manusia. Kebakaran termasuk dalam natural hazard biasanya merupakan collateral hazard yaitu ancaman ikutan yang ditimbulkan akibat adanya ancaman lain. Kebakaran sebagai man-made hazard merupakan bentuk ancaman yang disebabkan oleh kelalaian manusia. Tedapat berbagai pendapat mengenai sumber datangnya api yang dapat menyebabkan kebakaran yaitu:

1. Menurut Davidson(1997), sumber api berasal dari collateral hazard, yaitu api muncul akibat adanya ancaman alam.

2. Berdasarkan Menurut Urban Research Institute pada Leo Urban Disaster Mitigatian Projct tahun 2004 sumber api berasal dari keberadaan pompa bensin dari lokasi rumah terdekat, keberadaan pengguna gas, dan sistem pemasangan sambungan listrik.

3. Menurut Mantra(2005), bahwa hubungan singkat arus listrik, kompor minyak tanah, perlengkapan non-listrik dab punting rokok merupakan faktor munculnya api di lingkungan permukiman

(34)

padat logam dan non logam, keberadaan pom bensin, keberadaan pemasak BBm dan LPG, kebocoran alat listrik dan lain-lain.

2.3.2 Klasifikasi kebakaran

Ketika hendak melakukan perlindungan terhadap ancaman kebakaran, perlu diketahui jenis ancaman kebakaran yang sedang terjadi berdasarkan material yang terbakar, supaya dapat diketahui jenis pemdam apa yang paling tepat digunakan. Berdasarkan penjelasan pasal 37 peratura daerah Kota Bandung No.15 tahun 2001 tentang pencegahan dan penanggulangan Ancaman Kebakaran terdapat empat jenis kebakaran dan bahan pemadamnya yaitu:

1. Kebakaran biasa, yaitu kebakaran benda-benda padat kecuali logam yang mudah terbakar disebut jenis kebakaran A. penanggulangannya dapat menggunakan alat pemadam pokok yaitu air foam, CO2 atau bubuk kimia kering.

2. Kebakaran ancaman cairan yang mudah terbakar (seperti minyak bumi dll) disebut jenis kebakaran kelas B. penanggulangannya dapat menggunakan alat pemadam pelengkap yang memakai zat kimia.

3. Kebakaran listrik disebut jenis kebakaran kelas C.

Kebakaran logam disebut jenis kebakaran kelas D

2.4 Mitigasi Bencana

(35)

Usaha mitigasi dapat berupa prabencana, saat bencana dan pasca bencana. Prabencana mrupaan kesiapsiagaan atau upaya memberikan pemahaman pada penduduk untuk mengantisipasi bencana melalui pemberian informasi, peningkatan kesiagaan kalo terjadi bencana ada langkah-langkah untuk memperkecil risiko bencana. Pada saat kejadian merupakan tanggap darurat yaitu upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana untuk menanggulagi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban, harta benda, evakuasi dan pengungsian. Pascabencana merupakan pemulihan rehabilitasi dan pembangunan. Mitigasi dapat dikategorikan ke dalam mitigasi structural dan non structural (Godschalk,1999).

Mitigasi Struktural

Mitigasi struktural merupakan upaya untuk meminimalkan bencana yang dilakukan melalui pembangunan berbagai prasarana fisik dan menggunakan pendekatan teknologi, seperti pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir, alat pendeteksi aktivitas gunung berapi, bangunan yang bersifat tahan gempa, ataupun Early Warning System yang digunakan untuk memprediksi terjadinya gelombang tsunami. Mitigasi struktural adalah upaya untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) terhadap bencana dengan cara rekayasa teknis bangunan tahan bencana. Bangunan tahan bencana adalah bangunan dengan struktur yang direncanakan sedemikian rupa sehingga bangunan tersebut mampu bertahan atau mengalami kerusakan yang tidak memancamankan apabila bencana yang bersangkutan terjadi. Rekayasa teknis adalah prosedur perancangan struktur bangunan yang telah memperhitungkan karakteristik aksi dari bencana.

Mitigasi Non-Struktural

(36)

kebijakan dari mitigasi ini. Contoh lainnya adalah pembuatan tata ruang kota, capacity building masyarakat, bahkan sampai menghidupkan berbagaia aktivitas lain yang berguna bagi penguatan kapasitas masyarakat, juga bagian ari mitigasi ini. Ini semua dilakukan untuk, oleh dan di masyarakat yang hidup di sekitar daerah rawan bencana. Kebijakan non struktural meliputi legislasi, perencanaan wilayah, dan asuransi. Kebijakan non struktural lebih berkaitan dengan kebijakan yang bertujuan untuk menghindari risiko yang tidak perlu dan merusak. Tentu, sebelum perlu dilakukan identifikasi risiko terlebih dahulu. Penilaian risiko fisik meliputi proses identifikasi dan evaluasi tentang kemungkinan terjadinya bencana dan dampak yang mungkin ditimbulkannya.

Kebijakan mitigasi baik yang bersifat struktural maupun yang bersifat non struktural harus saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Pemanfaatan teknologi untuk memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana harus diimbangi dengan penciptaan dan penegakan perangkat peraturan yang memadai yang didukung oleh rencana tata ruang yang sesuai. Sering terjadinya peristiwa banjir dan tanah longsor pada musim hujan dan kekeringan di beberapa tempat di Indonesia pada musim kemarau sebagian besar diakibatkan oleh lemahnya penegakan hukum dan pemanfaatan tata ruang wilayah yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar. Teknologi yang digunakan untuk memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana pun harus diusahakan agar tidak mengganggu keseimbangan lingkungan di masa depan.

2.5 Tinjauan Kebijakan

2.5.1 Kebijakan Publik Untuk Mitigasi Bencana

(37)

2.5.1.1 Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) tahun 2006-2009.

Pengurangan risiko bencana di Indonesia dilakukan dengan mempertimbangkan aspek berkelanjutan dan partisipasi dari semua pihak terkait. Salah satu upayanya adalah dengan menyusun prioritas dalam pengurangan risiko bencana dalam RAN-PRB 2006-2009 adalah:

1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat. 2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta

menerapkan system peringatan dini.

3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun kesadaran keselamatan diri dan kemampuan terhadap bencana pada semua tingkatan masyarakat.

4. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana.

5. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar respon yang dilakukan lebih efektif.

Berdasarkan kelima prioritas tersebut, upaya dan aksi yang akan dilakukan yaitu, sebagi berikut:

1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun daerah yang pelaksanaanya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat. 2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta

menerapkan system peringatan dini.

3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun kesadaran, keselamatan diri dan kemampuan terhadap bencana pada semua tingkatan masyarakat.

4. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana.

5. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar respon yang dilakukan lebih efektif.

(38)

Berdasarkan UU RI No.24/2007, penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penghitungan tingkat risiko bencana, penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi. Dalam UU No.24 Tahun 2007, Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:

1. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan;

2. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;

3. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum;

4. pemulihan kondisi dari dampak bencana;

5. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai;

6. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai;

7. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.

Kerawanan suatu komunitas ditentukan oleh tinggi rendahnya risiko terjadinya bencana. Risiko terjadinya bencana merupakan fungsi dari ancaman dengan keadaan yang rentan, yang dapat dirubah oleh adanya kemampuan. Dengan menggunakan formula ini maka ketika tidak terdapat kerentanan dan ancaman, nilai risiko yang dihasilkan adalah 0. Tetapi sebaliknya jika suatu kawasan memiliki nilai risiko bencana lebih dari 100, ini berarti kawasan tersebut memiliki risiko bencana yang tinggi.

Disaster risk (R) = Ancaman (A) x kerentanan (K) Kemampuan (M)

(39)

1. memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara;

2. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan; 3. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;

4. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana;

5. menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional dan internasional;

6. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

7. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan; dan

8. menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah.

Terkait dengan manajemen penanggulangan bencana, maka UU No. 24 tahun 2007 menyatakan “Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi”. Rumusan penanggulangan bencana dari UU tersebut mengandung dua pengertian dasar yaitu:

• Penanggulangan bencana sebagai sebuah rangkaian atau siklus.

• Penanggulangan bencana dimulai dari penetapan kebijakan pembangunan yang didasari risiko bencana dan diikuti tahap kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

(40)

Gambar 2.2

Lingkaran Skematis Penanggulangan bencana

2.5.1.3 Kepmen PU No.11 Tahun 2000

Berdasarkan Kepmen PU No.11 Tahun 2000 tentang ketentuan teknis manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan.

a) Lokasi pos pemadam kebakaran, berdasarkan Kepmen PU No.11 tahun 2000 daerah layanan dalam setiap WMK (Wilayah Manajemen Kebakaran) tidak melebihi dari radius 7,5 km. daerah yang sudah terbangun harus mendapat perlindungan ole mobil kebakran yang pos terdekatnya berada dalam jarak 2,5 km dan berjarak 3,5 km dari sector. Satu pos pemadam kebakaran melayani maksimum 3 kelurahan atau sesuai dengan wilayah layanan penanggulangan kebakaran.

b) Pasokan air untuk pemadam kebakaran c) Ketersediaan bahan pemadam bukan air d) Aksesibilitas

e) Ketersediaan saran komunikasi Rehabilitasi

Tanggap Darurat

(41)

2.5.1.4 Peraturan Daerah Kota Bandung No.15 tahun 2001

Berdasarkan penjelasan pasal 37 peraturan daerah Kota Bandung No.15 tahun 2001 tentang pencegahan dan penanggulangan Ancaman Kebakaran terdapat empat jenis kebakaran dan bahan pemadamnya yaitu:

1. Kebakaran biasa, yaitu kebakaran benda-benda padat kecuali logam yang mudah terbakar disebut jenis kebakaran A. penanggulangannya dapat menggunakan alat pemadam pokok yaitu air foam, CO2 atau bubuk kimia kering.

2. Kebakaran ancaman cairan yang mudah terbakar (seperti minyak bumi dll) disebut jenis kebakaran kelas B. penanggulangannya dapat menggunakan alat pemadam pelengkap yang memakai zat kimia.

3. Kebakaran listrik disebut jenis kebakaran kelas C. 4. Kebakaran logam disebut jenis kebakaran kelas D

2.6 Tinjauan Tata Ruang Terhadap Wilayah studi

Pada bagian ini dijabarkan mengenai kebijakan-kebijakan tata ruang yang mencakup RTRW Kota Bandung dan RDTRK WP Cibeunying Kota Bandung terhadap wilayah studi.

2.6.1 RTRW Kota Bandung 2013

2.6.1.1 Kelurahan Lebakgede dalam Perspektif RTRW Kota Bandung 2013 Wilayah Cibeunying adalah representasi dari Kota Bandung seutuhnya. Wilayah ini terdiri dari beberapa karakter fisik yang ada di wilayah Kota Bandung dimana masing-masing karakteristik tersebut membentuk karakter wilayah yang khas. Penentuan arahan pengembangan Wilayah Cibeunying didasarkan kepada karakter fisik yang dilihat dari potensi dan kendala fisik yang dimiliki tiap kawasan. Berdasarkan karakter tersebut maka Wilayah Cibeunying dibagi menjadi 3 zona, yaitu :

(42)

 Zona yang dipacu perkembangannya melalui rekonstruksi pola jalan dan intensitas pemanfaatan lahan (zona II), serta

 zona sub urban dan pengembangan terkendali (zona III)

Mengacu pada karakter tersebut maka Kelurahan Lebakgede termasuk kedalam Zona I, yang merupakan zona sub urban, terletak pada kawasan dengan potensinya sebagai kawasan budidaya dan Perumahan

 Membatasi perkembangan pembangunan perumahan horizontal di kawasan utara kota/wilayah

 Pengaturan intensitas pembangunan perumahan dengan pengawasan yang ketat terhadap ijin pembangunan perumahan

2.6.1.2 Rencana Pemadam Kebakaran

Rencana pengembangan sarana pemadam kebakaran adalah menyebarkan pembangunan pos pemadam kebakaran di lokasi yang strategis. Pembangunan pos pemadam kebakaran dilaksanakan dalam beberapa tahap. Tahap pertama dikembangkan 2 pos pemadam kebakaran, yaitu:

1. Pos 1 terletak di Jl Sukabumi 2. Pos 2 terletak di Jl Arya Graha

Tahap kedua dikembangkan 14 pos pemadam kebakaran, yaitu:

1. Pos 3 terletak di sekitarJl Soekarno Hatta sebelah barat PasarCaringin 2. Pos 4 terletak di sekitar Jl Ciroyom

3. Pos 5 terletak di sekitar rumah makan Babakan Siliwangi 4. Pos 6 terletak di dekat PT Pindad di Jl Kiaracondong 5. Pos 7 terletak di sekitar Alun-alun Ujungberung 6. Pos 8 terletak di kelurahan Cibadak

7. Pod 9 terletak di UPI di Jl Setiabudhi 8. Pos 10 terletak di terminal Sadang Serang 9. Pos 11 terletak di lapangan kuda Arcamanik

(43)

14.Pos 16 terletak di sekitar Kecamatan Sumur Bandung

(44)

41

Bab ini berisi mengenai Tinauan Kelurahan Lebakgede dan Kondisi eksisting kawasan permukiman Kelurahan Lebakgede (studi kasus: RW 01, RW 02, RW 03, sebagian RW 07, RW 12, RW 13, RW 14, RW 15).

3.1. Tinjauan Kelurahan Lebakgede 3.1.1 Administrasi

Kelurahan Lebakgede Kecamatan Coblong merupakan salah satu bagian wilayah kelurahan di kota bandung dengan memiliki luas lahan sebesar 101,3 Ha. Berpenduduk 16349 jiwa dengan kepadatan 161 jiwa/ha.Secara administrative kelurahan Lebak gede dibatasi oleh :

 Bagian selatan : Kelurahan Citarum (kec. Bandung Wetan)  Bagian utara : Kelurahan Sekaloa

 Bagian timur : Kelurahan Sadang Serang

 Bagian barat : Kelurahan Lebak siliwangi & Kel. Dago

3.1.2 Hidrologi

(45)

Gambar 3.1

(46)

3.1.3 Kependudukan

Kelurahan lebakgede memiliki jumlah penduduk 16349 jiwa pada tahun 2007 terdiri dari 8085 jiwa laki-laki dan 8264 jiwa perempuan. Jumlah kepala keluarga di kelurahan lebakgede saat ini mencapai sekitar 2669 KK. Berdasarkan data kependudukan dari kelurahan lebakgede pada tahun 2007 yang dilihat dari segi kepadatan penduduk sebesar… jiwa per hektar dan dilihat pertumbuhan penduduk, intensitas populasinya akan terus bertambah dari waktu ke waktu. Penduduk dibawah garis kemiskinan sebanyak 1680 jiwa, angka pengangguran berkisar 20% dari usia produktif penduduk.

a. Jumlah Penduduk Berdasarkan Struktur Umur

Menurut kelompok umur di Kelurahan Lebagede, jumlah penduduk yang berumur antara 20 sampai 24 tahun cukup besar dibandingkan dengan kelompok umur lainnya yaitu sebsar 1274 jiwa, sedangkan yang paling rendah terjadi pda keompok umur 60 sampai 64 tahun yaitu sebar 151 jiwa. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.1

Jumlah Penduduk Berdasarkan Struktur Umur

No Umur Jumlah

L P Jumlah

1 0-4 tahun 1199 1241 2440

2 5-9 tahun 853 838 1691

3 10-14 tahun 948 895 1843

4 15-19 tahun 942 1021 1963

5 20-24 tahun 1274 1278 2552

6 25-29 tahun 791 564 1355

7 30-34 tahun 432 424 856

8 35-39 tahun 307 245 552

9 40-44 tahun 278 248 526

10 45-49 tahun 265 327 592

11 50-54 tahun 191 278 469

(47)

No Umur Jumlah

L P Jumlah

13 60-64 tahun 151 381 532

14 65-keatas 211 281 492

Jumlah 8085 8264 16349

Sumber: Data Monografi Kelurahan Lebakgede 2010

Menurut keterangan diatas terlihat bahwa jumlah penduduk menurut umur di Kelurahan Lebkagede pada tahun 2010 dibagi ke dalam umur 5 tahunan. Penduduk 20-24 tahun memiliki jumlah terbesar, yaitu 2552 jiwa, sedangkan yang terkecil penduduk pada umur 50-54 tahun berjumlah 469 jiwa. Selain itu jumlah penduduk perempuan menurut umur yang dianggap produktif dari rentang umur 15-54 tahun berjumlah 4107 jiwa. Hal ini berpotensi meningkatkan pertumbuhan penduduk di masa yang akan datang.

b. Pendidikan

Menurut tingkat pendidikan penduduk di Kelurahan Lebakgede banyak yang belum sekolah yaitu sebesar 3425 jiwa baik laki-lai maupun perempuan . Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.2

Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Pendidikan Jumlah

L P Jumlah

(48)

c. Mata pencaharian pokok

Sedangkan bila ditinjau dari jumlah penduduk menurut mata pencaharian, penduduk yang bekerja sebagai pegawai swasta cukup banyak sebesar 1887 jiwa, dibandingan dengan mata pencaharian lainnya. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian yang paling sedikit yaitu jumlah penduduk dengan mata pencaharian PNS.

Tabel 3.3

Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2010

No Pekerjaan Jumlah

L P Jumlah

1 Petani 0 0 0

2 pelajar/mahasiswa 669 791 1460

3 pegawai swasta 915 972 1887

4 Pedagang 718 728 1446

5 PNS 230 344 574

6 lain-lain 5548 5434 10982

Jumlah 8080 8269 16349

Sumber: Data Monografi Kelurahan Lebakgede 2010

d. Agama

Penduduk di Kelurahan Lebakgede memiliki keragaman beragama. Penduduk beragama islam mendominasi dengan jumlah 15.352 jiwa sedangkan jumlah penduduk berdasarkan agama yang paling kecil yaitu penduduk yang memeluk agama budha dengan jumlah penduduk 37 jiwa. Hal ini dapat menjadi salah satu ketahanan terhadap bencana kebakaran. Kerena fasilitas peribadatan dapat dijadikan menjadi salah satu ruang evakuasi bila terjadi bencana kebakaran. Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan dalam tabel jumlah penduduk berdasarkan agama dibawah ini.

Tabel 3.4

Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah

(49)

No Agama Jumlah

2 kristen protestan 617

3 kristen katolik 276

4 Hindu 67

5 Budha 37

6 Konghucu 0

Jumlah 16349

Sumber: Data Monografi Kelurahan Lebakgede 2010

3.2 Pemanfaatan Ruang

3.2.1 Penggunaan Lahan

Pengertian penggunaan lahan disini dimaksudkan sebagai aspek pemanfaatan ruang yang mencakup jenis kegiatan pemanfaatan ruang dan penyebarannya dalam ruang. Berdasarkan RDTR WP Cibeunying Kota Bandung, penggunaan lahan di Wilayah Kelurahan Lebakgede didominasi oleh permukiman sekitar 47,49% dari Wilayah Kelurahan Lebakgede. Penggunaan lahan kedua terbesar adalah Kawasan Pendidikan sekitar 25,01% dari luas Wilayah Kelurahan Lebakgede. Selain itu penggunaan lahan didominasi oleh kawasan perdagangan dan jasa di sepanjang Jalan Depati Ukur. Dilihat dari penyebaran kegiatan, karakteristik kegiatan utama adalah sebagai berikut :

 Kegiatan permukiman cenderung menyebar.

 Kegiatan perdagangan dan jasa terdapat di sepanjang Jalan Depati Ukur.  Kawasan pendidikan terdapat di ruas Jalan Depati ukur.

Gambar 3.2

(50)

3.2.2 Intensitas Pemanfaatan ruang

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, dapat diketahui bahwa di Wilayah Kelurahan Lebakgede rata-rata mempunyai KDB sebesar 50%, kecuali massa bangunan yang terletak di sebelah utara Kelurahan Lebakgede umumnya KDB di atas 50%. Dalam hal penggunaan ruang yang menyangkut ketinggian bangunan, diketahui bahwa ketinggian bangunan di Wilayah Kelurahan Lebakgede bervariasi. Ketinggian bangunan yang lebih dari satu lantai terdapat di hampir seluruh kawasan Kelurahan Lebakgede Kota Bandung.

Gambar 3.3

Kondisi Pemanfaatan Lahan

3.3 Perekonomian

Jenis kegiatan ekonomi yang diusahakan penduduk di Wilayah Kelurahan Lebakgede Kota Bandung meliputi perdagangan, jasa, industry (kreatif) dan juga jasa transportasi.

3.4Fasilitas Umum dan Sosial 3.4.1 Fasilitas Pendidikan

(51)

Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), dan Perguruan Tinggi

Di Wilayah Kelurahan Lebakgede fasilitas kesehatan sebagian besar adalah posyandu yaitu 14 buah, sedangkan puskesmas sebanyak 1 buah. Untuk lebih jelasnya fasilitas kesehatan ini dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 3.6

7 dokter spesialis lainnya 0

8 dokter hewan 0

Sumber: Data Monografi Kelurahan Lebakgede 2010

(52)

halnya dengan prasarana lainnya karena saling terkait satu sama lain, dan merupakan syarat utama bagi keselamatan jiwa penduduknya.

3.4.3 Fasilitas Peribadatan

Di Wilayah Kelurahan Lebakgede fasilitas peribadatan sebagian besar adalah mesjid yaitu 15 buah, sedangkan gereja sebanyak 1 buah. Ini menunjukkan bahwa Kelurahan Lebakgede Kota Bandung didominasi penduduk beragama islam. Untuk lebih jelasnya fasilitas kesehatan ini dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 3.7

Jumlah fasilitas peribadatan

No Prasarana Jumlah

1 Mesjid 15

2 surau/musola 5

3 Gereja 1

4 Vihara 0

Sumber: Data Monografi Kelurahan Lebakgede 2010

3.4.4 Fasilitas Ruang Terbuka/Hiburan

Di Wilayah Kelurahan Lebakgede fasilitas hiburan sebagian besar adalah taman yaitu 7 buah. Ini menunjukkan bahwa Kelurahan Lebakgede Kota Bandung memiliki RTH yang cukup. Akan tetapi taman tersebut tidak terdapat di kawasan permukiman padat Kelurahan Lebkgede. Untuk lebih jelasnya fasilitas kesehatan ini dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 3.8

Jumlah Fasilitas Ruang Terbuka & Hiburan

No Uraian Jumlah

1 Taman 7

2 tempat pertunjukan tradisional 1

3 toko souvenir 1

4 Hotel 4

5 Penginapan 0

(53)

No Uraian Jumlah

7 Bioskop 0

Sumber: Data Monografi Kelurahan Lebakgede 2010

3.4.5 Fasilitas Transportasi

Lalu lintas yang digunakan di kelurahan lebakgede sepenuhnya (100%) melalui darat. Dengan daya dukung sarana terdiri dari :

Tabel 3.9

Jumlah Fasilitas Transportasi Kelurahan Lebakgede 2010

No Kategori Jalan Jumlah Keterangan

Aspal konblok rusak beton besi

Sumber: Data Monografi Kelurahan Lebakgede 2010

3.5 Gambaran Kejadian Kebakaran Di Kelurahan Lebakgede Kota Bandung

Oleh karena data laporan kejadian kebakaran berdasarkan waktu, penyebab, dan lokasi kejadian yang dimiliki oleh Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung tidak lengkap, maka gambaran kejadian kebakaran yang pernah terjadi di Kelurahan Lebakgede Kota Bandung selama tujuh tahun terakhir diperoleh dari wawancara dengan para ketua RW di seluruh Kelurahan Lebakgede Kota Bandung.

Gambaran kejadian kebakaran berdasarkan waktu, penyebab, dan lokasi kejadian yang pernah terjadi di Kelurahan Lebakgede Kota Bandung selama tujuh tahun dapat dilihat pada tabel 3.10

Tabel 3.10

Kejadian Kebakaran Yang Pernah Terjadi di Wilayah Studi

No RW RT tahun

1 2 3 4 5 6 7 8

1 01 1 2005

(54)

No RW RT tahun

1 2 3 4 5 6 7 8

3 03 1 2006

4 07 1 1 2002 & 2004

5 12 -

6 13 1 2003

7 14 1 2008

8 15

Sumber: Wawancara, 2011

Pada tabel 3.3 dapat diketahui bahwa berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada 3 ketua RW yang ada di Kelurahan Lebakgede Kota Bandung, kejadian kebakaran yang pernah terjadi sejak tahun 2000 hingga sekarang adalah sebanyak 7 kali kejadian kebakaran. Diantara 7 kejadian kebakaran tersebut, 4 diantaranya terjadi di rumah warga, sedangkan sisanya terjadi di tempat warung dan toko. Untuk melihat persentase banyaknya kejadian kebakaran di Kelurahan Lebakgede Kota Bandung berdasarkan penyebabnya, maka berdasarkan tabel 3.3 dibuatlah pie chart gambar 3.4.

Gambar 3.4

Jumlah Kebakaran di Kelurahan Lebakgede berdasarkan penyababnya

Gambar 3.4 menunjukkan bahwa sebagian besar kejadian kebakaran disebabkan oleh hubungan arus pendek listrik yaitu sebesar 43%, sedangkan

15%

70% 15%

gas

kompor minyak

(55)

kejadian kebakaran lainnya yaitu sebesar 28% disebabkan oleh ledakan kompor minyak, dan 29% dikarenakan lilin.

(56)

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan tentang pengidentifkasian serta penilaian tolak ukur dan variabel potensi sumber ancaman kebakaran, kerentanan dan kemampuan terhadap bencana kebakaran. Kemudian pengitungan nilai risiko bencana dari ketiga factor tersebut.

4.1 Identifikasi Penentuan Faktor Penentu Tingkat Risiko Bencana Kebakaran

Berdasarkan Undang-Undang Penanggulangan bencana untuk menghitung tingkat risiko bencana (Disaster Risk), dapat diketahui dari 3 variabel yaitu, ancaman/ancaman (Hazard), Kerentanan (Vulnearibility) dan Kemampuan. Kerawanan suatu komunitas ditentukan oleh tinggi rendahnya risiko terjadinya bencana. Risiko terjadinya bencana merupakan fungsi dari ancaman dengan keadaan yang rentan, yang dapat dirubah oleh adanya kemampuan. Dengan menggunakan formula ini maka ketika tidak terdapat kerentanan dan ancaman, nilai risiko yang dihasilkan adalah 0. Tetapi sebaliknya jika suatu kawasan memiliki nilai risiko bencana lebih dari 100, ini berarti kawasan tersebut memiliki risiko bencana yang tinggi.Dengan model sebagai berikut:

Disaster risk (R) = Ancaman (A) x kerentanan (K) Kemampuan (M)

(57)

ke dalam beberapa factor berdasarkan kajian studi dan hasil diskusi fire history Kelurahan Lebakgede.

Gambar 4.1

Gambar

Tabel 2.2
Gambar  2.2 Lingkaran Skematis Penanggulangan bencana
Tabel 3.1
Tabel 3.2
+7

Referensi

Dokumen terkait